2019
LEMBAR PENGESAHAN
oleh:
-------------------------------------------------------------
Direktur Utama
i
TIM PENYUSUN
Pengarah
Direktur Utama dr. Lies Dina Liastuti, SpJP(K), MARS
Direktur Medik dan Keperawatan Dr. dr. Ratna Dwi Restuti, SpTHT-KL(K)
Tim Penyusun
(diisi dengan nama Departemen atau Unit (diisi dengan nama personil yang terlibat
Kerja yang terlibat dalam penyusunan dalam penyusunan PPK)
PPK)
Departemen Ilmu Penyakit Dalam:
- Divisi Metabolik Endokrin Prof. Dr. dr. Sarwono Waspadji, SpPD-
KEMD
Prof. Dr. dr. Imam Subekti, SpPD-KEMD
Dr. dr. H Suharko Soebardi, SPPD-KEMD
Dr. dr. Em Yunir, SpPD-KEMD
dr. Dante Saksono H, SpPD-KEMD, PhD
Dr. dr. H Budiman Darmowidjojo, SpPD-
KEMD
Dr. dr. Dyah Purnamasari, SpPD-KEMD
Dr. dr. Tri Juli Edi Tarigan, SpPD-KEMD
dr. Wismandari Wisnu, SpPD-KEMD
dr. Farid Kurniawan, SpPD
- Divisi Respirologi dan Penyakit dr. Ujainah ZN, SpPD-KP, MARS
Kritis dr. Herikurniawan, SpPD
ii
PENDAHULUAN
DM juga berpengaruh negatif pada hasil akhir terapi obat anti tuberkulosis (OAT). DM
dihubungkan dengan meningkatnya risiko kegagalan terapi OAT, kematian, dan relaps karena
beberapa faktor yang belum jelas seluruhnya. Kepustakaan menyebutkan bahwa faktor yang
menyebabkan kegagalan terapi OAT antara lain penyebaran kuman MTB yang lebih ekstensif,
berkurangnya konsentrasi OAT pada penyandang DM, dan perubahan respon imun.7
iii
Melihat besarnya permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan TB-DM maka dibuatlah
suatu panduan praktik klinis (PPK) TB-DM untuk lingkungan RSCM. Diharapkan dengan adanya
PPK ini penanganan TB-DM di RSCM dapat dilakukan secara holistik dan komprehensif
berdasarkan evidence based terkini sehingga tercapai outcome yang optimal bagi pasien serta cost
effective.
iv
METODE PENYUSUNAN
Penyusunan PPK ini dilakukan dengan mempertimbangkan sumber daya yang tersedia di RSCM
meliputi:
PPK ini akan ditinjau kembali dan diperbaharui (jika diperlukan) sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun sejak disahkan, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran.
v
1.1. DEFINISI
Diabetes Melitus: suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.1,2
TB paru: Tuberkulosis paru adalah infeksi pada parenkim paru yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis (M.Tb) kompleks.
1.2. ANAMNESIS
1
1.3. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada TB paru dibahas lebih lanjut di PPK TB paru rawat jalan dan diabetes
dibahas lebih lanjut di PPK DM Rawat Jalan.
Pemeriksaan penunjang untuk diabetes dibahas lebih lanjut di PPK DM Rawat Jalan
Pemeriksaan penunjang untuk penunjang TB paru dibahas lebih lanjut di PPK TB paru
Kadar glukosa darah dapat dipengaruhi oleh TB melalui stress-related hyperglycaemia. Infeksi
TB tidak dapat menyebabkan DM, tapi dapat memunculkan DM pada individu yang berisiko
terkena DM di masa depan. Apabila diagnosis DM ditegakkan pada saat diagnosis TB, kendali
glukosa darah dapat menjadi normal pada akhir pengobatan TB karena itu skrining diabetes pada
TB disarankan dilakukan pada saat diagnosis TB paru ditegakkan.
Pasien TB saat
didiagnosis
YA TIDAK
Evaluasi kendali glikemik dan Cek GDP, GD2JPP
tatalaksana lebih lanjut (Lakukan evaluasi sesuai PPK
DM Rawat Jalan)
2
1.6. SKRINING DAN DIAGNOSIS TB PARU
Pada daerah dengan prevalensi TB yang tinggi (>100 kasus / 100.000 populasi), individu yang
baru terdiagnosis DM yang tinggal di Indonesia disarankan untuk dilakukan skrining TB.
