LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Usia : 59 tahun
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
B. ANAMNESA
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang bersama pendamping dari pihak keluarga, yaitu
anak perempuannya, menggunakan mobil lalu diantar ke gawat darurat memakai kursi roda yang
disediakan oleh rumah sakit. Pasien masuk ke IGD sekitar jam tiga sore dengan keluhan nyeri di
bagian tungkai bawah kanan sudah sejak kemain sore, di tulang keringnya karena jatuh terpeleset
saat bermain bulu tangkis. Kemarin, di sore hari, pasien tergelincir karena gerakan langkah kaki
yang tidak terkoordinasi dengan baik, pasien tersandung oleh kaki kirinya saat bermain bulu
tangkis. Pasien jatuh ke arah samping karena bobot tubuh dengan posisi kaki bersilangan. Pasien
langsung mengeluh rasa sakit di bagian tulang kering kanannya. Pasien tidak mendengar bunyi
“krek” atau merasakan “sensasi patah” pada bagian cedera saat terjatuh. Bagian tubuh dari
bawah pusat nyeri terlihat “mengaplek” atau lunglai. Tidak ada luka lain pada tubuh pasien.
Bagian tubuh yang cedera tidak terlihat memucat di bawah pusat cedera atau kemerahan di pusat
cedera, tidak ada darah yang keluar, tidak ada luka lecet dan robek. Kepala pasien tidak terbentur
lantai saat terjatuh. Segera setelah jatuh, pasien dilarikan ke tukang urut tradisional dan
mengeluh sakit saat diurut. Selesai diurut, pasien hanya memakai krim pereda nyeri otot dan
minyak-balsam untuk mengurangi rasa nyerinya, tapi tidak begitu mengurangi rasa nyeri. Pasien
masih merasa nyeri-ngilu saat tungkai atau kakinya digerakan dan mengganggu kenyamanan
tidurnya.
Pasien sewaktu di gawat darurat tidak ada gangguan pernapasan, tidak ada sesak napas,
dan tidak ada keluhan pada kepala dan leher. Pasien tidak diberi alat bantu napas dan oksigen.
Pasien tidak demam. Pasien melihat bagian yang cedera sedikit memar. Saat diperiksa oleh
dokter IGD, pasien mengeluh sakit saat bagian yang cedera ditekan dan digerakan di bagian
pergelangan kakinya. Saat bagian cedera pasien ditekan dan digerakan oleh pemeriksa, pasien
tidak mendengar suara “krek”, dan meminta pemeriksa untuk berhenti karena rasa sakit. Pasien
masih bisa sedikit menggerakan jari-jemari kaki kanan.
Pasien baru mengetahui punya darah tinggi dan memiliki kadar gula darah yang tinggi
(sekitar 300-an) saat dilakukan pemeriksaan di IGD, pasien sebelumnya belum pernah
melakukan cek gula darah dan tidak tahu punya tekanan darah tinggi. Pasien dinyatakan positif
covid-19. Lalu pasien diantar ke ruang isolasi.
Riwayat Penyakit Dahulu : pasien tidak pernah mengalami patah tulang tapi sering keseleo
karena pasien gemar olahraga, bola dan bulu tangkis. Pasien tidak punya darah tinggi
sebelumnya. Pasien tidak punya diabetes sebelumnya. Pasien tidak punya gangguan pada
jantung. Pasien tidak punya riwayat asma. Pasien tidak punya gangguan pada ginjal. Pasien tidak
pernah menjalani operasi. Pasien tidak ada alergi terhadap obat.
Riwayat Penyakit Keluarga : ibu dari pasien punya gejala darah tinggi. Kata anak dari pasien,
ibu dari pasien ada pembengkakan jantung. Tidak ada riwayat diabetes dalam keluarga.
Riwayat Pengobatan : saat pasien terjatuh, pasien dibawa ke tukang urut tradisional. Pasien
menggunakan krim pelemas otot dan minyak-balsam untuk meredakan rasa nyeri, tapi nyeri
tidak begitu berkurang. Pasien mendapat obat darah tinggi dan obat untuk menurunkan kadar
gula darah sewaktu di ruangan isolasi. Pasien dipasang infus saat di IGD. Pasien dipasang kateter
saat di ruang isolasi. Tapi karena pasien merasa sakit-ngilu, kateter dilepas dua hari sebelum
pasien operasi, sehingga pasien BAK melalui pispot. Lalu, kateter sudah terpasang lagi pada
pasien setelah operasi. Setelah pasien dinyatakan negatif covid, pasien dipindahkan ke ruang
bangsal pasien bedah di kamar nomor 14 lantai 5 PES. Operasi dilakukan hari jumat, tanggal 11
Juni 2021, pasien masuk IKO jam 3 sore, kembali ke ruangan jam 10 malam. Lama rawat pasien
di rumah sakit sudah dua minggu.
