Anda di halaman 1dari 26

Dina Suharti

Penapisan TB

Tanggal 6 September 2022


Pelaksaanaan
Kegiatan
Judul Laporan Program Skrining pada Kasus Tuberkulosis
Kegiatan
Identitas Pasien K, 33 tahun
Latar Belakang Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dikenal juga dengan Bakteri Tahan
Asam (BTA). TB paru biasanya ditandai dengan batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Selain itu TB paru juga ditandai dengan dahak bercampur darah, tanpa
kegiatan fisik berkeringat di malam hari, badan terasa lemas, sesak nafas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, lelah, dan demam meriang lebih dari 1
bulan (Kemenkes RI, 2018). Penyakit ini apabila tidak segera diobati atau
pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga
kematian.
Menurut WHO tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian
global. Dengan berbagai upaya pengendalian yang dilakukan, insiden dan
kematian akibat tuberkulosis telah menurun, namun tuberculosis diperkirakan
masih menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun
2014. India, Indonesia dan China merupakan negara dengan penderita
tuberkulosis terbanyak yaitu berturut-turut 23%, 10%, dan 10% dari seluruh
penderita di dunia.
Sumber penularan adalah pasien TB Paru BTA positif melalui percikan
dahak yang dikeluarkannya. Namun, pasien TB Paru dengan BTA negatif juga
masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB Paru. Infeksi akan terjadi
apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percikan dahak yang
infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percik renik). Sekali batuk
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Mengingat mudahnya TB Paru
menular dan dapat menyebar ke organ tubuh lainnya, maka mencegah itu lebih
baik dari pada mengobati. Pemerintah sudah menyediakan fasilitas pengobatan
bagi penderita TB Paru dengan penerapan strategi DOTS, melalui Puskesmas dan
Rumah Sakit. Pengetahuan masyarakat tentang deteksi dini TB Paru sangat
diperlukan untuk memberantas penyakit TB Paru. Deteksi dini merupakan suatu
meka nisme yang berupa pemberian informasi secara tepat waktu dan efektif, agar
masyarakat/ individu di daerah rawan mampu mengambil tindakan menghindari
atau mengurangi resiko dan mampu bersiap-siap untuk merespon secara efektif.
Oleh karena itu diberlakukanlah skrining TB yang dibutuhkan bagi pasien
yang mengalami gejala (TB aktif) atau memiliki kondisi tertentu yang dapat
meningkatkan risiko TB (Sukartini, Hidayati and Pratiwi, 2019). Terdapat
beberapa jenis tes yang dilakukan untuk mendeteksi tuberkulosis. Bagi anak-anak,
skrining TB umumnya dilakukan dengan tes Mantoux. Sedangkan pada pasien
dewasa, pemeriksaan ini bisa berupa tes dahak dan rontgen dada (Mardiah, 2019).
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 67/2016 tentang
Penanggulangan Tuberkulosis, skrining atau penemuan kasus merupakan salah
satu strategi penanggulangan TB yang dapat dilakukan secara aktif, pasif, intensif,
dan masif. Penemuan kasus TB secara pasif-intensif dilaksanakan di fasilitas
kesehatan dengan memperkuat jejaring layanan TB melalui Public-Private Mix
(PPM) dan memperkuat kolaborasi layanan. Sedangkan penemuan kasus TB
secara aktif-masif dilakukan berbasis keluarga dan masyarakat di luar fasyankes
dengan melibatkan semua potensi masyarakat seperti kader Kesehatan, pos TB
desa, tokoh masyarakat, dan pemuka agama.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi maka
setiap orang yang datang ke fasilitas kesehatan dengan gejala tersebut diatas
dianggap sebagai terduga pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung (Khoirul Hafidzah, 2018). Selain identifikasi pada
orang dengan gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pula pemeriksaan pada orang
dengan faktor risiko TB, seperti: kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah
padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja
dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan infeksi paru (Erni
and Qibtiyah, 2020). Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium
TB untuk pasien yang memiliki faktor risiko dan memiliki gejala tambahan
meskipun tanpa batuk berdahak
>2 minggu (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Petunjuk Penyehatan
Lingkungan, 2017).
Gambaran 1. Melakukan identifikasi pasien yang beresiko terinfeksi Tuberkulosis
Pelaksanaan 2. Melakukan pendaftaran (Nama, NIK, Usia)
3. Pasien menuju ruang Infeksius
4. Melakukan wawancara faktor resiko Tuberkulosis
Pasien dengan riwayat batuk > 2 minggu, penurunan BB tidak ada , demam
tidak ada, keringat malam tidak ada, anak pasien batuk lama > 20 hari tidak di
termukan penurunan berat badan dan keringat malam
5. Pasien diperiksa oleh petugas infeksius dan diambil dahaknya.
Jika pasien dapat berdahak saat itu : pasien diberi 2 buah pot sputum untuk
berdahak di bilik dahak, kemudian diserahkan ke bagian laboratorium.
Jika pasien tidak dapat berdahak saat itu : Pasien diberi 2 buah pot sputum
untuk berdahak di rumah besok pagi kemudian menyerahkan pot yang sudah
berisi dahak ke bagian laboratorium.
6. Melakukan pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (GeneXpert)
7. Hasil pemeriksaan pada pasien adalah: MTB Not Detected
8. Pasien mendapatkan hasil pemeriksaan dahak melalui telepon, Whatshapp
atau kader setempat
9. Apabila dari hasil pemeriksaan, pasien dinyatakan positif TBC, maka pasien
akan mendapatkan pengobatan TBC sesuai standar dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium gula darah, HIV, SGOT dan SGPT.
Catatan/Usulan
ke/dari Pendamping

Tanggal 6 September 2022


Pelaksaanaan
Kegiatan
Judul Laporan Program Skrining pada Kasus Tuberkulosis
Kegiatan
Identitas Pasien ZR, 31 tahun
Latar Belakang Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dikenal juga dengan Bakteri Tahan
Asam (BTA). TB paru biasanya ditandai dengan batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Selain itu TB paru juga ditandai dengan dahak bercampur darah, tanpa
kegiatan fisik berkeringat di malam hari, badan terasa lemas, sesak nafas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, lelah, dan demam meriang lebih dari 1
bulan (Kemenkes RI, 2018). Penyakit ini apabila tidak segera diobati atau
pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga
kematian.
Menurut WHO tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian
global. Dengan berbagai upaya pengendalian yang dilakukan, insiden dan
kematian akibat tuberkulosis telah menurun, namun tuberculosis diperkirakan
masih menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun
2014. India, Indonesia dan China merupakan negara dengan penderita
tuberkulosis terbanyak yaitu berturut-turut 23%, 10%, dan 10% dari seluruh
penderita di dunia.
Sumber penularan adalah pasien TB Paru BTA positif melalui percikan
dahak yang dikeluarkannya. Namun, pasien TB Paru dengan BTA negatif juga
masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB Paru. Infeksi akan terjadi
apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percikan dahak yang
infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percik renik). Sekali batuk
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Mengingat mudahnya TB Paru
menular dan dapat menyebar ke organ tubuh lainnya, maka mencegah itu lebih
baik dari pada mengobati. Pemerintah sudah menyediakan fasilitas pengobatan
bagi penderita TB Paru dengan penerapan strategi DOTS, melalui Puskesmas dan
Rumah Sakit. Pengetahuan masyarakat tentang deteksi dini TB Paru sangat
diperlukan untuk memberantas penyakit TB Paru. Deteksi dini merupakan suatu
meka nisme yang berupa pemberian informasi secara tepat waktu dan efektif, agar
masyarakat/ individu di daerah rawan mampu mengambil tindakan menghindari
atau mengurangi resiko dan mampu bersiap-siap untuk merespon secara efektif.
Oleh karena itu diberlakukanlah skrining TB yang dibutuhkan bagi pasien
yang mengalami gejala (TB aktif) atau memiliki kondisi tertentu yang dapat
meningkatkan risiko TB (Sukartini, Hidayati and Pratiwi, 2019). Terdapat
beberapa jenis tes yang dilakukan untuk mendeteksi tuberkulosis. Bagi anak-anak,
skrining TB umumnya dilakukan dengan tes Mantoux. Sedangkan pada pasien
dewasa, pemeriksaan ini bisa berupa tes dahak dan rontgen dada (Mardiah, 2019).
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 67/2016 tentang
Penanggulangan Tuberkulosis, skrining atau penemuan kasus merupakan salah
satu strategi penanggulangan TB yang dapat dilakukan secara aktif, pasif, intensif,
dan masif. Penemuan kasus TB secara pasif-intensif dilaksanakan di fasilitas
kesehatan dengan memperkuat jejaring layanan TB melalui Public-Private Mix
(PPM) dan memperkuat kolaborasi layanan. Sedangkan penemuan kasus TB
secara aktif-masif dilakukan berbasis keluarga dan masyarakat di luar fasyankes
dengan melibatkan semua potensi masyarakat seperti kader Kesehatan, pos TB
desa, tokoh masyarakat, dan pemuka agama.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi maka
setiap orang yang datang ke fasilitas kesehatan dengan gejala tersebut diatas
dianggap sebagai terduga pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung (Khoirul Hafidzah, 2018). Selain identifikasi pada
orang dengan gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pula pemeriksaan pada orang
dengan faktor risiko TB, seperti: kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah
padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja
dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan infeksi paru (Erni
and Qibtiyah, 2020). Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium
TB untuk pasien yang memiliki faktor risiko dan memiliki gejala tambahan
meskipun tanpa batuk berdahak >2 minggu (Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Petunjuk Penyehatan Lingkungan, 2017).
Gambaran 1. Melakukan identifikasi pasien yang beresiko terinfeksi Tuberkulosis
Pelaksanaan 2. Melakukan pendaftaran (Nama, NIK, Usia)
3. Pasien menuju ruang Infeksius
4. Melakukan wawancara faktor resiko Tuberkulosis
Pasien dengan keluhan batuk berdahak >2 minggu, suami pasien merokok
dan rumah pasien tertutup dengan jendela yang jarang dibuka
5. Pasien diperiksa oleh petugas infeksius dan diambil dahaknya.
Jika pasien dapat berdahak saat itu : pasien diberi 2 buah pot sputum untuk
berdahak di bilik dahak, kemudian diserahkan ke bagian laboratorium.
Jika pasien tidak dapat berdahak saat itu : Pasien diberi 2 buah pot sputum
untuk berdahak di rumah besok pagi kemudian menyerahkan pot yang sudah
berisi dahak ke bagian laboratorium.
6. Melakukan pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (GeneXpert)
7. Hasil pemeriksaan pada pasien adalah: MTB Not Detected
8. Pasien mendapatkan hasil pemeriksaan dahak melalui telepon, Whatshapp
atau kader setempat
9. Apabila dari hasil pemeriksaan, pasien dinyatakan positif TBC, maka pasien
akan mendapatkan pengobatan TBC sesuai standar dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium gula darah, HIV, SGOT dan SGPT.
Catatan/Usulan
ke/dari Pendamping

