Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

TUBERKULOSIS PARU

Disusun oleh:

Farah Eka Salsabela, dr.

Dokter Pendamping:
Ferry Fadilah, dr.
Murniati, dr.

Disusun Dalam Rangka Mengikuti Kegiatan Internsip Dokter Indonesia Periode


Februari 2019 s/d Februari 2020 di RSUD Malingping
Lebak – Banten
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien

Nama Pasien : Tn. S

Usia : 55 tahun

Alamat : Kp. Kadujajar, Desa Kadujajar

Pekerjaan : Wiraswasta

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Status Pernikahan : Sudah menikah

Tanggal Masuk RS : 9 Juli 2019

1.2. Anamnesis

Keluhan Utama: Sesak nafas

Anamnesis Khusus:

Pasien datang ke IGD RSUD Malingping dengan keluhan sesak nafas sejak 3

hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan dirasakan terus-menerus. Keluhan

dirasakan baik saat istirahat ataupun saat beraktivitas. Keluhan disertai batuk

berdahak. Demam ataupun pilek tidak ada. Keluhan disertai nyeri ulu hati dan mual.
Keluhan tidak disertai muntah. BAB dan BAK normal. Keluhan sesak nafas pertama

kali dialami pada 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.

Pasien sebelumnya dirawat di RSUD Malingping pada 5 hari yang lalu

dengan diagnosis Tb Paru. Pasien mengatakan keluhan membaik saat dibolehkan

rawat jalan dari RSUD Malingping. Pasien sedang menjalani pengobatan Tb Paru

sejak 1 minggu yang lalu. Setelah memulai pengobatan rawat jalan, keluhan sesak

nafas muncul kembali. Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus tipe II tidak ada.

Riwayat penyakit asma tidak ada. Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa.

1.3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalisata

Keadaan Umum: Tampak sakit sedang

Kesadaran: Compos mentis (GCS: 15)

Tanda-Tanda Vital

TD: 149/92 mmHg R: 32 x/menit

N: 82 x/menit S: 37.00C

Kepala

Normocephali

Mata

Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-


THT

Dalam batas normal

Leher

KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak membesar

JVP dalam batas normal

Trakea tidak memgalami deviasi

Toraks

Bentuk dan gerak simetris, retraksi tidak ada

Cor

S1S2 normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo

Bising nafas dasar vesikuler, rhonki -/-, wheezing +/+

Abdomen

Datar lembut

Hepar tidak teraba, lien tidak teraba

BU (+) normal

NT (-), NL (-), PS (-)

Ekstremitas

Akral hangat, sianosis (-), CRT <2 detik, edema (-)


1.4. Diagnosis

Tb Paru on OAT

1.5. Tatalaksana

Medikamentosa

O2 nasal canule 3 lpm

IVFD RL 500 cc + Aminofilin /12 jam

Inhalasi Combivent /8 jam

Ambroxol 3x1 PO

RHZE 450/300/750/750

Levofloxacin 1x750 mg IV

Non Medikamentosa

Edukasi pada pasien untuk mengonsumsi obat-obatan secara teratur

Edukasi pada keluarga pasien untuk memakai masker

Diet TKTP (Tinggi Karbohidrat Tinggi Protein)

1.6. Prognosis

Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Etiologi

TB adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri

berbentuk batang Mycobacterium tuberculosis (Mtb) dan dapat menyerang berbagai

organ, khusunya paru-paru.1 Definisi lain meneyebutkan bahwa tuberkulosis

merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium complex (MAC).2

Penyakit TB yang tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat menyebabkan

komplikasi berbahaya hingga kematian.1

Mtb dan beberapa spesies Mycobacterium lainnya, seperti Mycobacterium

bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti, Mycobacterium caprae,

Mycobacterium pinnipedii, Mycobacterium canetti, dan Mycobacterium mungi,

merupakan bagian dari MAC, yang sebagian besar ditemukan dapat menyebabkan

penyakit pada manusia, dalam hal ini penyakit TB.3,4

Mtb termasuk dalam genus Mycobacterium yang memiliki lebih dari 80

spesies lainnya.2 Bakteri ini berbentuk batas lurus tipis dengan ukuran 0.4 x 0.3 µm. 4

