Anda di halaman 1dari 28

PRESENTASI KASUS

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Disusun Oleh:
dr. Yosua Yan Kristian

Pembimbing:
dr. Anthony D. Tulak, Sp.P-FCCP

Pendamping:
dr. Richard Sabar Nelson Siahaan
dr. Corry Christina H

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RSUD KOTA BEKASI

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala pimpinan,
rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus
dengan judul Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
Presentasi kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Internsip di RSUD
Kota Bekasi. Di samping itu, presentasi kasus ini ditujukan untuk menambah
pengetahuan bagi kita semua mengenai Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada dr. Anthony D.


Tulak, Sp.P-FCCP selaku pembimbing dalam penyusunan presentasi kasus ini, serta
kepada dr. Richard Sabar NS dan dr. Corry Christina H selaku pendamping peserta
internsip di RSUD Kota Bekasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
rekanrekan anggota Internsip RSUD Kota Bekasi serta berbagai pihak yang telah
memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa presentasi kasus ini masih jauh dari sempurna dan
tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, segala masukan, kritik maupun saran yang
membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih, dan semoga
presentasi kasus ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi kita semua.

Bekasi, 5 Desember 2016

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................2
DAFTAR ISI .............................................................................................................3

2
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................4
1.1 Latar belakang...................................................................................4
BAB II LAPORAN KASUS ...............................................................................5
BAB III ANALISIS KASUS ...............................................................................12
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................13
3.1 Definisi..............................................................................................13
3.2 Epidemiologi....................................................................................13
3.3 Faktor Resiko...................................................................................13
3.5 Patofisiologi.....................................................................................15
3.6 Diagnosis..........................................................................................17
3.8 Penatalaksanaan...............................................................................22
3.9 Komplikasi.......................................................................................26
4.0 Prognosis..........................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................27

3
BAB I
PENDAHULUAN

Seringkali masyarakat berpikir bahwa penyakit tertentu merupakan penyakit


yang tidak atau sulit diobati, termasuk penyakit yang berkaitan dengan organ paru-
paru. Kenyataanya, tidak seluruh penyakit pada paru-paru tidak dapat tidak diobati,
namun yang paling utama adalah adanya pencegahan terhadap penyakit paru-paru
tersebut. Salah satu penyakit pada paru-paru yang banyak terjadi adalah Penyakit Paru
Obstruksi Kronis (PPOK).
PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati, dengan karakteristik
hambatan aliran udara menetap dan progesif yang disertai dengan peningkatan respon
inflamasi kronis pada saluran napas dan paru terhadap partikel berbahaya.1
Tidak ada data yang akurat tentang epidemiologi PPOK di Indonesia. Pada
Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab
kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma,
bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering
kematian di Indonesia.2
The Asia Pacific COPD Round Table Group memperkirakan penderita PPOK
sedang hingga berat di Negara-negara asia pasifik tahun 2006 mencapai 56,6 juta
penderita dengan angka prevalensi 6,3%. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta
penderita, sedangkan di Jepang mencapai 5 juta penderita dan di Tiongkok 38,1 juta
penderita.3 Untuk itu, peneliti merasa perlu untuk membahas mengenai
penatalaksanaan dan pencegahan PPOK.

4
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Data Pasien
Nama Tn. S
Umur 74 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki
Pendidikan SD
Pekerjaan Tidak Bekerja
Alamat Mekar Sari,
Bekasi
Tanggal Masuk 28 November
RS 2016