Tanggal 6 September 2022


Pelaksaanaan
Kegiatan
Judul Laporan Program Skrining pada Kasus Tuberkulosis
Kegiatan
Identitas Pasien I, 63 tahun
Latar Belakang Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dikenal juga dengan Bakteri Tahan
Asam (BTA). TB paru biasanya ditandai dengan batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Selain itu TB paru juga ditandai dengan dahak bercampur darah, tanpa
kegiatan fisik berkeringat di malam hari, badan terasa lemas, sesak nafas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, lelah, dan demam meriang lebih dari 1
bulan (Kemenkes RI, 2018). Penyakit ini apabila tidak segera diobati atau
pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga
kematian.
Menurut WHO tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian
global. Dengan berbagai upaya pengendalian yang dilakukan, insiden dan
kematian akibat tuberkulosis telah menurun, namun tuberculosis diperkirakan
masih menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun
2014. India, Indonesia dan China merupakan negara dengan penderita
tuberkulosis terbanyak yaitu berturut-turut 23%, 10%, dan 10% dari seluruh
penderita di dunia.
Sumber penularan adalah pasien TB Paru BTA positif melalui percikan
dahak yang dikeluarkannya. Namun, pasien TB Paru dengan BTA negatif juga
masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB Paru. Infeksi akan terjadi
apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percikan dahak yang
infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percik renik). Sekali batuk
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Mengingat mudahnya TB Paru
menular dan dapat menyebar ke organ tubuh lainnya, maka mencegah itu lebih
baik dari pada mengobati. Pemerintah sudah menyediakan fasilitas pengobatan
bagi penderita TB Paru dengan penerapan strategi DOTS, melalui Puskesmas dan
Rumah Sakit. Pengetahuan masyarakat tentang deteksi dini TB Paru sangat
diperlukan untuk memberantas penyakit TB Paru. Deteksi dini merupakan suatu
meka nisme yang berupa pemberian informasi secara tepat waktu dan efektif, agar
masyarakat/ individu di daerah rawan mampu mengambil tindakan menghindari
atau mengurangi resiko dan mampu bersiap-siap untuk merespon secara efektif.
Oleh karena itu diberlakukanlah skrining TB yang dibutuhkan bagi pasien
yang mengalami gejala (TB aktif) atau memiliki kondisi tertentu yang dapat
meningkatkan risiko TB (Sukartini, Hidayati and Pratiwi, 2019). Terdapat
beberapa jenis tes yang dilakukan untuk mendeteksi tuberkulosis. Bagi anak-anak,
skrining TB umumnya dilakukan dengan tes Mantoux. Sedangkan pada pasien
dewasa, pemeriksaan ini bisa berupa tes dahak dan rontgen dada (Mardiah, 2019).
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 67/2016 tentang
Penanggulangan Tuberkulosis, skrining atau penemuan kasus merupakan salah
satu strategi penanggulangan TB yang dapat dilakukan secara aktif, pasif, intensif,
dan masif. Penemuan kasus TB secara pasif-intensif dilaksanakan di fasilitas
kesehatan dengan memperkuat jejaring layanan TB melalui Public-Private Mix
(PPM) dan memperkuat kolaborasi layanan. Sedangkan penemuan kasus TB
secara aktif-masif dilakukan berbasis keluarga dan masyarakat di luar fasyankes
dengan melibatkan semua potensi masyarakat seperti kader Kesehatan, pos TB
desa, tokoh masyarakat, dan pemuka agama.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi maka
setiap orang yang datang ke fasilitas kesehatan dengan gejala tersebut diatas
dianggap sebagai terduga pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung (Khoirul Hafidzah, 2018). Selain identifikasi pada
orang dengan gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pula pemeriksaan pada orang
dengan faktor risiko TB, seperti: kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah
padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja
dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan infeksi paru (Erni
and Qibtiyah, 2020). Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium
TB untuk pasien yang memiliki faktor risiko dan memiliki gejala tambahan
meskipun tanpa batuk berdahak >2 minggu (Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Petunjuk Penyehatan Lingkungan, 2017).
Gambaran 1. Melakukan identifikasi pasien yang beresiko terinfeksi Tuberkulosis
Pelaksanaan 2. Melakukan pendaftaran (Nama, NIK, Usia)
3. Pasien menuju ruang Infeksius
4. Melakukan wawancara faktor resiko Tuberkulosis
Pasien dengan riwayat penyakit Diabetes mellitus, suami pasien merokok dan
pasien sering batuk tiap bulan
5. Pasien diperiksa oleh petugas infeksius dan diambil dahaknya.
Jika pasien dapat berdahak saat itu : pasien diberi 2 buah pot sputum untuk
berdahak di bilik dahak, kemudian diserahkan ke bagian laboratorium.
Jika pasien tidak dapat berdahak saat itu : Pasien diberi 2 buah pot sputum
untuk berdahak di rumah besok pagi kemudian menyerahkan pot yang sudah
berisi dahak ke bagian laboratorium.
6. Melakukan pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (GeneXpert)
7. Hasil pemeriksaan pada pasien adalah: MTB Not Detected
8. Pasien mendapatkan hasil pemeriksaan dahak melalui telepon, Whatshapp
atau kader setempat
9. Apabila dari hasil pemeriksaan, pasien dinyatakan positif TBC, maka pasien
akan mendapatkan pengobatan TBC sesuai standar dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium gula darah, HIV, SGOT dan SGPT.
Catatan/Usulan
ke/dari Pendamping

