Laporan Kasus
Oleh:
Moch Ikbal Munajat
Pembimbing
dr. Ahmad Soefyani, Sp.PD, K-GEH, FINASIM
Mei, 2021
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................3
A. Epidemiologi.........................................................................................
B. Etiologi..................................................................................................
C. Patogenesis dan Patofisiologi................................................................
D. Diagnosis...............................................................................................
E. Staging.................................................................................................
F. Terapi..................................................................................................
G. KHS dalam kaitannya dengan sirosis..................................................
H. Pencegahan..........................................................................................
BAB III LAPORAN KASUS...................................................................................41
A. Identitas Pasien....................................................................................
B. Anamnesis...........................................................................................
C. Pemeriksaan Fisik...............................................................................
D. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................
E. Follow Up............................................................................................
F. Resume................................................................................................
BAB IV PEMBAHASAN........................................................................................58
BAB V PENUTUP..................................................................................................66
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................67
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1.3 Klasifikasi
- Berdasarkan lokasi anatomis, TB diklasifikasikan menjadi:
1. TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena
2
terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstra paru
harus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
2. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar
parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran
genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstra
paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah diupayakan
semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis6
3
e) Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien
yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga
tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.6
4
terlokalisasi di bagian tengah paru-paru, dan ini dikenal sebagai fokus Ghon
dari TB primer. Pada sebagian besar individu yang terinfeksi, fokus Ghon
memasuki kondisi latensi. Keadaan ini dikenal sebagai tuberkulosis laten.5
Tuberkulosis laten mampu diaktifkan kembali setelah imunosupresi
pada host. Sebagian kecil orang akan mengembangkan penyakit aktif setelah
pajanan pertama. Kasus seperti itu disebut sebagai tuberkulosis progresif
primer. Tuberkulosis progresif primer terlihat pada anak-anak, orang
malnutrisi, orang dengan imunosupresi, dan individu yang menggunakan
steroid jangka panjang.5
Kebanyakan orang yang mengidap tuberkulosis, terjadi setelah masa
laten yang lama (biasanya beberapa tahun setelah infeksi primer awal). Ini
dikenal sebagai tuberkulosis sekunder. Tuberkulosis sekunder biasanya
terjadi karena reaktivasi infeksi tuberkulosis laten. Lesi tuberkulosis sekunder
ada di apeks paru. Sebagian kecil orang yang mengembangkan tuberkulosis
sekunder menjadi terinfeksi untuk kedua kalinya (infeksi ulang).5
Lesi tuberkulosis sekunder serupa untuk reaktivasi dan reinfeksi dalam
hal lokasi (di apeks paru), dan adanya kavitasi memungkinkan perbedaan dari
tuberkulosis progresif primer yang cenderung berada di zona paru tengah dan
tidak memiliki kerusakan jaringan yang ditandai atau kavitasi.5
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu
dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud
adalah pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan biakan.
Pemeriksaan TCM juga digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan
pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran
yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi over
diagnosis ataupun under diagnosis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB
dengan pemeriksaan serologis.6
2.1.1.5 Tatalaksana
5
Pengobatan TB terdiri dari 2 tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Pada
tahap awal pengobatan diberikan setiap hari. Pada tahap ini, dimaksudkan
untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dan meminimalisir
pengaruh dari sebagian kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum
pasien mendapatkan pengobatan. Tahap ini harus diberikan selama 2 bulan.
Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit,
daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu
pertama. Sedangkan pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa
kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga
pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap
lanjutan selama 4 bulan. Pada fase lanjutan seharusnya obat diberikan setiap
hari.6
Tabel 1. Dosis Rekomendasi OAT Lini Pertama untuk Dewasa8
Pasien berusia diatas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih dari 500-700 mg
perhari, beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10 mg/kg BB pada
pasien kelompok usia ini. Pasien dengan berat badan di bawah 50 kg tidak
dapat mentoleransi dosis lebih dari 500-750 mg perhari.
Pada TB kasus baru, pengobatan yang diberikan adalah lini 1 yaitu RHZE 2
bulan pada fase intensif dan RH 4 bulan pada fase lanjutan. 6 Sedangkan kasus
kambuh, gagal pengobatan, diberikan pengobatan lini 2 yaitu
2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.8
2.1.2 Tuberkulosis Multi Drug Resistance (TB-MDR)
2.1.2.1 Definisi
6
Tuberkulosis Multi Drug Resistance (TB-MDR) merupakan tuberkulosis akibat
organisme yang menunjukkan resistansi tingkat tinggi terhadap isoniazid dan
rifampisin, dengan atau tanpa resistansi terhadap obat anti-tuberkulosis lain.3
2.1.2.2 Epidemiologi
Menurut laporan TB WHO, jumlah pasien dengan diagnosis pasti TB yang
resistan terhadap beberapa obat telah meningkat dalam beberapa tahun
terakhir. Dari sekitar 84.000 pada 2012 menjadi sekitar 153.000 pada 2017.
Perkiraan beban total pasien dengan TB-MDR jauh lebih tinggi dan telah
meningkat dari 450.000 pada tahun 2012 menjadi 458.000 pada tahun 2017.
