Anda di halaman 1dari 53

HALAMAN JUDUL

Laporan Kasus

TB MDR dan DILI

Oleh:
Moch Ikbal Munajat

Pembimbing
dr. Ahmad Soefyani, Sp.PD, K-GEH, FINASIM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


ILMU PENYAKIT DALAM
FK ULM – RSUD ULIN BANJARMASIN
BANJARMASIN

Mei, 2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................3
A. Epidemiologi.........................................................................................
B. Etiologi..................................................................................................
C. Patogenesis dan Patofisiologi................................................................
D. Diagnosis...............................................................................................
E. Staging.................................................................................................
F. Terapi..................................................................................................
G. KHS dalam kaitannya dengan sirosis..................................................
H. Pencegahan..........................................................................................
BAB III LAPORAN KASUS...................................................................................41
A. Identitas Pasien....................................................................................
B. Anamnesis...........................................................................................
C. Pemeriksaan Fisik...............................................................................
D. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................
E. Follow Up............................................................................................
F. Resume................................................................................................
BAB IV PEMBAHASAN........................................................................................58
BAB V PENUTUP..................................................................................................66
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................67

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah penyebab kematian kesepuluh di seluruh dunia dan
masalah kesehatan global utama. World Health Organization (WHO) melaporkan
bahwa 10,4 juta pasien mengembangkan TB dan 1,6 juta pasien meninggal akibat TB
di seluruh dunia pada tahun 2017. Resistensi obat adalah salah satu ancaman utama
pengobatan TB. WHO telah mendefinisikan multidrug-resistant TB (MDR-TB)
sebagai TB yang menunjukkan resistansi terhadap isoniazid serta rifampisin, obat
anti-TB yang paling efektif.1-3
Pada tahun 2018, total 186.772 kasus didiagnosis dengan TB-MDR dan TB
yang resistan terhadap rifampisin, dan 156.071 pasien memulai pengobatan di
seluruh dunia. Sekitar 3,4% pasien TB baru dan 20% pasien dengan riwayat
pengobatan TB sebelumnya didiagnosis dengan TB-MDR di seluruh dunia.
Pengobatan TB-MDR berlangsung lama kira-kira 2 tahun dan terdiri dari kombinasi
beberapa obat lini kedua, yang lebih mahal, kurang efektif, dan lebih toksik
dibandingkan obat lini pertama. Oleh karena itu, hasil pengobatan untuk MDR-TB
buruk, dengan tingkat keberhasilan sekitar 54%. WHO menerbitkan pedoman baru
untuk pengobatan TB-MDR pada tahun 2019.3
TB DILI adalah gangguan fungsi hati akibat penggunaan obat antituberkulosis
(OAT). DILI akibat OAT terjadi dalam 2 bulan setelah pemberian dan insiden
tertinggi terjadi pada 2 minggu pertama. Insiden DILI sulit untuk diprediksi,
terdapat beberapa faktor risiko terjadinya DILI selama pemberian OAT.
Beberapa faktor risiko dari TB DILI adalah indeks massa tubuh (IMT), status
asetilator metabolik isoniazid (INH), usia, jenis kelamin, faktor metabolik,
interaksi obat, dan konsumsi alcohol.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Multi Drug Resistance (TB-MDR) menyebabkan Drug Induced


Liver Injury (DILI)
2.1.1 Tuberkulosis (TB)
2.1.1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang terutama menyerang paru-paru.
Mycobacterium tuberculosis adalah basil tahan asam. Bakteri ini adalah
bakteri non-spora, non-motil, obligat-aerobik, fakultatif, katalase negative dan
intraseluler. Organisme ini bukan gram positif atau gram negatif karena reaksi
yang sangat buruk dengan pewarnaan Gram. Sel positif lemah terkadang
dapat ditunjukkan pada pewarnaan Gram, fenomena ini dikenal sebagai
"ghost cell".5

2.1.1.2 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis TB tergantung pada lokasi lesinya. Secara umum, manifestasi
klinis TB yaitu batuk ≥ 2 minggu, batuk berdahak, batuk berdahak dapat
bercampur darah, dapat disertai nyeri dada, sesak nafas. Dan juga gejala lain
seperti malaise, penurunan berat badan, menurunnya nafsu makan, menggigil,
demam, dan berkeringat di malam hari.6
Namun, TB adalah penyakit multi-sistemik dengan tampilan yang
beragam. Sistem organ yang paling sering terkena termasuk sistem
pernapasan, sistem gastrointestinal (GI), sistem limforetik, kulit, sistem saraf
pusat, sistem muskuloskeletal, sistem reproduksi, dan hati.5

2.1.1.3 Klasifikasi
- Berdasarkan lokasi anatomis, TB diklasifikasikan menjadi:
1. TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena

2
terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstra paru
harus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
2. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar
parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran
genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstra
paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah diupayakan
semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis6

- Sedangkan berdasarkan Riwayat pengobatan, TB diklasifikasikan


menjadi:
1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT
sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (<
dari 28 dosis bila memakai obat program).
2. Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah
mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai obat
program). Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil
pengobatan terakhir sebagai berikut :
a) Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis
TB episode kembali (karena reaktivasi atau episode baru yang
disebabkan reinfeksi).
b) Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
c) Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah
menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya
selama lebih dari 2 bulan berturut-turut dan dinyatakan loss to
follow up sebagai hasil pengobatan.
d) Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan
OAT dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.

3
e) Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien
yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga
tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.6

- Klasifikasi berdasarkan hasil uji kepekaan:


1. Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.
2. Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
3. Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap isoniazid
(H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
4. Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu dari
OAT lini kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan
amikasin).
5. Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap Rifampisin
baik menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang
terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB RR adalah semua bentuk
TB MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti resistan
terhadap rifampisin.6
2.1.1.4 Patofisiologi
Cara utama penyebaran dari TB adalah dengan menghirup droplet aerosol yang
mengandung bakteri Mycobacterium tuberculosis. Setelah droplet yang
mengandung mikrobakteri terhirup, sebagian besar basil terperangkap di
bagian atas traktus respiratorius di mana sel-sel goblet yang mengeluarkan
lendir berada. Lendir menangkap basil yang menyerang, dan silia di
permukaan sel terus-menerus bergelombang untuk memindahkan lendir dan
partikel asing yang terperangkap ke atas untuk dikeluarkan. Sistem ini
menyediakan pertahanan fisik awal bagi tubuh yang mencegah infeksi pada
kebanyakan orang yang terkena tuberkulosis.7
Kontak pertama organisme Mycobacterium dengan inang menyebabkan
manifestasi yang dikenal sebagai tuberkulosis primer. TB primer ini biasanya

4
terlokalisasi di bagian tengah paru-paru, dan ini dikenal sebagai fokus Ghon
dari TB primer. Pada sebagian besar individu yang terinfeksi, fokus Ghon
memasuki kondisi latensi. Keadaan ini dikenal sebagai tuberkulosis laten.5
Tuberkulosis laten mampu diaktifkan kembali setelah imunosupresi
pada host. Sebagian kecil orang akan mengembangkan penyakit aktif setelah
pajanan pertama. Kasus seperti itu disebut sebagai tuberkulosis progresif
primer. Tuberkulosis progresif primer terlihat pada anak-anak, orang
malnutrisi, orang dengan imunosupresi, dan individu yang menggunakan
steroid jangka panjang.5
Kebanyakan orang yang mengidap tuberkulosis, terjadi setelah masa
laten yang lama (biasanya beberapa tahun setelah infeksi primer awal). Ini
dikenal sebagai tuberkulosis sekunder. Tuberkulosis sekunder biasanya
terjadi karena reaktivasi infeksi tuberkulosis laten. Lesi tuberkulosis sekunder
ada di apeks paru. Sebagian kecil orang yang mengembangkan tuberkulosis
sekunder menjadi terinfeksi untuk kedua kalinya (infeksi ulang).5
Lesi tuberkulosis sekunder serupa untuk reaktivasi dan reinfeksi dalam
hal lokasi (di apeks paru), dan adanya kavitasi memungkinkan perbedaan dari
tuberkulosis progresif primer yang cenderung berada di zona paru tengah dan
tidak memiliki kerusakan jaringan yang ditandai atau kavitasi.5
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu
dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud
adalah pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan biakan.
Pemeriksaan TCM juga digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan
pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran
yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi over
diagnosis ataupun under diagnosis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB
dengan pemeriksaan serologis.6

2.1.1.5 Tatalaksana

5
Pengobatan TB terdiri dari 2 tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Pada
tahap awal pengobatan diberikan setiap hari. Pada tahap ini, dimaksudkan
untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dan meminimalisir
pengaruh dari sebagian kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum
pasien mendapatkan pengobatan. Tahap ini harus diberikan selama 2 bulan.
Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit,
daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu
pertama. Sedangkan pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa
kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga
pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap
lanjutan selama 4 bulan. Pada fase lanjutan seharusnya obat diberikan setiap
hari.6
Tabel 1. Dosis Rekomendasi OAT Lini Pertama untuk Dewasa8

Pasien berusia diatas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih dari 500-700 mg
perhari, beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10 mg/kg BB pada
pasien kelompok usia ini. Pasien dengan berat badan di bawah 50 kg tidak
dapat mentoleransi dosis lebih dari 500-750 mg perhari.
Pada TB kasus baru, pengobatan yang diberikan adalah lini 1 yaitu RHZE 2
bulan pada fase intensif dan RH 4 bulan pada fase lanjutan. 6 Sedangkan kasus
kambuh, gagal pengobatan, diberikan pengobatan lini 2 yaitu
2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.8
2.1.2 Tuberkulosis Multi Drug Resistance (TB-MDR)
2.1.2.1 Definisi

