Anda di halaman 1dari 14

Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sanitasi Terhadap Kejadian Penyakit

Skabies di Pesantren Muallimin

Farindira Vesti Rahmasari1, Rizal Arief Wibowo2

1
Dosen Parasitologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta, 2Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta

Abstract

Introduction : Scabies is known as a worldwide infectious disease with an estimated 300


million cases each year. This prevalence varies and fluctuates over time. The prevalence of
scabies in Indonesia is around 6 - 27% of the general population. Skabies is ranked 3rd of the
most common skin diseases in Indonesia. In a pesantren that is densely populated, the
prevalence of scabies reaches 78.7% and is higher in groups with poor hygiene. This disease
occurs for 2-6 weeks in a person who has never been infected before and 1-4 days in
someone with a history of previous scabies.

Method : The design of this study is descriptive analytic with a cross sectional approach to
see a survey of the phenomena that are happening, especially in the Muallimin Islamic
boarding school in Yogyakarta. The subject of the study was Muallimin students totaling 50
respondents, consisting of 4 respondent characteristics in the form of: age, gender, level of
knowledge, and sanitation

Result : The results found through chi-square analysis of the two independent variables,
namely the level of knowledge value of X2 = 12.850 with df = 1, sanitation with a value of
X2 = 13.994 with df = 1 and the value of sig = 0.000, because the value of sig = 0,000 <α = 5
% can be concluded that there is a significant relationship between the level of knowledge
and sanitation on the incidence of scabies.

Conclusion :

Key word: level of knowledge, sanitation, scabies


Abstrak

Pendahuluan : Skabies dikenal sebagai penyakit menular yang mendunia dengan estimasi
300 juta kasus setiap tahunnya. Prevalensi ini bervariasi dan fluktuatif setiap waktu.
Prevalensi penyakit skabies di Indonesia adalah sekitar 6 – 27 % dari populasi umum.
Skabies menduduki peringkat ke-3 dari penyakit kulit tersering di Indonesia. Di suatu
pesantren yang padat penghuninya, prevalensi skabies mencapai 78,7 % dan lebih tinggi pada
kelompok dengan hygiene kurang baik. Penyakit ini terjadi selama 2-6 minggu pada
seseorang yang belum pernah terinfeksi sebelumnya dan 1-4 hari pada seseorang dengan
riwayat penyakit skabies sebelumnya.

Metode : Desain penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional
untuk melihat survey terhadap fenomena yang sedang terjadi, terutama di pesantren
Muallimin Yogyakarta. Subjek penelitian adalah santri Muallimin yang berjumlah 50 orang
responden, terdiri dari 4 karakteristik responden berupa : umur, jenis kelamin, tingkat
pengetahuan, dan sanitasi

Hasil : Hasil yang ditemukan melalui analisis chi-square terhadap dua variabel bebas, yaitu
tingkat pengetahuan nilai X2 = 12,850 dengan df = 1, sanitasi dengan nilai X2 = 13,994
dengan df = 1 dan nilai sig = 0,000, karena nilai sig = 0,000 < α = 5 % dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dan sanitasi terhadap
angka kejadian skabies.

Kesimpulan : Tingkat pengetahuan dan sanitasi di Pesantren Muallimin Yogyakarta dalam


kategori baik,Semakin tinggi tingkat pengetahuan maka semakin rendah kejadian skabies,
Semakin rendah kondisi sanitasi maka dapat meningkatkan angka kejadian skabies

Key word: tingkat pengetahuan, sanitasi, skabies


Pendahuluan bentuknya memanjang dimalam hari.

