Anda di halaman 1dari 71

Diskusi Kasus

BORANG PORTOFOLIO
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

“Tumor Mediastinum + TB Paru on Therapy”

Oleh:

dr. Muhammad Reyhan

Pembimbing:
dr. Alpian, Sp.PD-KKV

Wahana:
RSUD Siti Fatimah
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA
MANUSIA KESEHATAN
2020

1
LEMBAR PERSETUJUAN

TUMOR MEDIASTINUM + TB Paru on THERAPY


Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Dokter Internsip di RSUD Siti
Fatimah Palembang

Diajukan oleh :
dr. Muhammad Reyhan

Menyetujui,
Dokter Pembimbing

dr. Alpian, Sp.PD-KKV

Mengetahui,
Dokter Pendamping

dr. Rachmat Taufan

2
FORM PENILAIAN PRESENTASI KEGIATAN ILMIAH

Pada hari rabu, januari 2021 telah dilaksanakan Presentasi Kegiatan Ilmiah dalam rangka untuk
menyelesaikan Program Dokter Internsip di RSUD Siti Fatimah Palembang, menerangkan bahwa :

Hasil Nilai Presentasi Akhir

Palembang, Januari, 2021


Dokter Pembimbing,

dr. Alpian, Sp.PD-KKV.

3
BAB I
PENDAHULUAN

Mediastinum adalah suatu bagian penting dari thorax. Mediastinum terletak di antara kavita
pleuralis dan mengandung banyak organ penting dan struktur vital. Proes penting yang melibatkan
mediastinum mencakup emfisema, infeksi, perdarahan serta banyak jenis kista dan tumor primer.
Kelainan sistemik seperti karsinoma metastatic dan banyak penyakit granulomatosa juga bisa terlibat
dalam mediastinum. Lesi terutama berasal dari esophagus, trakea, jantung dan pembuluh darah besar
biasanya berhubungan dengan susunan organik spesifik yang terlibat daripada mediastinum.
Di dalam Mediastinum terdapat banyak macam kelainan kongenital dan pembengkakan.
Karena pertumbuhannya yang sering lambat tumor mediastinum biasanya lambat memberikan keluhan
mekanik. Keluhan ini kemudian menimbulkan kecurigaan akan malignancy.
Dari tumor mediastinal yang memberikan gejala, setengahnya adalah maligna. Sebagian besar
tumor yang asimptomatik adalah benigna.
Diagnosis yang lebih dini dan lebih tepat dari proses mediastinum telah dimungkinkan dengan
peningkatan penggunaan rontgen dada, tomografi komputerisasi (CT Scan), teknik sidik radioisotope
dan magnetic resonance imaging (MRI), serta telah memperbaiki keberhasilan dalam mengobati lesi
mediastinum. Bersama dengan kemajuan dalam teknik diagnostik ini, kemajuan dalam anestesi,
kemoterapi, immunoterapi, dan terapi radiasi telah meningkatkan kelangsungan hidup serta
memperbaiki kualitas hidup.
Tuberculosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan barteri
Mycobacterium tuberculosis dapat menyerang berbagai organ terutama paru-paru. Penderita dapat
menyebarkan bakteri Mycobacterium tuberculosis ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Infeksi dapat tertular saat droplet terhirup ke dalam saluran pernafasan. Bakteri TB mudah mati dengan
sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap, lembab, atau
pada suhu kamar. Penyakit ini jika tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas maka dapat
menimbulkan komplikasi berbahaya hingga menyebabkan kematian.
Angka prevalensi TB pada tahun 2014 sebesar 647/100.000 penduduk, jumlah ini meningkat
dibanding dengan tahun sebelumnya yaitu 272/100.000 penduduk, pada tahun 2014 insidensi penyakit
ini sebesar 399/100.000 penduduk, hasil ini meningkat dibanding tahun 2013 yaitu sebesar
4
183/100.000 penduduk, demikian juga dengan angka mortalitas pada tahun 2014 sebesar 41/100.000
penduduk dari sebelumnya 25/100.000 penduduk.1 World Health Organization (WHO) pada tahun
1993 mengumumkan keadaan darurat global untuk Tuberkulosis dikarenakan peningkatan yang stabil
di seluruh dunia. Merujuk pada Global Tuberculosis Report 2017 diperkirakan terdapat 10.4 juta
kasus baru TB Paru dan 1.8 juta meninggal karena TB Paru di dunia, dimana 6.7 juta (65%) kasus
pada laki-laki, dan 3.6 juta (35%) kasus pada perempuan, serta 1 juta (10%) kasus diantaranya adalah
pasien TB dengan HIV Positif.
Efusi pleura adalah penimbunan cairan didalam rongga pleura akibat transudasi atau eksudasi
yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi
merupakan tanda suatu penyakit. Akibat adanya carian yang cukup banyak dalam rongga pleura, maka
kapasitas paru akan berkurang dan di samping itu juga menyebabkan pendorongan organ-organ
mediastinum, termasuk jantung. Hal ini mengakibatkan insufisiensi pernafasan dan juga dapat
mengakibatkan gangguan pada jantung dan sirkulasi darah.
Di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis
hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negara-negara yang sedang berkembang, seperti
Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis. Efusi pleura keganasan merupakan salah satu
komplikasi yang biasa ditemukan pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru
dan kanker payudara. Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada sekitar 50-
60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik. Sementara 5% kasus mesotelioma (keganasan
pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan
mengalami efusi pleura. Diperlukan penatalaksanaan yang baik dalam menanggulangi efusi pleura ini,
yaitu pengeluaran cairan dengan segera serta pengobatan terhadap penyebabnya sehingga hasilnya
akan memuaskan.

5
BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. LEP
No. RM : 00-01-11-29
Tanggal lahir : 10 Januari 1998
Usia : 22 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 53 kg
Tinggi Badan : 171 cm
Alamat : Dusun II Desa Penggage
Masuk RS : 14 Desember 2020

2.2 Anamnesis
- Keluhan Utama
Sesak nafas
- Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas sejak 4 hari SMRS. Sesak dirasakan memberat
saat pasien batuk. Batuk juga disertai bercak darah sejak 1 minggu SMRS. Os juga mengeluh
adanya penurunan berat badan, terutama dalam sebulan terakhir sebanyak 7 Kg. Os
mengatakan adanya riwayat demam 1 minggu SMRS. Selama 1 bulan SMRS, Os mengatakan
adanya penurunan nafsu makan, keringat berlebihan saat malam hari, dan batuk dirasakan lebih
sering pada saat malam hari. Os telah berobat ke RS Hermina dan dirawat selama 3 hari lalu
dipulangkan, namun keluhan kembali muncul dan Os berobat ke IGD RSUD Siti Fatimah

- Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak didapatkan riwayat keluhan serupa sebelumnya.

6
- Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak didapatkan keluarga dengan keluhan serupa. Riwayat diabetes melitus, hipertensi,
sakit jantung, ginjal dan liver di keluarga disangkal.

- Riwayat Pengobatan
Saat Os dirawat di RS Hermina, os diberi OAT kategori 1.

- Riwayat Kelahiran
Pasien lahir ditolong oleh bidan. Pasien lahir secara spontan dengan presentasi kepala.
Pasien lahir cukup bulan dengan usia kehamilan 39 minggu, lahir langsung menangis, sesak (-),
sianosis (-), ikterik (-), kejang (-). Berat badan lahir pasien 3000 gram, panjang badan 48 cm.

- Riwayat Sosial dan Ekonomi


Pasien merupakan anak pertama Ibu pasien berusia 43 tahun berkerja sebagai ibu rumah
tangga dan ayah pasien berusia 49 tahun berkerja sebagai karyawan swasta.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
BB : 53 kg
TB : 171 cm
Tanda Vital
Tekanan Darah : 103/56 mmHg
Nadi : 93x/menit reguler
Laju nafas. : 26 x/menit
Suhu : 36,3oC
SpO2 : 98%

7
Status Generalis
Kepala : : Bentuk Normocephalus
Mata : : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Hidung : : Sekret (-), perdarahan (-) napas cuping hidung (-)
Mulut : : Mukosa bibir kering (-)
Tenggorokkan : : Faring hiperemis (+), tonsil T1-T1, nodul (-), edema (-)
Leher : : JVP (5-2)cm H2O, Pembesaran KGB (-),
Paru : : Gerakan dinding dada tidak simetris, dada kiri tertinggal, stem
fremitus kiri > kanan, perkusi pekak pada paru kiri, suara napas
vesikular +/-, rhonki +/-, wheezing -/-
Jantung : : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-), batas jantung tidak dapat
dinilai
Abdomen : : Datar, BU (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : : Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik

2.4 Diagnosis Banding


 Ca Paru
 Tumor Mediastinum
8
2.5 Diagnosis Kerja
 TB Paru on Therapy
 Efusi Pleura Masif
 Susp, Massa Paru

2.6 Tatalaksana
Farmakologis:
- IVFD RL gtt 5 x/m (makro)
- Inj. Ceftriaxone 1x 2g IV
- Azitromicin 500kg 1x PO
- Acetyl Cystein 600mg 1x PO
- OAT Kategori 1 3 Tab 4KDT

Non-Farmakologis:
- Oksigen Nasal Canule 5 Lpm

Diet:
Diet TKTP
Monitoring:
Observasi KU, tanda vital.
Observasi hasil laboratorium.

2.6 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
FOLLOW UP
Tanggal CATATAN KEMAJUAN (S/O/A) RENCANA TATALAKSANA
14-12-2020 S : pasien sesak dan batuk - IVFD RL gtt 5 x/m (makro)
9
IGD RSSF O : Keadaan tampak lemah, TD : - Inj. Ceftriaxone 1x 2g IV
100/70, Nadi :79 , RR : 26, T : 36.9, - Azitromicin 500kg 1x PO
SpO2 : 39 , Gerakan dinding dada - Acetyl Cystein 600mg 1x PO
tidak simetris, dada kiri tertinggal, - OAT kategori 1
stem fremitus kiri > kanan, perkusi - Tes PCR SARS-COV-2
pekak pada paru kiri, suara napas - Pemeriksaan darah lengkap
vesikular +/-, rhonki +/-, wheezing - Rontgen Thorax
-/-, batas jantung tidak dapat dinilai - CT-Scan Thorax
A:
- TB Paru on Therapy
- Efusi Pleura masif
- Susp. Covid-19
- Susp. Massa Paru

Hasil Radiologi

10
KESAN : Efusi pleura kiri masif, dengan kemungkinan massa paru kiri belum dapat disingkirkan.

(RSUD Siti Fatimah 14/12/2020)


PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 10.2 13 – 18
Leukosit 7860 5.000-10.000
Eritrosit 4.0 3,0 - 5,4
Trombosit 667.000 150.000-450.000
Hematokrit 31 40-52
Hitung Jenis Leukosit Segmen 68 50-70
Hitung Jenis Leukosit Monosit 11 2-8
Hitung Jenis Leukosit Limfosit 17 25-40
Hitung Jenis Leukosit Eosinofil 4 2-4
Hitung Jenis Leukosit Basofil 0 0-1
Elektrolit
Na 142 130-155
K 3,7 3,6 – 5,5
Cl 106 98 - 108

11
Gula Darah
GDS 137 80 – 120
Faal Ginjal
U 11 15 – 39
Cr 0,7 < 1,1

CT Scan Throax non Contrast:


- Tumor mediastinum yang menekan parenkim lobus paru superior pulmo sinistra dan struktur
aorta, trakea, dan cor ke arah dextra, efusi pleura sinistra serta suspek infiltrasi ke dinding
thorax anterior, mengarah gambaran matur teratoma dd/ mixed germ cell tumor dengan
transformasi maligna
- Lymphadenopati mediastinum
- Tak tampak gambaran massa maupun metastasis pada window tulang yang tervisualisasi

