Anda di halaman 1dari 7

Nama : Tri Wahyu Cahyantini

Nim : 18334011

Kelas : Anfar. L

Review Journal Reading tentang COVID-19

Berbagai jenis agent farmakologis telah diuji sebagai terapi covid-19, diantaranya
Choloquine, Hydroxychloroquine, Lopinavir/Ritonavir,Favipiravir(Avigan), Remdesivir, dan
obat lainnya.

“Pharmacologic Treatment For Coronavirus Disese 2019 (COVID-19) A Review”

Pendahuluan

Terapi farmakologis untuk pasien covid-19 secara umum digunakan dengan terapi Antivirus.
Saat ini belum ada satu pun obat antivirus spesifik untuk virus covid-19 yang terbukti efektif
dan secara resmi direkomendasikan. Antivirus yang digunakan mengacu pada terapi ketika
epidemi SARS dan MERS, atau jenis lain. Setiap negara memiliki panduan sendiri terkiat
panduan dan pengalaman ketersediaan obat. Di Indonesia, setiap RS memiliki panduan
senidiri-sendiri berdasarkan pengalaman dan ketersediaan obatnya. Lebih dari 300an Uji
Klinik di seluruh dunia saat ini dilakukan dengan berbagai obat, yang sebagian besar adalah
drug repurposing yaitu menggunakan obat yang sudah ada untuk indikasi lain sebagai
terapi Covid-19 yaitu sebagai Antivirus, Anti inflamsi, atau Imunomodulator. Tinjauan
perawatan farmakologis untuk penyakit Corona Virus 2019, Sesuai dengan apa yang tertulis
dijurnal, peneliti mengemukakkan “Tidak ada terapi yang efektif yang terbukti untuk virus
ini saat ini. Pengetahuan yang berkembang pesat menganai Virologi SARS-CoV-2
memberikan sejumlah target obat potensial yang signifikan. Terapi yang paling menjanjikan
adalah Remdesivir. Remdesivir memiliki aktivitas in vitro yang kuat terhadap SARS-coV-2,
terapi ini bukan makanan US dan Drug Administration approved dan saat ini sdang di uji
dalam uji cob acak yang sedang berlangsung. Oseltamivir tidak terbukti memiliki
kemanjuran, dan kortekosteroid saat ini tidak dianjurkan. Bukti klinis saat ini tidak
mendukung penghentian penghambat enzim pengubah angiotensin atau penghambat reseptor
angiontensin pada pasein COVID-19. Jama diterbitkan online 13 April 2020.

Obat – obatan ulasan diantaranya ada Golongan obat Repurposed terpilih yaitu Chloroquine,
Hydroxychloroquine, Lopinavir/Ritonavir dan Ribavirin, Antivirus lain yaitu Oseltamivir,
Umifenovir(Arbidol), serta Agen lain. Golongan obat Investigasi yaitu Remdesivir dan
Favipiravir(Avigan). Golongan obat Terapi Ajuvan yaitu Kortikosteroid, terapi anti sitokin
(anti IL-6), dan terapi Immunoglobulin. Antivirals yang diujikan diantaranya yaitu
Chloroquine/Hydroxychloroquine, Lopinavir/Ritonavir, Ribavirin, Oseltamivir,
Umifenovir(Arbidol), Remdesivir, Favipiravir(Avigan), Tocilizumab/sarilumab, Camostat
mesylate.

