Anda di halaman 1dari 36

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Diskusi Kasus

Fakultas Kedokteran September 2017


Universitas Halu oleo

SINDROM NEFROTIK

Oleh :

Muhammad Afdhal Ruslan, S.Ked

Pembimbing :

dr. Jumhari Baco, M.Sc, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2017
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AR
Tanggal Lahir : Kendari, 05 November 2015
Umur :1 Tahun 10 Bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
BB : 15 kg
BB Koreksi 20% : 12 kg
Agama : Islam
Alamat : Jl. Kemaraya
No. RM : 50 93 88
B. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan Ibu pasien
Keluhan utama : Bengkak
Anamnesis terpimpin :

Pasien masuk dengan keluhan bengkak yang dialami sejak ± 2 hari yang
lalu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak timbul awalnya pada kelopak mata
lalu menyeluruh ke bagian tubuh terkecuali daerah genital, pasien mengeluh
kencing sedikit, aktivitas yang menurun, lemas, nafsu makan menurun. Juga
pasien tidak merasakan sesak, dan tidak demam. Keluhan lain : batuk (-)
kering, flu (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut (-). BAB biasa, frekuensi
normal, tidak encer. BAK sedikit, pekat, kecoklatan.
Riwayat keluhan bengkak yang sama sebelumnya tidak ada. Tidak ada
riwayat alergi makanan sebelumnya, serta tidak ada riwayat bengkak pada
keluarga.
a. Riwayat imunisasi : Typhoid (-) Hep B (lengkap), DPT (lengkap),
Campak (lengkap), dan BCG (lengkap).
b. Riwayat kelahiran : lahir cukup bulan ditolong oleh bidan, partus
pervaginam.
C. PEMERIKSAAN FISIK
KU : Sakit sedang/Composmentis
Pucat : (-) Sianosis : (-) Tonus : Baik
Ikterus : (-) Turgor : Baik
Antropometri : BB : 15 Kg │ TB : 83 cm │LILA : 19 cm │LK : 48 cm
│LD : 56 cm │LP : 53 cm
Tanda Vital
TD : 100/70 mmHg P : 40x/menit
N : 136x/menit S : 36,40C
Kepala : Normocephal
Muka : simetris kanan dan kiri
Rambut : berwarna hitam, lurus, tidak mudah dicabut
Ubun-ubun besar : menutup, membonjol (-)
Telinga :Otorhea (-)
Mata : Edema palpebra (+)│ Konjungtiva anemis (-) │Sklera ikterik (-)
Hidung : Rinorhea (-) │cuping hidung (-)│epistaksis (-)
Bibir : Sianosis(-), kering (-)
Lidah : Kotor (-) | Tremor (-) | Hiperemis (-)
Sel Mulut : Stomatitis (-)
Leher : Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)
Bentuk dada : Simetris Kiri dan Kanan
Paru :
PP : simetris kiri dan kanan │ retraksi subcostal (-)
PR : Massa (-) | Nyeri Tekan (-)
PK : Sonor kedua lapangan paru
PD : Vesikuler +/+ │Rhonki -/- │ Wheezing -/-
Jantung
PP : Ictus cordis tidak tampak
PR : Ictus cordis tidak teraba
PK : Pekak
PD : BJ I/II murni regular, bunyi tambahan (-)
Batas kiri : ICS IV Linea midclavicularis (S)
Batas kanan : ICS V Linea parasternalis (D)
Irama : BJ I/II murni regular
Souffle: -
Thrill : -
Abdomen
PP : cembung, ikut gerak nafas
PD : peristaltik (+) normal
PK : Shifting Dulnes (+)
PR : Asites (+), Shifting dullness (+), Nyeri tekan (-)

Kulit : kering (-)

Gigi :221 122 Caries: (-)

221 122

Tenggorok :Hiperemis (-)

Tonsil : T1/T1, Hiperemis (-)

Limpa : Tidak teraba

Hati : Tidak teraba

Konsistensi : (-) Pinggir : (-)

Permukaan : (-) Nyeri tekan : (-)

KelenjarLimfe : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Alat kelamin : edema (-)

AnggotaGerak : edema pretibial (+)

Tasbeh : (-)

Col. Vertebralis : spondilitis (-) skoliosis (-)

KPR : +/+

APR : +/+
Refleks Patologis : Babinski (-)

Kaku kuduk : (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. DARAH RUTIN
Parameter Hasil Nilai Rujukan
WBC 9.89 x 103/uL 4.00 – 10.0
RBC 6.01 x 106/uL 4.00 – 6.00
HGB 12.7 g/Dl 12.0 – 16.00
MCV 65 fL 80.0 – 97.0
MCH 21 pg 26.5 – 33.5
MCHC 32 g/dL 31.5 – 35.0
NEUT 48 x 103/uL 52.0 – 75.0

