Anda di halaman 1dari 6

Melysa Iskandar

Borang UKM Tracing Penyakit Menular 01

Tanggal Pelaksanaan 29 Agustus 2022


Nama Pendamping Dr Linda Yanthy
Judul kegiatan Laporan Tracing Penyakit Menular
Identitas Pasien Tn X, 14 tahun
Latar Belakang Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (kutu kecil) yaitu
Sarcoptes scabiei varietas hominis. Penyakit tersebut merupakan masalah kesehatan
masyarakat terutama di wilayah beriklim tropis dan subtropis. Jumlah penderita
skabies di dunia lebih dari 300 juta setiap tahun dengan angka yang bervariasi di
setiap negara.

Di Indonesia, skabies merupakan salah satu penyakit kulit tersering di


puskesmas. Prevalensi skabies di puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 2008
adalah 5,6-12,9% dan merupakan penyakit kulit terbanyak ketiga. Pada tahun 2008
survei di berbagai pemukiman kumuh seperti di tempat pembuangan sampah akhir
dan rumah susun di Jakarta menunjukkan prevalensi skabies sebesar 6,2%, di Boyolali
7,4%, di Pasuruan 8,2%, dan di Semarang 5,8%.

Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi skabies adalah kemiskinan,


kepadatan penghuni rumah, tingkat pendidikan rendah, keterbatasan air bersih, dan
perilaku kebersihan yang buruk. Tingginya kepadatan penghuni disertai interaksi dan
kontak fisik yang erat memudahkan penularan skabies. Kepadatan penghuni rumah
merupakan faktor risiko paling dominan dibandingkan faktor risiko skabies lainnya.
Berdasarkan faktor risiko tersebut prevalensi skabies yang tinggi umumnya terdapat
di asrama, panti asuhan, pondok pesantren, penjara, dan pengungsian.

Di Malaysia, prevalensi skabies di asrama rumah kesejahteraan bagi orang


berusia lanjut di Pulau Pinang pada tahun 2010 adalah 30%. Ketika bencana alam
gempa bumi dan tsunami melanda Nanggroe Aceh Darussalam, skabies merupakan
penyakit kedua terbanyak pada pengungsi. Pada saat itu sekitar 26,4% warga
Lhokseumawe yang mengungsi terinfestasi skabies. Wabah skabies juga terjadi pada
pengungsi Suriah di Lebanon Utara. Di Sierra Leone sebanyak 86% anak-anak yang
tinggal di pengungsian padat penghuni menderita skabies. Di pengungsian tersebut,
5-6 keluarga tinggal dalam satu rumah. Berkembangnya skabies di pengungsian
terjadi karena tempat tinggal yang terlalu padat, tingkat kebersihan yang rendah,
kurangnya air bersih dan penatalaksanaan limbah yang buruk.

Dari penelitian di penjara Hamadan, Iran didapatkan 2,6% narapidana


menderita skabies. Amro et al meneliti 1734 penderita di klinik dermatologi di
Palestina pada tahun 2005-2010 dan mendapatkan prevalensi skabies rata-rata per
tahun sebesar 26%. Sumber infeksi skabies berasal dari penjara. Pada tahun 2008,
prevalensi skabies di Tikrit, Irak adalah 11% dan 83% dari penderita tersebut
terinfestasi skabies di penjara. Nazari et al menyatakan skabies lebih sering
ditemukan pada narapidana yang tinggal dipenjara kurang dari 6 bulan, pengguna
narkoba, berpindah-pindah tempat tidur, menggunakan selimut bersama, perilaku
kebersihan yang buruk, mandi sekali seminggu atau kurang, serta tidak menggunakan
sabun dan sampo.
Skabies banyak terdapat di panti asuhan dan pondok pesantren. Di Thailand
sebanyak 87% anak-anak yang tinggal disebuah panti asuhan menderita skabies.
Survei terhadap 120 anak di rumah singgah Malaysia menunjukkan 46% anak berusia
10-12 tahun menderita skabies. Ratnasari melaporkan pada tahun 2012 prevalensi
skabies di sebuah pesantren di Jakarta Timur adalah 51,6% dan pada tahun 2014
Soedarman menyampaikan prevalensi skabies di sebuah pesantren di Jakarta Selatan
adalah 68%.

