Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

ASMA BRONKIALE

Disusun oleh:

Farah Eka Salsabela, dr.

Dokter Pendamping:
Ferry Fadilah, dr.
Murniati, dr.

Disusun Dalam Rangka Mengikuti Kegiatan Internsip Dokter Indonesia Periode


Februari 2019 s/d Februari 2020 di RSUD Malingping
Lebak – Banten
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien

Nama Pasien : Ny. A

Usia : 49 tahun

Alamat : Kp. Bolang, Desa Cipeundeuy

Pekerjaan : Guru

Agama : Islam

Pendidikan : S1

Status Pernikahan : Sudah menikah

Tanggal Masuk RS : 15 Agustus 2019

1.2. Anamnesis

Keluhan Utama: Sesak nafas

Anamnesis Khusus:

Pasien datang ke IGD RSUD Malingping dengan keluhan sesak nafas sejak 3

hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan dirasakan setelah pasien mengikuti kegiatan

studi wisata. Keluhan dirasakan sebanyak 3-4 kali/hari. Sesak nafas terutama dirasakan

saaat pasien kelelahan. Keluhan disertai batuk berdahak. Keluhan disertai nyeri ulu hati

dan mual. Keluhan tidak disertai demam ataupun pilek. Keluhan tidak disertai muntah.

BAB dan BAK normal.


Pasien sebelumnya pernah mengalami keluhan serupa pada 3 bulan yang lalu

dan sempat dirawat di RSUD Malingping. Setelah dirawat, pasien merasa sudah

sembuh. Riwayat hipertensi dan diabetes mellitus tipe II tidak ada. Riwayat penyakit

asma ada sejak pasien masih kecil. Terdapat keluarga yang mengalami keluhan serupa,

yaitu ibu pasien.

1.3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalisata

Keadaan Umum: Tampak sakit sedang

Kesadaran: Compos mentis (GCS: 15)

Tanda-Tanda Vital

TD: 138/90 mmHg R: 32 x/menit

N: 104 x/menit S: 37.00C

Kepala

Normocephali

Mata

Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

THT

Dalam batas normal

Leher

KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak membesar

JVP dalam batas normal

Trakea tidak memgalami deviasi

Toraks

Bentuk dan gerak simetris, retraksi tidak ada


Cor

S1S2 normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo

Bising nafas dasar vesikuler, rhonki -/-, wheezing +/+

Abdomen

Datar lembut

Hepar tidak teraba, lien tidak teraba

BU (+) normal

NTE (+), NL (-), PS (-)

Ekstremitas

Akral hangat, sianosis (-), CRT <2 detik, edema (-)

1.4. Diagnosis

Asma Bronkiale Eksaserbsai Akut

1.5. Tatalaksana

Medikamentosa

IVFD RL 500 cc + Aminofilin 1 amp/8 jam

O2 nasal canule 3 lpm

Metilprednisolon 3x16 mg PO

Omeprazole 1x40 mg IV

Bromhexin 3x1 PO

CTM 3x4 mg PO

Deksametason 3x1 PO
Non Medikamentosa

Edukasi pada pasien untuk mengonsumsi obat-obatan secara teratur

Edukasi pada keluarga pasien untuk memantau asupan makanan pada pasien

Diet TKTP (Tinggi Karbohidrat Tinggi Protein)

1.6. Prognosis

Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Etiologi

Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik: 1) Obstruksi saluran napas

yang reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara spontan

maupun dengan pengobatan; 2) Inflamasi saluran napas; 3) Peningkatan respons

saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas). Obstruksi saluran napas

ini memberikan gejala-gejala asma seperti batuk, mengi, dan sesak napas. Penyempitan

saluran napas pada asma dapat terjadi secara bertahap, perlahan-lahan dan bahkan

menetap dengan pengobatan tetapi dapat pula terjadi mendadak, sehingga menimbulkan

kesulitan bernapas yang akut. Derajat obstruksi ditentukan oleh diameter lumen saluran

napas, dipengaruhi oleh edema dinding bronkus, produksi mukus, kontraksi dan

hipertrofi otot polos bronkus.1

2.2. Epidemiologi

Umurnnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa. Di Indonesia

prevalensi asma berkisar antara 5 -7%.1

2.3. Faktor Risiko


Multi faktorial; status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Semakin

berat saat terpapar allergen; debu, tungau, hewan, jamur, bahan kimia aerosol, asap
rokok, obat (aspirin, penyekat B), olah raga, polen, infeksi pernafasan, stress

emosional.1

2.4. Klasifikasi

2.4.1. Berdasarkan derajat berat serangan asma akut

2.4.2. Berdasarkan derajat kekerapan


2.4.3. Berdasarkan derajat kendali

2.5. Patogenesis dan Patofisiologi


Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi

berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel.

Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus

inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat

asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan

pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma

yang dicetuskan aspirin.2


Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain

alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas

reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat. Alergen

akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast

Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan

newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan

kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi ini timbul antara

6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil,

sel T CD4+, neutrofil dan makrofag. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi

kronik. Sel tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblast

dan otot polos bronkus. Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+

subtipe Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan

mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4

berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi

sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi,

aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Sel epitel yang teraktivasi

mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi

membran markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau

khemokin. Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya

masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule

protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease

sel epitel. Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak

spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam

keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah

sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain
LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi

dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yangmengandung granul

protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil

peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel

saluran napas. Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi.

Cross-linking reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast yang

mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated

mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan

sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF. Makrofag dapat

menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin.

Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway

remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresi growthpromoting factors untuk

fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-. Proses inflamasi kronik pada asma akan

menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses

penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian

selsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan

regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama

dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang

menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam

proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan

struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui

dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan

proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel

sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau

perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot
polos dan kelenjar mukus. Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses

inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling,

juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks

interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot

polos, kelenjar mukus.2

2.6. Gambaran Klinis

Karakteristik gejala asma adalah adanya serangan episodik mengi, sesak napas,

dan batuk yang bervariasi, dapat muncul secara spontan maupun dengan berjalannya

terapi. Gejala dapat memburuk pada malam hari dan pasien biasanya bangun pagi buta.

Pasien dapat mengeluhkan kesulitan bernapas dengan gejala tidak jelas seperti rasa

berat di dada. Awalnya batuk tanpa disertai sekret, namun terjadi peningkatan produksi

mukus kental yang sulit dikeluarkan, meningkatnya laju napas & ada penggunaan otot

tambahan dalam pernapasan. Gejala prodromal dapat mendahului serangan, dengan

gatal di bawah dagu, rasa tidak nyaman di antara skapula, atau perasaan takut.2

Ronkhi pada fase inspirasi & ekspirasi dapat ditemukan di seluruh lapang paru,

dapat ditemukan juga hiperinflasi. Pada beberapa pasien, terutama anak-anak, ada yang

gejalanya hanya batuk tanpa disertai dahak atau mengi, dikenal dengan istilah cough-

variant asthma. Bila hal ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum

dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.2

Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala

asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus
non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas maupun

perubahan cuaca.2

2.7. Diagnosis

2.7.1. Riwayat Penyakit/Gejala:

1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan

2. Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada dan berdahak

3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari

4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu

5. Respon terhadap pemberian bronkodilator3

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit:3

 Riwayat keluarga (atopi)

 Riwayat alergi/atopi

 Penyakit lain yang memberatkan

 Perkembangan penyakit dan pengobatan3

2.7.2. Pemeriksaan Fisik

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat

normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi

pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun

pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan nafas. Pada

keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran nafas, edema, dan hipersekresi dapat

menyumbat saluran; maka sebagai kompensasi penderita bernafas pada volume paru

yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran nafas. Hal itu meningkatkan
kerja pernafasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak nafas, mengi, dan

hiperinflasi.3

Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa.

Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang

sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara,

takikardi, hiperinflasi, dan penggunaan otot bantu nafas.3

2.8. Diagnosis Banding

Dewasa:

1. PPOK

2. Bronkitis kronik

3. Gagal jantung kongestif

4. Batuk kronik akibat lain-lain

5. Obstruksi mekanis (misal tumor)

6. Emboli paru3

Anak :

1. Benda asing di saluran nafas

2. Laringotrakeomalasia

3. Pembesaran kelenjar limfe

4. Tumor

5. Stenosis trakea

6. Bronkiolitis3
2.9. Penalatalaksanaan

Berdasarkan patogenesis asma, strategi pengobatan yang diberikan dapat

ditinjau dari berbagai pendekatan, seperti:4

2.9.1. Mencegah Ikatan Alergen-IgE

1. Mencegah ikatan alergen dengan cara menghindari alergen atau dengan

hiposensitisasi.

