Anda di halaman 1dari 45

Case Report Session

TB PARU dengan DIABETES MELITUS

Disusun Oleh:

Najdah Fakhirah Karami 2140312109

Preseptor:

dr. Ardian, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR.M.ZEIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PAINAN
2021

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha


Kuasa, penulis dapat menyelesaikan makalah yang merupakan salah satu
syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Ilmi Penyakit Dalam
RSUD Dr. M Zein, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.
Makalah ini berjudul “TB Paru dengan Diabetes Melitus”, yang mana
ditujukan untuk menghimpun informasi sehingga diharapkan dapat
menambah pengetahuan serta pemahaman penulis dan pembaca Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Ardian, Sp.PD, selaku preseptor dan
juga semua pihak yang telah memberikan arahan dan petunjuk dalam
penyusunan makalah ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, untuk itu kritik dan
saran dari pembaca sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Painan, 27 Desember 2021

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik,


ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek
kerja insulin atau keduanya.1
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366
juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia
dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun
2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya
50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka menderita
diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur. 2
Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh
meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai
penelitian prospektif menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan
pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun
makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah
tungkai bawah. Dengan demikian, pengetahuan mengenai diabetes dan komplikasi
vaskularnya menjadi penting untuk diketahui dan dimengerti 3

1.2 Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
mengenai diabetes melitus dan komplikasinya.
1.3 Metode Penulisan
Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
dirujuk dari berbagai literatur serta laporan kasus.

3
1.4 Manfaat Penulisan
Melalui makalah ini diharapkan bermanfaat untuk menambah ilmu dan
pengetahuan mengenai vestibulopati perifer.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosisi Paru


2.1.1 Definisi
TB paru adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru.
Penyakit paru ini secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan
menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit ini dapat bersifat menahun dan dapat
menular dari penderita kepada orang lain. Mycobacterium tuberculosis bersifat aerob
yang dapat hidup terutama di paru-paru atau berbagai organ tubuh lainnya yang
mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi.
2.1.2 Faktor risiko
Teori John Gordon tahun 1950 mengemukakan bahwa timbulnya suatu
penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu
(host), dan lingkungan (environment). Beberapa faktor risiko pada penyakit TB paru
adalah :
1. Jenis Kelamin, WHO melaporkan bahwa di sebagian besar dunia, lebih
banyak laki-laki daripada wanita didiagnosis TB.
2. Umur, faktor umur berperan dalam kejadian penyakit TB paru. Kejadian
TB paru BTA positif berusia di atas 45 tahun lebih besar (69,8 %) dari
usia antara 15 – 45 tahun (37,7 %).
3. Kondisi Sosial Ekonomi, WHO pada tahun 2003 menyebutkan 90%
penderita TB paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi
lemah atau miskin.
4. Kekebalan, kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah
menderita TB paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi,
sedangkan kekebalan buatan diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin
BCG (Bacillus Calmette Guerin). Tetapi bila kekebalan tubuh lemah,
kuman TB paru akan mudah menyebabkan penyakit TB paru. Hubungan
kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian TB bahwa anak yang

5
divaksinasi BCG memiliki risiko 0,6 kali untuk terinfeksi TB
dibandingkan dengan anak-anak yang belum divaksin.
5. Status gizi, seseorang yang menderita penyakit kronis, seperti TB paru,
umumnya status gizinya mengalami penurunan. Proporsi TB paru
ditemukan sedikit lebih besar pada yang mengkonsumsi buah sayur
kurang dari 5 porsi/hari.
6. Perilaku Merokok, terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan
merokok dengan kejadian TB paru dan tidak ada hubungan yang
bermakna antara jumlah rokok yang dihisap, lamanya merokok serta jenis
rokok yang dihisap dengan kejadian TB paru.
7. Penyakit Penyerta, faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang
menderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah salah satu
penyebabnya adalah infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
Berdasarkan penelitian, seseorang dengan riwayat penyakit DM memiliki
risiko 5 kali lebih besar untuk terinfeksi TB dibandingkan dengan orang
yang tidak memiliki riwayat penyakit DM.37 Diperkuat dengan penelitian
yang lainnya, bah

2.1.3 Diagnosis TB
Diagnosis TB Paru
• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -
pagi - sewaktu (SPS).
• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman
TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis.

