PEMBIMBING:
dr. Nadiah Soleman, Sp.KK, M.Kes
PENYUSUN:
Amalia Tata Nirwana
030.15.015
Disusun Oleh:
Amalia Tata Nirwana
030.15.015
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “skabias dengan infeksi
sekunder” dengan tepat waktu. Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal periode 15 Januari 2021 – 13 Febuari 2021
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya
kepada dr. Nadiah Soleman, Sp.KK, M.Kes selaku pembimbing dalam penyusunan laporan kasus
ini dan yang telah membimbing penulis selama di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada rekan – rekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di Rumah
Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal serta berbagai pihak yang telah memberi dukungan dan
bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang
membangun. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar – besarnya, semoga tugas
ini dapat memberikan tambahan informasi dan manfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi S.scabiei varietas hominis.
Parasit tersebut termasuk kelas arachnida, subkelas acarina, ordo astigmata, dan famili sarcoptidae.
Selain varietas hominis, S.scabiei memiliki varietas binatang namun varietas itu hanya
menimbulkan dermatitis sementara, tidak menular, dan tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya
di manusia. S.scabiei memiliki metamorfosis lengkap dalam lingkaran hidupnya yaitu: telur, larva,
nimfa dan tungau dewasa. Infestasi dimulai ketika tungau betina gravid berpindah dari penderita
skabies ke orang sehat. Tungau betina dewasa berjalan di permukaan kulit dengan kecepatan 2,5cm
per menit untuk mencari tempat menggali terowongan. Setelah menemukan lokasi yang sesuai,
tungau menggunakan ambulakral untuk melekatkan diri di permukaan kulit kemudian membuat
lubang di kulit dengan menggigitnya. Selanjutnya tungau masuk ke dalam kulit dan membuat
terowongan sempit dengan permukaan yang sedikit terangkat dari kulit.1
Angka kejadiannya mencapai sekitar 300 juta kasus di seluruh dunia dan terjadi terutama
pada daerah penduduk yang padat.2 dan kebersihan yang kurang memadai. Menurut World Health
Organization (WHO) angka kejadian Skabies pada tahun 2014 sebanyak 130 juta orang didunia.
Menurut Internasional Alliance for the Control Of Scabies (IACS) kejadian Skabies bervariasi
mulai dari 0,3% menjadi 46%.3 kabies ditemukan disemua negara dengan prevalensi yang
bervariasi. Beberapa negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6% - 27%
populasi umum, menyerang semua ras dan kelompok umur serta cenderung tinggi pada anak-anak
serta remaja. Penyakit skabies banyak dijumpai di Indonesia, hal ini disebabkan karena Indonesia
merupakan Negara beriklim tropis. Prevalensi skabies di Indonesia menurut data Depkes RI
prevalensi skabies di Indonesia sudah terjadi cukup penurunan dari tahun ke tahun terlihat dari
data prevalensi tahun 2008 sebesar 5,60% - 12,96%, prevalensi tahun 2009 sebesar 4,9-12, 95 %
dan data terakhir yang didapat tercatat prevalensi skabies di Indonesia tahun 2013 yakni 3,9 – 6
%. Walaupun terjadi penuruan prevalensi namun dapat dikatakan bahwa Indonesia belum terbebas
dari penyakit skabies dan masih menjadi salah satu masalah penyakit menular di Indonesia.
Gatal merupakan gejala klinis utama pada skabies. Rasa gatal pada masa awal infestasi
tungau biasanya terjadi pada malam hari (pruritus nokturna), cuaca panas, atau ketika berkeringat.
Gatal terasa di sekitar lesi, namun pada skabies kronik gatal dapat dirasakan hingga ke seluruh
tubuh. Gatal disebabkan oleh sensitisasi kulit terhadap ekskret dan sekret tungau yang dikeluarkan
pada waktu membuat terowongan. Masa inkubasi dari infestasi tungau hingga muncul gejala gatal
sekitar 14 hari. S.scabiei biasanya memilih lokasi epidermis yang tipis untuk menggali terowongan
misalnya di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, penis, areola mammae, peri-umbilikalis,
lipat payudara, pinggang, bokong bagian bawah intergluteal, paha serta lipatan aksila anterior dan
posterior. Terowongan yang digali tungau tampak sebagai lesi berupa garis halus yang berwarna
putih keabu-abuan sepanjang 2-15mm, berkelok-kelok dan sedikit meninggi dibandingkan
sekitarnya. Di ujung terowongan terdapat papul atau vesikel kecil berukuran.1 Skabies ini sering
dikaitkan sebagai penyakitnya anak pesantren alasannya karena anak pesantren suka/gemar
bertukar, pinjam meminjam pakaian, handuk, sarung, bahkan bantal, guling dan kasurnya kepada
sesamanya, sehingga disinilah faktor penyebab penyakit mudah tertular dari satu santi ke santri
yang lain.3
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 14 Tahun
Status Pernikahan : Belum Menikah
Alamat : Rengaspendawa, Larangan, Brebes
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
No. RM : 993240
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 01 Januari 2021 pada pukul
10.15 WIB di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Kardinah Tegal.
1. Keluhan Utama
Gatal pada bokong sejak 3 bulan yang lalu.
2. Keluhan Tambahan
Keluhan lainnya yaitu gatal disertai dengan bruntus bruntus, pada bokong, siku
kiri, kedua telapak tangan, dan lutut kaki kiri pasien.
5. Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengeluhkan keluhan yang sama
dengan pasien. Riwayat penyakit, alergi obat, dan makanan disangkal. Riwayat
hipertensi dan diabetes melitus pada keluarga pasien disangkal.