Prevalensi MDR-TB diperkirakan tertinggi di India dan Cina. Namun, jumlah
terbesar pasien yang telah didiagnosis dengan TB-MDR tinggal di WHO
Wilayah Eropa. Di Belarus, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Republik Moldova,
Federasi Rusia dan Ukraina, lebih dari 25% dari semua pasien baru yang
belum pernah menerima pengobatan untuk TB di masa lalu, memiliki TB-
MDR. Kurang dari sepertiga dari TB yang diberitahukan pasien di seluruh
dunia dievaluasi dengan tes kerentanan obat (DST) untuk RMP; hanya
setengah dari pasien dengan resistansi RMP atau MDR-TB menjalani DST
untuk FQ dan obat suntik lini kedua. Hanya 20% kasus MDR-TB memiliki
akses ke pengobatan yang memadai. Diperkirakan jumlah pasien dengan
MDR -TB dan XDR-TB di negara dengan beban tinggi akan terus meningkat
dalam beberapa dekade mendatang.2
7
resistensi sekunder atau resistensi yang didapat berkembang karena
kepatuhan yang buruk terhadap obat, malabsorpsi obat, dan rejimen yang
tidak memadai pada pasien yang mengkonsumsi obat TB. Meskipun sebagian
besar kasus TB-MDR timbul dari resistansi yang didapat, penelitian
sebelumnya melaporkan bahwa sebagian besar kejadian TB-MDR dihasilkan
dari penularan daripada perolehan resistansi selama pengobatan.3
2.1.2.4 Diagnosis
Deteksi resistansi RMP pada uji pengujian molekuler (misalnya, Xpert) sering
kali merupakan bukti pertama bahwa TB-MDR ada. Dengan pengecualian
yang jarang, ketika tidak ada hasil tes lain yang mengkonfirmasi resistansi
RMP, tidak ada pasien yang boleh menerima rejimen MDR-TB '' standar ''
berdasarkan hasil tes Xpert saja. Deteksi resistansi RMP menggunakan Xpert
harus selalu dikonfirmasi dengan uji molekuler tambahan yang juga mampu
mendeteksi mutasi yang terkait dengan resistansi terhadap obat lain. Prediksi
resistensi terhadap RMP, INH, FQ dan obat suntik lini kedua dimungkinkan
dengan menggunakan LPA pada sensitivitas berkisar dari 75% hingga 95% .
Resistensi terhadap protionamid (PTH) atau etionamida (ETH) juga dapat
diantisipasi ketika mutasi di daerah promotor dari gen inhA terdeteksi.
Pemilihan obat idealnya harus didasarkan pada prediksi genotipe resistensi
obat dengan menggunakan WGS. Dengan demikian, LPA saat ini merupakan
metode yang paling banyak tersedia yang digunakan untuk memandu dokter
tentang pilihan pengobatan awal.2
8
2.1.2.5 Tatalaksana
Tabel 2. Rekomendasi Rejimen Pengobatan TB MDR9
9
yang terjamin kualitasnya. Isoniazid dosis tinggi mungkin memiliki peran
pada pasien dengan kerentanan yang dikonfirmasi terhadap isoniazid
- Asam klavulanat dimasukkan dalam rejimen MDR / RR-TB hanya
sebagai agen pendamping karbapenem (imipenem-cilastatin dan
meropenem). Jika digunakan dengan cara ini, obat ini harus diberikan
dengan setiap dosis karbapenem dan tidak boleh dihitung sebagai agen
TB efektif tambahan.
- Tidak ada rekomendasi tentang perchlozone, interferon gamma atau
sutezolid karena tidak adanya data hasil akhir pengobatan pasien dari
studi pasien yang sesuai.9
Pengaturan Terapi:
1. Rejimen harus mencakup ketiga obat dari kelompok A dan
setidaknya satu obat dari kelompok B. Dengan demikian, regimen
harus mencakup setidaknya empat obat yang efektif (idealnya lima
obat) pada awal pengobatan.
2. Jika regimen tidak dapat dibangun berdasarkan regimen optimal yang
melibatkan obat dari kelompok A dan B karena resistensi dan
toksisitas obat, obat dari kelompok C dapat digunakan. Jika rejimen
tidak dapat memasukkan ketiga agen dari grup A, pengobatan awal
harus dimulai dengan lima agen, termasuk semua agen yang tersedia
dalam grup A dan B.
3. Agen suntik (amikacin atau streptomycin), delamanid, pirazinamid,
atau etambutol lebih disukai. Tes kerentanan untuk fluoroquinolones
harus dilakukan sebelum memulai pengobatan TB-MDR.
4. Di antara agen grup A, fluoroquinolones memiliki tingkat resistensi
yang tinggi (hingga 33%), dan itu adalah satu-satunya kelas obat
yang tes molekuler cepat tersedia.
5. Resistensi terhadap fluoroquinolones dikaitkan dengan hasil yang
buruk (kegagalan pengobatan atau kambuh) dalam pengobatan TB-
MDR. Obat suntik delamanid dan lini kedua dapat menjadi alternatif
yang berguna untuk TB-MDR yang resistan terhadap fluoroquinolon.
10
6. Kemungkinan keberhasilan pengobatan pada TB-MDR tergantung
pada faktor pasien (infeksi HIV, diabetes mellitus, berat badan
rendah, beban penyakit yang besar pada radiografi thorax, faktor
genetik, dan penyalahgunaan alkohol), faktor mikobakteri (pola
resistensi, beban mikobakteri), dan manajemen yang optimal
(membangun rejimen yang efektif dan manajemen efek samping dan
toksisitas).3
Durasi Pengobatan
Durasi optimal terapi untuk MDR-TB tidak jelas. WHO merekomendasikan
dua jenis rejimen pengobatan TB-MDR standar (regimen yang lebih lama
dan lebih pendek). Kedua jenis rejimen ini memiliki kombinasi obat dan
durasi yang berbeda. Pengobatan dengan regimen yang lebih lama
disarankan selama 18 sampai 20 bulan (setidaknya 15 sampai 17 bulan
11
setelah konversi kultur), dan regimen oral lebih disukai. Fase intensif,
yang berlangsung selama 6 sampai 7 bulan dan mencakup setidaknya
empat obat, direkomendasikan sampai bedaquiline dihentikan. Durasi
pengobatan yang direkomendasikan dapat dimodifikasi tergantung pada
status konversi kultur dan respon pasien terhadap pengobatan. Fase
lanjutan dari pengobatan harus mencakup setidaknya tiga obat. Pedoman
ATS / CDC / ERS / IDSA merekomendasikan durasi fase intensif antara
5 dan 7 bulan setelah konversi kultur. Regimen yang lebih pendek
awalnya didasarkan pada apa yang disebut regimen Bangladesh. Durasi
yang direkomendasikan untuk rejimen ini adalah 9 sampai 11 bulan.
Rejimen pendek dapat menjadi alternatif rejimen yang lebih lama pada
kasus TB-MDR sederhana dalam kondisi tertentu. Rejimen ini mencakup
fase intensif yang berlangsung selama 4 sampai 6 bulan, yang mencakup
tujuh obat (kanamisin, moksifloksasin, prothionamide, clofazimine,
pirazinamid, isoniazid dosis tinggi, dan etambutol). Dilanjutkan dengan
pengobatan 5 bulan dengan moxifloxacin, clofazimine, pyrazinamide,
dan ethambutol.
