Anda di halaman 1dari 37

REFLEKSI KASUS

DEMAM TIFOID

Oleh:
Igam Aditya Prasada
(1871121010)

Pembimbing:
dr. Putu Triyasa, Sp. A

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SANJIWANI GIANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WARMADEWA
2019
STATUS UJIAN REFLEKSI KASUS
KSM/BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD SANJIWANI GIANYAR/FKIK UNIVERSITAS WARMADEWA
2019

Nama Dokter Muda : Igam Aditya Prasada, S.ked


Penguji : dr. Putu Triyasa, Sp.A

I. Identitas Pasien
Nama : NKAPP
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 16 Tahun
Alamat : Temesi, Gianyar
Tanggal MRS : 19 Juni 2019
Tanggal Pemeriksaan : 21 Juni 2019
Ruang Rawat : Abimanyu

II. Data Subyektif


1. Riwayat Penyakit Sekarang:
Keluhan utama: Demam
Pasien datang ke IGD dengan keluhan demam sejak kurang lebih 2 minggu yang
lalu. Keluhan muncul diawali dengan lemas dan sakit kepala. Keluhan demam
dengan suhu naik turun sempat suhu pasien 36oC kemudian naik 37oC sampai
demam 38oC dan sempat turun kembali pada hari ke 6-7 sampai suhu 36oC .
Keluhan demam dirasakan turun pada pagi siang hari dan meningkat pada sore
dan malam hari. Demam dirasakan menurun pada saat pasien meminum minuman
hangat dan tidak ada faktor memperberat . Pasien mengatakan masih bisa beraktivitas
seperti biasa. Keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu pingsan dialami 3 hari yang
lalu sebanyak 2 kali, lokasi pingsan dirumah pasien dan tersadar setelah di gosok
minyak telon. Selain itu pasien juga mengeluh dada terasa sakit terasa berat, kadang
sedikit sesak, sakit kepala, nyeri saat menelan, mual 1x tanpa disertai muntah, BAB
baru 1x sempat tidak BAB selama 6 hari, dan mengeluh perut terasa kebung. Pasien
mengeluh nyeri setelah kencing, kencing terasa panas dan nyeri perut bagian
bawah. Nafsu makan dikatakan menurun, minum dalam batas normal, nyeri sendi
disangkal serta ruam pada kulit disangkal. Pasien mengatakan sempat berobat
kebidan pada demam hari pertama namun pasien lupa nama obat yang diberikan,
karena tidak membaik pasien sempat berobat kepuskesmas 3 hari yang lalu disana
pasien diminta kerumah sakit untuk cek darah. Kemudian pasien kerumah sakit untuk
melakukan cek darah ternyata hasilnya dalam batas normal sehingga pasien
dipulangkan setelah itu pasien pingsan dirumah.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya belum pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat penyakit
kronis, alergi makanan dan obat disangkal.
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama. Riwayat penyakit
kronis yaitu sepupu pasien memiliki riwayat asma, untuk penyakit kronis lainnya
seperti penyakit jantung, diabetes mellitus, dan hipertensi disangkal.
4. Riwayat Pribadi/Sosial/Lingkungan
Pasien merupakan anak kedua dan tinggal bersama orang tua. Lingkungan rumah
pasien dikatakan cukup bersih. Pasien mengatakan tidak pernah mengkonsumsi
makanan setengah matang atau mentah.
 Riwayat persalinan
Pasien lahir secara spontan di tolong oleh bidan cukup bulan dengan berat
badan lahir 2400 gram, panjang badan lupa, LK/LD dikatakan lupa oleh
orangtua pasien, serta tidak di dapatkan kelainan kongenital.
 Riwayat Imunisasi
Pasien sudah melakukan imunisasi sesuai jadwal di puskesmas.
 Riwayat Nutrisi
Pasien mendapatkan ASI eksklusif saat usia 0 hari hingga 24 bulan, susu
formula tidak pernah diberikan, bubur susu dikatakan lupa, nasi tim sejak usia
12 bulan, makanan dewasa mulai diberiksan dikatakan lupa.
 Riwayat Tumbuh Kembang
Riwayat perkembangan pasien yaitu menegakkan kepala usia lupa, membalik
badan usia 5 bulan, duduk dikatakan lupa, merangkak usia 8 bulan, berdiri
dikatakan lupa, berbicara dikatakan lupa.

III. Pemeriksaan Fisik


Status Present
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84x/menit, reguler, kuat angkat, isi cukup
Frekuensi Respirasi : 22x/menit, reguler
Suhu Aksila : 38,8ºC (Tgl : 19/6/19) ~ 36,6 (Tgl : 21/6/19)
SpO2 : 98%
Status Antropometri
Berat Badan : 52 kg
Panjang Badan : 157 cm
Berat Badan Ideal Broca : 48,45 (49) kg
Status Gizi berdasarkan CDC :
o BB/U : p25-p50 (gizi baik)
o TB/U : p25-p50 (gizi baik)
o BMI/U : >p50 (gizi baik)
Status Gizi menurut Water Low : 106% (gizi baik)