6
• Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
• Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru

Gambar 2.1.3 Diagnosis TB


2.1.4 Pengobatan TB
Tujuan Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

7
Tabel 1. Jenis, sifat dan dosis OAT

Prinsip pengobatan Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai


berikut:
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan
lanjutan. Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lamaTahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

8
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
• OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB di
Indonesia:
Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3.
Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket


berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT. Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien.
• Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan Obat Anti TB (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Kombinasi Dosis Tetap (KDT) mempunyai beberapa keuntungan dalam
pengobatan TB:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan
Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT Kategori 1:
2(HRZE)/4(HR)3

9
Tabel 2. Dosis Paduan OAT KDT Kategori I

2.2 Diabetes Melitus

2.2.1 Definisi DM
Menurut Perkumpuan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) 2021, Diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus sebagai
suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari
sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan
fungsi insulin. 4

2.2.2 Klasifikasi

Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus menurut Perkumpulan Endokrinologi


Indonesia (Perkeni), 2021, yaitu1 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes Melitus Tipe 1 terjadi karena proses autoimun dan idiopatik yang
menyebabkan desktruksi sel beta pankreas, umumnya berhubungan dengan
defisiensi insulin absolut akibat dan idkekurangan insulin dalam darah yang
terjadi akibat kerusakan dari sel beta pankreas.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes Melitus Tipe 2 terjadi bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin yang
disertai dengan resistensi insulin.

10
3. Diabetes Melitus Tipe spesifik yang berkaitan dengan penyebab lain
a. Sindroma diabetes monogenic (diabetes neonatal, maturity-onset diabetes of
the young (MODY) )

b. Penyakit eksokrin pankrean ( fibrosis kistik, pancreatitis )


c. Disebabkan oleh obat atau zat kimia (misalnya penggunaan glukokortikoid
pada terapi HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ

2.2.3 Epidemiologi
Badan kesehatan dunia WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien DM tipe 2
di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Prediksi International Diabetes Federation (IDF) juga menunjukkan bahwa pada
tahun 2019 - 2030 terdapat kenaikan jumlah pasien DM dari 10,7 juta menjadi 13,7
juta pada tahun 2030. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003,
diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta
jiwa, dengan prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2% pada daerah
rural, sehingga diperkirakan pada tahun 2003 didapatkan 8,2 juta pasien DM di
daerah rural. Berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan bahwa pada
tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun dan
dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%), maka
diperkirakan terdapat 28 juta pasien diabetes di daerah urban dan 13,9 juta di daerah
rural. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 oleh
Departemen Kesehatan menunjukkan peningkatan prevalensi DM menjadi 8,5%.2

2.2.4 Diagnosis

DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan HbA1c.


Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Pemeriksaan glukosa
darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
darah plasma vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. 5

11
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik, seperti: 5
● Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
● Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Pemeriksaan glukosa plasma puasa >126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik atau krisis
hiperglikemik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c > 6,5% dengan menggunakan metode High-Performance
Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National
Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) dan Diabetes Control and
Complications Trial assay (DCCT)
Sumber: Perkeni, 2021

Kriteria diagnostik prediabetes atai IRD ( Increased Risk of Diabetes)


menurut ADA 2014 adalah salah satu dari 4 (empat) komponen yang tersebut
dibawah ini6 :

1. GDPT ( glukosa darah puasa terganggu) 100 mg/dL sampai 125 mg/dL
2. 2 jam glukosa post prandial (2 jam PP) 140 mg/dL sampai dengan 199 mg/dL
pada TTGO (tes toleransi glukosa oral) dengan beban glukosa 75 g : disebut
TGT (toleransi glukosa terganggu)
3. Istilah prediabetes dapat digunakan pada pasien dengan GDPT atau TGT

12
4. HBA1C berkisar 5,7 sampai 6,4%
Tata cara pelaksanaan TTGO7 :

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari


(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti
biasa.
2. Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
4. Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) ,
dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam 5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
6. Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa
7. Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat

Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji


diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak
bergejala, tetapi punya risiko DM.
Pemeriksaan Penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes
Melitus Tipe-2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak
menunjukkan gejala klasik DM yaitu5:
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥ 23 kg/m2)
yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:
a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes melitus gestasional (DMG).

13
e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan:
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal sebaiknya
diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1
tahun.

2.2.5 Tatalaksana Diabetes Melitus


Tatalaksana DM secara Adekuat bertujuan untuk8 :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas
hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan upaya pengendalian menyeluruh,


terhadap glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid. Agar tujuan
tersebut dapat tercapai, perlu dilakukan pengelolaan secara holistik dengan
pengajaran perubahan gaya hidup dan perawatan mandiri.
Pilar penatalaksanaan DM terbagi menjadi :
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis

14
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan inter vensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)
dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara
tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan
cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. 9
1. Edukasi 9,5
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan
khusus. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi
tingkat lanjutan
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Primer yang meliputi:
- Materi tentang perjalanan penyakit DM.
- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
- Penyulit DM dan risikonya.
- Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.
- Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
- Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau
urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak
tersedia).

15
- Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
- Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
- Pentingnya perawatan kaki.
- Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Sekunder dan / atau Tersier, yang meliputi:
- Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
- Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
- Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
- Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).
- Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari sakit).
- Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir
tentang DM.
- Pemeliharaan/perawatan kaki.
Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah memenuhi anjuran:
- Mengikuti pola makan sehat.
- Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
- Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara aman
dan teratur.
- Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan
memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.
- Melakukan perawatan kaki secara berkala.
- Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit
akut dengan tepat.
- Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau
bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak
keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang DM.
- Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada

16
2. Terapi Gizi medis/ Terapi Nutrisi Medis 5,8,9
- Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes
secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh
dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya).
- Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
a. Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
- Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan
sama dengan makanan keluarga yang lain.
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari
dan kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
b. Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori

17
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole
milk).
- Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
c. Protein
- Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein menjadi
0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya
bernilai biologik tinggi.
- Pasien DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1 ʹ 1,2
g/kg BB perhari.
- Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
Sumber bahan makanan protein dengan kandungan saturated fatty acid (SAFA)
yang tinggi seperti daging sapi, daging babi, daging kambing dan produk
hewani olahan sebaiknya dikurangi untuk dikonsumsi.
d. Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk pasien DM sama dengan orang sehat yaitu <
1500 mg per hari.
- o Pasien DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan pengurangan
natrium secara individual
- o Pada upaya pembatasan asupan natrium ini, perlu juga memperhatikan bahan
makanan yang mengandung tinggi natrium antara lain adalah garam dapur,
monosodium glutamat, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan
natrium nitrit.
e. Serat
- Pasien DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan, buah dan
sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.
- Jumlah konsumsi serat yang disarankan adalah 20-35 gram per hari.

18
f. Pemanis alternative
- Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(Accepted Daily Intake/ADI). Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi
pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
- Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian
dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.
- Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada pasien DM karena dapat
meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari makanan
seperti buah dan sayuran yang mengandung fruktosa alami.
- Pemanis tak berkalori termasuk aspartam, sakarin, acesulfame potasium,
sukrose, neotame.
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan
kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang
dimodifikasi adalah sbb:
▪ Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm -100) x 1 kg.
▪ Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm -100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal ± 10 %
Kurus : < BBI -10 %
Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks
massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:

19
IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih ≥ 23,0
*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective:RedefiningObesity
and its Treatment.
❖ Dengan risiko 23,0-24,9
❖ Obes I 25,0-29,9
❖ Obes II > 30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
- Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.
- Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69
tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.
- Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
sedang, 40% dengan aktivitas berat dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
- Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat
kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori
yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan
1200-1600 kkal perhari untuk pria.
- Stres Metabolik

20
Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolik (sepsis, operasi,
trauma)
3. Latihan Fisik 5,9
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 kali
seminggu selama kurang lebih 30-45 menit). Jeda antar latihan tidak lebih dari 2
hari berturut-turut. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa
latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50 sampai 70 %
denyut jantung maksimal) seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi angka 220
dengan usia pasien. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani.
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan
jasmani. Apabila kadar glukosa darah < 100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi
karbohidrat terlebih dahulu dan bila > 250 mg/dL dianjurkan untuk menunda
latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas sehari-hari bukan termasuk
dalam latihan jasmani meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari.
4. Intervensi Farmakologi 6,9,10,11
Terapi farmakologi terdiri dari terapi dengan OAD (Obat anti diabetes oral)
atau OHO (obat hipoglikemik oral) dan terapi dengan insulin. Menurut cara kerja
OAD terbagi menjadi :
1. OAD pemicu sekresi insulin (insulin secretagogues)
2. OAD peningkat sensitivitas kerja insulin
3. OAD penghambat enzim intestinal (penghambat glukosidase-α)
4. OAD penghambat DPP-IV (peningkat hormon incretin/GLP 1: incretin
enchancer)
5. OAD tipe lain : antara lain penghambat SGLT-2

21
Pemberian OAD pada diabetisi harus dpikirkan tentang indikasi, mekanisme
kerja, dan efek samping yang mungkin terjadi.
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan
kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi
serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjur kan penggunaan sulfonilurea
kerja panjang.
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.
1) Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan
sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena
dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati.
Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala.

22
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).
1) Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah
makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara
titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau
efek samping obat tersebut.
2) Tiazolidinedion (TZD)
Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang
terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai
efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan
perifer. Tiazolidinedion menyebabkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung (NYHA fungsional
kelas III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati
pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati
secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah pioglitazone.
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa (Acarbose).
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang
paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

23
e. DPP-IV inhibitor.
Glucagon-like peptide-1(GLP-1) merupakan suatu hormon peptida
yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel
mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan.
GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai
penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah
oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit
GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe
2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif
merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan
konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat
kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau
analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk
golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1
tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu
merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
- Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
- Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
- Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
- DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

24
5. Suntikan 5,9
1) Insulin
Insulin digunakan pada keadaan :
- HbA1c saat diperiksa t 7.5% dan sudah menggunakan satu atau dua obat
antidiabetes
- HbA1c saat diperiksa > 9%
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap
- Kondisi perioperative sesuai dengan indikasi
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi 6 jenis, yakni:
- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
- Insulin kerja pendek (short acting insulin)
- Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
- Insulin kerja panjang (long acting insulin)
- Insulin kerja ultra panjang (Ultra long acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Efek samping terapi insulin:


- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
- Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

25
Dasar pemikiran terapi insulin:
- Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial.
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang
fisiologis.
- Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial
atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya
hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial
akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
- Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi
terhadap defisiensi yang terjadi.
- Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah
basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral
maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran
glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau
panjang).
- Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum
tercapai.
- Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan
A1C belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah
prandial (meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai
sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting)
atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan
insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin
basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali
prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
- Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan
glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin
kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat
dari lumen usus (acarbose).

26
- Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian.

2) Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan
baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun
peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan
insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan
berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan
glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada
percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta
pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa
sebah dan muntah.
6. Terapi Kombinasi 5,9
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi
dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combinationdalam bentuk
tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan

27
terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah
6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan
cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali,
maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.

7. Algoritma pengobatan Diabates melitus tipe 2 tanpa dekompensasi metabolik


berdasarkan perkeni 2021

Gambar 2.2.5 Algoritma Pengelolaan DM Tipe 2

2.2.6 komplikasi diabetes melitus tipe 2 5,9


Penyulit Akut
1) Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda
dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat
(300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap.
2) Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200
mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat

28
(330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.
Catatan: kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas
dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna
mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.
3) Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya:
- Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL
- Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering
disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat
sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh
obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu
yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada
pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO
kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus
dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran
mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut
sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.
- Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak
keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah,
kesadaran menurun sampai koma).
- Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi
pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang
mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau
glukosa 15-20 gram melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang
glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada
pasien dengan hipoglikemia berat.
- Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan
glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum
dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.

29
Penyulit Menahun
1) Makroangiopati
- Pembuluh darah jantung
- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang
diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent,
meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan
kelainan yang pertama muncul.
- Pembuluh darah otak
2) Mikroangiopati:
- Retinopati diabetic
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati
- Nefropati diabetik
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan me-ngurangi risiko
nefropati
- Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi
risikoterjadinya nefropati
3) Neuropati
- Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untukterjadinya ulkus kaki dan
amputasi.
- Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan
lebih terasa sakit di malam hari.
- Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining
untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.
- Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai
akan menurunkan risiko amputasi.
- Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan
trisiklik, atau gabapentin.

30
- Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.

31
BAB 3
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Ny. Sari Manis
Umur : 70 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
No MR : 173397
Tanggal periksa : 28 Desember 2021
Status Perkawinan : Janda
Agama : Islam
Suku : Minang

Keluhan Utama
Sesak nafas yang meningkat sejak 3 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


- Sesak nafas meningkat sejak 3 jam SMRS (+). Sesak tidak menciut, tidak
dipengaruhi cuaca, makanan, dan aktifitas. Sesak tidak hilang dengan istirahat
dan diperberat ketika batuk. Riwayat terbangun di malam hari karena sesak
dan tidur dengan bantal tinggi disangkal.
- Batuk kering (+) sejak 3 minggu yang lalu. Pilek (-) Demam (-)
- Keringat malam hari (+) sejak 2 minggu yang lalu
- Lemah dan letih sejak 3 minggu yang lalu. Pusing (+) rasa seperti berputar,
tidak dipengaruhi posisi. Pingsan(-)
- Penurunan nafsu makan sejak 3 minggu yg lalu. Penurunan berat badan ± 4 kg
dalam 3 minggu terakhir (dari 40 kg menjadi 36 kg)
- Rasa kesemutan dan kebas-kebas pada kedua kaki (+)
- Padangan kabur (+)

32
- Nyeri ulu hati (-) Mual (-) Muntah (-)
- BAK warna kuning, frekuensi 3-4 kali/hari
- BAB warna kuning kecoklatan, frekuensi 1x/hari, konsistensi biasa.
- Pasien post rawatan 1 minggu yang lalu dengan HONK ec DM Tipe II dan
CKD stage III

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat Diabetes Mellitus (+) sejak ± 6 tahun yang lalu. GDS tertinggi 530
g/dl. Tidak terkontrol.
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat sakit jantung (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama
- Riwayat Diabetes Mellitus (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat sakit ginjal (-)

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan


- Pasien seorang Janda dengan aktifitas ringan.
- Merokok tidak ada
- Alkohol (-)
- Riwayat konsumsi makanan (sebelum sakit) 1-2x/hari
Makan pagi, 1 porsi nasi + lauk dan sayur + teh manis (1 ½ sdm) jam 07.00
Makan sore/malam, 1 porsi nasi + lauk dan sayur jam 17.00/19.00

33
A. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis :
Keadaan Umum : Compos mentis cooperative, tampak sakit sedang,
Tanda vital
Tekanan Darah : 150/86 mmHg
Nadi : 90x/menit
Nafas : 28x/menit
Suhu : 36.7ºC
Kulit : Kulit teraba hangat, turgor kulit baik
KGB : TIdak ada teraba pembesaran KBG coli, aksial, inguinal
Kepala : Normosefali, rambut tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Hidung : Tidak tampak deformitas
Telinga : Tidak ada kelaianan
Mulut : tidak ada kelainan
Leher : JVP 5 + 0 cm H20
Thoraks
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Atas : RIC II, Kanan: LSD, Kiri: 1 jari medial LMCS RIC V
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru :
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Fremitus melemah pada basal paru sinistra
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : SN vesikuler, ronki (+/+), wheezing (-/-)
Abdomen

34
Inspeksi : Supel (+) Distensi (-)
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Punggung : Tidak terdapat nyeri ketok CVA
Genetalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik , edema pada tungkai ( +/+ )

B. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Rontgen thorax (27/12/2021)

Gambar 3.2 Rontgen thoraks

35
- Sentris, Simetris, Densitas cukup, Inspirasi cukup,
- Segmen aorta normal, segmen pulmonal normal, pinggang jatung (+), apeks sulit
dinilai, CTR sulit dinilai, sudut costofrenikus tumpul.
- Tampak perselubungan homogen di kedua paru dengan bagian lateral lebih tinggi dari
medial disertai infiltrate di kedua lapang paru.

Kesan : Efusi pleura dengan Pneumonia

Hematologi(27/12/2021)

Hemoglobin : 10,8 gr/dl

Leukosit : 12.100 gr/dl

Trombosit : 351.000 /mm3

Hematokrit : 31 %

Hitung jenis : 0 / 0 / 1 / 73/ 16 / 9


Kesan : Anemia ringan, Leukositosis

Kimia Klinik(27/12/21)

GDS : 443 mg/dl

Ur/Cr : 42/1,2 mg /dl

Na / K / Cl / Ca : 133/4,3/104 mmol / L

Kesan : GDS meningkat, kreatinin meningkat

Urinalisa (27/1/21)

Makroskopis :
• Warna : Kuning
• Kekeruhan : Negatif
• BJ : 1.030
• pH :6

36
Mikroskopis:
• Leukosit : (+)
• Eritrosit : (+)
• Silinder : (-)
• Kristal : (-)
• Epitel : 4-5
Glukosa Urine : (+++)
Protein Urine : (++)
Bilirubin : Negatif
Urobillin : Normal
Benda Keton : (-)

Kesan : Leukosuria, Glukosuria, proteinuria,

EKG (27/12/21)

Gambar 3.4: EKG

Intepretasi EKG :

Sinus rhytm, QRS rate 107 x/menit, Axis N, P wave 0,06”, PR interval 0,12”, QRS
complex 0,08”, ST depresi (I, II, III, avF), LVH (-), RVH (-)

Kesan : ST depresi di inferior dengan Sinus Takikardi

37
Diagnosis Kerja

- TB Paru
- Efusi Pleura bilateral
- Anemia ringan
- DM tipe II
- CHF
- CAD
Diagnosis Banding

- NSTEMI
- UAP

Tatalaksana

- Ist / Diet ML 1200 kkal / O2 10 liter/menit


- IVFD NaCl 0,9% 16 tpm
- Inj Lasix 2 x 1 amp (IV)
- Inj Farmavon 3 x 1 amp (IV)
- OAT KDT RHZE 2 tab (PO)
- Nebu Ventolin + Nacl 1 cc / 6 jam
- Clopidogrel 1 x 75 mg (PO)
- Nitrocaf 2 x 2,5 mg (PO)
- Ranitidin 1x20mg (PO)
- Sucralfate syr 3x 1 cth
- Sliding scale / 4 jam
Prognosis

- Quo Ad vitam : dubia ad bonam


- Quo Ad functionam : dubia ad bonam
- Quo Ad sanationam : dubia ad malam

38
Pemeriksaan Anjuran

- Kultur sputum
- GeneXpert MTB/Rif
- Troponin I
- Sediaan hapus darah tepi

39
BAB 4

DISKUSI

Seorang pasien perempuan berusia 70 tahun datang ke IGD RSUD M.Zein,


Painan pada tanggal 27 Desember dengan keluhan utama Sesak nafas meningkat
sejak 3 jam SMRS.
Dari anamnesis yang dilakukan, didapatkan keluhan Sesak yang meningkat
sejak 3 jam SMRS. Sesak tidak menciut, tidak dipengaruhi cuaca, makanan, dan
aktifitas, sesak juga tidak hilang dengan istirahat. Riwayat terbangun di malam hari
karena sesak dan tidur dengan bantal tinggi disangkal oleh pasien. Batuk kering
dialami pasien sejak 3 minggu yg lalu. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas ketika
batuk. Keringat malam hari sering dirasakan pasien dalam 2 minggu terakhir.
Penurunan nafsu makan dan penurunan BB yang tidak diketahui berapa kilogram.
Lemah letih sejak 1 minggu yang lalu disertai rasa pusing berputar. Pasein mengeluh
kesemutan dan kebas-kebas pada kedua kaki. Pandangan kabur dirasakan sejak 1
tahun. Nyeri dada dan berdebar-debar disangkal. Nyeri ulu hati, mual dan muntah
juga tidak ada. Pasien Riwayat Diabetes melitus sejak 10 tahun yang lalu dengan
GDS tertinggi 530 g/dl dan tidak terkontrol. Riwayat Hipertensi dan sakit jantung
disangkal oleh pasien.
Berdasarkan keluhan yang di alami pasien, maka dapat diarahkan kepada
kasus terduga TB. Kasus terduga TB memiliki gejala utama batuk selama 2 minggu
atau lebih yang diikuti gejala tambahan yaitu sesak nafas, lemah, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, dan berkeringat di malam hari seperti yang dialami
oleh pasien. Pasien mengeluhkan sesak yg tidak dipengaruhi aktivitas dan tidak
berkurang dengan istirahat sehingga dapat disingikrkan sesak nafas kardiak.
Kemudian sesak juga tidak dipengaruhi cuaca dan makanan, sehingga sesak yang
mengarah pada asma dan alergi dapat disingkirkan. Sesak nafas pada TB paru
disebabkan karena adanya infeksi oleh kuman mycobacterium Tuberculosis melalui

40
airbone. Kuman TB yang terinhalasi berkembang biak intraseluler di dalam makrofag
sehingga menyebabkan pneumonia tuberculosis dan mengganggu proses pertukaran
oksigen di alveoli.
Pasien juga mengeluhkan batuk kering dirasakan sejak 3minggu lalu. Batuk
merupakan reflex pertahanan tubuh yang timbul akibat iritasi percabangan
tracheobronkial. Refleks batuk merupakan mekanisme yang penting untuk
membersihkan saluran napas bawah. Rangsangan yang menyebabkan reflex batuk
biasanya adalah rangsangan kimia, mekanik, dan peradangan.
Pada pasien juga didapatkan adanya penurunan nafsu makan yang diikuti
penurunan berat badan ± 4 kg dalam 3 minggu terakhir. Penurunan nafsu makan pada
TB paru terjadi karena infeksi Mycobacterium tuberculosis merangsang aktivasi
makrofag oleh IFN-γ dan produksi pirogen endogen IL-1, IL-4, IL-6 dan TNF-α.
Pirogen endogen tersebut akan bersirkulasi secara sistemik dan memberi sinyal ke
hipotalamus. Efek sitokin pirogen endogen pada hipotalamus menyebabkan produksi
prostaglandin. Prostaglandin akan merangsang cortex cerebral sehingga terjadi
peningkatan produksi leptin sehingga menimbulkan supresi nafsu makan. Penurunan
nafsu makan pada TB menyebabkan sedikitnya intake makanan, sehingga terjadi
penurunan berat badan.
Dari anamnesis juga ditemukan kebas-kebas pada kaki dan pandangan kabur.
Pasien mempunyai riwayat diabetes melitus yang tidak terkontrol sejak 10 tahun yang
lalu. Kebas pada kaki pasien dapat diarahkan pada neuropati diabetikum dan
pandangan kabur dapat diarahkan pada retinopati diabetik. Keluhan ini merupakan
penyulit menahun pada diabetes melitus. Penyulit menahun terbagi menjadi
makroangiopati dan mikroangiopati. Makroangiopati terjadi pada pembuluh darah
besar seperti otak, dan jantung. Mikroangiopati terjadi pada pembuluh darah kecil
seperti di mata, ginjal dan perifer.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan konjungtia anemis, Tekanan Darah 150/86
mmHg, Nadi 90x/menit, Nafas 28x/menit, Suhu 36,7ºC. Pada pemeriksaan paru
ditemukan suara nafas vesikuler dengan rhonki di kedua lapangan paru dan
ditemukan edema di kedua tungkai. Dari pemeriksaan diatas, rhonki pada paru dapat

41
terjadi karena adanya infeksi. Hal ini sejalan dengan keluhan pasien yang mengarah
pada TB Paru. Selain itu, rhonki juga dapat terjadi akibat bendungan paru karena
adanya aliran balik vena pulmonalis akibat peningkatan tekanan pengisian ventrikel
kiri pada kondisi gagal jantung. Pada pasien juga ditemukan edema pada kedua
tungkai. Edema merupakan kondisi adanya penunmpukan cairan di ruang antar sel,
hal ini dapat disebabkan karena tingginya tekanan aliran balik vena menuju jantung
akibat kondisi gagal jantung.

Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Pada rontgen thoraks


pasien ditemukan kesan Efusi pleura dengan pneumonia. Tampak perselubungan
homogen di kedua paru dengan bagian lateral lebih tinggi dari medial dan sudut
costovertebrae yang tumpul, disertai infiltrate di kedua lapang paru. Infiltrat pada
kedua lapang paru dapat membantu menegakkan diagnosis TB paru pada pasien.
Sementara Efusi pleura yang ditemukan dapat mengarah pada bendungan akibat
kondisi gagal jantung.

Pada pemeriksaan laboratorium hematologi rutin didapatkan kesan anemia


ringan dengan leukositosis. Leukositosis pada pasien terjadi karena adanya infeksi di
dalam tubuh akibat kuman Mycobacterium Tuberculosis. Pada pemeriksaan kimia
klinik ditemukan GDS meningkat. Gula darah pada pasien meningkat dapat
disebabkan karena adanya infeksi pada tubuh. Infeksi akan menyebabkan pelepasan
hormone stress seperti kortisol dan katekolamin yang memicu proses
glukoneogenesis. Selain itu, gula darah yang tinggi juga disebabkan karena pasien
tidak rutin kontrol berobat.

Berdasarkan EKG didapatkan adanya ST depresi pada inferior, hal ini dapat
diarahkan pada penyakit arteri coroner akibat makroangiopati pada penyakit diabetes
melitus menahun yang dialami oleh pasien.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang


dilakukan dapat ditegakkan diagnosis TB Paru, CHF, CAD, DM Tipe II, dan Anemia
ringan.

42
Untuk tatalaksana awal TB pada pasien diabetes melitus sama seperti OAT
yang diberikan pada pasien TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula darah yang
terkontrol. Pasien dapat diberikan 2 tablet KDT RHZE selama 8 minggu dilanjutkan
KDT RH selama 16 minggu. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka
pengobatan diberikan selama 9 bulan. Kemudian pemberian rifampisisn akan
mengurangi efektivitas sulfonylurea, sehingga dosis perlu ditingkatkan. Pemberian
etambutol juga perlu diperhatikan karena bisa menyebabkan komplikasi pada mata
dan pemberian INH juga harus ketat dipantau karena dapat menyebabkan komplikasi
neuropati perifer.

Tatalaksana CAD pada pasien diberikan Nitrocaf 2x2,5 mg sebagai


vasodilator dan clopidogrel 1x75 mg sebagai antiplatelet untuk mencegah terjadinya
penyumbatan pada pembuluh darah koroner. Diabetes melitus menahun mempunyai
risiko komplikasi makroangiopati yang salah satunya pada pembuluh darah Koroner.
Pada pasien juga ditemukan edema kedua tungkai, sehingga diberikan Injeksi Lasix
2x1 amp untuk mengurangi beban jantung pasien. Kemudian, pasien juga di terapi
sliding scale / 4 jam untuk mengatasi gula darah pasien yang tinggi.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Burhan E. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan TB di Indonesia. Edisi 2.


Jakarta:2021
2. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar
ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III.
Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1857.
3. Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu
Diabetes.2008. http: //pdpersi.co.id
4. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan
strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI,
2006; 1906.
5. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di
Indonesia 2021. Jakarta : PERKENI, 2021
6. PERKENI. 2015. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2
di Indonesia. PB. PERKENI. Jakarta.
7. Tjokoprawiro A, Murtiwi, S. 2015. Diabetes Melitus. Dalam: Buku ajar ilmu
penyakit dalam fakultas kedokteran universitas airlangga rumah sakit pendidikan
Dr. soetemo surabaya. Surabaya. Airlangga University Press.
8. Idrus A, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary DL. 2016. Penatalaksanaan
dibidang ilmu penyakit dalam panduan praktik klinis. Jakarta. InternaPublishing
9. Priantono D, Sulistianingsih DP. 2014. Diabetes melitus. Dalam: Kapita selekta
kedokteran edisi IV. Jakarta. Media Aesculapius
10. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe
2 di Indonesia. PB. PERKENI. Jakarta.
11. Soegondo S. 2014. Farmakoterapi pada pengendalian Glikemia diabetes melitus
tipe 2. Dalam : Buku ajar ilmu Penyakit dalam. Jakarta. InternaPublishing
12. Tjokoprawiro A, Murtiwi, S. 2015. Terapi farmakologis: OAD dan insulin
praktis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran universitas

44
airlangga rumah sakit pendidikan Dr. soetemo surabaya. Surabaya. Airlangga
University Press.
13. Alavi A et al. Diabetic Foot Ulcers Part 1. Pathophysiology and Prevention.
Journal of the American Academy of Dermatology. 2014: 70(1);1.e1-1.e18
14. Mendes JJ, Neves JJ. Diabetic Foot Infections: Current Diagnosis and Treatment.
The Journal of Diabetic Foot Complications.2012:4(2);26-45
15. Singh S, Pai DR, Yuhhui C. Diabetic Foot Ulcer-Diagnosis and Management.
Clinicl Research on Foot and Ankle.2013:01(03)
16. Noor S, Zubair M, Ahmad J. Diabetic foot ulcer—A review on pathophysiology,
classification and microbial etiology. Diabetes & Metabolic Syndrome: Clinical
Research & Reviews. 2015;9(3):192-199

45

Anda mungkin juga menyukai