Kriteria eksklusi untuk rejimen yang lebih pendek adalah (1)
resistansi atau dugaan ketidakefektifan obat dari rejimen yang lebih
pendek (kecuali resistansi isoniazid); (2) pajanan terhadap satu atau lebih
obat lini kedua dari rejimen MDR-TB yang lebih pendek selama lebih
dari 1 bulan; (3) intoleransi terhadap obat-obatan dari rejimen MDR-TB
yang lebih pendek atau risiko toksisitas (misalnya, interaksi obat-obat);
(4) kehamilan; (5) TB yang menyebar, meningeal, atau sistem saraf
pusat; (6) penyakit luar paru pada pasien dengan infeksi HIV; dan (7)
tidak tersedianya setidaknya satu obat dari rejimen TB-MDR yang lebih
pendek.
ATS / CDC / ERS / IDSA tidak membuat rekomendasi baik untuk
atau menentang rejimen jangka pendek standar. Pedoman Korea juga
tidak merekomendasikan rejimen TB-MDR yang lebih pendek karena
tingginya insiden resistansi terhadap kuinolon, agen suntik, dan
pirazinamid, dan kurangnya bukti tentang keefektifan dan keamanan
12
rejimen yang lebih pendek bila dibandingkan dengan yang baru
dikembangkan lebih lama. regimen.3
2.1.3 Drug Induced Liver Injury (DILI)
2.1.3.1 Definisi
DILI adalah gangguan fungsi hati akibat penggunaan obat-obatan hepatotoksik
seperti OAT. DILI akibat OAT terjadi dalam waktu 2 bulan setelah
pemberian OAT dimulai dan insiden tertinggi dalam 2 minggu pertama.4
2.1.3.2 Kategori DILI
Tabel 3. Kategori DILI10
Liver Injury akibat obat dapat disebabkan oleh obat atau bahan kimia yang
memiliki toksisitas langsung dan dapat diprediksi pada sel hati, empedu,
endotel sinusoidal, dan sel stelat. Kategori cedera hati ini, yang disebut
intrinsik atau direct, biasanya bergantung pada dosis yang terjadi setelah
ambang batas dosis atau tingkat paparan yang mungkin berbeda antar
individu. Mayoritas obat hepatotoksik dalam praktik klinis, bagaimanapun,
menyebabkan kerusakan hati secara tidak terduga. Kategori ini disebut
idiosinkratik, karena sebagian besar tidak bergantung pada dosis, rute, atau
durasi paparan obat dan terutama terkait dengan karakteristik host yang unik.
DILI idiosinkratik mengacu pada reaksi hepatotoksik terhadap obat yang
terjadi pada sebagian kecil individu yang terpapar obat tersebut dan tidak
13
terduga dari tindakan farmakologisnya yang diketahui. Hal ini diyakini dipicu
oleh interaksi beberapa faktor penting termasuk sifat toksikologi obat dalam
hubungannya dengan faktor-faktor terkait host selektif dan kondisi
lingkungan. Baru-baru ini, kategori "indirect" telah diusulkan, yang
mencerminkan liver injury yang tidak diinginkan, terkait dengan tindakan
obat yang diketahui. Ini dapat memperburuk kondisi hati kronis yang sudah
ada sebelumnya seperti fatty liver atau memicu perburukan penyakit radang
hati yang mendasari. Kategori ini juga mencakup liver injury yang terkait
dengan beberapa imunoterapi, serta pengaktifan kembali infeksi virus
hepatitis B yang dipicu oleh paparan agen imunomodulator atau penekan
kekebalan tertentu.10,11
Tabel 4. Klasifikasi Pola Kerusakan Hati, Fenotip Spesial dan Sindrom DILI12
14
Penggunaan OAT kategori pertama INH, rifampisin, dan pirazinamid telah
diketahui memiliki efek hepatotoksik mulai dari gejala ringan dengan
peningkatan transaminase hingga gejala gagal hati akut. Pasien dengan gagal
hati akut sering menunjukkan peningkatan transaminase serum.4
Pada sebagian pasien, DILI juga dapat berkembang menjadi DILI kolestasis.
Transportasi obat melalui hati telah terbukti terlibat dalam patofisiologi efek
kolestasis dari obat-obatan. Di hati, transportasi di membran apikal ke
hepatosit melibatkan polipeptida pengangkut anion organik, dan
penghambatan protein efflux ini dapat menyebabkan kolestasis dari obat
tertentu atau metabolitnya. Pergerakan obat ke dalam empedu melibatkan
transporter kanularis dari bagian multidrug resistance (MDR) protein (MRP),
yang meliputi glikoprotein MDR1 (ABCB1), MDR3 (ABCB4), MRP2
(ABCC2), dan pompa ekspor garam empedu (BSEP). BSEP telah terbukti
menjadi pengangkut utama garam empedu dan metabolit obat dari hepatosit
ke empedu. Obat yang menghambat ekspor pada kanalikuli sisi melalui
penghambatan BSEP dapat menyebabkan kolestasis pada individu yang
rentan. Mekanisme molekuler tambahan yang terlibat dalam kolestasis yang
diinduksi obat termasuk destruksi sitoskeleton, gangguan pertukaran dan
gangguan fungsi jaringan, dan penghambatan transporter yang bergantung
pada adenosin trifosfat.13
2.1.3.4 Diagnosis
Pada gagal hati akut, gejala klinis mungkin tidak tampak spesifik seperti
kehilangan nafsu makan, kelelahan, sakit perut, demam, dan penyakit kuning.
15
Pasien perlu ditanyai tentang riwayat infeksi, penggunaan obat, riwayat sakit
hati dalam keluarga, riwayat penyakit hati sebelumnya, riwayat perjalanan ke
daerah endemis. Pada gagal hati akut pemeriksaan fisik diperlukan untuk
mengetahui terjadinya ikterus, status mental, dan tanda koagulopati. Hati
yang membesar jarang terjadi pada gagal hati akut, tetapi pembesaran
minimal dapat menjadi tanda awal hepatitis virus akut. Pembesaran hati yang
signifikan bisa menjadi tanda munculnya hepatomegali kongestif karena
masalah jantung, sindrom Budd-Chiari atau penyakit infiltratif. Pemeriksaan
laboratorium dilakukan untuk melihat ada tidaknya koagulopati dan
memastikan munculnya gagal hati akut dan prognosis penyakit.4
2.1.3.5 Tatalaksana
Pengobatan yang efektif untuk TB DILI hanya sedikit, kecuali pada DILI karena
acetaminophen yang memiliki terapi efektif, yaitu N-acetylcysteine (NAC).