Penyandang diabetes yang tinggal di daerah endemik TB juga harus diedukasi mengenai tanda,
gejala, dan risiko TB – terutama pada pasien risiko tinggi seperti perokok atau hiperglikemia tidak
terkontrol. Pertanyaan yang perlu ditanyakan pada anamnesis yang perlu ditanyakan mencakup:
a. Batuk > 2 minggu
b. Demam subfebris
c. Penurunan berat badan
d. Keringat malam
e. Sesak saat menarik napas
f. Terdapat gejala TB ekstra paru
Diagnosis Banding
3
1.7. MANAJEMEN DIABETES MELITUS DENGAN INFEKSI TUBERKULOSIS
Prinsip manajemen terapi pada kelompok pasien DM yang juga menderita TB mencakup:
a. Manajemen DM dengan TB
• Secara umum, pilar penanganan DM mencakup edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani,
dan intervensi farmakologis sesuai dengan Panduan Penatalaksanaan Diabetes Melitus oleh
Perkeni tahun 2015.11 Untuk panduan DM pada seting rawat jalan dapat merujuk ke PPK
DM Rawat Jalan yang digunakan di RSCM.
• Untuk mencegah penularan, pada pasien DM dengan TB paru (bakteriologis positif),
pengelolaan DM pada 2 minggu pertama dilakukan di Poli TB Paru, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, yang bekerja sama dengan Poli Endokrin dan Diabetes, Depertemen Ilmu
Penyakit Dalam.
• Menurut panduan yang dipublikasikan oleh International Union Against Tuberculosis and
Lung Disesase pada tahun 2019, terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan dalam
manajemen DM dan TB, yaitu Metformin, Sulfonilurea (SU), dan insulin (Tabel 1). Hal ini
disebabkan data dan pengalaman mengenai penggunaan obat-obat golongan baru (GLP-1,
DPPIV-i) pada kasus DM dan TB masih terbatas.9
1. Metformin merupakan pilihan pertama untuk pengelolaan pasien DM secara umum. Pada
pasien DM dengan TB, metformin juga masih dapat digunakan. Namun perlu
memperhatikan efek samping gastrointestinal yang mungkin timbul. Pada kondisi TB
paru berat dengan hipoksemia, penggunaan metformin sebaiknya dihindari karena
meningkatkan risiko asidosis laktat.9
2. Penggunaan Sulfonilurea (SU) pada pengelolaan pasien DM dengan TB, memerlukan
kehati-hatian karena dikaitkan dengan interaksi dengan Rifampicin yang menyebabkan
penurunan efikasi SU. OHO golongan ini memiliki risiko hipoglikemia yang lebih tinggi
dan memiliki variabilitas interaksi dengan Rifampicin (30–80%) akibat terjadinya
peningkatan metabolism SU oleh hepar.9
3. Insulin menjadi alternatif pada pasien yang gagal mencapai kendali glikemik dengan
kombinasi OAD. Insulin juga menjadi pilihan pada pasien yang sudah dalam terapi
insulin sebelumnya dan pasien yang sedang dalam kondisi rawat inap di rumah sakit.
• Berdasarkan Konsensus DM TB yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, pada pasien
DM dan TB, insulin merupakan intervensi farmakologis pilihan yang dapat diberikan.12
Keuntungan penggunaan insulin pada ini mengacu pada tidak adanya interaksi dengan
Rifampicin atau OAT lain. Akan tetapi, insulin memiliki beberapa kekurangan seperti
ketersediaannya serta distribusinya yang terbatas, harganya yang mahal, penyimpanannya
yang membutuhkan perhatian khusus, dan penolakan pasien untuk menggunakan insulin.7
• Ada beberapa hal mengenai interaksi obat TB pada kondisi DM yang perlu diperhatikan:9
1. Efek samping Isoniazid yang berupa polineuropati perifer dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin sebagai terapi adjuvan
2. Efek samping etambutol terhadap mata perlu menjadi perhatian karena pasien DM sering
mengalami komplikasi retinopati, bila perlu konsul spesialis Mata.
