Anda di halaman 1dari 25

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

REFERAT
TUBERKULOSIS (TB)

Disusun Oleh:
Yolandha Tannia
1102016229

Pembimbing:
dr. Rizky Drajat, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD KOTA CILEGON
PERIODE 22 MARET 2021 – 1 MEI 2021
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
TUBERKULOSIS (TB)

Oleh;
Yolandha Tannia
1102016229

Presentasi Referat ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu
prasyarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik
Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Kota Cilegon

Kota Cilegon, Maret 2021


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Rizky Drajat, Sp.P

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat-Nya,
penulis berhasil menyelesaikan penulisan referat yang berjudul “TUBERKULOSIS”
Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah
Kota Cilegon. Penulisan referat ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan berbagai
pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulisan menyampaikan ucapan terima
kasih kepada dr. Rizky Drajat, Sp.P, yang selalu membimbing dan memberi saran
selama kepaniteraan klinik di bagian ilmu penyakit dalam.
Dalam penulisan presentasi kasus ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi
isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun untuk memperbaiki referat ini. Penulis berharap presentasi kasus ini
dapat membawa manfaat bagi semua pihak. Semoga Allah SWT senantiasa membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Aamiin ya rabbal’alamin.
Wassalamualaikum wr.wb

Cilegon, Maret 2021

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama


kesehatan yang dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian
(mortalitas). Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB
baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Angka kejadian TB di
Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di dunia setelah India dan Cina.
Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian
sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per
100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia produktif (15-50
tahun). Strategi penanganan TB berdasarkan World Health Organization (WHO)
tahun 1990 dan International Union Against Tuberkulosa and Lung Diseases
(IUATLD) yang dikenal sebagai strategi Directly observed Treatment Short-
course (DOTS) secara ekonomis paling efektif (cost-efective), strategi ini juga
berlaku di Indonesia. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan
selama 6-8 bulan dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan
dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua
kuman dapat dibunuh. WHO juga memulai kampanye END TB BY 2030 yang
dimulai sejak tahun 2017, dan diharapkan angka kesakitan serta kematian yang
diakibatkan TB dapat diturunkan secara signifikan.1,2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Tuberkulosis adalah infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Kuman ini menyebar melalui inhalasi droplet nuklei. Kemudian
masuk ke saluran nafas dan bersarang di jaringan paru hingga membentuk afek
primer. Afek primer dapat timbul dimana saja dalam paru berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari afek primer ini diikuti dengan terjadinya inflamasi pada kelenjar
getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) disertai pembesaran KGB di hilus
(limfadenitis regional). Kompleks primer adalah afek primer disertai dengan
limfangitis regional.3

Epidemiologi
TB merupakan satu dari 10 penyebab kematian dan penyebab utama agen
infeksius. Di tahun 2017, TB menyebabkan sekitar 1,3 juta kematian (rentang,
1,2-1,4 juta) di antara orang dengan HIV negatif dan terdapat sekitar 300.000
kematian karena TB (rentang, 266.000-335.000) di antara orang dengan HIV
positif. Diperkirakan terdapat 10 juta kasus TB baru (rentang, 9-11 juta) setara
dengan 133 kasus (rentang, 120-148) per 100.000 penduduk.

Secara global, insiden TB per 100.000 penduduk turun sekitar 2% per


tahun.Regional yang paling cepat mengalami penurunan di tahun 2013- 2017
adalah regional WHO Eropa (5% per tahun) dan regional WHO Afrika (4% per
tahun). Di tahun tersebut, penurunan yang cukup signifikan (4-8% per tahun)
terjadi di Afrika Selatan misalnya Eswatini, Lesotho, Namibia, Afrika Selatan,
Zambia, Zimbabwe), dan perluasan pencegahan dan perawatan TB dan HIV, dan
di Rusia (5% per tahun) melalui upaya intensif untuk mengurangi beban TB.

Di tingkat global, di tahun 2017 terdapat sekitar 558.000 kasus baru


(rentang, 483.000-639.000) TB rifampisin resistan di mana hampir separuhnya
ada di tiga negara yaitu India (24%), China (13%), dan Rusia (10%). Di antara
kasus TB RR, diperkirakan 82% kasus tersebut adalah TB MDR. Secara global,

2
3.6% kasus TB baru dan 17% kasus TB pengobatan ulang merupakan kasus TB
MDR/RR.

