Anda di halaman 1dari 83

CASE REPORT SESSION (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior/G1A220120/ Januari 2022


** Pembimbing : dr. Melly Miranda,M.Ked(Paru), Sp.P

EFUSI PLEURA DEXTRA + HEMAPTOE


ET CAUSA TUBERKULOSIS PARU

Oleh :
Kurnia Sari, S.Ked*
G1AA220120

Pembimbing:
dr. Melly Miranda, M.Ked(Paru). Sp.P **

PROGRAM PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
LEMBAR PENGESAHAN
CASE REPORT SESSION (CRS)

EFUSI PLEURA DEXTRA + HEMAPTOE


ET CAUSA TUBERKULOSIS PARU

Oleh:
Kurnia Sari
G1A2220120

PROGRAM PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021

Jambi , Januari 2022


Pembimbing

dr. Melly Miranda, M.Ked(Paru), Sp.P


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan anugerah-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus pada Program Profesi Dokter Bagian
Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Raden Mattaher Jambi yang berjudul “Efusi
Pleura Dextra + Hemaptoe et Causa Tuberkulosis Paru”.
Laporan ini dibuat dengan tujuan agar penulis dapat memahami lebih
dalam teori-teori yang diberikan selama menjalani Program Profesi Dokter
Bagian Ilmu Penyakit Dalam di di RSUD Raden Mattaher Jambi, dan melihat
penerapannya secara langsung di lapangan. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Melly Miranda, M.Ked(Paru),
Sp.P sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing
penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak yang membacanya.Semoga tugas ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jambi, Januari 2022

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara
lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas
dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang
terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TBC.1
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI
8,8 juta – 12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima
negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan
Pakistan.1,2 Gejala penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, pada TB paru
gejalanya yaitu batuk >2 minggu dapat disertai dahak dan bercampur darah, juga
dapat disertai nyeri dada dan sesak napas, serta gejala lain meliputi Malaise,
penurunan berat badan, menurunnya nafsu makan, menggigil, demam, dan
berkeringat di malam hari.3
Hemoptisis atau hemoptoe didefisinikan sebagai batuk dengan dahak yang
bercampur darah atau ekpetorasi dari darah yang berasal dari paru atau trunkus
bronkotrakeal sedangkan hemoptisis masif adalah batuk darah dengan volume
100-1000 mL (jumlah yang digunakan masih beragam pada beberapa pusat
pendidikan). Di Indonesia, urutan penyebab hemoptysis yang paling sering adalah
tuberculosis paru (hal ini disebabkan oleh banyaknya jumlah penderita
tuberculosis paru), kemudian disusl oleh keganasan paru (karsinoma
bronkogenik), bronkiektasis, abses paru, pneumonia bacterial, bronchitis kronik,
dan infeksi jamur. Hemoptysis juga dapat terjadi pada bekas tuberculosis paru
dengan masalah pulmonologik seperti infeksi jamur.4
Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang muncul dibagi atas komplikasi dini
dan komplikasi lanjut. Komplikasi dini dapat berupa pleuritis, efusi pleura,
empiema, laringitis, Poncet’s arthropathy. Komplikasi lanjut yaitu Sindrom

3
Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT), fibrosis paru, kor pulmonal, ARDS, dan
karsinoma paru.5
Efusi pleura adalah akumulasi cairan di antara pleura parietal dan viseral,
yang disebut rongga pleura. Hal ini dapat terjadi dengan sendirinya atau dapat
menjadi akibat dari penyakit parenkim di sekitarnya seperti infeksi, keganasan
atau kondisi peradangan. Tuberkulosis merupakan penyebab umum efusi pleura
di daerah endemik tuberkulosis. Efusi pleura muncul akibat infeksi
Mycobacterium tuberculosis pada pleura dan ditandai dengan akumulasi kronis
yang terus menerus dari cairan dan sel-sel inflamasi di rongga pleura. Efusi pleura
merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas paru.6

4
BAB II
STATUS PASIEN

ANAMNESIS PRIBADI
Nama : Ny. E Pekerjaan : IRT
Umur : 27 Tahun Suku : Melayu
Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam
Status Pernikahan : Belum Menikah Tanggal Masuk : 27/12/2021
Alamat : RT.26 Paal Merah

ANAMNESIS PENYAKIT
Keluhan Utama : Sesak napas
Keluhan Tambahan : Batuk darah
Telaah :
Os datang dengan ke IGD RSUD Raden Mattaher dengan keluhan sesak
napas yang memberat sejak ± 1 hari yang lalu. Os mengaku sesak napas sudah
dirasakan sejak ± 3 minggu SMRS, sesak napas yang dirasakan hilang timbul tidak
tergantung waktu, sesak napas yang dirasakan semakin hari semakin memberat,
sesak napas tidak dipengaruhi oleh cuaca, debu dan makanan, sesak napas tidak
disertai suara mengi. Sesak napas dirasakan semakin memberat saat os beraktivitas
dan tidak bergantung pada perubahan posisi. Os juga mengeluhkan nyeri dada
terutama sebelah kanan yang memberat apabila pasien batuk atau menarik nafas.
Os juga mengeluhkan nyeri dada bertambah berat bila os tidur miring ke sebelah
kiri.
Os juga mengeluhkan batuk darah, sejak ± 3 bulan SMRS. Batuk yang
dirasakan hilang timbul dan keras, tidak ada lendir dan tidak ada dahak. Os juga
mengatakan sering berkeringat pada malam hari dan merasa nafsu makannya
menurun sehingga berat badannya turun. Pusing (-), pilek (-), mual (-), muntah (-),
BAB dan BAK tidak ada keluhan.

5
Riwayat Rokok : [ - ] Perokok aktif
[ √ ] Perokok pasif
Riw. Paparan biomass : [ ] Ya ; Jenis…..........selama…......tahun; dengan / tanpa
masker
[ √ ] Tidak
Riwayat OAT : [ ] Ya [ √ ] Tidak
Berdasarkan
Teratur/ Hasil akhir
OAT Diberikan (klinis/ Lama
Tahun Tidak (sembuh/putus
Kategori oleh bakteriologi/ pengobatan
teratur obat/gagal)
radiologi)

Riw. Penyakit terdahulu : Pernah mengalami keluhan yang sama (-), Riwayat
Tuberkulosis (-), Riwayat asma (-), Riwayat Alergi (-),
Riwayat Hipertensi (-), Riwayat DM (-), Riwayat
Penyakit Jantung (-).
Riw. Pemakaian obat : Tidak ada
Riw. Alergi keluarga : Tidak ada
Riw. Kanker keluarga : Tidak ada

PEMERIKSAAN FISIS
STATUS PRESENS
KEADAAN UMUM KEADAAN PENYAKIT
Sensorium : Compos Mentis Dispnea (+) Orthopnea (-)
Tekanan darah : 110/80 mmHg Trepopnea (-) Platipnea (-)
Frekuensi nadi : 96 x/i Edema (-)
Frekuensi napas : 32 x/i Sianosis (-)
Suhu : 36,7C Ikterus (-)
VAS :4
SpO2 : 94 %

6
KEADAAN GIZI
Berat badan : 50 kg Body Mass Index : 22,2 kg/m2
Tinggi badan : 150 cm Kesan : Underweight/Normoweight/
Overweight/Obese

STATUS LOKALISATA
KEPALA
Wajah Pembengkakan/ facial plethora ( - ) Anhidrosis ( - ) Deformitas ( - )
Benjolan ( - ) Pembesaran kgb (-)
Mata Konjungtiva anemis ( - ) Sklera ikterik ( - ) Miosis ( - ) Ptosis ( - )
Enophtalmus ( - ) Pupil Resuler : 3 mm/3 mm
Telinga Dalam batas normal. Pembesaran Kgb Pre arriclae ( - )
Hidung Deviasi septum ( - ) Konka hipertrofi ( - )
Mukosa (tenang/livide/hiperemis)
Polip ( - ) Napas cuping hidung ( - )
Mulut Sianosis sentral ( - ) Oral candidiasis ( - ) Oral hygiene (baik/buruk/)
Tonsil hipertrofi ( - ) Mulut mencucu (-)

LEHER
TVJ : 5+2 cmH2O
Pembesaran KGB [ ] Ya, lokasi (Jugularis Media), soliter / multipel,
konsistensi (Kenyal), mobile/immobileBatas tegas /
tidak tegas, nyeri tekan ( - ),
[ √ ] Tidak
Pembesaran Tiroid ( - ) Pembengkakan leher ( - ), venektasi leher ( - ) m.
sterno deidemos tideus ( - )

THORAKS
Inspeksi
Statis : Bentuk dinding toraks (Simetris), Venektasi ( - ), Vena Kolateral (
- ), Scar ( - ) Barrel chest ( - ) Pigeon chest ( - ) Pannel chest ( - )
Dinamis : Ketinggalan bernapas (-)

7
Palpasi
Pembesaran KGB : Tidak ada
Posisi Trakea : Ditengah
Ekspansi dada : Mengembang sempurna
Emfisema subkutis : Tidak ada
Apeks kordis : Teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Succcutio hipokrates : Tidak ada
Tactile fremtus : lapangan paru atas : menurun/+
lapangan paru tengah : menurun/+
lapangan paru bawah : menurun/+

Perkusi Kanan Kiri


lapangan paru atas : Redup Sonor
lapangan paru tengah : Redup Sonor
lapangan paru bawah : Redup Sonor

Batas paru – hati : ICS V linea midaxylaris dextra


Peranjakan : 2 cm
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis dextra
Batas kiri jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Batas kanan jantung : ICS IV linea parasternalis dextra

Auskultasi Kanan Kiri


Suara Vesikular menurun Suara Vesikular
napas napas
Crackles ( + ) Crackles ( + )
Fine / Coarse Fine / Coarse
Early / Late Inspiratoric Early / Late Inspiratoric
Lapangan Wheezing (-) Wheezing (-)
paru Low / High pitch Low / High pitch
Suara Localized/Generalized Suara Localized/Generalized
Atas
tambahan Monophonic/Poliphonic tambahan Monophonic/Poliphonic
Egophoni ( - ), Bronchophoni ( - ) Egophoni ( - ), Bronchophoni ( - )
Whispered pictoriloquiy ( - ) Whispered pictoriloquiy ( - )
Pelural Friction Rub ( - ) Pelural Friction Rub ( - )

Lapangan Suara Vesikuler menurun Suara Vesikuler

8
napas napas
Crackles ( + ) Crackles ( + )
Fine / Coarse Fine / Coarse
Early / Late Inspiratoric Early / Late Inspiratoric
Wheezing (-) Wheezing (-)
paru
Suara Low / High pitch Suara Low / High pitch
Tengah
tambahan Localized/Generalized tambahan Localized/Generalized
Monophonic/Poliphonic Monophonic/Poliphonic
Egophoni ( - ), Bronchophoni ( - ) Egophoni ( - ), Bronchophoni ( - )
Whispered pictoriloquiy ( - ) Whispered pictoriloquiy ( - )
Pelural Friction Rub ( - ) Pelural Friction Rub ( - )
Suara Vesikuler menurun Suara Vesikuler
napas napas
Crackles ( + ) Crackles ( + )
Fine / Coarse Fine / Coarse
Early / Late Inspiratoric Early / Late Inspiratoric
Lapangan Wheezing (-) Wheezing (-)
paru Low / High pitch Low / High pitch
Suara Suara
bawah Localized/Generalized Localized/Generalized
tambahan tambahan
Monophonic/Poliphonic Monophonic/Poliphonic
Egophoni ( - ), Bronchophoni ( - ) Egophoni ( - ), Bronchophoni ( - )
Whispered pictoriloquiy ( - ) Whispered pictoriloquiy ( - )
Pelural Friction Rub ( - ) Pelural Friction Rub ( - )Pelural
Friction Rub ( - )

ABDOMEN
Hepar / Lien / Renal : Tidak teraba
Ascites : Tidak ada

EKSTREMITAS
Ekstremitas superior : Sianosis ( - ) Clubbing finger ( - ) Nicotine staining ( - )
Edema ( - ) unilateral/bilateral
Ekstremitas superior : Sianosis ( - ) Clubbing finger ( - ) Eritema nodusum ( - )
Edema ( - ) unilateral/bilateral
Tipoa ( - ) Atrofi ext. atas ( - ) Yellow syndrome ( - )

9
Pemeriksaan Penunjang :
- Foto Thoraks AP (27/12/2021) :

Hasil :
Pemeriksaan Radiografi Thorax proyeksi AP
Jantung tidak membesar (CTR < 50%)
Sudut kostofrenikus kanan tumpul.
Kesan :
Pleural Effusion Dextra

10
- Foto Thoraks AP (04/01/2021) :

Hasil :
Tampak perselubungan di paru kanan
Cor batas kanan tidak jelas
Sinus costofrenicus kanan terselubung, kiri baik
Tulang normal
Kesan :
Pneumonia dan efusi pleura kanan

Darah Rutin (27/12/2021)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Kesan

Hemoglobin 10,1 (13,4-17,1 g/dl) 


Hematokrit 32,2 (34,5-54 %) 
Eritrosit 3,94 4,5-5,5 x10^6/ul 
MPV 5,69 7,2-11,1 fl 

11
PDW 18,2 9-13 fl
Leukosit 13,6 4,0-10,0 x10^3/ul 
MCH 25,6 27-31 pg N
MCHC 31,3 32-36 g/l N
MCV 81,7 80-96 fl N
Trombosit 547. 150-450 x10^3/ul N
GDS 98 <200 mg/dl N

Kimia Klinik
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Kesan

Elektrolit (27/12/2021)
Natrium 134,6 135-147 mmol/L 
Kalium 4,32 3,5-5,0 mmol/L N
Chlorida 99,4 95-105 mmol/L 
Calcium ion++ 1,18 1,00-1,15 mmol/L N

Faal Ginjal (27/12/2021)


Ureum 11 15-39 mg/dL N
Kreatinin 0,67 0,55-1,3 mg/dL N
Faal Hati (29/12/2021)
SGOT 17 15-37 u/l 
SGPT 20 14-63 u/l N
Hematologi (29/12/2021)
LED 103 0-20 mm/jam 

Urinalisa (04/01/2022)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Kesan

Urine Rutin
Warna Kuning Tua Kuning Muda 
Kejernihan Keruh Jernih N

12
pH 6,5 4-8,5 
Berat Jenis 1.005 1.005-1.030 N
Protein +1 Negative
Glukosa (Reduksi) Normal Normal
Keton Negative Negative
Bilirubin +1 Negative
Eritrosit +1 Negative
Urobilinogen +2 Normal
Nitrit Negative Negative
Sedimen Urin
Leukosit 1-2 0-3/LPB
Eritrosit 0-1 0-2/LPB
Epithel 1-2 0-5/LPK
Silinder Negative Negative
Kristal Negative Negative
Bakteri Negative Negative

Hematologi (05/01/2022)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Kesan

Faal Hemostasis
D-Dimer 1379.43 <500ng/mL 

Pemeriksaan Sitologi (05/01/2022)


Makroskopis :
Diterima berupa cairan sitologi dalam spuit 10 cc sebanyak 10 cc dengan warna
kuning.