Tanggal 6 September 2022


Pelaksaanaan
Kegiatan
Judul Laporan Program Skrining pada Kasus Tuberkulosis
Kegiatan
Identitas Pasien RG, 49 tahun
Latar Belakang Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dikenal juga dengan Bakteri Tahan
Asam (BTA). TB paru biasanya ditandai dengan batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Selain itu TB paru juga ditandai dengan dahak bercampur darah, tanpa
kegiatan fisik berkeringat di malam hari, badan terasa lemas, sesak nafas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, lelah, dan demam meriang lebih dari 1
bulan (Kemenkes RI, 2018). Penyakit ini apabila tidak segera diobati atau
pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga
kematian.
Menurut WHO tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian
global. Dengan berbagai upaya pengendalian yang dilakukan, insiden dan
kematian akibat tuberkulosis telah menurun, namun tuberculosis diperkirakan
masih menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun
2014. India, Indonesia dan China merupakan negara dengan penderita
tuberkulosis terbanyak yaitu berturut-turut 23%, 10%, dan 10% dari seluruh
penderita di dunia.
Sumber penularan adalah pasien TB Paru BTA positif melalui percikan
dahak yang dikeluarkannya. Namun, pasien TB Paru dengan BTA negatif juga
masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB Paru. Infeksi akan terjadi
apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percikan dahak yang
infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percik renik). Sekali batuk
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Mengingat mudahnya TB Paru
menular dan dapat menyebar ke organ tubuh lainnya, maka mencegah itu lebih
baik dari pada mengobati. Pemerintah sudah menyediakan fasilitas pengobatan
bagi penderita TB Paru dengan penerapan strategi DOTS, melalui Puskesmas dan
Rumah Sakit. Pengetahuan masyarakat tentang deteksi dini TB Paru sangat
diperlukan untuk memberantas penyakit TB Paru. Deteksi dini merupakan suatu
meka nisme yang berupa pemberian informasi secara tepat waktu dan efektif, agar
masyarakat/ individu di daerah rawan mampu mengambil tindakan menghindari
atau mengurangi resiko dan mampu bersiap-siap untuk merespon secara efektif.
Oleh karena itu diberlakukanlah skrining TB yang dibutuhkan bagi pasien
yang mengalami gejala (TB aktif) atau memiliki kondisi tertentu yang dapat
meningkatkan risiko TB (Sukartini, Hidayati and Pratiwi, 2019). Terdapat
beberapa jenis tes yang dilakukan untuk mendeteksi tuberkulosis. Bagi anak-anak,
skrining TB umumnya dilakukan dengan tes Mantoux. Sedangkan pada pasien
dewasa, pemeriksaan ini bisa berupa tes dahak dan rontgen dada (Mardiah, 2019).
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 67/2016 tentang
Penanggulangan Tuberkulosis, skrining atau penemuan kasus merupakan salah
satu strategi penanggulangan TB yang dapat dilakukan secara aktif, pasif, intensif,
dan masif. Penemuan kasus TB secara pasif-intensif dilaksanakan di fasilitas
kesehatan dengan memperkuat jejaring layanan TB melalui Public-Private Mix
(PPM) dan memperkuat kolaborasi layanan. Sedangkan penemuan kasus TB
secara aktif-masif dilakukan berbasis keluarga dan masyarakat di luar fasyankes
dengan melibatkan semua potensi masyarakat seperti kader Kesehatan, pos TB
desa, tokoh masyarakat, dan pemuka agama.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi maka
setiap orang yang datang ke fasilitas kesehatan dengan gejala tersebut diatas
dianggap sebagai terduga pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung (Khoirul Hafidzah, 2018). Selain identifikasi pada
orang dengan gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pula pemeriksaan pada orang
dengan faktor risiko TB, seperti: kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah
padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja
dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan infeksi paru (Erni
and Qibtiyah, 2020). Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium
TB untuk pasien yang memiliki faktor risiko dan memiliki gejala tambahan
meskipun tanpa batuk berdahak >2 minggu (Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Petunjuk Penyehatan Lingkungan, 2017).
Gambaran 1. Melakukan identifikasi pasien yang beresiko terinfeksi Tuberkulosis
Pelaksanaan 2. Melakukan pendaftaran (Nama, NIK, Usia)
3. Pasien menuju ruang Infeksius
4. Melakukan wawancara faktor resiko Tuberkulosis
Pasien meropakan perokok 1 hari 2 bungkus dan setiap bangun tidur
merasakan seperti ada dahak di tenggorokan, pasien bekerja sebagai pekerja
bangunan dan sering menghirup debu
5. Pasien diperiksa oleh petugas infeksius dan diambil dahaknya.
Jika pasien dapat berdahak saat itu : pasien diberi 2 buah pot sputum untuk
berdahak di bilik dahak, kemudian diserahkan ke bagian laboratorium.
Jika pasien tidak dapat berdahak saat itu : Pasien diberi 2 buah pot sputum
untuk berdahak di rumah besok pagi kemudian menyerahkan pot yang sudah
berisi dahak ke bagian laboratorium.
6. Melakukan pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (GeneXpert)
7. Hasil pemeriksaan pada pasien adalah: MTB Not Detected
8. Pasien mendapatkan hasil pemeriksaan dahak melalui telepon, Whatshapp
atau kader setempat
9. Apabila dari hasil pemeriksaan, pasien dinyatakan positif TBC, maka pasien
akan mendapatkan pengobatan TBC sesuai standar dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium gula darah, HIV, SGOT dan SGPT.
Catatan/Usulan
ke/dari Pendamping
Tanggal 6 September 2022
Pelaksaanaan
Kegiatan
Judul Laporan Program Skrining pada Kasus Tuberkulosis
Kegiatan
Identitas Pasien S, 52 tahun
Latar Belakang Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dikenal juga dengan Bakteri Tahan
Asam (BTA). TB paru biasanya ditandai dengan batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Selain itu TB paru juga ditandai dengan dahak bercampur darah, tanpa
kegiatan fisik berkeringat di malam hari, badan terasa lemas, sesak nafas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, lelah, dan demam meriang lebih dari 1
bulan (Kemenkes RI, 2018). Penyakit ini apabila tidak segera diobati atau
pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga
kematian.
Menurut WHO tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian
global. Dengan berbagai upaya pengendalian yang dilakukan, insiden dan
kematian akibat tuberkulosis telah menurun, namun tuberculosis diperkirakan
masih menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun
2014. India, Indonesia dan China merupakan negara dengan penderita
tuberkulosis terbanyak yaitu berturut-turut 23%, 10%, dan 10% dari seluruh
penderita di dunia.
Sumber penularan adalah pasien TB Paru BTA positif melalui percikan
dahak yang dikeluarkannya. Namun, pasien TB Paru dengan BTA negatif juga
masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB Paru. Infeksi akan terjadi
apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percikan dahak yang
infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percik renik). Sekali batuk
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Mengingat mudahnya TB Paru
menular dan dapat menyebar ke organ tubuh lainnya, maka mencegah itu lebih
baik dari pada mengobati. Pemerintah sudah menyediakan fasilitas pengobatan
bagi penderita TB Paru dengan penerapan strategi DOTS, melalui Puskesmas dan
Rumah Sakit. Pengetahuan masyarakat tentang deteksi dini TB Paru sangat
diperlukan untuk memberantas penyakit TB Paru. Deteksi dini merupakan suatu
meka nisme yang berupa pemberian informasi secara tepat waktu dan efektif, agar
masyarakat/ individu di daerah rawan mampu mengambil tindakan menghindari
atau mengurangi resiko dan mampu bersiap-siap untuk merespon secara efektif.
Oleh karena itu diberlakukanlah skrining TB yang dibutuhkan bagi pasien
yang mengalami gejala (TB aktif) atau memiliki kondisi tertentu yang dapat
meningkatkan risiko TB (Sukartini, Hidayati and Pratiwi, 2019). Terdapat
beberapa jenis tes yang dilakukan untuk mendeteksi tuberkulosis. Bagi anak-anak,
skrining TB umumnya dilakukan dengan tes Mantoux. Sedangkan pada pasien
dewasa, pemeriksaan ini bisa berupa tes dahak dan rontgen dada (Mardiah, 2019).
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 67/2016 tentang
Penanggulangan Tuberkulosis, skrining atau penemuan kasus merupakan salah
satu strategi penanggulangan TB yang dapat dilakukan secara aktif, pasif, intensif,
dan masif. Penemuan kasus TB secara pasif-intensif dilaksanakan di fasilitas
kesehatan dengan memperkuat jejaring layanan TB melalui Public-Private Mix
(PPM) dan memperkuat kolaborasi layanan. Sedangkan penemuan kasus TB
secara aktif-masif dilakukan berbasis keluarga dan masyarakat di luar fasyankes
dengan melibatkan semua potensi masyarakat seperti kader Kesehatan, pos TB
desa, tokoh masyarakat, dan pemuka agama.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi maka
setiap orang yang datang ke fasilitas kesehatan dengan gejala tersebut diatas
dianggap sebagai terduga pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung (Khoirul Hafidzah, 2018). Selain identifikasi pada
orang dengan gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pula pemeriksaan pada orang
dengan faktor risiko TB, seperti: kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah
padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja
dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan infeksi paru (Erni
and Qibtiyah, 2020). Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium
TB untuk pasien yang memiliki faktor risiko dan memiliki gejala tambahan
meskipun tanpa batuk berdahak >2 minggu (Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Petunjuk Penyehatan Lingkungan, 2017).
Gambaran 1. Melakukan identifikasi pasien yang beresiko terinfeksi Tuberkulosis
Pelaksanaan 2. Melakukan pendaftaran (Nama, NIK, Usia)
3. Pasien menuju ruang Infeksius
4. Melakukan wawancara faktor resiko Tuberkulosis
Pasien meropakan perokok 1 hari 1 bungkus dan sering batuk berdahak,
pasien berkerja sebagai tukang becak dan sering mneghirup debu dan
berinteraksi dengan penumpang tanpa memakai masker
5. Pasien diperiksa oleh petugas infeksius dan diambil dahaknya.
Jika pasien dapat berdahak saat itu : pasien diberi 2 buah pot sputum untuk
berdahak di bilik dahak, kemudian diserahkan ke bagian laboratorium.
Jika pasien tidak dapat berdahak saat itu : Pasien diberi 2 buah pot sputum
untuk berdahak di rumah besok pagi kemudian menyerahkan pot yang sudah
berisi dahak ke bagian laboratorium.
6. Melakukan pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (GeneXpert)
7. Hasil pemeriksaan pada pasien adalah: MTB Not Detected
8. Pasien mendapatkan hasil pemeriksaan dahak melalui telepon, Whatshapp
atau kader setempat
9. Apabila dari hasil pemeriksaan, pasien dinyatakan positif TBC, maka pasien
akan mendapatkan pengobatan TBC sesuai standar dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium gula darah, HIV, SGOT dan SGPT.
Catatan/Usulan
ke/dari Pendamping
Pengobatan TB
Tanggal 24 September 2022
Pelaksaanaan
Kegiatan
Judul Laporan Pengobatan Pasien dengan Tuberkulosis
Kegiatan
Identitas Pasien SM, 36 tahun
Latar Belakang Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dikenal juga dengan Bakteri Tahan
Asam (BTA). TB paru biasanya ditandai dengan batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Selain itu TB paru juga ditandai dengan dahak bercampur darah, tanpa
kegiatan fisik berkeringat di malam hari, badan terasa lemas, sesak nafas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, lelah, dan demam meriang lebih dari 1
bulan (Kemenkes RI, 2018).
World Health Organization (WHO) tahun 2016 menyatakan bahwa TB
masih menjadi topik utama dalam masalah kesehatan di dunia. Hal ini
ditunjukkan dengan TB menjadi salah satu penyakit menular 10 terbanyak di
dunia. Pada tahun 2015 total jumlah kasus TB di dunia 10,4 juta kasus TB baru
termasuk 1,2 juta (11%) di antara orang yang mengidap HIV positif dengan 56%
laki-laki dan 34% wanita serta 10% anak-anak. Dihitung dari segi persentase
dapat dinilai bahwa jumlah kasus TB sebesar 90% pada orang dewasa dan 10%
pada anak-anak. (3) Kasus TB mengalami peningkatan dari tahun 2014 yang
diperkirakan 2 juta orang meninggal di seluruh dunia karena penyakit tuberkulosis
paru dari total 9,6 juta kasus.
Salah satu cara yang efektif untuk menurunkan jumlah penderita TB paru
adalah meningkatkan kepatuhan penderita dalam menjalani pengobatan. Selain
itu, kepatuhan dalam pengobatan TB paru juga dapat mencegah timbulnya
resistensi obat, kekambuhan penyakit dan kematian. Ketidakpatuhan terhadap
pengobatan TB paru menjadi suatu penghalang penting dalam melakukan
pengendalian TB paru secara global dan telah menjadi faktor utama penyebab
kegagalan pengobatan. Dampak yang ditimbulkan akibat ketidakpatuhan
pengobatan dapat berakibat fatal, yaitu mulai dari rendahnya angka pencapaian
kesembuhan sampai kematian yang nantinya akan menimbulkan kegagalan
eradikasi TB paru. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu tindakan untuk
mengurangi faktor-faktor yang dapat memicu timbulnya kegagalan pengobatan
TB paru.
Keberhasilan dalam pengobatan pasien TB paru dipengaruhi oleh kepatuhan
dalam berobat. Faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan seseorang dalam
berobat yaitu usia, pengetahuan, waktu luang, pengawasan, jenis dan dosis obat,
pekerjaan serta sikap dan penyuluhan dari petugas kesehatan. Pengobatan akan
efektif apabila pasien TB paru memenuhi aturan dalam berobat. Ketidakpatuhan
yang mengakibatkan tingginya kasus kegagalan pengobatan pada pasien TB paru
dan berdampak pada peningkatan risiko morbiditas, mortatiltas, dan menyebabkan
semakin banyaknya pasien TB paru yang mengalami resisten dengan pengobatan
standar