Penatalaksanaan DILI yang paling penting adalah penghentian obat yang
menyebabkannya dan memulai terapi simtomatik dan suportif. DILI dapat
sembuh secara spontan pada kebanyakan pasien, tetapi memiliki variabilitas
yang berbeda. Pada beberapa pasien, DILI dapat berkembang seperti pada
kasus kolestasis DILI dan beberapa pasien mungkin mengalami gagal hati
akut. Karena belum ada terapi khusus untuk DILI, para ahli mencoba terapi
steroid pada kasus idiosyncratic dan ursodeoxycholic acid (UDCA) pada
penderita DILI cholestasis dan beberapa antioksidan walaupun literatur
tentang terapi tersebut masih kontroversi.4
- Steroid
Fungsi steroid di DILI dilaporkan dalam studi retrospektif kasus DILI
idiosinkratik dengan gejala autoimun atau reaksi hipersensitivitas.
Misalnya penggunaan steroid pada DILI akibat penggunaan diklofenak,
fenitoin, obat yang mengandung sulfa, metildopa, dan propylthiouracil.
Beberapa ahli juga merekomendasikan penggunaan steroid pada kasus di
mana gejala DILI masih muncul setelah 4-5 hari penghentian obat yang
dicurigai sebagai penyebabnya. Pada TB, penggunaan steroid digunakan
16
sebagai terapi tambahan pada meningitis TB dan periode akut perikarditis
TB, bukan sebagai pengobatan DILI.4
- Asam Ursodeoxycholic (UDCA)
Asam Ursodeoxycholic (UDCA) memiliki efek antioksidan dan aman
digunakan untuk waktu yang lama. Obat ini diketahui efektif dalam
pengobatan sirosis bilier primer dan mungkin pada primary sclerosing
cholangitis (PSC). Mekanisme yang diusulkan pada kasus DILI cholestasis
masih belum sepenuhnya dipahami, namun diperkirakan bahwa UDCA
mencegah kerusakan kolestatik dengan mengganti efek toksik dengan
cairan empedu nontoxic dengan cara mengurangi histokompatibilitas
antigen yang timbul dari hepatosit atau kolangiosit atau mekanisme
langsung efek sitoprotektif. Meskipun berdasarkan hasil, bukti
keberhasilan penggunaan UDCA masih bervariasi pada tipe kolestasis
DILI. Dosis pemakaian untuk DILI kolestasis adalah 13-15mg / kg BB.
Karena tidak ada terapi pasti untuk pengobatan DILI, para ahli
memutuskan bahwa pengobatan DILI terbaik saat ini adalah pencegahan.
Dalam hal DILI, para ahli menyarankan untuk menghentikan obat-obatan
yang diduga pencetus DILI. Pasien yang diberi obat yang diketahui
berpotensi hepatotoksik diberi tahu jika mengalami mual, muntah, nyeri
perut kanan atas, lemas, lesu atau demam yang tidak dapat dijelaskan saat
meminum obat harus segera memberi tahu dokter
- Tatalaksana pada pasien dengan pengobatan TB
Pengobatan TB dihentikan pada pasien yang mengalami gejala DILI, ikterus,
mual, dan muntah, serta pasien yang mengalami gejala DILI dengan gejala
penyakit kuning.
SGOT dan SGPT berfungsi lebih dari atau sama dengan 3 kali nilai
normal. Pengobatan TB juga dihentikan pada pasien yang tidak memiliki
gejala klinis tetapi hasil pemeriksaan laboratorium bilirubin lebih dari 2.
Jika tidak ada gejala klinis DILI tetapi hasil pemeriksaan laboratorium
SGOT / SGPT lebih dari 5 kali normal nilai, maka pengobatan TB juga
dihentikan. Apabila tidak ada gejala klinis DILI dengan peningkatan
SGOT / SGPT lebih dari atau sama dengan 3 kali lipat dari nilai
17
normalnya maka pengobatan TB dilanjutkan dengan melakukan
pengawasan yang ketat.4
Pengobatan TB dihentikan sambil menunggu fungsi hati kembali normal
dan gejala klinis (mual dan sakit perut) menghilang. Jika pemeriksaan
fungsi hati tidak dapat dilakukan, maka obat TBC diberikan 2 minggu
setelah pasien tidak sakit kuning dan tidak mengalami sakit perut. Jika
DILI telah selesai, pengobatan TB dapat dicoba satu per satu dimulai
dengan rifampisin yang lebih jarang terjadi pada hepatotoksik
dibandingkan INH atau pirazinamid. Setelah 3-7 hari, pasien dapat
diberikan INH. Pasien yang memiliki riwayat penyakit kuning masih dapat
menerima rifampisin dan INH tetapi sebaiknya tidak lagi diberikan
pirazinamid.4
2.1.4 Kolesistitis
2.1.4.1 Definisi dan Etiologi
Kolesistitis adalah peradangan pada kandung empedu. Kolesistitis dapat bersifat
akut atau kronis. Terdapat 4 bentuk kolesisititis akut yaitu akalkulus,
xanthogranulomatosa, emfisematosa dan torsi kandung empedu. Kolesistitis
akalkulus tidak berhubungan dengan batu empedu dan biasanya terlihat pada
individu yang sakit kritis. Kolesistitis Xantogranulomatosa ditandai dengan
penebalan dinding kandung empedu dan peningkatan tekanan kandung
empedu yang disebabkan oleh batu yang tersumbat. Kolesistitis
empisematosa ditandai dengan udara di dalam dinding kandung empedu yang
disebabkan oleh kuman anaerob pembentuk gas. Torsi kantung empedu
mengakibatkan suplai vaskular berkurang, yang biasanya terlihat paling
sering pada orang tua, dan dapat mengakibatkan konsekuensi yang
mengancam jiwa jika tidak segera ditangani dengan kolesistektomi.