B. Status Generalis
Kepala dan Rambut Distribusi rambut merata, dan tidak mudah dicabut
wajah Kulit Krusta (-), edema (-)
Mata Konjungtiva tidak anemis, ptosis (-), sklera ikterik (-), mata
cekung (-), pupil bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, refleks pupil
langsung dan tidak langsung (+/+)
Hidung Deviasi septum (-/-), sekret (-/-)
C. Status Dermatologis
- Lokasi : Gluteus bilateral, elbow sinistra, kedua palmar, patella
sinistra
- Efloresensi : papul eritematosa, pustul, erosi, krusta
- Warna kulit : Coklat/sawo matang
- Batas : Bebatas tegas
- Bentuk dan susunan : Bentuk bulat, geografika, dengan tepi lesi meninggi
(tepi lebih aktif)
- Ukuran : Lentikular
- Distribusi : Regional
Gambar 3. Regio Palmar sinistra tampak eritema, erosi dan krusta kehitaman
Gambar 4. Regio patella sinitra tampak erosi dan krusta kehitaman multiple
V. RESUME
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSU Kardinah diantar oleh ibunya
dengan keluhan bruntus bruntus yang terasa gatal pada siku dikedua tangan, ke dua
telapak tangan, kedua lutut, dan bokong. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 3 bulan
lalu, namun semakin memberat 1 minggu sebelum rumah sakit. sebelum pasien berobat
ke poli, awalnya bruntus kemerahan sebesar ujung jarum pentul dirasakan berawal dari
sela bokong kemudian semakin banyak, siku, telapak tangan, maupun lutut. Keluhan
gatal dirasakan semakin hebat terutama pada malam hari dan menyebabkan pasien
sering terbangun hampir setiap malam. Rasa gatal yang dirasakan membuat pasien
menggaruk kulit hingga timbul luka akibat garukan dan beberapa luka bernanah. Untuk
mengurangi keluhan, pasien biasanya menaburi tubuh dengan bedak bayi.
Pasien tinggal di pondok pesantren tidur bersama dengan teman sekamarnya.
Pasien juga mengatakan bahwa banyak temannya yang mengalami keluhan serupa.
Pasien biasanya mandi 2 x dalam sehari, Pasien mengaku mengganti pakian 2 kali
dalam sehari namun sering bertukar pakaian dengan temannya. Pasien mengatakan
sering menggunakan baju dan rok temannya, pasien jarang mencuci baju,
membersihkan Kasur dan jarang mengganti sprei.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit ringan dan kesan gizi
normal. Pada pemeriksaan status dermatologis di regio gluteus bilateral, elbow sinistra,
kedua palmar, patella sinistra, dengan efloresensi berupa papul eritematosa, pustul,
erosi, krusta. multiple, diskret, bilateral, batas tegas, bentuk bulat, ukuran miliar sampai
lentikuler diameter 0,3–1,00 cm, menimbul dari permukaan kulit, kering
VIII. TATALAKSANA
1. Non medikamentosa
a. Menghindari dan mengeliminasi agen penyebab
b. Mencegah penularan
2. Medikamentosa
a. Topikal :
- Permethrine 5% (scacid 30 gr) dioleskan pada kulit dan dibiarkan selama 8-
14 jam, dan dapat diulangi setelah satu pekan
b. Sistemik :
- Simptomatik : Cetirizine 1x10 mg/hari
- Antibiotic : cefadroxil 500 mg 1x1 (caps) pada anak (30 mg/kgbb/hari)
IX. EDUKASI
- Menjaga kebersihan diri
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit dan cara penularannya
- Menjelaskan bahwa scabies adalah penyakit menular
- Menerangkan pentingnya menjaga kebersihan perseorangan dan lingkungan
tempat tinggal
- Mencuci piring, selimut, handuk, dan pakaian dengan bilasan terakhir dengan
menggunakan air panas
- Menjemur kasur, bantal, dan guling secara rutin
- Bila gatal sebaiknya jangan menggaruk terlalu keras karena dapat menyebabkan
luka dan resiko infeksi
- Menjelaskan pentingnya mengobati anggota keluarga yang menderita keluhan yang
sama
X. PROGNOSIS
Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh, kecuali bila
terpajan ulang dengan jamur penyebab.
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
ANALISIS KASUS
Skabies merupakan suatu penyakit infeksi kulit menular yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi oleh Sarcoptes scabiei var. Hominis dan produknya dengan keluhan gatal terutama pada
malam hari. Penyakit ini dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi yang rendah, tingkat higiene
yang rendah, keterbatasan mengakses air bersih, kurangnya pengetahuan, hunian yang padat
sehingga memudahkan transmisi dan infestasi tungau, serta kesalahan diagnosis dan tatalaksana.
Penyakit ini sangat mudah menular baik secara langsung maupun tidak langsung. Skabies sering
diabaikan karena tidak mengancam jiwa, namun sesungguhnya penyakit ini dapat menimbulkan
komplikasi seperti impetigo, selulitis, abses bahkan sepsis
Diagnosis skabies didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Berdasarkan anamnesis, diketahui bahwa pasien (An. A) usia 14 tahun, dengan keluhan
gatal dan bruntus-bruntus pada bokong sejak 3 bulan yang lalu. Pasien mengatakan keluhan ini
semakin memberat sejak 1 minggu SMRS, Gatal disertai dengan bruntus kemerahan sebesar ujung
jarum pentul dirasakan berawal dari sela bokong kemudian semakin banyak, siku, telapak tangan,
maupun lutut dan bokong. Keluhan gatal dirasakan semakin hebat terutama pada malam hari dan
menyebabkan pasien sering terbangun hampir setiap malam. Rasa gatal yang dirasakan membuat
pasien menggaruk kulit hingga timbul luka akibat garukan dan beberapa luka bernanah. Untuk
mengurangi keluhan, pasien biasanya menaburi tubuh dengan bedak bayi. Pasien tinggal di pondok
pesantren tidur bersama dengan teman sekamarnya. Pasein juga mengatakan bahwa banyak
temannya yang mengalami keluhan serupa. Pasien biasanya mandi 2 x dalam sehari, suka bertukar
pakaiannya dengan temannya. keluhan demam, batuk pilek dan sakit menelan disangkal. Pasien
dapat didiagnosis menderita penyakit skabies, dimana hal ini sesuai dengan teori yang ada bahwa
dengan ditemukannya 2 dari tanda 4 tanda kardinal skabies maka diagnosis klinis dapat
ditegakkan. Diagnosis ditegakkan jika ditemukan 2 dari 4 tanda kardinal yakni :
1. Gejala gatal pada malam hari (pruritus nokturna), disebabkan aktivitas tungau skabies yang
lebih tinggi pada suhu lebih lembap dan panas.
2. Gejala yang sama pada satu kelompok manusia. Penyakit ini menyerang sekelompok orang
yang tinggal berdekatan, seperti sebuah keluarga, perkampungan, panti asuhan, atau
pondok pesantren.
3. Terbentuknya terowongan atau kunikulus di tempat-tempat predileksi, terowongan
berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjangnya 2 cm, putih atau keabu-abuan.
Predileksi di bagian stratum korenum yang tipis, yaitu: sela-sela jari tangan, pergelangan
tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, umbilikus, bokong, perut
bagian bawah, areola mammae pada wanita dan genitalia eksterna pada laki-laki.
