Anda di halaman 1dari 34

INTERPROFESIONAL EDUCATION

(Kasus TB-MDR)

NAMA KELOMPOK – B1-A

SANTY DEWI KULAMA (162200025)

SUTAPRARAMA (162200026)

SITI NUR AINI (162200027)

STEFANI DWIARTI OMON (162200028)

VERIDIANA HANAT (162200029)

JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA

2018

ABSTRAK
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia.


Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan
sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
Tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia.
Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta
manusia. Indonesia merupakan urutan ke tiga (3) yang menjadi Negara kasus TB
tertinggi (Depkes.2011).
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberkulosa (Roubentstein dkk.2010). Bakteri ini merupakan bakteri
basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya.
Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh
manusia. Insidensi TB dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini
di seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TB merupakan masalah
kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit
(morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Pasien dengan TB paru aktif dapat
asimptomatis atau disertai gejala batuk ringan, namun dapat pula datang dengan
gejala seperti demam, lemah, penurunan berat badan, keringat malam dan batuk
berdarah. Jika TB paru dideteksi secara dini dan diobati secara tuntas maka penderita
TB paru dapat cepat menjadi non-infeksius dan akhirnya sembuh (Depkes.2008).
Tuberkulosis sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di dunia dan
diperparah dengan timbulnya masalah baru berupa TB MDR (Multi Drug Resistant
Tuberculosis). TB MDR adalah TB resistant obat terhadap minimal dua (2) oba anti
TB yang paling poten yaitu INH dan rimpafisin secara bersama-sama atau disertai
resistan terhadap obat anti TB lini pertama lainnya (Priyanti Soepandi. 2010).
Kebanyakan MDR TB terjadi karena kekurang patuhan dalam pengobatan TB.
Resistensi yang terjadi dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Deteksi
awal MDR TB dan memulai terapi sedini mungkin merupakan faktor penting untuk
tercapainya keberhasilan terapi. Secara teoritis ada 5 faktor yang dianggap berperan
menyebabkan TB-MDR, yaitu pengobatan tidak adekuat (menimbulkan
Mikobakterium tuberculosis yang resisten), pasien yang lambat terdiagnosis MDR
sehingga menjadi sumber penularan terus menerus, pasien dengan TB resist en obat
yang tidak bisa disembuhkan akan meneruskan penularan, pasien dengan TB resisten
obat meskipun diobati terus tetapi dengan obat yang tidak adekuat mengakibatkan
penggandaan mutan resisten, dan HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB
mejadi sakit TB dan akan memperpanjang periode infeksious (Priyanti Soepandi.
2010).
Oleh karena itu dalam standar internasional penatalaksanaan TB (ISTC)
dijelaskan bahwa perlu dilakukan penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasar
riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat,
dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat. ISTC mengisyaratkan bahwa pasien
gagal pengobatan dan kasus kronik selalu dipantau kemungkinan terjadi resistensi
obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitiviti
obat terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilakukan segera. Pasien
tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR) seharusnya
diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuborkulosis. Cara-
cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien
terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang
berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR-TB harus dilakukan (Achmad
Hudoyo,dkk.2012).
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan ini adalah :
- Untuk mengetahui hal-hal yang mendukung diagnosis TB-MDR dari sudut
pandang profesi dokter
- Untuk mengetahui pengobatan terakit TB-MDR dari sudut pandang profesi
apoteker

- Untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk


mendukung diagnosis dan memantau kondisi pasien dari sudut pandang profesi
analis

- Untuk mengetahui rancangan ruangan yang digunakan untuk merawat pasien


dengan diagnosis TB-MDR dari sudut pandang profesi K3

- Mengetahui dan melakukan pencegahan agar tidak terjadi lebih banyak lagi
kasus terkait TB MDR
- Mengetahui cara berkolaborasi yang baik dengan profesi tenaga kesehatan lain
dan dapat diterapkan nantinya dalam dunia kerja
BAB II
ANALISIS KASUS
2.1 KASUS TB –MDR

Pasien perempuan dengan usia 17 tahun datang ke RS mengalami keluhan batuk


berdahak lebih dari 1 bulan disertai darah, nafsu makan menurun yang disertai
penurunan berat badan, berkeringat dingin pada malam hari. Riwayat keluarga
dengan orang tua mengalami keluhan serupa dan sudah terdiagnosis TB dengan
pengobatan yang tidak teratur dan tidak tuntas. Setelah dilakukan pemeriksaan
fisik,radiologi, dan laboratorium. TIM IPC RS yang terdiri dari Apoteker, Dokter,
Perawat, Analis, dan Psikolog melakukan diskusi terkait pasien tersebut. TIM
tersebut mengarahkan pasien terdiagnosis TB-MDR, menurut anda apa saja
yang harus disiapkan untuk merawat pasien tersebut di RS ?

 Jelaskan dari aspek berikut :

a. Hal-hal yang mendukung Diagnosis TB-MDR (Dokter)

b. Pengobatan TB MDR yang direncanakan sebagai berikut dengan tetap


memikirkan compliance pasien (Apoteker):

Nama Obat Jumlah Keterangan


Ethionamide 200 mg 2 tablet Setiap hari
Ethambutol 400 mg 2 tablet Setiap hari
Levofloxacin 200 mg 2 tablet Setiap hari
Pirazinamide 500 mg 2 tablet Setiap hari
Vitamin B6 50 mg 1 tablet Setiap hari
Sikloserin 200 mg 2 tablet Setiap hari
Injeksi Kanamisin 1 vial Senin-Jumat
c. Pemeriksaan Laboratorium yang digunakan untuk mendukung diagnosis dan
memantau kondisi pasien (Analis)

d. Rancangan Ruangan yang digunakan untuk merawat pasien dengan diagnosis


TB-MDR (K3)

 Analisis penyelesaian masalah?