4
3. Efek samping hampir semua obat TB terhadap sistem gastrointestinal yang dapat
diperparah dengan efek samping laktoasidosis metformin (jarang). Namun, jika terjadi
penggunaan metformin harus dihentikan terutama jika terjadi perburukan pada pasien
DM yang sedang diterapi TB.
• Jenis terapi farmakologis yang digunakan untuk terapi DM dan TB dapat dilihat di Tabel 19
berikut:
Tabel 1. Pemilihan Terapi Farmakologis pada DM dengan TB
Karakteristik Metformin Turunan Sulfonilurea Insulin
Drug of choice Terapi inisial Tambahan (atau Digunakan saat target
digunakan saat terdapat HbA1c atau GDP tidak
kontraindikasi atau tercapai atau saat terjadi
intoleransi terhadap hiperglikemia yang
metformin simptomatik
Risiko hipoglikemia Tidak Ya Ya
Dosis awal 500 mg sekali atau Gliclazid 40–80 mg Insulin basal dapat
dua kali perhari sekali/hari dimulai 10 unit perhari
(dosis maksimal Glibenclamid 2.5–5 mg untuk kemudian dititrasi
2000 mg) sekali/hari sesuai dengan kadar
Glimepirid 1–2 mg glukosa darah. Titrasi
sekali/hari dan intensifikasi
Gliquidon 30 mg dua regimen insulin dapat
atau tiga kali/hari mengacu pada PPK DM
Glipizide 5 mg sekali Rawat Jalan
perhari
Interaksi dengan Tidak berhubungan Ya, 30–80% terjadi Tidak berhubungan
Rifampicin penurunan efikasi
karena interaksinya
dengan Rifampicin
Efek samping utama Gastrointestinal Hipoglikemia Hipoglikemia
Asidosis laktat
Penggunaan pada Penyesuaian dosis Peningkatan risiko Aman digunakan
kasus penurunan pada eGFR < 45 hipoglikemia (lebih
fungsi ginjal mL/menit dipilih Gliclazide)
Kontraindikasi
pada eGFR < 30
mL/menit
Keuntungan Ada Netral Netral
kardiovaskular
• Target kontrol glukosa darah pada pasien DM dengan TB juga tidak berbeda dengan pasien
DM pada umumnya. Target glikemik pada subjek kelompok ini dapat dilihat pada Tabel 212
Tabel 2. Sasaran Pengendalian DM
Parameter Sasaran
IMT 18,5–23 kg/m2
Glukosa darah preprandial kapiler (puasa) 80–130 mg/dL
Glukosa darah 1–2 jam sesudah makan kapiler < 180 mg/dL
HbA1c < 7%
5
Menurut panduan yang dipublikasikan oleh International Union Against Tuberculosis and
Lung Disesase pada tahun 2019, target kontrol glikemik pada pasien DM dengan TB dapat
lebih tinggi karena kondisi TB dan DM digolongkan ke dalam manajemen DM dengan
komorbid yang bermakna sehingga targetnya boleh lebih longgar.9
b. Manajemen TB pada DM
• Paduan OAT TB paru dengan DM dan tanpa DM tidak berbeda.13
• Lama pemberian regimen OAT minimal selama 6 bulan yang terbagi menjadi fase intensif
dan fase lanjutan. Durasi OAT dapat diperpanjang menjadi 9 bulan dengan
mempertimbangkan klinis pasien.3,12
• WHO merekomendasikan pemberian OAT dosis harian baik pada fase intensif dan
lanjutan, Tetapi sampai saat ini OAT yang berasal dari program kementerian kesehatan
masih memberikan terapi pada fase lanjutan dengan dosis intermitten
• Evaluasi pengobatan TB paru kasus baru dapat dilihat pada PPK TB Paru secara lebih
lengkap
c. Manajemen Nutrisi
• Tujuan manajemen nutrisi adalah mengatasi hiperglikemia dan malnutrisi yang dapat
dialami pasien DM dengan TB paru
• Definisi hiperglikemia dan malnutrisi pasien DM dengan TB paru mengacu kepada PPK
Diabetes Rawat Jalan dan PPK Malnutrisi
• Tatalaksana Nutrisi yang diberikan mengacu kepada PPK Diabetes Rawat Jalan, PPK TB
Multidisiplin, dan PPK Malnutrisi, yaitu:
a. Pemberian energi berdasarkan kondisi hiperkatabolisme dan malnutrisi yang dialami
dapat mencapai 35–40 kkal/kgBBI/hari dengan mempertimbangkan beratnya TB
sebagai faktor stress metabolic.