Gambaran Data Pasien:


Pelaksanaan Nama: Ny. SM
Umur: 36 tahun
Tanggal mulai pengobatan: 25 Agustus 2022
Mekanisme pengambilan obat:
1. Petugas memastikan hasil pemeriksaan dari dokter hasil BTA positif, atau
hasil TCM positif yang mendukung untuk dilakukan pengobatan TB
2. Petugas mencatat identitas penderita dengan meminta no HP penderita dan no
HP PMO (Pengawas Minum Obat) dan melakukan anamnese pada Form TB
01
3. Petugas konsultasi ke dokter untuk pemberian OAT(Obat Anti TB)
4. Petugas memberikan penjelasan tentang dosis dan aturan minum obat, efek
samping serta resiko dari pengobatan TB yang tidak taat dan tuntas
5. Petugas memberikan penjelasan pada penderita untuk pola hidup sehat untuk
membantu proses penyembuhan
6. Petugas mencatat pada Form TB 02 tanggal pengambilan obat, tahap
pengobatan, jumlah OAT dan tanggal harus kembali mengambil obat dihari
jumat
7. Petugas menyerahkan obat
8. Penderita di minta mengulang apa yang telah di sampaikan petugas
9. Penderita pulang
Catatan/Usulan
ke/dari Pendamping

Tanggal 15 September 2022


Pelaksaanaan
Kegiatan
Judul Laporan Pengobatan Pasien dengan Tuberkulosis
Kegiatan
Identitas Pasien P, 71 tahun
Latar Belakang Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dikenal juga dengan Bakteri Tahan
Asam (BTA). TB paru biasanya ditandai dengan batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Selain itu TB paru juga ditandai dengan dahak bercampur darah, tanpa
kegiatan fisik berkeringat di malam hari, badan terasa lemas, sesak nafas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, lelah, dan demam meriang lebih dari 1
bulan (Kemenkes RI, 2018).
World Health Organization (WHO) tahun 2016 menyatakan bahwa TB
masih menjadi topik utama dalam masalah kesehatan di dunia. Hal ini
ditunjukkan dengan TB menjadi salah satu penyakit menular 10 terbanyak di
dunia. Pada tahun 2015 total jumlah kasus TB di dunia 10,4 juta kasus TB baru
termasuk 1,2 juta (11%) di antara orang yang mengidap HIV positif dengan 56%
laki-laki dan 34% wanita serta 10% anak-anak. Dihitung dari segi persentase
dapat dinilai bahwa jumlah kasus TB sebesar 90% pada orang dewasa dan 10%
pada anak-anak. (3) Kasus TB mengalami peningkatan dari tahun 2014 yang
diperkirakan 2 juta orang meninggal di seluruh dunia karena penyakit tuberkulosis
paru dari total 9,6 juta kasus.
Salah satu cara yang efektif untuk menurunkan jumlah penderita TB paru
adalah meningkatkan kepatuhan penderita dalam menjalani pengobatan. Selain
itu, kepatuhan dalam pengobatan TB paru juga dapat mencegah timbulnya
resistensi obat, kekambuhan penyakit dan kematian. Ketidakpatuhan terhadap
pengobatan TB paru menjadi suatu penghalang penting dalam melakukan
pengendalian TB paru secara global dan telah menjadi faktor utama penyebab
kegagalan pengobatan. Dampak yang ditimbulkan akibat ketidakpatuhan
pengobatan dapat berakibat fatal, yaitu mulai dari rendahnya angka pencapaian
kesembuhan sampai kematian yang nantinya akan menimbulkan kegagalan
eradikasi TB paru. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu tindakan untuk
mengurangi faktor-faktor yang dapat memicu timbulnya kegagalan pengobatan
TB paru.
Keberhasilan dalam pengobatan pasien TB paru dipengaruhi oleh kepatuhan
dalam berobat. Faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan seseorang dalam
berobat yaitu usia, pengetahuan, waktu luang, pengawasan, jenis dan dosis obat,
pekerjaan serta sikap dan penyuluhan dari petugas kesehatan. Pengobatan akan
efektif apabila pasien TB paru memenuhi aturan dalam berobat. Ketidakpatuhan
yang mengakibatkan tingginya kasus kegagalan pengobatan pada pasien TB paru
dan berdampak pada peningkatan risiko morbiditas, mortatiltas, dan menyebabkan
semakin banyaknya pasien TB paru yang mengalami resisten dengan pengobatan
standar

Gambaran Data Pasien:


Pelaksanaan Nama: Ny. P
Umur: 71 tahun
Tanggal mulai pengobatan: 18 Agustus 2022
Mekanisme pengambilan obat:
1. Petugas memastikan hasil pemeriksaan dari dokter hasil BTA positif, atau
hasil TCM positif yang mendukung untuk dilakukan pengobatan TB
2. Petugas mencatat identitas penderita dengan meminta no HP penderita dan no
HP PMO (Pengawas Minum Obat) dan melakukan anamnese pada Form TB
01
3. Petugas konsultasi ke dokter untuk pemberian OAT(Obat Anti TB)
4. Petugas memberikan penjelasan tentang dosis dan aturan minum obat, efek
samping serta resiko dari pengobatan TB yang tidak taat dan tuntas
5. Petugas memberikan penjelasan pada penderita untuk pola hidup sehat untuk
membantu proses penyembuhan
6. Petugas mencatat pada Form TB 02 tanggal pengambilan obat, tahap
pengobatan, jumlah OAT dan tanggal harus kembali mengambil obat dihari
jumat
7. Petugas menyerahkan obat
8. Penderita di minta mengulang apa yang telah di sampaikan petugas
9. Penderita pulang
Catatan/Usulan
ke/dari Pendamping