Riwayat Psikososial : pasien adalah pensiunan angkatan darat. Pasien segar-bugar dalam
aktivitas harian. Pasien aktif dalam lingkungan sosialnya. Pasien gemar olahraga, bola dan bulu
tangkis, tiap akhir pekan bersama kerabat dekatnya. Pasien tidak terlalu memperhatikan pola
makan dan pemilihan menu makanan. Pasien mengaku jarang sakit, sakit baru kali ini saja
karena cedera pada tulang keringnya.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 13 Juni 2021, jam 11.00 WIB, di kamar nomor
14, lantai lima, paviliun eri soedewo. Saat penulis mendatangi pasien Tn. A. S., pasien sudah
dalam keadaan post operasi. Keadaan pasien dapat dilihat pada gambar 1. Namun, Pemeriksaan
fisik ini dilakukan seolah-olah pasien baru pertama kali datang di gawat darurat.
Gambar.1
Primary Survey:
Airway : tidak ada cedera kepala dan leher. Tidak ada napas cuping hidung. Tidak ada suara
napas tambahan. Pasien kooperatif dan tidak merasa sesak saat melakukan wawancara medis.
Breathing : pasien datang ke IGD tidak memiliki keluhan sesak napas. Pergerakan dinding dada
pasien tampak simetris saat statis dan dinamis. Frekuensi napas pasien 21x/menit.
Circulation : tidak ada perdarahan pada bagian tubuh yang cedera, hanya memar dan sedikit
bengkak, saat pasien datang ke IGD, dan bagian 1/3 distal tungkai bawah tidak tampak pucat.
Pasien juga dinyatakan memiliki tekanan darah tinggi saat dilakukan pemeriksaan di IGD.
Keadaan saat ini luka pasien sudah dalam keadaan post operasi. Tekanan darah 130/80 mmhg.
Nadi 81x/menit. Akral hangat. CRT < 2 menit.
Disability : kesadaran composmentis. GCS 15 E4V5M6. Dari anamnesa, sepertiga distal tungkai
bawah kanan pasien saat di IGD tampak “mengaplek” atau lunglai. Kaki kanan tidak bisa
digerakkan secara aktif dan saat digerakan secara pasif, ruang gerak terbatas karena terasa nyeri.
Pasien mengatakan skala nyeri bernilai tiga.
Exposure : dari anamnesa, pasien mengaku tidak demam saat datang ke IGD. Bagian yang
cedera tidak berdarah, hanya terlihat sedikit memar. Tungkai kanan bawah pasien tidak dipasang
gips saat datang di gawat darurat. Keadaan tungkai bawah pasien saat pemeriksaan ini sudah
dalam keadaan post operasi.
Secondary Survey:
M (Medications currently used) : dari anamnesa saat pasien datang ke IGD, pasien mengaku
pergi ke urut tradisional untuk cederanya dan menggunakan krim pelemas otot dan minyak-
balsam.
L (Last meal) : dari anamnesa saat pasien datang ke IGD, pasien mengaku makan terakhir di
waktu makan siang sekitar jam 12.00 WIB (pasien datang ke IGD ± 15.00 WIB).
Status Generalis:
Kepala : bentuk dan ukuran normocephali, kulit kepala normal, rambut terdistribusi merata dan
tidak mudah dicabut.
Mata Kanan : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), diameter pupil 2 mm serta bentuk bulat
isokor, refleks cahaya (+), edema palpebra (-).
Mata Kiri : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), diameter pupil 2 mm serta bentuk bulat
isokor, refleks cahaya (+), edema palpebra (-).
Telinga : keduanya normotia, serumen (-/-), sekret (-/-), kedua liang telinga tampak lapang.
Hidung : napas cuping hidung (-/-), septum deviasi (-/-), sekret (-/-).
1. Paru
Inspeksi : bentuk dada normal, gerakan napas simetris dalam keadaan statis dan dimanis
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), fremitus kanan dan kiri.
2. Jantung
Perkusi : batas kanan bawah jantung ICS III-IV LPSD, batas kanan atas jantung ICS II LPSD,
batas kiri bawah jantung ICS V LMCS, batas kiri atas jantung ICS III LPSS.
Auskultasi : bunyi jantung 1 dan 2 murni reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen :
Palpasi : teraba supel, nyeri tekan (-). Perabaan hepar dan lien tidak dilakukan karena pasien
tidak berkenan menekuk tungkai kanannya.
Ekstremitas :
Inferior : regio cruris dextra sudah terpasang fiksasi eksterna (gips). Tungkai kiri (edem (-),
sianosis (-), akral hangat (+)).
Status Lokalis (Muskuloskeletal):
Pemeriksaan status lokalis untuk melihat penampakan bagian cedera pasien tidak dapat
dilakukan karena regio cruris dextra sudah tampak terpasang fiksasi eksterna (gips). Oleh karena
itu, gambaran mengenai cedera yang dialami pasien dan bagaimana pemeriksaan yang dijalani
oleh pasien didapat dari autoanamnesa dan alloanamnesa saat penulis datang untuk memeriksa
pasien.