2. Mencegah pelepasan mediator

Antara lain dengan pemberian anticholinergic, agonis beta 2, maupun teofilin.

3. Melebarkan saluran nafas dengan bronkodilator.4

Simpatomimetik merupakan obat pilihan untuk serangan asma akut adalah

agonis beta 2, dapat diberikan secara inhalasi atau nebulizer. Aminofilin dapat

digunakan pada serangan asma akut. Kortikosteroid bukan merupakan golongan

bronkodilator, tetapi secara tidak langsung dapat melebarkan saluran nafas.

Kortikosteroid digunakan pada serangan asma akut atau terapi pemeliharaan. Selain

itu, terdapat pula antikolinergik.4

2.9.2. Pengobatan:

Berdasarkan fungsinya, obat asma dibagi menjadi:4

a. Pencegah (controller)
Adalah obat yang dipakai setiap hari dalam jangka panjang untuk menjaga

agar gejala asma tetap terkendali melalui efek anti inflamasi obat. Termasuk

golongan ini antara lain glukokortikoid inhalasi dan sistemik, leukotriene modifiers,

beta 2 agonis inhalasi kerja panjang dikombinasikan dengan Glukokortikoid, teofilin

lepas lambat, kromon, dan anti IgE. Glukokortikoid inhalasi adalah pengobatan

pencegah yang paling efektif saat ini.4

b. Penghilang gejala (reliever)

Adalah obat yang dipakai sesuai kebutuhan, yaitu untuk mengurangi

bronkokonstriksi dan menghilangkan gejala-gejala asma dengan segera. Termasuk

golongan ini adalah beta 2 agonis inhalasi kerja cepat, antikolinergik inhalasi, teofilin

kerja cepat, dan beta 2 agonis oral kerja cepat.4

Menilai kontrol asma merupakan tindakan yang penting untuk menentukan

pengobatan yang akan kita berikan. Setelah menilai status kontrol asma pada pasien,

pengobatan yang diberikan meliputi reliever untuk menangani gejala akut yang

terjadi dan controller, untuk menjaga gejala dan serangan terjadi.4

Untuk sebagian besar pasien yang baru didiagnosis, pengobatan biasanya

dimulai pada step 2 (atau bila gejala sangat berat, step 3). Bila asma tidak terkontrol

dengan regimen yang diberikan, dapat dinaikkan stepnya.4


Pasien yang tidak bisa dikontrol asmanya dengan step 4 dapat dipikirkan

sebagai asma yang sulit diobati. Pada pasien ini dapat dilakukan kontrol yang sebisa

mungkin dengan sedikit pembatasan terhadap aktivitas fisik sehari – hari.4

Pengobatan inhalasi lebih dipilih karena penghantaran obat yang langsung ke

jalan nafas sehingga dapat mencapai efek terapi dengan efek samping yang minimal.

Penggunaan inhaler juga harus diajarkan kepada pasien sehingga pasien dapat

mengontrol asmanya dengan baik.4

2.9.3. Monitoring untuk Mempertahankan Kontrol

Monitoring yang terus menerus penting untuk menjaga kontrol dan

menegakkan step yang lebih rendah dan dosis pengobatan untuk meminimalisir biaya

dan memaksimalkan keamanan.4

Secara tipikal, pasien perlu datang satu hingga tiga bulan setelah kunjungan

pertama dan tiga bulan sekali setelahnya. Setelah eksaserbasi, follow up harus

dilakukan dalam 2 minggu hingga 1 bulan.4

2.9.4. Menyesuaikan Pengobatan

 Bila asma tidak terkontrol, step up pengobatan. Perkembangan secara umum

terjadi selama 1 bulan, namun harus ditinjau pula teknik medikasi, kepatuhan,

dan penghindaran terhadap faktor risiko.4


 Bila asma sebagian terkontrol, pikirkan untuk meningkatkan step pengobatan

tergantung apakah ada pilihan yang lebih efektif, keamanan, dan harga obat,

serta kepuasan tingkat kontrol pasien yang dicapai.4

 Bila kontrol terjadi selama minimal 3 bulan, step down secara bertahap.