4. Ditemukan tungau Sarcoptes scabiei, dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup
Dimana tanda kardinal yang ditemukan adalah pruritus nokturna, adanya orang di sekitar pasien
yang mengalami keluhan yang sama.Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit ringan
dan kesan gizi normal. Pada pemeriksaan status dermatologis di regio gluteus bilateral, elbow
sinistra, kedua palmar, patella sinistra, dengan efloresensi berupa papul eritematosa, pustul, erosi,
krusta. multiple, diskret, bilateral, batas tidak tegas, bentuk bulat, ukuran miliar sampai lentikuler
diameter 0,3–1,00 cm, menimbul dari permukaan kulit, kering. maka sesuai dengan teori yang ada
maka diduga pada pasien ini telah timbul infeksi sekunder yang sebelumnya didahului oleh
timbulnya demam.
Pemeriksaan penunjang yang disarankan untuk dilakukan yaitu pemeriksaan mikroskopis, burrow
ink test dan bakteri gram. Sebelum melakukan kerokan kulit, perhatikan daerah yang diperkirakan
akan ditemukan tungau yaitu papul atau terowongan yang baru dibentuk dan utuh. Selanjutnya
papul atau terowongan ditetesi minyak mineral lalu dikerok dengan skalpel steril yang tajam untuk
mengangkat bagian atas papul atau terowongan. Hasil kerokan diletakkan di kaca objek, ditetesi
KOH, ditutup dengan kaca penutup kemudian diperiksa dengan mikroskop. Pemeriksaan usap
(swab) kulit dilakukan dengan selotip transparan yang dipotong sesuai ukuran gelas objek
(25x50mm). Cara melakukannya, mula-mula ditentukan lokasi kulit yang diduga terinfestasi
tungau. Kemudian bagian kulit tersebut dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan selotip di atas
papul atau terowongan kemudian diangkat dengan cepat. Setelah itu, selotip dilekatkan di gelas
objek, ditetesi KOH, ditutup dengan kaca tutup, dan diperiksa dengan mikroskop. Melakukan
pemeriksaan burrow ink. Papul skabies diolesi tinta India menggunakan pena lalu dibiarkan selama
20-30 menit kemudian dihapus dengan alkohol. Burrow ink test menunjukkan hasil positif apabila
tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig zag. Burrow
ink test adalah pemeriksaan untuk mendeteksi terowongan, bukan untuk mendeteksi tungau dan
produknya.
Penatalaksanaan pada kasus scabies dapat dilakukan dengan non medikamentosa dan
medikamentosa. Penatalaksanaan medikametosa yaitu dengan memberikan edukasi seperti rajin
melakukan pengobatan, dan seluruh teman sekamar, maupun anggota keluarga yang mengalami
keluhan serupa juga ikut diobati. Menjaga keversihan pasien dan keluarga, seluruh pakaian
dipesantren di cuci dengan menggunakan air hangat, Kasur dan benda benda lain yang tidak dapat
dicuci harus dijemur, control seminggu sekali untuk melihat hasil terapi dan perkembangan
penyakit. Penatalaksanaa medikamentosa pada pasien adalah dengan memberikan obat secara
topical dan sistemik. Obat topical yang diberikan permethrin 5% krim di oleskan keseluruh tubuh
pada malam hari baik yang gatal maupun tidak. Didiamkan selama 8-12 jam, dan dioleskan setiap
satu kali dalam seminggu. Pada teori yang telah dikemukakan bahwa obat topikal yang paling baik
diberikan pada anak adalah permethrin 5% mengingat efektif pada semua stadium ska ies dan
toksisitas yang rendah serta penggunaanya yang mudah dan diperoleh dengan mudah diapotek.
Target utama pengobatan permethrin adalah membrane sel scabies. Obat ini membuat ion Cl
masuk kedalam sel secara berlebihan, membuat sel saraf sulit depolarisasi dan parasite akan
paralisis/lumpuh. Obat ini efektif membunuh parasite, tetapi tidak efektif untuk telur, oleh karena
itu, penggunaan permethrin hingga 3 kali pemberian sesuai siklus hidup tungau. Obat sistemik
yang diberikan berupa cetirizine yang merupakan obat golongan antihistamin sehingga dapat
mengurangi rasa gatal.
Pemberian antibiotic untuk mengatasi infeksi sekunder oleh bakteri yang sering menyertai.
Antibiotic berupa cefadroxil 1x1 caps (30 mg/kgbb/hari). Cefadroxil berkerja untuk infeksi yang
disebabkan oleh bakteri gram positif yaitu bakteri staphylococcus aureus, dan streptococcus
pyogenes. Pada pasien ini scabies dengan infeksi sekunder. Infeksi sekunder scabies oleh bakteri
staphylococcus aureus dan streptococcus pyogenes. Mendasari hubungan tungau dengan infeksi
bakteri. Molekul tungau yang sebenernya berfungsi untuk melindungi tungau dari serangan system
imun hospes berperan dalam pathogenesis infeksi sekunder oleh bakteri Ketika disekresikan
dikulit yang rusak. Hal tersebut meningkatkan infeksi S.aureus dan prevalensi penyakit terkait
scabies. S. aureus adalah bakteri pathogen yang dapat menyebabkan banyak penyakit. Bakteri
tersebut berevolusi untuk menghindari dan mengganggu system imun manusia. S. aureus
mengeluarkan berbagai molekul inhibitor komplemen dan menurunkan deposisi C3b di
permukaan mikroba, contohnya adalah inhibitorkomplemen staphylococcus, extracellular
fibrinogen-binding protein, stafilokinasi dan aureolysin.
Dalam penelitian in vitro inhibitor komplemen scabies meningkatkan keberlangsungan hidup dan
pertumbuhan bakteri S.pyogenes. inhibitor komplemen scabies diduga mengganggu proses
fagositosis oleh neutrophil bakteri dapat memperp[anjang infestasi tungau karena mempunyai
mekanisme hambatan komplemen senidiri S. aureus terdapat diterowongan diepidermis manusia
dan di feses tubgau yang menunjukan bahwa berkontribusi dalam penularan bakteri pathogen.