 Buatlah rencana promkes untuk masalah diatas?
2.2 Hasil Diskusi
1. Hal-hal yang mendukung diagnosis (dr. Albert Toni Lopolisa)
a. Diagnosis TB
Perlu diperhatikan konteks pasien berada pada tingkat fasilitas kesehatan yang
mana (dasar, lanjutan/lengkap). Idealnya, pemeriksaan TB paru dewasa (terhadap
pasien mengarah kearah TB paru) dapat dilakukan pada pasien dengan gejala
batuk lebih dari 2 minggu, dan terdapat gejala tambahan lain yang mendukung
kearah TB. Adapun keluhan lain selain yang terdapat pada kasus adalah sesak
napas, badan lemas, malaise (nyeri seluruh tubuh), demam disertai meriang lebih
dari satu bulan.
Adapun pemeriksaan yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
 Pemeriksaan dahak sewaktu, pagi, sewaktu (SPS).
S (Sewaktu) : dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang
berkunjung pertama kali ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pada saat pulang,
terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi
pada hari kedua.
P (Pagi) : dahak ditampung di rumah pada pagi hari ke dua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawah dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasilitas
pelayanan kesehatan.
S (sewaktu ) : dahak ditampung di fasilitas pelayanan kesehatan pada hari
kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Jika terdapat satu hasil positif maka
pasien dapat dinyatakan TB. Perlu diperhatikan bahwa pemeriksaan dahak
pagi adalah yang merupakan pemeriksaan yang lebih signifikan dibandingkan
sewaktu
 Pemeriksaan voluntary counseling test (VCT), dimana pasien dapat
ditawarkan untuk diperiksa status infeksi HIVnya secara gratis dan sukarela.
 Pemeriksaan kultur bakteri Mycobacterium tuberculosis yang cukup lama
yakni mencapai 4 minggu dan dapat ditunggu hingga 8 minggu sebelum
dinyatakan negatif.
 Pemeriksaan TB MDR
Diagnosis TB-MDR dipastikan semua suspek TB-MDR diperiksa
dahaknya. Apabila tidak memiliki fasilitas dahak, maka pasien dapat
ditawarkan untuk memeriksakan rontgen dada posisi PA atau posisi lordotik.
Apabila hasil rontgen dan pemeriksaan klinis mengarah ke arah TB, maka
pasien akan ditatalaksana sebagai pasien TB. Perlu diperhatikan bahwa
pemeriksaan rontgen yang mendukung belum tentu berarti saat itu TB, karena
bisa saja hasil merupakan bekas TB yang dulu pernah terjadi pada pasien.
Hasil rontgen negatif juga tidak serta merta membuat pasien tidak TB.
Apabila tidak ada fasilitas dahak maupun rontgen, pasien dapat diterapi
terlebih dahulu dengan antibiotik spektrum luas non OAT (obat anti
tuberkulosis) dan dilihat keadaan klinis pasien apakah perbaikan atau tidak.
Perlu diperhatikan bahwa pemberian antibiotik ini tidak dianjurkan karena
akan memperlama mulai pengobatan TB.
b. Diagnosis TB-MDR
1) Kategori resistensi terhadap obat anti TB (OAT)
 TB monoresistance : resisten terhadap salah satu obat
 TB Polyresistance : Resisten terhadap >1 obat selain kombinasi
isoniazid DAN Rimfapisin(salah satu saja)
 TB MDR(multidrug resistance) = Resisten terhadap isoniazid dan
rifampicin dan dapat disertai OAT lini pertama yang lainmisalnya HR,
HRE, HRES.
 TB XDR(extensively)= Resisten terdahap salah satu golongan
fluorokuinolon dan salah satu OAT lini kedua (kapreomisin, kanamisin,
amikasin)
2) Metode yang digunakan dalam diagnosis TB resisten obat :
 Metode cepat (rapid test) menggunakan Gen eXpert dan LPA
 Metode konfeksional menggunakan lowenstein jensen(kultur) dan
MGIT (kultur)
 Adapun pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pasien MDR
TB adalah: Pemeriksaan berat badan, Foto toraks(followup) (bulan
0,6,12,18), Ureum dan kreatinin(1-3 minggu sekali selama suntikan),
Elektrolit(setiap bulan), Ekg, TSH(bulan 0,6,12,18), awal pengobatan
dan jika ada indikasi: SGPT SGOT, Darah lengkap, audiometri, kadar
gula darah, asam urat, HIV
 Pada pasien yang kontak dengan saudaranya yang gagal
berobat(pengobatan >1 bulan dan tidak dilanjutkan/tidak tuntas/hasil
pengobatan masih menunjukkan TB) maka patut dilakukan screening
TB MDR. Pasien ini harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang memiliki
pengobatan yang lebih lengkap.
c. Followup Pasien
Pemeriksaan yang dilakukan secara berkala pada pasien TB:
Cek dahak pada awal bulan, bulan ke 2 pengobatan, dan satu bulan sebelum
pengobatan berarkhir.
2. Sudut Pandang Perawat Mengenai Kasus TB-MDR