Bakteri ini merupakan bakteri aerob, tidak motil, tidak membentuk spora, dan

memiliki dinding sel yang terdiri dari asam mikolat (suatu jenis lemak yang memiliki

berat molekul tinggi).4


Mtb memiliki cell envelope (struktur berlapis banyak kompleks yang

berfungsi untuk melindungi organisme dari faktor lingkungan yang sering tak

terprediksi dan tidak mendukung) dan terdiri dari 3 makro molekul yang berikatan

satu sama lain dalam bentuk ikatan kovalen (peptidoglikan, arabinogalaktan, dan

asam mikolat) dan LAM (lipoarabinomannan; suatu jenis lipopolisakarida).2,5

2.2. Epidemiologi

Jumlah pasien TB diperkirakan mencapai 9,6 juta orang di seluruh dunia;

terdiri dari 5,4 juta pria; 3,2 juta wanita; dan 1 juta anak-anak pada tahun 2014. 6 TB

telah membunuh 1,5 juta orang, yang terdiri dari 890.000 pria, 480.000 wanita, dan

140.000 anak-anak di tahun yang sama.6 Insidensi TB dunia menurun hingga rata-rata

1,5 % per tahun sejak tahun 2000 dan di tahun 2015 turun 18 % lebih rendah

dibandingkan insidensi tahun 2000.6

2 juta orang mengalami penyakit TB, atau sepertiga dari populasi dunia,

dengan perkiraan 8,7 juta kasus baru, 13 % kasus baru merupakan koinfeksi dengan

Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan 1.4 juta kematian akibat TB di dunia

pada tahun 2011.7

Pedoman Nasional Pelayanan Tuberkulosis 2013 menunjukkan bahwa

Indonesia menempati urutan keempat dunia setelah India, Cina, dan Afrika Selatan,

dengan 0,38-0,54 juta kasus, pada tahun 2011.7 WHO menyatakan bahwa Indonesia
berada di peringkat kedua penderita TB terbesar di dunia dengan prevalensi 647 per

100.000 pada tahun 2014.6

Sebanyak 743 penderita TB paru BTA (+) ditemukan pada tahun 2013 di

Kabupaten Lebak (55 % dari perkiraan TB paru BTA (+)); menurun jika

dibandingkan jumlah penderita TB paru BTA (+) pada tahun 2012 yang mencapai

921 penderita (69,3 % dari perkiraan BTA (+)).8

Menurut kelompok umur, kasus baru BTA (+) paling banyak ditemukan pada

kelompok umur 25-34 tahun, sedangkan menurut jenis kelamin, kasus baru BTA (+)

pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.8

Resiko penularan setiap tahunnya di Indonesia, yang ditunjukkan dalam

Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI), bervariasi antara 1-3 %.9 Resiko

penularan tersebut diartikan sebagai proporsi penduduk yang beresiko terinfeksi TB

selama setahun. Jika ARTI di Indonesia berkisar 1-3 %, berarti 10-30 orang diantara

1000 penduduk di Indonesia terinfeksi TB setiap tahun.9

2.3. Transmisi

Mtb yang berdiameter 1-5 µm ini ditransmisikan dalam bentuk percikan

dahak (droplet nuclei) yang disebarkan lewat udara dari penderita TB BTA positif;

baik TB paru maupun TB laring; sedang mengalami batuk (sekali batuk dapat

menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak), menyanyi, teriak, atau bersin. 3,9

Seseorang dapat tertular bakteri Mtb ketika menghirup percikan dahak yang
mengandung basil tuberkel (tubercle bacilli), dan percikan tersebut masuk melewati

mulut atau hidung, lalu berjalan melalui saluran pernafasan atas, bronkus, hingga

akhirnya sampai di alveoli paru-paru.3

Faktor lingkungan tertentu dapat meningkatkan probabilitas transmisi bakteri

Mtb.3 Penularan terjadi di ruangan dengan percikan dahak yang berada dalam waktu

lama; dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang sempit, gelap,

tertutup, lembab, bertekanan udara positif yang menyebabkan bakteri Mtb dapat

menyebar ke berbagai penjuru, dan memiliki sirkulasi udara yang mengandung

percikan dahak.3,9 Semakin banyak percikan dahak di udara, semakin meningkat

kemungkinan bakteri Mtb ditransmisikan.3 Jumlah percikan dahak dapat dikurangi

dengan adanya ventilasi, sementara sinar matahari dapat membunuh kuman secara

langsung.9

Tingkat penularan TB dari seorang pasien ditentukan oleh banyaknya bakteri

TB yang dikeluarkan dari paru-paru pasien tersebut dan akan semakin menular jika

derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak semakin tinggi. 9 Faktor-faktor penting,