Prognosis dari scabies yang diderita pasien umumnya adalah baik bila diobati dengan benar dan
juga mengindari factor pencetus dan predisposisi, demikian juga sebaliknya. Selain itu, perlu juga
dilakukan pengobatan kepada orang sekitar dan anggota keluarganya yang mengalami keluhan
yang sama. Bila dalam perjalanannya scabies tidak diobati dengan baik dan adekuat maka
sarcoptes scabies akan tetap hidup dalam tubuh manusia karen Manusia merupakan host definitive
dari parasite tersebut.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Definisi
Skabies atau kudis adalah infeksi parasit yang sangat menular oleh tungau
Sarcoptes scabiei var. hominis. Ini menyebar terutama melalui kontak kulit ke kulit secara
langsung. Penyakit ini terjadi biasanya pada pengaturan tempat tinggal padat, seperti
rumah susun dan rumah penampungan. Gejala yang timbul terutama ditandai oleh gatal
parah terutama malam hari.2
4.2 Epidemiologi
World Health Organization (WHO) menyatakan angka kejadian skabies pada tahun
2014 sebanyak 130 juta orang didunia. Tahun 2014 menurut Internasional Alliance for the
Control Of Scabies (IACS) kejadian skabies bervariasi mulai dari 0,3% menjadi 46%.3
Pada penelitian lainnya menyatakan insiden penyakit ini di seluruh dunia pada tahun 2015
sekitar 300 juta.4 Pada penelitian yang dilakukan di negara dengan nilai rendah atau indeks
pembangunan sedang, prevalensi kudis berkisar dari 0,2%-71,4%, secara signifikan lebih
tinggi pada anak-anak dibandingkan pada remaja dan orang dewasa dan tertinggi di
Amerika Latin dan Wilayah Pasifik.5
Prevalensi skabies di Indonesia menurut data Depkes RI prevalensi skabies di
Indonesia sudah terjadi cukup penurunan dari tahun ke tahun terlihat dari data prevalensi
tahun 2008 sebesar 5,60% - 12,96%, prevalensi tahun 2009 sebesar 4,9-12,95 % dan data
terakhir yang didapat tercatat prevalensi skabies di Indonesia tahun 2013 yakni 3,9 – 6 %.
Walaupun terjadi penuruan prevalensi namun dapat dikatakan bahwa Indonesia belum
terbebas dari penyakit skabies dan masih menjadi salah satu masalah penyakit menular di
Indonesia.3
Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2010
prevalensi kejadian penyakit skabies sebesar 3,57%, pada tahun 2011 pravalensi kejadian
penyakit skabies sebesar 4,27%, dan pada tahun 2012 pravalensi kejadian penyakit skabies
sebesar 4,5%. Penyakit kulit infeksi selalu masuk dalam data 20 besar penyakit. Pada tahun
2009 penyakit kulit infeksi di Kota Kendari berada diurutan ke-8 dengan prevalensi sebesar
4,32% dan Pada tahun 2011 menduduki urutan ke-8 dengan prevalensi 5,2%, pada tahun
2012 penyakit kulit infeksi menduduki urutan ke-9 dengan prevalensi 4,92%.6
4.3 Etiologi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh Sercoptes scabiei Var.
hominis. Siklus hidupnya dimulai dengan betina hamil yang menggali ke dalam epidermis
manusia dan bertelur 2-3 butir per hari. Larva muncul setelah 48–72 jam dan membentuk
liang baru. Larva mencapai dewasa dalam 10-14 hari, kawin, dan siklusnya berulang.
Penularannya melalui kontak langsung kulit-ke-kulit. Tungau mampu bertahan hidup di
lingkungan, di luar tubuh manusia, selama 24-36 jam dalam kondisi ruangan normal (21 °
C dan kelembaban relatif 40–80%). Transmisi tidak langsung (melalui pakaian, tempat
tidur dan perlengkapan lainnya).7
Tingkat serangan kudis di antara kedua jenis kelamin kasusnya hampir sama,
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terkena daripada wanita.
Sedangkan penelitian lainnya menunjukkan lebih dari setengah kasus adalah perempuan
daripada laki-laki. Penyakit ini terjadi pada semua subkelompok usia, tetapi biasanya
terlihat pada usia yang lebih muda. Terutama kelompok usia yang paling terpengaruh
adalah mereka yang berada dalam kelompok usia 5-14 tahun yang mengalami serangan
atau anak usia sekolah. Alasan yang mungkin untuk penyebaran luas di antara anak-anak
bisa jadi karena kontak yang dekat di antara teman sebaya, kepadatan di sekolah dan
berbagi pakaian pribadi yang terkontaminasi. Selain itu penyakit ini berisiko dua kali lebih
banyak pada orang berpendidikan rendah, hal ini karena mereka kurang sadar tentang
aturan kebersihan pribadi yang harus diadopsi terutama saat hidup dengan orang lain, oleh
karena itu, mereka mungkin lebih rentan terjangkit. Kontak kulit juga memiliki hubungan
yang signifikan dengan kemungkinan terkena penyakit ini adalah tiga kali lebih banyak
pada individu yang melaporkan itu mereka mengalami kontak dalam 2 bulan terakhir
dengan penderita sabar dibandingkan dengan yang tidak memiliki kontak. Jumlah keluarga
yang tinggal serumah juga memiliki signifikan secara statistic dengan infestasi skabies,
keluarga yang lebih dari lima orang dalam serumah kemungkinan memperoleh kudis lebih
tinggi dibandingkan dengan mereka yang melaporkan lebih sedikit dari lima orang per
rumah tangga.8
4.6 Patogenesis
S.scabiei telah lama hidup bersama manusia dan mamalia lain serta berevolusi dan
beradaptasi dengan berbagai mekanisme untuk menghindari respons imun hospes baik
bawaan maupun didapat. Hospes menunjukkan respons imun tipe lambat terhadap skabies.