a. Penatalaksanaan terhadap pasien TB


Hal pertama yang dilakukan oleh perawat dalam menangani pasien
Tuberkulosis adalah melakukan anamnesis keperawatan yang terdiri dari :
 Menayakan keluhan yang dirasakan pasien,
 Pemeriksaan tanda-tanda vital, terdiri dari nadi, pengecekan tensi, dan
respirasi
 Pada kasus ini pasien sudah kehilangan nafsu makan disertai penurunan
berat badan, sehingga dalam diagnosis keperawatan pasien tersebut
sudah tergolong dalam perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan yang
seharusnya. Biasanya tim keperawatan akan bekerja sama dengan tim
gizi untuk memberikan pasien makanan tinggi kalori dan tinggi protein
(TKTP)
 Menanyakan kepada pasien apakah sudah atau belum pernah
mendapatkan terapi sebelumnya, selanjutnya akan diinformasikan ke
dokter
 Dengan mempertimbangkan risiko penyebaran infeksi, penderita
tuberculosis ditempatkan di ruangan khusus untuk mengurangi
penyebaran atau penularan bakteri ke pasien lainnya.
 Diberikan komunikasi, informasi, edukasi (KIE) berkaitan hal yang
harus dilakukan oleh pasien, seperti jika meludah jangan disembarang
tempat dan harus menggunakan tissue, jika batuk juga harus
menggunakan tissue
 Setiap tenaga keperawatan yang melakukan pemeriksaan terhadap
pasien Tuberkulosis harus menggunakan alat pelindung diri yang
lengkap untuk menghindari risiko penularan infeksi
 Yang paling penting adalah jangan menjauhi pasien, usahakan untuk
meyakini pasien bahwa pasien akan sembuh. Adapun hal lain yang
dapat dilakukan oleh tim keperawatan agar pasien patuh minum obat
yaitu dengan meyakinkan bahwa dengan meminum obat pasien akan
sembuh, ini juga dapat meningkatkan kepercayaan pasien akan
kesembuhannya.
 Penanganan terhadap pasien TB dengan TB-MDR tidak jauh berbeda.
 Jika pasien pulang ke rumah, usahakan pasien di berikan KIE untuk
patuh minum obat, menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumah. Jika
dalam satu keluarga semuanya menderita penyakit TB, yang paling
penting diperhatikan adalah menjaga kebersihan lingkungan sekitar
rumah dan diharuskan semuanya menggunkan masker.
 Dalam penanganan pasien TB ada pengawas minum obat (PMO), ini
bukan hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan tetapi juga dapat
dilakukan oleh keluarga pasien, tetangga, dengan tujuan meningkatkan
kepatuhan minum obat oleh pasien.
b. Hal yang dilakukan jika dalam satu keluarga terdapat 1 anggota keluarganya
menderita penyakit TB, adalah diwajibkan untuk semua anggota keluarganya
mengecek atau melakukan pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA) untuk
mencegah penularan infeksi.
3. Sudut pandang profesi analis pada kasus
Pada kasus TBC ada beberapa panel pemeriksaan laboratorium yang bisa
dilakukan:
 Uji Tuberkulin (Mantoux)
a. Uji tuberkulin positif menunjukkan adanya infeksi dan kemungkinan TB
aktif pada anak
b. Dapat mendeteksi TB secara dini
c. Uji ini dapat negatif pada TB berat dan anergi (malnutrisi, penyakit sangat
berat, pemberian imunosupresif, dll)
d. Uji terbekulin (dengan tuberkulin standard) positif bila indurasi > 10 mm
gizi baik dan Reaksi cepat BCG
Bila pada penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat berupa indurasi >5mm (dalam
3-7 hari) dicurigai telah terinfeksi miobakterium tuberkulosis.
 Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
a. Pemeriksaan langsung BTA (mikroskopis) dari dahak (pada anak bilasan
lambung karena dahak sulit didapat pada anak)
b. Biakan hasil TB memakan waktu lama
c. Cara baru deteksi basil (Bactec, PCR) masih belum dapat dipakai klinis
praktis (mahal)
d. Pemeriksaan serologik (ELISA, PAP, Mycodot dll)
 Pemeriksaan hematologi : bisa dengan pemantauan leukosit . serta
pemeriksaan Laju endap darah
Dalam pemantauan pengobatan dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada bulan
ke-2 atau ke-5, ke-7 pasca pengobatan.
Terkait dengan kasus MDR-TB : merupakan kasus resistensi antibiotika ,
dimana untuk uji apakah betul resisten ataupun tidak bisa dilakukan uji resistensi
antimikroba . hasil dari tes ini ini bisa memberikan gambaran terkait antibiotika
yang resisten serta antibiotika yang masih bisa dipakai dalam pengobatan
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB
dilakukan dengan mengumpulkan 3spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
• S(sewaktu):
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
• P(Pagi):
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
• S(sewaktu):
Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi.
4. Dari sudut pandang kesehatan dan keselamtan kerja (K3)
Meningkatnya angka kejadian infeksi di rumah sakit, baik terhadap petugas
kesehatan maupun pasien yang dirawat di rumah sakit, mengharuskan
diwujudkannya suatu langkah pencegahan sehingga angka infeksi di rumah sakit
dapat menurun. Salah satu upaya adalah dengan menyediakan fasilitas ruang
isolasi yang bertujuan untuk merawat pasien dengan penyakit infeksi yang
dianggap berbahaya di suatu ruangan tersendiri, terpisah dari pasien lain, dan
memiliki khusus dalam prosedur pelayanannya.
a. Adapun kriteria ruangan perawatan isolasi ketat yang ideal menurut standar K3
 Ruangan berukuran 3 x 4
 Suhu kamar 25 0C
 Kelembabannya 76 mmHG
 Sirkulasi udara harus baik
 Ligkungan harus tenang
 Terdapat ventilasi
 Terdapat pencehayaan yang bagus untuk menghambat pertumbuhan
bakteri
 Tidak perlu menggunakan AC
 Jika pasien TB di rawat di rumah, kriteria kamar yang akan ditempatkan
pasien minimal terdapat pencahayaan yang baik, sirkulasi udara yang baik
untuk mencegah pertumbuhan bakteri.
b. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko penyebaran
infeksi :
 Menggunakan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan yang
berinteraksi langsung dengan pasien ataupun pasien yang menderita TB. Salah
satu contohnya adalah menggunkan masker. Usahakan masker yang
digunakan sekali pakai, menggunakan apron, kaca mata, topi.
 Sanitasi (menjaga kebersihan lingkungan) dan hygiene (mencegah
terkontaminasi dengan lingkungan)
 Pengelolahan limbah atau sampah di rumah sakit semaksimal mungkin
dilakukan sesuai dengan peraturan untuk mencegah penyebaran infeksi