Look : regio cruris dextra sudah terpasang fiksasi eksterna (gips). Dari anamnesa tentang saat
pasien datang pertama kali ke IGD, regio cruris dextra terlihat memar, kaki kanan terlihat
“mengaplek” atau lunglai, kaki kanan tidak tampak pucat. Regio cruris dextra tidak berdarah
Feel : Saat penulis memeriksa di ruangan pasien, penulis hanya dapat meraba sebagian dari
jemari kaki kanan pasien dan memeriksa CRTnya dengan hasil: akral hangat dan CRT < 2 menit.
Pasien merasakan sentuhan di jemari kakinya. Dari anamnesa, pasien mengaku merasakan nyeri
saat bagian cedera ditekan oleh pemeriksa.
Move : penulis tidak dapat melakukan pemeriksaan ruang gerak ekstremitas karena pasien tidak
berkenan dan regio cruris dextra sudah terpasang fiksasi eksterna. Oleh karena itu, gambaran
pemeriksaan ini didapat dari anamnesa, pasien merasa sakit saat sendi pergelangan kaki kanan
digerakan oleh pemeriksa sewaktu di IGD. Pasien tidak merasa sakit tungkai digerakan dengan
sumbu di lutut oleh pemeriksa. Pasien merasa sedikit ngilu saat diminta oleh pemeriksa untuk
menggerakan jemari kaki kanannya.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan penunjang ini didapat dari melihat, mencatat, dan memfoto rekam
medis pasien (status pasien) di nurse station lantai lima paviliun eri soedewo pada tanggal 13
Juni 2021, jam 12.00 WIB. Hasil pemeriksaan penunjang yang diambil berupa: hasil
pemeriksaan laboratorium klinik pasien saat pertama kali datang di gawat darurat pada tanggal
29 Mei 2021 dan 31 Mei 2021 dan pencitraan rontgen regio cruris dextra proyeksi AP dan
Lateral dari keadaan cedera dan post operasi.
Hasil
Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan
- 30/05/2021 05:02:5
Biomolekuler *Positif Negatif
SARS-CoV-2 terdeteksi
Covid-19 Real Time CT (Cycle Threshold) = 36.65
RT-PCR Spesimen Nasofaring
Hasil
Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan
- 29-05-2021 15:43:51
HEMATOLOGI
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 14.1 13.0 – 18.0 g/dl
Hematokrit 40 40 – 52 %
Eritrosit 4.8 4.3 - 6.0 juta/μL
Leukosit 14860* 4,800 – 10,800 /μL
Trombosit 312000 150,000 – 400,000 /μL
Hitung Jenis :
Basofil 0 0–1%
Eosinofil 0* 1–3%
Neutrofil 73* 50 – 70 %
Limfosit 21 21 – 40 %
Monosit 6 2–8%
MCV 85 80 – 96 fL
MCH 30 27 – 32 pg
MCHC 35 32 – 36 g/dL
RDW 12.90 11.5 – 14.5 %
KOAGULASI
WAKTU PROTROMBIN (PT)
Kontrol 11.3 detik
Pasien 10.3 9.3 – 11.8 detik
APTT
Kontrol 25.0 detik
Pasien 23.3* 23.4 – 31.5 detik
D-dimer 2260* < 500 ng/mL
KIMIA KLINIK
SGOT (AST) 15 < 35 U/L
SGPT (ALT) 21 < 40 U/L
Ureum 48 20 – 50 mg/dL
Kreatinin 0.82 0.5 – 1.5 mg/dL
eGFR 96.79 ≥ 90 : Normal atau
tinggi
60 – 89 : penurunan
ringan
45 – 59 : penurunan
ringan sampai sedang
30 – 44 : penurunan
sedang sampai berat
15 – 29 : penurunan
berat
< 15 : gagal ginjal
mL/menit/1.73m2
Glukosa Darah (Sewaktu) 313* 70 – 140 mg/dL
Natrium (Na) 138 135 – 147 mmol/L
Kalium (K) 4.4 3.5 – 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 100 95 – 105 mmol/L
CRP Kuantitatif 0.39 < 1 mg/dL
Hasil
Jenis Pemeriksaan 31-05-2021 Nilai Rujukan
31-05-2021 07:48:18
07:12:21
KIMIA KLINIK
Kalsium (Ca) 7.9* 8.6 – 10.3 mg/dL
Magnesium (Mg) 1.90 1.8 – 3.0 mg/dL
Glukosa Darah (Puasa) 124* 70 – 100 mg/dL
Glukosa Darah (2 jam PP) 160* 70 – 140 mg/dL
HbA1C 9.3 Normal : < 5.7
Prediabetes : 5.7 – 6.4 %
Gambar 2.
Gambar 3.
1. Tampak diskontinuitas diafisis komplit distal tibia dan fibula dengan pergeseran fragmen
fraktur ke dorsosuperior membentuk angulasi disertai pembengkakan jaringan lunak
sekitarnya.
2. Densitas tulang dan trabekulasi baik. Celah sendi baik.
3. Tulang-tulang lainnya intak.
Tanggal pemeriksaan : 12-06-2021
Gambar 4.
1. Tampak diafisis distal tulang tibia dan fibula sudah terpasang fiksasi interna dengan
metode plate and screw yang berkedudukan baik, tidak tampak gambaran loosening,
tidak tampak jelas garis fraktur.