Hal ini menyebabkan rasa gatal yang


Scabies adalah salah satu penyakit
sangat dimalam hari, sehingga
kulit yang di sebabkan oleh tungau
membuat orang sulit untuk tidur3.
yang bernama Sarcoptes scabei, filum

Arthopoda , kelas Arachnida , ordo Penyakit ini menular dari hewan ke

Ackarina, superfamili Sarcoptes. manusia, manusia ke hewan, bahkan

Scabies pada manusia disebabkan oleh dari manusia ke manusia. Caranya

S. Scabei var homonis, pada babi oleh yaitu lewat kontak langsung maupun

S.scabei var suis, pada kambing oleh tak langsung antara penderita dengan

S. scabei var caprae, pada biri-biri orang lain, melalui kontak kulit, baju,

oleh S. scabei var ovis1. Penyakit ini handuk dan bahan-bahan lain yang

ditandai dengan rasa gatal yang sangat berhubungan langsung dengan

pada bagian kulit seperti sela-sela jari, penderita.

siku selangkangan. Rasa gatal ini


Scabies sering disebut sebagai
menyebabkan penderita scabies
penyakitnya anak pesantren, karena
menggaruk kulit yang biasnya
anak pesantren sering bertukar
berbentuk seperti tonjolan berisi
pakaian, handuk, sarung, bahkan
cairan dan setelah digaruk cairan
bantal, guling dan kasurnya.Terlalu
tersebut menyebabkan efek pada
penuhnya jumlah orang dalam satu
2
daerah sekitar luka . Kutu penyebab
kamar juga merupakan faktor resiko
scabies berukuran sangat kecil bahkan
penularan scabies karena keadaan
hanya bisa dilihat dibawah lensa
kamar menjadi lembab, sehingga
mikroskop. Kutu tersebut hidup
disinilah akrabnya penyakit ini dengan
didalam jaringan kulit penderita,
dunia pesantren.Dari hal-hal tersebut
hidup membuat terowongan yang
dapat menjadi faktor resiko terserang hubungan yang signifikan antara

scabies ada pada mereka. tingkat pengetahuan dan sanitasi

terhadap kejadian penyakit skabies.


Scabies tersebar diseluruh dunia
Populasi yang digunakan dalam
dengan insidensi yang berfluktuasi
penelitian ini adalah santri yang
akibat pengaruh faktor yang belum
tinggal dan menetap > 1 tahun di
diketahui sepenuhnya. Faktor-faktor
asrama Muallimin Yogyakarta dan
yang mempengaruhi keberadaan
bersedia menjadi responden.
penyakit ini antara lain keadaan sosial

ekonomi yang rendah, hygiene yang Sampel yang diuji adalah

buruk, promiskuitas seksual, 50 orang responden yang diambil

kepadatan penduduk dan kesalahan secara acak dari total 80 santri yang

diagnosis.Diantara faktor-faktor diatas mengisi kuisioner yang dibagi

kepadatan penduduk merupakan berdasarkan kelompok dengan

faktor penting dalam penyebaran tingkat pengetahuan baik dan

scabies. Dibeberapa Negara yang kurang baik serta kelompok

sedang berkembang prevalensi sanitasi baik dan sanitasi kurang

scabies sekitar 6 – 27 % pada populasi baik.

umum dan cenderung tinggi pada Sebagai kriteria inklusi


kelompok anak serta remaja. adalah santri tsanawiyah kelas VIII

Bahan dan Cara yang tinggal dan menetap di

asrama > 1 tahun dan bersedia


Penelitian ini adalah
menjadi responden. Adapun santri
penelitian deskriptif analitik
yang < 1 tahun menetap di asrama
dengan pendekatan cross sectional
dikeluarkan dari kriteria sampel
untuk melihat apakah terdapat
penelitian.
Variabel bebas tingkat jawaban “salah” (S) diberi skor 0,

pengetahuan yang terdiri dari unfavourable (negatif) jawaban

kelompok baik dan kurang baik, “benar” (B) diberi skor 0 dan

dan sanitasi lingkungan yang terdiri jawaban “salah” (S) diberi skor 1,

dari kelompok baik dan kurang alternatif jawaban yang dipilih

baik, kemudian sebagai variabel pada item soal dijumlahkan,

terikat nya adalah kejadian skabies. kemudian dikalikan 100 untuk

mendapat hasil berupa presentasi.