6
Tuberkulosis Multi Drug Resistance (TB-MDR) merupakan tuberkulosis akibat
organisme yang menunjukkan resistansi tingkat tinggi terhadap isoniazid dan
rifampisin, dengan atau tanpa resistansi terhadap obat anti-tuberkulosis lain.3

2.1.2.2 Epidemiologi
Menurut laporan TB WHO, jumlah pasien dengan diagnosis pasti TB yang
resistan terhadap beberapa obat telah meningkat dalam beberapa tahun
terakhir. Dari sekitar 84.000 pada 2012 menjadi sekitar 153.000 pada 2017.
Perkiraan beban total pasien dengan TB-MDR jauh lebih tinggi dan telah
meningkat dari 450.000 pada tahun 2012 menjadi 458.000 pada tahun 2017.
Prevalensi MDR-TB diperkirakan tertinggi di India dan Cina. Namun, jumlah
terbesar pasien yang telah didiagnosis dengan TB-MDR tinggal di WHO
Wilayah Eropa. Di Belarus, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Republik Moldova,
Federasi Rusia dan Ukraina, lebih dari 25% dari semua pasien baru yang
belum pernah menerima pengobatan untuk TB di masa lalu, memiliki TB-
MDR. Kurang dari sepertiga dari TB yang diberitahukan pasien di seluruh
dunia dievaluasi dengan tes kerentanan obat (DST) untuk RMP; hanya
setengah dari pasien dengan resistansi RMP atau MDR-TB menjalani DST
untuk FQ dan obat suntik lini kedua. Hanya 20% kasus MDR-TB memiliki
akses ke pengobatan yang memadai. Diperkirakan jumlah pasien dengan
MDR -TB dan XDR-TB di negara dengan beban tinggi akan terus meningkat
dalam beberapa dekade mendatang.2

2.1.2.3 Mekanisme Multidrug Resistance


Resistensi obat terhadap Mycobacterium tuberculosis (MTB) terjadi akibat
mutasi kromosom spontan dan acak yang mengakibatkan penurunan
kerentanan terhadap agen tertentu. Mekanisme yang mengarah pada
pengembangan resistensi obat yaitu aktivasi pompa efflux pada permukaan
bakteri, perubahan target obat, produksi enzim yang menginaktivasi obat, dan
gangguan aktivasi obat. Resistensi obat dapat terjadi dalam dua cara
(resistensi primer atau sekunder). Resistensi primer berkembang ketika pasien
terpajan dan terinfeksi jenis yang sudah resistan terhadap obat. Sedangkan

7
resistensi sekunder atau resistensi yang didapat berkembang karena
kepatuhan yang buruk terhadap obat, malabsorpsi obat, dan rejimen yang
tidak memadai pada pasien yang mengkonsumsi obat TB. Meskipun sebagian
besar kasus TB-MDR timbul dari resistansi yang didapat, penelitian
sebelumnya melaporkan bahwa sebagian besar kejadian TB-MDR dihasilkan
dari penularan daripada perolehan resistansi selama pengobatan.3

2.1.2.4 Diagnosis
Deteksi resistansi RMP pada uji pengujian molekuler (misalnya, Xpert) sering
kali merupakan bukti pertama bahwa TB-MDR ada. Dengan pengecualian
yang jarang, ketika tidak ada hasil tes lain yang mengkonfirmasi resistansi
RMP, tidak ada pasien yang boleh menerima rejimen MDR-TB '' standar ''
berdasarkan hasil tes Xpert saja. Deteksi resistansi RMP menggunakan Xpert
harus selalu dikonfirmasi dengan uji molekuler tambahan yang juga mampu
mendeteksi mutasi yang terkait dengan resistansi terhadap obat lain. Prediksi
resistensi terhadap RMP, INH, FQ dan obat suntik lini kedua dimungkinkan
dengan menggunakan LPA pada sensitivitas berkisar dari 75% hingga 95% .
Resistensi terhadap protionamid (PTH) atau etionamida (ETH) juga dapat
diantisipasi ketika mutasi di daerah promotor dari gen inhA terdeteksi.
Pemilihan obat idealnya harus didasarkan pada prediksi genotipe resistensi
obat dengan menggunakan WGS. Dengan demikian, LPA saat ini merupakan
metode yang paling banyak tersedia yang digunakan untuk memandu dokter
tentang pilihan pengobatan awal.2

8
2.1.2.5 Tatalaksana
Tabel 2. Rekomendasi Rejimen Pengobatan TB MDR9

- Grup A: flurokuinolon (levofloxacin dan moxifloxacin), bedaquiline dan


linezolid dianggap sangat efektif dan sangat dianjurkan untuk dimasukkan
dalam semua rejimen kecuali ada kontraindikasi.
- Grup B: clofazimine dan cycloserine atau terizidone direkomendasikan secara
kondisional sebagai agen pilihan kedua.
- Grup C: termasuk semua obat lain yang dapat digunakan ketika rejimen tidak
dapat dibuat dengan agen Grup A dan B. Obat-obatan di Grup C diurutkan
berdasarkan keseimbangan relatif antara manfaat dan bahaya yang biasanya
diharapkan dari masing-masing obat.9

Obat lain yang tidak termasuk dalam Grup A – C adalah:


- Kanamisin dan kapreomisin, yang dikaitkan dengan hasil yang lebih
buruk bila digunakan dan oleh karena itu tidak lagi direkomendasikan
untuk digunakan dalam rejimen TB-MDR
- Gatifloxacin dan isoniazid dosis tinggi digunakan pada sangat sedikit
pasien dan tioacetazone tidak digunakan sama sekali. Sediaan
gatifloxacin yang terjamin kualitasnya saat ini tidak tersedia setelah
penarikannya dari pasar karena kekhawatiran tentang disglikemia.
Thioacetazone kemungkinan tidak memiliki peran dalam rejimen
kontemporer yang lebih lama dan saat ini tidak tersedia dalam formulasi

9
yang terjamin kualitasnya. Isoniazid dosis tinggi mungkin memiliki peran
pada pasien dengan kerentanan yang dikonfirmasi terhadap isoniazid
- Asam klavulanat dimasukkan dalam rejimen MDR / RR-TB hanya
sebagai agen pendamping karbapenem (imipenem-cilastatin dan
meropenem). Jika digunakan dengan cara ini, obat ini harus diberikan
dengan setiap dosis karbapenem dan tidak boleh dihitung sebagai agen
TB efektif tambahan.
- Tidak ada rekomendasi tentang perchlozone, interferon gamma atau
sutezolid karena tidak adanya data hasil akhir pengobatan pasien dari
studi pasien yang sesuai.9

Pengaturan Terapi:
1. Rejimen harus mencakup ketiga obat dari kelompok A dan
setidaknya satu obat dari kelompok B. Dengan demikian, regimen
harus mencakup setidaknya empat obat yang efektif (idealnya lima
obat) pada awal pengobatan.
2. Jika regimen tidak dapat dibangun berdasarkan regimen optimal yang
melibatkan obat dari kelompok A dan B karena resistensi dan
toksisitas obat, obat dari kelompok C dapat digunakan. Jika rejimen
tidak dapat memasukkan ketiga agen dari grup A, pengobatan awal
harus dimulai dengan lima agen, termasuk semua agen yang tersedia
dalam grup A dan B.
3. Agen suntik (amikacin atau streptomycin), delamanid, pirazinamid,
atau etambutol lebih disukai. Tes kerentanan untuk fluoroquinolones
harus dilakukan sebelum memulai pengobatan TB-MDR.
4. Di antara agen grup A, fluoroquinolones memiliki tingkat resistensi
yang tinggi (hingga 33%), dan itu adalah satu-satunya kelas obat
yang tes molekuler cepat tersedia.
5. Resistensi terhadap fluoroquinolones dikaitkan dengan hasil yang
buruk (kegagalan pengobatan atau kambuh) dalam pengobatan TB-
MDR. Obat suntik delamanid dan lini kedua dapat menjadi alternatif
yang berguna untuk TB-MDR yang resistan terhadap fluoroquinolon.