2. KIMIA DARAH
PARAMETER NILAI RUJUKAN
Albumin 1.9 3.5 – 5.2 g/dl

3. URINE LENGKAP
PARAMETER NILAI RUJUKAN
A. Makro
Warna Coklat Kuning muda
Jernih/Keruh Jernih jernih
B. Kimia
Protein Positif 2 ++ Negatif
C. Sedimen
Erytrosit +,+,+ Negatif

E. DIAGNOSA KERJA

Sindrom Nefrotik

F. ANJURAN PEMERIKSAAN : USG Abdomen

G. RESUME

An AR 1 tahun 10 bulan dengan keluhan bengkak yang dialami sejak ± 2


hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak timbul awalnya pada
kelopak mata lalu menyeluruh ke bagian tubuh terkecuali daerah genital,
kencing sedikit, aktivitas yang menurun, lemas, nafsu makan menurun. Juga
pasien tidak merasakan sesak, dan tidak demam. Keluhan lain : batuk (-)
kering, flu (-), mual (-), muntah (-), nyeri perut (-). BAB biasa, frekuensi
normal, tidak encer. BAK sedikit, pekat, kecoklatan.
Riwayat keluhan bengkak yang sama sebelumnya tidak ada. Tidak ada
riwayat alergi makanan sebelumnya, serta tidak ada riwayat bengkak pada
keluarga. Riwayat imunisasi : Typhoid (-) Hep B (lengkap), DPT (lengkap),
Campak (lengkap), dan BCG (lengkap). Riwayat kelahiran : lahir cukup bulan
ditolong oleh bidan, partus pervaginam.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan sakit sedang dengan tanda-tanda
vital TD: 100/0 mmHg, P : 40x/menit, N : 136x/menit, S : 36,40C. Tampak
edema palpebra dan pada pemeriksaan abdomen didapatkan ; PP : cembung,
ikut gerak nafas, PD : peristaltik (+) normal, PK : Shifting Dulnes (+), PR :
Nyeri tekan epigastrium(-),organomegali (-). Pemeriksaan alat kelamin
didapatkan edema labia (-) dan pemeriksaan anggota gerak didapatkan edema
pretibial. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan albumin 1,9 g/dl, protein 2+
+, erythrocyte (+,+,+).

H. PENATALAKSANAAN
R/ :
- Prednison 2 mg /kgBB/Hari
- Furosemid 1-2 mg/kgBB/Hari
- Diet rendah garam
- Zinc 1x1

I. FOLLOW UP

Tanggal Keluhan Instruksi Dokter


23/08/2017 S: Bengkak mata (+), bengkak  Prednison 2 mg
perut (+),bengkak kedua kaki /kgBB/Hari
O:  Furosemid 1-2
TD : 90/60 mmHg mg/kgBB/Hari
N : 132x/m  Zinc 1x1
P : 36x/m  Diet rendah garam
S : 36,5°C
Muka : edema palpebra
Pulmo : vesikuer, ronkhi -/-.
Wh -/-
Abdomen : shifting dulnes (+)
Ekstremitas : edema pitting
pretibial
A: Sindrom nefrotik
24/08/2017 mata (+), bengkak perut  Prednison 2 mg
(+),bengkak kedua kaki /kgBB/Hari
O:  Furosemid 1-2
TD : 90/60 mmHg mg/kgBB/Hari
N : 130x/m Zinc 1x1
P : 28x/m Diet rendah garam
S : 37,6°C
Muka : edema palpebra
Pulmo : vesikuer, ronkhi -/-.
Wh -/-
Abdomen : shifting dulnes (+)
Ekstremitas : edema pitting
pretibial
A: Sindrom nefrotik
25/08/2017 S: Bengkak mata menurun,  Prednison 2 mg
bengkak perut /kgBB/Hari
menurun,bengkak kedua kaki  Furosemid 1-2
menurun mg/kgBB/Hari
O:  Zinc 1x1
TD : 100/70 mmHg Diet rendah garam
N : 130x/m
P : 28x/m
S : 36,8°C
Muka : edema palpebra
Pulmo : vesikuer, ronkhi -/-.
Wh -/-
Abdomen : shifting dulnes (+)
Ekstremitas : edema pitting
pretibial
A: Sindrom nefrotik