Tanggal 3 September 2022


Pelaksaanaan
Kegiatan
Judul Laporan Pengobatan Pasien dengan Tuberkulosis
Kegiatan
Identitas Pasien C, 35 tahun
Latar Belakang Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dikenal juga dengan Bakteri Tahan
Asam (BTA). TB paru biasanya ditandai dengan batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Selain itu TB paru juga ditandai dengan dahak bercampur darah, tanpa
kegiatan fisik berkeringat di malam hari, badan terasa lemas, sesak nafas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, lelah, dan demam meriang lebih dari 1
bulan (Kemenkes RI, 2018).
World Health Organization (WHO) tahun 2016 menyatakan bahwa TB
masih menjadi topik utama dalam masalah kesehatan di dunia. Hal ini
ditunjukkan dengan TB menjadi salah satu penyakit menular 10 terbanyak di
dunia. Pada tahun 2015 total jumlah kasus TB di dunia 10,4 juta kasus TB baru
termasuk 1,2 juta (11%) di antara orang yang mengidap HIV positif dengan 56%
laki-laki dan 34% wanita serta 10% anak-anak. Dihitung dari segi persentase
dapat dinilai bahwa jumlah kasus TB sebesar 90% pada orang dewasa dan 10%
pada anak-anak. (3) Kasus TB mengalami peningkatan dari tahun 2014 yang
diperkirakan 2 juta orang meninggal di seluruh dunia karena penyakit tuberkulosis
paru dari total 9,6 juta kasus.
Salah satu cara yang efektif untuk menurunkan jumlah penderita TB paru
adalah meningkatkan kepatuhan penderita dalam menjalani pengobatan. Selain
itu, kepatuhan dalam pengobatan TB paru juga dapat mencegah timbulnya
resistensi obat, kekambuhan penyakit dan kematian. Ketidakpatuhan terhadap
pengobatan TB paru menjadi suatu penghalang penting dalam melakukan
pengendalian TB paru secara global dan telah menjadi faktor utama penyebab
kegagalan pengobatan. Dampak yang ditimbulkan akibat ketidakpatuhan
pengobatan dapat berakibat fatal, yaitu mulai dari rendahnya angka pencapaian
kesembuhan sampai kematian yang nantinya akan menimbulkan kegagalan
eradikasi TB paru. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu tindakan untuk
mengurangi faktor-faktor yang dapat memicu timbulnya kegagalan pengobatan
TB paru.
Keberhasilan dalam pengobatan pasien TB paru dipengaruhi oleh kepatuhan
dalam berobat. Faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan seseorang dalam
berobat yaitu usia, pengetahuan, waktu luang, pengawasan, jenis dan dosis obat,
pekerjaan serta sikap dan penyuluhan dari petugas kesehatan. Pengobatan akan
efektif apabila pasien TB paru memenuhi aturan dalam berobat. Ketidakpatuhan
yang mengakibatkan tingginya kasus kegagalan pengobatan pada pasien TB paru
dan berdampak pada peningkatan risiko morbiditas, mortatiltas, dan menyebabkan
semakin banyaknya pasien TB paru yang mengalami resisten dengan pengobatan
standar

Gambaran Data Pasien:


Pelaksanaan Nama: Ny. C
Umur: 35 tahun
Tanggal mulai pengobatan: 4 Agustus 2022
Mekanisme pengambilan obat:
1. Petugas memastikan hasil pemeriksaan dari dokter hasil BTA positif, atau
hasil TCM positif yang mendukung untuk dilakukan pengobatan TB
2. Petugas mencatat identitas penderita dengan meminta no HP penderita dan no
HP PMO (Pengawas Minum Obat) dan melakukan anamnese pada Form TB
01
3. Petugas konsultasi ke dokter untuk pemberian OAT(Obat Anti TB)
4. Petugas memberikan penjelasan tentang dosis dan aturan minum obat, efek
samping serta resiko dari pengobatan TB yang tidak taat dan tuntas
5. Petugas memberikan penjelasan pada penderita untuk pola hidup sehat untuk
membantu proses penyembuhan
6. Petugas mencatat pada Form TB 02 tanggal pengambilan obat, tahap
pengobatan, jumlah OAT dan tanggal harus kembali mengambil obat dihari
jumat
7. Petugas menyerahkan obat
8. Penderita di minta mengulang apa yang telah di sampaikan petugas
9. Penderita pulang
Catatan/Usulan
ke/dari Pendamping

Tanggal 4 September 2022


Pelaksaanaan
Kegiatan
Judul Laporan Pengobatan Pasien dengan Tuberkulosis
Kegiatan
Identitas Pasien J, 44 tahun
Latar Belakang Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dikenal juga dengan Bakteri Tahan
Asam (BTA). TB paru biasanya ditandai dengan batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Selain itu TB paru juga ditandai dengan dahak bercampur darah, tanpa
kegiatan fisik berkeringat di malam hari, badan terasa lemas, sesak nafas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, lelah, dan demam meriang lebih dari 1
bulan (Kemenkes RI, 2018).
World Health Organization (WHO) tahun 2016 menyatakan bahwa TB
masih menjadi topik utama dalam masalah kesehatan di dunia. Hal ini
ditunjukkan dengan TB menjadi salah satu penyakit menular 10 terbanyak di
dunia. Pada tahun 2015 total jumlah kasus TB di dunia 10,4 juta kasus TB baru
termasuk 1,2 juta (11%) di antara orang yang mengidap HIV positif dengan 56%
laki-laki dan 34% wanita serta 10% anak-anak. Dihitung dari segi persentase
dapat dinilai bahwa jumlah kasus TB sebesar 90% pada orang dewasa dan 10%
pada anak-anak. (3) Kasus TB mengalami peningkatan dari tahun 2014 yang
diperkirakan 2 juta orang meninggal di seluruh dunia karena penyakit tuberkulosis
paru dari total 9,6 juta kasus.
Salah satu cara yang efektif untuk menurunkan jumlah penderita TB paru
adalah meningkatkan kepatuhan penderita dalam menjalani pengobatan. Selain
itu, kepatuhan dalam pengobatan TB paru juga dapat mencegah timbulnya
resistensi obat, kekambuhan penyakit dan kematian. Ketidakpatuhan terhadap
pengobatan TB paru menjadi suatu penghalang penting dalam melakukan
pengendalian TB paru secara global dan telah menjadi faktor utama penyebab
kegagalan pengobatan. Dampak yang ditimbulkan akibat ketidakpatuhan
pengobatan dapat berakibat fatal, yaitu mulai dari rendahnya angka pencapaian
kesembuhan sampai kematian yang nantinya akan menimbulkan kegagalan
eradikasi TB paru. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu tindakan untuk
mengurangi faktor-faktor yang dapat memicu timbulnya kegagalan pengobatan
TB paru.
Keberhasilan dalam pengobatan pasien TB paru dipengaruhi oleh kepatuhan
dalam berobat. Faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan seseorang dalam
berobat yaitu usia, pengetahuan, waktu luang, pengawasan, jenis dan dosis obat,
pekerjaan serta sikap dan penyuluhan dari petugas kesehatan. Pengobatan akan
efektif apabila pasien TB paru memenuhi aturan dalam berobat. Ketidakpatuhan
yang mengakibatkan tingginya kasus kegagalan pengobatan pada pasien TB paru
dan berdampak pada peningkatan risiko morbiditas, mortatiltas, dan menyebabkan
semakin banyaknya pasien TB paru yang mengalami resisten dengan pengobatan
standar

Gambaran Data Pasien:


Pelaksanaan Nama: Ny. J
Umur: 44 tahun
Tanggal mulai pengobatan: 6 Agustus 2022
Mekanisme pengambilan obat:
1. Petugas memastikan hasil pemeriksaan dari dokter hasil BTA positif, atau
hasil TCM positif yang mendukung untuk dilakukan pengobatan TB
2. Petugas mencatat identitas penderita dengan meminta no HP penderita dan no
HP PMO (Pengawas Minum Obat) dan melakukan anamnese pada Form TB
01
3. Petugas konsultasi ke dokter untuk pemberian OAT(Obat Anti TB)
4. Petugas memberikan penjelasan tentang dosis dan aturan minum obat, efek
samping serta resiko dari pengobatan TB yang tidak taat dan tuntas
5. Petugas memberikan penjelasan pada penderita untuk pola hidup sehat untuk
membantu proses penyembuhan
6. Petugas mencatat pada Form TB 02 tanggal pengambilan obat, tahap
pengobatan, jumlah OAT dan tanggal harus kembali mengambil obat dihari
jumat
7. Petugas menyerahkan obat
8. Penderita di minta mengulang apa yang telah di sampaikan petugas
9. Penderita pulang
Catatan/Usulan
ke/dari Pendamping