c. Alat pelindung diri yang wajib digunakan oleh petugas kesehatan saat
melakukan pelayanan pada pasien TB:

1. Sarung tangan
Sarung tanga dapat melindungi dari bahan infeksius dan melindungi
pasien dari mikroorganisme pada tanga perawat. Sarung tangan
merupakan alat pelindung diri terpentingdalam mencegah terjadinya
penyebaran infeksi. Penggunaan sarung tangan haruslah diganti dengan
setiap kontak pada satu pasien ke pasien lainnya dalam mencegah
terjadinya infeksi silang.
2. Masker
Masker merupakan alat pelindung diri digunakan untuk menahan cipratan
yang keluar sewaktu perawat berbicara, mengurangi masuknya air borne
yang masuk ke saluran pernapasan perawat, ketika batuk dan bersindan
juga menahan cipratan darah atau cairan tubuh yang terkontaminasi masuk
kedalam saluran pernapasan. Pada penggunaannya, masker digunakan
untuk menutupi hidung sampai dengan dagu.
3. Baju pelindung
Baju pelindung digunakan untuk menutupi atau mengganti pakaian biasa
atau seragam lain, pada saat merawat pasien yang diketahui atau dicurigai
menderita penyakit menular melalui droplet / airbone. Pemakaian baju
pelindung terutama adalah untuk melindungi baju dan kulit petugas
kesehatan dari sekresi respirasi. Ketika merawat pasien yang diketahui
atau dicurigai menderita penyakit menular tersebut, petugas kesehatan
harus mengenakan baju pelindung setiap memasuki ruangan untuk
merawat pasien karena ada kemungkinan terpercik atau tersemprot darah,
cairan tubuh, sekresi atau eksresi. Pangkal sarung tangan harus menutupi
ujung lengan gaun sepenuhnya. Lepaskan gaun sebelum meninggalkan
area pasien. Setelah gaun dilepas, pastikan bahwa pakaian dan kulit tidak
kontak dengan bagian yang potensial tercemar, lalu cuci tangan segera
untuk mencegah berpindahnya organisme.
5. Sudut Pandang Psikolog ( Grace Noviana Chandra, S.Psi., M.Psi., Psi. )
Menurut pandangan seorang psikolog, pada kasus pasien dengan TB MDR,
efek psikologis pasien yang masih berusia muda tentunya akan muncul perasaan
tidak siap pada awalnya dan terpuruk bahkan mungkin tidak terima kenapa
dirinya mengalami sakit seperti itu, lalu bisa juga menyangkal bahwa dirinya
sakit.
Dalam ilmu psikologi dikenal teori yang disebut “The Five Stages of Grief”.
Teori ini membagi respons psikologis dalam lima tahap, yaitu penyangkalan
(denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression) dan
penerimaan (acceptance). Dalam teori ini, tahap yang diharapkan adalah tahap
penerimaan, yaitu kondisi pasien menerima kenyataan sebagai sesuatu diluar
kendalinya, tetapi harus dijalani dengan lapang dada dan mulai menyusun rencana
untuk kehidupan yang lebih baik.
Untuk menolong pasien seperti pada kasus ini, dimana pasien merupakan
seorang perempuan yang tergolong usia muda, dari sisi psikologisnya
kemungkinan muncul berbagai respon psikologis yang tidak diharapkan seperti
marah, sampai depresi dan akhirnya tidak minum obat. Diperlukan penjelasan
yang cukup detail tentang tingkat keparahan penyakit, apa dampak jika tidak
patuh minum obat, dan dokter/media yg menangani. Lalu perlu dibangkitkan
kembali semangat pasien agar tidak putus asa. Untuk menumbuhkan harapan
untuk sembuh juga harus dilakukan pendampingan oleh orang terdekat sekaligus
sebagai kontrol kepatuhan minum obatnya. Pasien perlu mendapat dukungan
psikologis dan keyakinan bahwa penyakitnya dapat disembuhkan. Sebaiknya,
keluarga dan komunitas tidak mengucilkan pasien, tetapi memberi semangat dan
motivasi kepada pasien.
6. Sudut Pandang Apoteker
Menurut pandangan seorang apoteker pada kasus TB-MDR terkait
pengobatan pasien. Pada kasus ini dapat dilakukan analisis terkait kasus dengan
menggunakan metode SOAP (Subjek, Objek, Asessment , Plan ) untuk
mengetahui apa saja yang dibutuhkan pasien dan melihat kesesuaian pengobatan
yang diberikan pada pasien.
a. Subjek : Pasien perempuan (17tahun), keluhan batuk berdahak lebih dari 1
bulan disertai darah, nafsu makan menurun yang disertai penurunan berat
badan, berkeringat dingin pada malam hari. Riwayat keluarga dengan orang
tua mengalami keluhan serupa dan sudah terdiagnosis TB dengan pengobatan
yang tidak teratur dan tidak tuntas
b. Objektif :

c. Asessment :
 Rencana pengobatan yang diberikan:

Nama Obat Jumlah Keterangan


Ethionamide 200 mg 2 tablet Setiap hari
Ethambutol 400 mg 2 tablet Setiap hari
Levofloxacin 200 mg 2 tablet Setiap hari
Pirazinamide 500 mg 2 tablet Setiap hari
Vitamin B6 50 mg 1 tablet Setiap hari
Sikloserin 200 mg 2 tablet Setiap hari
Injeksi Kanamisin 1 vial Senin-Jumat
Berikut ini merupakan standar pengongobatan TB MDR:

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut


(Depkes RI, 2011) :
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan;
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = directly observed treatment) oleh seorang pengawas menelan obat
(PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia, yaitu (Depkes RI, 2011) :
1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: pasien baru TB paru BTA positif,
pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, dan pasien TB ekstra paru
2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3;
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya, yaitu pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan
setelah putus berobat (default).
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE). Paket
sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang
diberikan selama sebulan (28 hari).
3) Kategori Anak: 2HRZ/4HR;
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu kanamycin, capreomisin, levofloksasin, ethionamide,
sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi
dua atau empat jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien (Depkes RI, 2011)
Apoteker mempunyai banyak kesempatan berperan dalam pemberantasan TB.
Peran tersebut adalah mengedukasi penderita tentang (Depkes RI, 2005) :
1) Pentingnya adherence, motivasi agar penderita patuh, efek samping, perilaku
hidup sehat;
2) Peran dalam mendeteksi penderita TB;
3) Peran dalam memantau adherence penderita, adanya efek samping, dan
adanya interaksi dengan obat lain;
4) Peran secara keseluruhan, apoteker harus berperan secara aktif mencegah
terjadinya resistensi, kekambuhan, dan kematian. Salah satu kunci
keberhasilan pengobatan TB adalah adherence (kepatuhan) penderita terhadap
farmakoterapi. Peran apoteker dalam meningkatkan adherence akan obat
terdiri dari berbagai kegiatan antara lain menilai masalah adherence,
mengidentifikasi faktor penyebab non adherence, memberikan konseling, dan
merekomendasikan strategi adherence, sesuai kebutuhan penderita (Depkes
RI, 2005).
Pada penggunaan obat pasien TB-MDR dimana pasien mendapakan terapi yang
sangat banyak dan dalam jangka waktu yang lama maka akan meningkatkan resiko
timbulnya reaksi efek samping pada penggunaan obat tersebut. Berikut ini reaksi
yang sering muncul pada penggunaan obat OAT.

Pada fasilitas pelayanan kesehatan rujukan, penanganan kasus-kasus efek


samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Depkes RI, 2011) :
1) Bila jenis obat penyebab efek samping tersebut belum diketahui, maka
pemberian kembali OAT harus dengan cara drug challenging dengan
menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat yang
merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
2) Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau
karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu
kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila
dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul
reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reaksi hipersensitivitas.
3) Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui,
misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB
dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat
tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang,
tetapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.
4) Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan)
terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT
yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam
pengobatan jangka pendek.
5) Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap isoniasid atau rifampisin
tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan
lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai
risiko besar terjadi keracunan yang berat.
Selain efek samping atau ADR, permasalahan yang mungkin berkembang pada
penggunaan obat antituberkulosis adalah interaksi obat. Dalam kasus obat
antituberkulosis, beberapa menunjukkan interaksi relatif secara substansial mengubah
konsentrasi obat antituberkulosis. Secara umum, interaksi obat antituberkulosis
menyebabkan perubahan klinis yang relevan terhadap konsentrasi obat lain
(Blumberg et al., 2003). Interaksi obat dengan OAT dapat menyebabkan perubahan
konsentrasi dari obat-obat yang diminum bersamaan dengan OAT tersebut. Hal
tersebut dapat menyebabkan toksisitas atau berkurangnya efikasi dari obat tersebut.
Hasil studi literatur terkait dengan aspek monitoring didapatkan hasil bahwa
kejadian ADR relatif sering dan beragam yang terjadi pada tahap intensif, terutama
terjadi pada pasien dengan faktor risiko (usia lanjut, wanita, dan penyakit penyerta
seperti DM, hepatitis, HIV) sehingga pasien berhenti minum obat (Castro et al., 2015;
Marra et al., 2007; Gulbay et al., 2006; Yee et al., 2003 dan Schaberg et al., 1996).
Disisi lain, studi Huang (2014) menunjukkan bahwa variasi genetik terkait dengan
risiko terjadinya antituberculosis drug-induced liver injury (ATDILI) pada pasien TB.
Hasil ini mengindikasikan bahwa perlunya kegiatan penilaian awal faktor risiko,
selanjutnya diikuti dengan kegiatan monitoring ketat oleh apoteker dan klinisi.
Pada kasus diatas, berdasarkan rencana pengobatan yang akan diberikan ke pasien
ditemukan interaksi obat yang terjadi pada beberapa obat.