BAB II

ANALISA KASUS

Kasus ini didiagnosis sebagai Sindrom Nefrotik. Sindrom nefrotik adalah


keadaan klinis dengan gejala proteinuria massif, hipoalbuminemia, edema dan
hiperkolesterolemia. Kadang-kadang gejala disertai dengan hematuria,
hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Angka kejadian bervariasi antara 2-7
per 100.000 anak dan lebih banyak pada anak lelaki daripada perempuan
dengan perbandingan 2:1.
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder
mengikuti penyakit sistemik antara lain lupus eritematosus sistemik (LES),
purpura Henoch Schonlein, dan lain-lain. Pada umumnya sebagian besar
(±80%) sindrom nefrotik primer member respon yang baik terhadap
pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% diantaranya akan relaps
berulang dan sekitar 10% tidak member respon lagi dengan pengobatan steroid.
Pasien SN biasanya datang dengan keluhan edema palpebra atau pretibia.
Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum/labia;
terkadang ditemukan hipertensi.. Kadang-kadang disertai oligouria dan gejala
infeksi, nafsu makan berkurang dan diare. Bila diserta sakit perut hati-hati
terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis. Pada pemeriksaan fisik harus
disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut, dan tekanan
darah. Dalam laporan ISKDC (International study of kidney diseases in
children), pada SNKM ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15 –
20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan
ureum darah yang bersifat sementara.
Beberapa definisi/batasan yang dipakai pada SN adalah :
 Remisi : proteinuria negative atau trace (proteinuria < 4mg/m2
LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
 Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
 Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau kurang dari 4 kali pertahun pengamatan
 Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan
pertama setelah respons awal atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun
 Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini terjadi 2 kali
berturut-turut
 Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednisone dosis
penuh (full dose) 2mg/kgBB/hari selama 4 minggu
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin
2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin 24 jam atau raso protein/kreatinin pada urin
pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
3.1 darah tepi lengkap (Hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
3.2 kadar albumin dan kolesterol plasma
3.3 kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik
atau dengan rumus Schwarzt
3.4 kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA
Tatalaksana SN, pada pertamakali sebaiknya dirawat di RS dengan tujuan
untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan
edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum
pengobatan steroid dimulai dilakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif
diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan tuberculosis
diberi obat anti tuberculosis (OAT). Perawatan pada SN relaps hanya
dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi
muntah, infeksi berat, gagal ginjal atau syok. Tirah baring tidak perlu
dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema
tidak berat anak boleh sekolah.
Medikamentosa
Pengobatan dengan prednisone diberikan denga dosis awal 60 mg/m 2/hari
atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80mg/hari) dalam dosis terbagi tiga, selama 4
minggu, dilanjutkan dengan 2/3 dosis awal (40mg/m 2/hari, maksimum 60
mg/hari) dosis tunggal pagi selang sehari (dosis alternating) selama 4-8
minggu. Bila terjadi relaps, maka diberikan prednisone 60mg/ m 2/hari sampai
terjadi remisi (maksimal4 minggu), dilanjutkan 2/3 dosis awal (40mg/ m2/hari)
secara alternating selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik resisten steroid atau
toksik steroid, diberikan obat immunosupresan lain seperti siklofosfamid
peroral dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal dibawah
pengawasan dokter nefrologi anak. Dosis dihitung berdasarkan berat badan
tanpa edema.
Suportif
Bila ada edema anasarka diperlukan tirah baring. Selain pemberian
kortikosteroid atau immunosupresan, diperlukan pengobatan suportif lainnya,
seperti pemberian diet protein normal (1,5 – 2 g/kgBB/hari), diet rendah garam
(1-2 g/hari) dan diuretic. Diuretic furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron , diuretic hemat
kalium) 2-3mg/kgBB/hari bila ada edema anasarka atau ada yang mengganggu
aktivitas. Jika ada hipertensi dapat ditambahkan obat anti hipertensi. Pemberian
albumin 20-25% dengan dosis 1g/kgBB selama 2-4 jam untk menarik cairan
dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-
2 mg/kgbb dilakukan atas indikasi seperti edema refrakter, syok, atau kadar
albumin ≤ 1 gram/dl. Terapi psikologis terhadap pasien dan orang tua
diperlukan karena penyakit ini dapat berulang dan merupakan penyakit kronik.
Dosis pemberian albumin : kadar albumin serum 1-2 g/dL : diberikan 0.5
g/kgBB/hari; kadar albumin < 1 g/dL diberikan 1g/kgBB/hari.
Pemantauan :
Terapi
Dengan pemberian prednisone atau imunosupresan lain dalam jangka
lama, maka perlu dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya efek
samping obat. Prednison dapat menyebabkan hipertensi atau efek samping lain
dan siklofosfamid dapat menyebabkan depresi sumsum tulang dan efek
samping lain. Pemeriksaan tekanan darah perlu dilakukan secara rutin . pada
pemakaian siklofosfamid diperlukan pemeriksaan darah tepi setiap minggu.
Apabila terjadi hipertensi, prednisone dihentikan dan diganti dengan
imunosupresan lain, hipertensi diobati dengan obat antihipertensi. Jika terjadi
depresi sumsum tulang (leukosit < 3000/uL) maka obat dihentikan sementara
dan dilanjutkan lagi jika leukosit ≥ 5000/uL
Tumbuh Kembang
Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi sebagai akibat penyakit sindrom
nefrotik sendiri atau efek samping pemberian obat prednisone secara berulang
dalam jangka lama. Selain itu penyakit ini merupakan keadaan
immunocompromais sehingga sangat rentan terhadap infeksi. Infeksi berulang
dapat mengganggu tumbuh kembang pasien.
Pada kasus ini prognosisnya dubia ad bonam dikarenakan pasien
didiagnosis Sindrom Nefrotik yang dalam perjalanan penyakitnya masih
sensitive terhadap pengobatan steroid ditandai dengan kondisi pasien sampai
pulang mengalami perbaikkan.
BAB III
SINDROM NEFROTIK

A. PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) adalah sindrom klinik yang mempunyai banyak
penyebab, ditandai permeabilitas membran glomerulus yang meningkat
dengan manifestasi proteinuria masif yang menyebabkan hipoalbuminemia
disertai edema dan hiperkolesterolemia.1
SN pada anak bukan merupakan penyakit yang timbul sendiri,
melainkan sekelompok gejala yang terjadi akibat indikasi dari kerusakan
ginjal terutama kerusakan pada glomerulus yang merupakan unit kecil ginjal
yang merupakan tempat disaringnya darah.2 Adanya kerusakan dari
glomerulus mengakibatkan pelepasan protein terlalu banyak ke dalam urin.2
Jenis dari SN pada anak adalah primer dan sekunder. 2,3 Jenis primer
merupakan jenis yang paling umum terjadi pada SN pada anak dimana
kerusakan terjadi dari ginjal dan hanya mempengaruhi fungsi ginjal sendiri.
Sedangkan jenis sekunder terjadi karena disebabkan oleh penyakit lain.2
Beberapa penyakit glomerulus hampir selalu menimbulkan sindrom
nefrotik.4 Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal yang
paling sering ditemukan pada anak dimana 15 kali lebih sering daripada orang
dewasa.1,5 Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan
Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi
berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak.5,6 Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi.5 Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun
pada anak berusia kurang dari 14 tahun. 5 Perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2:1.5,7,8
Pada 90% anak dengan SN merupakan SN idiopatik.7 SN idiopatik
mempunyai bentuk gambaran histologik santara lain sindrom nefrotik
kelainan minimal (SNKM) yang ditemukan pada 80% kasus,
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8% kasus, mesangial
proliferatif difus (MPD) 2-5% kasus, glomerulonefritis membranoproliferatif
(GNMP) 4-6% kasus, dan nefropati membranosa (GNM) 1,5% kasus. 5,9
Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) merupakan penyakit
kronis yang cenderung kambuh berulangkali, perjalanan penyakit ini bersifat
secara kebetulan (insidious), dan seringkali menyebabkan keterlambatan
diagnosis.1 Kejadian kambuh berulang SN pada anak perlu dicegah, karena
akan memperburuk prognosis penderita akibat toksisitas steroid dan
kemungkinan terjadi perubahan kelainan histopatologis menjadi non minimal
(glomerulosklerosis).10
B. DEFINISI
Sindrom nefrotik (SN) merupakan kumpulan manifestasi klinis yang
ditandai dengan hilangnya protein secara masif melalui urine (albuminuria),
diikuti dengan hipoproteinemia (hipoalbuminemia) dan akhirnya
mengakibatkan edema, dan hal ini berkaitan dengan timbulnya
hiperkolesterolemia.3,7,9,11