Tanggal 3 September 2022


Pelaksaanaan
Kegiatan
Judul Laporan Pengobatan Pasien dengan Tuberkulosis
Kegiatan
Identitas Pasien R, 77 tahun
Latar Belakang Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dikenal juga dengan Bakteri Tahan
Asam (BTA). TB paru biasanya ditandai dengan batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Selain itu TB paru juga ditandai dengan dahak bercampur darah, tanpa
kegiatan fisik berkeringat di malam hari, badan terasa lemas, sesak nafas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, lelah, dan demam meriang lebih dari 1
bulan (Kemenkes RI, 2018).
World Health Organization (WHO) tahun 2016 menyatakan bahwa TB
masih menjadi topik utama dalam masalah kesehatan di dunia. Hal ini
ditunjukkan dengan TB menjadi salah satu penyakit menular 10 terbanyak di
dunia. Pada tahun 2015 total jumlah kasus TB di dunia 10,4 juta kasus TB baru
termasuk 1,2 juta (11%) di antara orang yang mengidap HIV positif dengan 56%
laki-laki dan 34% wanita serta 10% anak-anak. Dihitung dari segi persentase
dapat dinilai bahwa jumlah kasus TB sebesar 90% pada orang dewasa dan 10%
pada anak-anak. (3) Kasus TB mengalami peningkatan dari tahun 2014 yang
diperkirakan 2 juta orang meninggal di seluruh dunia karena penyakit tuberkulosis
paru dari total 9,6 juta kasus.
Salah satu cara yang efektif untuk menurunkan jumlah penderita TB paru
adalah meningkatkan kepatuhan penderita dalam menjalani pengobatan. Selain
itu, kepatuhan dalam pengobatan TB paru juga dapat mencegah timbulnya
resistensi obat, kekambuhan penyakit dan kematian. Ketidakpatuhan terhadap
pengobatan TB paru menjadi suatu penghalang penting dalam melakukan
pengendalian TB paru secara global dan telah menjadi faktor utama penyebab
kegagalan pengobatan. Dampak yang ditimbulkan akibat ketidakpatuhan
pengobatan dapat berakibat fatal, yaitu mulai dari rendahnya angka pencapaian
kesembuhan sampai kematian yang nantinya akan menimbulkan kegagalan
eradikasi TB paru. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu tindakan untuk
mengurangi faktor-faktor yang dapat memicu timbulnya kegagalan pengobatan
TB paru.
Keberhasilan dalam pengobatan pasien TB paru dipengaruhi oleh kepatuhan
dalam berobat. Faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan seseorang dalam
berobat yaitu usia, pengetahuan, waktu luang, pengawasan, jenis dan dosis obat,
pekerjaan serta sikap dan penyuluhan dari petugas kesehatan. Pengobatan akan
efektif apabila pasien TB paru memenuhi aturan dalam berobat. Ketidakpatuhan
yang mengakibatkan tingginya kasus kegagalan pengobatan pada pasien TB paru
dan berdampak pada peningkatan risiko morbiditas, mortatiltas, dan menyebabkan
semakin banyaknya pasien TB paru yang mengalami resisten dengan pengobatan
standar

Gambaran Data Pasien:


Pelaksanaan Nama: Tn. R
Umur: 77 tahun
Tanggal mulai pengobatan: 13 Juli 2022
Mekanisme pengambilan obat:
1. Petugas memastikan hasil pemeriksaan dari dokter hasil BTA positif, atau
hasil TCM positif yang mendukung untuk dilakukan pengobatan TB
2. Petugas mencatat identitas penderita dengan meminta no HP penderita dan no
HP PMO (Pengawas Minum Obat) dan melakukan anamnese pada Form TB
01
3. Petugas konsultasi ke dokter untuk pemberian OAT(Obat Anti TB)
4. Petugas memberikan penjelasan tentang dosis dan aturan minum obat, efek
samping serta resiko dari pengobatan TB yang tidak taat dan tuntas
5. Petugas memberikan penjelasan pada penderita untuk pola hidup sehat untuk
membantu proses penyembuhan
6. Petugas mencatat pada Form TB 02 tanggal pengambilan obat, tahap
pengobatan, jumlah OAT dan tanggal harus kembali mengambil obat dihari
jumat
7. Petugas menyerahkan obat
8. Penderita di minta mengulang apa yang telah di sampaikan petugas
9. Penderita pulang
Catatan/Usulan
ke/dari Pendamping
Advokasi

Tanggal 8 Agustus 2022


Pelaksaanaan
Kegiatan
Nama Keluarga Tn. A, 36 tahun, Anggota keluarga 3 orang
Judul Laporan Membina Keluarga Sehat
Kegiatan
Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat
yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk
hidup sehat agar tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Salah
satu program utama pembangunan kesehatan saat ini adalah program Indonesia
sehat dengan pendekatan keluarga (PIS-PK). Program Indonesia sehat dengan
pendekatan keluarga merupakan strategi yang dilakukan melalui pendekatan
keluarga yang programnya sudah ada di puskesmas. 4 area prioritas PIS-PK yaitu
penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi, perbaikan gizi
masyarakat khususnya untuk pengendalian prevalensi balita pendek (stunting),
pengendalian penyakit menular khususnya HIV-AIDS, TB dan malaria,
pengendalian penyakit tidak menular khususnya hipertensi, diabetes mellitus dan
gangguan jiwa.
Indeks Keluarga Sehat (IKS) adalah perhitungan kedua belas indicator
keluarga sehat dari setiap keluarga yang besarnya berkisar antara 0 sampai dengan
1. Keluarga yang tergolong dalam keluarga sehat adalah keluarga dengan IKS >
0,8 (Kementrian Kesehatan RI, 2016). Capaian IKS masih tergolong rendah untuk
beberapa daerah di Indonesia, hasil perhitungan IKS dari 9 provinsi sasaran awal
yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan Sulawesi Selatan per 8 Juni 2017
didapatkan keluarga yang memiliki IKS di atas 0,8 sebesar 0,163 dari 570.326
keluarga (Pusdatin, 2018).
Dasar pelaksanaan PIS-PK yaitu Permenkes Nomor 39 Tahun 2016 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat Dengan Pendekatan
Keluarga. Program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga adalah salah satu
program kesehatan yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan dengan cara
mengunjungi setiap keluarga dengan fokus sasaran kesehatan yang lebih kecil,
dengan demikian didapatkan permasalahan kesehatan disetiap keluarga sehingga
dapat ditangani dengan baik oleh tenaga kesehatan. Dengan meningkatkan
kesehatan keluarga maka akan meningkatkan kesehatan masyarakat.
Program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga dapat mengoptimalkan
program upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan
(UKP) yang ada di puskesmas dengan memprioritaskan masalah kesehatan dari
12 indikator PIS-PK
Program Indonesia sehat memuat 12 indikator utama penanda status
kesehatan sebuah keluarga yaitu keluarga mengikuti program KB, ibu melakukan
persalinan di fasilitas kesehatan, bayi mendaptkan imunisasi dasar lengkap, bayi
mendapatkan air susu ibu (ASI) ekslusif, balita mendaptkan pemantauan
pertumbuhan, penderita TB paru mendapatkan pengobatan sesuai standar,
penderita hipertensi melakukan pengobatan secara teratur, penderita gangguan
jiwa mendapatkan pengobatan dan tidak ditelantarkan, anggota keluarga tidak ada
yang merokok, keluarga sudah menjadi anggota JKN, keluarga mempunyai akses
sarana air bersih, keluarga menggunakan jamban sehat. Dari 12 indikator tersebut
di dapatkan indeks kesehatan keluarga yang menunjukan status kesehatan
keluarga yaitu sehat, pra sehat, dan tidak sehat.
Tujuan PIS-PK yaitu keluarga mampu menjangkau akses pelayanan
kesehatan yang menyeluruh seperti pelayanan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif di Puskesmas. Jika PIS-PK tidak dijalankan maka semakin tingginya
masalah kesehatan pada masyarakat terutama masalah kesehatan gizi, ibu dan
bayi, penyakit menular dan tidak menular, kesehatan jiwa, perilaku dan
lingkungan sehat yang sulit diatasi oleh pemerintah.
Puskesmas adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan di tingkat pertama
secara menyeluruh dan terpadu yang lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif daripada kuratif dan rehabilitatif di wilayah kerjanya untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Gambaran Melakukan kunjungan ke rumah pasien dan melakukan penilaian indicator
Pelaksanaan keluarga sehat
1. Keluarga mengikuti program KB (T)
2. Persalinan ibu di fasilitas pelayanan kesehatan (Y)
3. Bayi mendapatkan imunisasi dasar lengkap (Y)
4. Bayi mendapatkan ASI eksklusif (Y)
5. Pertumbuhan balita dipantau (Y)
6. Penderitan TB paru yang berobat sesuai standar (N)
7. Penderita hipertensi yang berobat teraturm (Y)
8. Penderita gangguan jiwa berat, diobati dan tidak ditelantarkan (N)
9. Anggota keluarga tidak ada yang merokok (T)
10. Keluarga sudah menjadi anggota JKN (Y)
11. Keluarga memiliki akses/menggunakan sarana air bersih (Y)
12. Keluarga memiliki akses/menggunakan jamban keluarga (Y)
Jumlah N : 2
Jumlah Y : 8
Jumlah T : 2
8
Indeks Keluarga Sehat (IKS) = = 0,8 (Keluarga Sehat)
12−2
Pasien termasuk kedalam kategori keluarga sehat, memberikan sosialisasi
tambahan terkait indicator keluarga sehat dan hal-hal yang perlu dilakukan agar
keluarga mengalami peningkatan IKS.
Memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada
Catatan/Usulan
ke/dari Pendamping