10
6. Kemungkinan keberhasilan pengobatan pada TB-MDR tergantung
pada faktor pasien (infeksi HIV, diabetes mellitus, berat badan
rendah, beban penyakit yang besar pada radiografi thorax, faktor
genetik, dan penyalahgunaan alkohol), faktor mikobakteri (pola
resistensi, beban mikobakteri), dan manajemen yang optimal
(membangun rejimen yang efektif dan manajemen efek samping dan
toksisitas).3

Pedoman ATS / CDC / ERS / IDSA merekomendasikan bahwa rejimen


harus mencakup setidaknya lima obat pada awal pengobatan dan empat
obat dalam fase lanjutan. Panduan ini merekomendasikan enam langkah
untuk membangun rejimen:
Langkah 1: pilih generasi fluoroquinolone selanjutnya (levofloxacin atau
moxifloxacin)
Langkah 2: pilih kedua obat yang diprioritaskan (bedaquiline dan linezolid)
Langkah 3: pilih kedua obat yang efektif (clofazimine dan cycloserine)
Langkah 4: jika rejimen tidak dapat dibuat dengan lima obat oral yang
efektif, dan isolat rentan, gunakan salah satu suntikan (amikacin atau
streptomycin)
Langkah 5: jika diperlukan atau jika agen oral lebih disukai daripada agen
suntik pada langkah 4, suntikan dapat diganti dengan delamanid,
pirazinamid, atau etambutol
Langkah 6: jika pilihannya terbatas, dan rejimen lima obat yang efektif
tidak dapat dibuat, pertimbangkan penggunaan etionamid /
prothionamide, imipenem / meropenem plus klavulanat, asam para-
aminosalisilat, atau isoniazid dosis tinggi.3

Durasi Pengobatan
Durasi optimal terapi untuk MDR-TB tidak jelas. WHO merekomendasikan
dua jenis rejimen pengobatan TB-MDR standar (regimen yang lebih lama
dan lebih pendek). Kedua jenis rejimen ini memiliki kombinasi obat dan
durasi yang berbeda. Pengobatan dengan regimen yang lebih lama
disarankan selama 18 sampai 20 bulan (setidaknya 15 sampai 17 bulan

11
setelah konversi kultur), dan regimen oral lebih disukai. Fase intensif,
yang berlangsung selama 6 sampai 7 bulan dan mencakup setidaknya
empat obat, direkomendasikan sampai bedaquiline dihentikan. Durasi
pengobatan yang direkomendasikan dapat dimodifikasi tergantung pada
status konversi kultur dan respon pasien terhadap pengobatan. Fase
lanjutan dari pengobatan harus mencakup setidaknya tiga obat. Pedoman
ATS / CDC / ERS / IDSA merekomendasikan durasi fase intensif antara
5 dan 7 bulan setelah konversi kultur. Regimen yang lebih pendek
awalnya didasarkan pada apa yang disebut regimen Bangladesh. Durasi
yang direkomendasikan untuk rejimen ini adalah 9 sampai 11 bulan.
Rejimen pendek dapat menjadi alternatif rejimen yang lebih lama pada
kasus TB-MDR sederhana dalam kondisi tertentu. Rejimen ini mencakup
fase intensif yang berlangsung selama 4 sampai 6 bulan, yang mencakup
tujuh obat (kanamisin, moksifloksasin, prothionamide, clofazimine,
pirazinamid, isoniazid dosis tinggi, dan etambutol). Dilanjutkan dengan
pengobatan 5 bulan dengan moxifloxacin, clofazimine, pyrazinamide,
dan ethambutol.
Kriteria eksklusi untuk rejimen yang lebih pendek adalah (1)
resistansi atau dugaan ketidakefektifan obat dari rejimen yang lebih
pendek (kecuali resistansi isoniazid); (2) pajanan terhadap satu atau lebih
obat lini kedua dari rejimen MDR-TB yang lebih pendek selama lebih
dari 1 bulan; (3) intoleransi terhadap obat-obatan dari rejimen MDR-TB
yang lebih pendek atau risiko toksisitas (misalnya, interaksi obat-obat);
(4) kehamilan; (5) TB yang menyebar, meningeal, atau sistem saraf
pusat; (6) penyakit luar paru pada pasien dengan infeksi HIV; dan (7)
tidak tersedianya setidaknya satu obat dari rejimen TB-MDR yang lebih
pendek.
ATS / CDC / ERS / IDSA tidak membuat rekomendasi baik untuk
atau menentang rejimen jangka pendek standar. Pedoman Korea juga
tidak merekomendasikan rejimen TB-MDR yang lebih pendek karena
tingginya insiden resistansi terhadap kuinolon, agen suntik, dan
pirazinamid, dan kurangnya bukti tentang keefektifan dan keamanan

12
rejimen yang lebih pendek bila dibandingkan dengan yang baru
dikembangkan lebih lama. regimen.3
2.1.3 Drug Induced Liver Injury (DILI)
2.1.3.1 Definisi
DILI adalah gangguan fungsi hati akibat penggunaan obat-obatan hepatotoksik
seperti OAT. DILI akibat OAT terjadi dalam waktu 2 bulan setelah
pemberian OAT dimulai dan insiden tertinggi dalam 2 minggu pertama.4
2.1.3.2 Kategori DILI
Tabel 3. Kategori DILI10

Liver Injury akibat obat dapat disebabkan oleh obat atau bahan kimia yang
memiliki toksisitas langsung dan dapat diprediksi pada sel hati, empedu,
endotel sinusoidal, dan sel stelat. Kategori cedera hati ini, yang disebut
intrinsik atau direct, biasanya bergantung pada dosis yang terjadi setelah
ambang batas dosis atau tingkat paparan yang mungkin berbeda antar
individu. Mayoritas obat hepatotoksik dalam praktik klinis, bagaimanapun,
menyebabkan kerusakan hati secara tidak terduga. Kategori ini disebut
idiosinkratik, karena sebagian besar tidak bergantung pada dosis, rute, atau
durasi paparan obat dan terutama terkait dengan karakteristik host yang unik.
DILI idiosinkratik mengacu pada reaksi hepatotoksik terhadap obat yang
terjadi pada sebagian kecil individu yang terpapar obat tersebut dan tidak

13
terduga dari tindakan farmakologisnya yang diketahui. Hal ini diyakini dipicu
oleh interaksi beberapa faktor penting termasuk sifat toksikologi obat dalam
hubungannya dengan faktor-faktor terkait host selektif dan kondisi
lingkungan. Baru-baru ini, kategori "indirect" telah diusulkan, yang
mencerminkan liver injury yang tidak diinginkan, terkait dengan tindakan
obat yang diketahui. Ini dapat memperburuk kondisi hati kronis yang sudah
ada sebelumnya seperti fatty liver atau memicu perburukan penyakit radang
hati yang mendasari. Kategori ini juga mencakup liver injury yang terkait
dengan beberapa imunoterapi, serta pengaktifan kembali infeksi virus
hepatitis B yang dipicu oleh paparan agen imunomodulator atau penekan
kekebalan tertentu.10,11

Tabel 4. Klasifikasi Pola Kerusakan Hati, Fenotip Spesial dan Sindrom DILI12

2.1.3.3 Etiologi dan Patofisiologi


Pengobatan TB adalah penyebab utama gagal hati akut di wilayah Asia. Sebuah
penelitian yang melibatkan 1.223 pasien yang mengalami kasus gagal hati
akut di India melaporkan bahwa terdapat 5,7% pasien yang menjalani
pengobatan TB dengan 1,2% mengalami gagal hati akut akibat virus
hepatitis. Sebagian besar pasien mengalami gejala hiperakut dengan rata-rata
penggunaan OAT selama 30 hari hingga muncul gejala gagal hati akut.

14
Penggunaan OAT kategori pertama INH, rifampisin, dan pirazinamid telah
diketahui memiliki efek hepatotoksik mulai dari gejala ringan dengan
peningkatan transaminase hingga gejala gagal hati akut. Pasien dengan gagal
hati akut sering menunjukkan peningkatan transaminase serum.4
Pada sebagian pasien, DILI juga dapat berkembang menjadi DILI kolestasis.
Transportasi obat melalui hati telah terbukti terlibat dalam patofisiologi efek
kolestasis dari obat-obatan. Di hati, transportasi di membran apikal ke
hepatosit melibatkan polipeptida pengangkut anion organik, dan
penghambatan protein efflux ini dapat menyebabkan kolestasis dari obat
tertentu atau metabolitnya. Pergerakan obat ke dalam empedu melibatkan
transporter kanularis dari bagian multidrug resistance (MDR) protein (MRP),
yang meliputi glikoprotein MDR1 (ABCB1), MDR3 (ABCB4), MRP2
(ABCC2), dan pompa ekspor garam empedu (BSEP). BSEP telah terbukti
menjadi pengangkut utama garam empedu dan metabolit obat dari hepatosit
ke empedu. Obat yang menghambat ekspor pada kanalikuli sisi melalui
penghambatan BSEP dapat menyebabkan kolestasis pada individu yang
rentan. Mekanisme molekuler tambahan yang terlibat dalam kolestasis yang
diinduksi obat termasuk destruksi sitoskeleton, gangguan pertukaran dan
gangguan fungsi jaringan, dan penghambatan transporter yang bergantung
pada adenosin trifosfat.13

Tabel 5. Derajat DILI4

2.1.3.4 Diagnosis
Pada gagal hati akut, gejala klinis mungkin tidak tampak spesifik seperti
kehilangan nafsu makan, kelelahan, sakit perut, demam, dan penyakit kuning.