Mikroskopis :
Sediaan tampak mengandung banyak sel limfosit, tersebar, dengan inti tampak
masih dalam batas normal. Tampak juga sel darah merah serta sel histiosit. Tidak
ditemukan massa seperti nekrosis perkijuan. Tidak ditemukan sel ganas pada
sediaan ini.

13
Kesimpulan : Lymphocytic Pleural Effusion.

Anamnesis : - sesak nafas sejak ± 2 minggu SMRS, memberat ± 1


hari SMRS
- sesak nafas disertai batuk berdarah
- nyeri pada rusuk kanan

Pemeriksaan fisis : I: Dinding dada simetris, retraksi (-)


P: Fremitus taktil (menurun/normal), Nyeri tekan (-)
P: Hipersonor paru kanan, sonor paru kiri
A: vesikuler paru di apeks, tengah dan basal (+/+),
rhonki basah halus (+/+)

Pemeriksaan Penunjang : - Foto thoraks : Efusi Pleura Dextra

DIAGNOSIS & DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis Banding : 1. Efusi Pleura + Hemaptoe e.c TB Paru
2. Efusi Pleura + Hempatoe e.c Tumor Paru

Diagnosis Kerja
Diagnosis Utama : Efusi Pleura + Hemaptoe e.c TB Paru
Diagnosis Sekunder : -

PENATALAKSANAAN
Aktivitas : Tirah Baring posisi kepala tinggi
Diet : Diet biasa

Edukasi :
1. Pengetahuan dasar tentang TB paru
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Cara pencegahan penularan penyakit

14
5. Penyesuaian aktivitas

Tindakan : [+] Pemasangan WSD tanggal 29/12/2021 dan 04/01/2022


[-] Aspirasi cairan pleura
[-] Bronksokopi terapeutik

Medikamentosa :
- O2 3-4 L/i
- IVFD NaCl 0,9 % 20 tpm
- Inj Ceftriaxone IV 1 x 2 gr
- Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
- Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg
- N-Acetylcysteine 2 x 1
- Vitamin B Complex 3 x 1

Rencana Penjajakan Diagnostik :


1. Pemeriksaan Sputum
2. Pemeriksaan CT-Scan Thorax

FOLLOW UP
Tanggal Perkembangan

28/12/2021 S: Sesak napas (+), batuk (+)


O: TD: 124/95 N : 84x/menit RR: 24x/menit T : 36,7°C
SpO2 : 98%
Pemeriksaan generalisata:
Vesikuler kanan menurun; Rhonki (+/+)
A: Efusi Pleura Dextra et causa susp. TB Paru
P: Farmakologis:
O2 Nasal Canule 3L/i
IVFD NaCL 0,9% 10 tpm

15
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
PO Codein 3 x 10 mg

Non Farmakologis:
Tirah baring
Minum air banyak
Edukasi
29/12/2021 S: Sesak napas (+), batuk (+)
O: TD: 124/95 N : 84x/menit RR: 24x/menit T : 36,7°C
Pemeriksaan generalisata:
Paru : Perkusi kanan pekak; Auskultasi vesikuler kanan
menurun; Rhonki (+/+)
A: Efusi Pleura Dextra et causa susp. TB Paru
P: Farmakologis:
O2 Nasal Canule 3L/i
IVFD NaCL 0,9% 10 tpm
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
PO Codein 3 x 10 mg

Non Farmakologis:
Tirah baring
Minum air banyak
Edukasi
Pemasangan WSD  dilakukan pemasangan WSD di ICS
VII linea mid-axilla dextra
Periksa sitologi cairan pleura

16
30/12/2021 S: Sesak napas (+), batuk berdarah (-)
O: TD: 112/94 N : 96x/menit RR: 24x/menit T : 36,7°C
SpO2 : 98%.
WSD terpasang
A: Efusi Pleura dextra et causa susp. TB Paru
P: Farmakologis:
O2 Nasal Canule 3L/i
IVFD NaCL 0,9% 10 tpm
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
PO Codein 3 x 10 mg

Non Farmakologis:
Tirah baring
Minum air banyak
Edukasi
31/12/2021 S: Sesak napas (+), batuk (+)
O: TD: 110/70 N : 76x/menit RR: 24x/menit T : 36,7°C
SpO2 98 %
WSD Terpasang
A: Efusi Pleura Dextra et causa susp. TB Paru
P: Farmakologis:
O2 Nasal Canule 3L/i
IVFD NaCL 0,9% 10 tpm
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
PO Codein 3 x 10 mg

17
Non Farmakologis:
Tirah baring
Minum air banyak
Edukasi
Aff WSD
01/01/2022 S: Sesak napas (+), batuk (+)
O: TD: 121/87 N : 92x/menit RR: 24x/menit T : 36,7°C
SpO2 : 97%
WSD (-)
A: Efusi Pleura Dextra et causa susp. TB Paru
P: Farmakologis:
O2 Nasal Canule 3L/i
IVFD NaCL 0,9% 10 tpm
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
PO Codein 3 x 10 mg

Non Farmakologis:
Tirah baring
Minum air banyak
Edukasi
02/01/2022 S: Sesak napas (+), batuk (+)
O: TD: 111/76 N : 88x/menit RR: 24x/menit T : 36,7°C
A: Efusi Pleura Dextra et causa susp. TB Paru
P: Farmakologis:
O2 Nasal Canule 3L/i
IVFD NaCL 0,9% 10 tpm
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg

18
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
PO Codein 3 x 10 mg

Non Farmakologis:
Tirah baring
Minum air banyak
Edukasi
03/01/2022 S: Sesak napas (+), batuk (+)
O: TD: 112/87 N :90 x/menit RR: 24x/menit T : 36,7°C
SpO2 : 98%
A: Efusi Pleura Dextra et causa susp. TB Paru
P: Farmakologis:
O2 Nasal Canule 3L/i
IVFD NaCL 0,9% 10 tpm
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
Inj. Fartison (Hidrokortison) 100 mg/hr
Inj. Resfar (Acetylcysteine) 12,5mg/hr
PO Codein 3 x 20 mg

Non Farmakologis:
Tirah baring
Minum air banyak
Edukasi
Cek urinalisa
Foto Thorax PA ulang
04/01/2022 S: Sesak napas (+), batuk (+)
O: TD: 114/85 N : 104x/menit RR: 24x/menit T : 36,7°C
SpO2 99%
A: Efusi Pleura Dextra et causa susp. TB Paru

19
P: Farmakologis:
O2 Nasal Canule 3L/i
IVFD NaCL 0,9% 10 tpm
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
Inj. Fartison (Hidrokortison) 100 mg/hr
Inj. Resfar (Acetylcysteine) 12,5mg/hr
PO Codein 3 x 20 mg

Non Farmakologis:
Tirah baring
Minum air banyak
Edukasi
Pemasangan WSD di OKE  dilakukan di ICS V linea mid
Axilla dextra didapatkan tekanan (+), cairan (+) warna
kuning pekat.
Cairan dikeluarkan secara gradual 200 cc/jam
05/01/2022 S: Sesak napas berkurang , batuk (+)
O: TD: 110/90 N : 107x/menit RR: 22x/menit T : 36,7°C
SpO2 97%
WSD terpasang H.2
A: Efusi Pleura Dextra et causa susp. TB Paru
P: Farmakologis:
O2 Nasal Canule 3L/i
IVFD NaCL 0,9% 10 tpm
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
Inj. Fartison (Hidrokortison) 100 mg/hr

20
Inj. Resfar (Acetylcysteine) 12,5mg/hr
PO Codein 3 x 20 mg
R/ terapi OAT
Non Farmakologis:
Tirah baring
Minum air banyak
Edukasi
06/01/2022 S: Sesak napas berkurang, batuk (+)
O: TD: 110/760 N : 90x/menit RR: 24x/menit T : 36,7°C
SpO2 98 %. WSD terpasang H.3
A: Efusi Pleura Dextra et causa TB Paru
P: Farmakologis:
O2 Nasal Canule 3L/i
IVFD NaCL 0,9% 10 tpm
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
Inj. Fartison (Hidrokortison) 100 mg/hr
Inj. Resfar (Acetylcysteine) 12,5mg/hr
PO Codein 3 x 20 mg
Mulai terapi OAT

Non Farmakologis:
Tirah baring
Minum air banyak
Edukasi
07/01/2022 S: Sesak napas berkurang, batuk (+), nyeri di tempat WSD
O: TD: 120/82 N : 92x/menit RR: 24x/menit T : 36,7°C
SpO2 98% WSD terpasang H.4
A: Efusi Pleura Dextra et causa TB Paru
P: Farmakologis:

21
O2 Nasal Canule 3L/i
IVFD NaCL 0,9% 10 tpm
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
Inj. Fartison (Hidrokortison) 100 mg/hr
Inj. Resfar (Acetylcysteine) 12,5mg/hr
PO Codein 3 x 20 mg
PO Paracetamol 3 x 500 mg
PO OAT

Non Farmakologis:
Tirah baring
Minum air banyak
Edukasi
08/01/2022 S: Sesak napas berkurang, batuk (+), nyeri di tempat WSD
O: TD: 127/91 N : 102x/menit RR: 24x/menit T : 36,7°C
SpO2 98%
A: Efusi Pleura Dextra et causa susp. TB Paru
P: Farmakologis:
O2 Nasal Canule 3L/i
IVFD NaCL 0,9% 10 tpm
Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Asam Tranexamat 3 x 500 mg
Inj. Ceftriaxone 1 x 2 gr
Inj. Fartison (Hidrokortison) 100 mg/hr
Inj. Resfar (Acetylcysteine) 12,5mg/hr
Inj. Arixtra (Fondaparinux) 2,5mg/hr
PO Codein 3 x 20 mg
PO Paracetamol 3 x 500 mg

22
Non Farmakologis:
Tirah baring
Minum air banyak
Edukasi

23
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tuberkulosis
3.1.1 Definisi1,3,4
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi bakteri menahun yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Suatu basil tahan asam yang di
tularkan melalui udara. Tuberculosis dapat menyebar dari satu orang ke orang lain
melalui transmisi udara (droplet dahak pasien penderita tuberculosis).
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat
hidupterutama di paru/ berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial
tinggi.Penyakit tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar ke
hampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus
limfe.Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan.Individu
kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan
respon imun.
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA).Sebagian
besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan
TB paru, namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh
lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra
paru lainnya.

3.1.2 Etiologi1
Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB: Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium
microti and Mycobacterium cannettii. M.tuberculosis (M.TB), hingga saat ini
merupakan bakteri yang paling sering ditemukan, dan menular antar manusia
melalui rute udara.