C. EPIDEMIOLOGI
Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan
Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi
berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya
lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak
berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1.5,6,7,8
Penelitian yang dilakukan oleh Dian Pratiwi Pramana dan Mayetti
tentang tahun 2009-2012 di di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. M.
Djamil Padang, menunjukan insiden tertinggi sindrom nefrotik pada
kelompok umur >6 tahun terutama pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan dengan rasio 1,43 :1.12 Penelitian yang dilakukan oleh Ni Made
Adi Purnami di RS Sanglah Bali pada tahun 2011-2012 ditemukan dari 29
penderita yang didiagnosis SN, 14 diantaranya terdiagnosis SN sebelum usia
6 tahun dan selebihnya terdiagnosis setelah umur 6 tahun.10
D. ETIOLOGI
Etiologi SN dapat dibagi menjadi:2
1. Primer/Idiopatik
SN dapat disebabkan oleh penyakit idiopatik atau penyakit yang
tidak diketahui sebabnya secara pasti, tetapi merupakan penyebab paling
sering ditemukan pada anak-anak yang menderita SN. Hal ini
kemungkinan terjadi karena perubahan genetik tertentu yang merusak
ginjal.
2. Sekunder
Penyebab sekunder dimana terdapat penyakit atau infeksi yang
mendasari sehingga terjadi perubahan fungsi ginjal dan menyebabkan SN
pada anak-anak.
3. Kongenital
Penyebab kongenital merupakan penyebab dari penyakit-penyakit
yang telah ada sejak anak tersebut lahir dan menyebabkan SN pada anak-
anak.
E. KLASIFIKASI
Klasifikasi berdasarkan kelainan histopatologis SN, yaitu:
1. Minimal Change disease / Minimal Change Nephrotic Syndrome
/Sindrom Nefrotik Perubahan Minimal
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya tampak morfologi glomerulus
yang sedikit berbeda dari normal, dimana tampak sedikit perubahan pada
mesangium, tetapi imunoglobulin biasanya tidak ada, dan pada mikroskop
eletron tidak diamati adanya endapan tetapi ditemukan perubahan pada
fusi podosit sel epitel.3
Edema merupakan gejala klinis utama pada 95% anak dengan
SNKM. Gejala yang menyertai adalah anorexia, pucat, iritabel, lemah,
perut terasapenuh, dan diare.13
2. Glomerulosklerosis global fokal / Focal Global Glomerulosclerosis
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya memperlihatkan glomerulus
yang mengalami sklerosis global dibeberapa fokus bagian, dan glomerulus
sisa yang normal.3
3. Glomerulosklerosis Segmental Fokal / Focal Segmental
Glomerulosclerosis
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya, menggambarkan lesi yang
sejumlah glomerulusnya terkena sklerosis segmental (satu lobus atau
bagian didalam glomerulus) dengan glomerulus sisa yang normal.3
4. Glomerulonefritis Proliferatif Mesangium / Mesangial Proliferatif
Glomerulonephritis
Pada pemeriksaaan mikroskop cahaya memperlihatkan proliferasi
sel mesangium minimal sampai sedang, disertai ekspansi mesangium. Pada
mikroskop imunofluoresen tampak perubahan yang paling jelas ketika
IgM, IgG, dan C3 sering ditemukan.3
5. Glomerulonefritis Membranoproliferatif / Membranoproliferative
Glomerulonephritis
Terjadi pada 8% anak yang baru menderita SN yang tidak
diseleksi dan >95% pasien tersebut tidak berespon terhadap regimen
steroid standar.3
6. Glomerulonefritis / Membranous Glomerulonephritis
Secara klinis menyerupai minimal change nephrotic syndrome
tetapi terdapat respon yang buruk terhadap steroid.3
F. PATOFISIOLOGI
Proses awal adalah gangguan dinding kapiler glomerulus yang
menyebabkan meningkatnya permeabilitas terhadap protein plasma. Dinding
kapiler glomerulus terdiri dari endotel, GBM, dan sel epitel viseral, berfungsi
sebagai sawar ukuran dan matan yang harus dilalui filtrat glomerulus.
Meningkatnya permeabilitas akibat perubahan struktur atau fisikokimia
memungkinkan protein lolos dari plasma kedalam filtrat glomerulus,
sehingga terjadilah proteinuria masif.4
Proteinuria yang berat menyebabkan berkurangnya kadar albumin
serum dibawah kemampuan kompensatorik hati dalam mensintesis albumin.
Peningkatan sintesis albumin pada hati tidak berhasil sehingga timbullah
hipoalbuminemia.4 Menurut Rodrigo dkk (1996) menyebutkan bahwa
semakin tinggi tingkat keparahan proteinuria, semakin rendah konsentrasi
albumin darah. Tetapi Pada penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi dkk
(2013), menemukan tidak adanya hubungan yang bermakna antara proteinuria
dan hipoalbuminemia, mungkin disebabkan oleh karena kadar albumin darah
ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan pengeluaran akibat degradasi
metabolik, ekskresi renal, dan gastrointestinal. Jadi, proteinuria pada SN tidak
hanya ditentukan oleh ekskresi renal. 12
Sintesis albumin mengalami penurunan yang relatif dini pada keadaan
malnutrisi protein, seperti kwashiorkor. Laju sintesis albumin hepar juga
dipengaruhi oleh masukan protein dan energi. Pemasukan protein dapat
berkurang apabila terjadi gangguan pada saluran cerna yang menyebabkan
nafsu makan menurun dan mual-mual. Kehilangan sejumlah protein dari
tubuh melalui usus (protein losing enteropathy) juga dapat menyebabkan
keadaan hipoalbuminemia. 12
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma
bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema.
Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma
terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan
retensi natrium dan air. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Adanya mekanisme
kompensasi dari ginjal akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga
akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut. 4,14
Terjadinya hiperlipidemia merupakan proses yang kompleks.
Peningkatan kadar kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida dan lipoprotein
(Lpa) terjadi karena sebagian disebabkan oleh meningkatnya sintesis
lipoprotein di hati, kelaianan transpor partikel lemak dalam darah, dan
berkurangnya katabolisme.4
G. GEJALA KLINIS
Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Jika
lebih berat akan disertai dengan asites, efusi pleura, dan edema skrotum.
Kadang-kadang disertai juga dengan oliguria, hematuria, nafsu makan
berkurang, tanda-tanda infeksi (seperti demam, letargi, iritabel,dan abdominal
pain), diare dan hipertensi.6
Secara umum, SN ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinik yang khas,
yaitu :