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 30 November 2016.
a. Keluhan Utama :
Sesak yang memberat sejak 3 hari SMRS.
b. Keluhan Tambahan :
Batuk sejak 3 bulan, lemas, sesak sejak 2 minggu SMRS.
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak yang memberat sejak 3
hari SMRS. Sesak sudah dirasakan sejak 2 minggu SMRS, namun semakin
memberat. Sesak menetap, tidak diperingan dengan perubahan posisi, dan
diperberat dengan aktivitas. Sesak tidak dicetuskan oleh paparan apapun, dan
tidak disertai mengi. Pasien harus berjalan perlahan dan sesekali menarik
napas dikarenakan sesak tersebut. Pasien juga mengeluhkan adanya batuk
sejak 3 bulan SMRS, yang terasa memburuk 5 hari SMRS. Batuk dirasakan
berdahak, keruh dan berwarna kehijauan, tidak ada darah.
Pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri dada, pasien dapat tidur
dengan satu bantal, tidak sering terbangun saat malam, tidak terdapat bengkak
pada kaki saat lama berdiri, tidak terdapat bengkak pada perut, dan wajah tidak
bengkak saat bangun tidur. Keringat malam disangkal, demam disangkal, pilek
serta sulit menelan dan nyeri menelan disangkal. Pasien tidak mengonsumsi
obat apapun.
d. Riwayat Penyakit Dahulu

5
1. Kencing manis disangkal
2. Hipertensi dan tidak rutin kontrol
3. Penyakit ginjal disangkal
4. Riwayat operasi dalam 1 bulan terakhir disangkal
5. Riwayat penyakit paru sebelumnya disangkal
e. Riwayat Kebiasaan
Pasien biasa merokok setiap hari, sudah merokok sejak usia 15 tahun,
dan sehari kurang lebih 1 bungkus. Pasien biasa mengendarai motor atau
angkutan umum saat bekerja, dan lingkungan pekerjaan pasien perokok aktif.
Pasien saat ini sudah tidak bekerja.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status generalis

a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang


b. Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis (GCS 15; E4 M6 V5)
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/m
Frekuensi pernapasan : 32 x/m
Suhu tubuh : 36,40C
Saturasi O2 : 95 %
Triase : Kuning
c. Kepala
Bentuk : Normocephali, simetris
Rambut : Rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
udema palpebra -/-
Telinga : Normotia, sekret -/-, otalgia -/-
Hidung : Bentuk normal, sekret -/-, NCH -/-,
Mulut : Bibir kering, sianosis (-)
Leher : Bentuk simetris, pembesaran KGB (-)
d. Thorax

6
Inspeksi : Dinding dada simetris, pelebaran sela iga (+)
Palpasi : Gerak napas simetris, fremitus melemah
Perkusi : Hipersonor pada hemithorax kanan dan kiri
Auskultasi
Pulmo : Suara napas vesikuler, ronki +/+, wheezing +/+
Cor : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
e. Abdomen
Inspeksi : Perut datar
Auskultasi : Bising usus normal, frekuensi 2x/menit
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
f. Kulit : Pucat (-), ikterik (-), petekie (-)
g. Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), udema (-), CRT< 2 detik.
h. Genitalia : Tidak diperiksa

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium (28/11/2016)

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

Hemoglobin 11,7 g/dL 13 17,5

Hematokrit 37,8 % 40 54

Leukosit 9,5 ribu u/L 5 10

Trombosit 595 ribu/uL 150 400

SGOT 36 U/L <37

SGPT 94 U/L <41

GDS 114 mg/dL 60 110

Natrium 128 mmol/L 135 145

Kalium 4.4 mmol/L 3,5 5,0

Clorida 98 mmol/L 94 111

7
b. Radiologi (28/11/2016)

Peningkatan corakan bronkovaskular, diafragma mendatar.

c. Spirometri (30/11/2016
saat pasien stabil)