Adapun interaksi dari beberapa obat dalam kasus ini ditunjukkan pada table berikut

No obat Obat lain interaksi mekanisme manajemen


Ada/ keterangan

tidak
1. ethambutol ethionamide ya Menggunakan Risiko Pasien harus
etambutol bersama neuropati dipantau secara
dengan etionamid perifer dapat ketat untuk gejala
dapat meningkat neuropati seperti
meningkatkan selama terbakar,
risiko kerusakan penggunaan kesemutan, nyeri,
saraf, bersamaan dua atau mati rasa di
atau lebih agen tangan dan kaki.
yang terkait Pertimbangan
dengan efek pengurangan
buruk yang dosis atau
merupakan penghentian
efek samping pengobatan ini
potensial dari secara langsung
kedua obat pada pasien bila
tersebut. terjadi
Dalam pengembangan
beberapa neuropati perifer
kasus, untuk membatasi
neuropati kerusakan lebih
dapat lanjut. Jika
berkembang memungkinkan,
atau menjadi terapi umumnya
tidak dapat harus dilakukan
dipulihkan kembali setelah
meskipun gejala neuropati
penghentian atau kembalinya
pengobatan gejala ke status
awal. Dalam
beberapa kasus,
pengurangan
dosis permanen
mungkin
diperlukan
2. ethionamide cycloserine ya Peningkatan Kemungkinan Pasien harus
keracunan central terjadinya dipantau secara
nervous system toksisitas pada ketat untuk
(CNS) CNS terjadinya
disebabkan toksisitas dengan
efek melihat kadar
pharmakodina obat dalam darah
mik kedua obat dari kedua obat
tersebut secara tersebut, bila kada
sinergis obat sangat tinggi
perlu dilakukan
penurunan dosis
dari kedua obat
tersebut

 Kepatuhan pasien

Kepatuhan terhadap pengobatan diartikan secara umum sebagai tingkatan


perilaku dimana pasien menggunakan obat dan menaati semua aturan dan nasihat
yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan (Osterberg and Blaschke, 2005). Kepatuhan
(adherence) adalah kepatuhan yang memerlukan persetujuan pasien yang kemudian
menjadi aturan yang telah disepakati antara penyedia layanan kesehatan dengan
pasien, yang didasarkan pada argumen bahwa pasien harus menjadi mitra aktif
dengan tenaga kesehatan yang profesional dalam perawatan diri mereka sendiri dan
terjadi komunikasi baik antara pasien dan tenaga kesehatan adalah suatu keharusan
untuk praktik klinis yang efektif. Istilah kesesuaian (compliance) lebih kepada
kepatuhan terhadap hal yang telah disampaikan penyedia layanan kesehatan secara
sepihak tanpa persetujuan pasien (WHO, 2003). Beberapa faktor yang mempengaruhi
kepatuhan (Grahame-Smith and Aronson, 2002) :
1) Sifat-sifat pengobatan
Terdapat dua faktor yang penting terkait dengan sifat-sifat pengobatan yang
mungkin menimbulkan perilaku ketidakpatuhan:
a. Tingkat kompleksitas atau kerumitan regimen obat.
Kompleksitas regimen obat terkait dengan beberapa hal, antara lain
frekuensi pemberian (makin sering harus diberikan, makin kecil tingkat
kepatuhan pasien), jumlah obat yang diresepkan semakin banyak jumlahnya,
justru semakin kecil kemungkinan pasien mau menjalani pengobatannya
secara penuh).
b. Efek tidak dikehendaki (adverse drug reaction)
Efek yang tidak dikehendaki dapat merupakan efek dari bagian terapi
obat yang harus dijalani pasien, namun hal tersebut tidak disukai oleh pasien
(Grahame-Smith and Aronson, 2002). Menurut WHO, reaksi obat yang tidak
diharapkan (ROTD) didefinisikan sebagai respon terhadap suatu obat yang
tidak berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang
dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis, maupun terapi.
ROTD dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu reaksi tipe A dan tipe B.
Reaksi A (augmented), merupakan rekasi yang muncul secara berlebihan ini
terkait dengan dosis obat yang diminum. Reaksi tipe B (bizarre) merupakan
reaksi yang aneh dan tidak terkait sama sekali dengan dosis
3) Karakteristik pasien
Karakteristik pasien adalah faktor yang samar, sebagian hal yang berpengaruh
adalah terkait kelemahan sifat kemanusiaan. Manusia cenderung mudah lupa, tidak
ingin terganggu. Manusia pada dasarnya merasa tidak membutuhkan perawatan
(misalnya pada hipertensi asimptomatik). Sebagian mungkin merasa tidak jelas akan
instruksi resep atau mungkin tidak ingin tergantung pada obat
4) Tipe penyakit pasien
Kepatuhan pengobatan akan sangat rendah pada orang-orang yang mengalami
gangguan mental, misalnya pada penderita schizophrenia. Kasus seperti disfagia akan
sangat menyulitkan bagi pasien yang harus menelan tablet, kelemahan atau kecacatan
fisik juga demikian berpengaruh. Selain itu, kasus seperti disfagia akan sangat
menyulitkan bagi pasien yang harus menelan tablet, terlebih jika ukurannya besar.
Spesifik pada kasus tuberkulosis, respon yang baik atas pengobatan justru
membutuhkan terapi dalam waktu yang relatif lama guna mencegah infeksi timbul
kembali dan menghindari resistensi obat (Grahame-Smith and Aronson, 2002).
Namun, respon yang baik, seperti hilangnya gejala pada empat bulan pertama terapi,
seringkali menyurutkan keinginan pasien untuk menuntaskan pengobatan.
5) Perilaku tenaga kesehatan
Antusiasme dan kepercayaan diri atas yang diresepkan dan cara penyampaian
kepada pasien, mempengaruhi tidak hanya kepatuhan tetapi juga terhadap respon
pengobatan Sifat hubungan ini sangat penting karena merupakan faktor utama yang
menentukan hasil konsultasi medis, seperti rasa puas pasien, ketaatan aturan medis,
dan akhirnya dengan hasilnya kesehatan. Bentuk konsultasi yang dilakukan tenaga
medis maupun psikologis, dapat dianggap sebagai proses negosiasi yang melibatkan
banyak pihak (pasien, para ahli medis, lingkungan sosial), semua pihak tersebut
memainkan peranan penting di dalam proses negosiasi ini. Pasien dan para
profesional mencoba untuk mendapatkan hasil dan pilihan terbaik mengenai
kesakitan/ penyakit dan pengobatannya.
BAB III