Chloroquine/Hydroxychloroquine ;

Yang pertama Chloroquine/Hydroxychloroquine, termasuk golongan Antimalaria, tetepi


memiliki aktivitas invitro sebagai antivirus pada beberapa virus, termasuk CoronaViruses.
Mekanismenya menghambat masuknya virus SARS-CoV-2 dengan menghambat glikolisasi
pada reseptor ACE2, Meningkatkan pH endosomal dengan menghambat replikasi virus, serta
memiliki efek imunomodulator dan menekan produksi sitokin dalam proses inflamasi. Studi
in vitro (Yang dan zhao,2020) : Hydroxychloroquine (EC50=0,72μM ¿ ditemukan lebih kuat
daripada Chloroquine (EC50=5,47μM ¿ in vitro.Berdasarkan hasil model PBPK, dosis
pemantuan 400mg 2x sehari hidroksi klorokuin sulfat diberikan secara oral, diikuti dengan
dosis pemeliharaan 200mg dibrikan 2x sehari selama 4 hari direkomendasikan untuk infeksi
SARS-CoV-2, karena mencapai 3x lipat dari potensi Klorokuin fosfat bila diberikan 500mg
2x sehari sebelumnya. Kesimpulannya Hydroxychloroquine ditemukan lebih kuat daripada
Chloroquine untuk menghambat SARS-CoV-2 secara in vitro. Uji Klinik dan Pengalaman
penggunaan, saat ini sedang dilakukan uji klinik dibeberapa negara dan belum ada yang
memberikan evidance yang kuat terhadap efikasi CQ/HCQ untuk covid-19. Selain itu ada
concern terhadap risiko kardiotaksisitas atas interaksi HCQ dengan Azithromisin. Diketahui
bahwa efek samping serius QC/HCQ adalah meliputi aritmia jantung, gangguan penglihatan,
sehingga perlu pemantauan EKG yaitu perlu perhatian untuk kombinasi CQ/HCQ dengan
obat yang berpotensi memperpanjang interval QT seperti antimikroba golongan Kuinolon
(misalnya Levoflokasin), makrolid (misal Azithromisin), dan Aritmia.

Lopinavir/Ritonavir (LPV/RTV)

Termasuk golongan HIV Protase Inhibitor, Memiliki efek antiretrviral in vitro terhadap
SARS-CoV dan MERS-CoV(Chen et al,2004) . Pada terapi SARS dan MERS, bukti menunjukkan
manfaat jika dikombinasikan dengan ribavirin dan atau interferon (Kim et al,2016). Publikasi
terakhir mnunjukkan tidak adanya aktivitas antiviral in vitro terhadap SARS-CoV-2 (Yao et
al,2020).
Sebuah uji klinik open lable dilakukan untuk membandingkan LPV/RTV (n=99 pasien)
dengan terapi standar (n=100) yaitu hasil tidak ada perbedaan dalam pengurangan viral load,
durasi viral RNA detectability, lama perawatan, dan waktu kematian. LPV/RTV dihentikan
lebih awal karena 13 pasien mengalami advers effects. Sebuah uji cohort retrospektif
mengevaluasi penggunaan LPV/RTV dengan atau tanpa Arbidol (influenza antiviral not
licensed in US) hasilnya terjadi tingkat konversi negatif dari coronavirus dan perkembangan
atau peningkatan pneumonia.(Deng et al,2020)

Ada beberapa regimen dosis yang digunakan dalam terapi maupun uji klinik yang pernah
dilakukan untuk Covid-19 contoh sempel LPV 400mg/RTV 100mg p.o 2x sehari 14 hari (Cao et

al, 2020) , LPV 400mg/RTV 100mg p.o 2x sehari dengan atau tanpa arbidol (200mg setiap 8 jam)
sampai 21 hari. (Deng et al, 2020). Efektifitas untuk COVID-19 belum setablished dan masih
memerlukan studi lanjutan, baik tunggal atau kombinasi dengan obat lain. Efek samping dari
lopinvir/ritonavir gastrointestinal distress, spti mual dan diare sampaai 28%, hepatotoxicity
2%-10%, karen itu pasien dengan alanine trasnminase yang tinggi tidak direkomendasikan
menggunakan lopinavir/ritonavir.