24
Tidak ditemukan hewan yang berperan sebagai agen penularan M.TB.
Namun, M. bovis dapat bertahan dalam susu sapi yang terinfeksi dan melakukan
penetrasi ke mukosa saluran cerna serta menginvasi jaringan limfe orofaring saat
seseorang mengonsumsi susu dari sapi yang terinfeksi tersebut. Angka kejadian
infeksi M.bovis pada manusia sudah mengalami penurunan signifikan di negara
berkembang, hal ini dikarenakan proses pasteurisasi susu dan telah
diberlakukannya strategi kontrol tuberkulosis yang efektif pada ternak. Infeksi
terhadap organisme lain relatif jarang ditemukan.
Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara
melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika seorang
yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara. Percik renik juga
dapat dikeluarkan saat pasien TB paru melalui prosedur pemeriksaan yang
menghasilkan produk aerosol seperti saat dilakukannya induksi sputum,
bronkoskopi dan juga saat dilakukannya manipulasi terhadap lesi atau pengolahan
jaringan di laboratorium. Percik renik, yang merupakan partikel kecil berdiameter
1 sampai 5 μm dapat menampung 1-5 basilli, dan bersifat sangat infeksius, dan
dapat bertahan di dalam udara sampai 4 jam. Karena ukurannya yang sangat kecil,
percik renik ini memiliki kemampuan mencapai ruang alveolar dalam paru, dimana
bakteri kemudian melakukan replikasi.
Ada 3 faktor yang menentukan transmisi M.TB :
1. Jumlah organisme yang keluar ke udara.
2. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang dan ventilasi.
3. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi.
Satu batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali
bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik.Sedangkan, dosis yang
diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil.Kasus yang paling
infeksius adalah penularan dari pasien dengan hasil pemeriksaan sputum positif,
dengan hasil 3+ merupakan kasus paling infeksius.Pasien dengan hasil
pemeriksaan sputum negatif bersifat tidak terlalu infeksius.Kasus TB ekstra paru
hampir selalu tidak infeksius, kecuali bila penderita juga memiliki TB paru.
Individu dengan TB laten tidak bersifat infeksius, karena bakteri yang menginfeksi
mereka tidak bereplikasi dan tidak dapat melalukan transmisi ke organisme lain.

25
Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan minim
ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam waktu yang lebih
lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh tuberkel basili dengan cepat,
namun bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan yang gelap. Kontak
dekat dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi meningkatkan risiko
penularan.Apabila terinfeksi, proses sehingga paparan tersebut berkembang
menjadi penyakit TB aktif bergantung pada kondisi imun individu. Pada individu
dengan sistem imun yang normal, 90% tidak akan berkembang menjadi penyakit
TB dan hanya 10% dari kasus akan menjadi penyakit TB aktif (setengah kasus
terjadi segera setelah terinfeksi dan setengahnya terjadi di kemudian hari). Risiko
paling tinggi terdapat pada dua tahun pertama pasca-terinfeksi, dimana setengah
dari kasus terjadi. Kelompok dengan risiko tertinggi terinfeksi adalah anak-anak
dibawah usia 5 tahun dan lanjut usia.
Orang dengan kondisi imun buruk lebih rentan mengalami penyakit TB aktif
dibanding orang dengan kondisi sistem imun yang normal. 50-60% orang dengan
HIV-positif yang terinfeksi TB akan mengalami penyakit TB yang aktif. Hal ini
juga dapat terjadi pada kondisi medis lain di mana sistem imun mengalami
penekanan seperti pada kasus silikosis, diabetes melitus, dan penggunaan
kortikosteroid atau obat-obat imunosupresan lain dalam jangka panjang.

3.1.3 Epidemiologi1,2
Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,
diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk)
dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan
63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk).Angka Notifikasi
Kasus (Case Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan sebanyak 129
per 100.000 penduduk.Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya 314.965
adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB
diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 6700
kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB dan ada 12%
kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang.

26
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-
laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan
Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi
dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal
ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada faktor risiko TBC
misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat.
Berdasarkan Global TB Report 2018, diperkirakan di Indonesia pada
tahun 2017 terdapat 842.000 kasus TB baru (319 per 100.000
penduduk) dan kematian karena TB sebesar 116.400 (44 per 100.000
penduduk) termasuk pada TB-HIV positif. Angka notifikasi kasus (case
notification rate/CNR) dari semua kasus dilaporkan sebanyak 171 per
100.000 penduduk.Secara nasional diperkirakan insidens TB HIV
sebesar 36.000 kasus (14 per 100.000 penduduk). Jumlah kasus TB-RO
diperkirakan sebanyak 12.000 kasus (diantara pasien TB paru yang
ternotifikasi) yang berasal dari 2.4% kasus baru dan 13% kasus
pengobatan ulang. Terlepas dari kemajuan yang telah dicapai Indonesia,
jumlah kasus tuberkulosis baru di Indonesia masih menduduki
peringkat ketiga di dunia dan merupakan salah satu tantangan terbesar
yang dihadapi Indonesia dan memerlukan perhatian dari semua pihak,
karena memberikan beban morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Tuberkulosis merupakan penyebab kematian tertinggi setelah penyakit
jantung iskemik dan penyakit serebrovaskuler. Pada tahun 2017, angka
kematian akibat tuberkulosis adalah 40/100.000 populasi (tanpa TB-
HIV) dan 3,6 per 100.000 penduduk (termasuk TB-HIV).

3.1.4 Faktor Risiko,5,6


1. Kuman penyebab TB.
a. Pasien TB dengan BTA positif lebih besar risiko menimbulkan
penularan dibandingkan dengan BTA negatif.

27
b. Makin tinggi jumlah kuman dalam percikan dahak, makin besar risiko
terjadi penularan.

c. Makin lama dan makin sering terpapar dengan kuman, makin besar
risiko terjadi penularan.

2. Faktor individu yang bersangkutan.


Beberapa faktor individu yang dapat meningkatkan risiko menjadi
sakit TB adalah:
a. Faktor usia dan jenis kelamin:

1) Kelompok paling rentan tertular TB adalah kelompok usia dewasa


muda yang juga merupakan kelompok usia produktif.

2) Menurut hasil survei prevalensi TB, Laki-laki lebih banyak terkena TB


dari pada wanita.

b. Daya tahan tubuh:


Apabila daya tahan tubuh seseorang menurun oleh karena sebab
apapun, misalnya usia lanjut, ibu hamil, ko-infeksi dengan HIV,
penyandang diabetes mellitus, gizi buruk, keadaan immuno-supressive,
bilamana terinfeksi dengan M.tb, lebih mudah jatuh sakit.
c. Perilaku:

1) Batuk dan cara membuang dahak pasien TB yang tidak sesuai etika
akan meningkatkan paparan kuman dan risiko penularan.
2) Merokok meningkatkan risiko terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.
3) Sikap dan perilaku pasien TB tentang penularan, bahaya, dan cara
pengobatan.

d. Status sosial ekonomi:


TB banyak menyerang kelompok sosial ekonomi lemah.

3. Faktor lingkungan:
a. Lingkungan perumahan padat dan kumuh akan memudahkan
penularan TB.

28
b. Ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik dan tanpa cahaya
matahari akan meningkatkan risiko penularan.

Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi


untuk mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah :
1. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain.
2. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu panjang.
3. Perokok
4. Konsumsi alkohol tinggi
5. Anak usia<5 tahun dan lansia
6. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang infeksius.
7. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (contoh: lembaga
permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)
8. Petugas kesehatan

3.1.5 Patogenesis1,5,6
Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa menuju percabangan trakea-
bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau alveolus, di mana
nukleus percik renik tersebut akan dicerna oleh makrofag alveolus yang kemudian
akan memproduksi sebuah respon nonspesifik terhadap basilus. Infeksi
bergantung pada kapasitas virulensi bakteri dan kemampuan bakterisid makrofag
alveolus yang mencernanya.Apabila basilus dapat bertahan melewati mekanisme
pertahanan awal ini, basilus dapat bermultiplikasi di dalam makrofag.
Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23-32 jam
sekali di dalam makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin ataupun
eksotoksin, sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host yang terinfeksi.
Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2-12 minggu dan jumlahnya akan
mencapai 103-104, yang merupakan jumlah yang cukup untuk menimbulkan
sebuah respon imun seluler yang dapat dideteksi dalam reaksi pada uji tuberkulin
skin test. Bakteri kemudian akan merusak makrofag dan mengeluarkan produk
berupa tuberkel basilus dan kemokin yang kemudian akan menstimulasi respon
imun.

29
Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar melalui
sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke dalam aliran darah dan
menyebar ke organ lain. Beberapa organ dan jaringan diketahui memiliki
resistensi terhadap replikasi basili ini.Sumsum tulang, hepar dan limpa ditemukan
hampir selalu mudah terinfeksi oleh Mycobacteria. Organisme akan dideposit di
bagian atas (apeks) paru, ginjal, tulang, dan otak, di mana kondisi organ-organ
tersebut sangat menunjang pertumbuhan bakteri Mycobacteria. Pada beberapa
kasus, bakteri dapat berkembang dengan cepat sebelum terbentuknya respon imun
seluler spesifik yang dapat membatasi multiplikasinya.

1. TB primer
Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili.Hal
ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering diartikan sebagai TB
anak. Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia berapapun pada individu yang
belum pernah terpapar M.TB sebelumnya. Percik renik yang mengandung basili
yang terhirup dan menempati alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di
bagian bawah lobus superior atau bagian atas lobus inferior paru.Basili kemudian
mengalami terfagosistosis oleh makrofag; produk mikobakterial mampu
menghambat kemampuan bakterisid yang dimiliki makrofag alveolus, sehingga
bakteri dapat melakukan replikasi di dalam makrofag. Makrofag dan monosit lain
bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi menuju fokus infeksi
dan memproduksi respon imun. Area inflamasi ini kemudian disebut sebagai
Ghon focus.
Basili dan antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus melalui
jalur limfatik menuju Limfe nodus hilus dan membentuk kompleks (Ghon)
primer. Respon inflamasinya menghasilkan gambaran tipikal nekrosis kaseosa. Di
dalam nodus limfe, limfosit T akan membentuk suatu respon imun spesifik dan
mengaktivasi makrofag untuk menghambat pertumbuhan basili yang
terfagositosis. Fokus primer ini mengandung 1,000–10,000 basili yang kemudian
terus melakukan replikasi. Area inflamasi di dalam fokus primer akan digantikan
dengan jaringan fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya terdapat makrofag yang
mengandung basili terisolasi yang akan mati jika sistem imun host adekuat.

30
Beberapa basili tetap dorman di dalam fokus primer untuk beberapa bulan atau
tahun, hal ini dikenal dengan “kuman laten”.
Infeksi primer biasanya bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan hasil
tuberkulin positif dalam 4-6 minggu setelah infeksi. Dalam beberapa kasus,
respon imun tidak cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan bakteri dan
basili akan menyebar dari sistem limfatik ke aliran darah dan menyebar ke seluruh
tubuh, menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa bulan. TB primer
progresif pada parenkim paru menyebabkan membesarnya fokus primer, sehingga
dapat ditemukan banyak area menunjukkan gambaran nekrosis kaseosa dan dapat
ditemukan kavitas, menghasilkan gambaran klinis yang serupa dengan TB post
primer.

2. TB pasca primer
TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang
sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode laten yang
memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer. Hal ini dapat
dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi.
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama
beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali
bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari melemahnya sistem imun
host oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi terjadi ketika seorang yang pernah
mengalami infeksi primer terpapar kembali oleh kontak dengan orang yang
terinfeksi penyakit TB aktif. Dalam sebagian kecil kasus, hal ini merupakan
bagian dari proses infeksi primer. Setelah terjadinya infeksi primer,
perkembangan cepat menjadi penyakit intra-torakal lebih sering terjadi pada anak
dibanding pada orang dewasa.Foto toraks mungkin dapat memperlihatkan
gambaran limfadenopati intratorakal dan infiltrat pada lapang paru. TB post-
primer biasanya mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga melibatkan
organ tubuh lain. Karakteristik dari dari TB post primer adalah ditemukannya
kavitas pada lobus superior paru dan kerusakan paru yang luas. Pemeriksaan
sputum biasanya menunjukkan hasil yang positif dan biasanya tidak ditemukan
limfadenopati intratorakal.

31
3.1.6 Klasifikasi1,5
1. Terduga (presumptive) pasien TB adalah seseorang yang mempunyai
keluhan atau gejala klinis mendukung TB (sebelumnya dikenal sebagai
terduga TB).
2. Pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis adalah pasien TB yang
terbukti positif bakteriologi pada hasil pemeriksaan (contoh uji
bakteriologi adalah sputum, cairan tubuh dan jaringan) melalui
pemeriksaan mikroskopis langsung, TCM TB, atau biakan.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah :
1) Pasien TB paru BTA positif

32
2) Pasien TB paru hasil biakan M.TB positif
3) Pasien TB paru hasil tes cepat M.TB positif
4) Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
5) TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

3. Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak memenuhi


kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien
TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah :
1. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB.
2. Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
3. Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun
laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
4. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi


bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.
Guna menghindari terjadinya over diagnosis dan situasi yang merugikan
pasien, pemberian pengobatan TB berdasarkan diagnosis klinis hanya dianjurkan
pada pasien dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Keluhan, gejala dan kondisi klinis sangat kuat mendukung diagnosis TB
2. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan misal: pada kasus meningitis
TB, TB milier, pasien dengan HIV positif, perikarditis TB dan TB adrenal.

Klasifikasi TB
Diagnosis TB dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis dapat
diklasifikasikan berdasarkan :
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis :

33
a. TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
akeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat
lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstra paru harus
diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
b. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim
paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitorurinaria,
kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstra paru dapat ditegakkan
secara klinis atau histologis setelah diupayakan semaksimal mungkin
dengan konfirmasi bakteriologis.