Jumlah kematian absolute karena TB di antara HIV negative diperkirakan


turun mencapai 29% sejak tahun 2000 (dari 1,8 juta di tahun 2000 menjadi 1,3
juta di tahun 2017) dan turun sebesar 5% sejak tahun 2015. Sementara itu, jumlah
kematian TB pada HIV positif telah mengalami penurunan sebesar 44% sejak
tahun 2000 (dari 534.000 di tahun 2000 menjadi 300.000 di tahun 2017) dan turun
menjadi 20% sejak tahun 2015.

Pada 2017, estimasi terbaik proporsi penderita TB yang meninggal karena


penyakit (case fatality rate/CFR) adalah 16%, turun dari 23% di tahun 2000. CFR
harus turun hingga 10% pada tahun 2020 untuk mencapai tahap pertama End TB
Strategy. Ada cukup banyak variasi capaian CFR, mulai dari kurang dari 5% di
beberapa negara hingga lebih dari 20% di sebagian besar negara di regional WHO
Afrika. Hal ini menunjukkan ketidaksetaraan di antara negara-negara dalam
mengakses diagnosis dan pengobatan TB.

WHO memperkirakan insiden tahun 2017 sebesar 842.000 atau 319 per
100.000 penduduk sedangkan TB-HIV sebesar 36.000 kasus per tahun atau 14 per
100.000 penduduk. Kematian karena TB diperkirakan sebesar 107.000 atau 40 per
100.000 penduduk, dan kematian TB-HIV sebesar 9.400 atau 3,6 per 100.000
penduduk.4

Gambar 1. Situasi TBC di Indonesia tahun 2018

3
Klasifikasi

1. Lokasi anatomi dari penyakit


2. Riwayat pengobatan sebelumnya
3. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
4. Status HIV
 Berdasarkan lokasi anatomi penyakit
1. TB Paru
 Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru.
Tuberkulosis milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya
yang terletak dalam paru.
2. TB Ekstraparu
 Merupakan kasus TB yang mengenai organ lain selain paru seperti
pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan/atau hilus),
abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput otak.
 Riwayat pengobatan sebelumnya
1. Pasien baru TB: pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (< dari 28 dosis).
2. Pasien pernah diobati TB
a. Pasien kambuh (Relaps) : pasien tuberkulosis yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosa TB berdasar
hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar
kambuh atau karena reinfeksi).
b. Pasien yang diobati kembali setelah gagal : pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow up) :
pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up
(sebelumnya dikenal sebagai pasien setelah putus berobat / default)
d. Lain-lain : semua pasien TB yang pernah diobati namun hasil
pengobatan sebelumnya tidak diketahui
3. Pasien dengan riwayat pengobatan yang tidak diketahui sebelumnya

4
 Berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :

o Mono resistan (TB MR) : resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
o Poli resistan (TB PR) : resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
o Multi Drug resistan (TB MDR) : resistan terhadap isoniazid (H) dan
rifampisin (R) secara bersamaan
o Extensive drug resistan (TB XDR) : TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu
dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin)
o Resisten Rifampisin (TB RR) : resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

 Berdasarkan status HIV

Pasien TB dengan HIV positif (co-infeksi TB/HIV) yaitu:

 Pasien TB dengan hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan
ART ATAU
 Pasien TB dengan hasil tes HIV positif saat didiagnosa TB

Pasien TB dengan HIV negatif yaitu:

 Pasien TB dengan hasil tes HIV negatif sebelumnya ATAU


 Pasien TB dengan hasil HIV negatif saat didiagnosa TB

Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui yaitu:

Pasien TB tanpa bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosa TB ditetapkan. 5

5
Patogenesis
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju


kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya


kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan


logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat

6
terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.
Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama
masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,
imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap
hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya


mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang


terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair
dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal
saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus
dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan

7
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk


penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi
dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi


pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai
Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu
menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di
organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu
2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic


spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal

8
dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet
seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm,
yang secara histologi merupakan granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted


hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe
ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini
dapat terjadi secara berulang.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),


biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru
kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier
atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.
Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya
infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam
lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada
anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB.
TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak
terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya
terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.6

Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan dari gambaran klinis,
pemeriksaan mikrobiologi dan hasil radiologi
Anamnesis
Gejala lokal (respiratorik)
Batuk ≥ 2 minggu, hemoptisis, sesak napas dan nyeri dada

9
Gejala sistemik
Demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun.7

Pemeriksaan Fisik
Kelainan pada TB Paru tergantung luas kelainan struktur paru. Pada pasien TB
di aukskultasi dapat ditemukan suara nafas bronkial, amforik, suara nafas
melemah di apex paru, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum
atau ronki basah.5