2. Tampak regio cruris sudah terpasang gips bidai setinggi regio cruris proksimal sampai
regio ankle dextra.
E. DIAGNOSIS KERJA
1. Diagnosis Klinis : Fraktur tertutup di sepertiga distal regio tibia dan fibula dextra.
2. Diagnosis Radiologis : Fraktur komplit diafisis distal tibia fibula cum axis cum
contractionum dengan pembengkakan jaringan lunak di sekitarnya.
F. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pada kasus ini adalah Sindroma Kompartemen karena pasien patah
tulang tibia fibula kanan satu hari sebelum masuk rumah sakit dan mengalami pembengkakan
jaringan sesuai dengan pemeriksaan penunjang radiologi (penulis tidak dapat menilai tampilan
pasien secara langsung saat pasien pertama kali datang ke IGD).
G. PENATALAKSANAAN
1. Heplock
2. Omeprazole 40 mg IV
3. Ketorolac 30 mg IV
4. Cek lab hematologi, koagulasi, dan kimia klinik.
5. Cek swab pcr dan antigen covid-19
6. Foto rontgen cruris dextra AP dan lateral; pedis dextra oblique
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENDAHULUAN
Trauma merupakan suatu cedera atau rudapaksa yang dapat menyederai fisik maupun
psikis. Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa vulnus (luka), perdarahan, memar
(kontusio), regangan atau robekan parsial (sprain), putus atau robekan (avulsi atau rupture),
gangguan pembuluh darah dan gangguan saraf (Rastu et al., 2015).
Insiden fraktur secara keseluruhan adalah 11,3 dalam 1000 per tahun. Insiden fraktur
pada laki-laki adalah 11.67 dalam 1000 per tahun, sedangkan pada perempuan 10.65 dalam 1000
per tahun. Insiden di beberapa belahan dunia akan berbeda. Hal ini mungkin disebabkan salah
satunya karena adanya perbedaan status sosioekonomi dan metodologi yang digunakan di area
penelitian (Rastu et al., 2015).
Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi (mengenali), reduksi
(mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan rehabilitasi. Supaya penangannya baik,
perlu diketahui kerusakan apa saja yang terjadi, baik pada jaringan lunaknya maupun tulangnya.
Mekanisme trauma juga harus diketahui, apakah akibat trauma tumpul atau tajam, langsung atau
tak langsung (Rastu et al., 2015).
Reduksi berarti mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi semula (reposisi).
Dengan kembali ke bentuk semula, diharapkan bagian yang sakit dapat berfungsi kembali
dengan maksimal. Retaining adalah tindakan mempertahankan hasil reposisi dengan fiksasi
(imobilisasi). Hal ini akan menghilangkan spasme otot pada ekstremitas yang sakit sehingga
terasa lebih nyaman dan sembuh lebih cepat. Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan
anggota gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali (Rastu et al., 2015).
B. ANATOMI
Tulang Tibia
Tibia merupakan tulang medial tungkai bawah yang besar dan berfungsi menyanggah
berat badan. Di proksimal, tibia bersendi dengan condylus femoris dan caput fibulae dan di distal
dengan talus dan ujung distal fibula. Tibia mempunyai ujung atas yang melebar dan ujung bawah
yang lebih kecil, serta sebuah corpus (Snell, 2007).
Pada ujung atas terdapat condylus lateralis dan medialis (terkadang disebut tibial
plateau lateral dan medial), yang bersendi dengan condylus lateralis dan medialis femoris, dan
dipisahkan oleh meniscus lateralis dan medialis. Permukaan atas facies articularis condylus
tibiae terbagi atas area intercondylaris anterior dan posterior; di antara kedua area ini terdapat
eminentia intercondylaris (Snell, 2007).
Pada aspek lateral condylus lateralis terdapat facies articularis fibularis yang kecil dan
melingkar, dan bersendi dengan caput fibulae. Pada aspek posterior condylus medialis terdapat
insersi musculus semimembranosus (Snell, 2007).
Corpus tibiae berbentuk segitiga pada potongan melintangnya, dan mempunyai tiga
margo dan tiga fascies. Margo anterior dan medial, serta facies medialis di antaranya teletak
subkutan. Margo anterior menonjol dan membentuk tulang kering. Pada pertemuan antara margo
anterior dan ujung atas tibia terdapat tuberositas, yang merupakan tempat lekat ligamentum
patellae. Margo anterior di bawah membulat, dan melanjutkan diri sebagai malleolus medialis.
Margo lateral atau margo interosseus memberikan tempat perlekatan untuk membrana interossea
(Snell, 2007).
Permukaan posterior corpus tibiae mempunyai linea obliqua, yang disebut linea musculi
solei, untuk tempat lekatnya musculus soleus (Snell, 2007).
Ujung bawah tibia sedikit melebar dan pada aspek inferiornya terdapat permukaan sendi
berbentuk pelana untuk talus. Ujung bawah memanjang ke bawah dan medial untuk membentuk
malleolus medialis. Facies lateralis malleolus medialis bersendi dengan talus. Pada permukaan
lateral ujung bawah tibia terdapat lekukan yang lebar dan kasar untuk bersendi dengan fibula
(Snell, 2007).