FEV1 = 0.63
= 30%
FVC = 1.73
= 57%
PEF = 40
FEV1/FVC = 36
FEF25 = 0.61
FEF50 = 0.34
FEF75 = 0.16

8
IV. RESUME

Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak yang memberat sejak 3


hari SMRS. Sesak sudah dirasakan sejak 2 minggu SMRS, namun semakin
memberat. Sesak menetap, tidak diperingan dengan perubahan posisi, dan
diperberat dengan aktivitas. Pasien juga mengeluhkan adanya batuk sejak 3
bulan SMRS, yang terasa memburuk 5 hari SMRS. Batuk dirasakan berdahak,
keruh dan berwarna kehijauan.
Pemeriksaan fisik yang bermakna adalah laju napas 32x/menit, pada
pemeriksaan toraks didapatkan pelebaran sela iga (+), dengan fremitus
melemah, perkusi didapatkan hipersonor pada hemithorax kanan dan kiri, dan
pada auskultasi didapatkan suara napas vesikuler, ronki +/+, wheezing +/+.
Pemeriksaan penunjang yang bermakna adalah didapatkan Hb: 11.7
g/dL, Ht: 37.8%, Trombosit: 595 ribu/uL, SGPT 94 U/L, GDS: 114 mg/dL,
Na: 128 mmol/L. Pemeriksaan radiologis didapatkan peningkatan corakan
bronkovaskular dengan pendataran diafragma. Pada spirometri didapatkan
obstruksi, dengan FEV1/FVC=36%.

V. DIAGNOSIS KERJA
- Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi

VI. DIAGNOSIS BANDING


- Sindroma Obstruksi Pasca TB
- Asma Bronkiale
- Bronkiektasis

VII. PEMERIKSAAN ANJURAN


- Analisa Gas Darah saat eksaserbasi akut
- Elektrokardiografi
- Sputum BTA
- Kultur dahak

VIII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa

9
a. IVFD RL 20 tpm
b. Nebulizer Agonis -2 kerja cepat (Salbutamol 2,5mg) + Antikolinergik
(Ipratropium bromida 0,5mg)
c. Steroid sistemik (Methylprednisolone 2 62,5mg)
d. Aminofilin 240mg drip
e. Cefoperazone 2 1gram IV
Non medikamentosa
a. O2 3lpm via nasal kanul
b. Edukasi mengenai perkembangan penyakit, kepatuhan pengobatan,
tatalaksana di rumah saat eksaserbasi, dan perubahan gaya hidup
c. Rehabilitasi : latihan pernafasan
d. Nutrisi
e. Rawat inap

IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad bonam

X. FOLLOW UP
S O A P
29/11/2016 Sesak (+), batuk (+) HR = 26 /menit 1. TB Paru 1. Oksigen 3Lpm
Rh +/+, Wh +/+ 2. PPOK 2. NaCl +
Eksaserbasi Aminofilin 1 amp
3. Pneumonia drip/ 8 jam
3. Cefoprazone 2
1gram IV
4. MP 2 62,5mg
5. Ranitidine 2 1
amp IV
6. RHE
450/300/1000
7. Nebu V:P:B 3
1 hari
8. Amboxol 3 1
tab
9. Sputum BTA 3
30/11/2016 Sesak (+) berkurang, HR = 20/menit PPOK 1. Ambroxol 3 1
batuk (+) Rh +/+, Wh -/- 2. Cefixim 2

10
200
3. Budenocid +
Formoterol
nebulizer 2 1
4. Teofilin 3
100mg
5. Salbutamol 3
4mg
6. Boleh pulang,
kontrol

11
BAB III
ANALISIS KASUS

No Kasus Teori
.
1. Anamnesa
Sesak Perubahan histologis dari parenkim paru karena paparan
dengan zat iritan yang berakibat menrunnya kemampuan
pertukaran oksigen di paru-paru.
Batuk Batuk yang purulen akibat infeksi dapat
mengakibatkan timbunya eksaserbasi.
Purulen
2. Ronkhi Ronkhi terjadi akibat adanya sekresi yang berlebih dari
jalan napas, selain itu juga dapat terjadi karena
penyempitan bronkus.

Wheezing Wheezing terjadi akibat adanya obstruksi jalan nafas dan


terdengar saat ekspirasi

3. Rontgen Pendataran diafragma pada PPOK dikarenakan adanya


hiperinflasi dari paru
Peningkatan corakan bronkovaskuler diakibatkan adanya
kerusakan histologis dari parenkim paru dan infeksi.

12
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang dapat
dicegah dan diobati, dengan karakteristik hambatan aliran udara menetap
dan progesif yang disertai dengan peningkatan respon inflamasi kronis
pada saluran napas dan paru terhadap partikel berbahaya.1

II. Epidemiologi

Tidak ada data yang akurat tentang epidemiologi PPOK di Indonesia.