seperti durasi paparan, frekuensi paparan, dan jarak paparan menentukan tingkat

transmisi bakteri Mtb.3 Paparan yang semakin lama dan sering, serta jarak seseorang

yang semakin dekat dengan paparan menyebabkan resiko transmisi bakteri Mtb

semakin meningkat.3 Faktor yang memungkinkan seseorang terpapar bakteri tersebut

adalah konsentrasi percikan dahak dalam udara dan lamanya menghirup udara yang

terkena percikan dahak tersebut.9 Pasien TB paru dengan BTA positif memiliki resiko

penularan lebih tinggi dari pasien TB paru dengan BTA negatif.9


2.4. Klasifikasi

TB terbagi menjadi 2 kategori berdasarkan lokasi penyakit:

1. TB paru: Merujuk pada kasus TB terkonfirmasi dari adanya bakteri Mtb atau

terdiagnosa TB secara klinis yang meliputi parenkim paru atau

tracheobronchial tree. TB milier masuk dalam kelas ini dikarenakan adanya

lesi yang ditemukan pada paru-paru. Jika seseorang mengalami TB paru dan

ekstra paru, maka digolongkan dalam kelas TB paru.10,11,12

2. TB ekstra paru: Merujuk pada kasus TB terkonfirmasi dari adanya bakteri

Mtb atau terdiagnosa TB secara klinis yang meliputi organ-organ selain paru-

paru, seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitourinaria,

kulit, sendi dan/atau tulang, dan selaput otak.10,11,12

TB terbagi menjadi 3 kategori berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

1. Pasien baru (New patients): Belum pernah mendapat pengobatan TB atau

telah mengonsumsi obat anti-TB selama kurang dari 1 bulan.11

2. Pasien yang menjalani pengobatan sebelumnya (Previously treated patients):

Telah mendapat pengobatan TB selama 1 bulan atau lebih sebelumnya.11

Klasifikasi lebih lanjut berdasarkan luaran dari pengobatan terbaru pasien.

 Pasien kambuh (Relapse patients): Merupakan pasien yang telah

menjalani pengobatan TB sebelumnya, telah dinyatakan sembuh atau

selesai (berhasil) di akhir masa pengobatan, dan sekarang didiagnosa


kembali mengalami TB (baik kambuh maupun tahapan baru TB yang

disebabkan reinfeksi).11

 Pasien yang menjalani pengobatan setelah gagal (Treatment after failure

patients): Merupakan pasien yang telah menjalani pengobatan TB dan

dinyatakan gagal di akhir masa pengobatan.11

 Pasien yang menjalani pengobatan setelah kehilangan tindakan lanjut

(Treatment after loss to follow - up patients): Merupakan pasien yang

telah menjalani pengobatan TB, dan dinyatakan hilang tindakan lanjut di

akhir masa pengobatan.11

 Lainnya (Other previously treated patients): Merupakan pasien yang telah

menjalani pengobatan TB, namun hasil pengobatannya tidak diketahui

atau tidak tercatat.11

3. Pasien dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya yang tidak diketahui

(Patients with unknown previous TB treatment history): Merupakan pasien

yang tidak masuk dalam 2 kelas di atas (pasien baru dan pasien yang

menjalani pengobatan sebelumnya).11

Berdasarkan status HIV, TB terbagi menjadi 3 kategori:

1. Pasien TB dengan HIV positif: Merujuk pada pasien TB terkonfirmasi dengan

adanya Mtb atau terdiagnosa TB secara klinis yang memiliki hasil positif dari

uji HIV di waktu pasien didiagnosa mengalami TB atau adanya bukti yang

menunjang pasien mendapatkan penanganan yang berkaitan dengan HIV,


seperti terdaftar dalam pra-Antiretroviral Therapy (ART), ART, atau

menjalani ART.11

2. Pasien TB dengan HIV negatif: Merujuk pada pasien TB terkonfirmasi

dengan adanya Mtb atau terdiagnosa TB secara klinis yang memiliki hasil

negatif dari uji HIV di waktu pasien didiagnosa mengalami TB. Jika ada

pasien TB dengan HIV negatif dan kemudian ditemukan positif HIV, maka

perlu diklasifikasikan lebih lanjut.11

3. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: Merujuk pada pasien TB

terkonfirmasi dengan adanya Mtb atau terdiagnosa TB secara klinis yang

tidak memiliki hasil uji HIV atau tidak ada bukti yang tercatat tentang

penanganan pasien yang berkaitan dengan HIV. Jika status HIV pasien telah

diketahui (positif/negatif HIV), maka perlu diklasifikasikan lebih lanjut.11

Berdasarkan resistensi obat, TB dibagi menjadi 5 kategori:

1. Monoresistance: Pasien TB yang mengalami resistensi terhadap salah satu

OAT (Obat Anti TB) lini pertama.11

2. Polydrug resistance: Pasien TB yang mengalami resistensi terhadap lebih dari

satu jenis OAT lini pertama, selain Rifampisin dan Isoniazid.11

3. Multidrug resistance: Pasien TB yang mengalami resistensi terhadap

sekurang-kurangnya kombinasi Rifamipisin dan Isoniazid.11

4. Extensive drug resistance: Pasien TB yang mengalami resistensi terhadap

kombinasi Rifampicin dan Isoniazid, salah satu obat dari golongan


fluorokuinolon, dan sekurang-kurangnya satu dari tiga obat injeksi lini ketiga

(Kapreomisin, Kanamisin, Amikasin).11

5. Rifampicin resistance: Pasien TB yang mengalami resistensi terhadap

Rifampisin yang terdeteksi dengan metode genotip atau fenotip, dengan atau

tanpa resistensi terhadap OAT (Obat Anti TB) lainnya.11

2.5. Patogenesis

Seseorang mengalami infeksi TB jika ia menghirup percikan dahak yang

mengandung basil tuberkel yang masuk ke dalam alveoli paru-paru dan dimakan oleh

makrofag; sebagian besar dari basil tuberkel tersebut dihancurkan dan sejumlah kecil

bermultiplikasi secara intrasel di alveoli dan dikeluarkan jika makrofag mati.3

Basil tuberkel hidup masuk ke dalam aliran darah dan menyebar di seluruh

tubuh.3 Basil tersebut dapat memasuki berbagai bagian tubuh, termasuk bagian tubuh

yang umumnya menjadi tempat tumbuhnya basil, seperti paru-paru, laring, otak,

kelenjar getah bening, tulang (termasuk tulang belakang), atau ginjal.3

Makrofag menelan dan mengelilingi basil tuberkel dalam 2-8 minggu.3

Kemudian, makrofag membentuk granuloma (suatu struktur berbentuk cangkang

penghalang (barrier shell)) yang menjaga basil di bawah kontrol.3 Fase ini disebut

infeksi TB laten.3 Orang yang berada dalam fase infeksi TB laten memiliki Mtb di

dalam tubuhnya, namun tidak memiliki penyakit TB dan tidak dapat menyebarkan
infeksi tersebut ke orang lain.3 Infeksi TB laten dapat dideteksi menggunakan

Tuberculin Skin Test (TST) atau Interferon-Gamma Release Assay (IGRA).3

Basil mulai bermultiplikasi dengan cepat jika sistem imun tidak dapat

mengontrol basil tuberkel. Fase ini dikatakan sebagai penyakit TB, dan dapat

menyebar ke berbagai bagian tubuh. Orang yang mengalami penyakit TB dapat

menyebarkan bakteri Mtb ke orang lain.3

2.6. Manifestasi Klinis

Pasien yang mengalami TB paru dan ekstra paru umumnya menunjukkan

tanda dan gejala, seperti kedinginan, demam, keringat malam, hilang nafsu makan,

berat badan turun, lemah atau mudah lelah, dan malaise (rasa tidak nyaman pada

tubuh).13 Pasien yang mengalami TB paru umumnya menunjukkan tanda dan gejala

yang khas, seperti batuk, batuk berdahak atau batuk dengan mengeluarkan darah, dan