Tulang Fibula
Fibula adalah tulang lateral tungkai bawah yang ramping. Tulang ini tidak ikut bersendi
pada articulatio genus, tetapi di bawah tulang ini membentuk malleolus lateralis sendi
pergelangan kaki. Tulang ini tidak berperan dalam menyalurkan berat badan, tetapi merupakan
tempat melekat otot-otot. Fibula mempunyai ujung atas yang melebar, corpus, dan ujung bawah
(Snell, 2007).
Ujung atas, atau caput fibulae, ditutupi oleh processus styloideus. Bagian ini
mempunyai facies articularis untuk bersendi dengan condylus lateralis tibiae (Snell, 2007).
Corpus fibulae panjang dan ramping, ciri khasnya adalah mempunyai empat margo dan
empat facies. Margo medialis atau margo interossea memberikan tempat perlekatan untuk
membrana interossea (Snell, 2007).
Ujung bawah fibula membentuk malleolus lateralis yang berbentuk segitiga dan terletak
subkutan. Pada facies medialis malleolus lateralis terdapat facies articularis yang berbentuk
segitiga untuk bersendi dengan aspek lateral os talus. Di bawah dan belakang facies articularis
terdapat lekukan yang disebut fossa malleolaris (Snell, 2007).
Arteria tibialis anterior merupakan cabang terminal arteria poplitea yang lebih kecil.
Arteria dicabangkan setinggi pinggir bawah musculus popliteus dan berjalan ke depan ke dalam
ruang fascia anterior tungkai bawah melalui lubang pada bagian atas membrana interossea.
Pembuluh ini berjalan ke bawah pada facies anterior membrana interossea, bersama dengan
nervus peroneus profundus. Pada bagian atas perjalanannya, arteri ini terletak dalam di bawah
otot-otot di dalam ruang. Pada bagian bawah perjalanannya arteri ini terletak superficial di depan
ujung bawah tibia. Setelah berjalan di belakang retinaculum musculorum extensorum superius,
tendo musculus extensor hallucis longus terdapat pada sisi medialnya dan nervus peroneus
profundus dan tendo musculus extensor digitorum longus pada sisi lateralnya. Pada tempat inilah
pulsasinya dapat dengan mudah diraba pada orang hidup. Di depan sendi pergelangan kaki, arteri
ini menjadi arteria dorsalis pedis (Snell, 2007).
C. REMODELLING TULANG
D. DEFINISI FRAKTUR
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis,
baik yang bersifat total maupun yang parsial (Rasjad, 2012).
Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, kita harus
mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah.
Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan tekanan memuntir
(shearing). Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama
tekanan membengkok, memutar, dan tarikan (Rasjad, 2012).
Klasifikasi etiologis:
1. Fraktur traumatik terjadi karena trauma tiba-tiba.
2. Fraktur patologis terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis
di dalam tulang.
3. Fraktur stres terjadi karena adanya trauma yang terus-menerus pada suatu tempat tertentu.
Klasifikasi klinis:
1. Fraktur tertutup (simple fracture) adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan
dengan dunia luar.
2. Fraktur terbuka (compound fracture) adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan
dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari
dalam) atau from without (dari luar).
3. Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture) adalah fraktur yang disertai dengan
komplikasi misalnya malunion, delayed union, nonunion, dan infeksi tulang.
Klasifikasi radiologis:
1. Lokalisasi
a. Diafisial
b. Metafisial
c. Intra-artikuler
d. Fraktur dengan dislokasi
2. Konfigurasi
a. Fraktur transversal
b. Fraktur oblik
c. Fraktur spiral
d. Frakur Z
e. Fraktur segmental
f. Fraktur komunitif, fraktur lebih dari dua fragmen.
g. Fraktur baji biasanya pada vertebra karena trauma kompresi.
h. Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendon misalnya fraktur
epikondilus humeri, fraktur trokanter mayor, fraktur patela.
i. Fraktur depresi, karena trauma langsung misalnya pada tulang tengkorak.
j. Fraktur impaksi.
k. Fraktur pecah (burst), terjadi fragmen kecil yang terpisah misalnya pada fraktur
vertebra, patela, talus, dan kalkaneus.
l. Fraktur epifisis.
3. Menurut ekstensi
a. Fraktur total
b. Fraktur tidak total (fracture crack)
c. Fraktur buckle atau torus
d. Fraktur garis rambut
e. Fraktur green stick
Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik fraktur), baik yang hebat
maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak.
Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah
trauma dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain. Trauma dapat terjadi karena kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau jatuh di kamar mandi pada orang tua, penganiayaan,
tertimpa benda berat, kecelakaan pada pekerja oleh karena mesin atau karena trauma olahraga.
Penderita biasanya datang karena adanya nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak,
deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain (Rasjad, 2012).
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya (Rasjad, 2012):
1. Syok, anemia, atau perdarahan.
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-
organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen.
3. Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)
a. Bandingkan dengan bagian yang sehat.
b. Perhatikan posisi anggota gerak.
c. Keadaan umum penderita secara keseluruhan.
d. Ekspresi wajah karena nyeri.
e. Lidah kering atau basah.
f. Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan.
g. Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur
tertutup atau terbuka.
h. Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari.
i. Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi, dan kependekan.
j. Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain.
k. Perhatikan kondisi mental penderita.
l. Keadaan vaskularisasi.
2. Palpasi (Feel) dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat
nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan (Rasjad, 2012):
a. Temperatur setempat yang meningkat.
b. Nyeri tekan: nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusahan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang.
c. Krepitasi: dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati.
d. Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal
daerah trauma, temperatur kulit.
e. Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai.
3. Pergerakan (Move) dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan
pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada penderita
dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan
tidak boleh dilakukan secara kasar, di samping itu juga dapat menyebabkan kerusakan
pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf (Rasjad, 2012).
4. Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris serta
gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis, atau neurotmesis. Kelainan
saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah
asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan
selanjutnya (Rasjad, 2012).
5. Pemeriksaan radiologis
Foto Polos
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur. Walaupun
demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi
fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka sebaiknya
kita mempergunakan bidai yang bersifat rediolusen untuk imobilisasi sementara sebelum
dilakukan pemeriksaan radiologis (Rasjad, 2012).
Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi perlu dinyatakan
apakah fraktur terbuka/tertutup, tulang mana yang terkena dan lokalisasinya, apakah sendi juga
mengalami fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri. Konfigurasi fraktur dapat menentukan
prognosis serta waktu penyembuhan fraktur misalnya penyembuhan fraktur transversal lebih
lambat dari fraktur oblik karena kontak yang kurang (Rasjad, 2012).
Patah batang tibia dan fibula yang lazim disebut patah tulang kruris merupakan fraktur
yang sering terjadi dibanding fraktur batang tulang panjang lainnya. Periosteum yang melapisi
tibia agak tipis terutama pada daerah depan yang hanya dilapisi kulit, sehingga tulang ini mudah
patah dan biasanya fragmen frakturnya bergeser. Karena berada langsung di bawah kulit sering
ditemukan juga fraktur terbuka (Sjamsuhidajat, 2010).
Cedera terjadi akibat gaya angulasi yang menyebabkan garis fraktur transversal atau
miring, kadang dengan fragmen kominutif. Trauma dengan gaya rotasi dapat terjadi pada
olahragawan seperti pemain sepak bola. Gambaran klinisnya berupa pembengkakan dan, karena
kompartemen otot merupakan sistem yang tertutup, dapat terjadi sindrom kompartemen dengan
gangguan vaskularisasi kaki (Sjamsuhidajat, 2010).
Gambaran radiologis harus memenuhi persyaratan foto Rontgen untuk menghindari
kesalahan diagnosis. Fraktur harus dibidai sebelum pemeriksaan radiologis guna mengurangi
rasa nyeri dan menghindari fraktur yang terututp menjadi fraktur terbuka dan kerusakan jaringan
yang berlebihan (Sjamsuhidajat, 2010).
Jika fraktur terjadi pada tibia sekaligus fibula, yang diperhatikan adalah reposisi tibia.
Angulasi dan rotasi yang paling ringan sekalipun dapat mudah terlihat dan dikoreksi.
Pemendekan hingga satu sentimeter tidak menjadi masalah karena akan dikompensasi setelah
pasien mulai berjalan, namun sebaiknya pemendekan dihindari. Fraktur tertutup tibia dan fibula
dengan garis fraktur transversal atau miring yang stabil, cukup diimobilisasi dengan gips dari jari
kaki sampai puncak paha dengan posisi lutut faal, yaitu fleksi ringan, untuk mengatasi rotasi
pada daerah fragmen. Penyambungan patah tulang diafisis biasanya memerlukan waktu 3-4
bulan. Angulasi dalam gips biasanya dapat dikoreksi dengan membentuk insisi baji pada gips.
Jika fraktur cenderung tidak berdislokasi, tungkai dibolehkan untuk menopang berat badan dan
berjalan. Makin cepat patah tulang dibebani, makin cepat penyembuhan. Gips tidak boleh dibuka
sebelum penderita dapat jalan tanpa nyeri (Sjamsuhidajat, 2010).
Fraktur kruris yang garis frakturnya miring dan membentuk spiral merupakan fraktur
yang tidak stabil karena cenderung membengkok dan memendek sesudah dilakukan reposisi
tertutup, sehingga sebaiknya ditangani dengan ORIF atau OREF. Fraktur dengan dislokasi
fragmen dan tidak stabil membutuhkan traksi kalkaneus kontinu. Setelah terbentuk kalus
fibrosis, dipasang gips sepanjang tungkai dari jari hingga paha (Sjamsuhidajat, 2010).
Komplikasi fraktur tibia dan fibula adalah cedera pembuluh darah, cedera saraf terutama
n.peroneus, pembengkakan yang menetap, delayed union, pseudoartrosis, dan kekakuan sendi
pergelangan kaki (Sjamsuhidajat, 2010).