Pada Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik
dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan
terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992
menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema
menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di
Indonesia.2
The Asia Pacific COPD Round Table Group memperkirakan penderita
PPOK sedang hingga berat di Negara-negara asia pasifik tahun 2006
mencapai 56,6 juta penderita dengan angka prevalensi 6,3%. Di Indonesia
diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita, sedangkan di Jepang mencapai 5
juta penderita dan di Tiongkok 38,1 juta penderita.3

III. Faktor Resiko


Faktor risiko dari PPOK adalah:
1. Merokok
Merokok merupakan faktor resiko mayor dari mortalitas akibat
PPOK menurut Advisory Committee the Surgeon General of USA
pada tahun 1964. Prevalensi PPOK yang lebih tinggi pada pria
dapat dijelaskan dengan prevalensi perokok pada pria yang lebih
tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita, tetapi pada 50 tahun
terakhir terdapat peningkatan PPOK pada wanita.4 Hubungan
antara merokok dengan PPOK bersifat korelasi positif, hal ini
berkaitan dengan dosis rokok yang dihisap, dimana semakin
banyak rokok yang dihisap dan semakin lama kebiasaan merokok

13
seseorang, maka resiko orang tersebut untuk mengidap PPOK
semakin besar pula.2,5 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
berhenti merokok dapat berdampak positif pada kualitas hidup,
yang digambarkan dengan perbaikan CAT score dan juga
mengurangi resiko timbulnya eksaserbasi pada pasien PPOK. 6
Derajat beratnya merokok dapat dilihat melalui Indeks Brinkman,
yaitu jumlah rokok per hari, dikalikan dengan lama orang tersebut
merokok dalam tahun, dan dibagi menjadi tiga kategori:3
a. Ringan: 0-200
b. Sedang: 200-600
c. Berat: >600

Perokok pasif juga memiliki resiko terjadinya PPOK dikemudian


hari. Anak dengan orang tua merokok dapat mengakibatkan
terhambatnya perkembangan paru, sedangkan ibu hamil yang
perokok dapat menyebabkan menurunnya fungsi paru pada
neonatus ketika dilahirkan.4

2. Polusi Udara
Polusi udara sebagai penyebab PPOK masih belum menunjukkan
hubungan yang pasti, namun kasus PPOK pada pasien perkotaan
lebih tinggi dibandingkan pasien yang tinggal pada pedesaan,
dimana polusi di kota lebih tinggi dibandingkan pedesaan.4 Salah
satu survey di Amerika, berdasarkan NHANES III menunjukkan
terdapat 10,000 pasien PPOK yang tidak merokok ataupun terpapar
asap rokok, dimana 31.1% tidak pernah merokok, dan 19.2%
merupakan PPOK yang terkait dengan lingkungan kerja dengan
polusi udara tinggi.1
3. Asma
Sebanyak 20% pasien dengan asma akan berkembang menjadi
PPOK, dan setiap pasien asma 12x beresiko menjadi PPOK
dikemudian hari, dimana terjadi obstruksi jalan nafas yang
ireversibel.2
4. Infeksi
Infeksi dari kuman pada paru akan berakibat terjadinya inflamasi
pada paru, dan dapat menimbulkan eksaserbasi pada pasien yang

14
telah terkena PPOK, sehingga infeksi akan memperburuk
progresivitas penyakit.2
5. Status sosioekonomik yang rendah
Rendahnya status sosioekonomik akan berdampak baik secara
langsugn dan tidak langsung pada pasien. Orang tersebut dapat
mengalami kekurangan gizi, yang berdampak pada seringnya
terjangkit infeksi, dan pada anak akan mengakibatkan
terhambatnya perkembangan paru. Kelaparan dapat mengakibatkan
emfisema paru pada hasil penelitian dengan binatang.1,2
6. Defisiensi alpha-1-antitrypsin
Defisiensi alpha-1-antitrypsin bersifat genetik dan resesif, serta
memegang peranan kecil dalam kasus PPOK, arena jarang terjadi.2