2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan :


a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya
atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis bila
memakai obat program).
b. Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah mendapatkan
OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai obat program). Kasus ini
diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai
berikut :
c. Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT
dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan
saat ini ditegakkan diagnosis TB episode kembali (karena reaktivasi atau
episode baru yang disebabkan reinfeksi).
d. Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.
e. Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah menelan OAT 1
bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan
berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up sebagai hasil pengobatan.
f. Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan
hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.
g. Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien yang tidak
diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak dapat dimasukkan
dalam salah satu kategori di atas.

34
Penting diidentifikasi adanya riwayat pengobatan sebelumnya karena
terdapat risiko resistensi obat. Sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat menggunakan tercepat yang telah
disetujui WHO (TCM TB MTB/Rif atau LPA (Hain test dan genoscholar) untuk
semua pasien dengan riwayat pemakaian OAT.

3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


Berdasarkan hasil uji kepekaan, klasifikasi TB terdiri dari :
a. Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.
b. Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap isoniazid (H) dan
rifampisin (R) secara bersamaan.
d. Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan terhadap
salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT lini kedua
jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).
e. Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap Rifampisin baik
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang
terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB RR adalah semua bentuk TB MR,
TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti resistan terhadap rifampisin.

4. Klasifikasi berdasarkan status HIV


a. Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB terkonfirmasi bakteriologis
atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil tes HIV-positif,
baik yang dilakukan pada saat penegakan diagnosis TB atau ada bukti
bahwa pasien telah terdaftar di register HIV (register pra ART atau register
ART).
b. Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB terkonfirmasi bakteriologis
atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil negatif untuk tes
HIV yang dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini

35
diketahui HIV positif di kemudian hari harus kembali disesuaikan
klasifikasinya.
c. Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan
tidak memiliki bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila
pasien ini diketahui HIV positif dikemudian hari harus kembali disesuaikan
klasifikasinya.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis, yaitu pada TB


Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.


b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak
adaperbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA negatif


Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

a) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

36
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

3.1.7 Manifestasi Klinis1,5


Gejala penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat
menunjukkan manifestasi klinis sebagai berikut:
1. Batuk ≥ 2 minggu
2. Batuk berdahak
3. Batuk berdahak dapat bercampur darah
4. Dapat disertai nyeri dada
5. Sesak napas

Dengan gejala lain meliputi :


1. Malaise
2. Penurunan berat badan
3. Menurunnya nafsu makan
4. Menggigil
5. Demam
6. Berkeringat di malam hari

3.1.8 Diagnosis1,3,5
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan dengan berdasarkan gejala
klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya:

37
A. Gejala – Gejala Klinis
Keluhan yang dirasakan pasien tuberculosis dapat bermacam – macam
atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali
dalam pemeriksaan kesehatam. Keluhan yang terbanyak adalah :1
 Demam
Biasanya subfebril, tetapi kadang-kadang panas badan mencapai 41oC.
serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat
timbul kembali, begitulah seterusnya seingga pasien tidak pernah terbebas dari
serangan demam. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh
pasien dan berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk
 Batuk/ Batuk Darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Batuk diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja
batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah
berminggu-minggu atau berbulan – bulan peradangan bermula. Sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan
menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa
batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk
darah pada TB terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus
dinding bronkus.
 Sesak Napas
Sesak napas akan dijumpai pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru
 Nyeri Dada
Nyeri dada timbul jika infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritits. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien
menarik/melepaskan napasnya
 Malaise
Penyakit TB bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia, badan makin kurus (berat badan menurun), sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala ini makin lama makin

38
berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur

B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukan suatu kelainan
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimtomatik. tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian
apeks (puncak) paru. Bila dicurigai adanya infiltrate yang agak luas, maka
didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan
didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring.
Tetapi bila infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi
vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi
memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara
amforik.
Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot – otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut
dan menarik sisi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi
lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotic amat luas yakni lebih dari setengah
jumlah jaringan paru – paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru
dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal)
diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Disini akan
didapatkan tanda – tanda kor pulmonal dengan gagal jantung seperti takipnea,
takikardia, sianosis, gallop, murmur, JVP meningkat, hepatomegaly, ascites,
dan edema.
Bila tuberculosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru
yang sakit terlihat agak teringgal dalam pernapasann. Perkusi memberikan
suara pekak. Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak
terdegangar suara sama sekali.
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit
baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada
pemeriksaan rutin atau uji tuberculin yang positif.

C. Pemeriksaan Penunjang1

39
 Pemeriksaan Laboratorium
- Darah
Pada TB paru baru (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang
sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah
limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat.
Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan
jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun kea rah
normal lagi.
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga : 1) anemia ringan
dengan gambaran normokrom normositer; 2) gama globulin
meningkat; 3) kadar natrium darah menurun.

- Bakteriologis
Semua pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan
bakteriologis untuk mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan
bakteriologis merujuk pada pemeriksaan apusan dari sediaan biologis
(dahak atau spesimen lain), pemeriksaan biakan dan identifikasi M.
tuberculosis atau metode diagnostik cepat yang telah mendapat
rekomendasi WHO.
Pada wilayah dengan laboratorium yang terpantau mutunya
melalui sistem pemantauan mutu eksternal, kasus TB Paru BTA positif
ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan BTA positif, minimal dari
satu spesimen.Pada daerah dengan laboratorium yang tidak terpantau
mutunya, maka definisi kasus TB BTA positif bila paling sedikit
terdapat dua spesimen dengan BTA positif.
WHO merekomendasikan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan
minimal terhadap rifampisin dan isoniazid pada kelompok pasien
berikut:
1. Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT. Hal ini dikarenakan
TB resistan obat banyak ditemukan terutama pada pasien yang
memiliki riwayat gagal pengobatan sebelumnya.
2. Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif. Khususnya

40
mereka yang tinggal di daerah dengan prevalensi TB resistan obat
yang tinggi.
3. Pasien dengan TB aktif yang terpajan dengan pasien TB resistan
obat.
4. Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resistan obat primer
>3%.
5. Pasien baru atau riwayat OAT dengan sputum BTA tetap positif
pada akhir fase intensif. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan sputum
BTA pada bulan berikutnya.

Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan dapat dilakukan dengan 2 metode :


1. Metode konvensional uji kepekaan obat
Pemeriksaan biakan M.TB dapat dilakukan menggunakan 2 macam
medium padat (Lowenstein Jensen /LJ atau Ogawa) dan media cair MGIT
(Mycobacterium growth indicator tube).Biakan M.TB pada media cair
memerlukan waktu yang singkat minimal 2 minggu, lebih cepat dibandingkan
biakan pada medium padat yang memerlukan waktu 28-42 hari.

2. Metode cepat uji kepekaan obat (uji diagnostik molekular cepat)


Pemeriksaan molekular untuk mendeteksi DNA M.TB saat ini merupakan
metode pemeriksaan tercepat yang sudah dapat dilakukan di Indonesia.Metode
molekuler dapat mendeteksi M.TB dan membedakannya dengan Non-Tuberculous
Mycobacteria (NTM). Selain itu metode molekuler dapat mendeteksi mutasi pada
gen yang berperan dalam mekanisme kerja obat antituberkulosis lini 1 dan lini 2.
WHO merekomendasikan penggunaan Xpert MTB/RIF untuk deteksi resistan
rifampisin. Resistan obat antituberkulosis lini 2 direkomendasikan untuk
menggunakan second line line probe assay (SL-LPA) yang dapat mendeteksi
resistensi terhadap obat antituberkulosis injeksi dan obat antituberkulosis
golongan fluorokuinolon. Pemeriksaan molekuler untuk mendeteksi gen pengkode
resistensi OAT lainnya saat ini dapat dilakukan dengan metode sekuensing, yang
tidak dapat diterapkan secara rutin karena memerlukan peralatan mahal dan

41
keahlian khusus dalam menganalisisnya. WHO telah merekomendasi pemeriksaan
molekular line probe assay (LPA) dan TCM, langsung pada spesimen sputum.
Pemeriksaan dengan TCM dapat mendeteksi M. tuberculosis dan gen pengkode
resistan rifampisin (rpoB) pada sputum kurang lebih dalam waktu 2 (dua) jam.
Konfirmasi hasil uji kepekaan OAT menggunakan metode konvensional masih
digunakan sebagai baku emas (gold standard). Penggunaan TCM tidak dapat
menyingkirkan metode biakan dan uji kepekaan konvensional yang diperlukan
untuk menegakkan diagnosis definitif TB, terutama pada pasien dengan
pemeriksaan mikroskopis apusan BTA negatif, dan uji kepekaan OAT untuk
mengetahui resistensi OAT selain rifampisin.
Pada kondisi tidak berhasil mendapatkan sputum secara ekspektorasi
spontan maka dapat dilakukan tindakan induksi sputum atau prosedur invasif
seperti bronkoskopi atau torakoskopi.
Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi
bakteriologis maupun terdiagnosis klinis adalah pemeriksaan HIV dan gula darah.
Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dan
lain-lain.

 Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis tuberkuosis terutama pada anak – anak (balita). Biasanya dipakai
tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberculin P.P.D (Purified
Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 T.U (intermediate strength).
Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5 T.U dapat diberikan dulu 1 atau 2 T.U
(first strength). Kadang – kadang bila dengan 5 T.U masih memberikan hasil
negative dapat diulangi dengan 250 T.U (second strength). Bila dengan 250
T.U masih memberikan hasil negarif, berarti tuberculosis dapat disingkirkan.
Umumnya tes Mantouks dengan 5 T.U sudah cukup berarti.
Tes tuberculin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang
atau pernah mengalami infeksi M. tuberculosae, M. bovid, vaksnasi BCG dan
Mycobacteriae lainnya. Dasar tes tuberculin ini adalah reaksi alergi tipe
lambat. Pada penularan dengan kuman pathogen baik yang virulen ataupun

42
tidak (Mycobacterium tuberculosae atau BCG) tubuh akan mengadakan
reaksi imunologi deengan dibentuknya antibody selular pada permulaan dan
kemudian diikuti oleh pembentukan antibody humoral yang dalam perannya
akan menekankan antibody seular.
Setelah 48 – 72 jam tuberculin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa
indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrate limfosit yakni reaksi
persenyawaan antara antibody seluler dan antigen tuberculin, yang dibagi
dalam : 1) indurasi 0-5 mm (diameternya) hasil Mantoux negative = golongan
no sensitivity; 2) indurasi 6-9 mm hasil meragukan = golongan low grade
sensitivity; 3) Indurasi 10 – 15 mm, hasil mantoux positif = golongan normal
sensitivity; 4) Indurasi > 15 mm hasil Mantoux positif kuat = golongan
hypersensitivity.
Biasanya hampir seluruh pasien tuberkulosisis memberikan reaksi
mantoux yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu
yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan mycobacterium lain.
Negative palsu lebih banyak ditemui daripada positif palsu. Hal-hal yang
dapat memberikan reaksi tuberculin berkurang (negative palsu), yakni :
 Pasien yang baru 2 – 10 minggu terpajan tuberculosis
 Alergi, penyakit sistemik berat (sarkoideosis, LE)
 Penyakit eksantematous dengan panas yang akut morbili, cacar air,
poliomyelitis
 Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular
(Hodgkin)
 Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat – obat
imunosupresi lainnya
 Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan. Untuk pasien dengan
HIV positif test mantoux ± 5 mm dinilai positif

 Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pada pemeriksaan foto
toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform).

43
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

 Analisis Cairan Pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura
terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
 Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan
histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan
Veen Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan
bronkoskopi, trans thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium
mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk
pemeriksaan histologi.

44
3.1.9 Tatalaksana1,3,7
Tujuan dari tatalaksana pasien dengan tuberkulosis adalah
menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien,
Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan, Mencegah kekambuhan
TB, Mengurangi penularan TB kepada orang lain, Mencegah perkembangan dan
penularan resistan obat
Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri penyebab TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:

45
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas
menelan obat) sampai selesai masa pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu :


a. Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari.Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan.Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan
selama 2 bulan.Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa
adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama
2 minggu pertama.

b. Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang
masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.Durasi tahap lanjutan selama 4
bulan.Pada fase lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari.

46
*) Pasien berusia diatas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih dari 500-700 mg
perhari, beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10 mg/kg BB pada pasien
kelompok usia ini. Pasien dengan berat badan di bawah 50 kg tidak dapat
mentoleransi dosis lebih dari 500-750 mg perhari.

1. Paduan obat standar untuk pasien dengan kasus baru


Pasien dengan kasus baru diasumsikan peka terhadap OAT kecuali:
a. Pasien tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi resisten isoniazid ATAU
b. Terdapat riwayat kontak dengan pasien TB resistan obat. Pasien kasus baru
seperti ini cenderung memiliki pola resistensi obat yang sama dengan kasus
sumber. Pada kasus ini sebaiknya dilakukan uji kepekaan obat sejak awal
pengobatan dan sementara menunggu hasil uji kepekaan obat maka paduan
obat yang berdasarkan uji kepekaan obat kasus sumber sebaiknya dimulai.