Sindrom kompartemen sering ditemukan pada patah tulang tungkai bawah tahap dini.
Tanda dan gejala lima P harus diperhatikan pada hari pertama pascacedera atau pascabedah.
Selain itu didapatkan peninggian tekanan intrakompartemen yang dapat diukur, gangguan
sensibilitas dua titik, kontraktur jari dalam posisi fleksi karena kontraktur otot fleksor jari.
Fasiotomi darurat ketiga kompartemen tungkai bawah merupakan harus dikerjakan segera
setelah diagnosis ditegakkan (Sjamsuhidajat, 2010).
Fraktur Tibia
Fraktur tulang tibia tunggal umumnya disebabkan cedera langsung. Diagnosis dan
penanganannya sama dengan fraktur kruris. Kadang terjadi delayed union karena fibula yang
utuh menghalangi kompresi yang cukup pada sumbu tibia. Pada keadaan ini, biasanya dianjurkan
fiksasi interna. Sewaktu operasi, fibula digergaji miring sehingga dapat terjadi pertemuan kedua
ujung patah tulang tibia yang cukup memberikan tekanan sumbu (Sjamsuhidajat, 2010).
Fraktur Fibula
Patah tulang diafisis fibula tunggal biasanya disebabkan oleh trauma langsung seperti
sewaktu pertandingan sepak bola. Penanganannya cukup dengan analgesik. Umumnya tidak
dibutuhkan reposisi dan imobilisasi. Istirahat dengan tungkai ditinggikan sampai hematom
diresorbsi dan latihan berjalan akan menghasilkan penyembuhan tanpa gangguan. Penderita
biasanya dapat menopang berat badan dalam satu minggu walaupun masih ada nyeri
(Sjamsuhidajat, 2010).
I. KOMPLIKASI FRAKTUR
Komplikasi patah tulang dibagi menjadi komplikasi segera, komplikasi dini, dan
komplikasi lambat. Komplikasi segera terjadi pada saat terjadinya patah tulang atau segera
setelahnya; komplikasi dini terjadi dalam beberapa hari setelah kejadian; dan komplikasi lambat
terjadi lama setelah patah tulang. Ketiganya dibagi lagi masing-masing menjadi komplikasi lokal
dan umum (Sjamsuhidajat, 2010).
Komplikasi segera dan setempat merupakan kerusakan yang langsung disebabkan oleh
trauma, selain patah tulang atau dislokasi. Trauma kulit dapat berupa kontusio, abrasi, laserasi,
atau luka tembus. Kulit yang terkontusi walaupun masih kelihatan utuh, mudah sekali mengalami
infeksi dan gangguan perdarahan. Hal itu merupakan malapetaka karena dapat menjadi patah
tulang terbuka disertai osteomielitis. Perawatan kontusio kulit tidak boleh menimbulkan tekanan
atau tegangan. Balutan harus longgar dan pada pemasangan gips harus diberikan bantalan yang
pas (Sjamsuhidajat, 2010).
Sindrom kompartemen harus segera ditangani dengan pembebasan pembuluh darah
dengan reposisi luksasi atau fraktur atau dekompresi kompartemen dengan fasiotomi. Rusaknya
pembuluh darah akibat trauma juga harus diatasi, bila perlu dengan operasi (Sjamsuhidajat,
2010).
Komplikasi lama meliputi kegagalan pertautan (non-union), salah taut (malunion),
terlambat bertaut (delayed union), ankilosis, kontraktur, miositis osifikans, dan berbagai penyakit
akibat tirah baring lama karena gangguan mobilisasi. Perlu diingat dapat juga terjadi gangguan
pertumbuhan pada fraktur yang mencederai lempeng epifisis. Patah tulang rekuren dapat terjadi
akibat pembebanan terlalu dini. Pada fiksasi interna, pembebasan yang berlebihan harus
dihindari selama beberapa minggu (Sjamsuhidajat, 2010).
Dapat terjadi penulangan otot (miositis osifikans) yang sebenarnya merupakan kalsifikasi
hematom yang disertai fibrosis – walaupun jarang ditemukan. Bila kelainan ini tersebar luas di
otot, yang jarang didapatkan, mungkin timbul keluhan dan gangguan (Sjamsuhidajat, 2010).
Penyulit yang berat sekali ialah distrofi refleks simpatik yang biasanya ditemukan pada
ekstremitas atas, tetapi juga didapatkan pada tungkai. Proses yang juga disebut sindrom baru-
tangan atau distrofi simpatik paling sering ditemukan setelah patah tulang radius distal, tetapi
juga didapatkan setelah cedera lain di lengan bawah atau pergelangan tangan dengan atau tanpa
patah tulang. Sindrom ini ditemukan juga di sekitar tungkai bawah, pergelangan kaki, dan kaki
setelah cedera tungkai bawah. Tanda khasnya ialah nyeri hebat kontinu, nyeri tekan difus,
bengkak, hiperemia, indurasi tangan, dan kekakuan mulai dari jari yang akhirnya dapat
berkembang menjadi hipertrofi otot, dan kontraktur dengan kekakuan takberpulih (irreversibel).