Ribavirin

Ribavirin adalah analog nukleotida guanosin, menghambat Polymerase Rna virus. Indikasi
Hepatitis C dan Viral hemoerrhgic fever. Aktivitas in vitro terhadap SARSCoV terbatas, dan
membutuhkan dosis tinggi (1,2g sampai 2,4g per oral/ 8jam dan kombinasi terapi. Sebuah
kajian sistemik terhadap 30 studi penggunaan rubavirin pada SARS tidak menghasilkan
kesimpulan yang konklusif, dan 4 diantranya menunjukkan potensi ADR hematologi dan
Liver toxicity. Dosis tinggi yang digunakan pada SARS menyebabkan >60% pasien
mengalami hemolytic anemia. Hal yang sama terjadi pada MERS, 40% pasien yang
menggunakan ribavirin plus interferon memerlukan transfusi darah, 70% pasien dengan
ribavirin mengalami peningkatan trasnminase. Ribavirin juga tetratogenik dan
dikontraindikasikan untk kehamilan.

Arbidol (Umfinenovir) obat Other Antiviral, blm ada di Indonesia

Obat antiviral buatan Rusia ini baru digunakan di Rusia dan China saja sebagai terapi
pengobatan dan pencegahan influenza. Umifenovir Bekerja menghambat fusi virus dengan
membran sel inang sehingga menghambat masuknya virus kedalm sel inang. Selama pandemi
covid-19, obat ini dicobakan sebagai salah satu terapi. Sebuah uji klinik sedang dilakukan di
China dengan dosis 200mg per 8jam untuk terapi C0vid-19.
Oseltamivir (Tamiflu)

Antiviral untuk anrivirus influenza, dengan makanisme neurominidase inhibitor. Uji Kilinik
atau pengalaman yaitu sebuah studi retropektif pada 99 pasien COVId-19 di Wuhan pada tgl
11-20 Januari 2020, 76% menerima terapi antivirus osetalmivir (75mg setiap 12 jam). Pada
akhhir evaluasi, 58% pasein masih dirawat, 31% sembuh dan 11% meninnggal. Walaupun
cukup banyak digunakan untuk terapi Covid-19 diCHina, belum ada bukti yang mendukung
efektifitas Oseltamivir. Pada uji in vitro, Inhibbitor Neuromidase tidak aktif trhadap SARS-
CoV. Penggunaan Oseltamivir di Iran untuk Neuromidase tidak aktif terhadap SARS-CoV
menunjukkan hasil tidak efektif, sehingga saat ini dikeluarkan dari protokol terapi Iran.
namun banyak pasien dengan gejla yang mirip COVID-19 mungkin Mengalami influenza,
jadi lebih baik diberikan untuk mengurangi perburukan gejala pasien akibat influenza.
Oseltamivir merupakan terapi hasil yang kurang bagus untuk Covid-19 atau kurang potent in
vitro covid-19 nya. Mengapa Oseltamivir kurang poten terhadap Covid-19? Karena
Oseltamifir adalah inhibitor neuraminidase. Pada virus influenza, terdapat neurominidase
yang menjadi terget aksi oseltamivir dalam menghambat repliksi virus, target asli oseltamivir
dalam menghambat replikasi virus, sedangkan SARS-CoV2 tidak memiliki neuraminidase.
Karena kerjanya neuraminidase inhibitor dibutuhkan oleh virus untuk melepaskan virion
baru, ketika dihambat oleh neuraminidase inhibitor maka tidak akan melepaskan virion baru
dan akan menghambat replikasi dari virus. Problemnya adalah Influenza memang memiliki
neuraminidase inhibitor sedangkan SARS-CoV-2 tidak memliki neuraminidase inhibitor,
sehingga memang tidak ada targetnya oleh Oseltamivir untuk SARS-CoV-2 tidak ada tempat
aksinya, jadi kurang potent terhadap terapi Covid-19. Dosis yang digunakan pada terapi
covid-19 di Wuhan adalah 75mg orally setiap 12 jam. Dosis Oseltamivir pada uji yang lain
bervariasi, meliputi 300mg mg/hari, 150mg 2 x sehari, 75mg per oral 1-2 kali sehari, atau 4-
6mg/kg 5 hari, diberikan selama 5 hari.