15
Pasien perlu ditanyai tentang riwayat infeksi, penggunaan obat, riwayat sakit
hati dalam keluarga, riwayat penyakit hati sebelumnya, riwayat perjalanan ke
daerah endemis. Pada gagal hati akut pemeriksaan fisik diperlukan untuk
mengetahui terjadinya ikterus, status mental, dan tanda koagulopati. Hati
yang membesar jarang terjadi pada gagal hati akut, tetapi pembesaran
minimal dapat menjadi tanda awal hepatitis virus akut. Pembesaran hati yang
signifikan bisa menjadi tanda munculnya hepatomegali kongestif karena
masalah jantung, sindrom Budd-Chiari atau penyakit infiltratif. Pemeriksaan
laboratorium dilakukan untuk melihat ada tidaknya koagulopati dan
memastikan munculnya gagal hati akut dan prognosis penyakit.4

2.1.3.5 Tatalaksana
Pengobatan yang efektif untuk TB DILI hanya sedikit, kecuali pada DILI karena
acetaminophen yang memiliki terapi efektif, yaitu N-acetylcysteine (NAC).
Penatalaksanaan DILI yang paling penting adalah penghentian obat yang
menyebabkannya dan memulai terapi simtomatik dan suportif. DILI dapat
sembuh secara spontan pada kebanyakan pasien, tetapi memiliki variabilitas
yang berbeda. Pada beberapa pasien, DILI dapat berkembang seperti pada
kasus kolestasis DILI dan beberapa pasien mungkin mengalami gagal hati
akut. Karena belum ada terapi khusus untuk DILI, para ahli mencoba terapi
steroid pada kasus idiosyncratic dan ursodeoxycholic acid (UDCA) pada
penderita DILI cholestasis dan beberapa antioksidan walaupun literatur
tentang terapi tersebut masih kontroversi.4
- Steroid
Fungsi steroid di DILI dilaporkan dalam studi retrospektif kasus DILI
idiosinkratik dengan gejala autoimun atau reaksi hipersensitivitas.
Misalnya penggunaan steroid pada DILI akibat penggunaan diklofenak,
fenitoin, obat yang mengandung sulfa, metildopa, dan propylthiouracil.
Beberapa ahli juga merekomendasikan penggunaan steroid pada kasus di
mana gejala DILI masih muncul setelah 4-5 hari penghentian obat yang
dicurigai sebagai penyebabnya. Pada TB, penggunaan steroid digunakan

16
sebagai terapi tambahan pada meningitis TB dan periode akut perikarditis
TB, bukan sebagai pengobatan DILI.4
- Asam Ursodeoxycholic (UDCA)
Asam Ursodeoxycholic (UDCA) memiliki efek antioksidan dan aman
digunakan untuk waktu yang lama. Obat ini diketahui efektif dalam
pengobatan sirosis bilier primer dan mungkin pada primary sclerosing
cholangitis (PSC). Mekanisme yang diusulkan pada kasus DILI cholestasis
masih belum sepenuhnya dipahami, namun diperkirakan bahwa UDCA
mencegah kerusakan kolestatik dengan mengganti efek toksik dengan
cairan empedu nontoxic dengan cara mengurangi histokompatibilitas
antigen yang timbul dari hepatosit atau kolangiosit atau mekanisme
langsung efek sitoprotektif. Meskipun berdasarkan hasil, bukti
keberhasilan penggunaan UDCA masih bervariasi pada tipe kolestasis
DILI. Dosis pemakaian untuk DILI kolestasis adalah 13-15mg / kg BB.
Karena tidak ada terapi pasti untuk pengobatan DILI, para ahli
memutuskan bahwa pengobatan DILI terbaik saat ini adalah pencegahan.
Dalam hal DILI, para ahli menyarankan untuk menghentikan obat-obatan
yang diduga pencetus DILI. Pasien yang diberi obat yang diketahui
berpotensi hepatotoksik diberi tahu jika mengalami mual, muntah, nyeri
perut kanan atas, lemas, lesu atau demam yang tidak dapat dijelaskan saat
meminum obat harus segera memberi tahu dokter
- Tatalaksana pada pasien dengan pengobatan TB
Pengobatan TB dihentikan pada pasien yang mengalami gejala DILI, ikterus,
mual, dan muntah, serta pasien yang mengalami gejala DILI dengan gejala
penyakit kuning.
SGOT dan SGPT berfungsi lebih dari atau sama dengan 3 kali nilai
normal. Pengobatan TB juga dihentikan pada pasien yang tidak memiliki
gejala klinis tetapi hasil pemeriksaan laboratorium bilirubin lebih dari 2.
Jika tidak ada gejala klinis DILI tetapi hasil pemeriksaan laboratorium
SGOT / SGPT lebih dari 5 kali normal nilai, maka pengobatan TB juga
dihentikan. Apabila tidak ada gejala klinis DILI dengan peningkatan
SGOT / SGPT lebih dari atau sama dengan 3 kali lipat dari nilai

17
normalnya maka pengobatan TB dilanjutkan dengan melakukan
pengawasan yang ketat.4
Pengobatan TB dihentikan sambil menunggu fungsi hati kembali normal
dan gejala klinis (mual dan sakit perut) menghilang. Jika pemeriksaan
fungsi hati tidak dapat dilakukan, maka obat TBC diberikan 2 minggu
setelah pasien tidak sakit kuning dan tidak mengalami sakit perut. Jika
DILI telah selesai, pengobatan TB dapat dicoba satu per satu dimulai
dengan rifampisin yang lebih jarang terjadi pada hepatotoksik
dibandingkan INH atau pirazinamid. Setelah 3-7 hari, pasien dapat
diberikan INH. Pasien yang memiliki riwayat penyakit kuning masih dapat
menerima rifampisin dan INH tetapi sebaiknya tidak lagi diberikan
pirazinamid.4

2.1.4 Kolesistitis
2.1.4.1 Definisi dan Etiologi
Kolesistitis adalah peradangan pada kandung empedu. Kolesistitis dapat bersifat
akut atau kronis. Terdapat 4 bentuk kolesisititis akut yaitu akalkulus,
xanthogranulomatosa, emfisematosa dan torsi kandung empedu. Kolesistitis
akalkulus tidak berhubungan dengan batu empedu dan biasanya terlihat pada
individu yang sakit kritis. Kolesistitis Xantogranulomatosa ditandai dengan
penebalan dinding kandung empedu dan peningkatan tekanan kandung
empedu yang disebabkan oleh batu yang tersumbat. Kolesistitis
empisematosa ditandai dengan udara di dalam dinding kandung empedu yang
disebabkan oleh kuman anaerob pembentuk gas. Torsi kantung empedu
mengakibatkan suplai vaskular berkurang, yang biasanya terlihat paling
sering pada orang tua, dan dapat mengakibatkan konsekuensi yang
mengancam jiwa jika tidak segera ditangani dengan kolesistektomi.
Kolesistitis kronis terjadi setelah episode AC berulang.14

2.1.4.2 Epidemiologi
Prevalensi keseluruhan batu empedu diperkirakan 10–15% pada populasi umum,
dengan beberapa perbedaan antar negara. Antara 20 sampai 40% pasien
dengan batu empedu akan mengalami komplikasi terkait batu empedu,

18
dengan kejadian 1-3% setiap tahun. Kalkulus kolesistitis akut (ACC) adalah
presentasi klinis pertama pada 10-15% kasus. Kolesistektomi adalah
pendekatan terapeutik yang paling umum untuk ACC dan dianggap sebagai
standar perawatan untuk penyakit batu empedu bagi sebagian besar pasien.
Namun, dengan mempertimbangkan heterogenitas skenario klinis, variabilitas
fasilitas rumah sakit dan ketersediaan keahlian, manajemen pasien dengan
nyeri perut kuadran kanan atas dapat bervariasi.15

2.1.4.3 Patofisiologi
Kolesistitis akut biasanya dimulai dengan obstruksi persisten oleh batu yang
mengakibatkan peningkatan tekanan di dalam kandung empedu yang
menyebabkan distensi, iskemia, invasi bakteri, dan peradangan. Episode
kolesistitis akut yang berulang dapat menyebabkan kolesistitis kronis yang
ditandai dengan penebalan dinding kandung empedu dengan infiltrasi sel
inflamasi terkait dengan atrofi mukosa dan fibrosis.14

2.1.4.4 Diagnosis
Manifestasi Klinis
Temuan klinis yang terkait dengan kolangitis akut yaitu seperti nyeri perut,
ikterus, demam (Charcot's triad), dan kekakuan. Triad tersebut telah
dilaporkan sebagai indikator demam hati oleh Charcot pada tahun 1877, dan,
secara historis, digunakan sebagai temuan klinis kolangitis akut yang diterima
secara umum. Sekitar 50% -70% dari pasien dengan kolangitis akut
mengembangkan ketiga gejala tersebut. Reynolds 'pentad (Charcot's triad
plus shock dan penurunan tingkat kesadaran) muncul pada tahun 1959, ketika
Reynolds dan Dargan mendefinisikan kolangitis obstruktif akut. Pentad
sering digunakan untuk menunjukkan kolangitis yang parah (derajat III),
tetapi syok dan penurunan tingkat kesadaran diamati hanya pada 30% atau
lebih sedikit pasien dengan kolangitis akut.16

19
Gejala klinis kolesistitis akut termasuk nyeri perut (nyeri perut kanan atas),
mual, muntah, dan demam. Gejala yang paling khas adalah nyeri epigastrium
kanan. Nyeri di perut kanan atas, kantong empedu yang teraba, dan tanda
Murphy adalah temuan khas dari kolesistitis akut. Tanda Murphy yang positif
memiliki spesifisitas 79% -96% untuk kolesistitis akut.16

Gambar 1. Diagnosis Kolesistitis Akut.16

Kriteria Diagnosis
Pedoman Tokyo (TG 18 / TG 13) telah menetapkan kriteria diagnostik
untuk kolesistitis akut:
A. Tanda-tanda peradangan lokal
1. Tanda Murphy
2. Nyeri, nyeri tekan, atau massa kuadran kanan atas.
B. Tanda-tanda peradangan sistemik
1. Demam
2. CRP yang Ditinggikan
3. Jumlah sel darah putih yang meningkat
C. Temuan pencitraan
Ciri khas kolesistitis akut.