15-12- 2020 S : pasien sesak dan batuk - IVFD RL gtt 5 x/m (makro)
O : Keadaan tampak lemah, TD : - Inj. Ceftriaxone 1x 2g IV
100/60, Nadi : 81 , RR : 26, T : - Azitromicin 1x500kg PO
36.8, SpO2 : 98, Gerakan dinding - OAT kategori 1
dada tidak simetris, dada kiri - Acetyl Cystein 1x600mg PO
tertinggal, stem fremitus kiri > - Follow up hasil swab 2
kanan, perkusi pekak pada paru
kiri, suara napas vesikular +/-,
rhonki +/-, wheezing -/-, batas
jantung tidak dapat dinilai
A:
- TB Paru
- Susp. Covid-19
- Susp. Massa Paru

RSUD Siti Fatimah 15/12/2020)


HASIL PEMERIKSAAN PCR SARS-COV-2
12
TANGGAL PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN HASIL PEMERIKSAAN

15/12/2020 Sampel I SARS-COV-2 Negatif SARS-COV-2

16-12- 2020 S : pasien sesak dan batuk - IVFD RL gtt 5 x/m (makro)
O : Keadaan tampak lemah, TD : - Inj. Ceftriaxone 1x 2g IV
100/70, Nadi : 78, RR : 25, T : 36.7, - Azitromicin 1x500kg PO
SpO2 : 98, Gerakan dinding dada - OAT kategori 1
tidak simetris, dada kiri tertinggal, - Acetyl Cystein 1x600mg PO
stem fremitus kiri > kanan, perkusi
pekak pada paru kiri, suara napas
vesikular +/-, rhonki +/-, wheezing
-/-, batas jantung tidak dapat dinilai
A:
- TB Paru on Therapy
- Susp. Massa Paru

RSUD Siti Fatimah 16/12/2020)


HASIL PEMERIKSAAN PCR SARS-COV-2
TANGGAL PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN HASIL PEMERIKSAAN

16/12/2020 Sampel I SARS-COV-2 Negatif SARS-COV-2

17-12-2020 S : pasien sesak dan batuk - IVFD RL gtt 5 x/m (makro)


O : Keadaan tampak lemah, TD : - Inj. Ceftriaxone 1x 2g IV
13
100/70, Nadi : 77, RR : 25, T : 36.5, - Azitromicin 1x500kg PO
SpO2 : 98, Gerakan dinding dada - OAT kategori 1
tidak simetris, dada kiri tertinggal, - Acetyl Cystein 1x600mg PO
stem fremitus kiri > kanan, perkusi
pekak pada paru kiri, suara napas
vesikular +/-, rhonki +/-, wheezing
-/-, batas jantung tidak dapat dinilai
A:
- TB Paru on Therapy
- Susp. Massa Paru
18-12-2020 S : pasien sesak dan batuk - IVFD RL gtt 5 x/m (makro)
O : Keadaan tampak lemah, TD : - Inj. Ceftriaxone 1x 2g IV
100/70, Nadi : 79, RR : 25, T : 36.7, - Azitromicin 1x500kg PO
SpO2 : 99, Gerakan dinding dada - OAT kategori 1
tidak simetris, dada kiri tertinggal, - Acetyl Cystein 1x600mg PO
stem fremitus kiri > kanan, perkusi
pekak pada paru kiri, suara napas
vesikular +/-, rhonki +/-, wheezing
-/-, batas jantung tidak dapat dinilai
A:
- TB Paru on Therapy
- Susp. Massa Paru
19-12-2020 S : pasien sesak dan batuk - IVFD RL gtt 5 x/m (makro)
O : Keadaan tampak lemah, TD : - Inj. Ceftriaxone 1x 2g IV
100/70, Nadi : 80, RR : 25, T : 36.6, - Azitromicin 1x500kg PO
SpO2 : 99, Gerakan dinding dada - OAT kategori 1
tidak simetris, dada kiri tertinggal, - Acetyl Cystein 1x600mg PO
stem fremitus kiri > kanan, perkusi
pekak pada paru kiri, suara napas
vesikular +/-, rhonki +/-, wheezing

14
-/-, batas jantung tidak dapat dinilai
A:
- TB Paru on Therapy
- Susp. Massa Paru
20-12-2020 S : pasien sesak dan batuk - IVFD RL gtt 5 x/m (makro)
O : Keadaan tampak lemah, TD : - Acetyl Cystein 1x600mg PO
110/70, Nadi : 79, RR : 24, T : 36.5, - OAT kategori 1
SpO2 : 99, Gerakan dinding dada
tidak simetris, dada kiri tertinggal,
stem fremitus kiri > kanan, perkusi
pekak pada paru kiri, suara napas
vesikular +/-, rhonki +/-, wheezing
-/-, batas jantung tidak dapat dinilai
A:
- TB Paru on Therapy
- Susp. Massa Paru
21-12-2020 S : pasien sesak dan batuk - IVFD RL gtt 5 x/m (makro)
O : Keadaan tampak lemah, TD : - Acetyl Cystein 1x600mg PO
110/70, Nadi : 79, RR : 25, T : 36.6, - OAT kategori 1
SpO2 : 99, Gerakan dinding dada - Rencana pemeriksaan Probe
tidak simetris, dada kiri tertinggal, Puncture paru
stem fremitus kiri > kanan, perkusi - Pemeriksaan Alfa-feto Protein
pekak pada paru kiri, suara napas - Pemeriksaan LDH
vesikular +/-, rhonki +/-, wheezing
-/-, batas jantung tidak dapat dinilai
A:
- TB Paru on Therapy
- Susp. Massa Paru
22-12-2020 S : pasien sesak dan batuk - IVFD RL gtt 5 x/m (makro)
O : Keadaan tampak lemah, TD : - Acetyl Cystein 1x600mg PO
110/70, Nadi : 79, RR : 24, T : 36.3, - OAT kategori 1
15
SpO2 : 99, Gerakan dinding dada - Pemeriksaan Urid Acid
tidak simetris, dada kiri tertinggal,
stem fremitus kiri > kanan, perkusi
pekak pada paru kiri, suara napas
vesikular +/-, rhonki +/-, wheezing
-/-, batas jantung tidak dapat dinilai
A:
- Tumor Mediastinum
- TB Paru on Therapy

(RSUD Siti Fatimah 22/12/2020)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL

LDH 266.31 207 - 414


Alpha-fetoprotein 2278.36 0 – 2 men and nonprognant women
15 weeks pregnant : 32-80
16 weeks pregnant : 39-97
(RSUD Siti Fatimah 22/12/2020)
Pemeriksaan Probe Puncture
Hasil: tidak didapatkan cairan
23-12-2020 S : pasien sesak dan batuk - IVFD RL gtt 5 x/m (makro)
O : Keadaan tampak lemah, TD : - Acetyl Cystein 1x600mg PO
110/70, Nadi : 78, RR : 25, T : 36.6, - OAT kategori 1
SpO2 : 99, Gerakan dinding dada
tidak simetris, dada kiri tertinggal,
stem fremitus kiri > kanan, perkusi
pekak pada paru kiri, suara napas
vesikular +/-, rhonki +/-, wheezing
-/-, batas jantung tidak dapat dinilai
A:

16
- Tumor Mediastinum
- TB Paru on Therapy

RSUD Siti Fatimah 23/12/2020)


PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
Urid Acid 8.2 3.5 – 7.2

24-12-2020 S : pasien sesak dan batuk - IVFD RL gtt 5 x/m (makro)


O : Keadaan tampak lemah, TD : - OAT kategori 1
110/70, Nadi : 78, RR : 25, T : 36.6, - Acetyl Cystein 600mg 1x PO
SpO2 : 99, Gerakan dinding dada - Saran: konsul Sp.B-TKV
tidak simetris, dada kiri tertinggal,
stem fremitus kiri > kanan, perkusi
pekak pada paru kiri, suara napas
vesikular +/-, rhonki +/-, wheezing
-/-, batas jantung tidak dapat dinilai
A:
- Tumor Mediastinum
- TB Paru on Therapy

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi
Mediastinum adalah satu bagian kavitas thorakis yang dibatasi di lateral oleh pleura
mediastinalis, di anterior oleh sternum dan di posterior oleh kolumna vertebralis. Mediastinum
terbentang dari diafragma di inferior sampai pintu masuk thorax di superior.

17
Mediastinum secara klasik dibagi ke dalam empat bagian. Mediastinum superior dipisahkan
dari mediastinum inferior oleh bidang yang terbentang melalui angulus sterni ke ruang intervertrebalis
keempat. Kavitas perikardialis membagi lebih lanjut mediastinum inferior menjadi mediastinum
anterior, media dan posterior. Penggunaan pembagian ini telah berhasil dalam membedakan lesi di
dalam mediastinum, karena lokasi khas banyak neoplasma di dalam mediastinum.

18
Secara anatomi, mediastinum superior mengandung tymus, trakea atas, esophagus dan arcus
aorta serta cabangnya. Mediastinum anterior berisi aspek inferior tymus maupun jaringan adiposa,
limfatik dan areola. Isi mediastinum media mencakup jantung, pericardium, nervus frenikus, bifukartio
trachea dan bronchi principalis maupun nodi limfatis trakealis dan bronkialis. Di dalam mediastinum
posterior terletak esophagus, nervus vagus, rantai saraf simpatis, duktus torasikus, aorta desendens,
system azigos dan hemiazigos serta kelenjar limfe paravertebralis maupun jaringan areola.
Lesi tertentu tak dapat dikenali dengan mudah dengan menggunakan system pembagian ini.
Timoma atau tumor teratodermoid timbul dalam aspek anterior mediastinum superior maupun
mediastinum anterior. Tumor neurogenik timbul dalam aspek posterior mediastinum superior maupun
mediastinum posterior. Sehingga cara lain untuk membagi mediastinum telah diusulkan, yang
memberikan tiga pembagian anatomi. Mediastinum posterior didefinisikan kembali sebagai ruangan
mediastinum yang terletak posterior terhadap batas posterior pericardium. Bagian anterosuperior
mengandung aspek anterior mediastinum superior maupun mediastinum anterior yang telah
didefinisikan sebelumnya.

Pembagian Mediastinum :
Pembagian mediastinum ke dalam rongga-rongga yang berbeda dapat membantu secara praktis proses
penegakan diagnosis, sedangkan pendekatan dengan orientasi system mempermudah pemahaman
pathogenesis proses patologi di mediastinum.

Pertimbangan untuk diagnosis :


 Pada umumnya kelainan yang terjadi di mediastinum adalah jinak dan asimtomatik.
 Pembagian mediastinum ke dalam rongga anterior, superior, medial dan posterior bertujuan
memudahkan dalam menegakkan diagnosis.
 Lebih dari 60% lesi pada dewasa ditmukan pada rongga anterior-superior mediastinum,
sedangkan pada anak 60% lesi ditemukan di posterior mediastinum.
 Pada 75% dewasa dan 50% anak-anak massa yang terjadi adalah jinak.
 Massa ganas yang paling umum terjadi di rongga anterior-superior adalah timoma, penyakit
Hodgin, limfoma non Hodgin, dan tumor germ cell.

19
 Neurinoma adalah tumor yang paling sering terjadi di rongga posterior dan mudah dikenal dari
bentuknya yang klasik seperti dumbbell-shaped contour).