1. Proteinuria masif atau proteinuria nefrotik


Dimana dalam urin terdapat protein ≥ 40 mg/m 2 LPB (Luas
Permukaan Badan)/jam atau >50mg/kgBB/24 jam, atau rasio
albumin/keratin pada urin sewaktu >2mg/mg, atau dipstik ≥2+. Proteinuria
pada sindrom nefrotik kelainan minimal relatif selektif, yang terbentuk
terutama oleh albumin.6
2. Hipoalbuminemia
Albumin serum <2,5 mg/dl. Nilai normal kadar albumin plasma
pada anak dengan gizi baik berkisar antara 3,6-4,4 g/dl. Pada sindrom
nefrotik resistensi cairan dan sembab hal tersebut baru akan muncul
apabila kadar albumin plasma turun dibawah 2,5-3,0 g/dl, bahkan sering
dijumpai kadar albumin plasma yang jauh dibawah kadar tersebut. 6
3. Sembab/Edema
Edema merupakan gejala klinis utama pada 95% anak dengan
SNKM. Edema timbul perlahan-lahan pada fase awal, biasanya mulai
tampak di daerah resistensi jaringan rendah seperti palpebra, skrotum, atau
labia dan berkembang menjadi edema umum dan masif yang disebut
anasarka. Edema bersifat pitting dan bergantung posisi tubuh sehingga
tampak jelas di muka saat bangun pagi dan ditungkai pada siang hari.13
4. Hiperlipidemia
Pasien sindrom nefrotik mengalami hiperkolesterolemia (kolesterol
serum >200 mg/dl).6
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan, antara lain:5,6

1. Urinalisis. Biakan urin dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang


mengarah kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
a) Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit,
trombosit, hematokrit, LED)
b) Kadar albumin dan kolesterol serum
c) Kadar ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz.
Rumus Scwartz

L = Tinggi badan dalam ccentimeter


K = Konstanta proporsional, yang dihubungkan dengan ekskresi
kreatinin per unit ukuran tubuh, nilai k dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :

Tabel 1. Nilai Konstanta (k) untuk Perhitungan Nilai GFR


Usia Nilai k
BBLR – 1 tahun 0,33
Bayi aterm – 1 tahun 0,45
1 tahun -13 tahun 0,55
Remaja (13 – 21 tahun) Laki-laki 0,7
Remaja (13 – 21 tahun) Perempuan 0,57

Pcr = kreatinin serum (mg/dL). kadar kreatinin normal dalam plasma pada


anak bergantung sesuai usia, dapat dilihat pada table dibawah ini :

Tabel 2. Kadar Kreatinin Serum Normal (mg/dL) pada Anak dari


Berbagai Usia

d) Titer ASO dan kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus
sistemik.terdapat hematuria mikroskopik persisten
e) Pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA bila curiga lupus eritematosus sistemik
Batasan5
 Remisi. : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2
LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
 Relaps. : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
 Relaps jarang. : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan
 Relaps sering. (frequent relaps): relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun
 Dependen steroid. : relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid
diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan
dihentikan
 Resisten steroid. : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison
dosis penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.
 Sensitif steroid. : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama 4 minggu.

I. DIAGNOSIS BANDING
1. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus15
glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS) adalah suatu bentuk
peradangan glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan
proliferasi & Inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A β-
hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik
seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut.15
2. Gagal Jantung Kongestif 8,16
Gagal jantung pada bayi dan anak adalah suatu sindrom klinis yang
ditandai oleh ketidakmampuan miokardium memompa darah ke seluruh
tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh termasuk
kebutuhan untuk pertumbuhan. Gagal jantung dapat disebabkan oleh
penyakit jantung bawaan maupun didapat yang diakibatkan oleh beban
volume (preload) atau beban tekanan (afterload) yang berlebih, atau
penurunan kontraktilitas miokard. Penyebab lain misalnya adalah
takikardia supraventrikular, blok jantung komplit, anemia berat, kor
pulmonal akut, dan hipertensi akut. Gejala dari gagal jantung adalah
dispneu, ortopnea: sesak nafas yang mereda pada posisi tegak, dapat
dijumpai mengi, edema di perifer atau, pada bayi biasanya di kelopak
mata. 8,16

Tabel 3. Perbedaan SN, GNAPS, Gagal Jantung Kongestif

SN GNAPS CHF
PROTEURIA +++ s/d ++ - s/d +, ++ -
++
HIPOALBUMINEMIA ADA - -/+

EDEMA + + +

HIPERLIPIDEMIA + - -/+

J. PENATALAKSANAAN
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi orangtua. Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan
bila terdapat edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah,
infeksi berat, gagal ginjal, atau syok.5,6
1. Dietetik5,6
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi
karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus.
Bila diberi diet rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP)
dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diet
protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu
1,5-2 g/kgBB/hari. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan
selama anak menderita edema.