20
Dugaan kolesistitis apabila terdapat satu item dari A ditambah dengan satu item
dari B. Dikatakan diagnosis pasti apabila terdapat satu item dari A dan satu
item dari B ditambah dengan C. Setelah diagnosis ditegakkan, tingkat
keparahan kolesistitis perlu diukur.17

- Penilaian tingkat keparahan kolesistitis akut


Tingkat keparahan kolesistitis akut sangat penting karena berdampak signifikan
pada kemungkinan cedera saluran empedu iatrogenik selama operasi
kolesistektomi. Tokyo grade II / III memiliki risiko hampir 8 kali lipat dari
cedera saluran empedu iatrogenik. Oleh karena itu penting untuk menilai
tingkat keparahan penyakit. Pedoman Tokyo (TG 18 / TG13) menyediakan
sistem yang komprehensif untuk menilai tingkat keparahan kolesistitis akut
berdasarkan kriteria klinis, hematologi dan radiologi.17

A) Kolesistitis akut parah (Grade III)


Terkait dengan disfungsi salah satu sistem organ berikut.
1. Disfungsi CVS: Hipotensi membutuhkan dopamine dengan kecepatan 5
mikrogram / kg / menit atau lebih.
2. Disfungsi neurologis: penurunan tingkat kesadaran.
3. Disfungsi pernafasan: Rasio PaO2 / FiO2 kurang dari 300.
4. Disfungsi ginjal: Oliguria, kreatinin lebih besar dari 2 mg / dl.
5. Disfungsi hati: PT / INR lebih dari 1,5
6. Disfungsi hematologis: jumlah trombosit kurang dari 1, 00,000 / mm3.18
B) Kolesistitis akut sedang (Grade II)
Dikaitkan dengan salah satu kriteria berikut.
1. Jumlah sel darah putih yang meningkat lebih dari 18.000 / mm3.
2. Massa lunak yang teraba di kuadran perut kanan atas.
3. Durasi keluhan lebih dari 72 jam.
4. Adanya penanda peradangan.17
C) Kolesistitis akut ringan (Tingkat I)

21
Tidak memenuhi kriteria kolesistitis akut derajat III dan II. Derajat I
didefinisikan sebagai kolesistitis akut pada pasien sehat tanpa disfungsi
organ dan perubahan inflamasi ringan di daerah kandung empedu.17

Tingkat keparahan kolesistitis akut kemudian harus dikorelasikan dengan


penilaian risiko pada setiap pasien. Ini dilakukan dengan menggunakan
Charlson Comorbidity Index (CCI) dan sistem klasifikasi American Society
of Anaesthesiologist – Physical Status (ASA-PS)17
Tabel 6. Charlson Comorbidity Index (CCI)17

Tabel 7. American Society of Anaesthesiologist – Physical Status (ASA-PS)17

22
2.1.4.5 Tatalaksana
Kolesistektomi dini direkomendasikan untuk kebanyakan pasien, dengan
kolesistektomi laparoskopi sebagai metode yang lebih disukai. Di antara
pasien berisiko tinggi, drainase kandung empedu perkutaneus merupakan
terapi alternatif bagi pasien yang tidak dapat menjalani kolesistektomi dini
dengan aman.16
Ketika diagnosis kolesistitis akut dicurigai, perawatan medis, termasuk NPO,
cairan intravena, antibiotik, dan analgesia, bersama dengan pemantauan
tekanan darah, denyut nadi, dan keluaran urin harus dimulai. Secara
bersamaan, tingkat keparahan perlu ditetapkan. Perawatan yang tepat harus
dilakukan sesuai dengan tingkat keparahan. Penilaian risiko operasi juga
harus dievaluasi berdasarkan tingkat keparahan.16
Setelah peradangan akut diatasi dengan perawatan medis dan drainase
kandung empedu, sebaiknya dilakukan kolesistektomi untuk mencegah
kekambuhan. Pada pasien dengan resiko tinggi pembedahan dengan
kolesistolithasis, dukungan medis setelah pengobatan kolitis perkutan
sistolitotomi harus dipertimbangkan. Untuk pasien dengan kolesistitis
akalkulus, kolesistektomi tidak diperlukan, karena rekurensi akalkulus akut
kolesistitis setelah drainase kandung empedu jarang terjadi.16
a) Kolesistitis akut ringan (derajat I)
Kolesistektomi laparoskopi dini adalah pengobatan yang disukai.
Kolesistektomi elektif dapat dipilih (jika kolesistektomi dini tidak
dilakukan) untuk memperbaiki masalah medis lainnya.
b) Kolesistitis akut sedang (derajat II)
Lebih disukai laparoskopi atau kolesistektomi terbuka. Jika pasien
mengalami peradangan lokal yang serius yang membuat kolesistektomi
dini sulit, maka drainase perkutan atau operasi kandung empedu
disarankan. Kolesistektomi elektif dapat dilakukan setelah perbaikan
proses inflamasi akut.
c) Kolesistitis akut berat (derajat III)
Kolesistitis akut berat (derajat III) disertai dengan disfungsi organ dan / atau
peradangan lokal yang parah. Dukungan organ yang tepat selain

23
perawatan medis diperlukan untuk pasien dengan disfungsi organ.
Penatalaksanaan inflamasi lokal yang parah dengan drainase kandung
empedu perkuta dan / atau kolesistektomi diperlukan. Peritonitis bilier
akibat perforasi kandung empedu merupakan indikasi kolesistektomi
segera16

24
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Nn. Ninda Medina


Umur : 21 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Banjar
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Mahasiswi
Alamat : Barabai
Masuk rumah sakit : 1 April 2021
No.RMK : 1-47-15-57

B. Anamnesis

Pasien berasal dari UGD RSUD ulin, rujukan RS Daman Huri Barabai.
Keluhan Utama (Anamnesis dilakukan pada 13-4-2021)
Mual Muntah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh mual dan muntah yang dirasakn sejak 5 hari SMRS, Muntah 3x/
hari dan mual dirasakan sepanjang hari, pasien juga mengeluhkan nafsu makan yang
menurun sejak 2 minggu terakhir ini.
Pasien juga mengeluhkan timbulnya ruam bercak merah pada seluruh tubuh terutama
di leher dan tangan yang diraskan sejak 5 hari SMRS bersamaan dengan keluhan
mual dan muntah, ruam bercak merah ini timbul mendadak di seluruh tubuh
terkadang disertai dengan gatal.
Pasien mengatakan sudah lebih 1 bulan didiagnosis memiliki sakit TB MDR dan
sedang manjalani pengobatan, pada 1 minggu awal minum obat pasien sempat
mengeluh sedikit mual dan pusing namun keluhan itu sempat membaik, pasien
mengatakan awalnya mengeluh batuk-batuk kering terkadang dahak agak keruh yang
hilang timbul selama 2 bulan dan terkadang berdarah namun jumlahnya tidak
25
banyak, hanya seperti bercak bercampur dengan dahak, pasien juga mengeluhkan
penurunan nafsu makan, berat badan yang terasa turun turun terkadang keringat
malm yang semua keluhan ini dirasakan bersamaan dengan keluhan batuk yaitu awal
November 2020.
Kemudian oleh keluarga pasien dibawa ke puskesmas dan dari puskesmas dirujuk ke
RS barabai lalu dirujuk Kembali ke RS kandangan kemudian dirujuk Kembali ke RS
martapura, di RS martapura pasien sempat dirawat 1 minggu dan mulai pengobatan
TB paru MDR, setelah itu pasien dipulangkan kemudian 1 minggu dirumah pasien
mual muntah dan akhirnya dirawat di RS barabai dengan diagnosis COVID 19
selama 12 hari, obat TB paru MDR tetap dilanjutkan.setelah 5 hari perawatan dari
RS barabai pasien Kembali mual dan muntah disertai timbul bercak ruam merah
pada tubuh lalu dibawa ke RS barabai Kembali dan langsung dirujuk ke RSUD ulin.
Pasien tidak ada keluhan nyeri perut, demam disanghkal, pasien tidak merasa ada
perubahan warna kekuningan pada mata dan wajah.Pasien tidak ada riwayat BAB
hitam seperti petis, pasien tidak ada keluhan rambut rontok, luka dimulut, nyeri
persendian, tidak tahan dengan sinar matahari atau ruam pada sekitar wajah
sebelumnya.
Riwayat diabetes, hipertensi dan penyakit kuning disangkal.

Riwayat Pengobatan
Pasien memulai pengobatan TB MDR di RS Martapura 13 Februari 2021

Riwayat Penyakit Keluarga


Diabetes mellitus (-), Hipertensi (-), Penyakit liver (-), TB (-),kanker (-).

Riwayat Pribadi dan Sosial


Pasien belum menikah, seorang mahasiswi dan tinggal Bersama kedua orang tuanya.
Tidak ada riwatar penyalahgunaan obat, tidak ada riwayat konsumsi alkohol.
Tidak ada riwayat merokok.
Riwayat partner multiseksual (-).
Riwayat kontak dengan pasien demam, batuk dan sesak nafas (-).