47
Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT harus diperiksa uji
kepekaan OAT pada awal pengobatan. Uji kepekaan dapat dilakukan dengan
metode cepat atau rapid test (TCM, LPA lini 1 dan 2), dan metode konvensional
baik metode padat (LJ), atau metode cair (MGIT) .
Bila terdapat laboratorium yang dapat melakukan uji kepekaan obat
berdasarkan uji molekular cepat dan mendapatkan hasil dalam 1-2 hari maka hasil
ini digunakan untuk menentukan paduan OAT pasien.Bila laboratorium hanya
dapat melakukan uji kepekaan obat konvensional dengan media cair atau padat
yang baru dapat menunjukkan hasil dalam beberapa minggu atau bulan maka
daerah tersebut sebaiknya menggunakan paduan OAT kategori I sambil
menunggu hasil uji kepekaan obat.
Pada daerah tanpa fasilitas biakan, maka pasien TB dengan riwayat
pengobatan diberikan OAT kategori 1 sambil dilakukan pengiriman bahan untuk
biakan dan uji kepekaan.

48
2. Pemantauan respon pengobatan
Semua pasien harus dipantau untuk menilai respons terapinya.
Pemantauan reguler akan memfasilitasi pengobatan lengkap, identifikasi dan tata
laksana reaksi obat yang tidak diinginkan. Semua pasien, PMO dan tenaga
kesehatan sebaiknya diminta untuk melaporkan gejala TB yang menetap atau
muncul kembali, gejala efek samping OAT atau terhentinya pengobatan.Berat
badan pasien harus dipantau setiap bulan dan dosis OAT disesuaikan dengan
perubahan berat badan.Respon pengobatan TB paru dipantau dengan sputum
BTA.Perlu dibuat rekam medis tertulis yang berisi seluruh obat yang diberikan,
respons terhadap pemeriksaan bakteriologis, resistensi obat dan reaksi yang tidak
diinginkan untuk setiap pasien pada kartu berobat TB.
WHO merekomendasi pemeriksaan sputum BTA pada akhir fase intensif
pengobatan untuk pasien yang diobati dengan OAT lini pertama baik kasus baru
maupun pengobatan ulang.Pemeriksaan sputum BTA dilakukan pada akhir bulan
kedua (2RHZE/4RH) untuk kasus baru dan akhir bulan ketiga
(2RHZES/1RHZE/5RHE) untuk kasus pengobatan ulang.Rekomendasi ini juga
berlaku untuk pasien dengan sputum BTA negatif.
Sputum BTA positif pada akhir fase intensif mengindikasikan beberapa hal
berikut ini:
a. Supervisi yang kurang baik pada fase inisial dan ketaatan pasien yang
buruk.
b. Kualitas OAT yang buruk.
c. Dosis OAT dibawah kisaran yang direkomendasikan.
d. Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah kuman
yang banyak
e. Adanya penyakit komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau
respons terapi.
f. Penyebab TB pada pasien adalah M. tuberculosis resistan obat yang tidak
memberikan respons terhadap terapi OAT lini pertama.

Pada kasus yang tidak konversi disarankan mengirimkan sputum ke


fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai TCM atau biakan.

49
Bila hasil sputum BTA positif pada bulan kelima atau pada akhir
pengobatan menandakan pengobatan gagal dan perlu dilakukan diagnosis cepat
TB MDR sesuai alur diagnosis TB MDR.Pada pencatatan, kartu TB 01 ditutup
dan hasil pengobatan dinyatakan “Gagal”.Pengobatan selanjutnya dinyatakan
sebagai tipe pasien “Pengobatan setelah gagal”.Bila seorang pasien didapatkan TB
dengan galur resistan obat maka pengobatan dinyatakan “Gagal” kapanpun
waktunya.
Pada pasien dengan sputum BTA negatif di awal pengobatan dan tetap
negatif pada akhir bulan kedua pengobatan, maka tidak diperlukan lagi
pemantauan dahak lebih lanjut.Pemantauan klinis dan berat badan merupakan
indikator yang sangat berguna.

3. Menilai respons OAT lini pertama pada pasien TB dengan riwayat pengobatan
sebelumnya
Pada pasien dengan OAT kategori 2, bila BTA masih positif pada akhir fase
intensif, maka dilakukan pemeriksaan TCM, biakan dan uji kepekaan.Bila BTA
sputum positif pada akhir bulan kelima dan akhir pengobatan (bulan kedelapan),
maka pengobatan dinyatakan gagal dan lakukan pemeriksaan TCM, biakan dan uji
kepekaan. Hasil pengobatan ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang
dilakukan pada akhir pengobatan, seperti pada Tabel 3.3

50
7. Efek samping OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa
mengalami efek samping yang bermakna.Namun, sebagian kecil dapat mengalami
efek samping yang signifikan sehingga mengganggu pekerjaannya sehari-
hari.Penting dilakukannya pemantauan gejala klinis pasien selama pengobatan
sehingga efek tidak diinginkan tersebut dapat dideteksi segera dan ditata laksana
dengan tepat.
Neuropati perifer menunjukkan gejala kebas atau rasa seperti terbakar
pada tangan atau kaki.Hal ini sering terjadi pada perempuan hamil, orang dengan

51
HIV, kasus penyalahgunaan alkohol, malnutrisi, diabetes, penyakit hati kronik,
dan gagal ginjal.Pada pasien seperti ini sebaiknya diberikan pengobatan
pencegahandengan piridoksin 25 mg/hari diberikan bersama dengan OAT.
Efek tidak diinginkan dari OAT dapat diklasifikasikan menjadi efek mayor
dan minor.Pasien yang mengalami efek samping OAT minor sebaiknya
melanjutkan pengobatan dan diberikan terapi simtomatik.Pada pasien yang
mengalami efek samping mayor maka paduan OAT atau OAT penyebab
sebaiknya dihentikan pemberiannya.
Tata laksana efek samping dapat dilihat pada Tabel 3.4.Efek samping
dibagi atas 2 klasifikasi yaitu efek samping berat dan ringan.Bila terjadi efek
samping yang masuk ke dalam klasifikasi berat, maka OAT dihentikan segera dan
pasien dirujuk ke fasilitas yang lebih tinggi.

Tatalaksana pada Tuberkulosis Resistan Obat


Resistansi kuman M.tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan saat
kuman tersebut sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. TB resistan obat
(TB-RO) pada dasarnya adalah suatu fenomena “buatan manusia”, sebagai akibat

52
dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat maupun penularan dari pasien TB-
RO
A. Kategori resistansi terhadap obat anti TB (OAT)
Resistansi kuman M. tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan saat kuman
sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT.
Terdapat 5 kategori resistansi terhadap obat anti TB, yaitu:
1. Monoresistance:
Resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan isoniazid (H).
2. Polyresistance:
Resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid (H) dan
rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin
etambutol (RE), isoniazid etambutol dan streptomisin (HES), rifampisin
etambutol dan streptomisin (RES).
3. Multi-drug resistance (MDR):
Resistan terhadap isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini
pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES.
4. Pre-extensive drug resistance (pre-XDR):
TB MDR disertai resistansi terhadap salah salah satu obat golongan
fluorokuinolon atau salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin,
kanamisin dan amikasin).
5. Extensive drug resistance (XDR)
TB MDR disertai resistansi terhadap salah salah satu obat golongan
fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin,
kanamisin dan amikasin).
6. TB resistan rifampisin (TB RR):
Resistan terhadap rifampisin (monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB
XDR) yang terdeteksi menggunakan metode fenotip atau genotip dengan atau
tanpa resistan OAT lainnya.

Pengobatan pasien TB-RO


1. Pengobatan dengan paduan jangka pendek

53
Catatan:
1) Durasi total pengobatan adalah 9–11 bulan, durasi tahap awal adalah 4–6 bulan
dan tahap lanjutan 5 bulan
2) Intoleransi Z tidak boleh mendapatkan paduan jangka pendek.
3) Intoleransi / resistansi terhadap E, paduan jangka pendek diberikan tanpa
Etambutol
4) Capreomisin dapat menggantikan kanamisin apabila muncul efek samping di
dalam masa pengobatan. Mengingat ketersediaan capreomisin yang terbatas,
maka penggunaannya harus berkordinasi dengan tim logistik MTPTRO.

a. Dosis OAT pada paduan standar jangka pendek


Dosis obat berdasarkan pengelompokan berat badan dapat dilihat pada
tabel berikut:

54
*) Kanamisin diberikan maksimum 0,75 g untuk pasien usia >59 tahun. Jika
kanamisin tidak dapat diberikan, maka dapat diganti dengan kapreomisin dengan
dosis yang sama.
**) Khusus untuk INH, pasien dengan BB 33-40 kg diberikan 450 mg; >40 kg
diberikan 600 mg.
#) Karena ketersediaan obat Clofazimin saat ini, untuk pasien dengan berat badan
<33 kg, Clofazimin 100mg diberikan dua hari sekali.

b. Cara pemberian obat:


1) Pasien akan mendapatkan pengobatan paduan jangka pendek selama
minimal 9 bulan, terdiri dari 4 bulan fase awal dan 5 bulan fase lanjutan.
2) Pada tahap awal, obat oral dan injeksi diberikan setiap hari (7 hari, Senin
s.d Minggu) selama 4 bulan dan pada tahap lanjutan, obat oral diberikan
setiap hari (7 hari, Senin s.d Minggu).
3) Satuan bulan yang dimaksud adalah bulan sesuai kalender (30 hari)
4) Pada keadaan dimana tidak terjadi konversi BTA pada bulan ke-4, tahap
awal diperpanjang menjadi 6 bulan sehingga durasi total pengobatan
menjadi 11 bulan (6 bulan tahap awal dan 5 bulan tahap lanjutan). Pada
bulan ke-5 dan ke-6, obat injeksi diberikan 3x seminggu (intermiten) dan
obat oral tetap diberikan setiap hari (7 hari, Senin s.d Minggu).

2. Pengobatan dengan paduan individual (jangka panjang)


Pasien TB RO yang tidak memenuhi kriteria untuk pengobatan dengan
paduan jangka pendek akan mendapatkan paduan pengobatan individual. Paduan
individual diberikan untuk pasien:
a. TB pre-XDR
b. TB XDR
c. MDR dengan intoleransi terhadap salah satu atau lebih obat lini kedua yang
digunakan pada paduan jangka pendek
d. Gagal pengobatan jangka pendek
e. Kembali setelah putus berobat
g. TB MDR kambuh

55
Rekomendasi untuk paduan individual untuk TB-MDR.
a. Pada pasien MDR / RR-TB yang memakai Paduan Individual (ITR) :
1) Pengobatan dimulai dengan setidaknya lima obat TB yang diperkirakan
efektif dan setidaknya terdapat tiga obat untuk sisa perawatan setelah
bedaquiline dihentikan
2) Paduan pengobatan terdiri dari tiga obat dalam Grup A dan dua obat dari
Grup B Misal : 6 Bdq – Lfx – Lnz – Cfz-Cs // 14 Lfx – Lnz – Cfz-Cs
3) Jika paduan tidak dapat dibentuk dengan obat dari Grup A dan B saja, obat
dari Grup C ditambahkan untuk melengkapi paduan pengobatan.
Misal : 6 Bdq – Lfx – Cfz – Cs - E // 14 Lfx – Cfz – Cs - E

56
4) Kanamycin dan capreomycin tidak dimasukkan dalam paduan pengobatan
Pasien MDR / RR-TB yang memakai ITR
5) Levofloxacin atau moxifloxacin harus dimasukkan dalam pengobatan pasien
MDR / RR-TB pada paduan pengobatan jangka panjang (rekomendasi
kuat)
6) Bedaquiline harus dimasukkan dalam paduan pengobatan TB-MDR jangka
panjang untuk pasien berusia 18 tahun atau lebih (rekomendasi kuat).
7) Bedaquiline juga dapat dimasukkan dalam paduan pengobatan TB-MDR
jangka panjang untuk pasien berusia 6-17 tahun.
8) Linezolid harus dimasukkan dalam pengobatan pasien MDR / RR-TB pada
paduan pengobatan TB-MDR jangka panjang (rekomendasi kuat).
9) Clofazimine dan cycloserine dapat dimasukkan dalam pengobatan pasien
MDR / RR-TB yang menggunakan paduan TB RO jangka panjang.
10) Etambutol dapat dimasukkan dalam pengobatan pasien MDR / RR-TB
dengan paduan TB RO jangka panjang.
11) Delamanid dapat dimasukkan dalam pengobatan pasien MDR / RR-TB
berusia 3 tahun atau lebih dengan rejimen yang lebih lama.
12) Pyrazinamide dapat dimasukkan dalam pengobatan pasien MDR / RR-TB
dengan rejimen yang lebih lama.
13) Amikacin dapat dimasukkan dalam pengobatan pasien MDR / RR-TB
berusia 18 tahun atau lebih dengan paduan pengobatan jangka panjang jika
terbukti masih susceptible/sensitif dan terdapat SPO yang memadai untuk
monitoring ESO.
14) Jika amikasin tidak tersedia, streptomisin dapat menggantikan amikasin
dalam kondisi yang sama
15) Ethionamide atau prothionamide hanya dapat dimasukkan dalam
pengobatan pasien TB-MDR / RR yang memakai paduan pengobatan TB-
MDR jangka panjang jika bedaquiline, linezolid, clofazimine atau
delamanid tidak digunakan atau jika tidak ada pilihan untuk membuat
rejimen yang lebih baik.