Status General
- Kepala : Normocephali
- Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil
+/+ isokor
- THT Telinga : Sekret (-), nyeri (-)
Hidung : Sekret (-), konka hiperemis (-/-)
napas cuping hidung (-)
Tenggorok : Mukosa bibir kering (-), faring hiperemis (+), Tonsil
T1/T1
Lidah : Lidah tampak kotor (-)
- Leher : Inspeksi : Benjolan (-)
Palpasi :Pembesaran KGB (-), nyeri tekan di
kelanjar limpa tonsilar kiri dan kanan
- Thoraks : Simetris (+), retraksi (-)
Jantung : Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V MCL
sinistra
Perkusi : Apeks jantung setinggi ICS IV sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
Paru : Inspeksi : Simetris (+), retraksi (-)
Palpasi :Pergerakan dada simetris (+), nyeri
tekan sela iga (+), vocal fremitus N/N
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler +/+, rhonki -/-,
wheezing -/-
- Abdomen : Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi :timpani (+), hepar dan lien tidak
membesar
Palpasi : nyeri tekan (+) regio suprapubik, hepar
dan lien tidak teraba
- Ekstremitas : Akral hangat (+/+/+/+), edema (-/-/-/-), CRT<3 detik
Status Neurologis

Nervus kranialis: Lateralisasi (-)


Meningeal sign:
- Kaku kuduk (-)
- Kernig sign (-)
- Brudzinski I dan Brudzinski II (-)
Motorik:
Tenaga Tonus Trofik

555 555 N N N N
555 555 N N N N

Refleks Fisiologis Refleks Patologis Klonus


+ + - - - -
+ + - - - -

IV. Pemeriksaan Penunjang


Darah lengkap :

Jenis Hasil Rujukan Keterangan


Pemeriksaan

WBC 15.57 4,5-17,5 H

HGB 11,5 10,7-16,8 N

HCT 35,4 37,0-48,0 L

MCV 79,2 82,0-92,0 L

MCH 25,8 27,0-31,0 L

PLT 327 150-450 N


Tes widal :
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan

Salmonella Paratyphi AO Positif 1/160 Positif jika kenaikan titer


≥ 1/160

Salmonella Paratyphi BO Positif 1/320 Positif jika kenaikan titer


≥ 1/160

Salmonella Typhi O Positif 1/320 Positif jika kenaikan titer


≥ 1/160

Salmonella Typhi H Positif 1/320 Positif jika kenaikan titer


≥ 1/160

Urinalisis

Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan

Protein Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Eritrosit Negatif Negatif

Leukosit Negatif Negatif

Sedimen Urine

Eritrosit 1-3 0-2

Leukosit 4-6 0-5

Ephitel ++ (+) sedikit

Bakteri Negatif Negatif


V. Diagnosis
Demam Tifoid

VI. Penatalaksanaan
- Tirah baring
- IVFD D5% ½ NS ~ 30 tpm
- Ceftriaxone 50 mg/kg/x ~ 2 gr @12jam
- Cotrimoxasol 2x480mg
- Ondancentron 3x2 amp (iv) (k/p)
- Ranitidine 4x50mg (iv)
- Omeprazole 40 ml dalam 20 ml NaCl 0,9% habis dalam 20 menit @12 jam
(iv)
- Paracetamol 60ml (iv) bila Tax >38oC
- Diet rendah serat
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik akut yang biasanya
terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari seminggu,
gangguan pada saluran pencernaan, dan bisa terjadi penurunan kesadaran.
Disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau bisa juga disebabkan oleh
Salmonella paratyphi. Nama lain penyakit ini adalah enteric fever atau tifus.
Bakteri S. typhi bisa menyebar melalui air maupun makanan yang tercemar oleh
bakteri tersebut. Sumber penularan Salmonella typhi ada dua yaitu pasien
dengan demam tifoid dan karier. Tifoid karier adalah seseorang yang
kotorannya (feses atau urin) mengandung S. typhi setelah satu tahun pasca
demam tifoid tanpa gejala klinis.1

2. Etiologi
Bakteri Salmonella merupakan kelompok Enterobacteriaceae yang
berbentuk batang gram negatif. Walaupun ada banyak serotipe Salmonella,
namun yang menyebabkan demam tifoid adalah Salmonella typhi dari spesies
Salmonella enterica. Salmonella typhi tidak berkapsul dan membentuk spora,
bergerak dengan peritrichous flagella, serta bersifat intraseluler fakultatif dan
anaerob fakultatif. Bakteri ini memiliki antigen somatik (O), antigen flagel (H)
yang terdiri dari protein dan antigen kapsul (K) yang terdiri dari polisakarida.7
Kuman ini tahan terhadap selenit dan natrium deoksikolat yang dapat
membunuh bakteri enterik lain, selain itu bakteri ini juga menghasilkan
endotoksin, protein invasin dan MRHA (Mannosa Resistant Haemaglutinin). S.
typhi mampu bertahan hidup selama beberapa bulan sampai setahun jika
melekat dalam tinja, mentega, susu, keju dan air beku. S. typhi adalah parasit
intraseluler fakultatif yang dapat hidup dalam makrofag.3
Salmonella typhi dapat bertahan hidup selama berhari-hari di air tanah, air
kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah
terkontaminasi atau tiram yang dibekukan, buah dan sayuran mentah yang
dipupuk dengan limbah kotoran juga bisa menjadi sumber wabah. Infeksi dapat
ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses. Demam
tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota
keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk
mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak
tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.3,4 Beberapa kondisi yang
sangat berperan pada penularan adalah8:
 Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa
 Higiene makanan dan minuman yang rendah, seperti makanan yang dicuci
dengan air yang terkontaminasi, sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia,
makanan tercemar debu, sampah, dihinggapi lalat, air yang tidak dimasak
 Sanitasi lingkungan yang kumuh
 Penyediaan air bersih untuk warga tidak memadai
 Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat
 Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna
 Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid

3. Epidemiologi
Infeksi oleh S typhi and S paratyphi paling sering terjadi pada negara
yang berkembang dimana sanitasi air dan sistem limbahnya terbatas. (1,4)
Berdasarkan sensus World Health Organization (WHO) tahun 2014, sekitar
21,6 juta kasus setiap tahunnya di seluruh dunia,(4) terutama di Asia, Afrika,
dan Amerika latin, dengan 200,000 kematian. (1,4) Insidens global sekitar
0.5%, namun insidensnya sebesar 2% telah ditemukan di daerah "Hot Spot",
seperti Indonesia dan Papua New Guinea, dimana demam tifoid masuk 5
besar dalam penyebab kematian terbesar.
Pada negara-negara ini, 91% of kasusu melibatkan anak-anak usia 3-
19 years, dan 20,000 kematian terjadi tiap tahunnya. Di Amerika dalam
periode tahun 1900-1960, insedens demam tifoid semakin terus menurun dan
tetap rendah hingga sekarang. Peningakatan fasilitas sanitasi dan penggunaan
antibiotik yang tepatlah yang menyebabkan penurunan ini. Rata-rata 245
kasus telah dilaporkan setiap tahunnya, dengan insidens 0.2 per 100,000
populasi sejak 1985 dibandingkan dengan 35,994 kasusu yang dilaporkan
pada tahun 1920.
Lebih dari 70% kasusu terjadi dalam 30 hari setelah bepergian dari luar
negeri, kususnya dari daerah sub benua India dan Amerika Latin. Wabah yang
jarang yang transmisinya dalam wilayah Amerika Serikat umumnya
disebabkan oleh makanan impor dan pengolah makanan yang bersal dari
daerah endemis.
Di daerah endemis, anak-anak berusia 1-5 years adalah resiko tertinggi
dalam infeksi, angka kesakitan dan angka kematian. Penelitian prospektif
telah menunjukan bahwa, walaupun insidens demam tifoid tertinggi adalah
pada pasien remaja dan dewasa muda, secara keseluruhan insidens penyakit
yang memerlukan konfirmasi kultur darah umumnya tertinggi pada anak usia
3-9 tahun dan menurun jelas pada akhir masa remaja.
Indonesia merupakan daerah endemik demam tifoid. Penderita anak yang
ditemukan biasanya berumur di atas satu tahun. Salah satu contohnya,
sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat di Bagian llmu Kesehatan
Anak FKU1 - RSCM Jakarta berumur di atas 5 tahun.

4. Patofisiologi
Bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi bisa masuk ke dalam
tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi bakteri tersebut. Sebagian
bakteri yang masuk akan dimusnahkan dalam lambung, namun sebagian lagi
akan lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Apabila
respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka bakteri akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia.
Bakteri berkembang biak di lamina propia dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer's patch ileum distal dan kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika. Setelah itu, melalui duktus torasikus
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik dan saat bakteremia
primer ini biasanya kultur darah masih negatif, periode ini disebut sebagai
periode inkubasi dan terjadi selama 7-14 hari) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini bakteri
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik.3,6
Ketika bakteri S.typhi berada di hati, bakteri tersebut bisa masuk ke dalam
kandung empedu kemudian berkembang biak, dan bersama cairan empedu
diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian bakteri
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis bakteri Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala,
sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.6
Di dalam peyer's patch makrofag yang hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S. typhi intramakrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cema dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar
peyer's patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler dan berakibat pada timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.6

Gambar 1. Patofisiologi

5. Manifestasi Klinis
Perbedaan antara demam tifoid pada anak dan dewasa adalah mortalitas
demam tifoid pada anak lebih rendah bila dibandingkan dengan dewasa. Risiko
terjadinya komplikasi fatal terutama dijumpai pada anak besar dengan gejala
klinis berat, yang menyerupai kasus dewasa. Demam tifoid pada anak
terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai gejala klinis
ringan ataupun tanpa gejala (asimptomatik).9
Kumpulan gejala dan tanda demam tifoid disebut sebagai sindrom demam
tifoid yang terdiri dari8:
- Demam
Demam adalah gejala utama tifoid, yang pada awalnya kebanyakan samar-
samar dan selanjutnya sering naik turun. Pagi lebih rendah atau normal, sore
atau malam hari lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke hari intensitas
demam meninggi sehingga menimbulkan gejala lain seperti sakit kepala
(sering di area frontal), nyeri otot, insomnia, mual dan muntah.
- Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama,
bibir kering dan kadang pecah-pecah. Lidah terlihat kotor dan ditutupi
selaput putih dengan ujung dan tepi lidah berwarna kemerahan dan tremor
(coated tongue). Pada umunya penderita sering mengeluhkan nyeri perut
(daerah epigastrium), disertai mual muntah. Pada awal sakit sering disertai
konstipasi dan minggu selanjutnya dengan diare.
- Gangguan kesadaran
Terdapat gangguan kesadaran ringan berupa kesadaran apatis dan berkabut
(tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma
dengan gejala-gejala psikosis. Pada penderita dengan toksik, gejala delirium
lebih menonjol.
- Hepatosplenomegali
Sering ditemukan hati dan limpa membesar dengan hati terasa kenyal dan
nyeri tekan.
- Bradikardia relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh 1oC tidak diikuti dengan
peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang
dapat ditemukan adalah rose spot pada regio abdomen atas, dan pada anak
sering ditemukan epistaksis.
- Ruam
Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas
pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros
(roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna.
Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu
berupa makula merah tua ukuran 1-5 mm, berkelompok, timbul paling
sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan
memucat bila ditekan.
Berdasarkan onsetnya, manifestasi klinis yang muncul dapat bervariasi
seperti berikut8:
 Masa inkubasi
Dapat berlangsung 7-21 hari dengan gejala awal yang tidak khas, seperti
gejala influenza, yaitu anoreksia, rasa malas, sakit kepala bagian depan,
nyeri otot, lidah kotor, dan nyeri perut.
 Minggu pertama
Gejala seperti penyakit akut lainnya berupa demam tinggi yang
berkepanjangan (39’C - 40’C) yang meningkat terutama pada sore atau
malam hari, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah,
batuk, nadi diantara 80-100 berdenyut lemah, pernapasan semakin cepat
dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tidak enak,
serta diare dan sembelit yang bergantian. Pada akhir minggu pertama lebih
khas terjadi diare dan lidah kotor (typhoid tongue) serta dapat muncul ruam
bercak-bercak roseola pada abdomen salah satu sisi, tidak merata, kelihatan
memucat bila ditekan, dan berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang sempurna.
 Minggu kedua
Suhu tubuh terus menerus meningkat, gejala toksemia memberat yang
ditandai dengan kesadaran delirium, gangguan pendengaran, lidah tampak
kering merah mengkilat, nadi cepat, tekanan darah menurun, diare menjadi
berwarna gelap karena terjadi perdarahan, pembesaran hati dan limpa, perut
kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus
menerus dan mulai mengacau bila diajak berkomunikasi.
 Minggu ketiga
Demam semakin berat, anoreksia, konjungtiva terinfeksi, pasien mengalami
takipneu dan suara crackles di basis paru, jarang terjadi distensi abdominal,
beberapa mengalami fase toksik, perforasi saluran cerna, degenerasi
miokardial toksik.
 Minggu keempat
Demam turun secara perlahan kecuali jika ada infeksi lain. Pada orang yang
mendapatkan infeksi ringan akan menghasilkan kekebalan lemah,
kekambuhan dapat terjadi, dan berlangsung dalam waktu yang pendek.
Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat
menimbulkan gejala lebih berat dari infeksi primer. Sekitar 10% demam
tifoid yang tidak diobati akan mengalami relaps.