Remdesivir

Termasuk dalam Investigation Drug , Merupakan analog nukleotida adenosine berinkorpurasi


kedalam rantai Rna virus menyebabkan penghambatan sisntesis RNA virus yang dibedakan
oleh Atp dan Rdv-Tp. Remdesivir adalah antiviral spectrum luas yang memiliki aktivitas
terhadap coronavirus. Sebelumnya telah di uji pada SARS, MERS, dan Ebola. Remdesivir

menunjukan aktivitas in vitro terhadap SARS-CoV-2, SARS-CoV, dan MERS-CoV dan aktif
pada model binatang yang terinfeksi SARS dan MERS. Saat ini WHO memulai uji klinik
Remdesivir untuk Coovid-19 dibeberapa negara, Indonesia memiliki peluang untuk Ikut
serta. Sejauh ini dikatakan paling menjanjikan sebagai antivirus yang poten SARS-CoV-
1 atau COVID-19. Pada in vvitro study Remdesivir memiliki EC90 lebih kecil 1,7 μM
sedangkan Chloroquine lebih besar EC90 6,907μM, jadi Remdesivir lebih Potent dari pada
Chloroquine.

Avigan (Favipiravir)

Termasuk dalam Investigation Drug, obat sebagai Influenza, alternatif dari obat Tamiflu,
karena untuk influenza yang tidak bisa diatasi dengan obat lain. Target Favipiravir pada virus
influenza adalah untuk menghambat Sintesis Protein virus. Avigan (Favipiravir)

adalah antiviral yang bekerja menghambat sintesis RNA Virus. Pada Uji Klinik di Shenzhen,
favipiravir digunakan sebagai obat tambahan pada interferon-alpha aerosol,inhalation
(5.000.000 units 2x shari) menghasilkan pembersiahan virus yang lebih cepat darippada
kelompok lopinavir/ritonavir, dengan median 4hari vs 11hari dan juga perbaikkan paru.
Dilakukan uji klinik Favipiravir (n:120) dengan Arbidol (n:120) hasil clinikal recovery rate
pada hari ke 7 tidak signifikan antara Favipiravir dengan Arbidol, tetapi Favipiravir itu
memberikan perpendekan/ durasi yang lebih pendek untuk relief dari panas dan batuk dengan
perbandingan = 1,70 hari dengan 1,75 hari. Efek samping terkait Favipiravir yang palling
sering diamati adalah peningkatan asam urat serum.

Terapi Konjungtive Kortikosteroid untuk Covid-19

Sebuah studi retrospektif pada 201 pasien covid-19 di china menemukan bahwa pada meraka
yang mengalami ARDS, treatment dengan methylprednisolone berhubungan dengan
pengurangan resiko kematian 46% vs 62% tanpa steroid, tetapi peneliti mengakui masih
adanya bias dalam studi ini, jadi obat ini tidak direkomendasikan untuk terapi covid-19.

Anticytokine: Tocilizumab(Actemra)

Obat ini termasuk dalam Terapi Konjungtive Kortikosteroid untuk Covid-19. Pada gejala
covid-19 yang parah, disebutkan terjadi “cytokine stroms” yang melibatkan pelepasan sitokin
besar-besaran, yang merusak jaringan paru-paru, salah satunya adalah interleukin-6 (IL-6).
Tocilicumab adalah obat imunosupresan yang biasanya untuk rheumatoid artistis bekerkja
sebagai anti IL6. Sebuah uji klinik pada 20 pasien covid-19 dengan gejala berat yang
menerimactocilizumab 400mg menunjukkan perbaikan kllinis pada 91% pasien. FDA saat ini
menyetujui uji klinik fase III mengevaluasi efektifitas dan keamanan tocilizumab (Actemra)
secara intravena plus terapi standar pada paseien dengan pneumonia Covid-19 yang parah.
Beberapa RCTs tocilizumab, tunggal atau dalam kombinasi,, masih dilaksanakan dichina
untuk pasin Covid-19 dengan Pneumonia berat.