Instrumen yang digunakan
Penelitian ini dilakukan di
dalam penelitian ini adalah
Pesantren Muallimin Yogyakarta
kuisioner yang terdiri dari
pada bulan Maret – April 2018
kuisioner tingkat pengetahuan,
yang dilakukan oleh peneliti
sanitasi, dan kuisioner tentang
sendiri.
pengalaman kejadian penyakit
Penelitian ini menggunakan
skabies dengan kuisioner berisikan
data primer yang diperoleh dari
tentang beberapa pertanyaan untuk
subyek penelitian yang telah
mengetahui pengetahuan santri
memenuhi kriteria inklusi maupun
tentang skabies dan juga cara
kriteria eksklusi melalui pengisian
penularan. Kuisioner ini dalam
kuisioner. Cara pengumpulan data
bentuk pertanyaan favourable dan
primer dengan cara peneliti
unfavourable, berisi sejumlah
melakukan survey awal ke lokasi
pertanyaan berupa soal dengan
penelitian dengan cara observasi
jawaban “benar” (B) dan “salah”
dan interview bagian Unit
(S). Pilihan jawaban untuk yang
Kesehatan Sekolah mengenai
favourable (positif) jawaban
keadaan kamar, kelas, teras, kamar
“benar” (B) diberi skor 1 dan
mandi, kasur, selimut, dan analisa data dengan menggunakan

gantungan baju untuk melihat layak deskriptif analitik untuk menggali

tidaknya tempat tersebut dijadikan tentang bagaimana dan mengapa

sebagai tempat penelitian. Peneliti tingkat pengetahuan dan sanitasi

mendapat izin penelitian dari pihak termasuk kedalam faktor resiko.

sekolah. Peneliti membuat Uji dilanjutkan dengan chi-square

kesepakatan waktu, tempat dengan untuk melihat signifikansi

bagian Humas dan Musyrif Asrama hubungan antara tingkat

Muadz bin Jabbal Pesantren pengetahuan dan sanitasi terhadap

Muallimin Yogyakarta. Sebelum angka kejadian skabies.

kegiatan dilakukan, terlebih dahulu


Hasil Penelitian
peneliti membagikan kuisioner
Hasil penelitian yang di
kepada santri, yang sebelumnya
dapat dari kelompok tingkat
sudah dijelaskan terlebih dahulu
pengetahuan diperlihatkan pada
maksud dan tujuan dari penelitian

oleh peneliti. Setelah diberikan Berdasarkan Tabel 1 dapat

penjelasan, responden diketahui adanya hubungan atau

menandatangani informed consent tidak antara faktor tingkat

menjadi responden. Jawaban yang pengetahuan dengan kejadian

dipilih diberikan dengan cara skabies. Hasil analisis chi-square,

memberikan tanda centang (V). diketahui nilai χ 2 =12,850 dengan

Pengelompokan sample df= 1. Dan nilai sig =0,000. Karena

menggunakan kategori baik dan nilai sig = 0,000<α = 5%. Jadi,

kurang baik serta dikaitkan dengan dapat disimpulkan bahwa terdapat

angka kejadian skabies. Sedangkan hubungan yang signifikan antara


tingkat pengetahuan terhadap 12,850 dan nilai p adalah 0,000.

kejadian skabies pada santri dari Hal ini berarti terdapat hubungan

Pesantren Muallimin Yogyakarta. yang signifikan antara tingkat

Kemudian untuk kelompok pengetahuan santri terhadap

sanitasi pada tabel 2. kejadian skabies nilai p-value <

0,05. Santri dengan pengetahuan

Berdasarkan Tabel 2 dapat kurang baik, lebih berisiko terjadi

diketahui adanya hubungan atau skabies jika dibanding santri

tidak antara faktor sanitasi dengan dengan pengetahuan yang baik.