Pada manusia, gejala klinis berupa inflamasi kulit baru timbul 4-8 minggu setelah
terinfestasi. Respons imun yang lambat tersebut merupakan dampak dari kemampuan
tungau dalam memodulasi berbagai aspek respons imun dan inflamasi hospes. Sel
epidermis seperti keratinosit dan sel langerhans merupakan sel pertama yang menghadapi
tungau skabies dan produknya. Respons inflamasi bawaan dan didapat dari kulit hospes
berperan sebagai pertahanan lini pertama terhadap invasi, kelangsungan hidup dan
reproduksi tungau di dalam kulit. Tungau merangsang keratinosit dan sel dendritik melalui
molekul yang terdapat di dalam telur, feses, ekskreta, saliva, dan cairan sekresi lain seperti
enzim dan hormon, serta aktivitas organ tubuh seperti chelicerae, pedipalps dan kaki
selama proses penggalian terowongan.1
Tubuh tungau mati yang membusuk juga merangsang respons imun S.scabiei
memproduksi banyak saliva saat membentuk terowongan dan merupakan sumber molekul
yang dapat memodulasi inflamasi atau respons imun hospes. Produk tungau yang
menembus dermis merangsang sel-sel seperti fibroblast, sel endotel mikrovaskular serta
sel imun seperti sel langerhans, makrofag, sel mast dan limfosit. Diduga sel langerhans dan
sel dendritik lain memproses antigen tungau dan membawa antigen tersebut ke jaringan
limfe regional yaitu tempat respons imun didapat diinisiasi melalui aktivasi sel limfosit T
dan limfosit B.1
Tungau skabies memicu sekresi anti-inflammatory cytokine interleukin-1 receptor
antagonist (IL-1ra) dari sel fibroblas dan keratinosit pada model kulit manusia. IL-1ra
menghambat aktivitas sitokin proinflamasi IL-1 dengan mengikat reseptor IL-1 yang
terdapat pada banyak sel termasuk sel limfosit T, sel limfosit B, natural killer cell,
makrofag dan neutrofil. Ekstrak tungau scabies mengandung molekul yang menekan
ekspresi molekul adhesi interselular dan vaskular yaitu intercellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) serta E-selectin oleh kultur
sel endotel mikrovaskular kulit manusia. Supresi tersebut akan menghambat atau
menurunkan ekstravasasi limfosit, neutrofil dan sel lain ke dalam dermis sehingga
mengganggu respons pertahanan hospes.1
S.scabiei dapat menghambat interaksi ko-stimulasi antara limfosit T dan sel penyaji
antigen (antigen presenting cell) sedangkan ekstrak tungau skabies memicu sel limfosit T
regulator untuk memproduksi IL-10. Sitokin tersebut bekerja sebagai antiinflamasi poten
dengan menekan sekresi sitokin proinflamasi lain dan ekspresi molekul major
histocompatibility complex II (MHC-II) di permukaan sel penyaji antigen. Pada akhirnya,
interaksi kompleks MHC-II antigen dan reseptor limfosit T yang penting untuk aktivasi
dan proliferasi sel limfosit B menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi menjadi
berkurang atau terhambat. Sel limpa tikus yang dipajankan ke tungau skabies dan tikus
yang divaksinasi ekstrak tungau menunjukkan penurunan ekspresi gen B7-2 (CD86) pada
sel limfosit B dan reseptornya serta CD28 pada sel limfosit T. Selain itu ekspresi gen CD40
pada sel limfosit B dan reseptornya, CD40L pada sel limfosit T, mengalami down-
regulation. Ko-signal tersebut adalah pendamping coupling kompleks reseptor sel T MHC-
II-antigen dalam mengaktivasi sel limfosit B untuk menjadi sel plasma yang dapat
memproduksi antibodi.1
Model kulit manusia serta monokultur keratin epidermis dan fibroblas dermis
manusia mensekresikan lebih banyak vascular endothelial growth factor (VEGF) sebagai
respons terhadap tungau skabies hidup maupun ekstraknya. VEGF meningkatkan
vaskularisasi dan jumlah plasma di terowongan epidermis yang dekat dengan mulut tungau
sehingga terowongan yang semula kering menjadi kaya air dan nutrisi. Hal tersebut
dibuktikan oleh pencernaan antibodi di dalam plasma oleh tungau. Produk tungau skabies
dapat menurunkan aktivitas IL-8 di sekitar lesi skabies setelah dua hari. IL-8 adalah
kemokin yaitu suatu kemotaktik untuk ekstravasasi neutrofil ke lokasi patogen.
Monokultur keratinosit epidermis, fibroblas dermis, sel endotel mikrovaskular kulit, dan
sel dendritik yang dipajankan ekstrak tungau skabies menurunkan kadar IL-8 dalam media
dibandingkan kontrol. Tungau skabies juga memproduksi protein pengikat IL-8 yang dapat
menurunkan kadar IL-8 lokal sehingga menghambat kemotaksis neutrofil. Inhibitor
protease serin yang terdapat di sistem pencernaan tungau dapat mengikat kaskade
komplemen di dalam plasma dan menghentikan ketiga jalur sistem komplemen manusia
yaitu jalur klasik, alternatif dan lektin. Aktivasi komplemen hospes dapat melindungi
tungau dari kerusakan yang disebabkan komplemen karena tungau skabies menelan
plasma.1
Inhibitor komplemen dapat memudahkan Streptococcus grup A menginfeksi lesi
skabies dan menyebabkan pioderma. Selain mampu melakukan down-regulation, respons
protektif hospes, ekstrak tungau dan tungau hidup juga dapat melakukan upregulation
sekresi sitokin proinflamasi oleh keratinosit, fibroblas dan sel endotel. Oleh karena itu
respons hospes yang sesungguhnya merupakan keseimbangan antara kejadian yang
memicu respons protektif dengan yang menghambat. Durasi infestasi dan kepadatan
tungau berperan dalam mengubah keseimbangan tersebut.1
Infeksi Sekunder Skabies oleh Bakteri
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes adalah bakteri penyebab
pioderma yang sering ditemukan pada scabies. Insidens tahunan bakteremia yang
disebabkan oleh S.aureus 6 kali lebih tinggi pada populasi Aborigin yang banyak menderita
scabies dibandingkan populasi lain di Australia. Methicillin resistant S.aureus (MRSA)
menginfeksi 64% anak-anak yang menderita skabies di rumah sakit di Queensland Barat
Laut. Terdapat banyak bukti epidemiologi yang mengungkapkan kedekatan hubungan
skabies dan infeksi bakteri sekunder namun hubungan antara hospes, tungau dan bakteri
masih perlu dipelajari lebih lanjut. Skabies merupakan faktor risiko utama infeksi kulit oleh
bakteri dan peningkatan insiden infeksi MRSA sehingga sangat penting untuk mengerti
hubungan manusia, tungau dan bakteri.1
Di daerah tropis, infeksi pioderma bakterial dan komplikasi lanjut yang disebabkan
oleh S.aureus dan S.pyogenes berhubungan dengan skabies karena bakteri mudah
memasuki kulit yang dirusak oleh tungau. Di Australia, prevalensi skabies yang tinggi
terutama di daerah terpencil beriklim tropis yang biasanya ditempati oleh masyarakat
Aborigin di Australia Utara. Di daerah tersebut, sebanyak 70% anak-anak mengalami
skabies dan pioderma sebelum berusia 2 tahun. Pengobatan masal skabies menggunakan
permetrin topikal berhasil menurunkan prevalensi skabies dan menurunkan penyakit
impetigo. Pemberantasan masal skabies menggunakan ivermektin oral di pulau Solomon
juga menurunkan prevalensi skabies dari 25% menjadi 1% disertai penurunan prevalensi
impetigo dan hematuria. Swe et al mengidentifikasi mekanisme molekular yang mendasari
hubungan tungau dengan infeksi bakteri. Molekul tungau yang sebenarnya berfungsi untuk
melindungi tungau dari serangan sistem imun hospes berperan dalam patogenesis infeksi
sekunder oleh bakteri ketika disekresikan di kulit yang rusak. Hal tersebut meningkatkan
infeksi S.aureus dan prevalensi penyakit terkait skabies.1
S.aureus adalah bakteri patogen yang dapat menyebabkan banyak penyakit. Bakteri
tersebut telah berevolusi untuk menghindari dan mengganggu sistem imun manusia.