57
b. Durasi Pengobatan
Durasi pengobatan paduan individual tanpa injeksi
1) Tidak ada tahap awal
2) Lama pengobatan setelah konversi 15 bulan
3) Total lama pengobatan 18 – 20 bulan

Durasi pengobatan dengan injeksi Amikasin/Streptomicin


1) Lama tahap awal dengan suntikan 6 bulan
2) Lama pengobatan setelah konversi 15 bulan
3) Total lama pengobatan 18 – 20 bulan

c. Pemberian paduan individual berdasarkan kelompok pasien


1) TB MDR maupun TB pre-/XDR
Paduan pengobatan jangka panjang akan lebih efektif bila disusun
berdasarkan hasil uji kepekaan obat. Untuk obat-obat yang belum dapat

58
dilakukan uji kepekaan (seperti Bdq, Lzd, Cfz) keputusan pemberian obat
dapat didasarkan pada riwayat pengobatan pasien dan data surveilans.

2) TB RR
Pasien TB RR tanpa resistansi INH dapat dioabati dengan paduan
jangka panjang atau paduan jangka pendek.Meskipun INH dosis tinggi tidak
lagi masuk dalam kelompok obat TB RO yang direkomendasikan, INH
masih dapat diberikan bila terbukti sensitif.

3) TB RO pada anak
Bdq direkomendasikan untuk anak >6 tahun, sementara Dlm untuk
anak >3 tahun.Dosis Dlm untuk anak 3-5 tahun ialah 25 mg, sehingga
diperlukan pembelahan tablet.Pemberian Dlm yang dibelah ataupun digerus
dapat menyebabkan perubahan bioavailabilitas obat dan dosis yang tidak
sesuai.Pemberian obat injeksi dapat menyebabkan gangguan pendengaran
yang berdampak pada kemampuan bicara dan belajar.Audiometri rutin perlu
dilakukan pada anak yang mendapatkan obat injeksi.Hasil studi
menunjukkan pemberian INH dosis tinggi berhubungan dengan keberhasilan
pengobatan pada anak dengan TB MDR.

4) TB RO ekstra paru dan meningitis


Paduan pengobatan jangka panjang dapat diberikan pada pasien TB
RO ekstra paru dan TB RO meningitis, dimana penyesuaian dosis mungkin
diperlukan bergantung lokasi penyakit.Pengobatan TB RO meningitis
terbaik ialah sesuai dengan hasil uji kepekaan dan kemampuan obat
menembus blood-brain barrier (BBB).Obat yang dapat berpenetrasi baik ke
system saraf pusat ialah Levofloxacin, Moxifloxacin,
Etionamide/Protionamide, Sikloserin/Terizidone, Linezolid dan Imipenem-
Silastatin. INH dosis tinggi dan Pirazinamid juga dapat mencapai kadar
terapeutik dalam cairan serebrospinal dan dapat digunakan bila masih
sensitif. PAS dan Etambutol tidak dapat menembus BB dan tidak dihitung
sebagai obat meningitis untuk TB meningitis.Amikasin dan Streptomisin

59
hanya dapat masuk ke otak bila terdapat peradangan meningeal.Data terkait
kemampuan penetrasi Bdq, Dlm, dan Clofazimine ke otak masih terbatas.

5) TB RO dengan kehamilan
Obat yang dikontraindikasikan pada kehamilan ialah Amikasin,
Streptomisin, serta Eto/Pto.Data keamanan Bdq dan Dlm pada kehamilan
dan menyusui masih terbatas.Pada kehamilan direkomendasikan untuk
menyusun paduan pengobatan individual dengan obat yang sudah diketahui
data keamanannya.

6) TB RO dengan HIV
Interaksi obat yang perlu dihindari pada pasien HIV ialah Bdq dan
Efavirenz.

3.1.10 Komplikasi5,6

1. Batuk darah (Hemoptysis)


Pada dasarnya proses TB adalah proses nekrosis, jika diantara jaringan yang
mengalami nekrosis terdapat pembuluh darah, besar kemungkinan akan mengalami batuk
darah.
2. TB Laring
Setiap kali sputum yang mengandung basil TB dikeluarkan melalui laring, ada
basil yang tersangkut di laring dan menimbulkan proses TB di tempat tersebut.
3. Pleuritis Eksudatif
Bila terdapat proses TB di bagian paru yang dekat sekali dengan pleura, pleura
akan ikut meradang dan menghasilkan cairan eksudat.
4. Pneumotoraks
Jika proses nekrosis dekat sekali dengan pleura, maka pleura akan ikut mengalami
nekrosis dan bocor, sehingga terjadi pneumotoraks. Sebab lain pneumotoraks ialah
pecahnya kavitas yang kebetulan berdekatan dengan pleura, sehingga pleura robek.
5. Hidropneumotoraks, Empiema / piotoraks, dan Piopneumotoraks
Jika efusi pleura dan pnemotoraks terjadi bersamaan, maka disebut

60
hidropneumotoraks. Bila cairannya mengalami infeksi sekunder, terjadilah
piopneumotoraks. Jika infeksi sekunder mengenai cairan eksudat pada pleuritis eksudatif,
terjadilah empiema atau piotoraks.
6. Abses Paru
Infeksi sekunder dapat mengenai jaringan nekrotis langsung, sehingga akan
terjadi abses paru.
7. Cor Pulmonale
Makin parah destruksi paru dan makin luas proses fibrotik di paru, resistensi di
paru akan meningkat. Resistensi ini akan menjadi beban bagi jantung kanan, sehingga
akan terjadi hipertrofi. Jika hal ini terus berlanjut akan terjadi dilatasi ventrikel kanan dan
berakhir dengan payah jantung kanan.
8. Aspergiloma
Kaviti tuberkulosis yang sudah diobati dengan baik dan sudah sembuh kadang –
kadang tinggal terbuka dan dapat terinfeksi dengan jamur Aspergillus fumigatus. Pada
foto rontgen akan terlihat semacam bola terdiri atas fungus yang berada dalam kavitas
(fungus ball).

Tb paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi.


Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita TB paru dibedakan menjadi dua,
yaitu :
1. Komplikasi dini
Komplikasi dini yang dapat terjadi antaralain pleuritis, efusi pleura, empiema,
laryngitis, usus.
2. Komplikasi pada stadium lanjut

a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat


mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok hipovolemik
b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
d. Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya.

61
3.1.11 Prognosis6,8
Dengan terapi INH dan rifampisin selama 6 bulan dan Pyrazinamide selam 2 bulan,
sekitar 96-99% sembuh. Angka kambuh < 5%. Penderita TB Paru BTA positif yang tidak
diobati akan mengalami kematian sebesar 50%, bila diobati secara massal angka
kematiannya sebesar 12% dan jika diobati secara individual masih memberikan angka
kematian sebesar 7,5%.
Sebagian besar pasien dengan diagnosis TB memiliki hasil yang baik. Ini terutama
karena pengobatan yang efektif. Tanpa pengobatan, angka kematian tuberkulosis lebih
dari 50%.
Kelompok pasien berikut ini lebih rentan terhadap hasil yang lebih buruk atau
kematian setelah infeksi TB:
- Lanjut usia, bayi, dan anak kecil
- Keterlambatan dalam menerima pengobatan
- Bukti radiologis penyebaran luas.
- Gangguan pernapasan parah yang membutuhkan ventilasi mekanis
- Imunosupresi
- Multidrug Resistance (MDR) Tuberkulosis

3.2 Efusi Pleura

62
3.2.1 Definisi
Efusi pleura adalah akumulasi cairan di antara pleura parietal dan viseral,
yang disebut rongga pleura yang melebihi batas normal. Dalam keadaan normal
terdapat 10-20 cc cairan.9

3.2.2 Epidemiologi9,11
Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di
negara-negara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi
penyakit yang mendasarinya.
Secara umum, kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua jenis
kelamin. Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks. Sekitar dua
pertiga dari efusi pleura ganas terjadi pada wanita. Efusi pleura ganas secara
signifikan berhubungan dengan keganasan payudara dan ginekologi. Efusi pleura
yang terkait dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi pada
wanita dibandingkan pada pria.

3.2.3 Etiologi9,12
Ruang pleura normal mengandung sekitar 1 mL cairan, hal ini
memperlihatkan adanya keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan
onkotik dalam pembuluh darah pleura viseral dan parietal dan drainase limfatik
luas. Efusi pleura merupakan hasil dari ketidakseimbangan tekanan hidrostatik
dan tekanan onkotik.
Efusi pleura merupakan indikator dari suatu penyakit paru atau non
pulmonary, dapat bersifat akut atau kronis. Meskipun spektrum etiologi efusi
pleura sangat luas, efusi pleura sebagian disebabkan oleh gagal jantung kongestif,.
pneumonia, keganasan, atau emboli paru. Mekanisme sebagai berikut memainkan
peran dalam pembentukan efusi pleura:
1. Perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya, radang, keganasan,
emboli paru)
2. Pengurangan tekanan onkotik intravaskular (misalnya, hipoalbuminemia,
sirosis)

63
3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan pembuluh darah
(misalnya, trauma, keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, obat
hipersensitivitas, uremia, pankreatitis)
4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan / atau
paru-paru(misalnya, gagal jantung kongestif, sindrom vena kava superior)
5. Pengurangan tekanan dalam ruang pleura, mencegah ekspansi paru penuh
(misalnya, atelektasis yang luas, mesothelioma)
6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan lengkap, termasuk
obstruksi duktus toraks atau pecah (misalnya, keganasan, trauma)
7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi di diafragma melalui
limfatik atau cacat struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal)
8. Perpindahan cairan dari edema paru ke pleura viseral
9. Peningkatan tekanan onkotik di cairan pleura yang persisiten
menyebabkan adanaya akumulasi cairan di pleura
10. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberkulosis,
pneumonia, virus, bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke
rongga pleura), karena tumor dan trauma

3.2.4 Klasifikasi
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
pembentukan cairan dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau
eksudat. Transudat hasil dari ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan
tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau
drainase limfatik yang menurun. Dalam beberapa kasus mungkin terjadi
kombinasi antara karakteristk cairan transudat dan eksudat.9,12
1. Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan:
a. Transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah
transudat. Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan
kapiler hidrostatik dan koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi
pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:
1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik

64
2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intra pleura
Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:
a. Gagal jantung kiri (terbanyak)
b. Sindrom nefrotik
c. Obstruksi vena cava superior
d. Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau
masuk melalui saluran getah bening)

b. Eksudat
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang
permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan
protein transudat. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler
pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat
atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab
pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis
dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam
cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran
protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan
peningkatan konsentasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat.
Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:
a. Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)
b. Tumor pada pleura
c. Iinfark paru,
d. Karsinoma bronkogenik
e. Radiasi,
f. Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus Eritematosis).

3.2.5 Patofisiologi12
Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga
pleura melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi

65
oleh saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi.
Kemampuan untuk reabsorpsinya dapatmeningkat sampai 20 kali. Apabila antara
produk dan reabsorpsinya tidak seimbang (produksinya meningkat atau
reabsorpsinya menurun) maka akan timbul efusi pleura.
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara
cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura
dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi
yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial
submesotelial kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura.
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.Pergerakan
cairan dari pleura parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya
perbedaantekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan
diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh
sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura
visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial
Bila penumpukan cairan dalam rongga pleura disebabkan oleh peradangan.
Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga
terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar
pleura dapat menyebabkan hemotoraks.
Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi
pengembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung pada
ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun secara
perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan terkumpul
dengan sedikit gangguan fisik yang nyata.
Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan
menyebabkan gagal nafas. Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan
pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa O2)≤ 60 mmHg atau tekanan partial
Karbondioksida arteri (Pa Co2) ≥ 50 mmHg melalui pemeriksaan analisa gas
darah.

66
3.2.6 Manifestasi Klinis
Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit
dasar. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis,
sementara efusi malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi
akan menentukan keparahan gejala. Pada kebanyakan penderita umumnya
asimptomatis atau memberikan gejala demam, ringan,dan berat badan yang
menurun seperti pada efusi yang lain.9,11
Dari anamnesa didapatkan:
a. Sesak nafas bila lokasi efusi luas. Sesak napas terjadi pada saat permulaan
pleuritis disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila jumlah cairan efusinya
meningkat, terutama kalau cairannya penuh
b. Rasa berat pada dada
c. Batuk pada umumnya non produktif dan ringan, terutama apabila disertai
dengan proses tuberkulosis di parunya, Batuk berdarah pada karsinoma
bronchus atau metastasis
d. Demam subfebris pada TBC, dernarn menggigil pada empiema
Dari pemeriksaan fisik didapatkan (pada sisi yang sakit)

Pemeriksaan fisik didapatkan :


a. Dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal
b. Vokal fremitus menurun
c. Perkusi dull sampal flat
d. Bunyi pernafasan menruun sampai menghilang
e. Pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat dapat dilihat atau diraba pada
treakhea

Nyeri dada pada pleuritis :


Simptom yang dominan adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan
diperberat oleh bernafas dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri
dihasilkan dari pleura parietalis yang inflamasi dan mendapat persarafan dari
nervus intercostal. Nyeri biasanya dirasakan pada tempat-tempat terjadinya
pleuritis, tapi bisa menjalar ke daerah lain :

67
1. Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G.
Nervuis intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan
abdomen.
2. Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus
menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.