3.2 Definisi
Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu rongga di antara
paru-paru kanan dan kiri yang berisi jantung, aorta, dan arteri besar, pembuluh darah vena besar,
trakea, kelenjar timus, saraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening dan salurannya.
Karena rongga mediastinum tidak dapat diperluas, maka pembesaran tumor dapat menekan
organ penting di sekitarnya dan dapat menganjam jiwa. Tumor mediastinum dibagi atas tumor jinak
dan tumor ganas.

20
3.3 Etiologi
Secara umum faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab tumor adalah :
A. Penyebab Kimiawi
Di berbagai negara ditemukan banyak tumor kulit pada pekerja pembersih cerobong asap. Zat
yang mengandung karbon dianggap sebagai penyebabnya.

B. Faktor Genetik (Biomolekuler)


Golongan darah A lebih tinggi 20 % berisiko menderita kanker/tumor pada lambung dari pada
golongan darah O, selain itu perubahan genetik termasuk perubahan atau mutasi dalam gen
normal dan pengaruh protein bisa menekan atau meningkatkan perkembangan tumor.

C. Faktor Fisik
Secara fisik, tumor berkaitan dengan trauma/pukulan berulang-ulang baik trauma fisik maupun
penyinaran. Penyinaran bisa berupa sinar ultraviolet yang berasal ari sinar matahari maupun
sinar lain seperti sinar X (rontgen) dan radiasi bom atom.

D. Faktor Nutrisi
Salah satu contoh utama adalah dianggapnya aflaktosin yang dihasilkan oleh jamur pada
kacang dan padi-padian sebagai pencetus timbulnya tumor.
E. Penyebab Bioorganisme
Misalnya virus, pernah dianggap sebagai kunci penyebab tumor dengan ditemukannya
hubungan virus dengan penyakit tumor pada binatang percobaan. Namun ternyata konsep itu
tidak berkembang lanjut pada manusia.
F. Faktor Hormon
Pengaruh hormon dianggap cukup besar, namun mekanisme dan kepastian peranannya belum
jelas. Pengaruh hormone dalam pertumbuhan tumor bisa dilihat pada organ yang banyak
dipengaruhi oleh hormone tersebut.

21
3.4 Patofisiologis
Sebab-sebab keganasan pada tumor masih belum jelas, tetapi virus, faktor lingkungan, faktor
hormonal dan faktor genetik semuanya berkaitan dengan risiko terjadi tumor. Permulaan terjadinya
tumor dimulai dengan adanya zat yang bersifat initiation yang merangsang permulaan terjadinya
perubahan sel. Diperlukan perangsangan yang lama dan berkesinambungan untuk memicu timbulnya
penyakit tumor.
Initiati agent biasanya bisa berupa unsur kimia, fisik atau biologis yang berkemampuan beraksi
langsung dan merubah struktur dasar dari komponen genetic (DNA). Keadaan selanjutnya akibat
keterpaparan yang lama ditandai dengan berkembangnya neoplasma dengan terbentuknya formasi
tumor. Hal ini dapat berlangsung lama, mingguan bahkan sampai tahunan.

3.5 Kista dan Tumor Primer Mediastinum


Banyak jenis jaringan dan susunan organ yang ada di dalam mediastinum menimbulkan
sejumlah neoplasma yang berbeda secara histologi. Di samping itu, banyak kelenjar limfe yang ada di
dalam mediastinum, dan bisa terlibat dalam sejumlah penyakit sistemik, seperti karsinoma metastatik,
kelainan granulomatosa, infeksi dan kelainan jaringan ikat.
Tumor primer dan kista memberikan banyak variasi tanda dan gejala klinis. Riwayat alamiah
kista dan tumor mediastinum bervariasi dari pertumbuhan jinak yang lambat dengan gejala minimum
sampai neoplasma invasive yang agresif yang bermetastasis luas dan cepat menyebabkan kematian.
Kemajuan dalam teknik diagnostik dan peningkatan penggunaan rontgenografi thorax yang
rutin telah memungkinkan diagnosis dini tumor ini. Karena eksisi bedah telah terbukti berhasil
menyembuhkan lesi jinak dan ganas, serta dengan peningkatan penggunaan radiasi dan kemoterapi
multiobat yang berhasil dalam terapi sejumlah lesi ganas lain, maka observasi massa mediatinum tanpa
diagnosis histologik yang tepat, jarang dapat diterima.
Walaupun massa mediastinum jarang ditemukan dalam praktek rutin, namun peningkatan jelas
dalam insidensinya dan kemampuan untuk memberikan terapi efektif menekankan kepentingan
pemahaman sifat klinis kista dan tumor primer ini. Seri yang dikumpulkan dari 2399 pasien
memperlihatkan insidensi relative timbulnya neoplasma spesifik di dalam mediastinum.

22
Walaupun timbul perbedaan dalam insidens, dengan memperhatikan lesi spesifik di antara seri,
namun jelas bahwa neoplasma tertentu lebih sering didiagnosis dibandingkan yang lain. Di samping
itu, kebanyakan neoplasma mediastinum sering timbul pada lokasi khas di dalam mediastinum.
Lesi mediastinum anterosuperior yang paling mungkin adalah neoplasma timus, limfoma atau
tumor sel benih. Lesi mediastinum media yang paling sering adalah kista pericardial atau bronkogenik,
karsinoma primer, limfoma atau timoma. Tumor neurogenik, kista bronkogenik atau enteric dan lesi
mesenkimal merupakan neoplasma tersering yang ditemukan pada mediastinum posterior.

3.6 Gejala
Sebagian besar pasien tumor mediastinum akan memperlihatkan gejala pada waktu presentasi
awal. Kebanyakan kelompok melaporkan bahwa antara 56 dan 65 persen pasien menderita gejala pada
waktu penyajian, dan penderita dengan lesi ganas jauh lebih mungkin menunjukkan gejala pada waktu
presentasi. Tetapi, dengan peningkatan penggunaan rontgenografi dada rutin, sebagian besar massa
mediastinum terlihat pada pasien yang asimtomatik. Adanya gejala pada pasien dengan massa
mediastinum mempunyai kepentingan prognosis dan menggambarkan lebih tingginya kemungkinan
neoplasma ganas.
Massa mediastinum bisa ditemukan dalam pasien asimtomatik, pada foto thorax rutin atau bisa
menyebabkan gejala karena efek mekanik local sekunder terhadap kompresi tumor atau invasi struktur
mediastinum. Gejala sistemik bisa non spesifik atau bisa membentuk kompleks gejala yang sebenarnya
patogmonik untuk neoplasma spesifik.
Keluhan yang biasanya dirasakan adalah :
 Batuk atau stridor karena tekanan pada trachea atau bronchi utama.
 Gangguan menelan karena kompresi esophagus.
 Vena leher yang mengembang pada sindroma vena cava superior.
 Suara serak karena tekanan pada nerves laryngeus inferior.
 Serangan batuk dan spasme bronchus karena tekanan pada nervus vagus.

Walaupun gejala sistemik yang samar-samar dari anoreksia, penurunan berat badan dan
meningkatnya rasa lelah mungkin menjadi gejala yang disajikan oleh pasien dengan massa

23
mediastinum, namun lebih lazim gejala disebabkan oleh kompresi local atau invasi oleh neoplasma
dari struktur mediastinum yang berdekatan.
Nyeri dada timbul sekunder terhadap kompresi atau invasi dinding dada atau nervus
interkostalis. Nyeri dada timbul paling sering pada tumor mediastinum anterosuperior. Nyeri dada
yang serupa biasanya disebabkan oleh kompresi atau invasi dinding dada posterior dan nervus
interkostalis. Kompresi batang trakhebronkhus biasanya memberikan gejala seperti dispneu, batuk,
pneumonitis berulang atau gejala yang agak jarang yaitu stridor.
Keterlibatan esophagus bisa menyebabkan disfagia atau gejala obstruksi. Keterlibatan nervus
laringeus rekuren, rantai simpatis atau plekus brakhialis masing-masing menimbulkan paralisis plika
vokalis, sindrom Horner dan sindrom Pancoast. Tumor mediastinum yang meyebabkan gejala ini
paling sering berlokalisasi pada mediastinum superior. Keterlibatan nervus frenikus bisa menyebabkan
paralisis diafragma. Harus ditekankan bahwa walaupun lesi ganas lebih sering terlibat dalam
menyebabkan gejala yang berhubungan dengan keterlibatan local, namun tumor jinak bisa juga
menyebabkan simtomatologi serupa.

3.7 Diagnosis
A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis pasien dan evaluasi cermat gejala yang diderita pasien sering akan membantu dalam
melokalisasi tumor dan bisa menggambarkan kemungkinan diagnosis histology. Pemeriksaan
fisik pada pasien dengan tumor dan kista mediastinum sering menunjukkan gambaran positif.
Tetapi jarang didapatkan diagnosis tepat dari informasi anamnesis atau pemeriksaan fisik saja.

B. Rontgenografi
Investigasi suatu massa di mediastinum harus dimulai dengan foto dada anterior-superior,
lateral, oblik, esofagogram, dan terakhir tomogram bila perlu. Penentuan lokasi yang tepat amat
penting untuk langkah diagnostic lebih lanjut. CT scan thorax dengan kontras atau angiografi
sirkulasi pulmonum/aorta mungkin pula diperlukan untuk membedakan apakah lesi berasal dari
vascular-bukan vascular. Hal ini perlu menjadi pertimbangan bila bioopsi akan dilakukan,
selain itu CT scan juga berguna untuk menentukan apakah lesi tersebut bersifat kistik atau
tidak. Pada langkah selanjutnya untuk membedakan apakah massa tersebut adalah tumor
24
metastasis, limfoma atau tuberculosis / sarkoidosis maka mediastinoskopi dan biopsy perlu
dilakukan.
Dasar dari evaluasi diagnostic adalah pemeriksaan rontgenografi. Foto thorax lateral dan
posteroanterior standar bermanfaat dalam melokalisir massa di dalam mediastinum. Neoplasma
mediastinum dapat diramalkan timbul pada bagian tertentu mediastinum. Foto polos bisa
mengenal densitas relative massa ini, apakah padat atau kistik, dan ada atau tidaknya
kalsifikasi.