Penderita skabies terganggu kualitas hidupnya karena mengalami gatal


hebat dan radang di kulit akibat infeksi sekunder oleh bakteri sehingga produktivitas
dan prestasi akademik menurun. Sudarsono melaporkan bahwa prestasi belajar santri
di sebuah pesantren di Medan lebih rendah setelah terinfestasi skabies. Pada tahun
2008 sebanyak 15,5% santri di sebuah pesantren di Provinsi Aceh menurun nilai
rapornya dibandingkan sebelum menderita skabies.

Pada kenyataannya, tingkat kebersihan di pesantren umumnya rendah dan


santri banyak menderita skabies. Meskipun demikian, kondisi itu sering diabaikan dan
skabies dianggap sebagai penyakit yang biasa menghinggapi santri. Bahkan ada
ungkapan yang menyatakan “belum jadi santri apabila belum mengalami kudisan”.
Hal tersebut tentu saja tidak benar karena skabies kronik dan berat dapat
menimbulkan komplikasi berupa infeksi sekunder oleh bakteri dan menurunkan
kualitas hidup serta penderitaan bagi santri. Penderita skabies juga menjadi sumber
infeksi bagi lingkungannya sehingga harus diobati dan pesantren perlu melakukan
upaya pemberantasan. Oleh karena itu, pesantren perlu berbenah diri untuk menjadi
institusi pendidikan yang bersih dan sehat agar terbebas dari skabies. Cita-cita
menuju pesantren bebas skabies perlu dicanangkan.

Pemberantasan skabies di asrama, panti asuhan, pondok pesantren, dan


tempat lain dengan kepadatan penghuni yang tinggi tidak dapat dilakukan secara
individual melainkan harus serentak dan menyeluruh. Semua penderita skabies harus
diobati dan lingkungan harus dibersihkan (dekontaminasi). Jika tidak, penderita
skabies yang telah sembuh akan tertular lagi dan reinfestasi skabies akan terjadi
dalam waktu singkat dengan lingkaran setan yang sulit diputus. Diperlukan peran
dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk menjadi agen perubahan serta pendidik
bagi penduduk terutama untuk masyarakat yang memiliki risiko tinggi menderita
skabies. Berdasarkan hal tersebut diperlukan informasi yang lengkap tentang skabies
sebagai pedoman pengobatan, pemberantasan, dan pencegahan skabies.
Gambaran Pelaksanaan Guna mewujudkan pelayanan Kesehatan pada masyarakat, Pukesmas
Luttawar berupaya untuk meningkatkan keikutsertaan memberantas scabies pada
setiap remaja yang termasuk dalam cakupan di seluruh kecamatan Lut Tawar. Hal ini
tentu dengan tetap menerapkan protocol Kesehatan yang telah di tetapkan di era
pandemic covid-19 ini.

Waktu : 29 Agustus 2022


Tempat : poli umum pukesmas Lut Tawar
Peserta : Tn X, 14 Tahun

Gambaran Pelaksanaan :
 Pasien melakukan pendaftaran di pukesmas
 Kemudian pasien di arahkan ke poli umum
 Dokter melakukan pemeriksaan kepada pasien dan ddapatkan hasil sebagai
berikut :
1. Pasien laki-laki berusia 14 tahun datang berobat dengan keluhan
bruntus kemerahan yang gatal di jari tangan dan pergelangan
tangan sejak 3 minggu sebelum berobat. Awalnya bruntus muncul
di sela jari kedua tangan lalu meluas ke telapak tangan, kedua
pergelangan tangan, ketiak, punggung dan dada. Keluhan kulit
disertai dengan rasa gatal yang semakin parah di malam hari. Pasien
tinggal bersama dengan temannya di pesantren sejak 1 tahun yang
lalu. Terdapat riwayat keluhan serupa pada teman sekamar pasien.
Pada pemeriksaan klinis regio sela jari, pergelangan tangan, ketiak
kanan dan kiri, punggung dan dada ditemukan papul eritematosa
multipel, tersebar diskret disertai dengan krusta kemerahan dan
eskoriasi. Pasien didiagnosis sebagai skabies. Pemeriksaan
mikroskopik tidak dilakukan pada pasien.
 Dokter memberi terapi dan mengedukasi pasien bagaimana cara penangan
scabies yang benar dan baik sesuai prosedur. Dokter juga meminta pasien
untuk control ulang 7 hari kemudian untuk mengevaluasi perkembangan
pasien.
 Dokter juga meminta pasien untuk menjaga barang pribadi pasien seperti
bantal Kasur selimut handuk dll untuk tetap digunakan secara pribadi tanpa
berganti gantian, dikarena kan scabies dapat menular dari barang barang
tersebut,