26
C. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum
Tanda vital
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 110/80 mm Hg
Frekuensi nadi : 80 kali/menit
Frekuensi nafas : 20 kali/menit
Suhu tubuh (aksiler) : 36,8 oC
SpO2 : 98% (udara ruangan)
BB/TB : 45 kg/ 155 cm  IMT 18.7
Kepala dan leher
Umum : Bentuk normal, simetris, tidak ada luka/ benjolan, rambut hitam, lurus,
tidak rontok, ruam discoid (-).
Kulit : Pucat (-), ikterik (-), macula eritema (+)
Mata : Palpebra kanan dan kiri tidak edema. Konjungtiva kanan dan kiri tidak
pucat. Sklera ikterik (+).
Mulut : Mukosa bibir lembab, lidah tidak kotor, stomatitis (-), ulcus (-).
Leher : Peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-/-), kaku kuduk tidak ada
Pemeriksaan Thorak
Paru
Inspeksi : Bentuk simetris, pergerakan simetris, retraksi (-), pergerakan
simetris, thrill (-), macula eritematosa (+)
Palpasi : Fremitus vokal simetris
Perkusi : Sonor/ Sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi basah halus (--+/---), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Getaran/ thrill (-)
Palpasi : Pulsasi teraba di ICS V linea midclavicula sinistra, Iktus
cordis teraba (+) di ICS V linea midclavicula sinistra.
Perkusi : Kanan : ICS II - IV linea parasternalis dextra

27
Kiri : ICS II linea parasternalis sinistra - ICS V linea midclavicula
sinistra
Atas : ICS II linea parasternalis dekstra – ICS II linea parasternalis
sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, dan tidak terdengar suara bising
Abdomen
Inspeksi : Bentuk simetris, datar, macula eritematosa (+).
Auskultasi : Bising usus positif normal
Palpasi : Hepar, lien tidak teraba membesar.
Murphy sign (-), McBurney sign (-)
Perkusi : tympani (+)
Ekstremitas
Atas : Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-), macula eritematosa (+)
Bawah : Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-), macula eritematosa (+)

Gambaran klinis pasien

31/3/21

28
19/4/21 23/4/21

D. Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan 31/3/21 5/4/21 16/4/21 22/4/21 Referensi Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 14,2 10.2 11.5 12.6 14.0-18.0 g/dL
Lekosit 23.3 20.5 16.6 14.9 4.0-10.5 ribu/uL
Eritrosit 5,04 3.58 3.86 4.13 4.10-6.00 juta/uL
Hematokrit 41,3 30.9 35,7 38.6 42.0-52.0 Vol%
Trombosit 162 185 479 279 150.000- /uL
29
450.000
RDW-CV 16.0 21.4 20.7 12.1-14.0 %
MCV,MCH,
MCHC
MCV 87.7 86.3 92.5 93.5 75.0-96.0 Fl
MCH 30.2 28.5 29.8 30.5 28.0-32.0 Pg
MCHC 34,5 33.0 32.2 32.6 33.0-37.0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0.7 0.1 0,2 0.2 0.0-1.0 %
Eosinofil% 9.5 1.2 0,8 0.0 1.0-3.0 %
Neutrofil% 58.30 63.4 78.6 91.5 50.0-81.0 %
Limfosit% 27.8 19.5 13.6 7.4 20.0-40.0 %
Monosit% 3.7 3.23 6.8 0.9 2.0-8.0 %
Basofil# 0.17 0.03 0.04 0,03 <1.00 ribu/ul
Eosinofil# 2.19 0.24 0.13 0,00 <1.00 ribu/ul
Gran# 13.43 13.01 13.01 13.58 2.50-7.00 ribu/ul
Limfosit# 6.39 3.99 2.25 1.10 1.25-4.00 ribu/ul
Monosit# 0.85 3.23 1.13 0.14 0.30-1.00 ribu/ul
HEMOSTASIS
Hasil PT 11.4 9.9-13.5 Detik
INR 1.04
Control Normal 11.4
PT
Hasil APTT 29.8 22.2-37.0 Detik
Control Normal
APTT
KIMIA DARAH
GULA DARAH
GDS 80 <200 mg/dl
Kolesterol total 0-200
HDL >40
LDL 0-100
Trigliserida 0-150
HATI DAN 1/4/21 5/4/21 8/4/21
PANKREAS
Total Protein 6.0-7.8
Albumin 2.7 2.9 3.5-5.2
Globulin 2.2-2.6
Bilirubin Total 1.64 0.80 0.64 0.20-1.20
Bilirubin Direk 1.32 0.53 0.44 0.00-0.20
Bilirubin Indirek 0.32 0.27 0.20 0.20-0.80
SGOT 1840 2463 142 96 16-40 U/I
SGPT 1000 1073 662 425 8-45 U/I
Rasio De Ritis
Gamma GT 491 12-64
Alkaline 133 40-150
phosphatase
30
LDH 319 220-450 U/L
GINJAL
Ureum 20 0-50 mg/dl
Creatinin 1.1 0.72-1.25 mg/dl
BUN:Creatinine
ratio
eGFR ml/menit
ELEKTROLIT
Natrium 130.6 136 136-145 mEq/L
Kalium 3.3 3.7 3.5-5.1 mEq/L
Chlorida 100.6 104 98-107 mEq/L
Osmolalitas
IMUNO-
SEROLOGI
HBsAg 0.27

Anti HCV 0.09

IgM anti HAV 0.26

Anti HIV 0.20

Swab Antigen Negatif

CRP 5.1

HATI DAN 11/4/21 14/4/21 16/4/21 22/4/21


PANKREAS
LDH 218 6.0-7.8
Albumin 3.5 3.5-5.2
Globulin 2.2-2.6
Bilirubin Total 0.75 0.71 0.65 0.20-1.20
Bilirubin Direk 0.51 0.45 0.37 0.00-0.20
Bilirubin Indirek 0.24 0.26 0.28 0.20-0.80
SGOT 56 56 45 44 16-40 U/I
SGPT 238 160 121 85 8-45 U/I
Rasio De Ritis
Gamma GT 12-64

31
Alkaline 40-150
phosphatase
LDH 220-450 U/L
GINJAL
Ureum 32 0-50 mg/dl
Creatinin 0.55 0.72-1.25 mg/dl
BUN:Creatinine
ratio
eGFR ml/menit
ELEKTROLIT
Natrium 136 136-145 mEq/L
Kalium 3.9 3.5-5.1 mEq/L
Chlorida 102 98-107 mEq/L

Pemeriksaan urine rutin 9/4/21

MAKROSKOPIS NILAI RUJUKAN


Warna Kuning tua Kuning
Kejernihan jernih Jernih
Berat Jenis 1014 -
pH 7.5 -
Keton Negatif Negatif
Protein-Albumin Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Darah Samar Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Urobilinogen 0.1 0.1-1.0

32
Lekosit Negatif Negatif
SEDIMEN URINE NILAI RUJUKAN
Lekosit 2-3 0-3
Eritrosit 0-2 0-2
Epithel +1 +1
Kristal Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Lain-Lain Negatif Negatif

Pemeriksaan Biakan Urin 23/4/21


Hasil
Tidak ada pertumbuhan kuman aerob

Gen Xpert

33
21/4/21
MTB NOT DETECTED

ANA PROFILE

34
FOTO THORAX

27/1/21 22/2/21

31/3/21 8/4/21

35
USG ABDOMEN ( 3/4/21 )

E.

Follow Up

Subyektif
Mual muntah
Gatal dan Merah kulit
Batuk Kering
1/4/21-5/4/21 6/4/21-10/4/21 11/4/21-15/4/21 16/4/21-20/4/21 21/4/21-22/4/21

Obyektif

36
Diagnosis
1/4/2021 3/4/2021 8/4/2021 10/4/2021
1. Elevated liver 1. Elevated liver 1. Elevated liver 1. Elevated liver
enzim + nausea enzim + nausea enzim + nausea enzim + nausea
vomite vomite vomite vomite

1.1 Drug induced 1.1 Drug induced 1.1 Drug induced 1.1 Drug induced
liver injury liver injury liver injury liver injury

1.2. Hepatitis viral 1.2 Hepatitis 1.2 Hepatitis 1.2 Hepatitis


autoimun autoimun autoimun

1.3. Hepatitis 2 TB paru MDR 2 TB paru MDR 2 TB paru MDR


autoimun
1.4. Cholelithiasis
1.5 Cholesistitis 3. kolesistitis akut 3. kolesistitis akut 3. kolesistitis akut

2. Nausea + Vomite
2.1. Drug induced 4. skin erruption 4. skin erruption 4. skin erruption

2.2. Gastritis Akut 4.1 Drug TB MDR 4.1 Drug TB MDR 4.1 Drug TB MDR
induced induced induced

4.2 Other allergic 4.2 Other allergic 4.2 Other allergic


cause reaction cause reaction cause reaction

37
3. TB Paru MDR 5. Mild 5. Hipoalbuminemia 5. Hipoalbuminemia
Hipokalemia Moderate Moderate
4. Skin erruption
5.1 GI loss 5.1 low intake 5.1 low intake
4.1 Drug TB MDR 5.2 low intake 5.2 katabolic state 5.2 katabolic state
induced ec inflamation ec inflammation

4.2 Other allergic


cause reaction
6. Hipoalbuminemia
5. Mild Moderate
Hipokalemia
6.1 low intake
5.1 GI loss 6.2 katabolic state
5.2 low intake ec inflamation

6. Hipoalbuminemia
Moderate

6.1 low intake


6.2 katabolic state
ec inflamation
 

 
 
 
     

11/4/2021 16/4/2021 16/4/2021 22/4/2021


1. Elevated liver 1. Elevated liver 1. Elevated liver 1. Elevated liver
enzim + nausea enzim + nausea enzim + nausea enzim + nausea
vomite vomite vomite + skin vomite + skin
erruption ec drug erruption ec drug
induced liver injury induced liver injury
1.1 Drug induced 1.1 Drug induced Perbaikan
liver injury liver injury
2 TB paru MDR 2 TB paru MDR
1.2 Hepatitis 1.2 hepatitis