C. Ultrasonografi (USG)
Bermanfaat dalam menggambarkan struktur kista dan lokasinya di dalam mediastinum.
Fluoroskopi dan barium enema bisa membantu lebih lanjut dalam menggambarkan bentuk
massa dan hubungannya dengan struktur mediastinum lain, terutama esophagus dan pembuluh
darah besar.
D. USG Germ Cell Mediastinum
Kemajuan dalam teknologi nuklir telah bermanfaat dalam mendiagnosis sejumlah tumor. Sidik
yodium radioiotop bermanfaat dalam membedakan struma intratoraks dari lesi mediatinum
superior lain. Sidik gallium dan teknesium sangat memperbaiki kemampuan mendiagnosis dan
melokalisir adenoma parathyroid. Belakangan ini kemajuan dalam radiofarmakologi telah
membawa ke diagnosis tepat.
E. Tomografi Komputerisasi
Kemajuan terbesar dalam diagnosis dan penggambaran massa dalam mediatinum pada tahun
belakangan ini adalah penggunaan sidik CT untuk diagnosis klinis. Dengan memberikan
gambaran anatomi potongan melintang yang memuaskan bagi mediastinum, CT mampu
memisahkan massa mediastinum dari struktur mediastinum lainnya. Terutama dengan
penggunaan materi kontras intravena untuk membantu menggambarkan struktur vascular, sidik
CT mampu membedakan lesi asal vascular dari neoplasma mediastinum.
Sebelumnya, pemeriksaan angiografi sering diperlukan untuk membedakan massa mediastinum
dari berbagai proses pada jantung dan aorta seperti aneurisma thorax dan suni aneurisma
Valsava. Dengan perbaikan resolusi belakangan ini, CT telah menjadi alat diagnostic yang jauh
lebih sensitive dibandingkan dengan teknik radiografi rutin.
25
CT bermanfaat dalam diagnosis Kista bronkogenik pada bayi dengan infeksi berulang dan
timoma dalam pasien myasthenia gravis, kasus yang foto polosnya sering gagal mendeteksi
kelainan apapun. Tomografi komputerisasi juga memberikan banyak informasi tentang sifat
invasi relative tumor mediastinum.
Differensiasi antara kompresi dan invasi seperti dimanifestasikan oleh robeknya bidang lemak
mediastinum dapat dibuat dengan pemeriksaan cermat. Tambahan lagi, dalam laporan
belakangan ini, diagnosis prabedah pada sejumlah lesi yang mencakup kista pericardial,
adenoma paratiroid, kista enteric dan tumor telah dibuat dengan CT karena gambarannya yang
khas.
F. Magnetic Resonance Imaging
Magnetic Resonance Imaging (MRI) mempunyai potensi yang memungkinkan diferensiasi
struktur vascular dari massa mediastinum tanpa penggunaan materi kontras atau radiasi. Di
masa yang akan datang, teknik ini bisa memberikan informasi unggul tentang ada atau tidaknya
keganasan di dalam kelenjar limfe dan massa tumor.
G. Biopsy
Berbagai teknik invasive untuk mendapatkan diagnosis jaringan tersedia saat ini. Perbaikan
jelas dalam teknik sitologi telah memungkinkan penggunaan biopsy aspirasi jarum halus untuk
mendiagnosis tiga perempat pasien lesi mediastinum. Teknik ini sangat bermanfaat dalam
mendiagnosis penyakit metastatic pada pasien dengan keganasan primer yang ditemukan di
manapun. Kegunaan teknik ini dalam mendiagnosis tumor primer mediastinum tetap akan
ditegaskan.

3.8 Jenis-jenis Tumor Mediastinum


Jenis tumor di rongga mediastinum dapat berupa tumor jinak atau tumor ganas dengan
penatalaksanaan dan prognosis yang berbeda. Tumor mediastinum yang sering dijumpai yaitu:
1. Mediastinum superior : struma, adenoma paratiroid dan limfoma.
2. Mediastinum anterior : struma, timoma, teratoma, adenoma paratiroid, limfoma, fibroma,
limfagioma hemangioma, dan hernia morgagni.
3. Mediastinum medius : kista bronkogenik, limfoma, kista pericardium, aneurisma, dan hernia.

26
4. Mediastinum posterior: tumor neurogenik, fibrosarkoma, limfoma, aneurisma, kondroma,
hernia bochdalek.

Thymoma

Thymoma adalah tumor yang berasal dari epitel thymus. Ini adalah tumor yang banyak terdapat
dalam mediastinum bagian depan atas. Dalam golongan umur 50 tahun, tumor ini terdapat dengan
frekuensi yang meningkat. Tidak terdapat preferensi jenis kelamin, suku bangsa atau geografi.
Gambaran histologiknya dapat sangat bervariasi dan dapat terjadi komponen limfositik atau tidak.
Malignitas ditentukan oleh pertumbuhan infiltrate di dalam oragn-organ sekelilingnya dan tidak dalam
b entuk histologiknya. Pada 50% kasus terdapat keluhan lokal. Thymoma juga dapat berhubungan
dengan myasthenia gravis, pure red cell aplasia dan hipogamaglobulinemia. Bagian terbesar Thymoma
27
mempunyai perjalanan klinis benigna. Penentuan ada atau tidak adanya penembusan kapsul
mempunyai kepentingan prognostic. Metastase jarak jauh jarang terjadi. Jika mungkin dikerjakan
terapi bedah.
CT scan Timoma

Thymus terdiri atas lobus kanan dan lobus kiri dan terletak di bagian depan mediastinum atas.
Pada waktu kelahiran, thymus ini relative besar dan beratnya kira-kira 11 gram. Pada waktu pubertas
beratnya kira-kira 35 gram, sesudah itu terjadi involusi. Kalau ini terjadi terlalu lama, kita katakan
adanya thymus persisten.
Hiperplasi thymus didefinisikan sebagai pertambahan besar dan beratnya tanpa perubahan
histologik yang jelas. Tetapi, diketahui bahwa berat thymus untuk tiap golongan umur dapat sangat
bervariasi. Pada gejala kompresi mungkin diperlukan tindakan pembedahan. Pada hiperplasi thymus
yang terdapat pada myasthenia gravis gambarannya ditentukan oleh perubahan histologik dalam arti
folikel limfe dengan centrum germinativum. Kista thymus dapat juga mempunyai ukuran yang besar
dan layak untuk terapi pembedahan.
Gambaran timoma

28
Gambaran rontgenografi berkisar dari lesi kecil berbatas tegas sampai densitas berlobulasi besar
yang bersatu dengan struktur mediastinum yang berdekatan. Timoma biasanya simptomatik pada
waktu diagnosis. Seperti pada massa mediastinum lain, timoma bisa timbul dengan gejala yang
berhubungan dengan efek massa local, yang mencakup nyeri dada, dispneu,hemoptisis, batuk dan
gejala ya ng berhubungan dengan obstruksi vena cava superior.
Limfoma
Secara keseluruhan, limfoma merupakan keganasan yang paling sering pada mediastinum.
Limfoma adalah tipe kanker yang terjadi pada limfosit (tipe sel darah putih pada sistem kekebalan
tubuh vertebrata). Terdapat banyak tipe limfoma. Limfoma adalah bagian dari grup penyakit yang
disebut kanker Hematological. Pada abad ke-19 dan abad ke-20, penyakit ini disebut penyakit Hodgkin
karena ditemukan oleh Thomas Hodgkin tahun 1832. Limfoma dikategorikan sebagai limfoma
Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin.

29
Tumor sel benih
Kelainan yang asalnya congenital ini pada usia dewasa bermanifestasi sebagai tumor sungguh.
Tumor ini mengandung berbagai macam jaringan yang asing untuk organ yang mereka tumbuh di
dalamnya.
Tumor teratoid dapat berlokalisasi di berbagai tempat, tetapi mediastinum depan merupakan
tempat predileksi terpenting sesudah gonade. Tumor ini member simtom karena kompresi atau invasi
ke dalam organ sekelilingnya. Produksi hormone sel-sel tumor ini (insulin, HCG, androgen-androgen)
dapat menjelaskan gejala tertentu.
Secara Rontgenologi biasanya terdapat bayangan homogeny dengan batas-batas yang jelas.
Kadang-kadang dapat terlihat dengan endapan kalsium dan di dalam tumor kadang-kadang bisa dilihat
gigi-gigi. Kenaikan alfa-1-feto-protein dan HCG di dalam serum dapat memperkuat pertimbangan
diagnostic.
Teratoma

30
Teratoma merupakan neoplasma yang terdiri dari beberapa unsur jaringan yang asing pada daerah
dimana tumor tersebut muncul. Teratoma paling sering ditemukan pada mediatinum anterior. Teratoma
yang histologik benigna mengandung terutama derivate ectoderm (kulit) dan entoderm (usus).
Pada teratoma maligna dan tumor sel benih seminoma, tumor teratokarsinoma dan karsinoma
embrional atau kombinasi dari tumor itu menduduki tempat yang terpenting. Penderita dengan
kelainan ini adalah yang pertama-tama perlu mendapat perhatian untuk penanganan dan pembedahan.
Mengenai teratoma benigna, dahulu disebut kista dermoid, prognosisnya cukup baik. Pada
teratoma maligna, tergantung pada hasil terapi pembedahan radikal dan tipe histologiknya, tapi ini
harus diikuti dengan radioterapi atau kemoterapi.

Teratoma mediastinal

31
Gambaran Teratoma Anterior Mediastinal

Gambaran Benign Teratoma


Mediastinal Teratoma
Diagnosis tumor ini bisa dibuat berdasarkan rontgenografi dada rutin dengan menemukan gigi
yang sudah sempurna bentuknya. Massa lemak dominan dengan unsure dependen padat yang
mengandung kalsifikasi globular, tulang atau gigi dan protuberansia padat yang meluas ke dalam
rongga kistik, akan ditemukan dengan sidik CT. walaupun ada gambaran khas, namun perbedaan
antara teratoma jinak dan ganas tergantung pada pemeriksaan histology.

Tumor Neurogen
Tumor Neurogen merupakan tumor mediastinal yang terbanyak terdapat, manifestasinya hampir
selalu sebagai tumor bulat atau oval, berbatas licin, terletak jauh di mediastinum belakang. Tumor ini
32
dapat berasal dari saraf intercostals, ganglia simpatis, dan dari sel-sel yang mempunyai cirri
kemoreseptor. Tumor ini dapat terjadi pada semua umur, tetapi relative frekuen pada umur anak.
Banyak Tumor Nerogenik menimbulkan beberapa gejala dan ditemukan pada foto thorax rutin.
Gejala biasanya merupakan akibat dari penekanan pada struktur yang berdekatan. Nyeri dada atau
punggung biasanya akibat kompresi atau invasi tumor pada nervus interkostalis atau erosi tulang yang
berdekatan. Batuk dan dispneu merupakan gejala yang berhubungan dengan kompresi batang
trakeobronchus. Sewaktu tumor tumbuh lebih besar di dalam mediastinum posterosuperior, maka
tumor ini bisa menyebabkan sindrom pancoast atau Horner karena kompresi peleksus brakhialis atau
rantai simpatis servikalis.
Dapat dibedakan menjadi tipe-tipe berikut :
Neurilemoma, (kadang-kadang varian maligna) dan Neurofibroma (kadang-kadang varian
maligna) begitu juga tumor-tumor dari selubung Schwann dan atau perineurium, biasanya berasal dari
saraf intercostals atau radiks spinal, kadang-kadang dari nervus vagus. Tumor ini sifatnya benigna tapi
sejumlah presentase kecil lama-kelamaan dapat mengalami degenerasi maligna. Pada pertumbuhan
melalui foramen intervertebral terjadi suatu tumor dengan pinggang sempit dengan bahaya kompresi
medulla spinalis. Neurofibroma dapat merupakan bagian dari suatu neurofibromatosis generalisata dari
Von Recklinghausen.

Mediastinal Neurofibroma

Tumor ini berkapsul dan tampak


sebagai massa homogen padat,
berbatas tegas dalam daerah paravertebralis mediastinum pada rontgenografi dada.

33
Ganglioma, merupakan tumor jinak yang berasal dari rantai simpatis, dan terdiri dari sel ganglion
dan unsure saraf. Secara makroskopik, lesi ini berkapul dengan permukaan luar yang halus. Pada
penampang melintang, tumor ini sering mempunyai daerah degenerasi kistik. Secara klaik, ganglioma
mempunyai gambaran memanjang atau segitiga pada foto thorax dengan dasar yang lebih lebar dan
meruncing kearah mediastinum. Tumor ini berbatas buruk pada proyeksi lateral serta sering
mempunyai batas inferior dan superior yang kabur.

Ganglioma Mediastinum

34
Neuroblastoma, merupakan tumor yang berdifferensiasi buruk dari susunan saraf simpatis dan
dalam presentase kecil juga terdapat di mediastinum. Pada saat penetapan diagnosis seringkali sudah
ada metastasis.