ANALISIS POTENSI DAN SOLUSI

3.1 Analisis potensi dan solusi


Tuberculosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan baik di Indonesia
maupun di dunia serta sebagai penyebab utama kematian. Saat ini TB telah
menjadi ancaman global. Penyakit ini banyak menyerang golongan umur
produktif antara 15-45 tahun. WHO memperkirakan terdapat 8 juta kasus baru
dan 3 juta kematian karena TB setiap tahunnya. Sejak ditemukan dan kemudian
berkembangnya obat anti tuberculosis (OAT) yang cukup efektif, TB dapat
ditekan jumlahnya. Akan tetapi sejak tahun 1989-1992 timbul kembali
peningkatan penyakit ini dan timbul masalah baru yaitu TB dengan resisten
ganda atau Multidrug Resisten Tuberculosis (MDR TB).
MDR TB adalah TB resisten obat terhadap minimal 2 obat anti TB yang
paling poten yait INH dan rifampisin secara bersama-sama atau disertai resisten
terhadap obat TB lini pertama lainnya. Indonesia termasuk negara dengan kasus
MDR TB terbanyak di dunia.
Banyak hal yang terkait dengan MDR TB seperti diagnosis dan
penatalaksanaanya. Untuk diagnostic sangat dibutuhkan laboratorium yang
terjamin dalam hal pemeriksaan resiten obat anti tuberculosis (OAT) lini pertama
dan lini kedua. Dalam penetalaksaannya dibutuhkan ketersediaan obat-obatan
yang terjamin, kontinu, dan adekuat. Adapun hal tambahan lain yang harus
dilakukan adalah pemberian motivasi kepada penderita untuk meningkatkan
kepercayaan diri mereka akan kesembuhan.

Masalah resisten obat anti tuberculosis (OAT) pada pengobatan TB perlu


segera ditanggulangi karena angka kejadian resisten selalu mengalami
peningkatan dari waktu ke waktu dan mengingat MDR TB merupakan masalah
terbesar pada pencegahan dan pemberantasan terhadap TB sehingga dilakukannya
suatu kolaborasi tenaga kesehatan untuk mencari tahu penyebab permasalah MDR
TB ini dapat terjadi serta dapat dilakukan suatu diskusi terkait pencegahan yang
dilakukan untuk mencegah hal serupa terjadi kembali.

Resisten obat berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Pada pasien


dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Pada pasien dengan riwayat pengobatan
sebelumnya, kemungkinan terjadi resisten sebesar 4 kali lipat sedangkan
terjadinya TB MDR sebesar 10 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan pasien
yang belum pernah diobati.

Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu : diterapkannya strategi DOTS

WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penetalaksanaan kasus TB. Selain


relatif tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap mampu menurunkan risiko
terjadinya kasus resisten terhadap TB. Strategi DOTS mengandung 5 komponen,
yaitu :

 Komitmen pemerintah untuk mendukung pengawasan tuberculosis

Komitmen pemerintah dalam mendukung pengawasan tuberculosis dimana


pemerintah menjadikan tuberculosis sebagai prioritas utama/penting dalam
program kesehatan. Untuk mendapatkan dampak yang memadai maka harus
dibuat program nasional yang menyeluruh yang diikuti dengan pembuatan buku
petunjuk (guideline) yang menjelaskan bagaimana DOTS dapat
diimplementasikan dalam program/sistem kesehatan umum yang ada. Begitu
dasar-dasar ini telah diletakan maka diperlukan dukungan pendanaan serta
tenaga pelaksana yang terlatih untuk dapat mewujudkan program menjadi
kegiatan nyata di masyarakat

 Penemuan kasus dan diagnosis

Pemeriksaan mikroskopis sputum adalah metode yang paling efektif untuk


penyaringan terhadap diagnosis tuberkulosis paru. WHO merekomendasikan
strategi pengawasan tuberkulosis, dilengkapi dengan laboratorium yang
berfungsi baik untuk mendeteksi dari mulai awal, tindak lanjutan dan
menetapkan pengobatannya. Secara umum pemeriksaan mikroskop merupakan
cara yang paling efektif dalam menemukan kasus tuberkulosis. Dalam hal ini,
pada keadaan tertentu dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks, dengan kriteria-
kriteria yang jelas yang dapat diterapkan di masyarakat

