Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS INTERNSIP

“BANGKITAN UMUM TONIK ec EPILEPSI SYMPTOMATIK POST TREPANASE”


Di RUMAH SAKIT BHAYANGKARA JAYAPURA

Diajukan guna melengkapi persyaratan porgram Internsip


Internsip Jayapura Periode Mei 2020

Disusun Oleh:
dr. Joice Natalisa Bongga Salu

Pembimbing:
dr. Daniel Siagian, Sp. N
dr. Ageng Lara Ayu Amalia
dr. Kamelia Busran

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA JAYAPURA
2020
DAFTAR ISI

COVER
DAFTAR ISI i
KATA PENGANTAR ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien 5
2.2 Anamnesa 5
2.3 Pemeriksaan Fisik 6
2.4 Pemeriksaan Penunjang 10
2.5 Diagnosa 19
2.6 Terapi 20
2.7 Follow Up 21
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 25
BAB IV PEMBAHASAN 40
DAFTAR PUSTAKA 41
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“BANGKITAN UMUM TONIK ec EPILEPSI SYMPTOMATIK POST
TREPANASE”. Laporan kasus ini merupakan salah satu tugas saat mengikuti Program
Internsip Dokter Indonesia di Rumah Sakit Bhayangkara Jayapura.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Daniel Siagian, Sp. N selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penyusunan laporan kasus ini, dr.
Ageng Lara Ayu Amalia dan dr. Kamelia Busran selaku pembimbing internsip, serta semua
pihak yang telah membantu hingga selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua.

Jayapura, 25 Januari 2021


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2005, epilepsi merupakan penyakit otak
serius yang mempengaruhi hampir 50 juta orang di dunia. Epilepsi didefinisikan oleh
Commission on Epidemiology and Prognosis of Epilepsy merupakan munculnya kejang tanpa
provokasi paling tidak dua kali dengan jarak antara kedua kejang kurang dari atau selama 24
jam. WHO pada tahun 2005 menyebutkan cedera kepala merupakan faktor resiko paling
sering terjadinya epilepsi dikemudian hari dengan presentase sebanyak 92% dibandingkan
penyakit lainnya seperti infeksi sistem saraf pusat (dapat berupa abses, ensefalitis, dan
meningitis bakterial), tumor, dan kelainan kongenital.

Klasifikasi sindrom epilepsi ini diperkenalkan oleh International League Against Epilepsy
(ILAE) pada tahun 1989, yang disusun berdasarkan usia/onset saat terjadi kejang, tipe kejang,
status neurologis, faktor pencetus, gejala dan tanda fisik maupun mental, riwayat keluarga,
gambaran EEG, prognosis serta respon terhadap pengobatan.

Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis kronis yang paling umum terjadi di
Amerika Serikat yaitu dengan prevalensi sekitar 5-10 per 1.000 penduduk dengan jumlah
laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita. Perkiraan angka kematian pertahun akibat
epilepsi adalah 2 per 1.000.000. Indonesia belum memiliki data pasti tentang prevalensi
maupun insidensi mengenai epilepsi. Diperkirakan hanya berkisar antara 0,5-1,2%, sehingga
dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, populasi penderita epilepsi mencapai 2.100.000
orang.

Epilepsi secara garis besar dapat digolongkan menjadi epilepsy idiopatik, kriptogenik, dan
symptomatic. Epilepsy pasca trauma termasuk dalam epilepsy symptomatic. Merupakan
sekuel dari trauma kepala paling sering terjadi, insidensi 5 % pada penderita dengan trauma
kepala tertutup dan 50% pada penderita dengan fraktur tulang tengkorak dan jejas otak.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. AAR
Jenis Kelamin : Laki- Laki
Usia : 18 tahun
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Alamat : Sentani, Kota Jayapura
Pekerjaan : Mahasiswa SPN
No. RM : 131223
Tanggal Masuk RS : 30 November 2020
Tanggal keluar RS : 6 Desember 2020

1. Riwayat Penyakit Sekarang


Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis oleh Tenaga medis dari SPN, pada:
Tanggal : 30 November 2020, pukul 14.15 wit
Tempat : IGD RS Bhayangkara

Keluhan Utama: Kejang


Riawayat Penyakit Sekarang:
Pasien dirujuk oleh tenaga medis SPN dengan keluhan Kejang. Menurut petugas
pasien kejang sekitar 20 menit atau jam 14.15 wit sebelum masuk Rumah Sakit.
Menurut keterangan petugas pasien kejang sekitar 15-20 menit. Awal mulanya
Pasien sedang melakukan kegiatan gerak jalan, kemudian pasien tiba-tiba merasa
tangan dan seluruh badan menjadi kaku dan sulit untuk untuk digerakaan dan pasien
juga sulit berbicara hanya meringis kesakitan. Saat Kejang Pasien dalam keadaan
sadar. Saat tiba di IGD Rumah Sakit pasien mengaku nyeri kepala hebat dan masih
dalam keadaan sedikit kaku pada tangan. Keluhan demam disangkal, Batuk pilek
disangkal, sesak disangkal.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat Kejang tanggal 16 november 2020
- Riwayat Post Trepanase tahun 2017
- Riwayat kejang demam 1 x usia 5 tahun

3. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat Kejang disangkal

4. Riwayat Sosial / Kebiasaan / Pola Hidup


- Riwayat olahraga berat disangkal
- Riwayat merokok disangkal
- Riwayat alcohol disangkal

5. Riwayat Alergi
- Alergi obat disangkal
- Alergi makanan disangkal

2.1 PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : GCS 15 E4V5M6

Tanda Vital
TTV saat di RS Bhayangkara
- Suhu tubuh : 36.6oC
- Tekanan darah : 124/63 mmHg
- Denyut nadi : 135 kali/menit, regular, kuat angkat
- Laju napas : 25 kali/menit
- SpO2 : 99% -> O2 nasal 4 lpm

Bagian tubuh Hasil pemeriksaan

Kepala Normocephali
Mata Refleks pupil isokor 2mm/2mm

THT Dalam batas normal

Leher Bruit (-)


Thorax Thorax dalam batas normal
Paru Vesikuler seluruh lapang paru, Rhonki -/-
Jantung S1/S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen Bising usus (+), Nyeri tekan (-)
Punggung Dalam batas normal
Ekstremitas Dalam batas normal, CTR < 2 detik, spasme (+)

STATUS NEUROLOGIK
Kesadaran : GCS E4M6V5
Fungsi Luhur : Sulit dinilai
Kaku Kuduk : Tidak ada

SARAF KRANIAL
1. N. I (Olfactorius)
Kanan Kiri Keterangan
Daya pembau Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai

2. N.II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
Lapang pandang Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai
Pengenalan warna Sulit dinilai Sulit dinilai Sulit dinilai