Gambar 2. Gambaran Demam setelah masa inkubasi


Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti orang
dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepladder
pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39-41◦C) serta dapat juga
bersifat ireguler terutama pada bayi dan tifoid kongenital. Lidah tifoid ditandai
dengan lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak
lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin
progresif akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.9
Roseola, nodul kecil menonjol dengan diameter 2-4 cm, berwarna merah
pucat, serta hilang pada penekanan, lebih sering terjadi pada akhir minggu
pertama dan awal minggu kedua. Rosola ini merupakan emboli kuman dan
terutama didapatkan di daerah perut, dada, dan kadang-kadang daerah pantat
maupun bagian flexor lengan atas. Limpa pada umumnya sering membesar dan
sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus dibedakan dengan
pembesaran oleh karena malaria. Pembesaran limpa pada tifoid tidak progresif
dengan kosistensi lebih lunak.10
Tifoid kongenital didapatkan dari ibu hamil yang menderita demam tifoid
dan menularkan pada janin melalui darah. Pada umumnya besifat fatal namun
pernah dilaporkan tifoid kongenital dapat hidup dengan gejala tidak khas dan
menyerupai sepsis neonatorum. Pada tipe kongenital kuman dapat ditemukan
dalam darah, hati, limpa, serta kelainan patologis pada usus tidak didapatkan.
Hal ini menjelaskan bahwa pada tifoid kongenital penularannya lewat darah dan
secara cepat menimbulkan gejala-gejala tifoid sepsis pada janin. Demam tifoid
pada anak usia < 2 tahun jarang dilaporkan, bila terjadi biasanya gambaran
klinisnya berbeda dengan anak yang lebih besar. Kejadiannya sering mendadak
disertai panas yang tinggi, muntah-muntah, kejang, dan tanda-tanda
perangsangan meningeal. Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan leukositosis
(20.000-25.000/mm3).9

6. Diagnosis
Diagnosis demam tifoid dibuat berdasarkan manifestasi klinis yang
didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta didukung oleh
pemeriksaan penunjang. Rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia)
adalah 8,6:
1. Uji baku emas diagnosis demam tifoid sampai saat ini adalah kultur. Kultur
darah mempunyai sensitivitas terbaik (40–60%) bila dilakukan pada minggu
pertama—awal minggu kedua.
2. Pada anak yang menderita demam ≥6 hari dengan gejala ke arah demam
tifoid, untuk pengobatan pasien segera dapat digunakan pemeriksaan serologis
antibodi terhadap antibody Salmonella typhi.
3. Pemeriksaan Widal untuk diagnosis demam tifoid tidak direkomendasikan,
karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah.

Jenis pemeriksaan penunjang pada demam typhoid :


a. Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia (namun
dapat pula leukosit normal atau leukositosis), dapat ditemukan anemia
ringan, trombositopenia, aneosinofilia, limfopenia, dan peningkatan laju
endap darah. Pemeriksaan SGOT dan SGPT menunjukkan peningkatan,
tetapi tidak memerlukan penanganan khusus karena akan kembali normal
setelah sembuh.6
b. Uji Serologi
Teknik serologi digunakan untuk identifikasi biakan yang tidak diketahui
dengan serum dan untuk menentukan titer antibodi yang tidak diketahui
penyakitnya. Namun penentuan titer antibodi tidak terlalu bermanfaat untuk
infeksi Salmonella7.
1. Uji aglutinasi
Pada pemeriksaan ini, serum yang diketahui dan biakan yang tidak
diketahui dicampur diatas slide. Bila terjadi penggumpalan, dapat dilihat
dalam beberapa menit. Pemeriksaan ini terutama berguna untuk
identifikasi biakan preliminer dengan cepat. Terdapat alat-alat untuk
mengaglutinasi dan menentukan serogrup salmonella melalui antigen O-
nya: A, B, C1, C2, D, dan E, yang dijual bebas di pasaran.7
2. Uji aglutinasi pengenceran tabung (tes Widal)
Aglutinin serum meningkat tajam selama minggu kedua dan ketiga pada
infeksi salmonella. Sedikitnya dua spesiemen serum, yang diambil
dengan selang waktu 7-10 hari, dibutuhkan untuk membuktikan adanya
kenaikan titer antibodi. Pengenceran serial (dua kali lipat) dari serum
yang tidak diketahui diuji terhadap antigen salmonella.7 Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Aglutinin O berasal dari tubuh
bakteri, Aglutinin H dari flagella bakteri, dan Aglutinin Vi dari kapsul
bakteri. Hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid.6 Interpretasi hasilnya adalah sebagai berikut: (1) Titer O
yang tinggi atau meningkat (≥ 1:160) menandakan adanya infeksi aktif.
(2) Titer H yang tinggi (≥ 1:160) menunjukkan adanya riwayat imusisasi
atau infeksi di masa lampau. (3) Titer antibodi yang tinggi terhadap
antigen Vi timbul pada beberapa carrier.7 Aglutinin O menetap 4-6 bulan
sedangkan aglutinin H menetap 9-12 bulan.1 Pemeriksaan Widal pada
serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti penting dan sebaiknya
dihindari. Diagnosis demam tifoid baru dapat ditegakkan jika pada
ulangan pemeriksaan Widal selang 1-2 minggu terdapat kenaikan titer
agglutinin O sebesar 4 kali. Uji Widal memiliki beberapa keterbatasan
sehingga tidak dapat dipercaya sebagai uji diagnostic tunggal.

c. Uji TUBEX
Uji TUBEX merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat
(beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi
anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara
IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan
lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex.
Hasil positif uji TUBEX ini menunjukan terdapat infeksi Salmonellae
serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. typhi. Infeksi
oleh S. paratyphi akan memberikan hasil negatif. Sensitivitas 75-80% dan
spesifisitas 75-90%. Penilaian TUBEX, skor <2 berarti negatif (tidak
menunjukkan infeksi tifoid aktif), skor 3 berarti borderline (tidak dapat
disimpulkan), skor 4-5 berarti positif (menunjukkan infeksi tifoid aktif), skor
>6 berarti positif (indikasi kuat infeksi tifoid).1,6
d. Uji Typhidot
Uji Typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara
spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50kD, yang
terdapat pada strip nitroselulosa. Sensitivitas uji ini sebesar 98% dan
spesifisitasnya 76,6%. Respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara
berlebihan pada kasus reinfeksi, sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat
bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat
digunakan untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi
atau konvalensen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah
tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG
pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M,
memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada
serum pasien. Uji ini menunjukan sensitivitas 100% dan lebih cepat (3 jam)
dilakukan dibandingkan dengan kultur.6
e. Uji IgM Dipstick
Secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S.typhi pada
specimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang
mengandung antigen lipopolisakarida S.typhi dan anti IgM (sebagai kontrol),
reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan
lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen
dan serum pasien, tabung uji. Sensitivitas uji ini adalah 65-77% dan
spesifisitasnya sekitar 95-100%. Akurasi diperoleh bila pemeriksaan
dilakukan 1 minggu setelah timbul gejala.6
f. Kultur
Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan kuman S. Typhi
dalam darah, urin, tinja, sumsum tulang, cairan duodenum, atau dari rose
spot. Berkaitan dengan patogenesis penyakit maka kuman lebih mudah
ditemukan di dalam darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan
pada stadium berikutnya di dalam urin dan tinja. Kultur darah positif 70-
90% dari penderita pada minggu pertama, dan positif 50% pada akhir
minggu ketiga. Kuman dalam tinja ditemukan meningkat dari minggu
pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.
Kultur urin positif setelah minggu pertama. Kultur sumsum tulang sering
tetap positif selama perjalanan penyakit dna menghilang pada fase
penyembuhan.7
Hasil kultur darah yang negatif tidak menyingkirkan demam tifoid.
Hal tersebut disebabkan karena beberapa hal, seperti : (1) Telah mendapat
terapi antibiotik sehingga menyebabkan pertumbuhan kuman pada media
biakan terhambat, (2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5
cc darah), (3) Riwayat vaksinasi, karena vaksinasi di masa lampau
menimbulkan antibodi yang menekan bakteremia sehingga biakan darah
negatif, (4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat
aglutinin meningkat. Gold standard untuk diagnosis demam tifoid adalah
kultur aspirasi sumsum tulang. Kultur aspirasi sumsum tulang tepat untuk
pasien yang sebelumnya telah diobati, memiliki long history of illnes, dan
hasil kultur darah negatif.4,6
Gambar 3. Sensitifitas pemeriksaan penunjang

7. Klasifikasi
Klasifikasi diagnosis demam tifoid adalah sebagai berikut.
1. Possible Case : Dengan anamnesis/pemeriksaan fisik didapatkan gejala
demam, gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan
hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid yang didapatkan belum
lengkap.10
2. Probable Case : Telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap,
serta didukung oleh gambaran laboratorium yang menyokong demam tifoid
(titer Widal O ≥ 1/160 atau H ≥ 1/160 satu kali pemeriksaan). Demam
≥38°C yang berlangsung minimal 3 hari, dengan serodiagnosis positif.6
3. Definitive Case : Diagnosis pasti, ditemukan S.typhi pada pemeriksaan
biakan atau positif S.typhi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan
titer Widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer Widal O
> 1/320, H > 1/640 yang menetap pada pemeriksaan ulang.18 Demam ≥38°C
yang berlangsung minimal 3 hari dengan hasil kultur positif (darah, sumsum
tulang dan bowel fluid).4
4. Chronic carier : Ekskresi S.typhi pada feses atau urin (atau hasil kultur yang
positif secara berulang) selama lebih dari satu tahun setelah onset demam
tifoid akut.4