IV. Patofisiologi dan patogenesis


Iritasi kronis pada saluran nafas yang diakibatkan zat iritan secara terus
menerus akan mengakibatkan respon inflamasi abnormal pada parenkim
paru yang kemudian terjadinya gangguan pada mekanisme pertahanan dan
terjadi fibrosis pada saluran napas kecil. Perubahan tersebut berdampak
pada terperangkapnya udara dan gangguan ventilasi-perfusi.2
Terdapat beberapa sel inflamasi pada PPOK, antara lain Neutrofil,
Makrofag, Limfosit T, Limfosit B, Eosinofil dan Sel Epitel. Selain sel
inflamasi tersebut, terdapat juga peranan protease dan antiprotease.
Protease berperan dalam pemecahan komponen jaringan ikat dan dapat
berdampak pada terjadinya kerusakan jaringan ikat paru, sedangkan
antiprotease berperan untuk melindungi jaringan tersebut. Pada pasien
PPOK terdapat peningkatan protease, akibat dari peningkatan tersebut,
elastin menjadi rusak, dan terjadi emfisema dan kemungkinan tidak dapat
diubah.2
Ketidakseimbangan ventilasi perfusi diakibatkan adanya perubahan
histiologis dari parenkim paru, dan obstruksi jalan nafas perifer. Hal ini
akan mengakibatkan retensi dari karbondioksida dan terjadi hiperinflasi
paru.2

15
Gambar 1. Patogenesis PPOK

16
V. Diagnosis
1. Anamnesa
Indikator kunci PPOK adalah:

Selain indikator kunci tersebut, dapat ditanyakan mengenai riwayat


keluarga dengan emfisema dan riwayat lahir, apakah dari orangtua
perokok, atau lahir dengan berat badan lahir rendah.2
2. Pemeriksaan Fisik2
Inspeksi:
- Pursed-lips breathing
- Barrel chest
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai
Palpasi:
- Fremitus taktil melemah
- Sela iga melebar
Perkusi:
- Hipersonor
- Batas jantung mengecil
- Hepar terdorong kebawah
Auskultasi:
- Ronkhi/Wheezing
- Ekspirasi memanjang
- Suara jantung menjauh

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri

17
Spirometri dilakukan saat pasien stabil, dan dinyatakan obstruksi
bila:1,2
VEP1 <80%
VEP1/KVP <70%
b. Uji Bronkodilator2

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri


- Beri bronkodilator inhalasi (400 g 2-agonis, hingga 160
g antikolinergik) 8 hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat
perubahan nilai VEP1 bermakna bila ada perbaikan lebih
dari 200mL atau 12%
c. Foto Thoraks2
Terdapat gambaran:
- Hiperinflasi paru dan diafragma mendatar
- Hiperlusen
- Corakan bronkovaskular meningkat
- Jantung pendulum
d. Darah rutin, Elektrolit, Gula Darah Sewaktu, Analisa Gas Darah
(pada eksaserbasi berat)
e. EKG untuk menilai adanya kelainan jantung yang menyertai
f. Bakteriologi untuk mengetahui etiologi kuman yang menyertai
4. Asesmen
Berat gejala dinilai dengan menggunakan COPD Assessment Test
(CAT) atau modified British Medical Research Council (mMRC).2 Saat
ini telah dikembangkan kuesioner untuk menilai PPOK secara holistic,
dimana tidak hanya gejala sesak saja yang dinilai melainkan juga
menilai keadaan mental dan aktivitas pasien, yaitu COPD Control
Quesionnaire (CCQ).4

18
Gambar 3. CAT Score

19
Gambar 4. mMRC

Menurut Global initiative for Chronic Obstructive Lung Disease


(GOLD), penilaian PPOK dibagi menjadi empat derajat berdasarkan
keparahan penyakit dan hasil spirometri.1,2
Penilaian tersebut berguna untuk menentukan seberapa berat penyakit
PPOK yang diderita. Pembagian pasien PPOK juga dibagi menjadi empat
grup, dimana pembagian grup tersebut akan menentukan pilihan terapi bagi
pasien dengan tepat.1