2. Diuretik5,6
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya
diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgBB/hari, bila perlu
dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik
hemat kalium) 2-4 mg/kgBB/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih
dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium
darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil, dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/KgBB selama 2-4 jam untuk menarik
cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid
intravena 1-2 mg/kgBB. Bila asites sedemikian berat sehingga
mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang.

Gambar 1: Algoritma pemberian diuretik


3. Imunisasi5,6
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2
mg/kgBB/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari,
merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan
dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin
virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian
prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti
polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat
dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela.
4. Pengobatan dengan Kortikosteroid5,6
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal,
kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah
prednison atau prednisolon.
a) Terapi Insial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan
prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80
mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis
prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan
terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu
pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2
LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang
sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan
sebagai resisten steroid (Gambar 2). 5

Gambar 2: Pengobatan inisial kortikosteroid


b) Pengobatan SN Relaps
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu diberikan
prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan
dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang
mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum
pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi
saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari,
dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai
edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan.5

Gambar 3. Pengobatan SN Relaps

Keterangan :
Pengobatan SN relaps: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau

alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu. 5

c) Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid5


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
1) Pemberian steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen
steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan
dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini
kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil
yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb
alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat
dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison
0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb
secara alternating. 5
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1
mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi
remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8
mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2
mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas
dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau
relaps yang terakhir. 5
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb al-
ternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping
yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang
sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
siklofosfamid (CPA). 5
Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:
 Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau
 Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain
hipovolemia, trombosis, dan sepsis
diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3
mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu.
2) Pemberian levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13
Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal,
selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah
mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang
reversibel. 5
3) Pengobatan dengan sitostatik
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN
anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3
mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal (Gambar 4), maupun secara
intravena atau puls (Gambar 5). CPA puls diberikan dengan dosis
500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan
NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak
7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls
adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi
sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam
jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu
perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin,
leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit
<3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL,
obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit
>5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL. 5
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis
total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral
selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini
aman bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama
8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas
karena efek toksik berupa kejang dan infeksi. 5

Gambar 4. Pengobatan SN Relaps Sering dengan CPA Oral


Keterangan :
Relaps sering prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating
(AD) 40 mg/m2 LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per oral, dosis
tunggal selama 8 minggu
Gambar 5. Pengobatan SN Dependen Steroid

Keterangan:
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2
LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan prednison
intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu.
Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
atau
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal
selama 12 minggu dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12
minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama
1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2
bulan)
4) Pengobatan dengan siklosporin
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid
atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan
dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150 mg/m2 LPB).15 Dosis tersebut
dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara
150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA
dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA
dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin).
Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada
bagian penjelasan SN resisten steroid. 5
5) Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800
– 1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan
penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.16 Efek samping
MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia. 5
Gambar 6. Diagram pengobatan SN relaps resing atau dependen steroid
Keterangan:
1. Pengobatan steroid jangka panjang

2. Langsung diberi CPA

3. Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA

4. Sesudah jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA

Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,
radang telinga tengah, atau kecacingan. 5
d) Pengobatan SN dengan Kontraindikasi Steroid
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi
steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau
kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral
maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis
2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls).
CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis
500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6
bulan). 5
e) Pengobatan SN Resisten Steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya
dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi,
karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis. 5
1) Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi.16 Pada SN resisten steroid yang mengalami
remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba
pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat
menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis
penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi
dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin. Skema
pemberian CPA oral dan puls dapat dilihat pada Gambar 7. 5
2) Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan
remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada
13%.5
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis,
hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan
lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu
pemantauan terhadap:
 Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 1.
nanogram/mL
 Kadar kreatinin darah berkala.
 Biopsi ginjal setiap 2 tahun.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan
dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA
jarang atau sangat selektif

Gambar 7. Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid.


Keterangan:
 Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6
bulan
 Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1
mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1
bulan (lama tapering off 2 bulan).
Atau
 Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui
infus satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung
keadaan pasien.
 Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian
siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan
dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari
selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
3) Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan
siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon
dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100
mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam. (Tabel 1)
Tabel 4. Protokol Metilprednisolom Dosis Tinggi
Keterangan:
Dosis maksimum metilprednisolon 1000 mg; dosis maksimum prednison oral 60
mg. Siklofosfamid (2-2,5 mg/kgbb/hari) atau klorambusil (0,18-0,22
mg/kgbb/hari) selama 8-12 minggu dapat diberikan bila proteinuria masif masih
didapatkan setelah pemberian metilprednisolon selama 10 minggu.
4) Obat Imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada
SNRS adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil.
Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan tidak
dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum
direkomendasi di Indonesia.
Gambar 8. Tata Laksana Sindrom nefrotik
Pemberian Obat Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi Proteinuria
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin
receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi
proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein
di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah
permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor
melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan
plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin
penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Pada SNSS
relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS,
berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid
mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan
SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi
ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak. 5
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,
bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang
bisa digunakan adalah:
 Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari,
enalapril 0.5 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1
mg/kgbb dosis tunggal
 Gollongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