8. Penatalaksanaan
A. Non Medika Mentosa6,10
1) Tirah baring
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan
membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu
sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang
dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan
pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan
dan dijaga.6
2) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah
serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita
namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa
(rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur
lunak, tim, dan nasi biasa. 6

3) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak
pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya. 6
B. Medikamentosa
1) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman
dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum,
sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna
yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. 6
2) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah6,10,11,12:
 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak-
anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian
intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari
atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler
tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari.
Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau
kambuh, dan carier.
 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika
trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis
Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari
dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang
diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama
2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini
adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia
megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa
Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.
 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun
untuk anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup
efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi
menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih
lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan
lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive
terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan
dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari)
selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari
dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat
diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg
dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai
48 jam. Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-
kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol6.

9. Komplikasi
a. Komplikasi Intestinal
1. Pendarahan Intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi terutama ileum terminalis dapat
berbentuk luka. Bila luka tersebut menembus lumen usus dan mengenai
pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya apabila tukak
menembus dinding usus maka dapat terjadi perforasi. Perdarahan juga
dapat disebabkan oleh gangguan koagulasi darah. Sekitar 25% penderita
dapat mengalami pendarahan minor yang tidak memerlukan transfusi
darah.6
2. Perforasi Usus
Biasanya timbul pada minggu ketiga yang ditandai dengan keluhan nyeri
perut hebat terutama pada daerah kuadran kanan bawah, yang kemudian
menyebar ke seluruh perut disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus
melemah pada 50% penderita. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi
cepat, tekanan darah turun hingga terjadi syok. Beberapa faktor yang
dapat meningkatkan kejadian perforasi usus adalah umur, lama demam,
modalitas pengobatan, mobilitas penderita, dan beratnya penyakit.6
3. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang (defense musculair) dan nyeri pada tekanan.

b. Komplikasi Ekstra-Intestinal
1. Komplikasi Hematologik
Komplikasi Hematologik berupa trombositopenia, peningkatan PT dan
PTT, sampai koagulasi intravaskular diseminata. Trombositopenia
kemungkinan terjadi karena menurunnya produksi trombosit pada
sumsum tulang karena proses infeksi atau meningkatnya destruksi
trombosit di sistem retikuloendotelial. Penyebab koagulasi intravaskular
diseminata pada demam tifoid belum jelas, namun sering dikatakan
bahwa endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi dan
fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin menyebabkan
vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah yang menyebabkan
perangsangan mekanisme koagulasi.6
2. Hepatitis Tifosa
Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria
atau amoeba, maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter
laboratorium dan histopatologi hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim
transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk
membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Meskipun sangat jarang
komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi.6
3. Pankreatitis Tifosa
Komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pemeriksaan enzim
amilase dan lipase serta USG atau CT Scan dapat membantu diagnosis
penyakit ini dengan akurat. Pada umumnya penanganan pankreatitis
diberikan antibiotik intravea seperti ceftriaxone atau quinolon.6
4. Miokarditis
Terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid. Pasien dengan miokarditis
biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit
dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Kelainan
ini karena kerusakan miokardium oleh bakteri S.typhi dan sering sebagai
penyebab kematian.6
5. Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoid Toksik
Dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, rigiditas parkinson,
meningismus, meningitis dan psikosis. Terkadang diikuti suatu sindrom
klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut, dengan atau tanpa
didasari kelainan neurologis lainnya. Sindrom klinis ini disebut juga
sebagai tifoid toksik, demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau
demam tifoid dengan toksemia.6

10. Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah selalu menyediakan makanan dan
minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut
kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air
bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan
munculnya kasus resistensi.3,10
a. Safe Water
Demam tifoid merupakan waterborne disease dan pencegahan utamanya
adalah dengan memastikan akses air bersih. Air harus berkualitas baik dan
cukup untuk keperluan masyarakat (minum, memasak, mencuci). Di rumah
air minum bisa dibuat aman dengan cara merebusnya selama satu menit atau
dengan menambahkan chlorine releasing chemical.4
b. Food Safety
Food safety bisa diwujudkan melalui beberapa hal, seperti mencuci tangan
dengan sabun sebelum menyiapkan atau mengonsumsi makanan;
menghindari makanan mentah, kerang, dan makanan yang diawetkan dengan
es; hanya memakan makanan yang matang dan masih hangat atau
dipanaskan kembali sebelum dimakan.4
c. Sanitasi
Fasilitas untuk pembuangan kotoran manusia harus tersedia untuk semua
masyarakat, pengumpulan dan pengolahan limbah terutama saat musim
hujan harus diimplementasikan, di daerah dimana demam tifoid terjadi,
penggunaan kotoran manusia sebagai pupuk harus dihentikan.4
d. Edukasi Kesehatan
Edukasi kesehatan mencakup edukasi terhadap penyebab demam tifoid,
sumber penularan, personal hygiene dan pendekatan yang dapat digunakan
untuk disinfeksi.4
e. Vaksinasi11,12
Vaksin Vi Polysaccharide yaitu vaksin yang diberikan pada anak dengan
usia di atas 2 tahun dengan dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler.
Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi
setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%.
Vaksin Ty21a adalah vaksin oral yang tersedia dalam sediaan salut enterik
dan cair yang diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3
dosis yang masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari
sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan
memberikan efikasi perlindungan 67-82%. Vaksin Vi-conjugate yaitu vaksin
yang diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efikasi
perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin ini
menetap selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan sebesar 89%.3