Tanggal 8 Agustus 2022


Pelaksaanaan
Kegiatan
Nama Keluarga Tn. J, 47 tahun, Anggota keluarga 3 orang
Judul Laporan Membina Keluarga Sehat
Kegiatan
Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat
yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk
hidup sehat agar tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Salah
satu program utama pembangunan kesehatan saat ini adalah program Indonesia
sehat dengan pendekatan keluarga (PIS-PK). Program Indonesia sehat dengan
pendekatan keluarga merupakan strategi yang dilakukan melalui pendekatan
keluarga yang programnya sudah ada di puskesmas. 4 area prioritas PIS-PK yaitu
penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi, perbaikan gizi
masyarakat khususnya untuk pengendalian prevalensi balita pendek (stunting),
pengendalian penyakit menular khususnya HIV-AIDS, TB dan malaria,
pengendalian penyakit tidak menular khususnya hipertensi, diabetes mellitus dan
gangguan jiwa.
Indeks Keluarga Sehat (IKS) adalah perhitungan kedua belas indicator
keluarga sehat dari setiap keluarga yang besarnya berkisar antara 0 sampai dengan
1. Keluarga yang tergolong dalam keluarga sehat adalah keluarga dengan IKS >
0,8 (Kementrian Kesehatan RI, 2016). Capaian IKS masih tergolong rendah untuk
beberapa daerah di Indonesia, hasil perhitungan IKS dari 9 provinsi sasaran awal
yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan Sulawesi Selatan per 8 Juni 2017
didapatkan keluarga yang memiliki IKS di atas 0,8 sebesar 0,163 dari 570.326
keluarga (Pusdatin, 2018).
Dasar pelaksanaan PIS-PK yaitu Permenkes Nomor 39 Tahun 2016 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat Dengan Pendekatan
Keluarga. Program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga adalah salah satu
program kesehatan yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan dengan cara
mengunjungi setiap keluarga dengan fokus sasaran kesehatan yang lebih kecil,
dengan demikian didapatkan permasalahan kesehatan disetiap keluarga sehingga
dapat ditangani dengan baik oleh tenaga kesehatan. Dengan meningkatkan
kesehatan keluarga maka akan meningkatkan kesehatan masyarakat.
Program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga dapat mengoptimalkan
program upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan
(UKP) yang ada di puskesmas dengan memprioritaskan masalah kesehatan dari
12 indikator PIS-PK
Program Indonesia sehat memuat 12 indikator utama penanda status
kesehatan sebuah keluarga yaitu keluarga mengikuti program KB, ibu melakukan
persalinan di fasilitas kesehatan, bayi mendaptkan imunisasi dasar lengkap, bayi
mendapatkan air susu ibu (ASI) ekslusif, balita mendaptkan pemantauan
pertumbuhan, penderita TB paru mendapatkan pengobatan sesuai standar,
penderita hipertensi melakukan pengobatan secara teratur, penderita gangguan
jiwa mendapatkan pengobatan dan tidak ditelantarkan, anggota keluarga tidak ada
yang merokok, keluarga sudah menjadi anggota JKN, keluarga mempunyai akses
sarana air bersih, keluarga menggunakan jamban sehat. Dari 12 indikator tersebut
di dapatkan indeks kesehatan keluarga yang menunjukan status kesehatan
keluarga yaitu sehat, pra sehat, dan tidak sehat.
Tujuan PIS-PK yaitu keluarga mampu menjangkau akses pelayanan
kesehatan yang menyeluruh seperti pelayanan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif di Puskesmas. Jika PIS-PK tidak dijalankan maka semakin tingginya
masalah kesehatan pada masyarakat terutama masalah kesehatan gizi, ibu dan
bayi, penyakit menular dan tidak menular, kesehatan jiwa, perilaku dan
lingkungan sehat yang sulit diatasi oleh pemerintah.
Puskesmas adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan di tingkat pertama
secara menyeluruh dan terpadu yang lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif daripada kuratif dan rehabilitatif di wilayah kerjanya untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Gambaran Melakukan kunjungan ke rumah pasien dan melakukan penilaian indikator
Pelaksanaan keluarga sehat

N Indikator Pertanyaan Ayah Ibu Anak Anak


o Keluarga 1 2
1 Keluarga mengikuti program KB T
2 Persalinan ibu di fasilitas Y
pelayanan kesehatan
3 Bayi mendapatkan imunisasi T
dasar lengkap
4 Bayi mendapatkan ASI eksklusif N
5 Pertumbuhan balita dipantau N
6 Penderitan TB paru yang berobat N
sesuai standar
7 Penderita hipertensi yang berobat Y
teratur
8 Penderita gangguan jiwa berat, N
diobati dan tidak ditelantarkan
9 Anggota keluarga tidak ada yang T
merokok
10 Keluarga sudah menjadi anggota Y Y Y Y Y
JKN
11 Keluarga memiliki akses/ Y
menggunakan sarana air bersih
12 Keluarga memiliki akses/ Y
menggunakan jamban keluarga

Jumlah N : 4
Jumlah Y : 5
Jumlah T : 3
5
Indeks Keluarga Sehat (IKS) = = 0,625 (Keluarga Pra Sehat)
12−4
Pasien termasuk kedalam kategori keluarga pra sehat, dimana ibu melahirkan
fasilitas pelayanan kesehatan, hipertensi terkontrol, keluarga sudah memiliki JKN,
ketersediaan akses air bersih dan jamban yang baik. kemudian memberikan
sosialisasi tambahan terkait indicator keluarga sehat dan hal-hal yang perlu
dilakukan agar keluarga mengalami peningkatan IKS.
Memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada
Catatan/Usulan
ke/dari Pendamping

Tanggal 8 Agustus 2022


Pelaksaanaan
Kegiatan
Nama Keluarga Tn. A, 40 tahun, Anggota keluarga 3 orang
Judul Laporan Membina Keluarga Sehat
Kegiatan
Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat
yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk
hidup sehat agar tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Salah
satu program utama pembangunan kesehatan saat ini adalah program Indonesia
sehat dengan pendekatan keluarga (PIS-PK). Program Indonesia sehat dengan
pendekatan keluarga merupakan strategi yang dilakukan melalui pendekatan
keluarga yang programnya sudah ada di puskesmas. 4 area prioritas PIS-PK yaitu
penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi, perbaikan gizi
masyarakat khususnya untuk pengendalian prevalensi balita pendek (stunting),
pengendalian penyakit menular khususnya HIV-AIDS, TB dan malaria,
pengendalian penyakit tidak menular khususnya hipertensi, diabetes mellitus dan
gangguan jiwa.
Indeks Keluarga Sehat (IKS) adalah perhitungan kedua belas indicator
keluarga sehat dari setiap keluarga yang besarnya berkisar antara 0 sampai dengan
1. Keluarga yang tergolong dalam keluarga sehat adalah keluarga dengan IKS >
0,8 (Kementrian Kesehatan RI, 2016). Capaian IKS masih tergolong rendah untuk
beberapa daerah di Indonesia, hasil perhitungan IKS dari 9 provinsi sasaran awal
yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan Sulawesi Selatan per 8 Juni 2017
didapatkan keluarga yang memiliki IKS di atas 0,8 sebesar 0,163 dari 570.326
keluarga (Pusdatin, 2018).
Dasar pelaksanaan PIS-PK yaitu Permenkes Nomor 39 Tahun 2016 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat Dengan Pendekatan
Keluarga. Program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga adalah salah satu
program kesehatan yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan dengan cara
mengunjungi setiap keluarga dengan fokus sasaran kesehatan yang lebih kecil,
dengan demikian didapatkan permasalahan kesehatan disetiap keluarga sehingga
dapat ditangani dengan baik oleh tenaga kesehatan. Dengan meningkatkan
kesehatan keluarga maka akan meningkatkan kesehatan masyarakat.
Program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga dapat mengoptimalkan
program upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan
(UKP) yang ada di puskesmas dengan memprioritaskan masalah kesehatan dari
12 indikator PIS-PK
Program Indonesia sehat memuat 12 indikator utama penanda status
kesehatan sebuah keluarga yaitu keluarga mengikuti program KB, ibu melakukan
persalinan di fasilitas kesehatan, bayi mendaptkan imunisasi dasar lengkap, bayi
mendapatkan air susu ibu (ASI) ekslusif, balita mendaptkan pemantauan
pertumbuhan, penderita TB paru mendapatkan pengobatan sesuai standar,
penderita hipertensi melakukan pengobatan secara teratur, penderita gangguan
jiwa mendapatkan pengobatan dan tidak ditelantarkan, anggota keluarga tidak ada
yang merokok, keluarga sudah menjadi anggota JKN, keluarga mempunyai akses
sarana air bersih, keluarga menggunakan jamban sehat. Dari 12 indikator tersebut
di dapatkan indeks kesehatan keluarga yang menunjukan status kesehatan
keluarga yaitu sehat, pra sehat, dan tidak sehat.
Tujuan PIS-PK yaitu keluarga mampu menjangkau akses pelayanan
kesehatan yang menyeluruh seperti pelayanan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif di Puskesmas. Jika PIS-PK tidak dijalankan maka semakin tingginya
masalah kesehatan pada masyarakat terutama masalah kesehatan gizi, ibu dan
bayi, penyakit menular dan tidak menular, kesehatan jiwa, perilaku dan
lingkungan sehat yang sulit diatasi oleh pemerintah.
Puskesmas adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan di tingkat pertama
secara menyeluruh dan terpadu yang lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif daripada kuratif dan rehabilitatif di wilayah kerjanya untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Gambaran Melakukan kunjungan ke rumah pasien dan melakukan penilaian indicator
Pelaksanaan keluarga sehat
N Indikator Pertanyaan Ayah Ibu Anak Anak
o Keluarga 1 2
1 Keluarga mengikuti program KB Y
2 Persalinan ibu di fasilitas Y
pelayanan kesehatan
3 Bayi mendapatkan imunisasi T
dasar lengkap
4 Bayi mendapatkan ASI eksklusif Y
5 Pertumbuhan balita dipantau T
6 Penderitan TB paru yang berobat N
sesuai standar
7 Penderita hipertensi yang berobat N
teratur
8 Penderita gangguan jiwa berat, N
diobati dan tidak ditelantarkan
9 Anggota keluarga tidak ada yang T
merokok
10 Keluarga sudah menjadi anggota Y Y Y Y Y
JKN
11 Keluarga memiliki akses/ Y
menggunakan sarana air bersih
12 Keluarga memiliki akses/ Y
menggunakan jamban keluarga

Jumlah N : 3
Jumlah Y : 6
Jumlah T : 3
6
Indeks Keluarga Sehat (IKS) = = 0,67 (Keluarga Pra Sehat)
12−3
Pasien termasuk kedalam kategori keluarga pra sehat, dimana ibu melahirkan
fasilitas pelayanan kesehatan, keluarga sudah memiliki JKN, ketersediaan akses
air bersih dan jamban yang baik, pemantauan tumbuh kembang dan imunisasi bayi
kurang baik. kemudian memberikan sosialisasi tambahan terkait indicator
keluarga sehat dan hal-hal yang perlu dilakukan agar keluarga mengalami
peningkatan IKS.
Memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada
Catatan/Usulan
ke/dari Pendamping
Tindakan Medis

Tanggal Pelayanan 24 Oktober 2022


Data Dasar Pasien S, 77 tahun
Nama DPJP dr. Linda Yanthy, M.K.M
Diagnosa Paronychia
Tindakan Medis Bedah Minor
Ringkasan Penatalaksanaan Tindakan Ekstraksi Kuku (Rosser plasty)
1. Menjelaskan tindakan medis yang dilakukan
2. Informed consent (penandatanganan persetujuan tindakan) oleh
keluarga pasien
3. Menyiapkan alat dan bahan
4. Mencuci tangan dan keringkan kemudian memakai sarung tangan steril
5. Desinfeksi daerah kuku yang akan dicabut/ekstraksi dengan
menggunakan cairan bethadine
6. Anestesi blok bagian kuku yang akan diekstraksi dengan menggunakan
lidokain 1 ampul
7. Pastikan pasien sudah merasa baal (Mati rasa) pada daerah kuku yang
telah disuntikan lidokain
8. Angkat kuku dengan menggunakan klem dari tepi kiri ke kanan atau
arah sebaliknya
9. Bersihkan bagian atas jari yang kukunya telah diangkat, perlahan-lahan
dengan menggunakan kasa steril
10. Olesi salep antibiotika di atas permukaan tersebut, kemudian
tempelkan kasa steril yang sudah di beri bethadine.
11. Balut daerah kuku dengan menggunakan verban gulung digunakan ke
dalam bengkok untuk dilakukan pengelolaan alat kesehatan
selanjutnya
12. Buang bahan medis yang telah dipakai ke tempat sampah medis
13. Mencuci tangan dan membuang peralatan ke tempat khusus dan safety
box
14. Mendokumentasikan tindakan dan mengisi rekam medis
Umpan Balik dari
Pendamping
Kesehatan Lingkungan

Tanggal 8 Agustus 2022


Pelaksaanaan
Kegiatan
Judul Laporan Tn. A, 36 tahun, Anggota keluarga 3 orang
Kegiatan
Identitas Keluarga Membina Rumah Sehat
Binaan Rumah Sehat
Latar Belakang Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi
sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Rumah harus
sehat dan nyaman agar penghuninya dapat berkarya untuk meningkatkan
produktivitas. Rumah yang tidak sehat merupakan penyebab dari rendahnya taraf
kesehatan jasmani dan rohani yang memudahkan terjangkitnya penyakit dan
mengurangi daya kerja atau daya produktif seseorang. Rumah tidak sehat ini
dapat menjadi reservoir penyakit bagi seluruh lingkungan, jika kondisi tidak sehat
bukan hanya pada satu rumah tetapi pada kumpulan rumah (lingkungan
pemukiman).
Persyaratan kesehatan rumah tinggal telah ditentukan oleh Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999. Sebaiknya, untuk menentukan
sehat tidaknya tempat tinggal dari daftar persyaratan berikut ini.
1. Bahan Bangunan
a. Tidak terbuat dari bahan bangunan yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat
membahayakan kesehatan, antara lain sebagai berikut:
1) Debu Total tidak lebih dari 150 µg m3
2) Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4jam
3) Timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg.
b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya
mikroorganisme patogen.

2. Komponen dan penataan ruang rumah. Komponen rumah harus memenuhi


persyaratan fisik dan biologis sebagai berikut :
a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan
b. Dinding:
1) Di ruang tidur, ruang keluarga dilengkapi dengan sarana ventilasi untuk
pengaturan sirkulasi udara
2) Di kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan mudah dibersihkan
c. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan
d. Bumbung rumah yang memiliki tinggi 10 meter atau lebih harus dilengkapi
dengan penangkal petir
e. Ruang di dalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang tamu, ruang
keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur, ruang mandi dan ruang bermain
anak
f. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan asap.

3. Pencahayaan. Pencahayaan alam dan/atau buatan yang langsung maupun tidak


langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux, dan
tidak menyilaukan.

4. Kualitas Udara. Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan


sebagai berikut:
a) Suhu udara nyaman berkisar 18°C sampai dengan 30°C
b) Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%
c) Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam
d) Pertukaran udara ("air exchange rate") 5 kaki kubik per menit per penghuni
e) Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam
f) Konsentrasi gas formaldehid tidak melebihi 120 mg/m3

5. Ventilasi. Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal


10% dari luas lantai.

6. Binatang Penular Penyakit. Tidak ada tikus bersarang di dalam rumah.

7. Air
a) Tersedia sarana air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/hari/orang
b) Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air
minum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
8. Tersedianya sarana penyimpanan makanan yang aman

9. Limbah
a) Limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari sumber air, tidak
menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan bumi
b) Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau, pencemaran
terhadap permukaan tanah.
10. Kepadatan hunian ruang tidur. Luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak
dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali
anak dibawah umur 5 tahun.

Gambaran 1. Mengidentifikasi pengetahuan keluarga tentang rumah sehat di Desa Rawe


Pelaksanaan wilayah kerja Puskesmas Lut Tawar
2. Mengidentifikasi penerapan rumah sehat
3. Menganalisis hubungan pengetahuan keluarga tentang rumah sehat dan
penerapan rumah sehat
4. Memberikan pengetahuan keluarga tentang rumah sehat dan penerapan rumah
sehat
5. Mengevaluasi perkembangan penerapan keluarga sehat sesuai arahan
Catatan/Usulan
ke/dari Pendamping

Anda mungkin juga menyukai