Kolesistitis kronis terjadi setelah episode AC berulang.14
2.1.4.2 Epidemiologi
Prevalensi keseluruhan batu empedu diperkirakan 10–15% pada populasi umum,
dengan beberapa perbedaan antar negara. Antara 20 sampai 40% pasien
dengan batu empedu akan mengalami komplikasi terkait batu empedu,
18
dengan kejadian 1-3% setiap tahun. Kalkulus kolesistitis akut (ACC) adalah
presentasi klinis pertama pada 10-15% kasus. Kolesistektomi adalah
pendekatan terapeutik yang paling umum untuk ACC dan dianggap sebagai
standar perawatan untuk penyakit batu empedu bagi sebagian besar pasien.
Namun, dengan mempertimbangkan heterogenitas skenario klinis, variabilitas
fasilitas rumah sakit dan ketersediaan keahlian, manajemen pasien dengan
nyeri perut kuadran kanan atas dapat bervariasi.15
2.1.4.3 Patofisiologi
Kolesistitis akut biasanya dimulai dengan obstruksi persisten oleh batu yang
mengakibatkan peningkatan tekanan di dalam kandung empedu yang
menyebabkan distensi, iskemia, invasi bakteri, dan peradangan. Episode
kolesistitis akut yang berulang dapat menyebabkan kolesistitis kronis yang
ditandai dengan penebalan dinding kandung empedu dengan infiltrasi sel
inflamasi terkait dengan atrofi mukosa dan fibrosis.14
2.1.4.4 Diagnosis
Manifestasi Klinis
Temuan klinis yang terkait dengan kolangitis akut yaitu seperti nyeri perut,
ikterus, demam (Charcot's triad), dan kekakuan. Triad tersebut telah
dilaporkan sebagai indikator demam hati oleh Charcot pada tahun 1877, dan,
secara historis, digunakan sebagai temuan klinis kolangitis akut yang diterima
secara umum. Sekitar 50% -70% dari pasien dengan kolangitis akut
mengembangkan ketiga gejala tersebut. Reynolds 'pentad (Charcot's triad
plus shock dan penurunan tingkat kesadaran) muncul pada tahun 1959, ketika
Reynolds dan Dargan mendefinisikan kolangitis obstruktif akut. Pentad
sering digunakan untuk menunjukkan kolangitis yang parah (derajat III),
tetapi syok dan penurunan tingkat kesadaran diamati hanya pada 30% atau
lebih sedikit pasien dengan kolangitis akut.16
19
Gejala klinis kolesistitis akut termasuk nyeri perut (nyeri perut kanan atas),
mual, muntah, dan demam. Gejala yang paling khas adalah nyeri epigastrium
kanan. Nyeri di perut kanan atas, kantong empedu yang teraba, dan tanda
Murphy adalah temuan khas dari kolesistitis akut. Tanda Murphy yang positif
memiliki spesifisitas 79% -96% untuk kolesistitis akut.16
Kriteria Diagnosis
Pedoman Tokyo (TG 18 / TG 13) telah menetapkan kriteria diagnostik
untuk kolesistitis akut:
A. Tanda-tanda peradangan lokal
1. Tanda Murphy
2. Nyeri, nyeri tekan, atau massa kuadran kanan atas.
B. Tanda-tanda peradangan sistemik
1. Demam
2. CRP yang Ditinggikan
3. Jumlah sel darah putih yang meningkat
C. Temuan pencitraan
Ciri khas kolesistitis akut.
20
Dugaan kolesistitis apabila terdapat satu item dari A ditambah dengan satu item
dari B. Dikatakan diagnosis pasti apabila terdapat satu item dari A dan satu
item dari B ditambah dengan C. Setelah diagnosis ditegakkan, tingkat
keparahan kolesistitis perlu diukur.17
21
Tidak memenuhi kriteria kolesistitis akut derajat III dan II. Derajat I
didefinisikan sebagai kolesistitis akut pada pasien sehat tanpa disfungsi
organ dan perubahan inflamasi ringan di daerah kandung empedu.17
22
2.1.4.5 Tatalaksana
Kolesistektomi dini direkomendasikan untuk kebanyakan pasien, dengan
kolesistektomi laparoskopi sebagai metode yang lebih disukai. Di antara
pasien berisiko tinggi, drainase kandung empedu perkutaneus merupakan
terapi alternatif bagi pasien yang tidak dapat menjalani kolesistektomi dini
dengan aman.16
Ketika diagnosis kolesistitis akut dicurigai, perawatan medis, termasuk NPO,
cairan intravena, antibiotik, dan analgesia, bersama dengan pemantauan
tekanan darah, denyut nadi, dan keluaran urin harus dimulai. Secara
bersamaan, tingkat keparahan perlu ditetapkan. Perawatan yang tepat harus
dilakukan sesuai dengan tingkat keparahan. Penilaian risiko operasi juga
harus dievaluasi berdasarkan tingkat keparahan.16
Setelah peradangan akut diatasi dengan perawatan medis dan drainase
kandung empedu, sebaiknya dilakukan kolesistektomi untuk mencegah
kekambuhan. Pada pasien dengan resiko tinggi pembedahan dengan
kolesistolithasis, dukungan medis setelah pengobatan kolitis perkutan
sistolitotomi harus dipertimbangkan. Untuk pasien dengan kolesistitis
akalkulus, kolesistektomi tidak diperlukan, karena rekurensi akalkulus akut
kolesistitis setelah drainase kandung empedu jarang terjadi.16
a) Kolesistitis akut ringan (derajat I)
Kolesistektomi laparoskopi dini adalah pengobatan yang disukai.
Kolesistektomi elektif dapat dipilih (jika kolesistektomi dini tidak
dilakukan) untuk memperbaiki masalah medis lainnya.
b) Kolesistitis akut sedang (derajat II)
Lebih disukai laparoskopi atau kolesistektomi terbuka. Jika pasien
mengalami peradangan lokal yang serius yang membuat kolesistektomi
dini sulit, maka drainase perkutan atau operasi kandung empedu
disarankan. Kolesistektomi elektif dapat dilakukan setelah perbaikan
proses inflamasi akut.
c) Kolesistitis akut berat (derajat III)
Kolesistitis akut berat (derajat III) disertai dengan disfungsi organ dan / atau
peradangan lokal yang parah. Dukungan organ yang tepat selain
23
perawatan medis diperlukan untuk pasien dengan disfungsi organ.