Tujuannya adalah untuk menggunakan obat sesedikit mungkin untuk

mempertahankan kontrol.4

Monitoring harus tetap dilakukan setelah kontrol tercapai karena asma

merupakan penyakit yang variabel. Pengobatan harus selalu disesuaikan dengan

respon ataupun tingkat kontrol pasien.4

2.9.5. Mengatasi Eksaserbasi

Eksaserbasi asma (serangan asma) merupakan episode peningkatan sesak

nafas yang progresif, batuk, mengi, atau chest tightness atau kombinasi dari gejala –

gejala ini. Asma berat dapat mengancam jiwa sehingga penanganannya harus

diperhatikan dengan baik. Pasien dengan resiko tinggi asma yang berhubungan

dengan kematian memerlukan perhatian yang lebih dan harus dipacu untuk mencari

pertolongan bila terjadi serangan. Pasien – pasien tersebut di antaranya adalah:4

 Dengan riwayat asma yang fatal sehingga memerlukan intubasi dan ventilasi

mekanik

 Yang dirawat atau datang ke UGD karena asma dalam 1 tahun terakhir
 Yang sekarang sedang menggunakan atau baru berhenti menggunakan

glukokortikoid oral

 Yang sedang tidak menggunakan inhalasi glukokortikoid

 Yang bergantung secara berlebihan terhadap β2 agonist inhalasi kerja cepat

terutama yang menggunakan lebih dari 1 tabung salbutamol setiap bulannya

 Dengan riwayat penyakit psikiatri atau masalah psikososial terutama

pengguna sedatif

 Dengan riwayat kepatuhan yang kurang terhadap pengobatan asma.4

Pasien harus segera mencari pertolongan medis bila:4

 Serangan yang terjadi berat:

- Pasien sesak saat beristirahat, membungkukkan badan ke depan, berbicara

dalam beberapa kata, agitasi, bingung, bradikardia, atau pernafasan > 30

x/menit.

- Mengi keras ataupun tidak ada

- Nadi lebih dari 120 x/menit

- PEF kurang dari 60% nilai yang diprediksi, walaupun telah diterapi inisial

- Pasien kelelahan

 Respon terhadap pengobatan dengan bronkodilator inisial tidak berhasil dan

masih berlangsung setidaknya 3 jam

 Tidak ada kemajuan dalam 2 – 6 jam setelah meminum glukokortikoid oral


 Terjadi perburukan4

Serangan asma memerlukan pengobatan yang tepat:4

 β2 – agonist inhalasi kerja cepat (dimulai dengan 2 – 4 puff setiap 20 menit

untuk 1 jam pertama, serangan ringan 2 – 4 puff setiap 3 – 4 jam, dan

serangan sedang 6 – 10 puff setiap 1 – 2 jam)

 Glukokortikoid oral (0,5 – 1,0 mg prednisolon / kgBB selama 24 jam) pada

serangan sedang dan berat untuk mengurangi inflamasi dan mempercepat

penyambuhan

 Oksigen diberikan bila saturasi O2 kurang dari 95%

 Kombinasi β2 – agonist dengan antikolinergik berhubungan dengan angka

perawatan di rumah sakit yang lebih rendah dan perkembangan PEV dan

FEV1 yang lebih baik.

 Methylxanthine tidak direkomendasikan bila digunakan bersama dengan β2 –

agonist inhalasi. Walaupun demikian, Teofilin dapat digunakan bila β2 –

agonist inhalasi tidak tersedia. Bila pasien mengkonsumsi Teofilin,

konsentrasi serum harus diukur sebelum menambahkan Teofilin kerja cepat.4


DAFTAR PUSTAKA

1. Jennifer Y. So, Albert J. Mamary, Kartik Shenoy. Asthma: Diagnosis and

Treatment. European Medical Journal. 2018.

2. Jaclyn Quirt, Kyla J. Hildebrand, Harold Kim et all. Asthma. PubMed Central.

2018.

3. Mary Spitak Bilitski MSN, RN, Sally Wenzel MD; Cathy Vitari BSN, RN AE-C.

Patient Information Series: What is Asthma. American Thoracic Society. 2018.

4. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and

Prevention. 2018.

Anda mungkin juga menyukai