Gambaran neuroblastoma metastase


Tergantung penemuan pada operasi dan hasil pemeriksaan histologik kadang-kadang
diperlukan terapi tambahan. Jika tumor ternyata benigna, penderita hanya di follow up saja. Pada
pengambilan tak sempurna kelainan benigna, baik radioterapi maupun kemoterapi tidak ada artinya.
Tetapi jika tumornya ternyata maligna dan diangkat inkomplit, maka perlu dipertimbangkan
radioterapi atau kemoterapi. Neuroblastoma harus ditangani, tergantung pada kemungkinan apakah
pembedahan radikal dapat dilaksanakan. Jika tidak, maka pertama dipertimbangkan terapi sitostatik.
Kista Perikardial

35
Adalah kista dengan dinding yang tipis, terisi cairan jernih yang selalu dapat menempel pada
perikard dan kadang-kadang berada dalam hubungan terbuka dengan perikard itu. Yang terbanyak
terdapat di ventral, di sudut diafragma jantung. Kista ini juga dikenal sebagai kista coelom. Kista
pleuroperikardial adalah kelainan congenital, tetapi baru manifest pada usia dewasa. Sampai desenium
ke 5 atau 6, ukuran tumor biasanya secara lambat bertambah, tetapi jarang sampai lebih dari 10 cm.
pada fluoroskopi, kista-kista ini sering terlihat sebagai rongga-rongga dengan dinding yang tipis
dengan perubahan bentuk pada pernapasan dalam. Kista-kista coelom di sebelah kanan harus
differensiasi dengan lemak parakardial dan dengan hernia diafragmatika melalui foramen Morgagni.
Kista-kista ini sering terdapt, meskipun tentang hal ini tidak ada data yang jelas. Kista ini tidak
menimbulkan keluhan, infeksi sangat jarang dan malignitasnya tidak diketahui. Karena itu ekstirpasi
hanya diperlukan pada keraguan yang serius mengenai diagnosisnya atau pada ukuran kista yang
sangat besar.
Kista Bronkogen

36
Kista Bronkogen kebanyakan mempunyai dinding cukup tipis, yang terdiri dari jaringan ikat,
jaringan otot dan kadang-kadang tulang rawan. Kista ini dilapisi epitel rambut getar atau planoselular
dan terisi lendir putih susu atau jernih. Kista bronkus terletak menempel pada trakea atau bronkus
utama, kebanyakan dorsal dan selalu dekat dengan bifurkatio. Kista ini dapat tetap asimptomatik tetapi
dapat juga menimbulkan keluhan karena kompresi trakea, bronki utama atau esophagus. Kecuali itu
terdapat bahaya infeksi dan perforasi sehingga kalau ditemukan diperlukan pengangkatan dengan
pembedahan.

Kista Enterogen
Ini adalah segmen-segmen terpotong dari saluran lambung-usus, berbentuk bulat seperti pipa,
dilapisi selaput lendir yang biasanya mengingatkan kepada lambung atau esophagus. Kista ini juga
terletak di mediastinum belakang dan dapat melekat atau tidak kepada esophagus, dengan kadang-
37
kadang bhkan ada hubungan terbuka yang kecil. Kista enterogen biasanya secara dini memberi keluhan
dan dengan itu sudah mungkin ditemukan pada anak kecil meskipun kadang-kadang juga ditemukan
pada orang dewasa yang tidak menunjukan keluhan. Beberapa kista memproduksi cairan lambung
yang dapat menyebabkan ulserasi dan perforasi. Kista enterogen kalau ditemukan harus diekstirpasi.
CT scan dan myelografi bermanfaat dalam menggambarkan deformita vertebra, kolumna
spinalis serta kemungkinan hubungan antara ruang dura dan kista.

3.9 Diagnosis Banding


Tumor Mediastinum biasanya menunjukkan preferensi untuk lokalisasi tertentu. Yang
merupakan petunjuk untuk diagnosis differensial. Tetapi, juga terdapat perkecualian dan tumor besar
dapat meluas jauh di luar daerah asalnya.
Pada diagnosis differensial tumor mediastinum di samping tumor primer atau kista juga harus
dipertimbangkan proses patologik sekunder. Dalam hal ini penting apakah penderita pada umur anak
atau orang dewasa. Presentase kelainan maligna pada anak lebih tinggi. Pada orang dewasa, tumor
yang sering terdapat di mediastinum adalah tumor neurogen, kista (bronkhogen, pericardial atau
enterogen), thymoma dan limfoma. Dalam golongan umur ini harus dikesampingkan kelainan yang
berkesan tumor seperti tumor paru, pneumothorax, struma, aneurisma, proses inflamasi atau hernia.
Sejumlah lesi intrathorax dan ekstrathorax bisa menyerupai kista dan tumor primer mediastinum.
Kelainan kardiovaskuler seperti aneurisma pembeluh darah besar atau jantung dan pola vascular
abnormal yang timbul dalam penyakit congenital bisa tampak sebagai massa mediastinum pada foto
thorax.
Kelainan kolumna vertrebalis, seperti meningokel harus dibedakan dari massa mediastinum
posterior. Lesi seperti akalasia, divertikulum esophagus, herniasi diafragma, koarktasio aorta, hernia
hiatus, herniasi lemak peritoneum dan mediastinits bisa juga meniru gambaran kista dan tumor primer.
Melalui penggunaan CT dan myelografi maupun perangkat diagnotik lain, kebanyakan lesi ini harus
dibedakan dari massa primer mediastinum sebelum interbensi bedah.
Pneumothorax

38
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas didalam pleura yang
menyebabkan kolapsnya paru yang terkena.

Tumor Paru
Tumor paru adalah tumor paru ganas yang berasal dari saluran nafas atau epitel bronkus.
Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terbatas, dan merusak
sel-sel jaringan yang normal.

39
Hernia Diafragmatika
Hernia Diafragmatika adalah penonjolan organ perut ke dalam rongga dada melalui suatu
lubang pada diafragma. Akibat penonjolan viscera abdomen ke dalam rongga thorax melalui suatu
pintu pada diafragma. Terjadi bersamaan dengan pembentukan sistem organ dalam rahim.

Left Ventricular Aneurysm (LVA)


LVA adalah aneurisma yang terjadi pada ventrikel kiri. Hal ini disebabkan karena terjadi
pembesaran pada ventrikel kiri. Ventrikel kiri ini membesar akibat beberapa penyakit seperti TB,
kalsifikasi infark atau asbestos disease.
40
3.10 Tatalaksana
Secara umum, tumor ganas mediastinum seperti limfoma, tumor germ sel, atau timoma
berespon baik terhadap terapi yang dilakukan secara agresif yang mencakup perawatan, radiasi dan
kemoterapi. Tumor jinak terkadang lebih mudah diatur penanganannya jika pasien asimptomatik.
Pasien dengan massa di mediastinum beresiko untuk terjadinya kolaps / obstruksi saluran napas atau
gangguan hemodinamik jika menjalani anestesi umum.

3.11 Prognosis
Prognosis Tumor Mediastinum jinak cukup baik, terutama jika tanpa gejala. Berbeda variai
prognosisnya pada pasien dengan tumor mediastinum ganas, dimana hasil diagnostic spesifik, derajat
keparahan penyakit, dan keadaan spesifik pasien yang lain (komorbid) akan mempengaruhi.
Kebanyakan tumor mediastinum ganas berespon baik terhadap terapi konvensional. Besarnya variasi
individual penyakit mengakibatkan terjadinya berbagai kelainan mediastinum beragam.

3.12 Komplikasi
Komplikasi dari kelainan mediastinum mereflekikan patologi primer yang utama dan hubungan
antara struktur anatomic dalam mediastinum. Tumor atau infeksi dalam mediastinum dapat
menyebabkan timbulnya komplikasi melalui : perluasan dan penyebaran secara langsung, dengan

41
melibatkan struktur-struktur (sel-sel) bersebelahan, dengan tekanan sel bersebelahan, dengan
menyebabkan sindrom paraneoplastik, atau melalui metastatic di tempat lain. Empat komplikasi
terberat dari penyakit mediastinum adalah:
1. Obstruksi trachea
2. Sindrom Vena Cava Superior
3. Invasi vascular dan catastrophic hemorrhage, dan
4. Rupture esophagus

3.13 Efusi Pleura


Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga (kavum) pleura yang melebihi
batas normal. Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc cairan. Efusi pleura adalah penimbunan cairan
pada rongga pleura atau merupakan suatu keadaan terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang
berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan
pengeluaran cairan pleura. Dalam konteks ini perlu di ingat bahwa pada orang normal rongga pleura ini
juga selalu ada cairannya yang berfungsi untuk mencegah melekatnya pleura viseralis dengan pleura
parietalis, sehingga dengan demikian gerakan paru (mengembang dan mengecil) dapat berjalan dengan
mulus. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-20 ml. Cairan pleura
komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih
rendah yaitu < 1,5 gr/dl.
Ada beberapa jenis cairan yang bisa berkumpul di dalam rongga pleura antara lain darah, pus,
cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi. Adapun jenis-jenis cairan yang
terdapat pada rongga pleura antara lain:
A. Hidrotoraks
Pada keadaan hipoalbuminemia berat, bisa timbul transudat. Dalam hal ini
penyakitnya disebut hidrotorak dan biasanya ditemukan bilateral. Sebab-sebab lain
yang mungkin adalah kegagalan jantung kanan, sirosis hati dengan asites, serta sebgai
salah satu tias dari syndroma meig (fibroma ovarii, asites dan hidrotorak).
B. Hemotoraks
Hemotorak adalah adanya darah di dalam rongga pleura. Biasanya terjadi karena trauma
toraks. Trauma ini bisa karna ledakan dasyat di dekat penderita, atau trauma tajam maupu
42
trauma tumpul. Kadar Hb pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah.
Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin
karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura.
Bila darah aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma
dinding dada. Penyebab lainnya hemotoraks adalah:
 Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam
rongga pleura.
 Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang kemudian
mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.
 Gangguan pembekuan darah, akibatnya darah di dalam rongga pleura tidak membeku
secara sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan melelui sebuah jarum atau
selang
C. Empiema
Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura patologis iniakan berubah
menjadi pus, maka keadaan ini disebut piotoraks atau empiema. Pada setiap kasus
pneumonia perlu diingat kemungkinan terjadinya empiema sebagai salah satu
komplikasinya. Empiema bisa merupakan komplikasi dari:
 Pneumonia
 Infeksi pada cedera di dada
 Pembedahan dada
D. Chylotoraks
Kilotoraks adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan kil/getah bening pada rongga
pleura. Adapun sebab-sebab terjadinya kilotoraks antara lain:
 Kongenital, sejak lahir tidak terbentuk (atresia) duktus torasikus, tapi terdapat fistula
antara duktus torasikus rongga pleura.
 Trauma yang berasal dari luar seperti penetrasi pada leher dan dada, atau pukulan pada
dada (dengan/tanpa fratur). Yang berasal dari efek operasi daerah torakolumbal, reseksi
esophagus 1/3 tengah dan atas, operasi leher, operasi kardiovaskular yang
membutuhkan mobilisasi arkus aorta.

43
 Obstruksi Karena limfoma malignum, metastasis karsinima ke mediastinum, granuloma
mediastinum (tuberkulosis, histoplasmosis). Penyakit-penyakit ini memberi efek
obstruksi dan juga perforasi terhadap duktus torasikus secara kombinasi. Disamping itu
terdapat juga penyakit trombosis vena subklavia dan nodul-nodul tiroid yang menekan
duktus torasikus dan menyebabkan kilotoraks.

3.14 Epidemiologi
Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di negara-negara industri,
dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi penyakit yang mendasarinya. Secara umum,
kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua jenis kelamin. Namun, penyebab tertentu memiliki
kecenderungan seks. Sekitar dua pertiga dari efusi pleura ganas terjadi pada wanita. Efusi pleura ganas
secara signifikan berhubungan dengan keganasan payudara dan ginekologi. Efusi pleura yang terkait
dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria.

3.15 Eiologi dan Klasifikasi


Efusi pleura merupakan hasil dari ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik.
Efusi pleura merupakan indikator dari suatu penyakit paru atau non pulmonary, dapat bersifat akut atau
kronis. Meskipun spektrum etiologi efusi pleura sangat luas, efusi pleura sebagian disebabkan oleh
gagal jantung kongestif, pneumonia, keganasan, atau emboli paru.
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan cairan dan
kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau eksudat. Transudat hasil dari ketidakseimbangan
antara tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan
pleura atau drainase limfatik yang menurun. Dalam beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara
karakteristk cairan transudat dan eksudat.
Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan:

A. Transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat. Transudat
terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotic,

44
sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya.
Biasanya hal ini terjadi pada:
1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intra pleura
Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:
a) Gagal jantung kiri (terbanyak)
b) Sindrom nefrotik
c) Obstruksi vena cava superior
d) Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau masuk
melalui saluran getah bening)
B. Eksudat
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya
abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Bila terjadi
proses peradangan maka permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga
pleura. Penyebab pleuritis eksudatif yang paling sering adalah karena mikobakterium
tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudatif tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam
cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah
bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan peningkatan konsentasi
protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat.
Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:
o Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)
o Tumor pada pleura
o Iinfark paru,
o Karsinoma bronkogenik
o Radiasi
o Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus Eritematosis).

45
Pleuritis Tuberkulosa
Permulaan penyakit ini terlihat sebagai efusi yang serosantokrom dan bersifat eksudat.
Penyakit ini kebanyakan terjadi sebagai komplikasi komplikasi tuberkulosis paru melalui fokus
subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga robeknya perkijuan ke
arah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau kolumna vertebralis ( menimbulkan
penyakit pott. Dapat juga secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Cairan efusi yang
biasanya serous, kadang-kadang bisa juga hemoragik. Jumlah lekosit antara 500-2.000 per cc. Mula-
mula yang dominan adalah sel polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit. Cairan efusi sangat
sedikit mengandung bakteri tuberkulosis, tapi karena reaksi hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein. Pada dinding pleura dapat ditemukan adanya granuloma.
Diagnosis utama berdasarkan adanya bakteri tuberkulosis dalam cairan efusi (biakan) atau
dengan biopsi jaringan pleura. Pada daerah di mana frekuensi tuberkulosis paru tinggi terutama pada
pasien muda, sebagian besar efusi pleura adalah karena pleuritis tuberkulosa walaupun tidak
ditemukan adanya granuloma pada biopsi jaringan pleura.

46
3.16 Patofisiologi
Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler
pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi
keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi. Kemampuan untuk reabsorpsinya dapat meningkat
sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorpsinya tidak seimbang (produksinya meningkat atau
reabsorpsinya menurun) maka akan timbul efusi pleura.
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein
dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi
melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan
jaringan interstitial submesotelial kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura.
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Pergerakan cairan dari pleura
parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan
koloid osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang
diabsorpsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura
visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial. Bila penumpukan cairan
dalam rongga pleura disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan
terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah
sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks.
penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila:
1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura
2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah
3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura
4. Hipoproteinemia
5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleura parietalis.

47
3.17 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Adanya retraksi epigastrik, interkostal, suprasternal, Adanya pernapasan yang cepat, Demam,
dispneu, kadang disertai muntah dan diare, Batuk biasanya tidak pada permulaan penyakit, mungkin
terdapat batuk, beberapa hari yang mula-mula kering kemudian menjadi produktif, Pada auskultasi
ditemukan ronkhi basah.
Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya leukositosis dengan predominan PMN, Pada
pemeriksaan rontgen thoraks ditemukan adanya infiltrat interstitial dan infiltrat alveolar serta
gambaran bronkopneumonia.
1. Anamnesis dan gejala klinis
Keluhan utama penderita adalah nyeri dada sehingga penderita membatasi pergerakan rongga
dada dengan bernapas pendek atau tidur miring ke sisi yang sakit. Selain itu sesak napas
terutama bila berbaring ke sisi yang sehat disertai batuk batuk dengan atau tanpa dahak. Berat
ringannya sesak napas ini ditentukan oleh jumlah cairan efusi. Keluhan yang lain adalah sesuai
dengan penyakit yang mendasarinya
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan dada yang terkena cembung selain melebar dan
kurang bergerak pada pernapasan. Fremitus vokal melemah, redup sampai pekak pada perkusi,
dan suara napas lemah atau menghilang. Jantung dan mediastinum terdorong ke sisi yang sehat.
Bila tidak ada pendorongan, sangat mungkin disebabkan oleh keganasan
Manifestasi klinis pada efusi pleura cenderung disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya.
Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis, sementara efusi malignan
dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi akan menentukan keparahan gejala. Pada
beberapa kasus penderita umumnya asimptomatis atau memberikan gejala demam ringan ,dan berat
badan yang menurun seperti pada efusi yang lain.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologi (Rontgen thorak)
Pemeriksaan radiologis mempunyai nilai yang tinggi dalam mendiagnosis efusi pleura, tetapi
tidak mempunyai nilai apapun dalam menentukan penyebabnya. Secara radiologis jumlah
cairan yang kurang dari 100 ml tidak akan tampak dan baru jelas bila jumlah cairan di atras 300
ml. Foto toraks dengan posisi Posterioe Anterior akan memperjelas kemungkinan adanya efusi
48
pleura masif. Pada sisi yang sakit tampak perselubungan masif dengan pendorongan jantung
dan mediastinum ke sisi yang sehat.

Gambar 1. Efusi pleura sinistra. Sudut Costophrenicus yang tumpul karena efusi pleura

Gambar 2. Efusi pleura dextra

49
Gambar 3. Efusi pleura sinistra massif. Tampak mediastinum terdorong kontralateral

Gambar 4. Efusi pleura bilateral

50
Gambar 6. Gambaran efusi pleura pada foto posisi lateral

Computed Tomography Scan


CT scan dada akan terlihat adanya perbedaan densitas cairan dengan jaringan sekitarnya. Pada
CT scan, efusi pleura bebas diperlihatkan sebagai daerah berbentuk bulan sabit di bagian yang
tergantung dari hemithorax yang terkena. Permukaan efusi pleura memiliki gambaran cekung
ke atas karena tendensi recoil dari paru-paru.

Gambar 9. CT Scan pada efusi pleura (kiri atas : foto rontgen thoraks PA)
Ultrasonografi
Penampilan khas dari efusi pleura merupakan lapisan anechoic antara pleura visceral dan pleura
parietal. Bentuk efusi dapat bervariasi dengan respirasi dan posisi.
51
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat membantu dalam mengevaluasi etiologi efusi pleura. Nodularity dan / atau
penyimpangan dari kontur pleura, penebalan pleura melingkar, keterlibatan pleura mediastinal,
dan infiltrasi dari dinding dada dan / atau diafragma sugestif penyebab ganas kedua pada CT
scan dan MRI.
b. Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun terapeutik.
Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru
sela iga garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan
pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi.
Analisa cairan pleura
a. Warna Cairan
Biasanya cairan pleura berwama agak kekuning-kuningan. Bila agak kemerah-merahan, ini
dapat terjadi pada trauma, infark paru, keganasan. adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila
kuning kehijauan dan agak purulen, ini menunjukkan adanya empiema.
b. Biokimia
Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang perbedaannya dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.

Di samping pemeriksaan tersebut di atas. secara biokimia diperiksakan juga pada cairan
pleura
52
 kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit infeksi, artitis
reumatoid dan neoplasma
 kadar amilase. Biasanya meningkat pada pankreatitis dan metastasis adenokarsinoma.
c. Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostik penyakit pleura,
terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu.
d. Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung mikroorganisme,
apalagi bila cairannya purulen, (menunjukkan empiema). Efusi yang purulen dapat
mengandung kuman-kuman yang aerob ataupun anaerob. Jenis kuman yang sering
ditemukan dalam cairan pleura adalah : Pneumokok, E. coli, Kleibsiella, Pseudomonas,
Entero-bacter. Pada pleuritis tuberkulosa, kultur cairan terhadap kuman tahan asam hanya
dapat menunjukkan yang positif sampai 20%.
e. Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan yang
terkumpul. Bronkoskopi biasanya digunakan pada kasus-kasus neoplasma, korpus alineum
dalam paru, abses paru dan lain-lain
f. Torakoskopi (Fiber-optic pleuroscopy)
Torakoskopi biasnya digunakan pada kasus dengan neoplasma atau tuberculosis pleura.
Caranya yaitu dengan dilakukan insisi pada dinding dada (dengan resiko kecil terjadinya
pneumotoraks). Cairan dikeluarkan dengan memakai penghisap dan udara dimasukkan
supaya bias melihat kedua pleura.

3.18 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan efusi pleura ditujukan pada pengobatan penyakit dasar dan pengosongan
cairan (torasentesis).Penatalaksanaan efusi pleura harus segera dilakukan terapi paliatif setelah
diagnosis dapat ditegakkan.Tujuan utama penatalaksanaan segera ini adalah untuk mengatasi keluhan
akibat volume cairan yang meningkat dan meningkatkan kulitas hidup penderita. Pemasangan water
sealed drainage (WSD) adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi keluhan sesak.
Indikasi untuk melakukan torasentesis adalah
53
a. Menghilangkan sesak napas yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan rongga pleura.
b. Bila terapi spesifik pada penyakit primer tidak efektif atau gagal.
c. Bila terjadi reakumulasi cairan.
Pengambilan pertama cairan pleura jangan lebih dari 1000 cc, karena pengambilan cairan
pleura dalam waktu singkat dan dalam jumlah banyak dapat menimbulkan sembab paru yang ditandai
dengan batuk dan sesak.
Kerugian:
a. Tindakan torasentesis menyebabkan kehilangan protein yang berada di dalam cairan pleura.
b. Dapat menimbulkan infeksi di rongga pleura (empiema)
c. Dapat terjadi pneumotoraks
Penatalaksanaan efusi pleura transudat
Cairan biasanya tidak begitu banyak.Terapinya :
a. Bila disebabkan oleh tekanan hidrostatis yang meningkat, pemberian diuretika dapat menolong.
b. Bila disebabkan oleh tekanan koloid osmotik yang menurun sebaiknya diberi protein.
c. Bahan sklerosing dapat dipertimbangkan bila ada reakumulasi cairan berulang dengan tujuan
melekatkan pleura viseralis dan parietalis.
Penatalaksanaan pleura eksudat
Efusi parapneumonik
Efusi pleura yang terjadi setelah peradangan paru (pneumonia).
a. Paling sering disebabkan oleh pneumonia
b. Umumnya cairan dapat diresorbsi setelah pemberian terapi yang adekuat untuk penyakit
dasarnya.
c. Bila terjadi empiema, perlu pemasangan kateter toraks dengan WSD
d. Bila terjadi fibrosis, tindakan yang paling mungkin hanya dekortikasi (yaitu jaringan fibrotik
yang menempel pada pleura diambil/ dikupas)