Gambar 4. Vaksin Demam typhoid


REVISI PEMBAHASAN REFLEKSI
DEMAM TYPHOID
KOMPETENSI : 4A

TEORI KASUS
Definisi
Demam tifoid adalah suatu Pada kasus terdapat keluhan :
penyakit infeksi sistemik akut yang 1. Demam sejak kurang lebih 2
biasanya terdapat pada saluran minggu yang lalu

pencernaan dengan gejala demam lebih 2. Gangguan pada saluran

dari seminggu, gangguan pada saluran pencernaan (konstipasi dan

pencernaan, dan bisa terjadi mual)

penurunan kesadaran yang disebabkan 3. Penurunan kesadaran (pingsan)

oleh bakteri Salmonella typhi atau bisa Pada kasus terbukti infeksi bakteri
juga disebabkan oleh Salmonella dengan pemeriksaan WIDAL dan
paratyphi.5 Darah lengkap. Tetapi tidak dilakukan
kultur karena keterbatasan sumber
daya.
Antara definisi dalam teori dan kasus sudah sesuai.

TEORI KASUS
Etiologi
Bakteri Enterobacteriaceae spesies Pada tes widal didapatkan salmonella
Salmonella enterica yaitu Salmonella paratyphi AO positif (1/160),
typhi yang tidak berkapsul dan salmonella paratyphi BO positif
membentuk spora, bergerak dengan (1/320), salmonella Typhi O positif
peritrichous flagella, serta bersifat (1/320), dan salmonella Typhi H
intraseluler fakultatif dan anaerob positif (1/320). Hal ini menunjukkan
fakultatif. Bakteri ini memiliki antigen sedang berlangsung infeksi akibat
somatik (O), antigen flagel (H) yang bakteri Salmonella paratyphi dan
terdiri dari protein dan antigen kapsul typhi.
(K) yang terdiri dari polisakarida.
Antara etiologi di teori dan kasus sudah sesuai tetapi disarankan untuk melakukan
pemeriksaan kultur

TEORI KASUS
Manifestasi klinis:
1. Demam 1. Keluhan demam sejak kurang
Pagi lebih rendah atau normal, sore lebih 2 minggu yang lalu.
atau malam hari lebih tinggi Diawali dengan lemas dan
(demma intermitten). Dari hari ke sakit kepala. Keluhan demam
hari intensitas demam meninggi dengan suhu naik turun. Suhu
sehingga menimbulkan gejala lain turun pada hari ke 6-7 sampai
seperti sakit kepala (sering di area suhu 36oC ,turun pada pagi
frontal), nyeri otot, insomnia, mual siang hari dan meningkat pada
dan muntah. Meningkat setiap hari sore dan malam hari.
tetapi terdapat penurunan dalam 2. Mual 1x tanpa disertai muntah,
jangka waktu 24 jam tanpa BAB baru 1x sempat tidak
menyentuh angka suhu normal. BAB selama 6 hari, dan
2. Gangguan saluran pencernaan mengeluh perut terasa kebung.
Lidah terlihat kotor dan ditutupi Nafsu makan dikatakan
selaput putih dengan ujung dan menurun, Lidah Kotor tidak
tepi lidah berwarna kemerahan dan ditemukan
tremor (coated tongue). Pada
umunya penderita sering
mengeluhkan nyeri perut (daerah
epigastrium), disertai mual
muntah. Pada awal sakit sering
disertai konstipasi dan minggu
selanjutnya dengan diare.
3. Gangguan kesadaran 3. Pingsan dialami 3 hari yang
Terdapat gangguan kesadaran lalu sebanyak 2 kali, lokasi
ringan berupa kesadaran apatis dan pingsan dirumah pasien.
berkabut (tifoid). 4. Tidak ditemukan adanya
4. Hepatosplenomegali pembesaran, maupun
Sering ditemukan hati dan limpa perubahan konsistensi hati dan
membesar dengan hati terasa limfa.
kenyal dan nyeri tekan. 5. Terdapat bradikardi relatif
5. Bradikardia relatif dan gejala lain pada pemeriksaan tanggal
Bradikardi relatif adalah 19/6/2019 didapatkan suhu
peningkatan suhu tubuh 1oC tidak 38,0 o
C dengan nadi 86
diikuti dengan peningkatan X/menit (normal)
frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 6. Tidak tampak adanya ruam
menit. kemerahan pada tubuh pasien
6. Ruam kemerahan
Keluhan lain yang dirasakan pasien
Ruam kulit (rash) umumnya
adalah sakit kepala, nyeri saat
terjadi pada hari ketujuh dan
menelan, dada terasa sakit terasa berat,
terbatas pada abdomen disalah satu
kadang sedikit sesak, nyeri saat BAK,
sisi dan tidak merata, bercak-
BAK terasa panas, dan nyeri perut
bercak ros (roseola) berlangsung 3-
bawah.
5 hari, berupa makula eritema
berubah warna menjadi pucat saat
dilakukan penekanan. terjadi
terutama pada penderita golongan
kulit putih