5. Suplemen Zinc
Disfungsi sel T yang terjadi pada sindrom nefrotik (SN) idiopatik
menyebabkan ketidak seimbangan peran Th1 dan Th2 sehingga
meningkatkan produksi berbagai sitokin yang dapat mengubah
permeabilitas glomerulus. Seng dapat meningkatkan respon imun Th1
tanpa perubahan pada Th2 sehingga terjadi keseimbangan antara Th1
dengan Th2. 17
Pada penelitian Abdullah, dkk (2013) dengan judul “Efek
Suplementasi Seng terhadap Terjadinya Remisi pada Sindrom Nefrotik
Idiopatik Anak” menunjukkan bahwa dengan pemberian suplemen seng
20 mg/kgBB/hari mampu mempercepat waktu remisi dibandingkan tanpa
pemberian suplemen. 17
K. PROGNOSIS
1. Pasien dengan SNKM biasanya berespon baik terhadap perjalanan awal
pemberian prednison dalam 2-3 minggu terapi harian.3
2. Pasien glomerulosklerosis segmental fokal sebgaian besar memburuk
sampai mencapai penyakit ginjal stadium akhir dalam 2-5 tahun.9
L. KOMPLIKASI
1. Infeksi
Pada SN mudah terjadi infeksi dan yang paling sering adalah
selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG
dan komplemen berberat molekul rendah dalam urin. Peritonitis dapat
disebabkan oleh kuman S. Penumoniae yang dapat menyerang pasien SN.
Selain peritonitis dan selulitis, pasien SN juga bisa terinfeksi pneumonia
bahkan bisa menjadi sepsis.5,6,7,8,11 Perlu diberikan pengobatan penisilin
parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu
sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari.12 Infeksi lain yang sering
ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran
napas atas karena virus.
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan
pasien varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imu-
noglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak
memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin
intravena (400mg/kgbb).28 Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat
asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral
dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10 hari,9 dan
pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.
2. Trombosis
Pada pasien SN bisa terjadi tromboemboli karena adanya
hiperkoagulasi, peningkatan kadar fibrinogen, faktor VIII, penurunan
atau hilangnya kadar antirombin III, dan aktivitas antiplasmin melalui
glomerulus yang bocor. Trombosis dapat terjadi didalam vena maupun
arteri. Adanya dehidrasi meningkatkan kemungkinan terjadinya trombosis.
6,7,8,11
Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis
dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan
warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan
pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan
3. Hipokalsemia
Pada pasien SN bisa terjadi hipokalsemia karena penggunaan
steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia
dan kebocoran metabolit vitamin D.5,6 Oleh karena itu pada pasien SN
yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan
pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250
IU). Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10%
sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena.5
4. Hipertensi
Hipertensi dapat terjadi dalam perjalanan penyakit SN akibat
toksisitas steroid.5,11 Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE
(angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker)
calcium channel blockers, atau antagonis β adrenergik, sampai tekanan
darah di bawah persentil 90.5
5. Hipovolemia
Hipovolemia dapat terjadi akibat pemberian diuretik yang
berlebihan atau pada keadaan SN relaps. Gejala yang dapat timbul seperti
hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering terjadi sakit perut. 5
Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-
20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb
atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila
hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-
2 mg/kgbb intravena.5
6. Efek Samping Steroid
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang
signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan
orangtuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan napsu makan,
gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi,
retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua
pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid,
pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan
setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.5

DAFTAR PUSTAKA
1. Pardede,Sudung O.Sindrom nefrotik infantil. In: Cermin dunia
Kedokteran.hal.134.2002. [online][cited 29 September 2007]. Available
from:http:www//kalbefarma.com.
2. Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI.Buku kuliah ilmu kesehatan anak.
Jilid 3.Jakarta:FKUI.2007.hal.
3. Tim penyusun ilmu kesehatan anak Fk Unhas.Standar pelayanan medik
bagian ilmu kesehatan anak universitas hasanuddin UP anak RS Dr
Wahidin Sudirohusodo.Makassar:Bursa buku kedokteran
aesculapius.2006.hal.26-32.
4. Tim penyusun ilmu kesehatan anak standar pelayanan medis anak RSUD
Prov. Sultra.Standar pelayanan medis (SPM) SMF penyakit
anak.Kendari.2008.hal80-1.

Anda mungkin juga menyukai