S.aureus mengeluarkan berbagai molekul inhibitor komplemen dan menurunkan deposisi
C3b di permukaan mikroba, contohnya adalah inhibitor komplemen Staphylococcus,
extracellular fibrinogen-binding protein, stafilokinase dan aureolisin. Tungau skabies
menghasilkan inhibitor komplemen yang disekresikan oleh sistem pencernaan tungau dan
berfungsi melindungi tungau. Inhibitor komplemen juga diekskresikan bersama feses di
terowongan tungau di epidermis bagian atas. Kombinasi aktivitas antikomplemen yang
dihasilkan oleh inhibitor komplemen tungau mencapai tingkat fisiologis di sistem
pencernaan tungau dan terowongan di epidermis manusia. Inhibitor komplemen tungau
secara biologis bermanfaat untuk mencegah kerusakan sistem pencernaan oleh sistem
komplemen hospes karena tungau adalah parasite pemakan serum.1
Molekul inhibitor tersebut mengondisikan hospes untuk invasi bakteri. Dalam
penelitian in vitro inhibitor komplemen skabies meningkatkan keberlangsungan hidup dan
pertumbuhan bakteri S.pyogenes. Inhibitor komplemen skabies diduga mengganggu proses
fagositosis oleh neutrofil. Bakteri dapat memperpanjang infestasi tungau karena
mempunyai mekanisme hambatan komplemennya sendiri. S.aureus terdapat diterowongan
diepidermis manusia dan difeses tungau yang menunjukkan bahwa tungau berkontribusi
dalam penularan bakteri patogen. Swe et al menyatakan bahwa total aktivitas inhibitor
komplemen tungau mungkin menghentikan atau menunda efek lokal sistem imun bawaan
reaksi cepat sehingga S.aureus dapat bermultiplikasi dan menyebabkan infeksi.
Terowongan di epidermis merupakan lingkungan mikro yang cocok bagi tungau dan
bakteri untuk berlindung dari sistem imun bawaan hospes.1
4.7 Klasifikasi
1. Scabies Norwegian
Skabies Norwegia atau skabies krustosa ini ditandai oleh lesi yang luas dengan krusta,
skuama generalisata dan hyperkeratosis yang tebal. Tempat predileksi biasanya pada
kulit kepala yang berambut, telinga bokong, siku, lutut, telapak tangan dan kaki yang
dapat disertai distrofi kuku. Bentuk skabies Norwegia tidak menonjol tetapi bentuk ini
sangat menular karena jumlah Sarcoptes scabiei yang menginfestasi sangat banyak
(ribuan)10
2. Scabies nodular
Scabies dapat berbentuk nodular bila lama tidak mendapat terapi, sering terjadi
pada bayi dan anak anak, atau pada pasien dengan immunokompromise.10
Skabies merupakan the greatest imitator, karena dapat menyerupai banyak penyakit
kulit dengan keluhan gatal, sehingga klinisi perlu mempertimbangkan beberapa diagnosis
banding seperti gigitan serangga, infeksi bakteri, serta reaksi kulit akibat reaksi mediasi
imun (hipersensitivitas).12
1. Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap
factor eksogen dan endogen. Kelainan dermatitis diantaranya adanya DKA (dermatitis
kontak alergi) tanda kelainan kulit yang hamper mirip dengan scabies yaitu lesi
polimorfik dan gatal disertai tasa terbakar atau nyeri namun pada DKA tidak akan
ditemukan kanalikuli dan pada anamnesis tidak ditemukan pada anggota keluarga atau
orang sekitar yang memiliki keluhan yang sama, dan adanya Riwayat pajanan terhadap
suatu allergen.
2. Pruritus herba sering tejadi pada anak dengan tingkat sosial ekonomi dan hygiene yang
rendah. Penyebab pasti masih belum diketahui diduga sebagai penyakit herediter akibat
kepekaan kulit terhadap gigitan serangga. Tanda khasnya adanya papul papul miliar
tidak berwarna, berbentuk kubah, sangat gatal.
3. Tinea kruris dan tinea manus. Tinea manus yaitu dermatofitosis pada tangan. Ditandai
dengan lesi patch disertai skuama dengan batas tegas, fisura pada palmar dan ada
central healing. Tinea kruris Yaitu dermatofitosis pada lipat paha, perineum, anus.
Tinea keluhannyagatal saat berkeringat. Tanda kelainan kulit berbatas tegas,
eflouresnsi kulit polimorf dengan bagian tepi lesi lebih aktif.