nyeri dada ketika batuk atau bernafas.13

Pasien yang mengalami TB ekstraparu juga umumnya menunjukkan tanda dan

gejala khas yang bergantung pada bagian tubuh yang terlibat. 13 TB pleura dapat

menyebabkan batuk, nyeri dada, demam, penurunan berat badan, keringat malam, dan

malaise.7 TB tulang belakang (spondilitis) dapat menyebabkan nyeri punggung dan

penonjolan tulang belakang.7,13 TB tulang panggul (koksitis) dapat menyebabkan

gangguan berjalan (termasuk pincang) atau peradangan pada panggul. 7 TB tulang

lutut (gonitis) dapat menyebabkan pincang dan/atau bengkak pada lutut.7 TB tulang
tangan dan kaki (daktilitis/spina ventosa) dapat menyebabkan bengkak pada

persendian tangan dan kaki.7 TB ginjal dapat menyebabkan hematuria.13 TB selaput

otak dapat menyebabkan sakit kepala dan gejala-gejala psikiatris akibat keterlibatan

saraf-saraf otak yang terpengaruh, seperti kejang.7,13 TB kelenjar dapat menyebabkan

pembengkakan kelenjar getah bening multipel (berdiameter ≥ 1 cm, konsistensi

kenyal, dan terkadang saling melekat (confluence)) dan nyeri tekan, sering ditemukan

pada bagian bawah leher. TB laring dapat menyebabkan suara parau (hoarseness).3

TB dengan gejala sistemik dicirikan dengan adanya demam lama, batuk

persisten, berat badan turun, malaise, dan keringat malam; sedangkan TB dengan

gejala lokal bergantung pada area yang terkena.7

2.7. Diagnosis

Pasien TB memiliki tanda-tanda khas yang dapat membantu membenarkan

kecurigaan ada tidaknya penyakit TB pada seseorang.

Dari anamnesis, dapat diketahui berbagai informasi pasien yang dibutuhkan,

seperti:

 Tingkat paparan pasien dengan percikan dahak yang mengandung basil

tuberkel.13

 Hasil tes menunjukkan positif adanya infeksi Mtb.13

 Adanya faktor resiko, seperti pernah mengunjungi daerah endemik TB,

terkena infeksi HIV, tunawisma, atau pernah mengalami masa penahanan.13


 Didiagnosa mengalami Community - Acquired Pneumonia (CAP) yang belum

membaik 7 hari setelah menjalani pengobatan.13

Pasien TB memiliki tanda dan gejala khas khas, seperti:

 Batuk lama (≥ 2 – 3 minggu) dengan atau tanpa berdahak yang dapat pula

mengeluarkan darah (hemoptisis)

 Nyeri dada

 Kedinginan, demam, keringat malam

 Nafsu makan hilang

 Berat badan mengalami penurunan

 Lemah atau mudah lelah

 Malaise13

Hasil foto toraks, merupakan salah satu pemeriksaan penunjang pada TB, juga

menunjukkan ciri khas. Pada pasien TB dengan imunokompeten, ditemukan adanya

kekeruhan pada paru-paru lobus atas (bagian apeks paru), sering ditemukan adanya

fibrosis dan kavitasi, sedangkan pada pasien TB dengan infeksi HIV serius ditemukan

adanya kekeruhan pada lobus bawah paru-paru dan multilobar, pembesaran kelenjar

getah bening perihilar paru, atau kekeruhan pada interstisium.13


Skema alur (algoritme) diagnosis TB paru pada orang dewasa digambarkan pada

bagan di bawah ini:

Suspek TB Foto toraks

BTA (+) BTA (-)

Kasus definitif TB Lihat klinis dan foto


BTA (+) toraks

Tidak sesuai TB Sesuai TB

Antibiotik 2 minggu Kasus TB BTA (-)

Perbaikan Tidak perbaikan,


klinis sesuai TB

Bukan TB Obat sesuai kasus TB BTA (-),


serta melakukan pemeriksaan
biakan sputum Mtb

Catatan:

Garis putus-putus= Bila terdapat fasilitas

Bila terdapat riwayat OAT sebelumnya, selain melakukan pemeriksaan


sputum mikroskopis BTA juga dilakukan pemeriksaan biakan sputum Mtb /
identifikasi kuman dan uji kepekaan obat.