Nyeri, bengkak, dan kekakuan yang berlebihan dan menetap merupakan trias dasar distrofi
refleks ini. Selain itu, terdapat kemerahan atau kebiruan tangan, disertai panas dan kalinan
sudomotorik serta atrofi otot. Penyebab proses distrofi ini tidak diketahui. Gejala dan tandanya
disebabkan oleh hiperaktivitas sistem saraf simpatik. Pengelolaan kelainan ini sukar. Penderita
tidak usah memaksakan diri untuk menggerakkan persendian yang nyeri. Jika dengan tindakan
simtomatik keluhan tidak dapat dikurangi, dapat dilakukan simpatektomi. Bimbingan fisioterapi
dapat menghasilkan perbaikan, asal gerakan tidak dipaksakan (Sjamsuhidajat, 2010).
J. PENYEMBUHAN FRAKTUR
Penyembuhan fraktur merupakan suatu proses biologis yang menakjubkan. Tidak seperti
jaringan lainnya, tulang yang mengalami fraktur dapat sembuh tanpa jaringan parut. Pengertian
tentang reaksi tulang yang hidup dan periosteum pada penyembuhan fraktur merupakan dasar
untuk mengobati fragmen fraktur. Proses penyembuhan pada fraktur mulai terjadi segera setelah
tulang mengalami kerusakan apabila lingkungan untuk penyembuhan memadai sampai terjadi
konsolidasi. Faktor mekanis yang penting seperti imobilisasi fragmen tulang secara fisik sangan
penting dalam penyembuhan, selain faktor biologis yang juga merupakan suatu faktor yang
sangat esensial dalam penyembuhan fraktur. Proses penyembuhan fraktur berbeda pada tulang
kortikal pada tulang panjang serta tulang kanselosa pada metafisis tulang panjang atau tulang-
tulang pendek, sehingga kedua jenis penyembuhan fraktur ini harus dibedakan.
5. Fase Remodelling
Bila union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian yang menyerupai
bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase remodelling ini,
perlahan-lahan terjadi resorbsi secara osteoklastik dan tetap terjadi proses osteblastik
pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan menghilang. Kalus intermediet
berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian
dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.
Metode pengobatan fraktur tertutup pada umumnya dibagi dalam (Rasjad, 2012):
1. Konservatif.
2. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna atau fiksasi perkutaneus dengan K-wire.
3. Reduksi terbuka dan fiksasi interna atau fiksasi eksterna tulang.
4. Eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan protesis.
Konservatif
1. Proteksi semata-mata (tanpa reduksi atau imobilisasi)
Proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut misalnya dengan cara
memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak
bawah. Indikasinya adalah terutama pada fraktur-fraktur tidak bergeser, fraktur iga yang
stabil, falangs dan metakarpal, atau klavikula pada anak. Indikasi lainnya yaitu fraktur
kompresi tulang belakang, impaksi fraktur pada humerus proksimal serta fraktur yang
sudah mengalami union secara klinis, tetapi belum mencapai konsolidasi radiologik.
b. Traksi Menetap
Traksi menetap juga menggunakan leukoplas yang melekat pada bidai Thomas
atau bidai Brown Bohler yang difiksasi pada salah satu bagian dari bidai Thomas.
Biasanya dilakukan pada fraktur femur yang tidak bergeser.
c. Traksi Tulang
Traksi tulang dengan kawat Kirschner (K-wire) dan pin Steinmann yang
dimasukkan ke dalam tulang dan juga dilakukan traksi dengan mempergunakan
berat badan dengan bantuan bidai Thomas dan bidai Brown Bohler. Tempat untuk
memasukkan pin, yaitu pada bagian proksimal tibia di bawah tuberositas tibia,
bagian distal tibia, trokanter mayor, bagian distal femur pada kondilus femur,
kalkaneus (jarang dilakukan), prosesus olekranon, bagian distal metakarpal dan
tengkorak.
Reduksi Tertutup dengan Fiksasi Eksterna atau Fiksasi Perkutaneus dengan K-wire
Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang bersifat tidak stabil, maka reduksi
dapat dipertahankan dengan memasukkan K-wire perkutaneus misalnya pada fraktur
suprakondiler humeri pada anak-anak atau pada fraktur Colles. Juga dapat dilakukan pada fraktur
leher femur dan pertrokanter dengan memasukkan batang metal, serta pada fraktur batang femur
dengan teknik tertutup dan hanya membuat lubang kecil pada daerah proksimal femur. Teknik
ini biasanya memerlukan bantuan alat rontgen image intensifier (Garm).
DAFTAR PUSTAKA
Rasjad C (2012) Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Edisi Ketiga, Bintang Lamumpatue, Makassar,
pp. 8-365
Snell R (2007) Clinical Anatomy By Systems, Lippincott Wiliams & Wilkins/Wolters Kluwer
Health Inc., USA, pp. 242-333
Sjamsuhidajat R (2010) Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong, Edisi Ketiga, EGC,
Jakarta, pp. 1045-1076