 Pengawasan pengobatan standar

Pemberian obat yang diawasi secara langsung, atau dikenal dengan istilah DOT
(Directly Observed Therapy), pasien diawasi secara langsung ketika menelan
obatnya, dimana obat yang diberikan harus sesuai standard. Dalam aturan
pengobatan tuberkulosis jangka pendek yang berlangsung selama 6 – 8 bulan
dengan menggunakan kombinasi obat anti TB yang adekuat. Pemberian obat
harus berdasarkan apakah pasien diklasifikasikan sebagai kasus baru atau kasus
lanjutan/kambuh, dan diberikan secara gratis kepada seluruh pasien
tuberkulosis. Pengawasan pengobatan secara langsung adalah penting
setidaknya selama tahap pengobatan intensif (2 bulan pertama) untuk
meyakinkan bahwa obat digunakan dengan kombinasi yang benar dan jangka
waktu yang tepat. Dengan pengawasan pengobatan secara langsung, pasien
tidak memikul sendiri tanggung jawab akan kepatuhan penggunaan obat. Para
petugas pelayanan kesehatan, petugas kesehatan masyarakat, pemerintah dan
masyarakat semua harus berbagi tanggung jawab dan memberi banyak
dukungan kepada pasien untuk melanjutkan dan menyelesaikan pengobatannya.
Pengawas pengobatan bisa jadi siapa saja yang berkeinginan, terlatih,
bertanggung jawab, dapat diterima oleh pasien dan bertanggung jawab
terhadap pelayanan pengawasan pengobatan tuberkulosis

 Penyediaan obat

Jaminan tersedianya obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu, sangat
diperlukan guna keteraturan pengobatan. Masalah utama dalam hal ini adalah
perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah. Untuk
ini diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat yang baik, seperti
misalnya jumlah kasus pada setiap kategori pengobatan, kasus yang ditangani
pada waktu lalu (untuk memperkirakan kebutuhan), data akurat stok masing-
masing gudang yang ada, dan lain-lain

 Pencatatan dan pelaporan

Sistem pencatatan dan pelaporan digunakan untuk sistematika evaluasi


kemajuan pasien dan hasil pengobatan. Sistem ini terdiri dari daftar
laboratorium yang berisi catatan dari semua pasien yang diperiksa sputumnya,
kartu pengobatan pasien yang merinci penggunaan obat dan pemeriksaan
sputum lanjutan. Setiap pasien tuberkulosis yang diobati harus mempunyai
kartu identitas penderita yang telah tercatat di catatan tuberkulosis yang ada di
kabupaten. Kemanapun pasien ini pergi, dia harus menggunakan kartu yang
sama sehingga dapat melanjutkan pemgobatannya dan tidak sampai tercatat dua
kali.

BAB IV
PROMOSI KESEHATAN

Promosi kesehatan

1. Penyediaan kotak obat yang bervariasi


Mengingat pasien yang merupakan remaja berusia 17 tahun, tentunya bentuk atau
visual obat-obatan yang monoton dalamjangka panjang akanmempengaruhi minat
dan kepatuhan minum obat. Untuk itu, sebagai alternatif dari kemasan atau
tampilan obat yang monoton, dikembangkan sebuah konsep pemberian obat dalam
jangka panjang yang lebih berwarna dan mengandung pesan-pesan motivasi untuk
membangkitkan semangat pasien.
Adapun bentuk dari kemasan obat yang diberikan adalah berupa kotak minum
obat yang memiliki variasi warna untuk 1 minggu (7hari), dimana 1 kotak obat
tersebut telah dipersiapkan untuk diminum dalam 1 hari (one day dose dispensing).
Bentuk kotak obat yang dirancangkan adalah sebagai berikut,:
Gambar Kotak Minum Obat
Satu set kotak yang berisi 7 kotak berwarna-warni ini akan diberikan setiap
satu atau dua minggu sekali, sembari pasien menukar kotak obat sebelumnya.
Berikut susunan obat, yang akan ditempatkan dalam satu kotak harian adalah,:

Pagi: Malam:
Selain kotak berbagai warna diatas, dapat juga disisipkan kertas kecil berisi
kata-kata motivasi atau penyemangat, seperti berikut:

Gambar 5.3 contoh kalimat motivasi

2. Kalender dalam bentuk aplikasi sebagai pengingat minum obat


Dalam upaya meningkatkan kepatuhan minum obat pasien, selain adanya
dukungan dari PMO (Pendamping Minum Obat), diperlukan adanya
pengingat yang dapat mengingatkan pasien secara pribadi mengenai waktu
minum obat, dan jadwal pemeriksaan kedokter selanjutnya. Tentunya hal ini
perlu dibuat lebih praktis, menarik dan aplikatif sehingga dapat meningkatkan
kepatuhan pasien dalam minum obat. Salah satu media yang dapat digunakan
oleh pasien adalah dengan aplikasi digital pengingat minum obat sebagai
berikut:
Gambar 5.2 Berbagai contoh aplikasi pengingat minum obat
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa terdapat berbagai aplikasi yang
tersedia secara gratis bagi pengguna telepon selular berbasis android, untuk
mengingatkan waktu minum obat. Dari banyaknya aplikasi yang tersedia,
pasien dapat memilih salah satu aplikasi yang sesuai dengan selera pasien.
Tenaga kesehatan dapat membantu melakukan pengaturan pada aplikasi
tersebut mengenai jam minum obat,serta kapan harus kembali melakukan
pemeriksaan.
3. Poster berupa kertas ataupun digital
Untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai tuberkolosis, upaya
pencegahan serta penanggulangannya, dapat diberikan informasi berupa
poster baik kertas yang terpajang diruang tunggu pasien, maupun dalam
bentuk digital yang dapat disebarluaskan atau dibagikan melalui media sosial.
Adapun poster yang dibuat adalah sebagai berikut,:

BAB V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai