Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

TUBERCULOSIS PADA ANAK

Tugas Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Periode 8-20 Juli 2020

Disusun oleh:
Haerun Nisa Siregar
1920221102

Pembimbing:
dr. Tri Faranita, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
PERIODE 8 – 20 Juli 2020

1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Oleh:

Haerun Nisa Siregar


1920221102

Bogor, 14 Juli 2020


Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing,

(dr. Tri Faranita, Sp. A)

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas
berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Tuberkulosis pada Anak”. Referat ini adalah salah satu syarat dalam tugas
Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Anak.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Tri Faranita, Sp. A selaku
pembimbing yang telah membimbing dan meluangkan waktu, tenaga dan
pikiran sehingga referat ini dapat tersusun dengan baik. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis
dalam penyusunan referat ini.
Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan tema penulisan. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan referat ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar dapat menjadi
lebih baik di kemudian hari. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga
referat ini dapat memenuhi tujuan penulisan dan bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, 14 Juli 2020

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga
disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau
organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru.
Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang
dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah diagnosis,
pengobatan, pencegahan serta TB dengan keadaan khusus1,2.
Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa
sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis,
dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama
TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang
tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab
tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara berkembang maupun di
negara maju. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di
Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar
140.000 orang per tahun9.
Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit
didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Karena sulitnya
mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti
overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment.
Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa
dengan sputum basil tahan asam positif sehingga penanggulangan TB ditekankan
pada pengobatan pengobatan TB dewasa. Akibatnya penanganan TB anak kurang
diperhatikan1.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberculosis (TB) adalah suatu infeksi bakteri yang sangat menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis paling sering
menyerang jaringan paru, akan tetapi juga dapat terjadi pada jaringan lain1.

2.2 Epidemiologi
Menurut WHO pada tahun 2014 anak dengan usia 0-14 tahun di negara endemik
10-20% mengalami tuberkulosis. Pada penelitian lain dikatakan bahwa di negara-
negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun
adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi umum dan terdapat
sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun. Usia anak yang
memilki prevalensi terbanyak TB adalah dengan usia kurang dari 5 tahun dan TB paling
sering merupakan TB paru, dan biasanya anak dengn TB memiliki berat badan yang
rendah, TB pada anak terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Di
negara-negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15
tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi umum dan
terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun2.
Proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB di
Indonesia pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5%
pada tahun 2011; 8,2% pada tahun 2012; 7,9% pada tahun 2013;
7,16% pada tahun 2014, dan 9% di tahun 2015. Proporsi tersebut
bervariasi antar provinsi, dari 1,2 % sampai 17,3%. Vatiasi
proporsi ini mungkin menunjukkan
endemisitas yang berbeda antara provinsi, tetapi bisa juga
karena pcrbcdaan kualitas diagnosis TB anak pada level provinsi1.

2.3 Faktor Resiko


Faktor risiko penularan TB pada anak sama halnya dengan
TB pada umumnya, tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan,
dan daya tahan tubuh. Pasicn TB dcngan BTA positif mcmbcrikan
kcmungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB
dengan BTA negatif. Pasicn TB dcngan BTA ncgatif masih memiliki
kcmungkinan mcnularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB
BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur
positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan
foto toraks positif adalah 17%9.

2.4 Klasifikas

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:1


1) Tuberkulosis paru:
a) adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. TB
milier dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada
jaringan paru.
b) Limfadenitis TB di rongga dada (hilus dan atau mediastinum)
atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang
mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru.
c) Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita
TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
2) Tuberkulosis ekstra paru :
a) Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya
: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi,
selaput otak dan tulang.
b) Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra
paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium
tuberculosis.
c) Pasien T B ekstra paru yang menderita TB pada beberapa
organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada
organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.
b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya1:

1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan


pengobatan TI3 sebelumnya atau sudah pemah menelan
OAT namun kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya
pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan basil
pengobatan TB terakhir, yaitu1:
a) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini
didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis
atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karcna
rcinfcksi).
b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien
TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada
pengobatan terakhir.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost
to follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan
dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini scbclumnya
dikcnal scbagai pengobatan pasien setelah putus berobat
/default).
d) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun
hasil
akhir pengobatan sebelumnya tidak
diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui1:


adalah pasien TB yang tidak masuk dalam kelompok (a) atau
(b).

1
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji
kepekaan contoh uji dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan
dapat berupa:
1) Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis
OAT lini pertama saja.
2) Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis
OAT
lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan
3) Multi drug resistant (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H)
dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
4) Extensive drug resistant (TI3 XDR): TI3 MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT
lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin)
5) Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap
Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT
lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes
cepat) atau metode fenotip (konvensional).

d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV1:


Pemeriksaan HIV wajib ditawarkan pada semua pasien TB
anak Berdasarkan pemeriksaan HIV, TB pada anak
diklasifikasikan sebagai:
1) HIV positif
2) HIV negatif
3) HIV tidak diketahui

2.5 Patogenesis
Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam droplet nuklei yang
terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi
pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang
tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian
kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak
dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya
kuman TB membentuk lesi ditempat tersebut, yang dinamakan fokus primer
Ghon1,2.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi
disaluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan
terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan
antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks
primer1,2,8.
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi.
Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-12 minggu, biasanya selama 4-8
minggu. Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler
tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif.
Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar
individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun
seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian
kecil kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas
seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan
segera dimusnakan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated
immunity, CMI ).
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer dijaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB1,2.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional.
Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi
akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas)1,2.
Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran
normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut, sehingga bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus
akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru
melalui mekanisme ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan ateletaksis
kelenjar yang mengalami inflamsi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gangguan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi1,2.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer
atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi
penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik1,2.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis. Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh,
bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks
paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di
organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya,
kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan
proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang
di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat
dewasa1,2.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun
pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga
bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB
endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB
pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi
sering terjadi pada remaja dan dewasa muda1,2.
Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan
manifestasi TB pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi
TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi,
paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah
infeksi primer. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi
primer1,2.
Bagan 1. Patogenesis tuberkulosis

2.6 Perjalanan Alamiah

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang

konstan, sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu
kalender terjadinya TB di berbagai organ1.

Gambar 1. Kalender perjalanan penyakit TB primer


Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin
biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB.
Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan
eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga
jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini1.
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya
berlangsung dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan
meningitis TB. Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah
infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama,
walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal
biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian
besar manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada
1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama
setelah diagnosis TB1.

2.7 Gejala Klinis


Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala
khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara
klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk
menegakkan diagnosa secara klinik1,2,3.
a. Gejala sistemik/utama1
1. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
2. Penurunan nafsu makan dan berat badan.
3. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan
darah).
4. Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

b. Gejala khusus2
1. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi
sumbatan sebagian bronkus akibat penekanan kelenjar getah
bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi",
suara nafas melemah yang disertai sesak.
2. Kalau ada cairan dirongga pleura, dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
3. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi
tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan
bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar
cairan nanah.
4. Pada anak-anak dapat mengenai otak dan disebut sebagai
meningitis, gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan
kesadaran dan kejang-kejang.

c. Gambaran klinis sesuai klasifikasi


1. Tuberkulosis primer9

Gambaran klinis dari tuberkulosis primer mayoritas pada anak yang


terinfeksi relatif tidak bergejala. Dan bila terdapat gejala, biasanya
akan mulai nampak 1-6 bulan sesudah terinfeksi. Kompleks primer
(fokus Ghon) mungkin tidak tampak di X- foto thorax.
Tuberkulosis primer terbagi atas: TBC paru-paru, TBC extra-
thorax, TBC neonatus.

Gejala klinis tuberkulosis primer pada anak:

1. Umum: Febris <39°C ~1-2 minggu, menggigil (chills), batuk


lebih dari 2 minggu, anorexi, lesu, flu, tidak mau main seperti
biasa.
2. Batuk produktif (beriak) & hemoptysis amat jarang
3. Pada X-foto Thorax (Pesan lateral, bila AP “normal”)
a. Limfadenopati pada hilum, mediastinum, leher
b. Infiltrat di segmen atau lobus, jarang konsolidasi
c. Atelektasis
d. Efusi plura: lebih sering pada remaja, nyeri dada
e. Motif milier: seperti “badai salju”
Gambar 2. Tuberkulosis primer dengan limfadenopati para-tracheal.

Gambar 3. Tuberkulosis primer infiltrat di paru-paru kanan lobus atas, serta


atelektasis.

Gambar 4. Tuberkulosis primer serta efusi pleura kanan

Gejala klinis TBC extra-thorax pada anak:

1. Kelenjar superfisial: “cold abcess”


2. Skrofula: kelenjar-kelenjar leher yang bergabung, bernanah.
3. Tulang dan sendi:
- Spondilytis (40%): kyphosis, skoliosis
- Pelvis-femur: pincang, nyeri, kaki pendek
- Tulang mastoid: mirip dengan otitis media kronis
4. Mata: konjungtivitis berat
5. Abdomen: nyeri perut, diare, asites, atau obstruksi usus
6. Perikarditis: lemah, denyut jantung terdengar jauh.
7. X-foto: jantung besar seperti “kresek penuh air”

Gambar 5. TBC extra-thorax. Skofula: tuberkulosis limfadenitis


serta ulserasi.

Gambar 6. TBC extra-thorax. Tuberkulosis tulang spinus serta abses


paravertebral.
Gambar 7. TBC extra-thorax. Tuberkulosis primer dengan
perikarditis konstriktif. Denyut jantung terdengar jauh.

Gejala klinis TBC milier pada anak:

- Biasanya terjadi 1-3 bulan sesudah infeksi


- Gejala awal: lemah, lesu, nyeri, kepala pusing, takikardia
- X-foto: banyak flek kecil di semua lobus, bagaikan “badai
salju”

Gambar 8. Tuberkulosis milier dengan kavitas di paru kanan lobus


bawah.
a. TBC paru-paru sekunder/reaktivasi

TBC paru-paru sekunder umumnya terjadi pada remaja atau


pemuda. Gejala awalnya didahului dengan batuk kering yang
kemudian diikuti dengan keluarnya sputum mukus, lalu
mukopurulen, lalu bercampur darah. Gejala ringan lainnya yang
mungkin ada antara lain adalah malaise, anoreksia, berat badan
menurun, serta keringat malam. Pada gambaran X-foto thorax
dapat telihat adanya bayangan pada apex, lalu akan meluas sampai
konsolidasi lobus-lobus, hingga dapat terjadi pneumothorax, efusi
pleura, dan empyema1,2,9.

Gambar 9. Tuberkulosis sekunder dengan infiltrat dan kavitas di


lobus atas pada paru-paru kanan.

2.8 Diagnosis
1. Anamnesis
Tanyakan mengenai gejala, gali terlebih dahulu mengenai typical
symptomps baru dilanjutkan mengenai gejala khusus gejala klini head to toe.
Tanyakan mengenai riwayat imunisasi, riwayat kelahira, daan termasuk
riwayat pajanan terhadap pasien TB.
2. Pemeriksaan Fisik
- Lakukan pemeriksaan mulai dari vital sign, dilanjutkan dengan
pemeriksaan berat badan dan pemantauan gizi, karena anak dengan TB
cenderung memiliki BB atau gizi yang rendah.
- Pemeriksaan system respirasi
- Pemeriksaan organ sesuai dengan kecurigaan yang didapat ketika
anamnesis
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang
penting untuk menentukan diagnosis TB, baik pada
anak maupun dewasa. Pemeriksaan sputum pada anak
terutama dilakukan pada anak berusia lebih dari 5 tahun,
HIV positif, dan gambaran kelainan paru. Luas1,2,9.
Namun demikian, karena kesulitanan pengambilan
sputum pada anak dan sifat pausibasiler pada TB anak,
pemeriksaan bakteriologis selama ini tidak dilakukan secara
rutin pada anak yang dicurigai sakit TB. Dengan semakin
meningkatnya kasus TB resistan obat dan TB HIV, saat
ini pemeriksaan bakteriologis pada anak merupakan
pemeriksaan yang seharusnya dilakukan, terutama di
fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai fasilitas
pengambilan sputum dan pemeriksaan bakteriologis. Cara
Mendapatkan sputum pada anak:
a. Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun biasanya sudah dapat
mengeluarkan sputum/dahak secara langsung dengan
berdahak.
b. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (nasogastric tube) dapat
dilakukan pada anak yang tidak dapat mengeluarkan
dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan minimal 2 hari
berturut-turut pada pagi hari.
c. Induksi sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk
dikerjakan pada anak semua umur, dengan hasil yang
lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila
menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa
dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan
dan peralatan yang memadai untuk melakukan metode
ini.
Beberapa pemeriksaan bakteriologis untuk TB:
a. Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau spesimen
lain
(cairan tubuh atau jaringan biopsi)
Pemeriksaan STA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2
kali yaitu sewaktu dan pagi hari.
b. Tes cepat molekuler (TCM)
TB
1) Saat ini beberapa teknologi baru telah dikembangkan
untuk dapat mengidentifi.kasi kuman Mycobacterium
tuberculosis dalam waktu yang cepat (kurang lebih 2jam),
antara lain pemeriksaan Line Probe Assay (misalnya Hain
GenoType) dan NAAT-Nucleic Acid Amplification Test)
(misalnya Xpert MTB/RIF).
2) Pemeriksaan TCM dapat digunakan untuk mendeteksi
kuman
Mcobacterium tuberculosis secara molecular sekaligus
menentukan ada tidaknya resistensi terhadap Rifampicin.
Pemeriksaan TCM mempunyai nilai diagnostik yang lebih
baik dari pada pemeriksaan mikroskopis sputum, tetapi
masih di bawah uji biakan. Hasil negatif TCM tidak
menyingkirkan diagnosis TB.
c. Pemeriksaan
biak.an
Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan
kuman
penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis
pada
pemeriksaan biakan (dari sputum, bilas lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan).
Pemeriksaan biakan sputum dan uji kepekaan obat dilakukan
jika fasilitas tersedia. Jenis media untuk pemeriksaan biakan
yaitu:
1) Media padat: hasil biakan dapat diketahui 4-8
minggu
2) Media cair: hasil biakan bisa diketahui lebih cepat
(1-2 minggu), tetapi lebih mahal.

2. Pemeriksaan Penunjang Lain


Beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis TB pada anak:
a. Uji tuberkulin
1) Uji tuberkulin bermanfaat untuk membantu
menegakkan diagnosis TB pada anak, khususnya jika riwayat
kontak dengan pasien TB tidak jelas. Uji tuberkulin tidak
bisa membedakan antara infeksi dan sakit TB. Hasil
positif uji tuberkulin menunjukkan adanya infeksi dan
tidak menunjukkan ada tidaknya sakit TB. Sebaliknya, basil
negatif uji tuberkulin belum tentu menyingkirkan diagnosis TB.
2) Cara melakukan dan pembacaan hasil uji tuberkulin diuraikan
sccara rinci di lampiran.
3) Pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya infeksi TB adalah
dengan Imunoglobulin Release Assay (IGRA). IGRA tidak
dapat membedakan antara infeksi TB laten dengan TB aktif.
Penggunaannya untuk deteksi infeksi TB tidak lebih
unggul dibandingkan uji tuberkulin. Program nasional belum
mcrckomcndasikan pcnggunaan IGRA di lapangan.

b. Foto toraks
Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis TB pada anak. Namun gambaran foto
toraks pada TB tidak khas kecuali gambaran TB milier. Secara
umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai
berikut:
1) Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa
infiltrat (visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus
disertai foto toraks lateral)
2) Konsolidasi
segmental/lobar
3) Efusi pleura
4) Milier
5) Atelektasis
6) Kavitas
7) Kalsifikasi dengan
infiltrate

8) Tuberkuloma
c. Pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi)
Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma
dengan
nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan
gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.
3. Skoring tuberkulosis
UKK Respirologi IDAI 2007 menyusun sistim skoring yang dapat
digunakan sebagai uji tapis bila sarana memadai. Bila skor ≥6, beri OAT
selama 2 bulan, lalu evaluasi. Bila respon positif maka terapi diteruskan, tetapi
bila tidak ada respon, rujuk ke rumah sakit untuk ditinjau lebih lanjut. Rujukan
ke rumah sakit dilakukan sesegera mungkin bila ditemukan tanda-tanda bahaya
seperti gambaran milier pada foto rontgen, gibbus, skrofuloderma, dan terdapat
tanda infeksi sistim saraf pusat (kejang, kaku kuduk, kesadaran menurun), serta
kegawatan lain. [Tabel 1]
Tabel 1. Skoring Tuberkulosis
Seorang anak akan dinyatakan menderita TB anak jika skor nya
lebih dari atau sama dengan 5. Untuk anak yang keadaan klinisnya
menunjukkan TB namun skornya kurang dari 5, maka akan dilakukan
observasi terlebih dahulu, dan setelah 2 minggu akan dilakukan
pemeriksaan ulang untuk mengetahui progresivisitas penyakit.
WHO membuat kriteria anak yang diduga menderita TB, bila:
1.  Sakit, dengan riwayat kontak dengan seseorang yang diduga atau
dikonfirmasi menderita TB paru;
2.  Tidak kembali sehat setelah sakit campak atau batuk rejan
(whooping cough);
3.  Mengalami penurunan berat badan, batuk, dan demam yang tidak
berespon dengan antibiotik saluran nafas;
4.  Terdapat pembesaran abdomen, teraba massa keras tak terasa sakit,
dan ascites;
5.  Terdapat pembesaran kelenjar getah bening superfisial, tidak terasa
sakit, dan berbatas tegas;
6.  Mengalami gejala-gejala yang mengarah ke meningitis atau
penyakit sistim saraf pusat.
4. Alur Diagnosis
Bagan 2. Alur Diagnosis Tuberkulosis

BAB III
KESIMPULAN

2.9 Tatalaksana
Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa,
dengan tujuan utama pemberian obat anti TB sebagai berikut1:
1. Menyembuhkan pasien
TB
2. Mencegah kematian akibat TB atau efek jangka
panjangnya
3. Mencegah TB relaps
4. Mencegah terjadinya dan transmisi resistensi
obat
5. Menurunkan transmisi
6. Mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas
seminimal mungkin
7. Mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan
datang
Beberapa hal penting dalam tata laksana TB Anak
adalah1:
1. Obat TB diberikan dalam paduan obat, tidak boleh diberikan
sebagai monotcrapi.
2. Pengobatan diberikan setiap hari.
3. Pemberian gizi yang
adekuat.
4. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditata laksana secara
bersamaan.

A. Obat yang digunakan pada TB


anak
1. Obat anti tuberkulosis (OAT)
Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih
sedikit (pausibasiler) sehingga rekomendasi pemberian 4
macam OAT pada fase intensif hanya diberikan kepada anak
dengan BTA positif, TB berat dan TB tipe dewasa. Terapi TB
pada anak dengan BTA negatif menggunakan paduan INH,
Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial (2 bulan pertama)
diikuti Rifampisin dan INH pada 4 bulan fase lanjutan1,2,4,5,6.

Tabel 1. Dosis OAT pada TB Anak


Tabel 2. Panduan OAT dan Lama Pengobatan pada TB Anak

Tabel 3. OAT yang diberikan pada TB Anak

2. Obat-obatan lain
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada kondisi:
a. TB meningitis
b. Sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar (endobronkhial
TB)
c. Perikarditis TB
d. TB rnilier dengan gangguan napas yang berat,
e. Efusi pleura TB
f. TB abdomen dengan
asites.
Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan
dosis 2 mg/kg/ hari, sampai 4 mg/kg/hari pada kasus
sakit berat, dengan dosis maksimal 60 mg/hari
selama 4 minggu. Tappering-off dilakukan sccara
bcrtahap sctclah 2 minggu pcmbcrian kccuali pada TB
meningitis pemberian selama 4 minggu sebelumtappering-off1.

2. Piridoksin
Isoniazid dapat mcnycbabkan dcfisicnsi piridoksin
simptomatik, terutama pada anak dengan malnutrisi berat
dan anak dengan HIV yang mendapatkan
antiretroviroltherapy(ART) Suplementasi piridoksin (5-10 mg/hari)
direkomendasikan pada HIV positif dan malnutrisi berat1.

C.Nutrisi
Status gizi pada anak dcngan TB akan mcmpcngaruh:i kcbcrhasilan
pcngobatan TB. Malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian pada
anak dengan TB. Penilaian status gizi harus dilakukan secara
rutin selama anak dalam pengobatan. Penilaian dilakukan dengan
mengukur berat, tinggi, lingkar lengan atas atau pengamatan gejala
dan tanda malnutrisi seperti edema atau muscle wasting1,2,5.
Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama
pengobatan. Jika tidak memungkinkan dapat diberikan suplementasi
nutrisi sampai anak stabil dan T B dapat di atasi. Air susu ibu tetap
diberikan jika anak masih dalam masa menyusu1,2,6,7.

D.Pemantauan dan basil evaluasi TB anak


1. Pemantauan pengobatan pasien TB
Anak
Pasien TB anak harus dipastikan minum obat setiap hari
secara teratur oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Orang tua
merupakan PMO terbaik untuk anak. Pasien TB anak sebaiknya
dipantau setiap 2 minggu selama fase intensif, dan sekali sebulan
pada fase lanjutan. Pada setiap kunjungan dievaluasi respon
pengobatan, kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek
samping obat7.
Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis
membaik (demam menghilang dan batuk berkurang), nafsu
makan meningkat dan berat badan meningkat. Jika respon
pengobatan tidak membaik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan
dan pasien dirujuk ke sarana yang lebih lengkap untuk menilai
kemungkinan resistansi obat, komplikasi, komorbiditas, atau
adanya penyakit paru lain. Pada pasien TB anak dengan hasil
BTA positif pada awal pengobatan, pemantauan pengobatan
dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang pada
akhir bulan ke-2, ke-5 dan ke-68.
Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu
yang lama sehingga tidak perlu dilakukan Foto toraks untuk
pemantauan pengobatan, kecuali pada TB milier setelah
pengobatan 1 bulan dan cfusi plcura sctclah pcngobatan 2 -
4 minggu. Dcmikian pun pemeriksaan uji tuberkulin karena
uji tuberkulin yang positif akan tetap positif8.
Dosis OAT discsuaikan dcngan pcnambahan bcrat badan.
Pembcrian OAT dihentikan setelah pengobatan lengkap, dengan
melakukan evaluasi baik ldinis maupun pemeriksaan penunjang
lain seperti foto toraks (pada TB milier, TB dengan kavitas, efusi
pleura). Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan
perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis
yang nyata, maka pengobatan dapat dihcntikan dan pasicn
dinyatakan sclcsai. Kcpatuhan minum obat dicatat menggunakan
kartu pemantauan pengobatan1,7,8.

2.10 Komplikasi

Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis,


penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang
dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang
besar untuk menderita tuberkulosis. Kemungkinan terjadinya gangguan jalan
nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada pasien dengan pelebaran
mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus1.

2.11 Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT
terkini memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman
sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa
yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya.
Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten
terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan
komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya
meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan
rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam
menjalanin pengobatan1,2,7.
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin,
angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT
(terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB
milier. Tanpa terapi OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai
100%.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

 Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru,
sehingga disebut dengan Pulmonary TB. Tetapi kuman TB juga bisa
menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih
berbahaya dari pulmonary TB.
 Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik
karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain.
Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu, demam
lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, berat badan
turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan ,anoreksia
dengan failure to thrive, pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang
tidak sakit dan biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu, diare
persisten serta malaise (letih, lesu, lemah, lelah).
 Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji tuberculin, radiologi,
mikrobiologi dan pemeriksaan patologi anatomi.
 Untuk memudahkan diagnosis dapat digunakan sistem skoring TB
 Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif
dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau
lebih). Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin
(R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S).
Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah
dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.
 Komplikasi yang dapat terjadi adalah Limfadenitis, meningitis,
osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke ginjal, mata,
telinga tengah dan kulit dapat terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nastiti R, Arifin N, Darmawan B, et al. Petunjuk Teknis dan Tatalaksana
TB pada Anak: Katalog Kesehatan Kemenkes. Jakarta. 2016.
2. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (The Union)
68 Boulevard Saint-Michel, 75006 Paris, France
3. Andrews RH, Devadatta S, Fox W, Radhakrishna S,
Ramakrishnan CV, Velu S. Prevalence of tuberculosis among
close family contacts of tuberculous patients in South India, and
influence of segregation of the patient on early attack rate. Bull
WHO. 1960;23:463-510.

4. Bamrah S, Brostrom R, Dorina F, Setik L, Song R,


Kawamura LM, Heetderks A, Mase S. Treatment for LTBI in
contacts of MOR-TB patients, Federated States of Micronesia,
2009-2012. Int J Tuberc Lung Dis. 2014 August; 18(8): 912-918

5. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Manajemen


Terpadu
6. Pengendalian Tuberkulosis Resistan Obat. Indonesia:
Kemenkes RI, 2014

7. Schaaf HS, Marais BJ. Management of multidrug-resistant


tuberculosis in children: a survival guide for paediatricians.
Paediatr Respir Rev. 2011Mar;12(1):1-8.
8. Starke JR, Correa AG. Management of mycobacteria infection
and disease in children.
9. Triasih R, Rutherford M, Lestari T, Utarini A, Robertson CF,
Graham SM. Contact investigation of children exposed to
tuberculosis in South East Asia: a systematic review. J Trop Med.
2012;2012:301808.

10. World Health Organization. Guidance for national


tuberculosis programmes on the management of tuberculosis in
children. 2nd ed. Geneva, Switzerland: WHO, 2014.

Anda mungkin juga menyukai