Umum
Infestasi tungau dapat tidak bergejala (asimptomatik) tetapi individu sudah
terinfeksi. Mereka dianggap sebagai pembawa (carrier). Oleh karena itu, pengobatan juga
dilakukan kepada seluruh penghuni rumah karena kemungkinan karier di penghuni rumah
dan untuk mencegah reinfestasi karier. Gejala gatal dapat ditangani dengan krim pelembap
emolient, kortikosteroid topical potensi ringan, dan antihistamin oral. Dengan terapi
adekuat, seluruh gejala termasuk rasa gatal dapat membaik setelah 3 hari; rasa gatal dan
kemerahan masih dapat timbul setelah empat minggu terapi, biasa dikenal sebagai
“postscabietic itch”. Pasien diedukasi hal tersebut untuk menghindari persepsi kegagalan
terapi. Pasien juga diberi edukasi untuk tidak membersihkan kulit secara berlebihan dengan
sabun antiseptik karena dapat memicu iritasi kulit.13
Medikamentosa
Terapi utama adalah agen topikal. Pemilihan terapi dapat dilihat pada Tabel 2. Agen
Topikal Krim Permetrin 5%. Tatalaksana lini pertama adalah agen topical krim permetrin
kadar 5%, aplikasi ke seluruh tubuh (kecuali area kepala dan leher pada dewasa) dan
dibersihkan setelah 8 jam dengan mandi. Permetrin efektif terhadap seluruh stadium parasit
dan diberikan untuk usia di atas 2 bulan. Jika gejala menetap, dapat diulang 7-14 hari
setelah penggunaan pertama kali. Seluruh anggota keluarga atau kontak dekat penderita
juga perlu diterapi pada saat bersamaan. Permetrin memiliki efektivitas tinggi dan
ditoleransi dengan baik. Kegagalan terapi dapat terjadi bila terdapat penderita kontak
asimptomatik yang tidak diterapi, aplikasi krim tidak adekuat, hilang karena tidak sengaja
terbasuh saat mandi sebelum 8 jam aplikasi. Pemakaian pada wanita hamil, ibu menyusui,
anak usia di bawah 2 tahun dibatasi menjadi dua kali aplikasi (diberi jarak 1 minggu) dan
segera dibersihkan setelah 2 jam aplikasi.13
Krotamiton 10%
Krotamiton 10% dalam krim atau lotio merupakan obat alternatif lini pertama untuk
usia di bawah 2 bulan. Agen topikal ini memiliki dua efek sebagai antiskabies dan antigatal.
Aplikasi dilakukan ke seluruh tubuh dan dibasuh setelah 24 jam dan diulang sampai 3 hari.
Penggunaan dijauhkan dari area mata, mulut, dan uretra. Krotamiton dianggap kurang
efektif dibanding terapi lain.Belerang Endap (Sulfur Presipitatum) 5%-10% Belerang
endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 5-10% dalam bentuk salep atau krim. Preparat
ini tidak efektif untuk stadium telur, digunakan 3 hari berturut-turut. Kekurangan preparat
ini adalah berbau, mengotori pakaian, dan terkadang dapat menimbulkan dermatitis iritan,
tetapi harga preparat ini murah dan merupakan pilihan paling aman untuk neonatus dan
wanita hamil.13
Emulsi Benzil Benzoas 25%
Tatalaksana lini kedua agen topikal adalah emulsi benzil benzoas kadar 25%. Agen
ini efektif terhadap seluruh stadia, diberikan setiap malam selama 3 hari. Agen ini sering
menyebabkan iritasi kulit, dan perlu dilarutkan bersama air untuk bayi dan anak-anak.
Pemakaian di seluruh tubuh dan dibasuh setelah 24 jam.13
Lindane (Gammexane) 1%
Lindane 1% dalam bentuk losio, efektif untuk semua stadia, mudah digunakan, dan
jarang mengiritasi. US Food and Drug Administration (FDA) telah memasukkan obat ini
dalam kategori “black box warning”, dilarang digunakan pada bayi prematur, individu
dengan riwayat kejang tidak terkontrol. Selain itu, obat ini tidak dianjurkan pada bayi,
anak-anak, lanjut usia, individu dengan berat kurang dari 50 kg karena risiko
neurotoksisitas, dan individu yang memiliki riwayat penyakit kulit lainnya seperti
dermatitis dan psoriasis.13
Preparat Oral
Ivermectin
Ivermectin merupakan agen antiparasit golongan macrocyclic lactone yang
merupakan produk fermentasi bakteri Streptomyces avermitilis. Agen ini dapat menjadi
terapi lini ketiga pada usia lebih dari 5 tahun, terutama pada penderita persisten atau
resisten terhadap terapi topikal seperti permethrin. Pada tipe skabies berkrusta, dianjurkan
terapi kombinasi ivermectin oral dengan agen topikal seperti permethrin, karena
kandungan terapi oral saja tidak dapat berpenetrasi pada area kulit yang mengalami
hiperkeratinisasi. Ivermectin memiliki aktivitas antiparasit spektrum luas, termasuk untuk
onchocerciasis hamil, dan wanita menyusui, karena obat ini berinteraksi dengan sinaps
saraf memicu peningkatan glutamat dan dapat menembus sawar darah otak (blood brain
barrier) terutama pada anak di bawah 5 tahun yang sistem sawar darah otak belum
sempurna. Studi pemberian massal ivermectin dan permethrin di Fiji, Jepang, terhadap
2051 partisipan menyimpulkan bahwa terapi ivermectin (dua dosis) lebih superior
dibandingkan terapi permethrin (dua dosis). Prevalensi skabies turun sebesar 94% pada
kelompok terapi ivermectin (prevalensi 32,1% pada awal turun menjadi 1,9% setelah 12
bulan, p<0,001), dibandingkan penurunan prevalensi sebesar 62% pada kelompok
permethrin.13
Moxidectin
Moxidectin merupakan terapi alternatif yang sedang dikembangkan. Moxidectin
adalah obat yang biasa digunakan dokter hewan untuk mengobati infeksi parasit terutama
Sarcoptic mange. Preparat ini memiliki mekanisme kerja yang sama dengan ivermectin,
tetapi lebih lipofilik sehingga memiliki penetrasi lebih tinggi ke jaringan Moxidectin
memiliki toksisitas lebih rendah dibanding ivermectin. Saat ini studi keamanan dosis pada
manusia masih sedikit, dosis terapeutik yang bertahan di kulit antara 3-36 mg (sampai 0,6
m/kg).11 Penelitian toleransi dan keamanan belum dilakukan pada wanita hamil, ibu
menyusui, dan anak-anak.13
Modalitas Terapi Terbaru
Produk Natural
Saat ini dikembangkan produk natural seperti tea tree oil berasal dari tanaman
Melaleuca alternifolia. Produk ini digunakan sebagai terapi adjuvan untuk skabies di
Rumah Sakit Royal Darwin Australia. Studi di Australia pada tungau Sarcoptes scabiei var
hominis mendapatkan bahwa produk tea tree oil mematikan tungau lebih banyak
dibandingkan produk permethrin atau ivermectin (85% tungau mati setelah kontak 1 jam
dengan tea tree oil; 10% tungau mati setelah kontak dengan permethrin dan ivermectin).13
Vaksinasi
Saat ini diteliti vaksin untuk eradikasi tungau S. scabiei. Antibodi (IgG, IgM, dan
IgE) meningkat pada skabies tipe umum dan varian scabies berkrusta. Peningkatan antibodi
lebih tinggi didapatkan pada skabies berkrusta. Penelitian sejauh ini belum dikembangkan
pada manusia. Studi di Beijing, Cina, mengembangkan vaksin dengan mengambil S.
scabiei chitinase-like protein (SsCLP5) dan diuji coba pada kelinci. Hasil menunjukkan
bahwa setelah diberi vaksinasi, 74,3% (26 dari 35 kelinci) tidak bergejala setelah
pemaparan tungau hidup (stadium telur, larva, dan dewasa).13
Table 2. terapi scabies
4.12 Pencegahan
Perawatan yang efektif untuk skabies biasanya disarankan untuk semua anggota
keluarga untuk pasien yang tertular, khususnya orang-orang dengan kontak kulit langsung.