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Keterbatasan Aliran Udara

Tabel 2. Kombinasi Pasien PPOK

Pasien Kombinasi Klasifikasi Eksaserbas CAT mMRC


Spirometri i per tahun
A Risiko rendah, GOLD 1-2 1 < 10 0-1
gejala sedikit
B Risiko rendah, GOLD 1-2 1 10 2
gejala banyak
C Risiko tinggi, GOLD 3-4 2 < 10 0-1

20
gejala sedikit
D Risiko tinggi, GOLD 3-4 2 10 2
gejala banyak

21
VI. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana PPOK eksaserbasi
Kriteria eksaserbasi antara lain sputum yang berubah warna atau
semakin banyak dan sesak yang berat. Gejala tambahan antara lain,
infeksi, saluran nafas lebih dari lima hari, demam tanpa sebab yang
lain, mengi, peningkatan laju pernafasan atau frekuensi nadi > 20%
nilai dasar. Eksaserbasi dapat diklasifikasikan menjadi:
- Eksaserbasi berat : terdapat tiga gejala utama
- Eksaserbasi sedang : terdapat dua gejala utama
- Eksaserbasi ringan : terdapat satu gejala utama dan
satu gejala tambahan

Penatalaksanaan yang dilakukan:


a) Penilaian derajat kesadaran
b) Pemberian oksigen, pertahankan SaO2>90%2
c) Bronkodilator:
a. Agonis 2 kerja cepat (salbutamol)+antikolinergik
(2.5+0.5 mg), lama kerja 4-8 jam
b. Xantin IV (bolus dan drip), contoh: Aminofilin IV
240mg, lama kerja 4-6 jam.
d) Kortikosteroid sistemik:2
Dianjurkan prednisone 30 mg selama 14 hari diberikan po
untuk eksaserbasi ringan-sedang, atau methylprednisolone IV
untuk eksaserbasi berat.
Pengobatan yang efektif untuk PPOK eksaserbasi adalah
inhalasi bronkodilator (terutama inhalasi beta-2-agonis dengan
atau tanpa antikolinergik) dan glukokortikosteroid oral
e) Antibiotik IV:
Pemberian antibiotik pada pasien PPOK disesuaikan dengan
indikasi. Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
antibitoik yang direkomendasikan pada pasien antara lain:2

22
f) Ventilasi Mekanik2
Ventilasi mekanik dapat secara non invasif (Non Invasive
Positive Pressure Ventilation / NPPV), ataupun dengan
intubasi. Indikasi ventilasi mekanik dengan intubasi adalah:
- Sesak napas, pernapasan>35 x/menit
- Penggunaan otot respiratori dan pernapasan abdominal
- Kesadaran menurun
- Hipoksemia berat Pao2 < 50 mmHg
- Asidosis pH < 7,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60
mmHg
- Komplikasi kardiovaskuler, hipotensi, gangguan
metabolik, sepsis, pneumonia, barotrauma, efusi pleura
dan emboli masif
- Penggunaan NIPPV yang gagal

23
2. Tatalaksana PPOK Stabil
Tatalaksana PPOK stabil meliputi tatalaksana farmakologis dan
nonfarmakologis.
a. Tatalaksana non farmakologis:2
1. Edukasi mengenai penyakit pasien, termasuk ke dalamnya
komplikasi dan pencetus eksaserbasi.
2. Mengubah gaya hidup yang memperberat gejala, antara lain
merokok, paparan polusi udara.
3. Rehabilitasi Oksigen bila SatO2<90%.
4. Latihan fisik 15-30 menit sehari, 4-7hari seminggu.
5.Nutrisi. Malnutrisi terjadi pada PPOK dikarenakan
bertambahnya kerja otot pernapasan. Hal ini akan mengakibatkan
meningkatnya morbiditas dan mortalitas pasien PPOK.

b. Tatalaksana Farmakologis:

Berdasarkan pembagian grup pasien, tatalaksana bronkodilator


dan kortikosteroid antara lain:

Grup
Pilihan Pertama Pilihan Alternatif Terapi lain yang memungkinkan
Pasien

- Antikolinergik kerja lama


- Antikolinergik kerja cepat - Beta-2-agonis kerja lama
A - Teofilin
- Beta-2-agonis kerja cepat - Beta-2-agonis kerja cepat
+Antikolinergik kerja cepat