38
autoimun autoimun

2 TB paru MDR 2 TB paru MDR 3. kolesistitis akut


3. kolesistitis akut

3. kolesistitis akut 3. kolesititis akut

4. skin erruption 4. skin erruption

4.1 Drug TB MDR 4.1 Drug TB MDR


induced induced

4.2 Other allergic 4.2 Other allergic


cause reaction cause reaction

5. Hipoalbuminemia
Moderate

5.1 low intake


5.2 katabolic state
ec inflammation

Terapi

39
Resume

Nn. N usia 21 tahun dating dengan keluhan mual dan muntah yang dirasakn sejak 5
hari SMRS, Muntah 3x/ hari dan mual dirasakan sepanjang hari, pasien juga
mengeluhkan nafsu makan yang menurun sejak 2 minggu terakhir ini.
Pasien juga mengeluhkan timbulnya ruam bercak merah pada seluruh tubuh terutama
di leher dan tangan yang diraskan sejak 5 hari SMRS bersamaan dengan keluhan
mual dan muntah, ruam bercak merah ini timbul mendadak di seluruh tubuh
terkadang disertai dengan gatal. Pasien mengatakan sudah lebih 1 bulan didiagnosis
memiliki sakit TB MDR dan sedang manjalani pengobatan, Pasien tidak ada keluhan
nyeri perut, demam disanghkal, pasien tidak merasa ada perubahan warna
kekuningan pada mata dan wajah.Pasien tidak ada riwayat BAB hitam seperti petis,
pasien tidak ada keluhan rambut rontok, luka dimulut, nyeri persendian, tidak tahan
dengan sinar matahari atau ruam pada sekitar wajah sebelumnya. Pasien memulai
pengobatan TB MDR di RS Martapura 13 Februari 2021, dikeluarga tidak ada yang
merasakan keluhan seperti pasien.

Pemeriksaan fisik didapatkan bercak eritema pada wajah badan tangan dan
kaki. Pemeriksaan abdomen tidak didapatkan nyeri tekan atau pembesaran organ.
Tanda vital pasien selama perawatan dalam batas normal, dari pemeriksaan status
gizi pasien mengarah kepada underweight walaupun hasil index masa tubuh pasien
masih dalam batas normal.

40
 Pemeriksaan hematologi terdapat peningkatan SGOT/SGPT (awal perawatan
1840/1000  akhir perawatan 44/85) dengan kadar kalium awal 3.3 dan 3.7
pada akhir pengobatan
 Didapatkan kadar albumin 2.7 dan setelah diterapi menjadi 3.5. Hasil urinalisis
masih dalam batas toleransi. Dan kultur urin normal.
 Pemeriksaan ANA IF dan ANA profile dalam batas normal
 Pemriksaan gen expert dahak menjadi not detected
 Pada pasien didapatkan USG abdomen didapatkan adanya tanda kolesistitis.
 Psdien direncanakan pemeriksaan CT scan thorax dan dahak untuk deteksi
resistensi obat isoniazid.
Selama perawatan, pasien mendapatkan terapi diet tinggi kalori dengan naik
bertahap dan SF hepatososl, drip SNMC, inj. Lefoploxacin 1x750 mg, inj.
Ceftazidim 3x2 gr, inj. Difenhidramin 1x1 amp, inj. Metilprednisolon 3x62.5 mg
tapp off, P.O. Vip albumin 3x2 caps, P.O. curcuma 3x1, P.O. Hp pro 3x1, P.O. KSR
3x600 mg. setelah kondisi klinis dan laboratorium pasien membaik maka pasien
dipulangkan tanggal 22/4/2021 dengan direncanakan kontrol poli paru dan IPD div
gastro.

41
BAB IV

PEMBAHASAN

Tuberkulosis (TB) adalah penyebab kematian kesepuluh di seluruh dunia dan


masalah kesehatan global utama. World Health Organization (WHO) melaporkan
bahwa 10,4 juta pasien mengembangkan TB dan 1,6 juta pasien meninggal akibat TB
di seluruh dunia pada tahun 2017. Resistensi obat adalah salah satu ancaman utama
pengobatan TB. WHO telah mendefinisikan multidrug-resistant TB (MDR-TB)
sebagai TB yang menunjukkan resistansi terhadap isoniazid serta rifampisin, obat
anti-TB yang paling efektif.1-3
TB DILI adalah gangguan fungsi hati akibat penggunaan obat antituberkulosis
(OAT). DILI akibat OAT terjadi dalam 2 bulan setelah pemberian dan insiden
tertinggi terjadi pada 2 minggu pertama. Insiden DILI sulit untuk diprediksi, terdapat
beberapa faktor risiko terjadinya DILI selama pemberian OAT. Beberapa faktor
risiko dari TB DILI adalah indeks massa tubuh (IMT), status asetilator metabolik
isoniazid (INH), usia, jenis kelamin, faktor metabolik, interaksi obat, dan konsumsi
alcohol.4
Pengobatan TB adalah penyebab utama gagal hati akut di wilayah Asia.
Sebuah penelitian yang melibatkan 1.223 pasien yang mengalami kasus gagal hati
akut di India melaporkan bahwa terdapat 5,7% pasien yang menjalani pengobatan
TB dengan 1,2% mengalami gagal hati akut akibat virus hepatitis. Sebagian besar
pasien mengalami gejala hiperakut dengan rata-rata penggunaan OAT selama 30 hari
hingga muncul gejala gagal hati akut. Penggunaan OAT kategori pertama INH,
rifampisin, dan pirazinamid telah diketahui memiliki efek hepatotoksik mulai dari
gejala ringan dengan peningkatan transaminase hingga gejala gagal hati akut. Pasien
dengan gagal hati akut sering menunjukkan peningkatan transaminase serum.4
Pada kasus ini, pasien terdiagnosis akhir dengan:
1. Elevated liver enzim + nausea vomite + skin erruption ec drug induced liver injury
2. TB MDR
3. Kolesistitis akut
Obat tuberkulosis terdiri dari isoniazid, rifampisin, pyrazinamid dan etambutol
dari keempat obat ini tiga yang awal merupakan penyebab tersering hepatotoksisk.

42
Pada pasien ini berdasarkan tipe kerusakannya penyakit hari akibat obat lebih
mengarah kepada cedera tingkat hepatoseluler.
Pengobatan TB dihentikan pada pasien yang mengalami gejala DILI, ikterus,
mual, dan muntah, serta pasien yang mengalami gejala DILI dengan gejala penyakit
kuning.
SGOT dan SGPT berfungsi lebih dari atau sama dengan 3 kali nilai normal.
Pengobatan TB juga dihentikan pada pasien yang tidak memiliki gejala klinis tetapi
hasil pemeriksaan laboratorium bilirubin lebih dari 2. Jika tidak ada gejala klinis
DILI tetapi hasil pemeriksaan laboratorium SGOT / SGPT lebih dari 5 kali normal
nilai, maka pengobatan TB juga dihentikan. Apabila tidak ada gejala klinis DILI
dengan peningkatan SGOT / SGPT lebih dari atau sama dengan 3 kali lipat dari nilai
normalnya maka pengobatan TB dilanjutkan dengan melakukan pengawasan yang
ketat.4
Pengobatan TB dihentikan sambil menunggu fungsi hati kembali normal dan
gejala klinis (mual dan sakit perut) menghilang. Jika pemeriksaan fungsi hati tidak
dapat dilakukan, maka obat TBC diberikan 2 minggu setelah pasien tidak sakit
kuning dan tidak mengalami sakit perut. Jika DILI telah selesai, pengobatan TB
dapat dicoba satu per satu dimulai dengan rifampisin yang lebih jarang terjadi pada
hepatotoksik dibandingkan INH atau pirazinamid. Setelah 3-7 hari, pasien dapat
diberikan INH. Pasien yang memiliki riwayat penyakit kuning masih dapat menerima
rifampisin dan INH tetapi sebaiknya tidak lagi diberikan pirazinamid.4
Pada pasien kita dapatkan adanya kolesistitis dari hasil pemeriksaan usg
abdomen pada pasien, namun dari anamnesis dan gejla klinis pasien tidak
mendukung kea rah kolesistitis. Berdasarkan Tokyo guideline 2013 ada 3 kriteria
diagnosis untuk kolesistitis
Kriteria Diagnosis
Pedoman Tokyo (TG 18 / TG 13) telah menetapkan kriteria diagnostik
untuk kolesistitis akut:
A. Tanda-tanda peradangan lokal
1. Tanda Murphy
2. Nyeri, nyeri tekan, atau massa kuadran kanan atas.
B. Tanda-tanda peradangan sistemik

43
1. Demam
2. CRP yang Ditinggikan
3. Jumlah sel darah putih yang meningkat
C. Temuan pencitraan
Ciri khas kolesistitis akut.