3.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan yang biasanya dilakukan untuk memperkuatdiagnosa efusi
pleura antara lain:4,5,6
1. Rontgen dada
Roentgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk
mendiagnosis efusi pleura yang hasilnya menunjukkan adanya cairan. Foto dada
juga dapat menerangkan asal mula terjadinya efusi pleura yakni bila terdapat
jantung yang membesar, adanya masa tumor, adanya lesi tulang yang destruktif
pada keganasan, dan adanya densitas parenkim yang lebih keras pada pneumonia
atau abses paru.

2. USG Dada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan.
Jumlahnya sedikit dalam rongga pleusa. Pemeriksaan ini sangat membantu
sebagai penuntun waktu melakukan aspirasi cairan dalam rongga pleura.
Demikian juga dengan pemeriksaan CT Scan dada.
3. CT Scan Dada
CT scan dada dapat menunjukkan adanya perbedaan densitas cairan dengan
jaringan sekitarnya sehingga sangat memudahkan dalam menentukan adanya efusi
pleura. Selain itu juga bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau
tumor. Hanya saja pemeriksaan ini tidak banyak dilakukan karena biayanya masih
mahal.
4. Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan
melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui
torakosentesis.

68
Torakosentesis adalah pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang
dimasukkan diantara sel iga ke dalam rongga dada di bawah pengaruh pembiasan
lokal dalam dan berguna sebagai sarana untuk diuagnostik maupun terapeutik.
Pelaksanaan torakosentesis sebaiknya dilakukan pada penderita dengan
posisi duduk. Aspirasi dilakukan toraks, pada bagian bawah paru di sela iga v
garis aksilaris mediadengan memakai jarum Abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000 – 1500 cc pada setiap
kali aspirasi. Adalah lebih baik mengerjakan aspirasi berulang-ulang daripada satu
kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleural shock (hipotensi) atau
edema paru.

5. Biopsi Pleura
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya maka
dilakukan biopsi dimana contoh lapisan pleura sebelah luar untuk dianalisa.
Pemeriksaan histologi satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat
menunjukkan 50 -75% diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberkulosa dan tumor
pleura. Bila ternaya hasil biopsi pertama tidak memuaskan, dapat dilakukan
beberapa biopsi ulangan. Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan
pemeriksaan menyeluruh, penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan.
Komplikasi biopsi antara lain pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau
tumor pada dinding dada.
6. Analisa cairan pleura
Untuk diagnostic cairan pleura, dilakukan pemeriksaan :
a. Warna Cairan
Biasanya cairan pleura berwama agak kekuning-kuningan (serous-
xantho-ctrorne. Bila agak kemerah-merahan, ini dapat terjadi pada trauma,
infark paru, keganasan. adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning
kehijauan dan agak purulen, ini menunjukkan adanya empiema. Bila merah
tengguli, ini menunjukkan adanya abses karena ameba
b. Biokimia
Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang
perbedaannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

69
Tabel 1. Perbedaan transudat dan eksudat
Perbedaan Transudat Eksudat
- Kadar protein dalam efusi (g/dl) < 3. > 3.
- Kadar protein dalam efusi < 0,5 > 0,5
Kadar protein dalam serum
- Kadar LDH dalam efusi (I.U) < 200 > 200
- Kadar LDH dalam efusi
Kadar LDH dalam Serum < 0,6 > 0,6
- Berat jenis cairan efusi < 1,016 > 1,016
- Rivalta negatif positif

Di. samping pemeriksaan tersebut di atas. secara biokimia diperiksakan


juga pada cairan pleura :
- kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-
penyakit infeksi, artitis reumatoid dan neoplasma
- kadar amilase. Biasanya meningkat pada pankreatitis dan
metastasis adenokarsinoma.

c. Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk
diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau
dominasi sel-sel tertentu.

d. Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat
mengandung mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen,
(menunjukkan empiema). Efusi yang purulen dapat mengandung kuman-
kuman yang aerob ataupun anaerob. Jenis kuman yang sering ditemukan
dalam cairan pleura adalah : Pneumokok, E. coli, Kleibsiella,
Pseudomonas, Entero-bacter.
Pada pleuritis tuberkulosa, kultur cairan terhadap kuman tahan
asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai 20%.

70
Pemeriksaan Laboratorium terhadap cairan pleura dapat dilihat
pada tabel dibawah ini :
Tabel. Pemeriksaan Laboratorium Terhadap Cairan Pleura
Hitung sel total Hitung diferensial, hitung sel darah merah, sel
jaringan

Protein total Rasio protein cairan pleura terhadap seum > 0,5
menunjukkan suatu eksudat

Laktat dahidrogenase Bila terdapat organisme, menunjukkan empiema


Pewarnaan Gram dan
tahan asam

Biakan Biakan kuman aerob dan anerob, biakan jamur dan


mikobakteria harus ditanam pada lempeng

Glukosa Glukosa yang rendah (< 20 mg/dL) bila gula darah


normal menunjukkan infeksi atau penyakit reumatoid

Meningkat pada pankreatitis, robekan esofagus


Amylase Efusi parapneumonik dengan pH > 7,2 dapat
pH diharapkan untuk sembuh tanpa drainase kecuali bila
berlokusi. Keadaan dengan pH < 7,0 menunjukkan
infeksi yang memerlukan drainase atau adanya
robekan esophagus.

Dapat mengidentifikasineoplasma
Sitologi Pada cairan efusi yang banyak darahnya, dapat
Hematokrit membantu membedakan hemotoraks dari torasentesis
traumatik
Dapat rendah pada lupus eritematosus sistemik
Komplemen Bila positif, mempunyai korelasi yang tinggi dengan
Preparat sel LE diagnosis lupus aritematosus sistemik

e. Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan
sumber cairan yang terkumpul. Bronkoskopi biasanya digunakan pada
kasus-kasus neoplasma, korpus alineum dalam paru, abses paru dan lain-
lain
f. Scanning Isotop

71
Scanning isotop biasanya digunakan pada kasus-kasus dengan
emboli paru.
g. Torakoskopi (Fiber-optic pleuroscopy)
Torakoskopi biasnya digunakan pada kasus dengan neoplasma atau
tuberculosis pleura.Caranya yaitu dengan dilakukan insisi pada dinding
dada (dengan resiko kecil terjadinya pneumotoraks). Cairan dikeluarkan
dengan memakai penghisap dan udara dimasukkan supaya bias melihat
kedua pleura. Dengan memakai bronkoskop yang lentur dilakukan
beberapa biopsy.

3.2.8 Diagnosis
1. Anamnesis dan gejala klinis
Keluhan utama penderita adalah nyeri dada sehingga penderita membatasi
pergerakan rongga dada dengan bernapas pendek atau tidur miring ke sisi
yang sakit. Selain itu sesak napas terutama bila berbaring ke sisi yang sehat
disertai batuk batuk dengan atau tanpa dahak. Berat ringannya sesak napas ini
ditentukan oleh jumlah cairan efusi. Keluhan yang lain adalah sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya
2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan dada yang terkena cembung
selain melebar dan kurang bergerak pada pernapasan. Fremitus vokal
melemah, redup sampai pekak pada perkusi, dan suara napas lemah atau
menghilang. Jantung dan mediastinum terdorong ke sisi yang sehat. Bila tidak
ada pendorongan, sangat mungkin disebabkan oleh keganasan
3. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologis mempunyai nilai yang tinggi dalam mendiagnosis
efusi pleura, tetapi tidak mempunyai nilai apapun dalam menentukan
penyebabnya. Secara radiologis jumlah cairan yang kurang dari 100 ml tidak
akan tampak dan baru jelas bila jumlah cairan di atras 300 ml.
Foto toraks dengan posisi Posterioe Anterior akan memperjelas kemungkinan
adanya efusi pleura masif. Pada sisi yang sakit tampak perselubungan masif
dengan pendorongan jantung dan mediastinum ke sisi yang sehat.

72
4. Torakosentensi
Tujuan torakosentesis (punksi pleura) di samping sebagai diagnostik juga
sebagai terapeutik.

3.2.9 Penatalaksanaan5,9,12
Efusi pleura harus segera mendapatkan tindakan pengobatan karena cairan
pleura akan menekan organ-organ vital dalam rongga dada. Beberapa macam
pengobatan atau tindakan yang dapat dilakukan pada efusi pleura masif adalah
sebagai berikut:
1. Obati penyakit yang mendasarinya
a. Hemotoraks
Jika darah memasuki rongga pleurahempotoraks biasanya
dikeluarkan melalui sebuah selang. Melalui selang tersebut bisa juga
dimasukkan obat untuk membantu memecahkan bekuan darah (misalnya
streptokinase dan streptodornase).Jika perdarahan terus berlanjut atau jika
darah tidak dapat dikeluarkan melalui selang, maka perlu dilakukan
tindakan pembedahan
b. Kilotoraks
Pengobatan untuk kilotoraks dilakukan untuk memperbaiki
kerusakan saluran getah bening. Bisa dilakukan pembedahan atau
pemberian obat antikanker untuk tumor yang menyumbat aliran getah
bening.
c. Empiema
Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan pengeluaran
nanah.Jika nanahnya sangat kental atau telah terkumpul di dalam bagian
fibrosa, maka pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan sebagian dari
tulang rusuk harus diangkat sehingga bisa dipasang selang yang lebih
besar. Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk memotong lapisan
terluar dari pleura (dekortikasi).
d. Pleuritis TB.
Pengobatan dengan obat-obat antituberkulosis (Rimfapisin, INH,
Pirazinamid/Etambutol/Streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan. Dosis

73
dan cara pemberian obat seperti pada pengobatan tuberkulosis paru.
Pengobatan ini menyebabkan cairan efusi dapat diserap kembalai, tapi
untuk menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan
torakosentesis. Umumnya cairan diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-
kdang dapat diberikan kortikosteroid secara sistematik (Prednison 1
mg/kgBB selama 2 minggu, kemudian dosis diturunkan).2

2. Torakosentesis
Keluarkan cairan seperlunya hingga sesak - berkurang (lega); jangan
lebih 1-1,5 liter pada setiap kali aspirasi. Zangelbaum dan Pare menganjurkan
jangan lebih 1.500 ml dengan waktu antara 20-30 menit. Torakosentesis ulang
dapat dilakukan pada hari berikutnya. Torakosentesis untuk tujuan diagnosis
setiap waktu dapat dikerjakan, sedangkan untuk tujuan terapeutik pada efusi
pleura tuberkulosis dilakukan atas beberapa indikasi.
a. Adanya keluhan subjektif yang berat misalnya nyeri dada, perasaan
tertekan pada dada.
b. Cairan sudah mencapai sela iga ke-2 atau lebih, sehingga akan mendorong
dan menekan jantung dan alat mediastinum lainnya, yang dapat
menyebabkan kematian secara tiba-tiba.
c. Suhu badan dan keluhan subjektif masih ada, walaupun sudah melewati
masa 3 minggu. Dalam hal seperti ini biasanya cairan sudah berubah
menjadi pyotoraks.
d. Penyerapan cairan yang terlambat dan waktu sudah mendekati 6 minggu,
namun cairan masih tetap banyak.

3. Chest tube
Jika efusi yang akan dikeluarkan jumlahnya banyak, lebih baik
dipasang selang dada (chest tube), sehingga cairan dapat dialirkan dengan
lambat tapi sempurna. Tidaklah bijaksana mengeluarkan lebih dari 500 ml
cairan sekaligus. Selang dapat diklem selama beberapa jam sebelum 500 ml
lainnya dikeluarkan. Drainase yang terlalu cepat akan menyebabkan distres
pada pasien dan di samping itu dapat timbul edema paru.

74
4. Pleurodesis
Pleurodesis dimaksudkan untuk menutup rongga pleura sehingga akan
mencegah penumpukan cairan pluera kembali. Hal ini dipertimbangkan untuk
efusi pleura yang rekuren seperti pada efusi karena keganasan Sebelum
dilakukan pleurodeSis cairan dikeluarkan terlebih dahulu melalui selang dada
dan paru dalam keadaan mengembang
Pleurodesis dilakukan dengan memakai bahan sklerosis yang
dimasukkan ke dalam rongga pleura. Efektifitas dari bahan ini tergantung
pada kemampuan untuk menimbulkan fibrosis dan obliterasi kapiler pleura.
Bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk keperluan pleurodesis ini yaitu :
Bleomisin, Adriamisin, Siklofosfamid, ustard, Thiotepa, 5 Fluro urasil, perak
nitrat, talk, Corynebacterium parvum dan tetrasiklin Tetrasiklin merupakan
salah satu obat yang juga digunakan pada pleurodesis, harga murah dan
mudah didapat dimana-mana. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar
masukkanlah tetrasiklin sebanyak 500 mg yang sudah dilarutkan dalam 20-30
ml larutan garam fisiologis ke dalam rongga pleura, selanjutnya diikuti segera
dengan 10 ml larutan garam fisiologis untuk pencucian selang dada dan 10 ml
lidokain 2% untuk mengurangi rasa sakit atau dengan memberikan golongan
narkotik 1,5-1 jam sebelum dilakukan pleurodesis. Kemudian kateter diklem
selama 6 jam, ada juga yang melakukan selama 30 menit dan selama itu posisi
penderita diubah-ubah agar tetrasiklin terdistribusi di seluruh rongga pleura.
Bila dalam 24-48 jam cairan tidak keluar lagi selang dada dicabut.