- Beta-2-agonis kerja cepat


- Antikolinergik kerja lama Beta-2-agonis kerja lama
B +Antikolinergik kerja cepat
- Beta-2-agonis kerja lama +Antikolinergik kerja lama
- Teofilin

- Beta-2-agonis kerja lama


+Antikolinergik kerja lama
- Beta-2-agonis kerja - Beta-2-agonis kerja cepat
lama+Kortikosteroid inhalasi - Antikolinergik kerja +Antikolinergik kerja cepat
C
lama+inhibitor PDE4
- Antikolinergik kerja lama - Teofilin
- Beta-2-agonis kerja
lama+inhibitor PDE4

D - Beta-2-agonis kerja - Beta-2-agonis kerja lama - Karbosistein


lama+Kortikosteroid inhalasi +Kortikosteroid inhalasi
+Antikolinergik kerja lama - Beta-2-agonis kerja cepat
- Antikolinergik kerja lama +Antikolinergik kerja cepat
- Kortikosteroid inhalasi
+Beta-2-agonis kerja lama - Teofilin
+Inhibitor PDE4

24
- Antikolinergik kerja lama
+Beta-2-agonis kerja lama

- Antikolinergik kerja lama


+Inhibitor PDE4

3. Indikasi Rawat Inap2


a. Peningkatan intensitas gejala
b. PPOK derajat berat
c. Timbul sianosis/edema
d. Tidak terdapat perbaikan setelah penatalaksanaan insial
e. Terdapat komorbiditas
f. Usia lanjut
g. Sering terjadi eksaserbasi

4. Indikasi ICU2
a. Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat
atau ruang rawat
b. Kesadaran menurun, lethargi, atau kelemahan otot-otot respirasi
c. Setelah pemberian oksigen tetap terjadi hipoksemia atau
perburukan
d. Memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non invasif)

25
VII. Komplikasi
Komplikasi dari PPOK yang dapat terjadi antara lain:
1. Gagal napas
Gagal napas ditandai dengan hasil analisis gas darah PO 2 < 60 mmHg dan
PCO2 > 60 mmHg, dan pH normal.2
2. Kor pulmonale
Kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG (pembesaran atrium
kanan), hematokrit > 50%, dan dapat disertai gagal jantung kanan.2
3. Infeksi berulang
Sputum yang berlebihan pada pasien PPOK mengakibatkan peningkatan
koloni kuman yang berdampak pada terjadinya infeksi berulang pada
pasien.2

VIII. Prognosis
Prognosis PPOK dapat dilihat menggunakan BODE Index.7

Intepretasi BODE Index tersebut adalah sebagai berikut:

Nilai BODE Mortalitas 1 Mortalitas 2 tahun Mortalitas 52 bulan


tahun dalam % dalam % dalam %
0-2 2 6 19
3-4 2 8 32
5-6 2 14 40
7-10 5 31 80

26
27
DAFTAR PUSTAKA

1. Decramer M, et al. Global strategy for the diagnosis, management, and prevention
of chronic obstructive pulmonary disease. Global initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD); 2014.
2. Antariksa B, et al. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia revisi 2010. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2010.
3. Antariksa B, et al. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia 2003. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2003.
4. Reilly JJ, Silverman EK, dan Shapiro SD. Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
dalam: Longo DL, et al, editor. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi ke-
18. New York: Mc-Graw-Hill; 2012.
5. Barbara AF, Alison JT, dan Peter NL.Systematic Review with Meta-Analysis of the
Epidemiological Eviidence Relating Smoking to COPD, chronic bronchitis and
emphysema. BMC Pulmonary Medicine.2011; 11:36-96.
6. Putra DP, Bustamam N, Chairani A. Hubungan Berhenti Merokok dengan Tingkat
Keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik Berdasarkan GOLD 2013. J Respir Indo.
2016; 36:20-7.
7. Bartolome ER, et al. The Body-Mass Index, Airflow Obstruction, Dyspnea, and
Exercise Capacity Index in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J Med.
2004; 350:1005-1012.

28

Anda mungkin juga menyukai