b. Pemberian karbohidrat sebesar 45–65% total asupan energi.11 Dianjurkan untuk
mengonsumsi bahan makanan sumber karbohidrat kompleks misalnya beras merah,
roti gandum, sayur dan buah-buahan yang cukup serta menghindari konsumsi
karbohidrat sederhana yaitu minuman dan makanan selingan yang manis.
c. Pemberian protein sebesar 10–30% total asupan energi dengan mempertimbangkan
fungsi ginjal pasien.
d. Pemberian lemak sebesar 20–30% total asupan energi, dengan menghindari makanan
digoreng untuk mengurangi asupan asam lemak jenuh, dan memilih jenis ikan, kacang-
kacangan dan minyak tertentu sebagai bahan makanan sumber tinggi asam lemak rantai
jamak dan asam lemak rantai tunggal.
e. Pemberian mikronutrien dari suplementasi dianjurkan pada pasien TB rawat jalan
dengan malnutrisi sampai malnutrisi teratasi atau IMT kembali normal. Pemberian
suplemen mikronutrien memerlukan pendekatan individual yang didasarkan pada
penyebab dari malnutrisi. Kebutuhan mikronutrien pasien dengan malnutrisi sedang
berbeda dengan malnutrisi berat. Suplemen multivitamin dan mineral 1x angka
kecukupan gizi (AKG) dianjurkan pada pasien malnutrisi sedang sampai berat jika
asupan tidak adekuat atau tidak tersedia makanan yang telah difortifikasi zat gizi.
• Mengacu pada PPK DM Rawat Jalan, pasien DM baru perlu diberikan asuhan dan
konseling gizi oleh dietisien.
6
• Pasien DM dengan TB paru dengan episode hiperglikemia dan malnutrisi memerlukan
konsultasi Dokter Spesialis Gizi Klinik dan atau tim terapi gizi untuk mendapatkan terapi
nutrisi medik lebih lanjut terutama pasien dengan MST > 3.
1.8. EDUKASI
Edukasi yang baik sangat diperlukan baik bagi pasien maupun pengawas minum obat (PMO)1,2.
• Pengendalian glukosa darah pada pengobatan TB dan dampak glukosa darah tidak
terkendali
• Pasien dan PMO harus diyakinkan bahwa tuberkulosis bisa sembuh apabila pasien minum
obat secara benar dan teratur.
7
• Pemberian OAT memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 6 bulan.
• OAT dapat menyebabkan efek samping, efek interaksi obat dan alergi, pasien dan PMO
harus diinformasikan mengenai kemungkinan yang terjadi dan tindakan yang harus
dilakukan apabila hal tersebut terjadi.
• Sebagai upaya meningkatkan kepatuhan pasien minum obat selain edukasi, diperlukan
tempat layanan kesehatan yang nyaman dan mudah dijangkau oleh pasien.
• Edukasi mengenai etika batuk
• Edukasi nutrisi untuk mencapai target kontrol glikemik dan kenaikan berat badan mencapai
status nutrisi normal.
1.8. PROGNOSIS
DM dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian dan kegagalan terapi pada kasus TB serta
munculnya relaps. Implikasi dampak negatif DM pada luaran TB mencakup hasil luaran yang
buruk, peningkatan risiko penularan sekunder, dan peningkatan insidensi TB.14
DAFTAR PUSTAKA
8
2015;147(2):520–8. Available from: http://dx.doi.org/10.1378/chest.14-0918
11. PERKENI. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2015.
12. Kemenkes RI. Buku Konsensus Nasional Tuberkulosis dan Diabetes melitus. 2015. p. 51.
13. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.67
Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. 2016;
14. Baker MA, Harries AD, Jeon CY, Hart JE, Kapur A, Lönnroth K, et al. The impact of
diabetes on tuberculosis treatment outcomes: A systematic review. BMC Med [Internet].
2011;9(1):81. Available from: http://www.biomedcentral.com/1741-7015/9/81