Penatalaksanaan inflamasi lokal yang parah dengan drainase kandung
empedu perkuta dan / atau kolesistektomi diperlukan. Peritonitis bilier
akibat perforasi kandung empedu merupakan indikasi kolesistektomi
segera16
24
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
B. Anamnesis
Pasien berasal dari UGD RSUD ulin, rujukan RS Daman Huri Barabai.
Keluhan Utama (Anamnesis dilakukan pada 13-4-2021)
Mual Muntah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh mual dan muntah yang dirasakn sejak 5 hari SMRS, Muntah 3x/
hari dan mual dirasakan sepanjang hari, pasien juga mengeluhkan nafsu makan yang
menurun sejak 2 minggu terakhir ini.
Pasien juga mengeluhkan timbulnya ruam bercak merah pada seluruh tubuh terutama
di leher dan tangan yang diraskan sejak 5 hari SMRS bersamaan dengan keluhan
mual dan muntah, ruam bercak merah ini timbul mendadak di seluruh tubuh
terkadang disertai dengan gatal.
Pasien mengatakan sudah lebih 1 bulan didiagnosis memiliki sakit TB MDR dan
sedang manjalani pengobatan, pada 1 minggu awal minum obat pasien sempat
mengeluh sedikit mual dan pusing namun keluhan itu sempat membaik, pasien
mengatakan awalnya mengeluh batuk-batuk kering terkadang dahak agak keruh yang
hilang timbul selama 2 bulan dan terkadang berdarah namun jumlahnya tidak
25
banyak, hanya seperti bercak bercampur dengan dahak, pasien juga mengeluhkan
penurunan nafsu makan, berat badan yang terasa turun turun terkadang keringat
malm yang semua keluhan ini dirasakan bersamaan dengan keluhan batuk yaitu awal
November 2020.
Kemudian oleh keluarga pasien dibawa ke puskesmas dan dari puskesmas dirujuk ke
RS barabai lalu dirujuk Kembali ke RS kandangan kemudian dirujuk Kembali ke RS
martapura, di RS martapura pasien sempat dirawat 1 minggu dan mulai pengobatan
TB paru MDR, setelah itu pasien dipulangkan kemudian 1 minggu dirumah pasien
mual muntah dan akhirnya dirawat di RS barabai dengan diagnosis COVID 19
selama 12 hari, obat TB paru MDR tetap dilanjutkan.setelah 5 hari perawatan dari
RS barabai pasien Kembali mual dan muntah disertai timbul bercak ruam merah
pada tubuh lalu dibawa ke RS barabai Kembali dan langsung dirujuk ke RSUD ulin.
Pasien tidak ada keluhan nyeri perut, demam disanghkal, pasien tidak merasa ada
perubahan warna kekuningan pada mata dan wajah.Pasien tidak ada riwayat BAB
hitam seperti petis, pasien tidak ada keluhan rambut rontok, luka dimulut, nyeri
persendian, tidak tahan dengan sinar matahari atau ruam pada sekitar wajah
sebelumnya.
Riwayat diabetes, hipertensi dan penyakit kuning disangkal.
Riwayat Pengobatan
Pasien memulai pengobatan TB MDR di RS Martapura 13 Februari 2021
26
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
Tanda vital
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 110/80 mm Hg
Frekuensi nadi : 80 kali/menit
Frekuensi nafas : 20 kali/menit
Suhu tubuh (aksiler) : 36,8 oC
SpO2 : 98% (udara ruangan)
BB/TB : 45 kg/ 155 cm IMT 18.7
Kepala dan leher
Umum : Bentuk normal, simetris, tidak ada luka/ benjolan, rambut hitam, lurus,
tidak rontok, ruam discoid (-).
Kulit : Pucat (-), ikterik (-), macula eritema (+)
Mata : Palpebra kanan dan kiri tidak edema. Konjungtiva kanan dan kiri tidak
pucat. Sklera ikterik (+).
Mulut : Mukosa bibir lembab, lidah tidak kotor, stomatitis (-), ulcus (-).
Leher : Peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-/-), kaku kuduk tidak ada
Pemeriksaan Thorak
Paru
Inspeksi : Bentuk simetris, pergerakan simetris, retraksi (-), pergerakan
simetris, thrill (-), macula eritematosa (+)
Palpasi : Fremitus vokal simetris
Perkusi : Sonor/ Sonor
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi basah halus (--+/---), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Getaran/ thrill (-)
Palpasi : Pulsasi teraba di ICS V linea midclavicula sinistra, Iktus
cordis teraba (+) di ICS V linea midclavicula sinistra.
Perkusi : Kanan : ICS II - IV linea parasternalis dextra
27
Kiri : ICS II linea parasternalis sinistra - ICS V linea midclavicula
sinistra
Atas : ICS II linea parasternalis dekstra – ICS II linea parasternalis
sinistra
Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, reguler, dan tidak terdengar suara bising
Abdomen
Inspeksi : Bentuk simetris, datar, macula eritematosa (+).
Auskultasi : Bising usus positif normal
Palpasi : Hepar, lien tidak teraba membesar.
Murphy sign (-), McBurney sign (-)
Perkusi : tympani (+)
Ekstremitas
Atas : Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-), macula eritematosa (+)
Bawah : Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-), macula eritematosa (+)
31/3/21
28
19/4/21 23/4/21
D. Pemeriksaan Penunjang
CRP 5.1
31
Alkaline 40-150
phosphatase
LDH 220-450 U/L
GINJAL
Ureum 32 0-50 mg/dl
Creatinin 0.55 0.72-1.25 mg/dl
BUN:Creatinine
ratio
eGFR ml/menit
ELEKTROLIT
Natrium 136 136-145 mEq/L
Kalium 3.9 3.5-5.1 mEq/L
Chlorida 102 98-107 mEq/L
32
Lekosit Negatif Negatif
SEDIMEN URINE NILAI RUJUKAN
Lekosit 2-3 0-3
Eritrosit 0-2 0-2
Epithel +1 +1
Kristal Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Lain-Lain Negatif Negatif
Gen Xpert
33
21/4/21
MTB NOT DETECTED
ANA PROFILE
34
FOTO THORAX
27/1/21 22/2/21
31/3/21 8/4/21
35
USG ABDOMEN ( 3/4/21 )
E.