Antara teori dan kasus sudah sesuai dengan teori walaupun tidak terdapat gejala
100% sama dengan teori.
TEORI KASUS
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis demam tifoid dibuat Pada kasus telah dilakukan
berdasarkan manifestasi klinis yang pemeriksaan darah lengkap dan
didapatkan dari anamnesis dan ditemukan leukositosis (WBC =
pemeriksaan fisik, serta didukung oleh 15,57 x 103/uL). Pada tes widal
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan didapatkan salmonella paratyphi AO
darah perifer lengkap sering ditemukan positif (1/160), salmonella paratyphi
leukopenia (namun dapat pula leukosit BO positif (1/320), salmonella Typhi
normal atau leukositosis), dapat O positif (1/320), dan salmonella
ditemukan anemia ringan, Typhi H positif (1/320).
trombositopenia, aneosinofilia,
limfopenia, dan peningkatan laju endap
darah. Uji aglutinasi atau tes Widal
menunjukkan kadar titer antibodi
terhadap antigen salmonella. Hasil uji
Widal dikatakan bermakna bila nilai
titer O ≥ 1/160. Pemeriksaan secara
khusus juga bisa dilakukan dengan
mendeteksi antibodi IgM spesifik
terhadap S.typhi pada specimen serum
atau whole blood. Selain itu, dapat pula
dilakukan uji TUBEX, uji typhidot dan
kultur.
Antara kasus dan teori sudah sesuai tetapi disarankan dilakukan pemeriksaan gold
standard yaitu kultur.
TEORI KASUS
Kriteria
Klasifikasi diagnosis demam tifoid Pasien diklasifikasikan sebagai
adalah sebagai berikut. probable case karena :
1. Possible Case : Dengan A. Didapatkan gejala klinis yang
anamnesis/pemeriksaan fisik hampir lengkap demam,
didapatkan gejala demam, gangguan konstipasi, mual, nafsu makan
saluran cerna, gangguan pola buang menurun, bradikardi relative.
air besar dan hepato/splenomegali. B. Didapatkan hasil pemeriksaan
Sindrom demam tifoid yang WIDAL titer O ≥ 1/160.
didapatkan belum lengkap.9
2. Probable Case : Telah didapatkan
gejala klinis lengkap atau hampir
lengkap, serta didukung oleh
gambaran laboratorium yang
menyokong demam tifoid (titer
Widal O ≥ 1/160 atau H ≥ 1/160
satu kali pemeriksaan). Demam
≥38°C yang berlangsung minimal 3
hari, dengan serodiagnosis positif.1
3. Definitive Case : Diagnosis pasti,
ditemukan S.typhi pada pemeriksaan
biakan atau positif S.typhi pada
pemeriksaan PCR atau terdapat
kenaikan titer Widal 4 kali lipat (pada
pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer
Widal O > 1/320, H > 1/640 yang
menetap pada pemeriksaan ulang.18
Demam ≥38°C yang berlangsung
minimal 3 hari dengan hasil kultur
positif (darah, sumsum tulang dan
bowel fluid).7
4. Chronic carier : Ekskresi S.typhi pada
feses atau urin (atau hasil kultur yang
positif secara berulang) selama lebih
dari satu tahun setelah onset demam
tifoid akut.7
Antara kasus dan teori sudah sesuai.

TEORI KASUS
Penatalaksanaan
1. Non Medikamentosa 1. Non Medikamentosa
A. Tirah baring A. Tirah baring
B. Nutrisi B. Pada kasus gizi sudah baik dan
C. Cairan yang cukup tidak membutuhkan
interprestasi kusus. Disarankan
memenuhi kalori 2400g, cairan
2540 ml dan diet rendah serat.
C. IVFD D5% ½ NS ~ 30 tpm
2. Medikamentosa 2. Medikamentosa
A. Obat simptomatik A. Ondancentron 3x2 amp (iv)
B. Antibiotik (k/p)
A. Ranitidine 4x50mg (iv)
A. Omeprazole 40 ml dalam
20 ml NaCl 0,9% habis
dalam 20 menit @12 jam
(iv)
A. Paracetamol 60ml (iv) bila
Tax >38oC
B. Ceftriaxone 50 mg/kg/x ~ 2
gr @12jam
B. Cotrimoxasol 2x480mg

Antara kasus dan teori sudah sesuai.


DAFTAR PUSTAKA

1. Tanto C, Liwang F, Hanifan S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV


Jilid II. Jakarta : Media Aesculapius. 2014.
2. Cita YP. Bakteri Salmonella typhi dan Demam Tifoid. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 2011. 6(1):42-46.
3. Nelwan RHH. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. CDK-192. 2012. 39(4):247-
250.
4. WHO. 2017. Typhoid and other invasive salmonellosis. Geneva: 2017.
5. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, dkk. A study of typhoid fever in five
Asian countries: disease burden and implications for controls.Bulletin of the
World Health Organization. 2008;86(4):241-320.
6. Widodo D. Demam Tifoid. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing. 2009. h 2797-2806.
7. Habte L, et al. 2018. . BMC Res Notes. 2018; 11: 605.

8. IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). 2016. Rekomendasi IDAI mengenai Pemeriksaan

Penunjang Diagnostik Demam Tifoid. REKOMENDASI No.: 018/Rek/PP IDAI/VII/2016


9. Uttam K, Bandyopadhyay A. 2017. Typhoid fever: a review. India :Department of
Medicine, Mata Gujari Memorial Medical College
10. Muzal K. 2012. Update Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal
Disorders. Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.
11. Petri Bali. Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid: Diperuntukan bagi
Dokter Umum dan Dokter Spesialis. Konas Petri Bali. 2010.
12. Michael C. 2017. Typhoid and Paratyphoid. CDC: Infectious Diseases Related
to Travel.

Anda mungkin juga menyukai