Dugaan kolesistitis apabila terdapat satu item dari A ditambah dengan satu item dari
B. Dikatakan diagnosis pasti apabila terdapat satu item dari A dan satu item dari B
ditambah dengan C. Setelah diagnosis ditegakkan, tingkat keparahan kolesistitis
perlu diukur.17

A. Analisis faktor risiko

Permasalahan Teori Fakta


Elevated liver • Obat anti tuberculosis Obat TB MDR ( INH
enzyme ec drug • Obat kemoterapi dan Pyrazinamide)
induced • Obat NSAID
• Obat antiretroviral
• Obat asetaminofen

B. Analisis manajemen

Permasalahan Teori Fakta


1. Elevated liver • Diet liver, cukup • Diet TKTP
enzim + nausea kebutuhan kalori dan • IVFD NaCL 0.9%
vomite + skin albumin, tinggi kalium 1500cc/24 jam
erruption ec drug • Terapi suportif dan • Drip SNMC
induced liver injury
(perbaikan) Hentikan obat TB • inj. Ceftazidim 3x2 gr
2. TB paru MDR ALT>200 • inj difenhidramin
3. kolesistitis akut • kortikosteroid 1mp/hari
4. • Inj. Ceftriaxone 1 gr/8 jam • P.O. Hp pro 3x1
Hipoalbuminemia • Transfusi albumin • P.O. Vip albumin 3x2 caps
(perbaikan) • Nutrisi 25 kkal/kg/hari, • P.O. Curcuma 3x1
5. mild protein 1,2-1,5 • P.O. KSR 3x600 mg
Hipokalemia kkal/kg/hari. • Evaluasi SGOT/SGPT
(perbaikan) • Evaluasi SGOT/SGPT

44
45
Obat TB merupakan salah satu penyebab timbulnya reaksi injury pada liver,
pada pasien yang sring menyebabkan adalah isoniazin, pyrazinamide dan rifampisin.
Beberapa ahli juga merekomendasikan penggunaan steroid pada kasus di
mana gejala DILI masih muncul setelah 4-5 hari penghentian obat yang dicurigai
sebagai penyebabnya. Pada TB, penggunaan steroid digunakan sebagai terapi
tambahan pada meningitis TB dan periode akut perikarditis TB, bukan sebagai
pengobatan DILI.4
Pemebrian steroid sendiri masih dalam perdebatan, namun dosis
metilprednisolon 40-80 mg/ hari selama 5 – 7 hari cukup bermanfaat yang kemudian
bisa diturunkan secara bertahap untuk menhindari fek yang tidak diinginkanm dari
steroid itu sendiri. Penggunaan SNMC sendiri dari beberapa penilitian ternyata tidak
menunjukan perubahan yang cepat dari nilai normal AST dan ALT.
Selama evaluasi pasien dilakukan pemeriksaan untuk pasien kea rah autoimun
namun dari hasil pemeriksaan ANA IF dan ANA profile tidak menunjukan kearah
atautoimun. Dalam evaluasi nilai AST dan ALT selam pebobatan terjadi penurunan
kadar AST dan ALT yang cukup cepat kearah nilai normal. Berdasarkan teori untuk
penanganan awal pada pasien dengan DILI adalah penghentian segera terhadap obat
yang dicurigai menyebabkan keadaan ini.
Pada pasien juga didapatkan hasil laboratorium leukositosis dan hasil usg
abdomen dengan kolesistitis, dari anam nesis dan pemeriksaan fisik tidak didapatkan
data yang mendukung kearah kolesistitis namundari hasil usg abdomen didapatkan
hasil berupa kolesistitis, pasien mendapatkan pengobatan inj ceftazidime 3x2 gr
selam 7 hari, berdasarkan Tokyo guideline 2018 untuk manajemen kolesistitis maka
untuk grade yang ringan bisa diberikan ceftriakson selama 7 hari kemudian
dievaluasi ulang dari keluhan dan pemeriksaan penunjang pada pasien.

Kondisi hipokalemia pada pasien saat awal dating tidak menumbulkan gejala
yangberat terhadap pasien, pasien mendapat suplemen oral KSR 3x600 mg kemudian
di evaluasi dan nilai kalium pasien Kembali pada kadar normal. Kadar kalium yang
rendah banyak penyebabnya bisa karena hilang melalui salurana pencernaan, saluran
kemih dan lainnya, pada pasien kemungkinan hilang melalui saluran pencernaan
karena pasien awal dating sempat mengeluh mual dan muntah, low intake pada

46
pasien bisa juga menjadi factor untuk terjadinya kondisi hipokalemia ringan pada
pasien.

Pada pasien didapatkan kondisi hipoalbumin, hal ini bisa terjadi karena gizi
yang kurang pada pasien walau dar hasi IMT pasien menunjukan nilai yang normal
dengan nilai IMT 18.7 nilai ini cukup menjadi perhatian bahwa status gizi pasien
sebenarnya memang kurang. Sehiongga pemberian asupan makanan dan gizi yang
cukup akan sangat membantu dalam memperbaiki kondisi klinis pasien. Pasien sudah
dikonsulkan kebagian gizi klinik dan mendaptkan diet 2000 kkal dengan tambahan
susu formula hepatosol 3x100 cc dan dalam perwatan gizi pasien mulai membaik,
nafsu makan pasien meningkat diiringi dengan keluhan yang berkurang dan nilai
laboratorium pasien membaik disbanding Ketika awal datang.

47
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus perempuan usia 21 tahun yang mengalami


keluahan mual muntah, gatal dan kemerahan pada kulit dan sedang dalam
pengobatan TB MDR. Tanda vital pasien selama perawatan dalam batas normal.
 Pemeriksaan hematologi dalam batas toleransi, dengan peningkatan nilai
leukosit. faal hemostasis dalam batas normal. Bilirubin meningkat dengan
dominasi bilirubin direk, peningkatan enzim liver kesan severe inflamasi
 Didapatkan kadar albumin yang rendah dan mengalami perbaikan. Hasil
urinalisis masih dalam batas toleransi. Terdapat hiponatremia normoosmolar
hipervolemia dan hipokalemia ringan Setelah dilakukan terapi, kalium dalam
perbaikan.
 Pada pasien didapatkan USG abdomen kolesisititis dengan tanpa keluhan dan
pemeriksaan fisik yang normal.
Pasien didiagnosis akhir dengan: Drug induced liver injury, TB MDR,
kolesistitis (perbaikan), hipokalemia (perbaikan), hypoalbuminemia (perbaikan)..
Selama perawatan, pasien mendapatkan terapi diet tinggi kalori bertahap, drip
SNMC, inj. Ceftazidim 3x2 gr, inj metilprednisolon 3x62.5 mg, inj metoklopramid
3x10 mg, inj omeprazol 2x40 mg P.O. Vip albumin 3x2 caps,P.O. Curcuma 3x1,
P.O. Hp pro 3x1, P.O. NAC 3x200 mg, PO KSR 3x1, dipulangkan setelah kondisi
klinis dan laboratorium mengalami perbaiakan dengan disarankan kontrol ke poli
paru dan IPD div Gastrohepatologi, hasil pemeriksaan yang masih menunggu hasil
adalah INH resistant dan CT scan Thorax.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global tuberculosis report 2015 [Internet]. 20th


ed. Geneva: World Health Organization; 2015 [cited 2021 Mei 11].
https://apps.who.int/iris/handle/10665/ 191102.
2. Aarnoutse CL, Alffenaar JW,Bothamley G, Brinkmann BF, et al.
Management of patients with multidrug-resistant tuberculosis. 2019
3. Jang JG, Chung JH. Diagnosis and treatment of multidrug-resistant
tuberculosis. Yeungnam Univ J Med. 2020
4. Soedarsono, Riadi AR. Tuberculosis drug-induced liver injury. Jurnal
Respirasi. 2020
5. Adigun R, Singh R. Tuberculosis. 2020. Available from URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/ [cited 2021 Mei 11].
6. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional pelayanan
kedoktraen tatalaksana tuberkulosis. 2019
7. Sanyaolu A, Schwartz J, Roberts K, Evora J, Dhother K, Scurto F, et al.
Tuberculosis: a review of current trends. Epidemiol Int J. 2018
8. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman penanggulangan
tuberkulosis (TB). 2009
9. World Health Organization. WHO consolidated guidelines on drug-resistant
tuberculosis treatment. 2019
10. The Council for International Organizations of Medical Sciences
(CIOMS).Drug-induced liver injury (DILI). 2020
11. Chen M, Suzuki A, Borlak J, Andrade RJ, Lucena M (2015) Drug- Induced
liver injury: interactions between drug properties and host factors. J Hepatol
63(2):503–514. https://doi.org/10.1016/j. jhep.2015.04.016
12. Garcia M-Cortes, Robles M-Diaz, Stephens C,Ortega A-Alonso, Lucena MI,
Andrade RJ. Drug induced liver injury: an update. Arch toxicol. 2020
13. Sundaram V, Bjornson ES. Drug-induced cholestasis. Hepatol Communicat.
2017

49
14. Wilkins T, Agabin E, Varghese J, Talukder A. Gallbladder dysfunction:
cholecystitis, choledocholithiasis, cholangitis, and biliary dyskinesia. Prim
Care Clin Office Pract. 2017
15. Pisano M, Allievi N, Gurusamy K, Borzellino G, Cimbanassi S, Boerna D, et
al. 2020 world society of emergency surgery updated guidelines for the
diagnosis and treatment of acute calculus cholecystitis. J Emerg Surg. 2020
16. Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al.
Flowcharts for the diagnosis and treatment of acute cholangitis and
cholecystitis: Tokyo guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg. 2007
17. Vagholkar K. Acute cholecystitis: severity assessment and management. Int J
Surg Scie. 2020
18. Yokoe M, Hata J, Takada T, Strasberg SM, Asbun HJ, Wakabayatashi G, et
al. Tokyo guidelines 2018: diagnostic criteria and severity grading of acute
cholecystitis (with videos). J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2018

50

Anda mungkin juga menyukai