Pencegahan yang baik terutama dalam menjaga kebersihan diri dan menghindari
penggunaan barang pribadi secara bergantian. Untuk mencegah kemungkinan terpaparnya
kembali kudis lagi pada orang di sekitar penderita. Barang yang digunakan dalam 3 hari
sebelumnya pengobatan harus dicuci dengan air panas, apakah itu pakaian atau selimut dan
sebagainya. Orang dengan scabies dan kontak dekatnya, termasuk keluarga anggota harus
ditangani dengan secepatnya untuk mencegah penyebaran skabies. Ruangan yang
digunakan oleh penderita skabies harus dibersihkan dengan penyedot debu listrik setelah
penggunaan. Barang yang tidak bisa dicuci itu harus ditempatkan di tempat tertutup dan di
dalam kantong plastik dan dibiarkan selama beberapa hari.14
4.13 Komplikasi
Kudis memiliki sejumlah gejala sisa yang penting, menggaruk kulit berulang
secara bersamaan merupakan penyebab penting dari impetigo. Gangguan kulit
memungkinkan terjadinya infeksi bakteri sekunder, paling sering karena Pyogen
Streptococcus ( grup A streptococcus, GAS) dan Staphylococcus aureus.7
Gambar 8. Komplikasi scabies
4.14 Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat
pengobatan dan menghilangkan factor predisposisi, antara lain hygiene, serta semua orang
yang berkontak erat dengan pasien harus diobati, maka penyakit ini dapat diberantas dan
prognosis penyakit baik.11
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Pasien anak perempuan berusia 14 tahun dating ke p[oliklinik RSUD kardinah dengan
keluhan gatal gatal pada bokong,kedua telapak tangan, siku kiri, lutut kiri Sejak 3 bulan yang lalu.
Pasien mengatakan awalanya terdapat gatal dan bercak-bercak berwarna kemerahan sebesar jarum
pentul, bruntus-bruntus kemudian timbul nisul kecil bernanah. Keluhan gatal memberat 1 minggu
SMRS. Keluhan pasien dirasakan memberat terutama pada malam hari. Pasien mengatakan
keluhan ini sangat mengganggu tidurnya sehingga untuk mengurangi rasa gatal pasien menggaruk
yang menyebabkan beberapa kulitnya tampak lecet dan berdarah.
Pasien saat ini tinggal dan bersekolah di pesantren Al-HIkmah, Riwayat orang sekitar yang
mengalami keluhan yang sama dibenarkan oleh pasien, yaitu teman sekamarnya pasien di
pesantren. Pasien mengaku mandi mengganti pakian 2 kali dalam sehari namun sering bertukar
pakaian dengan temannya. Pasien mengatakan sering menggunakan baju dan rok temannya, pasien
jarang mencuci baju, membersihkan Kasur dan jarang mengganti sprei. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan pasien tampak sakit ringan, kesan gizi normal dan startus generalis dalam batas normal,
Pada pemeriksaan status dermatologis di regio gluteus bilateral, elbow sinistra, kedua palmar,
patella sinistra, dengan efloresensi berupa papul eritematosa, pustul, erosi, krusta. multiple,
diskret, bilateral, batas tegas, bentuk bulat, ukuran miliar sampai lentikuler diameter 0,3–1,00 cm,
menimbul dari permukaan kulit, kering
Diagnosis kerja ditetapkan sebagia scabies dikarenakan gejala gejala yang dikeluhkan
memenuhi minimal 2 dari 4 tanda cardinal scabies, yang ditemukan pada pasien terdapat 3 kardinal
yaitu pruritus nokturna, adanya orang sekitar pasien yang mempunyai Riwayat keluhan yang sama,
dan ditemukannya kanalikulus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sungkar S. Skabies: Etiologi, patogenesis, pengobatan, pemberantasan, dan pencegahan.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016.
2. Mahabaleshwar RG. Scabies: Its treatment futile. Int J Sci Stud 2019;7(3):63-65.
3. Ridwan AR, Sahrudin, Ibrahim K. Hubungan pengetahuan, personal hygiene, dan
kepadatan hunian dengan gejala penyakit scabies pada santri di Pondok Pesantren Darul
Muklisin Kota Kendari 2017. JIMKESMAS. 2017;2;6:1-8
4. Maan MA, Maan MS, Sohail AM, Arif M. Bullous scabies: A case report and review of
the literature. BMC Res Notes 2015;8:254.
5. Karimkhani C, Colombara DV, Drucker AM. The global burden of scabies: a cross-
sectional analysis from the Global Burden of Disease Study 2015. Lancet Infect Dis.
2017;17:1247–1254
6. Dinas Kesehatan Provinsi Sultra. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara
Tahun 2012. Kendari.
7. Chandlera DJ, Fullerb LC. A review of scabies: An infestation more than skin deep.
Dermatology 2019;235:79–90
8. Wochebo W,Haji Y, Asnake S. Scabies outbreak investigation and risk factors in
Kechabira district, Southern Ethiopia: unmatched case control study. BMC Res
Notes.2019; 12:305
9. Griana TP. Scabies: Penyebab, penanganan dan pencegahannya. El-Hayah.2013;4;1:37-46
10. Seidelman J, Gizza MR, Walton FS, Currie JB. Scabies : more than a mite : crusted scabies.
The American Journal of Medicine.2017;130;9:1042-4
11. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7th Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2015. p. 137-40.
12. Hardy M, Engelman D, Steer A. Scabies: A clinical update. Australian Family Physician;
Melbourne 46, no. 5. 2017; 264–68.
13. Kurniawan M, Ling MSS, Franklind. Diagnosis dan terapi scabies. CDK.2020;47;2:104-7
14. Alsyali Z, Alaithan A, Almubarak K, Alibrahim H, Almansour A, Albalawi T, et.al. A
comprehensive review study on scabies and its associated impact on psychosocial health
of an individual. International Journal of Contemporary Research and
Review.2019;10;2:20700-7