Penatalaksanaan Pleuritis tuberkulosa


Pengobatan dengan obat-obatan anti tuberkulosis (Rifampisin, INH, Pirazinamid/ Etambutol/
Streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan. Dosis dan cara pemberian obat seperti pada pengobatan
54
tuberkulosis paru. Pengobatan ini menyebabkan cairan efusi dapat diserap kembali, tapi untuk
menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan torakosintesis. Umumnya cairan diresolusi
dengan sempurna, tapi kadang-kadang dapat diberikan kortikosteroid secara sistemik. (Prednison 1
mg/KgBB selama 2 minggu kemudian dosis di turunkan secara perlahan).
Penatalaksanaan efusi pleura maligna
a. Pengobatan ditujukan pada penyebab utama atau pada penyakit primer dengan cara radiasi atau
kemoterapi.
b. Bila efusi terus berulang, dilakukan pemasangan kateter toraks dengan WSD.
Pleurodesis
a. Dilakukan pada efusi pleura maligna yang tidak dapat dikontrol atau pada efusi yang terus
menerus terjadi setelah dilakukan torasintesis berulang.
b. Obat-obatan yang dipakai untuk pleurodesis antara lain tetrasiklin HCl (derivat-derivatnya yang
bereaksi dengan asam misalnya : teramisin HCl doksisiklin HCl), bleomisin, fluoro-urasil dan
talk, larutan glukosa 40%. Bleomisin dan fluoro urasil dapat dipakai pada efusi pleura maligna.
Kilotoraks
Cairan pleura berupa kilus yang terjadi karena kebocoran akibat penyumbatan saluran limfe
duktus torasikus di rongga dada.
Tindakan yang dilakukan bersifat konservatif:
a. Torasintesis 2-3x. Bila tidak berhasil, dipasang kateter toraks dengan WSD.
Tindakan yang paling baik ialah melakukan operasi reparasi terhadap duktus torasikus yang
robek.

3.19 Komplikasi
1. Infeksi.
Pengumpulan cairan dalam ruang pleura dapat mengakibatkan infeksi (empiema primer),
dan efusi pleura dapat menjadi terinfeksi setelah tindakan torasentesis (empiema
sekunader). Empiema primer dan sekunder harus didrainase dan diterapi dengan antibiotika
untuk mencegah reaksi fibrotik. Antibiotika awal dipilih gambaran klinik. Pilihan
antibiotika dapat diubah setelah hasil biakan diketahui.
2. Fibrosis
55
Fibrosis pada sebagian paru-paru dapat mengurangi ventilasi dengan membatasi
pengembangan paru. Pleura yang fibrotik juga dapat menjadi sumber infeksi kronis,
menyebabkan sedikit demam. Dekortikasi-reseksi pleura lewat pembedahan-mungkin
diperlukan untuk membasmi infeksi dan mengembalikan fungsi paru-paru. Dekortikasi
paling baik dilakukan dalam 6 minggu setelah diagnosis empiema ditegakkan, karena
selama jangka waktu ini lapisan pleura masih belum terorganisasi dengan baik (fibrotik)
sehingga pengangkatannya lebih mudah.

3.20 Prognosis
Prognosis pada efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang mendasari kondisi itu.
Namun pasien yang memperoleh diagnosis dan pengobantan lebih dini akan lebih jauh terhindar dari
komplikasi daripada pasien yang tidak memedapatkan pengobatan dini.
Efusi ganas memiliki prognosis yang sangat buruk, dengan kelangsungan hidup rata-rata 4
bulan dan berarti kelangsungan hidup kurang dari 1 tahun. Efusi dari kanker yang lebih responsif
terhadap kemoterapi, seperti limfoma atau kanker payudara, lebih mungkin untuk dihubungkan dengan
berkepanjangan kelangsungan hidup, dibandingkan dengan mereka dari kanker paru-paru atau
mesothelioma. Efusi parapneumonic, ketika diakui dan diobati segera, biasanya dapat di sembuhkan
tanpa gejala sisa yang signifikan. Namun, efusi parapneumonik yang tidak terobati atau tidak tepat
dalam pengobatannya dapat menyebabkan fibrosis konstriktif.

56
3.21 Penatalaksanaan
1. Pemberian oksigen yang dimonitoring dengan pulse oxymetri
2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup, sesuai dengan berat badan
3. Bila sesak tidak terlalu hebat dapat dimulai diet enteral bertahap melalui selang nasogastric,
orogastrik maupun per oral
4. Jika sekresi lender berlebih dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
5. Koreksi kelainan asam basa dan elektrolit yang terjadi
6. Pemberian antibiotik

3.22 Definisi TB
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC
(mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga
menyerang organ lainnya.

3.23 Cara Penularan


Sumber penularan adalah penderita TBC BTA (+). Penularan terjadi pada waktu batuk atau
bersin, saat itu kuman terbang ke udara dalam bentuk droplet atau percikan dahak. Droplet yang
mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang akan
terinfeksi apabila droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan, kuman TBC masuk melalui
pernapasan hingga dapat menyebar ke seluruh bagian tubuh lainnya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, maka makin tinggi juga penularannya.

3.24 Faktor Resiko


Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh
tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan (environment).
A. Agent
Agent (A) adalah penyebab yang esensial yang harus ada. Agent memerlukan dukungan faktor
penentu agar penyakit dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit
tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi. Pathogenitas adalah daya suatu
57
mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada host. Pathogenitas kuman tuberkulosis paru
termasuk pada tingkat rendah.
B. Host
Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup. Beberapa faktor host yang mempengaruhi
penularan penyakit tuberkulosis paru adalah sebagai berikut.
a. Usia
Berdasarkan hasil penelitian WHO, penyakit tuberkulosis paru paling sering ditemukan pada
usia produktif (15-50 tahun) (Suswati, 2007). Sebagian besar dari kasus TB (98%) terjadi di
Negara-negara yang sedang berkembang. Diantara mereka 75% berada pada usia produktif
yaitu 20-49 tahun.
b. Jenis Kelamin
Penyakit TB paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan
perempuan. Data dari India (2008) penemuan pasien laki-laki 3x lebih banyak dari pasien
perempuan TB. Di Indonesia, tahun 2007 ditemukan 94.614 pasien laki-laki dan 65.642
pasien TB perempuan dengan BTA (+).
c. Parut BCG (Bacillis Calmette Guerin)
Hasil penelitian dalam jurnal kesehatan masyarakat menunjukkan bahwa risiko orang yang
tidak mendapat imunisasi BCG untuk terjadinya TB paru sebesar 2.855 kali lebih besar
dibandingkan orang yang mendapat imunisasi BCG (Simbolon, 2007). Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian Apriyani di Kabupaten Donggala propinsi Sulawesi Tengah
menemukan bahwa kelompok yang tidak divaksinasi BCG mempunyai risiko 1,43 kali lebih
besar untuk menderita TB paru dibandingkan orang yang pernah diimunisasi.
d. Tingkat pendidikan
WHO (1999) menyatakan bahwa selain menyerang pada kelompok usia produktif,
tuberkulosis juga menyerang pada masyarakat berpendidikan rendah. Hal ini disebabkan
karena tingkat pendidikan ini memungkinkan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap tingkat pengetahuan seseorang terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan
tuberkulosis. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Jember menyatakan bahwa tingkat
pendidikan paling bayak pada penderita TB adalah Sekolah Dasar (43%).
e. Pekerjaan
58
Penderita TB paru sebagian besar adalah kelompok usia produktif dan sebagian besar sosial
ekonomi lemah (Ditjen PPM & PLP, 1999). Dengan makin memburuknya keadaan ekonomi
Indonesia, kelompok miskin bertambah banyak, daya beli menurun, dan dikhawatirkan
keadaan ini akan memperburuk kondisi kesehatan masyarakat khususnya penderita TB paru.
disamping program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, penderita TB paru juga
perlu disembuhkan.
f. Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan
kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih.
Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.
Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada
laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan
merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB paru.
g. Status Gizi
Penelitian Etjang (1991) bahwa penyakit tuberkulosis disebabkan oleh adanya sumber
penularan (penderita) dan adanya orang-orang yang rentan dalam masyarakat. Kerentanan
akan tuberkulosis ini terjadi karena daya tahan tubuh yang rendah yang disebabkan oleh gizi
yang buruk, terlalu lelah, kedinginan, dan cara hidup yang tidak teratur. Gizi buruk akan
menyebabkan daya tahan tubuh seseorang menjadi rendah sehingga rentan terhadap
penularan penyakit.
h. Infeksi HIV
Sekitar 10% individu yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis akan berkembang menjadi
TB klinis seumur hidup mereka. Namun, resiko yang lebih besar adalah pada individu yang
imunosupresif, khususnya bagi mereka yang terkena infeksi HIV. HIV akan merusak
limfosit dan monosit, yang keduanya merupakan sel pertahanan primer untuk melawan
infeksi TB.
C. Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host (pejamu).
a. Kepadatan penghuni dalam satu rumah

59
Seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang anggota keluarga yang
tinggal dalam satu rumah.Mengurangi kepadatan penghuni dalam satu rumah merupakan
salah satu tindakan yang dapat menurunkan risiko penularan tuberkulosis paru yang
berkaitan dengan hygiene dan sanitasi lingkungan. Menurut APHA (American Public
Health Assosiation), salah satu syarat lingkungan rumah yang sehat yaitu jumlah kamar tidur
dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan jenis kelaminnya. Ukuran ruang tidur anak
yang berumur kurang dari lima tahun minimal 4,5 m³, artinya dalam satu ruangan anak yang
berumur lima tahun ke bawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 4,5 m³ (1,5 x
1 x3 m³) dan diatas lima tahun menggunakan ruangan 9 m³ (3 x 1 x 3 m³). Untuk kamar tidur
diperlukan minimum 3 m²/orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali
untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi
penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya.
b. Pencahayaan
Kebutuhan cahaya matahari dalam rumah atau ruangan mutlak diperlukan, karena cahaya
matahari berguna sebagai penerangan dan mengurangi kelembaban dalam ruangan,
membunuh kuman-kuman dan mengusir nyamuk (Sanropie,1989). Kuman tuberkulosis
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam
ditempat yang gelap dan lembab. Dengan begitu cahaya matahari perlu dapat masuk ke
dalam ruangan. Untuk mendapatkan cahaya matahari pagi secara optimal, sebaiknya jendela
kamar menghadap ke cahaya matahari terbit dan luas jendela paling sedikit 10-20% dari luas
lantai. Kebutuhan standar cahaya alam yang memenuhi syarat kesehatan untuk berbagai
keperluan dalam rumah adalah 60-120 Lux.
c. Ventilasi
Ventilasi rumah merupakan sarana untuk menjaga agar udara ruangan selalu segar dengan
mengganti udara yang sudah terpakai dengan udara baru dari luar. Luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah 10% dari luas lantai ruangan dan tetap ditambah 5% dari
ventilasi yang dibuka dan ditutup (jendela). Menurut Sanropie, kelembaban udara agar
dipertahankan antara 40-60%.
d. Jenis Lantai

60
Lantai rumah merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TB Paru.Risiko untuk menderita
TB Paru 3 - 4 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang lantainya tidak
memenuhi syarat kesehatan. Hal ini sesuai pendapat Fahmi (2005) yang menyatakan bahwa
lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB Paru melalui kelembaban ruangan,
karena lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban. Lantai dari tanah perlu dilapisi
dengan satu lapisan semen yang kedap air. Rumah dengan lantai tanah akan menyebabkan
kondisi lembab, pengap, yang akan memperpanjang masa viabilitas atau daya tahan hidup
kuman TBC dalam lingkungan. Pada akhirnya akan menyebabkan potensi penularan TBC
menjadi lebih besar.
e. Jenis Dinding
Dinding rumah merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TB. Risiko untuk menderita TB
Paru 6 - 7 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggalpada rumah yang dindingnya tidak
memenuhi syarat kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil survei kesehatan lingkungan Dinas
KesehatanKabupaten Gunungkidul tahun 2004 yang menyatakan bahwa dinding rumahyang
tidak memenuhi syarat 70,65%. Dinding rumah sebaiknya kering agarruangan tidak menjadi
lembab.
f. Kelembaban udara
Menurut Sanropie, kelembaban udara agar dapat dipertahankan antara 40-60% dengan
temperature kamar 22o -30o C. kuman TB paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung,
tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Menurut indikator
pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-
60% dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 60 % dengan
suhu rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah antara 20-25 ºC, dan suhu rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 ºC atau > 25 ºC.