Pengobatan Efektif untuk pasien covid-19 parah dengan Tocilizumab dichina, bahwa 50 dari
20 pasien yang mengalami covid-19 cukup parah berat, dan setelah mendapatkan terapi
ternyata untuk lymphocytes in peripheral blood which decreased in 85% pasien (yang
semulanya decreased) lalu returned to normal in 52,6% pasien pada hari ke 15. Intinya bahwa
C-reactive protein yang mulanya tinggi kemudian menjadi normal pada 84,2% pasien,
kemudian 90 pasien (90,5%) have been discharged dalam waktu 13,5 hari. Jadi ini kmeudian
memberikan harapan baru terutama pasien yang sudah aman.

Immunoglobulin Terapi

Obat ini termasuk dalam Terapi Konjungtive Kortikosteroid untuk Covid-19. Obat Plasma
Convalescent. Laporan pertama tentang terapi dengan Plasma Convalescent adalah dari
china, dengan 5 paasien Covid-19 berat. Dari 5 pasien, 3 sembuh dan 2 dalam keadan stabil
setelah menerima transfusiplasma. Satu case series dari pasien Covid-19 di Wuhan China
melaporkan keberhasilan pemberian intravenaous Immunoglobulin pada dosis 0,3 sampai 0,5
g/kg/day untuk 5 hari. Tanggal 13 April 2020, FDA mengeluarkan Recommendation for
Infestigational COVId-19 Convalescent Plasma, yang meliputi :

 Jalur untuk penggunaan plasma konvalesensi COVID-19 yang sedang diselidiki


 Kelayakan Pasien
 Pengumpulan plasma konvalesensi Covid-19, termasuk kelayakan donor dan
kualifikasi donor.
 Pelabelan dan
 Penyimpanan Catatan.

Limitations of the review, pertama volume yang luar biasa dan kecepatan yang cepar dari
literatur yang diterbitkan tentang pengobatan Covid-19 beati bahwa temuan dan rekomendasi
penelitian terus berkembang ketika bukti batu muncul. Kedua, data pengobatan yang
dipublikasikan sampai saat ini berasal secara ekslkusif dari data pengamatan atau uji klinis
kecil (tidak ada dengan lebih dari 250 pasien), memperkenalkan risiko bias yang lebih tinggi
atau ketidaktepatan menegenai besarnya ukuran efek pengobatan. Ketiga, ulasan hanya
berfokus pada pasien dewasa dan data mungkin tidak berlaku pada untuk populasi anak.
Keempa, artikel terbatas pada publikasi atau terjemahan berbahasa inggris sehingga data
international yang relevan bisa kurang.

Sekilas juga dibahas tentang Terapi Antihipertensi untuk pasien COVID-19,

ACE2 merupakan pintu masuk dari virus corona-19. Lembaga dan masyarakat besar,
termasuk pusat Pengendalian dan pencegahan penyakit, American Heart Assosiation, Heart
Failure Society of america, dan American Collage of Cardiology merekomendasikan
kelanjutan ACE inhibitor atau obat ARB untuk semua pasien yang telah meresepkan obat-
obatan tersebut untuk indikasi lain. Saatn ini tidak ada bukti manusia yang menghubungkan
antara penggunaan obat-obatan ini dengan peningkatan risiki akuisisi COVID-19 atau
tingkkat kparahan penyakit.

ACE2, ACE Agent hanya dapat dijumpai pada hewan, belum bisa disimmpulkan terjadi pada
manusia juga, karena belum ada uji klinis yang kuat untuk terapi tersebut.

Sekian. Terima Kasih.

Anda mungkin juga menyukai