Pemeriksaan Bakteriologi

Diambil dari spesimen: dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan


bronkus dan lambung, bronchoalveolar lavage, biopsi. Untuk pengambilan
spesimen dahak dilakukan 3 kali (SPS), yaitu sewaktu (waktu kunjungan), pagi
(keesokan harinya), sewaktu (saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi
selama 3 hari berturut-turut. Pemeriksaan spesimen ini dilakukan secara
mikroskopis dan biakan. Pewarnaan mikroskopis biasa dengan Ziehl-Nielsen
sedangkan fluoresens dengan auramin-rhodamin. Kultur M.tb dapat menggunakan
metode Lowenstein-Jensen.3

Interpretasi pembacaan dengan mikroskop dengan skala IUALTD: 3


- Tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang, negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang dilihat;
- Ditemukan 10-9 BTA dalam 100 lapang pandang (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang (2+)
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang (3+)

Radiologi
Foto polos toraks PA yang biasa dilakukan. Atas indikasi: foto lateral, top-
lordotik, oblik, CT-Scan.
Dicurigai lesi TB aktif: 3
- Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah

10
- Kavitim terutama lebih dari satu dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau noduer
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilatera (umumnya), atau bilateral

Gambaran radiologi TB paru lainnya:


- Gambaran lesi tidak aktif fibrotik, kalsifikasi, schwarte atau penebalan
pleura
- Destroyed lung (luluh paru): atelektasis, kavitas multipel, fibrosis di
parenkim paru
- Lesi minimal lesi pada satu atau dua paru tidak melebihi sela iga 2 depan,
tidak ada kavitas
- Lesi luas jika lebih luas dari lesi minimal
Pemeriksaan penunjang lain
- Analisis cairan pleura – uji rivalta (+), eksudat, limfosit dominan, glukosa
rendah
- Biopsi – diambil 2 spesimen untuk dikirim ke laboraturium mikrobiologi
dan histologi;
- Darah – tidak spesifik, termasuk limfosit yang meningkat, LED jam
pertma, kedua dapat menjadi indikator penyembuhan pasien
- GeneXpert MTB/RIF.3

Gambar 2. Alur diagnosis TB Paru

11
Tatalaksana
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan.

A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


1. Prinsip pengobatan8
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)


a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam
2 bulan.

Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan

2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

12
WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease)
merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu :
Kategori 1 :
o 2HRZE/4H3R3
o 2HRZE/4HR
o 2HRZE/6HE
Kategori 2 :
o 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
o 2HRZES/HRZE/5HRE
Kategori 3 :
o 2HRZ/4H3R3
o 2HRZ/4HR
o 2HRZ/6HE
• Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB di
Indonesia:
o Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3.
o Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan OAT Sisipan : HRZE dan OAT
Anak : 2HRZ/4HR
 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa
obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara
ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
 Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti TB (OAT) disediakan
dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan
menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1)
paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

13
Kombinasi Dosis Tetap (KDT) mempunyai beberapa keuntungan dalam
pengobatan TB:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

Paduan OAT dan peruntukannya.


1. Kategori-1
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien baru TB paru BTA positif.
• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
• Pasien TB ekstra paru
Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3
2. Kategori -2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
• Pasien kambuh
• Pasien gagal
• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT Kategori 2:
2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E3

Catatan:
• Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin
adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

14
3. OAT Sisipan (HRZE)
Panduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir
pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Paket sisipan KDT adalah sama
seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama
sebulan (28 hari).

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya


kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko
resistensi pada OAT lapis kedua.

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT


Dosis (mg) / BB (kg)
Obat Dosis
Dosis Dosis yang dianjurkan
Maksimum
(mg/kgBB/Hari)
Harian Intermitten
(mg/kgBB/Hari) (mg/kgBB/Hari) < 40 40-60 > 60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


Dosis per hari / kali Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobata Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
n @ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg obat

15
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Tiap hari 3 kali seminggu
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet Etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet Etambutol

Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptomisin Jumlah
Pengobata Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Tablet Tablet Injeksi kali mene
n @ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg @ 400 mg obat
Tahap
Intenif 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian
Tahap
Lanjutan 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
seminggu)

Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan


Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan


Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Pengobatan Pengobata Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol hari/kali
n @ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg menelan obat
Tahap

16
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)

Efek samping pengobatan

Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang

mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin

OAT masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek

samping ini sangat mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan

dan pengobatan dapat diteruskan dengan OAT yang lain.7

Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap

pasien, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Jenis Obat Ringan Berat


Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan Hepatitis, ikhterus
pada syaraf tepi,
kesemutan, nyeri otot dan
gangguan kesadaran.
Kelainan yang lain
menyerupai defisiensi
piridoksin (pellagra) dan
kelainan kulit yang
bervariasi antara lain
gatal-gatal.