kejadian skabies. Hasil analisis


Dari hasil penelitian
chi-square, diketahui nilai χ2 ditemukan pada tingkat
=13,994 dengan df= 1. Dan nilai pengetahuan yang kurang baik
sig =0,000. Karena nilai sig = terdapat 9 responden terkena
0,000 < α = 5%. Jadi, dapat penyakit skabies. Sedangkan pada
disimpulkan bahwa terdapat tingkat pengetahuan baik terdapat 2
hubungan yang signifikan antara responden yang terkena penyakit
sanitasi terhadap kejadian skabies. dan 30 responden tidak terkena
Diskusi penyakit skabies. Dapat diambil
Pada penelitian ini terdapat kesimpulan bahwa tingkat
hubungan antara tingkat pengetahuan yang kurang baik
pengetahuan santri terhadap lebih besar presentase terkena
kejadian skabies dengan responden penyakit skabies dibandingkan
dari Pesantren Muallimin dengan tingkat pengetahuan yang
Yogyakarta. Dari analisis chi- baik.
Square didapatkan nilai χ 2 adalah
Hasil penelitian ini sesuai pengetahuan akan lebih langgeng

dengan penelitian Riris (2010) dari pada perilaku yang tidak

bahwa tingkat pengetahuan sangat didasari oleh pengetahuan4. Salah

mempengaruhi kejadian skabies satunya dalam perilaku kesehatan

karena pengetahuan merupakan terkait pencegahan penyakit

sumber yang sangat penting untuk skabies.

terbentuknya suatu tindakan atau


Pada penelitian Azizah
perilaku seseorang.
(2011) menunjukan bahwa tingkat

Menurut penelitian Hilma pengetahuan berhubungan terhadap

(2004) melalui confidence interval perilaku pencegahan skabies pada

terdapat hubungan yang bermakna Ibu-ibu pemulung terhadap

antara tingkat pengetahuan dengan kejadian skabies anak di TPA

kejadian skabies. Hal ini Semarang dengan nilai p = 0,001.

dikarenakan pengetahuan Hasil tersebut semakin

merupakan domain yang sangat memperkuat kesimpulan bahwa

penting untuk terbentuknya terdapat hubungan antara tingkat

tindakan seseorang setelah pengetahuan seseorang terhadap

memiliki pengetahuan maka akan kejadian skabies. Pengetahuan

terbentuk sikap yaitu kesiapan atau yang tinggi tentang penyakit

ketersediaan untuk bertindak skabies akan membuat seseorang

selanjutnya terwujud suatu perilaku lebih berhati-hati dan menerapkan

yang memerlukan faktor gaya hidup yang bersih sehari-hari

pendukung atau suatu kondisi yang sehingga dapat menurunkan resiko

memungkinkan antara lain fasilitas. kejadian skabies.

Perilaku yang didasarkan oleh


Menurut Iskandar (2000) disbanding santri dengan sanitasi

skabies merupakan penyakit yang yang baik.

sulit diberantas, pada manusia


Dari hasil penelitian
terutama dalam lingkungan
ditemukan pada kelompok
masyarakat pada hunian padat
responden dengan sanitasi yang
tertutup, karena kutu Sarcoptes
kurang baik ditemukan delapan
scabiei penyebab skabies mudah
responden terkena penyakit
menular di lingkungan yang padat
skabies, sedangkan 6 orang tidak
dan tertutup, hal ini sesuai dengan
terkena penyakit skabies dapat
kondisi hunian di Pesantren
disimpulkan bahwa sanitasi kurang
Muallimin Yogyakarta.
baik dapat meningkatkan kejadian