3. N.III (Oculomotorius)
Kanan Kiri Keterangan
Ptosis Sulit dinilai
Pupil
Bentuk Bulat Bulat Normal
Ukuran 2 mm 2mm Normal
Gerak bola mata
Refleks pupil
Langsung (+) (+) Normal
Tidaklangsung (+) (+) Normal

4. N. IV (Trokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Sulit dinilai

5. N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Sulit dinilai
Sensibilitas Sulit dinilai
Refleks kornea (+) (+) Normal

6. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Sulit dinilai
Strabismus Sulit dinilai
Deviasi Sulit dinilai

7. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan
Tic (-) (-) Normal
Motorik:
- sudut mulut dbn dbn
- Mengerutkan dahi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Mengangkat alis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
- Lipatan nasolabial Dbn dbn
- Meringis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
-kembungkan pipi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Daya perasa Sulit dinilai
Tanda chvostek (-) (-) Normal

8. N. VIII (Akustikus)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran + + normal

9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings SDN SDN Sulit di nilai
Daya perasa SDN SDN Sulit di nilai
Refleks muntah SDN SDN Sulit di nilai

10. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings SDN SDN Sulit di nilai
Dysfonia SDN SDN Sulit di nilai

11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik SDN SDN Sulit di nilai
Trofi - -

12. N. XII (Hipoglossus)


Kanan Kiri Keterangan
Motorik SDN SDN Sulit di nilai
Trofi SDN SDN Sulit di nilai
Tremor SDN SDN Sulit di nilai
Disartri SDN SDN Sulit di nilai

REFLEKS
Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis
Biseps (+) (+) Normal
Triseps (+) (+) Normal
KPR (+) (+) Normal
APR (+) (+) Normal
Patologis
Babinski (-) (-) Normal
Chaddock (-) (-) Normal
Hoffman Tromer (-) (-) Normal
Reflek primitif :
Palmomental (-) (-) Normal
Snout (-) (-) Normal

SISTEM OTONOM
Miksi : spontan
Defekasi : spontan
PEMERIKSAAN KHUSUS/LAIN
a. Laseque : tidak terbatas
b. Kernig : tidak terbatas
c. Patrick : -/-
d. Kontrapatrick: -/-
e. Valsava test : sulit dinilai
f. Brudzinski : -/-

2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium
Examination 19/08/2020 Reference Value Unit
HEMATOLOGY
Full Blood Count
Hb 14.0 11.70-15.50 g/dL
Ht 39.7 35.00-47.00 %
Eritrosit (RBC) 4.73 3.80-5.20 10⌃6/ μL
White blood cell (WBC) 11.20 3.60-11.00 1000/uL
Differential Count
Basophil 0.4 0-1 %
Eosinophil 1.3 1-3 %
Band neutrophil 7.52 2-6 %
Segmented neutrophil 67.1 50-70 %
Lymphocyte 23.3 25-49.9 %
Monocyte 7.9 2-8 %
Platelet Count 256 150.00-440.00 1000/uL
MCV, MCH, MCHC
MCV/VER 83.9 80.00-100.00 fL
MCH/HER 29.6 26.00-34.00 pg
MCHC/KHER 35.3 32.00-36.00 g/dL
GDS 125 <200 mg%

GDS 125 <200mg/dl


Ureum 10 10-50 mg/dl
Creatinin 0,8 0,7 – 1,1 mg/dl
Albumin - 3,5 – 5,0 gr/dl
SGOT 15 6 – 30
SGPT 18 7 – 32
Natrium 137,6 135 – 147
Kalium 3,07 3,5 – 5,0
Clorida 109,9 95 – 105
Calsium - 1.00 – 1.15
HbsAg Non – Reaktif
HIV Non – Reaktif

Radiologi
CT-Scan Kepala dengan Kontras
EEG
2.4 DIAGNOSA
- Diagnosis Klinis : Bangkitan Umum Tonik
- Diagnosis Topis : koteks lobus frontalis dektra
- Diagnosis Etiologis : Epilepsi Symptomatik ec Post Trepanase + hypokalemia

2.5 DIAGNOSA BANDING


- Bangkitan Umum Tonik-klonik
- Status Epileptikus
- KDS
- KDK
- Sinkop
- Kejang Psikogenik non-Epileptik

2.6 TERAPI
Medikamentosa:
- O2 nasal Canul 4 lpm
- IVFD RL + KCL 20 Meq 20 tpm lanjutkan
- IVFD NaCl 0,9% 1000cc / 24 jam
- Inj. Mecobalamin 3 x 500mg
- Inj. Omeprazole 2 x 40mg
- Inj. Diazepam 10mg = > jika kejang (k/p)
- Drip Paracetamol 3 x 1 gr
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
- PO. Phenytoin 3 x 500mg
- PO. Asam folat 1 x 400mg
- PO. Clobazam 0-0-10mg

Non- Medikamentosa:
- Pro CT-Scan Kepala dengan Kontras
- Pro EEG

2.7 PROGNOSA
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

Follow up
Tanggal Follow up Planning
01-12- S : nyeri kepala (+), pusing (-), lemas (-), - IVFD NaCl 1000cc / 24 jam
2020
kaku pada otot (-) - Inj. Mecobalamin 3 x 500mg
(menunggu keluarga)
O: KU : tss KES : cm - Inj. Omeprazole 2 x 40mg
Ttv : TD : 120/74, N : 83, RR : 20, SB : - Po. Venitoin 3 x 500mg
36,6 - Po. Asam Folat 1 x 400mg
Sta. Gen : Dbn - Po. Clobazam 0-0-10mg
St. Neurologi : - R. Meningeal : Kaku
Kuduk (-), Kernig (-),
laseque (-)
- R. Fisiologi : Bissep ++/++,
Tricep ++/++
- R. Patologis : Babinski (-),
Chadok (-), Oppenheim
(-)
- Motorik 555/555

A: - Bangkitan Umum Tonik ec Epilepsi


Symptomatik Post Trepanase
- Hipokalemia
02-12- S : nyeri kepala (+), VAS : 5 pusing (-), - IVFD NaCl 1000cc / 24 jam
2020
mual (-) - Inj. Mecobalamin 3 x 500mg
- Inj. Omeprazole 2 x 40mg
O: KU : tss KES : cm - Po. Venitoin 3 x 500mg
Ttv : TD : 118/82, N : 67, RR : 20, SB : - Po. Asam Folat 1 x 400mg
37,0 - Po. Clobazam 0-0-10mg
Sta. Gen : Dbn - -inj. Diazepam 10mg ( jika
St. Neurologi : - R. Meningeal : Kaku kejang ) (k/p)
Kuduk (-), Kernig (-), - drip Paracetamol 3 x 1 gr
laseque (-) - inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr (H1)
- R. Fisiologi : Bissep ++/++,
Tricep ++/++
- R. Patologis : Babinski (-),
Chadok (-), Oppenheim
(-)
- Motorik 555/555

A: - Bangkitan Umum Tonik ec Epilepsi


Symptomatik Post Trepanase
- Hipokalemia
03-12- S : nyeri kepala (+)berkurang , pusing (-), - IVFD NaCl 1000cc / 24 jam
2020
mual (-) - Inj. Mecobalamin 3 x 500mg
- Inj. Omeprazole 2 x 40mg
O: KU : tss KES : cm - Po. Venitoin 3 x 500mg
Ttv : TD : 114/74, N : 60, RR : 20, SB : - Po. Asam Folat 1 x 400mg
36,8 - Po. Clobazam 0-0-10mg
Sta. Gen : Dbn - -inj. Diazepam 10mg ( jika
St. Neurologi : - R. Meningeal : Kaku kejang ) (k/p)
Kuduk (-), Kernig (-), - drip Paracetamol 3 x 1 gr
laseque (-) - inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr (H2)
- R. Fisiologi : Bissep ++/++,
Tricep ++/++
- R. Patologis : Babinski (-),
Chadok (-), Oppenheim
(-)
- Motorik 555/555

A: - Bangkitan Umum Tonik ec Epilepsi


Symptomatik Post Trepanase
- Hipokalemia

04-12- S : nyeri kepala hilang timbul , sulit tidur - IVFD NaCl 1000cc / 24 jam
2020
- Inj. Mecobalamin 3 x 500mg
O: KU : tss KES : cm - Inj. Omeprazole 2 x 40mg
Ttv : TD : 110/68, N : 75, RR : 20, SB : - Po. Venitoin 3 x 500mg
36,8 - Po. Asam Folat 1 x 400mg
Sta. Gen : Dbn - Po. Clobazam 0-0-10mg
St. Neurologi : - R. Meningeal : Kaku - -inj. Diazepam 10mg ( jika
Kuduk (-), Kernig (-), kejang ) (k/p)
laseque (-) - drip Paracetamol 3 x 1 gr
- R. Fisiologi : Bissep ++/++, - inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr (H3)
Tricep ++/++ - pro CT-Scan kepala dengan
- R. Patologis : Babinski (-), kontras
Chadok (-), Oppenheim
(-)
- Motorik 555/555

A: - Bangkitan Umum Tonik ec Epilepsi


Symptomatik Post Trepanase
- Hipokalemia
05-12- S : nyeri kepala hilang timbul , pusing - IVFD NaCl 1000cc / 24 jam
2020
hilang timbul = > aff
- Inj. Mecobalamin 3 x 500mg
O: KU : tss KES : cm => oral
Ttv : TD : 118/72, N : 69, RR : 20, SB : - Inj. Omeprazole 2 x 40mg =>
36,6 oral
Sta. Gen : Dbn - Po. Venitoin 3 x 500mg
St. Neurologi : - R. Meningeal : Kaku - Po. Asam Folat 1 x 400mg
Kuduk (-), Kernig (-), - Po. Clobazam 0-0-10mg
laseque (-) - -inj. Diazepam 10mg ( jika
- R. Fisiologi : Bissep ++/++, kejang ) (k/p) => oral
Tricep ++/++ - drip Paracetamol 3 x 1 gr =>
- R. Patologis : Babinski (-), oral PCT 3x 500mg
Chadok (-), Oppenheim - inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr (H3)
(-) => oral cefixime 2 x 200mg
- Motorik 555/555 - pro CT-Scan kepala dengan
kontras
A: - Bangkitan Umum Tonik ec Epilepsi - pro EEG
Symptomatik Post Trepanase - Tebokan 2x1 tab
- Rencana BPL => kontrol
Poliklinik jumat

06-12- S:- - Po. Mecobalamin 3 x 500mg


2020
- Po. Omeprazole 2 x 20mg
O: KU : tss KES : cm - Po. Cefixime 2 x 200mg
Ttv : TD : 118/72, N : 69, RR : 20, SB : - Po. Paracetamol 3 x 500mg
36,6 - Po. Phenytoin 3 x 500mg
Sta. Gen : Dbn - Po. Asam folat 1 x 400mg
St. Neurologi : - R. Meningeal : Kaku - Po. Clobazam 0-0-10mg
Kuduk (-), Kernig (-), - Po. Tebokan 2 x 1 tab
laseque (-) - pro CT-Scan kepala dengan
- R. Fisiologi : Bissep ++/++, kontras
Tricep ++/++ - pro EEG
- R. Patologis : Babinski (-), - BPL
Chadok (-), Oppenheim
(-)
- Motorik 555/555

A: - Bangkitan Umum Tonik ec Epilepsi


Symptomatik Post Trepanase
- Cephalgia
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Epilepsi
3.1.1 Pengertian Epilepsi

Kata epilepsi berasal dari kata Yunani, Epi yang berarti atas dan Lepsia dari kata
Lambanmein yang berarti serangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa epilepsi pada
mulanya memiliki arti serangan dari atas. Banyak orang menganggap bahwa epilepsi adalah
penyakit kutukan dari surga. Ribuan tahun lalu, masyarakat Babilonia dan Romawi Kuno
meyakini bahwa kejang terjadi karena adanya roh jahat yang merasuki tubuh seseorang dan
akan menular jika menyentuhnya. Namun kemudian Hippocrates membantah keyakinan itu
dengan menulis buku mengenai epilepsi, bahwa epilepsi bukanlah penyakit karena gangguan
roh jahat atau kekuatan nabi melainkan karena adanya gangguan pada otak. Epilepsi adalah
salah satu kelainan neurologi kronik yang bisa terjadi pada segala usia terutama pada usia
anak. Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan gejala yang khas yaitu
kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan
paroksismal. Epilepsi ditandai dengan sedikitnya 2 kali atau lebih kejang tanpa provokasi
dengan interval waktu lebih dari 24 jam.
Deteksi yang terlambat dan tatalaksana yang tidak tepat akan menunjukkan prognosis
yang buruk dan dapat berakhir pada epilepsi intraktabel. Keadaan ini tidak hanya berdampak
pada segi medis tetapi juga berdampak pada neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial.
Epilepsi intraktabel merupakan keadaan dimana pasien telah mengonsumsi 2 atau lebih obat
anti epilepsi (OAE) secara teratur dan adekuat selama 2 tahun tetapi tidak menunjukkan
penurunan frekuensi dan durasi kejang. Kejang merupakan ciri yang harus ada pada epilepsi,
tetapi tidak semua kejang dapat di diagnosis sebagai epilepsi. Kejang epilepsi harus
dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi yaitu timbulnya kejang akibat berbagai
penyebab yang ditandai dengan serangan tunggal atau tersendiri. Sedangkan sindroma
epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang
berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.

3.1.2 Anatomi dan Fisiologi

Otak merupakan salah satu organ vital pada tubuh yang berfungsi mengatur segala
aktivitas manusia. Otak memiliki struktur yang relatif kecil dengan berat 1400 gram dan
merupakan 2% dari berat badan. Terbagi menjadi 3 subdivisi yaitu cerebrum, truncus
encephali (batang otak), dan cerebellum. Cerebrum merupakan bagian terbesar otak yang
terdiri dari 2 hemisfer, yaitu hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh fissura longitudinalis.
Cerebrum tersusun dari korteks. Satu rigi lipatan korteks disebut gyrus cerebri, sedangkan
parit yang memisahkan gyrus cerebri disebut sulcus cerebri. Berdasarkan gyrus cerebri dan
sulcus cerebri yang konstan maka cerebrum dibagi menjadi 4 lobus besar, yaitu lobus
frontalis, lobus temporalis, lobus parientalis, dan lobus occipitalis. Lobus frontalis berperan
sebagai pusat intelektual yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar,
bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung pusat
pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (aarea motor primer) dan terdapat area
asosiasi motorik (aarea premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang mengatur
ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, motivasi dan inisiatif.
Lobus temporalis terletak disebelah ventral sulcus lateralis dan pada permukaan lateralnya
terdapat 3 gyrus yang membentang miring, yaitu gyrus temporalis superior, gyrus temporalis
medius, dan gyrus temporalis inferior. Pada sisi dalam dari sulcus lateralis terdapat beberapa
lipatan pendek miring disebut gyrus temporalis transversi dari Heschl yang merupakan cortex
auditoris primer (pusat pendengaran). Facies inferior lobus temporalis terletak pada fossa
cranii media. Pada daerah ini didapatkan gyrus temporalis inferior, gyrus occipitotemporalis
dan gyrus parahippocampalis. Bagian rostral gyrus parahippocampalis, uncus dan stria
olfactoria lateralis membentuk lobus pyriformis yang merupakan cortex olfactorius primer
(ppusat penghidu). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, pendengaran, dan
penghidu. Pada lobus temporalis terdapat hippocampus yang berfungsi sebagai pusat memori.
Berdasar beberapa penelitian hippocampus berkaitan erat dengan kejadian epilepsi.
Hippocampal Sclerosis merupakan keadaan patologis yang paling sering dikaitkan dengan
kejadian Mesial Temporal Lobe Epilepsy (MTLE). Lobus parietalis terdapat tiga bagian,
yaitu gyrus postcentralis, lobulus parietalis superior, dan lobulus parietalis inferior. Sisi
posterior dari sulcus sentralis dan gyrus postcentralis merupakan area somesthetica primer,
yang merupakan daerah pusat rasa taktil dari reseptor superficial dan profunda seluruh tubuh.
Pada lobulus parietalis inferior teradapt region untuk proses pemahaman dan interpretasi
signal sensorik. Lobus occipitalis merupakan lobus kecil yang bersandar pada tentorium
cerebelli. Pada lobus occipitalis terdapat cortex visual primer (pusat penglihatan). Korteks
visual dari setiap hemisfer menerima impuls visual dari retina sisi temporal ipsilateral dan
retina sisi nasal kontralateral dimana menangkap persepsi separuh lapangan pandang
kontralateral.
Gambar 1. Bagian Otak

Batang otak terdiri dari medulla oblongata, pons, dan mesensefalon (otak tengah). Medulla
oblongata merupakan pusat refleks organ vital tubuh berfungsi mengatur sistem respirasi,
sistem kardiovaskular, sistem digestivus, serta fungsi refleks lainnya. Pons berperan sebagai
penghubung jaras kortikoserebralis yang menyatukan hemisfer serebri dan cerebellum. Pada
pons terdapat nukelus dari beberapa saraf kranial serta neuron yang menghantarkan sinyal
dari korteks serebri ke serebellum. Sehingga kerusakan/lesi pada pons dapat menimbulkan
disfungsi serebellum, gangguan sensorik dan motorik serta gangguuan pada saraf kranial
tertentu. Mesenfalon merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi apendikus
sylvius, beberapa traktus serabut saraf asenden dan desenden dan pusat stimulus refleks
pendengaran (menggerakkan kepala kearah datangnya suara). Terdapat pula neuron untuk
pengendalian dan koordinasi gerakan penglihatan. Serebellum terletak di fossa cranii
posterior. Secara anatomi tersusun dari 1 vermis serebelli dan 2 hemisfer serebelli.
Serebellum bekerja dengan memperhalus gerakan otot serta mengubah tonus dan kekuatan
kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh. Sebab itu, sebellum disebut
sebagai pusat koordinasi dan keseimbangan tubuh manusia. Otak manusia tersusun dari
kurang lebih 100 milyar sel saraf otak. Antar sel saraf berkomunikasi melalui mekanisme
perantara listrik dan kimiawi. Otak terdiri dari 2 jenis sel yaitu neuron dan sel glia, dimana
neuron berfungsi menghantarkan sinyal listrik, sedangkan sel glia berfungsi menunjang dan
melindungi neuron. Otak menerima 17% dari cardiac output dan menggunakan 20% total
oksigen tubuh untuk metabolisme aerobik otak. Sel saraf berfungsi untuk menerima,
menginterpretasi, dan mentransmisikan sinyal listrik. Listrik dalam digunakan untuk
mengontrol saraf, otot, dan organ. Dendrit merupakan bagian neuron yang berfungsi
menerima informasi dari rangsangan atau dari sel lain. Pada dendrit terdapat multisensor
yang kemudian akan mengubah segala rangsangan menjadi sinyal listrik. Setelah dikelola,
akson akan menghantarkan sinyal listrik dari badan sel ke sel lain atau ke organ melalui
terminal akson. Di seluruh membran neuron terdapat beda potensial (tegangan) yang
disebabkan adanya ion negatif yang lebih didalam membran daripada di luar membran.
Keadaan ini neuron dikatakan terpolarisasi. Bagian dalam sel biasanya mempunyai tegangan
60 - 90 mV lebih negatif di banding bagian luar sel. Beda potensial ini disebut potensial
istirahat neuron. Ketika ada rangsangan, terjadi perubahan potensial sesaat yang besar pada
potensial istirahat di titik rangsangan, potensi ini di sebut potensial aksi. Potensial aksi
merupakan metode utama transmisi sinyal dalam tubuh. Stimulasi dapat berupa rangsang
listrik, fisik dan kimia seperti panas, dingin, cahaya, suara, dan bau. Jika ada impuls, ion - ion
Na + akan masuk dari luar sel kedalam sel. Hal ini menyebabkan dalam sel menjadi lebih
positif dibanding luar sel, dan potensial membrane meningkat, hal ini disebut depolarisasi.

Gambar 2. Skema Neuron

3.1.3 Epidemiologi
Epilepsi merupakan kelainan neurologi kronik dan bisa ter jadi pada semua usia,
terutama pada anak anak dan lansia (di atas 65 tahun). Berdasar data, 65% pasien memiliki
onset epilepsi pada usia kanak - kanak. 4 - 10% anak mengalami setidaknya satu kali kejang
pada 16 tahun pertama kehidupan. Dimana ada di antaranya yang berkembang menjadi
epilepsi. Saat ini sekitar 50 juta jiwa di dunia mendeita epilepsi. Setiap tahun sekitar sekitar
2,4 juta jiwa terdiagnosis epilepsi. Perkiraan proporsi populasi dengan epilepsi aktif (kejang
terus menerus atau dengan butuh pengobatan) pada waktu tertentu adalah 4 - 10 per 1000
penduduk. Namun, pada beberapa studi menunjukkan bahwa pada negara berpenghasilan
rendah dan menengah memiliki proporsi yang lebih tinggi yaitu 7 - 14 per 1000 penduduk.
Hampir 80% penderita epilepsi tinggal di negara dengan penghasilan rendah dan menengah.
Di Indonesia, belum terdapat studi insidensi dan prevalensi yang pasti untuk mengetahui
jumlah penderita epilepsi anak. Namun, diperkirakan prevalensi epilepsi di Indoensia adalah
5 - 10 kasus per 1000 orang dan insiden 50 kasus per 100.000 orang per tahun. Epilepsi
menyumbang 0,6% dari beban penyakit global. Epilepsi memiliki implikasi ekonomi yang
signifikan dalam hal kebutuhan perawatan kesehatan, kematian dini, dan produktivitas kerja
yang hilang.

3.1.4 Etiologi
Etiologi epilepsi adalah multifaktorial, menurut klasifikasi ILAE 2017 etiologi dibagi
menjadi struktural, genetik, infeksi, metabolik, imun, dan tidak diketahui. Secara garis besar
penyebab epilepsi di bagi menjadi dua, yaitu struktural dan non struktural. Etiologi struktural
merupakan penyebab epilepsi yang ditandai dengan adanya kelainan anatomi otak atau
adanya lesi pada otak. Kelainan pada otak dapat terjadi karena adanya trauma kepala, trauma
persalinan, demam tinggi, stroke, intoksikasi, tumor otak, masalah kardiovaskular tertentu,
gangguan keseimbangan eletrolit, infeksi, dan reaksi alergi. Sedangkan etiologi non struktural
merupakan penyebab yang tidak didapatkan kelainan pada otak bahkan penyebab yang tidak
diketahui. Terdapat banyak mekanisme yang dapat menimbulkan epilepsi yang timbul pada
otak patologi maupun normal.

Tiga mekanisme yang lazim menurut Dichter (2000) meliputi pengurangan mekanisme
inhibitor terutama inhibisi sinaptik akibat GABA, peningkatan mekanisme sinaptik eksitasi
terutama yang diperantarai oleh N-metil-D-aspartat (NMDA) komponen respon glutamat,
peningkatan ledakan neuron endogen yang membakar (biasanya dengan meningkatkan aliran
kalsium tergantung voltase). Bentuk epilepsi manusia yang berbeda dapat disebabkan oleh
satu atau kombinasi mekanisme ini. Menurut ILAE etiologi terjadinya epilepsy diantaranya
genetik, struktural metabolik, dan tidak diketahui penyebabnya. Penyebab genetik seperti
epilepsi mioklonik juvenil atau juvenile myoclonic epilepsy (JME) dimana cara spesifik yang
diturunkan tidak digambarkan secara absolut (dominan autosomal atau resesif) tetapi gen
untuk JME diduga terletak pada pengan pendek kromosom 6. Penyebab metabolik struktural
dimana kerusakannya berasal dari struktural lesi misalnya stroke, trauma dan infeksi atau
berasal dari penyakit genetik misalnya sklerosis tuberositas, malformasi perkembangan
kortek. Pada epilepsi yang belum diketahui penyebabnya terdapat beberapa faktor
predisposisi terjadinya kejang tergantung pada usia dan jenis kejang sebagai berikut: pada
prenatal (Infeksi intrauteri, rubella, toxoplasmosis, obat selama kehamilan, radiasi pada awal
kehamilan). Contoh predisposisi tersebut misalnya pada bayi (0-2 tahun) yang menderita
hipoksia perinatal, iskemia, trauma lahir intrakranial, infeksi akut, gangguan metabolik
(hipoglikemia, hikalsemia, hipomagnesia, defisiensi piridoksin, malformasi kongenital,
gangguan genetik; pada anak (2-12 tahun) bisa terjadi idiopatik, infeksi akut, trauma, febris
konvulsi; sedangkan pada anak remaja (12-18 tahun) bisa terjadi karena idiopatik, trauma,
penghentian obat, alkohol, malformasi arteriosa. Pada dewasa muda (18-35 tahun) bisa terjadi
epilepsi karena trauma, alkoholisme, tumor otak. Sedangkan pada dewasa yang lebih tua (>35
tahun) bisa terjadi epilepsi karena tumor otak, penyakit serebrovaskular, gangguan metabolik
(remia, gagal hepar, abnormalitas elektrolit, hipoglikemia), alko- holisme.

3.1.5 Patofisiologi

Epilepsi adalah pelepasan muatan listrik yang berlebihan dan tidak teratur di otak.
Aktivitas listrik normal jika terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan inhibisi
dan eksitasi dari aktivitas listrik. Epilepsi timbul karena adanya ketidakseimbangan faktor
inhibisi dan eksitasi aktivitas listrik otak.
Terdapat beberapa teori patofisiologi epilepsi, adalah sebagai berikut:
1. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak
Eksitasi berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang. Sinyal yang
dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat merekrut sistem neuronal yang berhubungan
melalui sinap, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sistem inhibisi juga diaktifkan
saat kejang, tetapi tidak dapat untu mengontrol eksitasi yang berlebihan, sehingga tejadi
kejang. Excitatory Postsynaptic Potentials (EPSPs) dihasil kan oleh ikatan molekul pada
reseptor yang menyebabkan terbukanya saluran ion Na atau ion Ca dan tertutupnya saluran
ion K yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi. Berlawanan dengan Inhibitory Postsynatic
Potentials (IPSs) disebabkan karena meningkatnya permeabilitas membran terhadap Cl dan
K, yang akhirnya menyebabkan hiperpolarisasi membrane.
Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter dan neuromedulator, akan tetapi reseptor
glutamate yang paling penting dan paling banyak diteliti untuk eksitasi epilepsi. Sedangkan
inhibitor utama neurotransmitter pada susunan saraf pusat adalah Gamma Amino Butiric
Acid (GABA). Semua struktur otak depan menggunakan aksi inhibitor dan memegang
peranan fisiopatogenesis pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan
fungsi GABA dapat mengakibatkan serangan kejang.
2. Mekanisme sinkronisasi Epilepsi dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel –
sel saraf berupa hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah besar
neuron yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik yang abnormal. Potensial aksi
yang terjadi pada satu sel neuron akan disebarkan ke neuron - neuron lain yang berdekatan
dan pada akhirnya akan terjadi bangkitan elektrik yang berlebihan dan bersifat berulang.
3. Mekanisme Epileptogenesis
Trauma otak dapat mengakitbatkan epilepsi. Iskemia, trauma, neurotoksin dan trauma lain
secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini mati, akson - akson dari
neuron yang hidup mengadakan tunas untuk berhubungan dengan neuron diferensiasi parsial.
Sirkuit yang sembuh cenderung untuk mudah terangsang.
4. Mekanisme peralihan interiktal - iktal
Mekanisme yang memproduksi sinyal, sinkronisitas dan penyebaran aktivitas sel saraf
termasuk kedalam teori transisi interiktal - iktal. Dari berbagai penelitian, mekanisme transisi
ini tidak berdiri sendiri melainkan hasil dari beberapa interaksi mekanisme yang berbeda.
Terdapat dua teori mengenai transisi interiktal - iktal, yaitu mekanisme nonsinaptik dan
sinaptik. Pada nonsinaptik adanya aktivitas iktal - interikta yang berulang menyebabkan
peningkatan kalium ekstrasel sehingga eksitabilitas neuron meningkat. Aktivitas pompa Na -
K sangat berperan dalam mengatur eksitabilitas neuronal. Hipoksia atau iskemia dapat
menyebabkan kegagalan pompa Na - K sehingga meningkatkan transisi interiktal - iktal.
Teori sinaptik ini menyebutkan bahwa penurunan efektivitas mekanisme inhibisi sinaps
ataupun peningkatan aktivitas eksitasi sinaps dapat mencetuskan epilepsi.
5. Mekanisme neurokimiawi
Mekanisme epilepsi sangat dipengaruhi oleh keadaan neurokimia pada sel - sel saraf,
misalnya sifat neurotransmitter yang dilepaskan, ataupun adanya faktor tertentu yang
menyebabkan gangguan keseimbangan neurokimia seperti pemakaian obat - obatan. Selain
GABA dan glutamate yang merupakan neurotransmitter penting dalam epilepsi, terdapat
beberapa produk kimiawi lain yang juga ikut berperan seperti misalnya golongan opioid yang
dapat menyebabkan inhibisi interneuron, ataupun katekolamin yang dapat menurunkan
ambang kejang. Selain itu gangguan elektrolit akibat kegagalan pengaturan pompa ionic juga
ikut mencetuskan serangan epilepsi. Beberapa zat kimia terbukti dapat memicu terjadinya
epilepsi, yaitu alumina hydroxide gel yang menyebabkan degenerasi neuron, kematian neuron
dan penurunan aktivitas GABAergik, pilokapin yang menyebabkan pembengkakan pada
dendrit, soma dan astrosit, dan pada tahap akhir menyebabkan kematian sel. Asam kainat
terbukti dapat menginduksi kejang dengan cara memacu reseptor excitatory amino acid
(EAA).

Mekanisme terjadinya epilepsi pasca cedera kepala masih menjadi perdebatan. Beberapa
sumber menyebutkan epilepsi dapat terjadi karena perubahan struktur, fisiologis, dan
biokimia yang berlangsung di otak setelah cedera kepala yang dapat menyebabkan terjadinya
kejang. Kejang pertama pasca cedera kepala dianggap sebagai akibat dari kerusakan pada
neuron yang disebabkan oleh ekstravasasi darah. Trauma kepala dimulai dengan serangkaian
respon berupa perubahan aliran darah dan vasoregulasi, terjadinya gangguan pada sawar
darah otak, peningkatan tekanan kranial, perdarahan iskemik secara difus maupun fokal,
inflamasi, nekrosis, atau gangguan pada pembuluh darah itu sendiri. Uji eksperimen maupun
klinis telah menunjukkan segera setelah cedera pada otak dapat terjadi peningkatan asam
amino yang dapat menyebabkan gangguan yang lebih lanjut pada pompa ion sehingga
mengakibatkan keluarnya kalium ke dalam ruang ekstraseluler. Bersamaan dengan itu terjadi
gangguan pada sawar darah otak dan pelepasan molekul adhesi intraseluler yang
mengakibatkan masuknya leukosit ke dalam sawar darah otak. Kejang terjadi setelah cedera
kepala yang disertai oleh peningkatan glutamat dan aspartat, hal inilah yang dianggap
bertanggung jawab untuk terjadinya epileptogenesis. Secara mekanis, sel saraf yang
mengalami cedera akan melepaskan glutamat. Protein Glutamat Transporter (GLT) terlibat
dalam pengaturan kadar glutamat ekstraseluler. Kadar GLT akan menurun setelah terjadi
cedera otak, terutama di daerah korteks dan hipokampus sehingga pengaturan kadar glutamat
akan terganggu.

Selain itu, patofisiologi sinaptik dari epilepsi di duga karena berkurangnya inhibisi
GABAergik atau peningkatan eksitasi glutamat. Kadar GABA di cairan serebrospinal
berkurang pada pasien dengan gangguan epilepsi. Selain itu, rekaman hipokampus pada otak
manusia dalam keadaan sadar menunjukkan peningkatan kadar glutamat ekstraseluler
sebelum dan selama kejang. Kadar GABA akan tetap rendah pada hipokampus
epileptogenetik. Hal ini menyebabkan peningkatan toksik pada glutamat ekstraseluler akibat
berkurangnya inhibisi pada area epileptogenetik.
Gambar 3. Patofisologi kejang

3.1.6 Diagnosis
Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan
neurologis, serta pemeriksaan penunjang dengan menggunakan EEG.
A. Anamnesis
Anamnesis pada pasien epilepsi harus dilakukan secara cermat dan komprehensif
karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan kejang yang dialami
pasien. Informasi mengenai kejadian sebelum, selama, dan sesudah kejang
merupakan hal penting untuk di perhatikan. Anamnesis dapat berupa
autoanamnesis dan aloanamnesis. Pada pasien anak, aloanamnesis lebih sering
dilakukan.
B. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
1. Menilai tanda - tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti
trauma kepala, gangguan kongenital, ganngguan neurologi fokal atau difus,
infeksi telinga atau sinus.
Untuk pasien anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan
perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
2. Pemeriksaan saraf kranialis (N I - XII)
3. Pemeriksaan fungsi sensorik
4. Pemeriksaan fungsi motorik
5. Pemeriksaan refleks khusus
6. Pemeriksaan fungsi luhur
Pemeriksaan neurologi dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan neurologi
yang menyertai epilepsi.
C. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang sering di lakukan
untuk menegakkan diagnosis epilepsy. Pemeriksaan EEG sebaiknya dilakukan
pada semua penderita epilepsi jika fasilitas tersedia. Rekaman
elektroensefalogram (EEGram) memperlihatkan aktivitas listrik otak yang
direkam menggunakan elektroda yang diletakkan pada tulang kepala dengan
tatacara tertentu. Elektroda kemudian merefleksikan gabungan eksitasi dan
inhibisi potensial post - sinaptik pada ujung apikal dendrit sel piramidal.
Elektroensefalografi berperan dalam konfirmasi diagnosis epilepsi, menentukan
tipe kejang dan sindrom epilepsi, pemilihan OAE, serta menentukan prognosis.
Rekaman EEG pertama menunjukkan abnormalitas sekitar 37 - 40% kasus.
Metodelogi rekaman EEG dilakukan sesuai standarisasi American Clinical
Neurophysiology Society (ACNS). Prosedur aktivasi standar adalah stimulasi
fotik, hiperventilasi, rekaman mengantuk sampai tidur stadium non - REM, serta
sleep deprivasi. Penderita sebaiknya tidur alami pada saat direkam, premedikasi
dengan kloralhidrat dosis minimal diberikan kalau sangat diperlukan, karena
dapat menekan aktivitas gelombang epileptic.
Terdapat 2 bentuk kelainan dalam EEG, kelainan fokal pada EEG meunjukkan
adanya lesi struktural pada otak. Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Hasil EEG dikatakan abnormal apabila:
1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer.
2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya.
3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku - ombak, paku - majemuk, dan
adanya gelombang yang melambat.
Namun sekitar 10 - 40% pasien epilepsi tidak menunjukkan gambaran EEG
yang abnormal, sedangkan gambaran EEG abnormal ringan atau tidak khas
dapat dijumpai pada 15% populasi normal. Rekaman EEG hanya bisa
merekam 20 - 70% gelombang paku yang ada pada otak penderita. Pada orang
normal sekitar 10% mempunyai abnormalitas tidak khas pada rekaman EEG,
sedangkan kurang lebih 1% pasien mempunyai kelainan paroksismal EEG
berupa epileptiform tanpa adanya kejang secara klinis, pada anak - anak
mencapai 2 - 4%. Penilaian abnormalitas EEG ditentukan berdasarkan
gelombang irama dasar dan adanya gelombang epileptic.

D. Neuroimaging
Neuroimanging merupakan pemeriksaan radiologi untuk melihat struktur otak
dan melengkapi data EEG. Pemeriksaan yang sering dilakukan adalah CT Sc
an dan MRI. MRI akan menunjukkan hasil yang lebih rinci, bermanfaat untuk
membandingkan hippocampus kanan dan kiri.
3.1.7 Klasifikasi
Klasifikasi epilepsy menurut Internasional League Against Epilepsy (ILAE) 2017,
sebagai berikut:
3.1.8 Terapi
Sekitar 20 macam OAE telah dikenal sampai saat ini. Pada anak ada empat macam OAE
lini pertama yang direkomendasi penggunaannya secara rutin yaitu fenobarbital, asam
valproat, karbamazepin, dan fenitoin. Prinsip pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan
monoterapi I, bila kejang tidak terkontrol, dilanjutkan monoterapi II dan jika kejang tidak
juga terkontrol dapat diberikan kombinasi (duoterapi/politerapi) dengan dua atau tiga jenis
OAE lini pertama. Pada epilepsi umum pilihan monoterapi I adalah asam valproat, sedangkan
monoterapi II dapat dipilih salah satu dari OAE lini pertama yang lain. Pada epilepsi fokal,
pilihan monoterapi I adalah karbamazepin, sedangkan monoterapi II dapat dipilih salah satu
dari OAE lini pertama yang lain. Jika dengan monoterapi I dan II kejang tidak terkontrol,
maka dapat dilakukan terapi kombinasi (duoterapi/politerapi) dengan dua atau tiga OAE lini
pertama.
Gambar 4. Mekanisme Kerja Obat Anti Epilepsi

Beberapa macam OAE lini kedua atau OAE generasi baru seperti topiramat,
levitirasetam, vigabatrin, gabapentin, oksarbazepin, dan sebagainya belum digunakan secara
rutin, hanya direkomendasi untuk pengobatan add-on pada beberapa jenis sindroma epilepsi
bayi dan anak. Epilepsi dinyatakan remisi atau “sembuh” jika dengan OAE tercapai keadaan
bebas kejang selama dua sampai tiga tahun dengan gambaran EEG normal.
Pembedahan yang dilakukan adalah menghilangkan fokus epileptogenik atau area kecil
pada otak yang dicurigai merupakan fokus kejang dengan tindakan lobektomi, lesionectomy
atau corpus callosumectomy. Tindakan bedah hanya tepat untuk epilepsi fokal yang berasal
dari satu fokus yang jelas di otak, seperti epilepsi lobus temporalis dengan tingkat
keberhasilan beragam. Tindakan pembedahan epilepsi di Indonesia sampai saat ini belum
banyak dikerjakan.
BAB IV
PEMBAHASAN

Etiologi struktural merupakan penyebab epilepsi yang ditandai dengan adanya kelainan
anatomi otak atau adanya lesi pada otak. Kelainan pada otak dapat terjadi karena adanya
trauma kepala. Epilepsi secara garis besar dapat digolongkan menjadi epilepsy idiopatik,
kriptogenik, dan symptomatic. Epilepsy pasca trauma termasuk dalam epilepsy symptomatic.
Merupakan sekuel dari trauma kepala paling sering terjadi, insidensi 5 % pada penderita
dengan trauma kepala tertutup dan 50% pada penderita dengan fraktur tulang tengkorak dan
jejas otak. Berdasarkan Klasifikasi tipe kejang pada epilepsy dibagi menjadi 1. kejang fokal
yaitu, adanya perubahan kesadaran yang melibatkan 1 hemisfer serebri dengan kategori
motoric otomatisasi, atonik, klonik, spame epileptic, hiperkinetik, myoklonik, dan tonik. 2.
kejang umum yaitu, tidak ada perubahan kesadaran yang melibatkan 2 hemisfer serebri
dengan ketegori motoric tonik-klonik, klonik, tonik, myoklonik, myoklonik-tonik-klonik,
atonik, spasme epileptic. 3. kejang tidak diketahui yaitu, tidak termasuk dalam klasifikasi tipe
epilepsy manapun dengan ketegori motoric tonik-klonik, spasme epileptic.
Pada kasus diatas sesuai dengan gejala yang ditunjukan yaitu spasme pada seluruh
tubuh dan ektremitas yang tanpa di provokasi, sehingga masuk dalam kategori bangkitan
umum ec epilepsy symptomatic.
WHO pada tahun 2005 menyebutkan cedera kepala merupakan faktor resiko paling sering
terjadinya epilepsi dikemudian hari dengan presentase sebanyak 92% dibandingkan penyakit
lainnya seperti infeksi sistem saraf pusat.
Pada kasus diatas sesuai dengan penyebab munculnya gejala epilepsy pada pasien
yang memiliki riwayat cedera kepala tahun 2017 yang mengakibatkan muncul gejala epilepsy
pertama kali setelah cedera tersebut pada November 2020 dan kejang kedua desember 2020.
Mekanisme terjadinya epilepsi pasca cedera kepala masih menjadi perdebatan. Beberapa
sumber menyebutkan epilepsi dapat terjadi karena perubahan struktur, fisiologis, dan
biokimia yang berlangsung di otak setelah cedera kepala yang dapat menyebabkan terjadinya
kejang. Kejang pertama pasca cedera kepala dianggap sebagai akibat dari kerusakan pada
neuron yang disebabkan oleh ekstravasasi darah. Trauma kepala dimulai dengan serangkaian
respon berupa perubahan aliran darah dan vasoregulasi, terjadinya gangguan pada sawar
darah otak, peningkatan tekanan kranial, perdarahan iskemik secara difus maupun fokal,
inflamasi, nekrosis, atau gangguan pada pembuluh darah itu sendiri.
Trauma kepala dimulai dengan serangkaian respon berupa perubahan aliran darah dan
vasoregulasi, terjadinya gangguan pada sawar darah otak, peningkatan tekanan kranial,
perdarahan iskemik secara difus maupun fokal, inflamasi, nekrosis, atau gangguan pada
pembuluh darah itu sendiri. Uji eksperimen maupun klinis telah menunjukkan segera setelah
cedera pada otak dapat terjadi peningkatan asam amino yang dapat menyebabkan gangguan
yang lebih lanjut pada pompa ion sehingga mengakibatkan keluarnya kalium ke dalam ruang
ekstraseluler. Bersamaan dengan itu terjadi gangguan pada sawar darah otak dan pelepasan
molekul adhesi intraseluler yang mengakibatkan masuknya leukosit ke dalam sawar darah
otak. kejang terjadi setelah cedera kepala yang disertai oleh peningkatan glutamat dan
aspartat, hal inilah yang dianggap bertanggung jawab untuk terjadinya epileptogenesis.
Secara mekanis, sel saraf yang mengalami cedera akan melepaskan glutamat. Protein
Glutamat Transporter (GLT) terlibat dalam pengaturan kadar glutamat ekstraseluler. Kadar
GLT akan menurun setelan terjadi cedera otak, terutama di daerah korteks dan hipokampus
sehingga pengaturan kadar glutamat akan terganggu.
Pada kasus diatas sesuai dari penyebab bangkitan umum akibat post trepanase pada

tahun 2017 akibat cedera kepala yang terjadi yang mengakibatkan pasien mengalami
kerusakan pada stuktur otak hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan penunjang yaitu hasil lab
elektrolit terjadi penurunan kadar kalium yaitu 3.07 mmol/L dan pada pemeriksaan CT-Scan
kepala kontras dengan kesan gambaran lesi iskemik pada daerah frontalis dextra ec traumatic
brain injury.
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang sering di lakukan untuk
menegakkan diagnosis epilepsy. Elektroensefalografi berperan dalam konfirmasi diagnosis
epilepsi, menentukan tipe kejang dan sindrom epilepsi, pemilihan OAE, serta menentukan
prognosis. Rekaman EEG pertama menunjukkan abnormalitas sekitar 37 - 40% kasus.
Namun sekitar 10 - 40% pasien epilepsi tidak menunjukkan gambaran EEG yang abnormal,
sedangkan gambaran EEG abnormal ringan atau tidak khas dapat dijumpai pada 15%
populasi normal.
Pada kasus diatas hal ini sesuai dimana pada pemeriksaan EEG pada penderita setelah
masa perawatan selama 8 hari tidak menunjukkan abnormalitas pada rekaman EEG pada
pasien dengan kesan EEG dalam batas normal (dengan low voltage frontal region).
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO). Atlas: Epilepsy Care in the World. Geneva: WHO
Press. 2005

2. Yayasan epilepsi indonesia. Mengenal Penyakit Kuno Epilepsi, (serial online); 2006.
Available from: http://www.ina-epsy.org/2011/05/mengenal-penyakit-kuno-
epilepsi.html

3. Bolkvadze, T. Jasper's Basic Mechanisms of the Epilepsies 4 th Edition: Head Trauma and
Epilepsy. USA: Oxford University Press. 2013

4. Sahoo, P. K., Mathai, K. I., Ramdas, G. V., Swamy, M. N. The Pathophysiologi of


Posttraumatic Epilepsy. Indian Journal of Neurotrauma (IJNT). 2007

5. PERDOSSI. Pedoman dan tatalaksana epilepsi. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. 2010

6. Chen, J. W. Y., Posttraumatic Epilepsy and Treatment, Journal of Rehabilitation Research


& Development. 2009

7. Risa Vera, Nursiah, Mas Ayu Rita Dewi. Jurnal Sindrom Epilepsi Pada Anak. 2014

8. Husna et al. Jurnal Biomelecular Mechanism of Anti Epileptic Drugs. 2017

9. Viskasari et al. Jurnal Biomorfologi Mekanisme Gangguan Neurologi pada Epilepsi. 2013

10. Apga Repindo et al. Jurnal Epilepsy Symptomatic Caused by Head Injury to 20 years old
Men. 2017

11. Annegers, J.: A Population-Based Study of Seizures after Traumatic Brain Injuries. The
New England Journal of Medicine; 1998.

12. Robert S. Fisher, J. Helen Cross, et all. Instruction manual for the ILAE operational
classification of seizure types. 2017
13. Ingrid E. Scheffer, Samuel Berkovic, et all. ILAE classification of the epilepsies: Position
paper of the ILAE Commission for Classification and Terminology. 2017

Anda mungkin juga menyukai