3.25 Diagnosis
Keluhan Pasien datang dengan batuk berdahak ≥ 2 minggu. Batuk disertai dahak, dapat
bercampur darah atau batuk darah. Keluhan dapat disertai sesak napas, nyeri dada atau pleuritic chest
pain (bila disertai peradangan pleura), badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari 1 bulan.
61
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang (sputum untuk dewasa, tes tuberkulin pada anak).
Sedangkan kriteria diagnosis berdasarkan International Standards for Tuberculosis Care
(ISTC) adalah sebagai berikut.
a. Semua pasien dengan batuk produktif yang yang berlangsung selama ≥ 2 minggu yang tidak
jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk TB.
b. Semua pasien (dewasa, dewasa muda, dan anak yang mampu mengeluarkan dahak) yang
diduga menderita TB, harus diperiksa mikroskopis spesimen sputum/ dahak 3 kali salah satu
diantaranya adalah spesimen pagi.
c. Semua pasien dengan gambaran foto toraks tersangka TB, harus diperiksa mikrobiologi dahak.
d. Diagnosis dapat ditegakkan walaupun apus dahak negatif berdasarkan kriteria berikut:
1. Minimal 3 kali hasil pemeriksaan dahak negatif (termasuk pemeriksaan sputum pagi hari),
sementara gambaran foto toraks sesuai TB.
2. Kurangnya respon terhadap terapi antibiotik spektrum luas (periksa kultur sputum jika
memungkinkan), atau pasien diduga terinfeksi HIV (evaluasi Diagnosis tuberkulosis harus
dipercepat).
e. Diagnosis TB intratorasik (seperti TB paru, pleura, dan kelenjar limfe mediastinal atau hilar)
pada anak:
1. Keadaan klinis (+), walaupun apus sputum (-).
2. Foto toraks sesuai gambaran TB.
3. Riwayat paparan terhadap kasus infeksi TB.
4. Bukti adanya infeksi TB (tes tuberkulin positif > 10 mm setelah 48-72 jam)

62
Gambar 1. Alur Diagnosis TB paru. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis.

Keterangan:
 Suspek TB Paru: Seseorang dengan batuk berdahak selama 2 - 3 minggu atau lebih disertai dengan atau
tanpa gejala lain.
 Antibiotik non OAT: Antibiotik spektrum luas yang tidak memiliki efek anti TB (jangan gunakan
fluorokuinolon)

63
Gambar 2. Alur diagnosis TB paru pada ODHA yang rawat jalan.

Keterangan:
a. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30
kali/menit, demam > 390 C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tdk dibantu.
b. Untuk daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa > 1% atau prevalensi HIV diantara pasien
TB > 5%, pasien suspek TB yang belum diketahui status HIV-nya maka perlu ditawarkan untuk tes HIV.
Untuk pasien suspek TB yang telah diketahui status HIV-nya maka tidak lagi dilakukan tes HIV.
c. Untuk daerah yang tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketahui (misalnya pasien menolak utk
diperiksa) tetapi gejala klinis mendukung kecurigaan HIV positif.
d. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif = bila 3 sediaan hasilnya
negatif.
e. PPK = Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksazol.
f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), perhitungan CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan
untuk layanan HIV.
g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila memungkinkan)
supaya jumlah kunjungan dapat dikurangkan sehingga mempercepat penegakkan diagnosis.
h. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluoroquionolones) untuk mengatasi typical & atypical bacteria.
i. PCP = Pneumocystis carinii pneumonia atau dikenal juga Pneumonia Pneumocystis jirovecii.
64
j. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.

Gambar 3. Perhatian khusus yang bisa ditemukan

Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka
dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6
(>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor
kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi
pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.

3.26 Diagnosis TB MDR


Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan
M.tuberkulosis. Semua suspek TB MDR diperiksa dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus
dahak pagi hari. Uji kepekaan M.tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi
untuk uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TB MDR akan tetap
meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian TB Nasional.

3.27 Pemeriksaan Dahak Makroskopis


Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-
Pagi-Sewaktu (SPS).
1. S (Sewaktu)
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang,
suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

65
2. P (Pagi)
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa
dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
3. S (Sewaktu)
Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

3.28 Tatalaksana
H. Tujuan Pengobatan
Adapun tujuan pengobatan TB adalah sebagai berikut.
A. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktifitas pasien.
B. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan.
C. Mencegah kekambuhan TB.
D. Mengurangi penularan TB kepada orang lain.
E. Mencegah kejadian dan penularan TB resisten obat
Sedangkan menurut Kepmenkes, 2009 pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.
Selama terapi dilakukan evaluasi foto setelah pengobatan 2 bulan dan 6 bulan. Sedangkan
menurut Kepmenkes tahun 2009, pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan
dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi).
Pemakaian OAT - Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
2.  Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT =
Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.
 Tahap Awal (Intensif)

66
 Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
 Tahap Lanjutan
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.
Tabel 1. Dosis paduan OAT KDT Kategori 1.
Barat Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali
badan selama 2 bulan RHZE seminggu selama 4
(150/75/400/275) bulan RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

1. Kategori-2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang) yaitu:
a) Pasien kambuh.
b) Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1.
c) Pasien yang diobati kembali, putus berobat (lost to follow-up).

Tabel 2. Dosis paduan OAT KDT Kategori 2.

67
68
BAB IV
ANALISIS KASUS

Dari hasil anamnesis pasien mengeluhkan sesak nafas yang semakin memberat sejak 4 hari
SMRS. Sesak yang dirasakan pasien terus menerus dan semakin memberat jika batuk. Sesak semakin
berat saat pasien beraktivitas. Batuk yang dialami pasien berdahak, dan ada darah. Pasien mengaku
mengalami penurunan berat badan semenjak 1 bulan terakhir. Pasien mengatakan adanya penurunan
nafsu makan, keringat berlebihan saat malam hari, dan batuk dirasakan lebih sering pada saat malam
hari.
Pada pemeriksaan radiologis, didapatkan perselubungan Homogen pada lapangan paru kiri. Hal
ini dapat membuktikan bahwa terdapat massa tumor pada paru, ditambah hasil dari pemeriksaan Alfa-
feto Protein yang menunjukkan adanya massa dan pada pungsi paru tidak didapatkan cairan. Sehingga
diagnosis efusi pleura dapat disingkirkan dan diagnosis Tumor Mediastinum menjadi diagnosis kerja.
Tumor mediastinum merupakan keganasan pada rongga mediastinum, yang dapat mengganggu
organ sekitar tergantung dari ukuran. Keluhan yang sering terjadi yaitu gangguan nafas, gangguan
menelan, nyeri akibat tekanan tumor terhadap organ sekitar, ataupun perdarahan akibat ruptur aliran
darah yang terhimpit tumor tersebut. Pemeriksaan dapat ditegakkan melalui rontgen thorax dan CT-
Scan. Namun untuk mengetahui jenis sel tumor tersebut, dapat dilakukan biopsi jaringan. Sedangkan
untuk tatalaksana, dapat dilakukan radioterapi dan kemoterapi. Namun, bila kondisi memungkinkan
dapat dilakukan operasi oleh Sp.B-TKV
Pada penyakit TB, diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan penunjang
rontgen paru dan sputum BTA. Pengobatan pada TB dapat dilakukan dengan memberikan OAT tahap
intensif yaitu 4 tablet 4KDT selama 2 bulan dan tahap lanjutan 4 tablet 2KDT selama 4 bulan.
Sedangkan untuk efusi pleura, diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan penunjang
seperti rontgen paru dan aspirasi cairan paru atau torakosintesis untuk menentukan jenis cairan yang
ada. Untuk penatalaksanaan pada pleuritis tuberkulosa, dapat dilakukan dengan mengobati penyakit
TB terlebih dahulu. Namun pemasangan WSD dapat dilakukan apabila terjadi efusi pleura yang
berulang. Dan untuk massa paru, pengobatan dilakukan dengan tujuan kuratif, paliatif dan suportif.
Salah satunya dengan cara kemoterapi dan radiasi.

69
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. 2015. Infodatin Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI.


2. Kementerian Kesehatan RI. 2018. Infodatin Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI.
3. Dinas Kesehatan Kota Palembang. 2014. Profil kesehatan Kota Palembang tahun 2014.
Palembang: Dinas Kesehatan Kota Palembang
4. Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Perencanaan Tingkat Puskesmas Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.
5. Departemen Kesehatan. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2, Cetakan
Kedua. 2011. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal 1-35.
6. Azwar Azrul. (2010). Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga. Jakarta: Binarupa
Aksara Publisher.
7. Departemen Kesehatan RI. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
128/MENKES/SK/II/2004 ttg Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta
8. Kementerian Kesehatan RI. 2016. Permenkes RI No 44 Tahun 2016 Tentang Pedoman
Manajemen Puskesmas. Jakarta: Depkes RI. Jakarta: Depkes RI.
9. Kepmenkes. RI, 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia N0. 364 Tahun 2009.
Tentang Pedoman Penanggualangan Tebuerkuloasis (TB).
10. Permenkes RI. 2016. Nomor 67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
11. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia dalam Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam Jilid I.
Internal Publishing 2014;887-897
12. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s Principle of
Internal Medicine. McGraw-Hill Companies, Inc 2015; 1215-1285

13. Firdaus, Denny. 2012. Efusi Pleura. RSUD Dr.H.Abdul Moeloek. Bandar Lampung.

14. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.

70
15. Halim H. Penyakit-penyakit pleura, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam, Jilid III, edisi ke-
5. 2009. Jakarta: Interna Publishing.

16. Thabrani Rab, Prof. Dr. H. “Penyakit Pleura”. Edisi Pertama. Trans Info Media : Jakarta. 2010

17. Rofiq ahmad. 2001. Thorax. http://emedicine.medscape.com/article/299959-overview diakses


tanggal 8 Mei 2013

18. Bahar, Asril. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI

19. Amin, Z., 2014. Kanker Paru. In: S. Setiati, et al. eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
InternaPublishing, pp. 2998-3007.
20. Aru W, Sudoyo, et al, 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Penerbit Buku
Kedokteran IPD FK UI.
21. Carter, M. A.,, Gout, dalam Sylvia, A. P. And Lorraine, M. W. (Eds), 2001, Patofisiologi,
Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi IV, Buku II, 1242-1246, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
22. Murray, R. K., Granner, D. K., Mayer, P. A., Rodwell, V. M., 1997, Biokimia Harper, alih
bahasa oleh Andry Hartono, Edisi 24, 366-391, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
23. Sabiston, David C,. 1994, Buku Ajar Bedah, alih bahasa Petrus Adriyanto, Edisi I, Jilid II, 704-
724, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

71

Anda mungkin juga menyukai