Rifampisin (R) gatal-gatal kemerahan Hepatitis, sindrom


kulit, sindrom flu, sindrom respirasi yang ditandai
perut. dengan sesak nafas,
kadang disertai dengan
kolaps atau renjatan
(syok), purpura, anemia
hemolitik yang akut, gagal
ginjal
Pirazinamid (Z) Reaksi hipersensitifitas : Hepatitis, nyeri sendi,
demam, mual dan serangan arthritis gout

17
kemerahan

Streptomisin (S) Reaksi hipersensitifitas : Kerusakan saraf VIII


demam, sakit kepala, yang berkaitan dengan
muntah dan eritema pada keseimbangan dan
kulit pendengaran
Etambutol (E) Gangguan penglihatan Buta warna untuk warna
berupa berkurangnya merah dan hijau
ketajaman penglihatan

Hasil pengobatan tuberkulosis


Hasil pengobatan penderita tuberkulosis paru dibedakan menjadi :
a. Sembuh: Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologi
positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologi pada
akhir pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan
sebelumnya
b. Pengobatan lengkap: telah selesai pengobatan secara lengkap
dimana salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif
namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologi pada akhir
pengobatan
c. Gagal: pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil
laboraturium yang menunjukkan adanya resistensi OAT
d. Meninggal: pasien meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai
atau sedang dalam pengobatan
e. Putus berobat/ loss to follow up: pasien TB yang tidak memulai
pengobatannya atau yang pengobatannya terputus selama 2 bulan terus
menerus atau lebih
e. Meninggal: pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir
pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah pasien pindah (transfer
out) ke kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak
diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.

18
Evaluasi pengobatan
Terdapat beberapa metode yang bisa digunakan untuk evaluasai
pengobatan TB paru :
a. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama,
selanjutnya 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan
sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan
keluhan-keluhan pasien seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu
makan bertambah, berat badan meningkat.
b. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA
mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali
sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA langsung
dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan resistensi
dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap
intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan pengobatan
ulang (retreatment). Bila sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksakan
sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Bila BTA positif pada 3 kali
pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien yang sebelumnya telah
sembuh mulai kambuh lagi.
c. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat
pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti
timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya tetap
batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan TB
parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan
gambar radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto
dada dilakukan setiap 3 bulan sekali

Komplikasi TB
Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Menurut (Sudoyo, 2014) Komplikasi TB Paru dibagi atas
komplikasi dini dan komplikasi lanjut :

19
a. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, TB
usus, Poncet's arthropathy.
b. Komplikasi lanjut : obstruksi jalan nafas (Sindrom Obstruksi Pasca TB),
kerusakan parenkim berat (fibrosis paru), kor-pulmonal, amioloidosis paru,

20
BAB III
KESIMPULAN

Tuberkulosis adalah infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis. TB merupakan satu dari 10 penyebab kematian dan penyebab
utama agen infeksius. Di tahun 2017, TB menyebabkan sekitar 1,3 juta
kematian. Klasifikasi TB dapat dilihat dari lokasi anatomi dari penyakit,
riwayat pengobatan sebelumnya, hasil pemeriksaan uji kepekaan obat,
status HIV. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan dari gambaran klinis,
pemeriksaan mikrobiologi dan hasil radiologi. Pengobatan tuberkulosis
terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4
atau 7 bulan. Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang
mempersulit sasaran pengobatan. Hasil pengobatan penderita tuberkulosis
paru dibedakan menjadi sembuh, pengobatan lengkap, gagal, meninggal,
putus berobat/ loss to follow up, meninggal. Ada 3 metode yang bisa
digunakan untuk evaluasi pengobatan TB paru.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta :


Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
2. World Health Organization. 2010. Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia
diakses pada 24 Maret 2021 pukul 19.30 WIB
3. Chris tanto, et, al., 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta:
Media Aeskulapius
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. TBC Indonesia. Diakses
pada 24 Maret 2021 pukul 19.45
5. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, Kementrian Kesehatan RI,
2014
6. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi
Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan
Keluarga FKUI. 2002.
7. Bahar, A., Zulkifli Amin. 2014. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : Interna Publishing; 863-883.
8. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman
Penanggulangan Tuberkulosis (TB)

22

Anda mungkin juga menyukai