Monitoring dan evaluasi :


 Pasien dapat memahami dan mengerti tentang cara pencegahan dan
penularan Penyakit Scabies
 Pasien dapat memahami dan mengerti tentang tanda dan gejala penyakit
Scabies
 Pasien dapat memahami dan mengerti tentang procedure pengobatan
Penyakit Scabies.
Catatan dari/ke
Pendamping
Melysa Iskandar
Borang UKM Tracing Penyakit Menular 02

Tanggal Pelaksanaan 29 Agustus 2022


Nama Pendamping Dr Linda Yanthy
Judul kegiatan Laporan Tracing Penyakit Menular
Identitas Pasien Tn X, 8 tahun
Latar Belakang Varisela atau chickenpox atau yang dikenal dengan cacar air adalah
infeksi primer virus varicella-zoster (VZV) yang umumnya menyerang anak
dan merupakan penyakit yang sangat menular. Sedangkan herpes zoster atau
shingles adalah reaktivasi infeksi endogen pada periode laten virus varicella-
zoster yang pada umumnya menyerang orang dewasa atau anak dengan
defisiensi imun. Meskipun gejala klinis varisela tidak berat namun pada
remaja, orang dewasa dan anak dengan status imunitas menurun dapat
meningkatkan angka kesakitan dan kematian.

Varicella Zooster Virus (VZV) menyebabkan dua penyakit dengan


klinis berbeda, yaitu varisela (cacar air) selama infeksi primer dan herpes
zoster (shingles) saat reaktivasi virus pada masa laten (Steain et al, 2012).
Cacar air biasanya tergolong ringan, tetapi dapat berubah serius jika dialami
oleh bayi yang berusia di bawah 12 bulan, remaja, orang dewasa, ibu hamil,
dan orang dengan sistem kekebalan tubuh yang melemah (CDC, 2018). Sistem
imun akan matur secara bertahap sejak usia bayi. Pada anak, respon imun
alami dan adaptif mulai berproses ke arah matur. Di periode usia ini berisiko
tinggi terinfeksi banyak patogen seperti virus, bakteri, fungi dan parasit.
Risiko ini dikurangi dengan pemberian vaksinasi untuk menstimulasi respon
imun menuju kematangan (Simon et al., 2014).

Infeksi varisela bersifat pandemik dan sangat menular. Penularan


melalui droplet saluran pernafasan dari penderita yang terinfeksi virus fase
akut, virus yang bercampur dengan udara atau kontak langsung dengan lesi
pada kulit dari penderita (Freer and Pistello, 2018). Cacar air dapat menyebar
dengan mudah dari orang yang terinfeksi ke siapa pun yang belum terkena
cacar air sebelumnya dan belum mendapat vaksin cacar air (CDC, 2018).

Varisela menyebabkan angka kesakitan yang signifikan di seluruh


dunia (Hussey et. al., 2016). Pemberian vaksin dengan virus yang dilemahkan,
diberikan pada usia satu tahun pertama, kemudian di vaksin ulang pada usia
sekolah (Freer and Pistello, 2018). Di Indonesia pemberian vaksin varisela
masih menjadi kelompok imunisasi pilihan, belum menjadi imunisasi program
yang diwajibkan oleh pemerintah (Permenkes RI, 2017). Pembiayaan
vaksinasi pilihan ini ditanggung oleh masyarakat sendiri. Biaya yang
dikeluarkan untuk imunisasi varisela tergolong mahal (mencapai ratusan ribu)
dan tidak terjangkau oleh masyarakat menengah kebawah.

Varisela dapat mengenai semua kelompok umur termasuk neonatus,


tetapi hampir sembilan puluh persen kasus mengenai anak dibawah umur 10
tahun dan terbanyak pada umur 5-9 tahun. Di Amerika Serikat, sebelum
diperkenalkan vaksin varisela terjadi epidemi varisela tahunan setiap musim
dingin dan musim semi, tercatat sekitar 4 juta kasus. Pada tahun 2000, angka
kejadian varisela menurun 71%-84% sejak diperkenalkannya vaksin varisela.
Angka kesakitan dan kematian menurun terutama pada kelompok umur 1-4
tahun. Angka kejadian varisela di Indonesia belum pernah diteliti sedangkan
berdasarkan data dari poliklinik umum Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (IKA-RSCM) dalam lima tahun terakhir tercatat 77
kasus varisela tanpa penyulit.