Pada penelitian ini terdapat skabies sedangkan dari sanitasi

hubungan antara sanitasi terhadap yang baik tiga responden terkena

kejadian skabies dengan responden skabies dan 33 responden tidak

dari Pesantren Muallimin terkena penyakit, dan dapat

Yogyakarta. Dari analisis chi- disimpulkan bahwa presentase

Square didapatkan nilai χ 2 adalah kejadian dengan sanitasi yang baik

13,994 dan nilai p adalah 0,000. lebih sedikit dari pada sanitasi yang

Hal ini berarti terdapat hubungan buruk terhadap kejadian skabies.

yang signifikan antara sanitasi Menurut hasil penelitian


terhadap kejadian skabies karena Ratnasari (2014) prevalensi skabies
nilai p-value < 0,05. Santri dengan dan faktor-faktor yang
sanitasi yang kurang baik, lebih berhubungan di Pesantren X,
berisiko terjadi skabies jika Jakarta Timur didapatkan 51,6 %

dengan kepadatan hunian yang


tinggi. Pada umumnya, kepadatan termasuk status kesehatan suatu

yang dialami oleh santri yang lingkungan yang mencakup

melebihi kapasitas. perumahan, pembuangan kotoran,

penyedia air bersih, dan


Penelitian Isa (2003)
sebagainya. Banyak sekali
menjelaskan bahwa santri yang
permasalahan lingkungan yang
tinggal di pemondokan dengan
harus dicapai dan sangat
kepadatan hunian tinggi (<8 m2
menganggu terhadap tercapainya
untuk 2 orang) sebanayak 245
kesehatan lingkungan. Kesehatan
orang mempunyai prevalensi
lingkungan bisa berakibat positif
penyakit skabies 71,40%,
terhadap kondisi elemen-elemen
sedangkan santri tinggal di
hayati dan non hayati dalam
Pemondokan.
ekosistem. Bila lingkungan tidak
Hal ini didukung oleh
sehat maka sakitlah elemennya,
penelitian Agsa (2012) dari hasil
tapi sebaliknya jika lingkungan
analisa bivariat sanitasi lingkungan
sehat maka sehat juga elemen
dengan keluhan penyakit kulit yang
tersebut. Perilaku yang kurang baik
meliputi sarana air bersih, jamban,
dari manusia telah mengakibatkan
sarana pembuangan air limbah dan
perubahan ekosistem dan
sarana pembuangan sampah
timbulnya sejumlah masalah
menunjukan hubungan yang
sanitasi.
signifikan terhadap keluhan
Pada penelitian Isa (2003)
penyakit kulit.
santri yang tinggal di pemondokan
Menurut Notoadmojo
dengan kepadatan hunian tinggi
(2003), sanitasi lingkungan
(<8 m2 untuk 2 orang) sebanyak
245 orang mempunyai prevalensi santri tinggal di ruangan dengan

penyakit Scabies 71,40%, kelembaban Baik (65-90%)