Follow Up
Subyektif
Mual muntah
Gatal dan Merah kulit
Batuk Kering
1/4/21-5/4/21 6/4/21-10/4/21 11/4/21-15/4/21 16/4/21-20/4/21 21/4/21-22/4/21
Obyektif
36
Diagnosis
1/4/2021 3/4/2021 8/4/2021 10/4/2021
1. Elevated liver 1. Elevated liver 1. Elevated liver 1. Elevated liver
enzim + nausea enzim + nausea enzim + nausea enzim + nausea
vomite vomite vomite vomite
1.1 Drug induced 1.1 Drug induced 1.1 Drug induced 1.1 Drug induced
liver injury liver injury liver injury liver injury
2. Nausea + Vomite
2.1. Drug induced 4. skin erruption 4. skin erruption 4. skin erruption
2.2. Gastritis Akut 4.1 Drug TB MDR 4.1 Drug TB MDR 4.1 Drug TB MDR
induced induced induced
37
3. TB Paru MDR 5. Mild 5. Hipoalbuminemia 5. Hipoalbuminemia
Hipokalemia Moderate Moderate
4. Skin erruption
5.1 GI loss 5.1 low intake 5.1 low intake
4.1 Drug TB MDR 5.2 low intake 5.2 katabolic state 5.2 katabolic state
induced ec inflamation ec inflammation
6. Hipoalbuminemia
Moderate
38
autoimun autoimun
5. Hipoalbuminemia
Moderate
Terapi
39
Resume
Nn. N usia 21 tahun dating dengan keluhan mual dan muntah yang dirasakn sejak 5
hari SMRS, Muntah 3x/ hari dan mual dirasakan sepanjang hari, pasien juga
mengeluhkan nafsu makan yang menurun sejak 2 minggu terakhir ini.
Pasien juga mengeluhkan timbulnya ruam bercak merah pada seluruh tubuh terutama
di leher dan tangan yang diraskan sejak 5 hari SMRS bersamaan dengan keluhan
mual dan muntah, ruam bercak merah ini timbul mendadak di seluruh tubuh
terkadang disertai dengan gatal. Pasien mengatakan sudah lebih 1 bulan didiagnosis
memiliki sakit TB MDR dan sedang manjalani pengobatan, Pasien tidak ada keluhan
nyeri perut, demam disanghkal, pasien tidak merasa ada perubahan warna
kekuningan pada mata dan wajah.Pasien tidak ada riwayat BAB hitam seperti petis,
pasien tidak ada keluhan rambut rontok, luka dimulut, nyeri persendian, tidak tahan
dengan sinar matahari atau ruam pada sekitar wajah sebelumnya. Pasien memulai
pengobatan TB MDR di RS Martapura 13 Februari 2021, dikeluarga tidak ada yang
merasakan keluhan seperti pasien.
Pemeriksaan fisik didapatkan bercak eritema pada wajah badan tangan dan
kaki. Pemeriksaan abdomen tidak didapatkan nyeri tekan atau pembesaran organ.
Tanda vital pasien selama perawatan dalam batas normal, dari pemeriksaan status
gizi pasien mengarah kepada underweight walaupun hasil index masa tubuh pasien
masih dalam batas normal.
40
Pemeriksaan hematologi terdapat peningkatan SGOT/SGPT (awal perawatan
1840/1000 akhir perawatan 44/85) dengan kadar kalium awal 3.3 dan 3.7
pada akhir pengobatan
Didapatkan kadar albumin 2.7 dan setelah diterapi menjadi 3.5. Hasil urinalisis
masih dalam batas toleransi. Dan kultur urin normal.
Pemeriksaan ANA IF dan ANA profile dalam batas normal
Pemriksaan gen expert dahak menjadi not detected
Pada pasien didapatkan USG abdomen didapatkan adanya tanda kolesistitis.
Psdien direncanakan pemeriksaan CT scan thorax dan dahak untuk deteksi
resistensi obat isoniazid.
Selama perawatan, pasien mendapatkan terapi diet tinggi kalori dengan naik
bertahap dan SF hepatososl, drip SNMC, inj. Lefoploxacin 1x750 mg, inj.
Ceftazidim 3x2 gr, inj. Difenhidramin 1x1 amp, inj. Metilprednisolon 3x62.5 mg
tapp off, P.O. Vip albumin 3x2 caps, P.O. curcuma 3x1, P.O. Hp pro 3x1, P.O. KSR
3x600 mg. setelah kondisi klinis dan laboratorium pasien membaik maka pasien
dipulangkan tanggal 22/4/2021 dengan direncanakan kontrol poli paru dan IPD div
gastro.
41
BAB IV
PEMBAHASAN
42
Pada pasien ini berdasarkan tipe kerusakannya penyakit hari akibat obat lebih
mengarah kepada cedera tingkat hepatoseluler.
Pengobatan TB dihentikan pada pasien yang mengalami gejala DILI, ikterus,
mual, dan muntah, serta pasien yang mengalami gejala DILI dengan gejala penyakit
kuning.
SGOT dan SGPT berfungsi lebih dari atau sama dengan 3 kali nilai normal.
Pengobatan TB juga dihentikan pada pasien yang tidak memiliki gejala klinis tetapi
hasil pemeriksaan laboratorium bilirubin lebih dari 2. Jika tidak ada gejala klinis
DILI tetapi hasil pemeriksaan laboratorium SGOT / SGPT lebih dari 5 kali normal
nilai, maka pengobatan TB juga dihentikan. Apabila tidak ada gejala klinis DILI
dengan peningkatan SGOT / SGPT lebih dari atau sama dengan 3 kali lipat dari nilai
normalnya maka pengobatan TB dilanjutkan dengan melakukan pengawasan yang
ketat.4
Pengobatan TB dihentikan sambil menunggu fungsi hati kembali normal dan
gejala klinis (mual dan sakit perut) menghilang. Jika pemeriksaan fungsi hati tidak
dapat dilakukan, maka obat TBC diberikan 2 minggu setelah pasien tidak sakit
kuning dan tidak mengalami sakit perut. Jika DILI telah selesai, pengobatan TB
dapat dicoba satu per satu dimulai dengan rifampisin yang lebih jarang terjadi pada
hepatotoksik dibandingkan INH atau pirazinamid. Setelah 3-7 hari, pasien dapat
diberikan INH. Pasien yang memiliki riwayat penyakit kuning masih dapat menerima
rifampisin dan INH tetapi sebaiknya tidak lagi diberikan pirazinamid.4
Pada pasien kita dapatkan adanya kolesistitis dari hasil pemeriksaan usg
abdomen pada pasien, namun dari anamnesis dan gejla klinis pasien tidak
mendukung kea rah kolesistitis. Berdasarkan Tokyo guideline 2013 ada 3 kriteria
diagnosis untuk kolesistitis
Kriteria Diagnosis
Pedoman Tokyo (TG 18 / TG 13) telah menetapkan kriteria diagnostik
untuk kolesistitis akut:
A. Tanda-tanda peradangan lokal
1. Tanda Murphy
2. Nyeri, nyeri tekan, atau massa kuadran kanan atas.
B. Tanda-tanda peradangan sistemik
43
1. Demam
2. CRP yang Ditinggikan
3. Jumlah sel darah putih yang meningkat
C. Temuan pencitraan
Ciri khas kolesistitis akut.
Dugaan kolesistitis apabila terdapat satu item dari A ditambah dengan satu item dari
B. Dikatakan diagnosis pasti apabila terdapat satu item dari A dan satu item dari B
ditambah dengan C. Setelah diagnosis ditegakkan, tingkat keparahan kolesistitis
perlu diukur.17
B. Analisis manajemen
44
45
Obat TB merupakan salah satu penyebab timbulnya reaksi injury pada liver,
pada pasien yang sring menyebabkan adalah isoniazin, pyrazinamide dan rifampisin.
Beberapa ahli juga merekomendasikan penggunaan steroid pada kasus di
mana gejala DILI masih muncul setelah 4-5 hari penghentian obat yang dicurigai
sebagai penyebabnya. Pada TB, penggunaan steroid digunakan sebagai terapi
tambahan pada meningitis TB dan periode akut perikarditis TB, bukan sebagai
pengobatan DILI.4
Pemebrian steroid sendiri masih dalam perdebatan, namun dosis
metilprednisolon 40-80 mg/ hari selama 5 – 7 hari cukup bermanfaat yang kemudian
bisa diturunkan secara bertahap untuk menhindari fek yang tidak diinginkanm dari
steroid itu sendiri. Penggunaan SNMC sendiri dari beberapa penilitian ternyata tidak
menunjukan perubahan yang cepat dari nilai normal AST dan ALT.
Selama evaluasi pasien dilakukan pemeriksaan untuk pasien kea rah autoimun
namun dari hasil pemeriksaan ANA IF dan ANA profile tidak menunjukan kearah
atautoimun. Dalam evaluasi nilai AST dan ALT selam pebobatan terjadi penurunan
kadar AST dan ALT yang cukup cepat kearah nilai normal. Berdasarkan teori untuk
penanganan awal pada pasien dengan DILI adalah penghentian segera terhadap obat
yang dicurigai menyebabkan keadaan ini.
Pada pasien juga didapatkan hasil laboratorium leukositosis dan hasil usg
abdomen dengan kolesistitis, dari anam nesis dan pemeriksaan fisik tidak didapatkan
data yang mendukung kearah kolesistitis namundari hasil usg abdomen didapatkan
hasil berupa kolesistitis, pasien mendapatkan pengobatan inj ceftazidime 3x2 gr
selam 7 hari, berdasarkan Tokyo guideline 2018 untuk manajemen kolesistitis maka
untuk grade yang ringan bisa diberikan ceftriakson selama 7 hari kemudian
dievaluasi ulang dari keluhan dan pemeriksaan penunjang pada pasien.
Kondisi hipokalemia pada pasien saat awal dating tidak menumbulkan gejala
yangberat terhadap pasien, pasien mendapat suplemen oral KSR 3x600 mg kemudian
di evaluasi dan nilai kalium pasien Kembali pada kadar normal. Kadar kalium yang
rendah banyak penyebabnya bisa karena hilang melalui salurana pencernaan, saluran
kemih dan lainnya, pada pasien kemungkinan hilang melalui saluran pencernaan
karena pasien awal dating sempat mengeluh mual dan muntah, low intake pada
46
pasien bisa juga menjadi factor untuk terjadinya kondisi hipokalemia ringan pada
pasien.
Pada pasien didapatkan kondisi hipoalbumin, hal ini bisa terjadi karena gizi
yang kurang pada pasien walau dar hasi IMT pasien menunjukan nilai yang normal
dengan nilai IMT 18.7 nilai ini cukup menjadi perhatian bahwa status gizi pasien
sebenarnya memang kurang. Sehiongga pemberian asupan makanan dan gizi yang
cukup akan sangat membantu dalam memperbaiki kondisi klinis pasien. Pasien sudah
dikonsulkan kebagian gizi klinik dan mendaptkan diet 2000 kkal dengan tambahan
susu formula hepatosol 3x100 cc dan dalam perwatan gizi pasien mulai membaik,
nafsu makan pasien meningkat diiringi dengan keluhan yang berkurang dan nilai
laboratorium pasien membaik disbanding Ketika awal datang.
47
BAB V
PENUTUP
48
DAFTAR PUSTAKA
49
14. Wilkins T, Agabin E, Varghese J, Talukder A. Gallbladder dysfunction:
cholecystitis, choledocholithiasis, cholangitis, and biliary dyskinesia. Prim
Care Clin Office Pract. 2017
15. Pisano M, Allievi N, Gurusamy K, Borzellino G, Cimbanassi S, Boerna D, et
al. 2020 world society of emergency surgery updated guidelines for the
diagnosis and treatment of acute calculus cholecystitis. J Emerg Surg. 2020
16. Miura F, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Wada K, Hirota M, et al.
Flowcharts for the diagnosis and treatment of acute cholangitis and
cholecystitis: Tokyo guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg. 2007
17. Vagholkar K. Acute cholecystitis: severity assessment and management. Int J
Surg Scie. 2020
18. Yokoe M, Hata J, Takada T, Strasberg SM, Asbun HJ, Wakabayatashi G, et
al. Tokyo guidelines 2018: diagnostic criteria and severity grading of acute
cholecystitis (with videos). J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2018
50