Penularan varisela terutama melalui kontak langsung dari lesi di kulit


atau melalui droplet sekret saluran nafas yang dapat terjadi 24 sampai 48 jam
sebelum timbulnya ruam sampai menjadi keropeng, pada umumnya 5-7 hari
setelah timbulnya ruam. Pada anak sehat, manifestasi klinis varisela
umumnya ringan, dapat sembuh sendiri, dan jarang menimbulkan penyulit
yang serius.

Pengobatan varisela bersifat simtomatik seperti pemberian calamine


lotion lokal pada lesi kulit, untuk mengurangi rasa gatal dapat diberikan
kompres dingin, mandi secara teratur atau pemberian antihistamin. Asiklovir
sebagai terapi varisela sudah lama digunakan termasuk pada anak sehat
tanpa penyulit walaupun sampai saat ini masih kontroversial apakah perlu
diberikan secara rutin pada anak sehat tanpa penyulit. Pada anak sehat atau
tanpa penyulit yang menderita varisela, asiklovir terbukti dapat mengurangi
lama terjadinya demam dan mengurangi banyaknya lesi yang timbul. Namun
masih kurangnya bukti tentang asiklovir dapat mencegah terjadinya
komplikasi dan adanya kemungkinan terjadinya resistensi terhadap asiklovir
bila dipergunakan secara luas. Masalah biaya pun merupakan salah satu
pertimbangan, karena itu timbul pertanyaan apakah diperlukan pemberian
asiklovir secara rutin pada penderita varisela tanpa penyulit?

Penderita cacar air biasanya tidak masuk sekolah atau ijin dari tempat
penitipan anak, maupun ijin tidak masuk kerja setidaknya 5 atau 6 hari. Pada
usia produktif varisela cukup mengurangi produktifitas di tempat kerja.
Sedangkan pada anak sekolah, penderita akan ketinggalan pelajaran yang
cukup banyak.
Gambaran Pelaksanaan Guna mewujudkan pelayanan Kesehatan pada masyarakat, Pukesmas
Luttawar berupaya untuk meningkatkan keikutsertaan memberantas Varicella pada
setiap anak yang termasuk dalam cakupan di seluruh kecamatan Lut Tawar. Hal ini
tentu dengan tetap menerapkan protocol Kesehatan yang telah di tetapkan di era
pandemic covid-19 ini.

Waktu : 29 Agustus 2022


Tempat : poli umum pukesmas Lut Tawar
Peserta : Tn X, 8 Tahun
Gambaran Pelaksanaan :
 Pasien melakukan pendaftaran di pukesmas
 Kemudian pasien di arahkan ke poli umum
 Dokter melakukan pemeriksaan kepada pasien dan ddapatkan hasil sebagai
berikut :
1. Pasien laki-laki berusia 8 tahun datang berobat dengan keluhan
timbul lentingan-lentingan berisi cairan di kulit dada sejak satu hari
yang lalu. Satu hari sebelum datang ke RSCM, pasien demam tidak
tinggi, naik turun disertai timbulnya beberapa lentingan berisi
cairan di dada pasien. Saat itu pasien tidak menderita batuk, pilek,
maupun diare sehingga ibu pasien hanya memberikan parasetamol
untuk menurunkan demam. Keesokan harinya lentingan bertambah
banyak dan menyebar ke daerah wajah dan punggung, disertai
demam dan berkurangnya nafsu makan.
 Dokter memberi terapi dan mengedukasi pasien bagaimana cara penangan
varicella yang benar dan baik sesuai prosedur. Dokter juga meminta pasien
untuk control ulang 7 hari kemudian untuk mengevaluasi perkembangan
pasien.

Monitoring dan evaluasi :


 Pasien dapat memahami dan mengerti tentang cara pencegahan dan
penularan Penyakit Varicella
 Pasien dapat memahami dan mengerti tentang tanda dan gejala penyakit
Varicella
 Pasien dapat memahami dan mengerti tentang procedure pengobatan
Penyakit Varicella.
Catatan dari/ke
Pendamping

Anda mungkin juga menyukai