sedangkan santri yang tinggal di memiliki prevalensi penyakit

pemondokan dengan kepadatan Scabies 56,60%. Kelembaban

hunian rendah (> 8 m2 untuk ruangan pemondokan k ebanyakan

2orang) sebanyak 93 orang para santri nampak kurang

mempunyai prevalensi penyakit memadai, sebagai akibat buruknya

Scabies 45,20%. Dengan demikian ventilasi, sanitasi karena berbagai

tampak peran kepadatan hunian barang dan baju, handuk, sarung

terhadap penularan penyakit tidak tertata rapi, dan kepadatan

Scabies pada santri di Ponpes hunian ruangan ikut berperan

Lamongan (Chi kuadrat, p <0,01). dalam penularan penyakit Scabies

Kepadatan hunian merupakan (Chi kuadrat, p <0,05). Hal ini

syarat mutlak untuk kesehatan memudahkan tungau penyebab

rumah pemondokan, karena dengan (Sarcoptes scabiei) berpindah dari

kepadatan hunian yang tinggi reservoir ke barang sekitarnya

terutama pada kamar tidur hingga mencapai pejamu baru

memudahkan penularan penyakit Berdasarkan penelitian

Scabies secara kontak dari satu Desmawati (2015) melalui uji

santri kepada santri lainnya. statistik tidak ada hubungan antara

Sebanyak 232 orang santri sanitasi lingkungan dengan

tinggal di ruangan dengan kejadian skabies karena tidak

kelembaban udara yang buruk (> hanya sanitasi lingkungan saja

90%) dengan prevalensi penyakit yang dapat mempengaruhi

Scabies 67,70%, sedangkan 106 timbulnya skabies. Hasil penelitian


ini sama dengan hasil penelitian 3. Semakin rendah kondisi

yang dilakukan oleh Putri (2011) sanitasi maka dapat

dimana kejadian skabies justru meningkatkan angka kejadian

dipengaruhi oleh hygiene skabies

perseorangan dan status gizi.


Saran
Kejadian skabies tidak hanya
Dari penelitian diatas,
dipengaruhi kondisi sanitasi
disarankan penelitian lebih lanjut
lingkungan, dimana kejadian
untuk mencari faktor resiko yang
skabies dan responden yang
tidak tercantum diatas, karena dari
memiliki sanitasi lingkungan
beberapa penelitian untuk faktor
rumah yang tidak memenuhi syarat
resiko skabies tidak hanya dilihat
belum tentu merupakan faktor
dari tingkat pengetahuan dan
resiko untuk terkena penyakit
sanitasi saja tetapi tidak menutup
skabies (Yuni, 2006)
kemungkinan untuk faktor yang
Kesimpulan
lain nya juga harus di teliti lebih
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan
detail lagi agar tindakan preventif
sebagai berikut :
dan kuratif nya dapat berjalan

1. Tingkat pengetahuan dan dengan baik dan mengurangi

sanitasi di Pesantren keparahan penyakit skabies.

Muallimin Yogyakarta dalam

kategori baik

2. Semakin tinggi tingkat

pengetahuan maka semakin Daftar Pustaka

rendah kejadian skabies 1. Subronto. 2006. Penyakit Infeksi

Parasit dan Mikroba Pada Anjing


dan Kucing. Yogyakarta :Gadjah Nogotirto Gamping Sleman

Mada University Press. 79-83. Yogyakarta.

2. Handri. 2008. Scabies, Penyakit 7. Isa Ma’rufi 2003. Faktor sanitasi

Kulit Khas Pada Warga Pesantren. lingkungan yang berperan

Diakses dari Terhadap prevalensi penyakit

http://www.drhandri.com/?p=380 scabies. Studi pada Santri di

pada tanggal 13 April 2015. Pondok Pesantren Kabupaten

Lamongan.
3. Handri. 2008. Scabies, Penyakit
8. Desmawati. 2015. Hubungan
Kulit Khas Pada Warga Pesantren.
personal hygiene dan sanitasi
Diakses dari
lingkungan dengan kejadian
http://www.drhandri.com/?p=380
skabies di pondok pesantren Al-
pada tanggal 13 April 2015.
Kautsar Pekanbaru.

4. Notoatmodjo, S. (2007). Promosi 9. Putri. 2011. Hubungan Hygiene

Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Perorangan, Sanitasi Lingkungan

Rineka Cipta, Jakarta. dan Status Gizi terhadap Kejadian


5. Riris Nur Rohmawati. 2010. Skabies Pada Anak. Artikel

Hubungan Antara Faktor Penelitian Kedokteran. Fakultas

Pengetahuan Dan Perilaku Kedokteran. Universitas

Dengan Kejadian Skabies Di Diponegoro, Semarang

Pondok Pesantren Al-Muayyad 10. Yuni, W. (2006). Hubungan

Surakarta. Skripsi. Surakarta. sanitasi lingkungan dan higiene

perorangan
6. Hilma 2014. Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Kejadian Skabies

di Pondok Pesantren Mlangi


dengan penyakit skabies di desa

genting kecamatan jambu,

kabupaten semarang.

Anda mungkin juga menyukai