Gambar 2.2. Skema Alur (Algoritme) Diagnosis TB Paru Dewasa7


2.8. Pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yang terdiri dari fase intensif

(2-3 bulan) dan fase lanjutan (4 atau 7 bulan). 14 Obat Anti TB (OAT) yang dapat

digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan.14

OAT utama (lini pertama) terdiri dari Rifampisin, Isoniazid (INH),

Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol.14

Terdapat kombinasi dosis tetap (fixed dose combination) yang terdiri dari:

 4 OAT dalam satu tablet, yaitu Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg,

Pirazinamid 400 mg, dan 275 mg, dan14

 3 OAT dalam satu tablet, yaitu Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, dan

Pirazinamid 400 mg.14

Untuk OAT tambahan (lini kedua) terdiri dari Kapreomisin, Kanamisin,

Amikasin, Kuinolon, serta derivat Rifampisin dan INH.14

Panduan penggunaan OAT:

 Tahap intensif: RHZE selama 2 bulan14

 Tahap lanjutan: RH selama 4 bulan14

 Kategori 1: 2RHZE/4RH (Untuk pasien yang masuk dalam kategori pasien

baru)14

 Kategori 2: 2HRZES/HRZE/5(HRE)3 (Untuk pasien yang masuk dalam

kategori pasien yang menjalani pengobatan sebelumnya)14

 Obat sisipan (HRZE): Sama seperti tahap intensif kategori 1 yang diberikan

selama 28 hari.14
Sebagian besar pasien TB tidak mengalami efek samping dari penggunaan

OAT, namun sebagian kecil mengalami efek samping, dan perlu pemantauan lebih

lanjut terhadap pengobatan yang dijalani pasien.14 Efek samping yang muncul

beragam, mulai dari efek samping ringan hingga efek samping berat.14

INH memiliki efek samping ringan berupa keracunan pada syaraf tepi,

kesemutan, nyeri otot, dan rasa terbakar di kaki, sedangkan efek samping berat dapat

menyebabkan hepatitis.14

Rifampisin memiliki efek samping ringan berupa menggigil, demam, nyeri

tulang, mual, muntah, sakit perut, nafsu makan hilang, dan gatal-gatal kemerahan,

sedangkan efek samping berat dapat mengakibatkan hepatitis imbas obat atau ikterik,

purpura, anemia hemolitik akut, syok, dan gagal ginjal. Namun, efek samping berat

tersebut jarang terjadi.14

Pirazinamid memiliki efek samping utama berupa hepatitis imbas obat. Nyeri

sendi dan arthritis gout dapat terjadi.14

Etambutol memiliki efek samping pada mata yang dapat menyebabkan

gangguan penglihatan berupa penurunan daya penglihatan dan buta warna terhadap

warna merah atau hijau.14

Streptomisin memiliki efek samping pada telinga yang dapat menyebabkan

gangguan pendengaran dan keseimbangan, dan akan meningkat seiring dengan

bertambahnya usia pasien dan peningkatan dosis yang dikonsumsi.14


DAFTAR PUSTAKA

1. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Tuberkulosis: Temukan

Obat Sampai Sembuh. 2015.

2. Robert L. Serafino Wani MBSS, MRCP, MSc. Tuberculosis 2:

Pathophysiology and Microbiology of Pulmonary Tuberculosis. South Sudan

Medical Journal. 2013; 6(1): 10-12.

3. Centers for Disease Control and Prevention. Core Curriculum on

Tuberculosis: What the Clinician Should Know. 2013.

4. Karen C. Carroll, Stephen A. Morse, Timothy Mietzner, Steve Miller, dkk.

Jawetz, Melnick, and Adelberg’s Medical Microbiology. Singapore: Lange;

2016.

5. Thomas J. Silhavy, Daniel Kahne, Suzanne Walker. The Bacterial Cell

Envelope. Cold Spring Harbor Perspectives in Biology. 2010; 2.

6. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. 2015.

7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan

Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. 2013.

8. Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak. Profil Kesehatan Kabupaten Lebak Tahun

2013. 2013.
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis. 2006.

10. American Thoracic Society. Diagnostic Standards and Classification of

Tuberculosis in Adults and Children. 2000; 161: 1376-1395.

11. World Health Organization. Definitions and Reporting Framework for

Tuberculosis – 2013 Revision. 2014.

12. San Mateo County Health Department. Public Health Reporting Guidelines:

Tuberculosis Classification. 2007; 2.

13. Washington State Department of Health. Washington State Tuberculosis

Services Manual: Diagnosis of Tuberculosis Disease. 2012.

14. Persatuan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan

Tuberkulosis di Indonesia. 2011.

Anda mungkin juga menyukai