5. Pengobatan pembedahan mungkin diperukan untuk :


a. Hematoraks terutama setelah trauma
b. Empiema
c. Pleurektomi yaitu mengangkat pleura parietalis; tindakan ini jarang
dilakukan kecuali pada efusi pleura yang telah mengalami kegagalan
setelah mendapat tindakan WSD, pleurodesis kimiawi, radiasi dan
kemoterapi sistemik, penderita dengan prognosis yang buruk atau pada
empiema atau hemotoraks yang tak diobati

75
d. Ligasi duktus torasikus, atau pleuropritoneal shunting yaitu
menghubungkan rongga pleura dengan rongga peritoneum sehingga cairan
pleura mengalir ke rongga peritoneum. Hal ini dilakukan terutama bila
tindakan torakosentesis maupun pleurodesis tidak memberikan hasil yang
memuaskan; misalnya tumor atau trauma pada kelenjar getah bening.2

3.2.10 Komplikasi5,9
1. Infeksi
Pengumpulan cairan dalam ruang pleura dapat mengakibatkan
infeksi (empiema primer), dan efusi pleura dapat menjadi terinfeksi setelah
tindakan torasentesis {empiema sekunader). Empiema primer dan
sekunder harus didrainase dan diterapi dengan antibiotika untuk mencegah
reaksi fibrotik. Antibiotika awal dipilih gambaran klinik. Pilihan
antibiotika dapat diubah setelah hasil biakan diketahui.
2. Fibrosis
Fibrosis pada sebagian paru-paru dapat mengurangi ventilasi
denganmembatasi pengembangan paru. Pleura yang fibrotik juga dapat
menjadi sumber infeksi kronis, menyebabkan sedikit demam. Dekortikasi-
reseksipleura lewat pembedahan-mungkin diperlukan untuk membasmi
infeksidan mengembalikan fungsi paru-paru. Dekortikasi paling baik
dilakukandalam 6 minggu setelah diagnosis empiema ditegakkan, karena
selamajangka waktu ini lapisan pleura masih belum terorganisasi dengan
baik(fibrotik) sehingga pengangkatannya lebih mudah.1,3,5

3.2.11 Prognosis9
Prognosis pada efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang
mendasari kondisi itu. Namun pasien yang memperoleh diagnosis dan
pengobantan lebih dini akan lebih jauh terhindar dari komplikasi daripada pasien
yang tidak memedapatkan pengobatan dini.
BAB IV
ANALISA KASUS

76
Seorang perempuan berusia 27 tahun didiagnosa dengan efusi pleura
dextra et cause TB paru. Pasien datang ke IGD dengan keluhan keluhan sesak
napas yang memberat sejak ± 1 hari yang lalu, sesak sudah dirasakan sejak ± 3
minggu SMRS, sesak dirasakan semakin hari semakin memberat, tidak
dipengaruhi oleh cuaca, debu dan makanan, dan tidak disertai suara mengi. Sesak
napas dirasakan semakin memberat saat os beraktivitas dan tidak bergantung pada
perubahan posisi. Os juga mengeluhkan nyeri dada terutama sebelah kanan yang
memberat apabila pasien batuk atau menarik nafas. Os juga mengeluhkan nyeri
dada bertambah berat bila os tidur miring ke sebelah kiri. Pada pemeriksaan fisik
paru, didapatkan inspeksi pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri,
palpasi didapatkan fremitus taktil dada kanan menurun, pada perkusi didapatkan
redup di lapang paru kanan dan sonor di lapang paru kiri, pada auskultasi
didapatkan vesikuler paru kanan menurun di tiga lobus serta terdapat rhonki di
seluruh lapang paru. Pada pemeriksaan penunjang yaitu rontgen thorax AP,
tampak sinus costofrenicus kanan tumpul.
Hal diatas sesuai dengan teori yaitu efusi pleura adalah akumulasi cairan
di rongga pleura yang melebihi batas normal. Manifestasi klinis dari efusi pleura
yaitu 1) sesak nafas, sesak terjadi akibat timbunan cairan dalam rongga pleura
yang akan memberikan kompresi patologis pada paru sehingga ekspansinya
terganggu dan sesak tidak disertai bunyi tambahan karena bronkus tetap normal.
2) Rasa berat pada dada. 3) Nyeri dada bila terjadi pleuritis, nyeri diperberat oleh
bernafas dalam atau batuk, nyeri dihasilkan dari pleura parietalis yang inflamasi
dan mendapat persarafan dari nervus intercostal. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan, Dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal, vokal dan taktil
fremitus menurun, perkusi redup sampai pekak, bunyi pernafasan menurun
sampai menghilang, pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat dapat dilihat
atau diraba pada treakhea. Pemeriksaan penunjang sederhana yang pertama kali
dapat dilakukan adalah rontgen thorax. Pada efusi pleura akan didapatkan
gambaran cairan dan sudut costofrenicus yang tampak tumpul.
Pasien juga mengeluhkan batuk darah sejak ± 3 bulan SMRS. Batuk yang
dirasakan hilang timbul dan keras, tidak ada lendir dan tidak ada dahak. Pasien
juga mengatakan sering berkeringat pada malam hari dan merasa nafsu makannya

77
menurun sehingga berat badannya turun. Pada pemeriksaan auskultasi paru
didapatkan rhonki diseluruh lapang paru. Rhonki biasanya muncul akibat adanya
sumbatan pada jalan nafas yang disebabkan oleh cairan atau lendir. Pada
pemeriksaan penunjang didapatkan leukosit 13.600, hb 10,1 dengan MCH 25,6;
MCHC 31,3; MCV 81,7 menunjukkan anemia normokrom normositer, laju endap
darah 103 mm/jam dan D-Dimer 1379.43 ng/Ml.
Hal di atas sesuai dengan teori yaitu, TB paru memiliki riwayat batuk
terus-menerus selama ≥ 2 minggu dalam 3 bulan terakhir, batuk yang disertai
dahak berwarna kuning dan jika batuk bersifat purulent maka akan menyebabkan
robeknya pembuluh darah di tenggorokan dan menyebabkan batuk darah. Pada
tuberkulosis paru (TB Paru) terjadi inflamasi lokal yang menyebabkan destruksi
sehingga terjadi kerusakan susunan parenkim paru dan pembuluh darah.
Timbulnya kavitas dan pneumonitis TB akut menyebabkan ulserasi bronkus,
nekrosis pembuluh darah di sekitarnya dan alveoli bagian distal hingga pembuluh
darah pecah dan terjadi hemoptysis. Manifestasi lain dari tuberkulosis adalah
berkeringat pada malam hari, serta penurunan nafsu makan dan berat badan. Pada
pemeriksaan fisik, bila dicurigai adanya infiltrate yang agak luas, maka
didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan
didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring.
Pada pemeriksaan penunjang akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi, laju endap darah mulai meningkat, dan anemia ringan dengan
gambaran normositik normokrom.
Dari pemeriksaan sitologi cairan pleura pasien didapatkan hasil, secara
makroskopis didapatkan cairan berwarna kuning. Secara mikroskopis, sediaan
tampak mengandung banyak sel limfosit, tersebar, dengan inti tampak masih
dalam batas normal. Tampak juga sel darah merah serta sel histiosit. Tidak
ditemukan massa seperti nekrosis perkijuan. Tidak ditemukan sel ganas pada
sediaan ini. Kesimpulan dari pemeriksaan sitologi ini adalah Lymphocytic Pleural
Effusion
Teori menyatakan bahwa pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura
penting dilakukan untuk membantu diagnostik penyakit pleura, terutama bila
ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu. Sel limfosit

78
menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa atau limfoma
maligna.
Berdasarkan teori-teori di atas dan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis dengan efusi pleura dextra + hemaptoe
et causa TB paru.
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu dilakukan pemasangan Water
Sealed Drainage (WSD). Berdasarkan teori, penatalaksanaan efusi pleura dapat
dilakukan dengan cara pengobatan kausal, thorakosintesis, Water Sealed Drainage
(WSD), dan pleurodesis. WSD merupakan suatu sistem drainage yang
menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura
sehingga paru dapat mengembang secara normal dan tidak terkompresi. Adapun
indikasi pemasangan WSD pada pasien ini adalah adanya efusi pleura yang
massif.
Pasien diberikan terapi oksigen nasal canule 3L/menit. Terapi oksigen
merupakan hal pertama dan utama yang bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia
dan mencegah keadaan yang dapat mengancam jiwa. Diberikan untuk
mempertahankan PaO2> 60 mmHg atau Sat O2> 90%. Pada pasien ini juga
diberikan injeksi antibiotik ceftriaxon 1 x 2gr. Pasien juga diberikan injeksi
Ranitidin 2 x 50 mg yang merupakan golongan antihistamin (H2-antagonist)
Ranitidine diberikan pada pasien untuk menekan stress metabolic yang terjadi
pada pasien. Stress metabolic sering terjadi pada pasien akibat kegagalan organ
dan menurunkan prostaglandin hingga pada akhirnya akan meningkatkan
produksi asam lambung. Pasien dengan posisi tirah baring rentan akan terjadinya
refluks asam lambung ke esophagus akibat gravitasi. Pasien juga diberikan injeksi
asam tranexamat, yang merupakan anti fibrinolitik untuk menghentikan
perdarahan. Obat oral N-Acetylcysteine 2 x 1 merupakan agen mukolitik yang
diberikan untuk mengencerkan dahak pada pasien.
Salah satu tatalaksana efusi pleura yaitu dengan tatalaksana penyakit yang
mendasarinya. Pada kasus ini, penyakit yang mendasari adalah tuberkulosis. Oleh
karena itu, pasien diberikan terapi OAT kategori 1 karena pasien belum pernah
mengkonsumsi OAT sebelumnya.

79
BAB V
KESIMPULAN

80
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang
disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis. Terdapat 2 type kuman
Mycobacteriumtuberkulosis, yaitu type humanus dan type bovinus. Hampir semua
kasustuberkulosis disebabkan oleh type humanus, walaupun type bovinus dapat
juga menyebabkan terjadinya tuberkulosis paru, namun hal itu sangat jarang sekali
terjadi, pada umumnya ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan
yang terinfeksi.Penegakan diagnosa TB Paru berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
Tatalaksana meliputi tatalaksana non medikamentosa dan tatalaksana
medikamentosa yang meliputi tatalaksana penggunaan OAT.Jika pasien
mengalami putus obat, segera cari penyebab dan untuk tetap melanjutkan
pengobatan dengan rutin. Edukasi mengenai penyakit dan gaya hidup diharapkan
dapat menghambat perburukan dari penyakit TB Paru itu sendiri.
Efusi pleura didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana terdapatnya
cairan yang berlebih jumlahnya di dalam cavum pleura, yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara pembentukan dan reabsorbsi (penyerapan) cairan
pleura ataupun adanya cairan di cavum pleura yang volumenya melebihi normal..
Akumulasi cairan pleura melebihi normal dapat disebabkan oleh beberapa
kelainan, antara lain infeksi dan kasus keganasan di paru atau organ luar paru.
Diagnosis efusi pleura didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Pada kasus pasien didiagnosis dengan efusi pleura dekstra dengan TB paru
karena sesuai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang ditemukan pada pasien, sehingga penatalaksanaan pada pasien ini adalah
berupa terapi pemasangan WSD dan pengobatan kausal.

DAFTAR PUSTAKA

81
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis. Jakarta.
2. InfoDATIN Pusat Data & Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2018.
Tuberkulosis. Jakarta.
3. Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Tatalaksana
Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2020.
4. R. Darmanto Djojodibroto. Respirologi (Respirotory Medicine). Penerbit Buku
Kedokteran EGC; Jakarta. 2014.
5. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Dalam : Aru W, Sudoyo B S, ddk. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-Enam Jilid I. Jakarta: Pusta Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
pp : 863-871. 2014
6. Adigun R, Singh R. Tuberculosis. [Updated 2021 Jul 25]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/
7. WHO Consolidated Guidelines on Tuberculosis, Module 4: Treatment . Geneva:
World Health Organization; 2021
8. Carter BB, Zhang Y, Zou H, Zhang C, Zhang X, Sheng R, et al. Survival analysis
of patients with tuberculosis and risk factors for multidrug-resistant tuberculosis
in Monrovia, Liberia. PLoS ONE. 2021;16(4).
9. Krishna R, Rudrappa M. Pleural Effusion. [Updated 2021 Aug 11]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448189/
10. Jany B, Welte T. Pleural Effusion in Adults-Etiology, Diagnosis, and
Treatment. Dtsch Arztebl Int. 2019;116(21):377-386.
11. Dancel R, Schnobrich D, Puri N, Franco-Sadud R, Cho J, Grikis L, Lucas BP, El-
Barbary M, Society of Hospital Medicine Point of Care Ultrasound Task Force.
Soni NJ. Recommendations on the Use of Ultrasound Guidance for Adult
Thoracentesis: A Position Statement of the Society of Hospital Medicine. J Hosp
Med. 2018 Feb;13(2):126-135.
12. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit.Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.

82

Anda mungkin juga menyukai