Anda di halaman 1dari 41

SKRIPSI 2014

PREVALENSI PASIEN PUTUS DARI PENGOBATAN ANTI TUBERKULOSIS DI


RSUD LABUANG BAJI, MAKASSAR PERIODE JANUARI 2013 - DESEMBER
2013

OLEH:
FATMAWATI
C111 09 303
PEMBIMBING:
DR. dr. SRI RAMADHANY, M.KES
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA
BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN ILMU KEDOKTERAN
KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

BAB I
PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang

Tub

erkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang telah lama

menjadi permasalahan kesehatan di dunia. Sejak tahun 1993, penyakit ini


telah dideklarasikan

sebagai Global Health Emergency oleh World Health

Organization (WHO). Berdasarkan laporan terbaru dari WHO pada tahun


2011, insiden kasus TB di dunia telah mencapai 8,3 9 juta atau 125 kasus
dalam 100.000 populasi, prevalensi mencapai 10 13 juta atau 170 kasus dalam
100.000 populasi, dan angka kematian mencapai 1,4 1,6 juta dengan kasus TB
disertai HIV positif berkisar antara 400.000 460.000 dan kasus TB HIV negatif
berkisar 840.000 1,1 juta kematian.

Persebaran kasus TB di dunia memang tidak merata dan justru 85%


dari total kasus TB global terdapat pada negara-negara berkembang. Sekitar
59% dari seluruh kasus tersebut terdapat pada negara-negara di Asia, 26% di
Afrika, 7,7% pada negara-negara Mediterania Timur, 4,3% di Eropa, dan 3%
di Amerika. Melihat hal ini, maka WHO telah menetapkan 22 negara yang
dianggap sebagai high-burden countries dalam permasalahan TB untuk
mendapatkan perhatian yang lebih intensif dalam hal

penanggulangannya.

Indonesia adalah salah satu negara yang termasuk di dalamnya. Berdasarkan


tingkat insiden TB di tahun 2010 dan 2011, Indonesia menduduki peringkat
ke-4. Kelima negara dengan kasus TB baru terbanyak tersebut adalah India, Cina,
Afrika Selatan, Indonesia dan Pakistan. (Grafik 1.1). 1,2,4

Di

Indonesia, dari laporan kasus tuberkulosis tahun 2011, angka insidens sebesar

189 per 100.000 penduduk mengalami penurunan dibanding tahun 1990 sebesar 343
per 100.000 penduduk, angka prevalensi menurun 423 per 100.000 penduduk
dibandingkan dengan tahun 1990 sebesar 289 per 100.000 penduduk. Begitupun
dengan angka mortalitas

yang

berhasil

diturunkan

lebih

dari separuhnya

sebesar 27 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 1990 sebesar 51 per


5

100.000 penduduk.

Di Sulawesi Selatan, jumlah pasien baru tuberkulosis dengan BTA positif yang
ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk pada tahun 2011 sebesar 110
kasus

dengan

angka

kesembuhan

sebesar

87,3%

dan

angka

keberhasilan

pengobatan sebesar 88,9%. Sedangkan Case Detection Rate yaitu gambaran cakupan
penemuan pasien baru BTA positif sebesar 52,5%. Angka ini masih kurang dari target
yaitu 70%.3
Hasil survei prevalensi TB pada tahun 2004 menunjukkan bahwa pola pencarian
pengobatan oleh pasien TB adalah sekitar 60% pasien TB ketika pertama kali sakit
mencari pengobatan ke rumah sakit (DepKes, 2007). Dengan demikian penglibatan
rumah sakit dalam pelaksanaan strategi DOTS menjadi suatu upaya penting dan sangat
strategis karena memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya penemuan
3

pasien TB (DepKes, 2007). Pengembangan strategi DOTS pada tahun 2006 adalah
bertahap dengan sekitar 30 persen dari seluruh rumah sakit yang ada di Indonesia telah
melaksanakan strategi DOTS.3,4
Hasil monitoring dan evaluasi yang telah dilakukan oleh Tim TB External
Monitoring Mission pada tahun 2005 dan evaluasi yang dilakukan oleh WHO dan
Program Nasional TB menunjukkan bahwa meskipun angka penemuan kasus TB di
rumah sakit cukup tinggi tetapi angka keberhasilan pengobatan rendah dengan angka
putus berobat masih cukup tinggi.6 Kondisi tersebut berpotensi untuk menciptakan
masalah besar pada peningkatan terjadinya resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis
(OAT). Di Negara dengan kasus tinggi TB seperti India, China, dan Indonesia proporsi
pasien yang mendapat multidrugs resistant akibat putus pengobatan OAT adalah
bervariasi lebih dari 14 % hingga 21 %.6 Sampai tahun 2007 diperkirakan terdapat 500
000 kasus multidrugs resistant di dunia akibat putus pengobatan dimana 131 000 kasus
berasal dari India, 122 000 kasus dari China, 43 000 kasus dari Russia, 16 000 dari
Afrika Utara, dan 55 negara telah mengalami extensively-drug resistant.7 Saat ini,
masih terdapat berbagai tantangan dalam penanggulangan TB di Indonesia. Minimnya
kesadaran masyarakat, ketersediaan informasi tentang penyakit TB, pelayanan TB yang
berkualitas dan mudah dijangkau masyarakat, dan masalah ekonomi menyebabkan
masih terdapat pasien yang putus dari pengobatan OAT. Untuk itu, penulis ingin
mengupas lebih lanjut mengenai prevalensi dan karakteristik pasien yang putus dari
pengobatan TB di RSUD Labuang Baji Makassar dengan harapan dapat
mengoptimalkan upaya penyembuhan dan pencegahan terjadinya penularan penyakit
TB.6,7
1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu Berapakah prevalensi pasien putus dari pengobatan obat antituberkulosis (OAT) di RSUD Labuang Baji Makassar, Periode Januari 2013-Desember
2013.

1.3. Tujuan Penelitian


4

1.3.1.Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik pasien
yang putus dari pengobatan OAT di RSUD Labuang Baji Makassar, Periode Januari
2013-Desember 2013 .
1.3.2.Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1.

Mengetahui presentase pasien putus dari pengobatan OAT berdasarkan jenis kelamin

2.

Mengetahui presentasi pasien putus dari pengobatan OAT berdasarkan status


pendidikan

3.

Mengetahui presentase pasien yang putus dari pengobatan OAT berdasarkan cara
pembayaran.

4.

Mengetahui presentase pasien yang putus dari pengobatan OAT berdasarkan bulan
putus obat

1.4. Manfaat penelitian


1. Sebagai bahan informasi untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik pasien yang
putus dari pengobatan OAT.
2. Sebagai bahan masukan bagi instansi yang berwenang untuk digunakan
sebagai dasar pertimbangan dalam mengambil kebijakan-kebijakan kesehatan
dalam menanggulangi penyakit menular, khususnya tuberkulosis.
3. Sebagai tambahan ilmu, kompetensi, dan pengalaman berharga bagi peneliti
dalam melakukan penelitian kesehatan pada umumnya dan terkait tentang
tuberkulosis pada khususnya.
4. Meningkatkan sikap antisipasi, kepedulian, dan senantiasa berparadigma sehat untuk
menuntaskan TB dan permasalahannya.
5. Sebagai acuan bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang ingin melakukan
penelitian mengenai penyakit tuberculosis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1

Tuberkulosis Paru

II.1.1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
basil Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis adalah sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4m dan tebal 0,3-0,6 m. Yang tergolong
dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah: 1. M. tuberculosis 2.
Varian asian 3. Varian African I, 4. Varian African II, 5. M. bovis. Pembagian tersebut
adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.(3)
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan
terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA).(3)
Mycobacterium

tuberculosis

tipe

humanus

dan

tipe

bovis

adalah

mikobakterium yang paling banyak menimbulkan penyakit tuberkulosis pada


manusia. Basil tersebut bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5 menit pada
suhu 80C, dan 20 menit pada suhu 60C), dan mudah mati apabila terkena sinar
ultraviolet (sinar matahari). Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu
kamar dan dalam ruangan yang lembab.(1,3)
II.1.2 Penularan
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah memmpermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB.(3)
Sebagian besar basil Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan
paru melalui airbone infection yang mengandung droplet nuclei dan selanjutnya
mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer dari Ghon. Pada stadium
permulaan, setelah pembentukan fokus primer, akan terjadi beberapa kemungkinan :
-

Penyebaran bronkogen
Penyebaran limfogen
Penyebaran hematogen
Keadaan ini hanya berlangsung beberapa saat. Penyebaran akan berhenti bila

jumlah kuman yang masuk sedikit dan telah terentuk daya tahan tubuh yang spesifik
terhadap basil tuberkulosis. Tetapi bila jumlah basil tuberkulosis yang masuk ke
dalam saluran pernapasan cukup banyak, maka akan terjadi tuberkulosis milier atau
tuberkulosis meningitis.(1)
6

Kelanjutan proses tersebut, dapat terjadi penyebaran infeksi primer ke saluran


getah bening dan kelenjar getah bening setempat (lokal) sehingga terbentuklah suatu
primer kompleks yang disebut primer kompleks dari Ranke. Infeksi primer dari Ghon
dan primer kompleks dari Ranke dinamakan tuberkulosis primer. Dalam perjalanan
penyakit lebih lanjut, sebagian besar penderita tuberkulosis primer (90%) akan
sembuh sendiri dan 10 % akan mengalami penyebaran endogen. (1)
II.1.3 Epidemiologi
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 2012, diperkirakan ada 8,6 juta pasien TB
baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan
98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. (11)
Dari seluruh kematian yang dapat dicegah, 25% diantaranya disebabkan oleh
TB. Saat ini di negara maju diperkirakan setiap tahunnya 10-20 kasus baru setiap
100.000 penduduk dengan kematian 1 5 per 100.000 penduduk sedang di negara
berkembang angkanya masih tinggi. Di Afrika setiap tahunnya muncul 165 penderita
TB paru menular setiap 100.000 penduduk.(2)
Kawasan Asia Tenggara dengan lima dari 22 negara dengan beban penyakit
TB yang tertinggi didunia, 35% dari seluruh kasus TB di dunia berasal dari wilayah
ini program pengendalian TB di wilayah ini telah menunjukkan kemajuan nyata
dalam upaya penemuan kasus dan tingkat keberhasilan pengobatan yang telah
mencapai target lebih dari 85%.(2)

Gambar II.1 Estimasi Insidensi TB di Dunia Tahun 2012(10)

Berdasarkan Global Tuberculosis Control Tahun 2009 (data tahun 2007) angka
prevalensi semua tipe kasus TB, insidensi semua tipa kasus TB dan Kasus baru TB
Paru BTA Positif dan kematian kasus TB. Pada tahun 2007 prevalensi semua tipe TB
sebesar 244 per 100.000 penduduk atau sekitar 565.614 kasus semua tipe TB,
insidensi semua tipe TB sebesar 228 per 100.000 penduduk atau sekitar 528.063 kasus
semua tipe TB, Insidensi kasus baru TB BTA Positif sebesar 102 per 100.000
penduduk atau sekitar 236.029 kasus baru TB Paru BTA Positif sedangkan kematian
TB 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari.(4)

Tabel II.1 Angka Prevalensi, Insidensi, dan Kematian di Indonesia


Tahun 1990 dan 2009(4)

II.1.4 Patogenesis
Tuberkulosis Paru Primer
Tuberkulosis paru primer adalah keradangan paru yang disebabkan oleh basil
tuberkulosis pada tubuh penderita yang belum pernah mempunyai kekebalan yang
spesifik terhadap basil tersebut. (1)
Pada permulaan infeksi, basil tuberkulosis masuk ke dalam tubuh yang belum
mempunyai kekebalan, selanjutnya tubuh mengadakan perlawanan dengan cara yang
umum yaitu melalui infiltrasi sel-sel radang ke jaringan tubuh yang mengandung basil
tuberkulosis. Reaksi tubuh ini disebut reaksi non spesifik (tahap pra alergis) yang
berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. (1)
Setelah reaksi radang non spesifik dilampaui, reaksi tubuh memasuki tahap
alergis yang berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Pada saat itu sudah terbentuk zat
anti sehingga tubuh dapat menunjukkan reaksi yang khas, yaitu tanda-tanda
keradangan umum ditambah uji kulit dengan tuberkulin yang positif.(1)
Umumnya tuberkulosis paru primer sembuh sendiri, tetapi ada kemungkinan
di kemudian hari mengalami kekambuhan, yang prosesnya lebih cepat, pada organ
lain, yang sumbernya berasal dari tuberkulosis paru primer tadi.(1)

Tuberkulosis Paru Post Primer (IPD)


Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa. Mayoritas reinfeksi
mencapai 90%. Tuberkulosis pasca primer dimulai dengan sarang dini yang berlokasi

di regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya
adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru. (1)
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 310 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel
Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh
sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. (1)
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda
menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi: (1)
-

Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat


Sarang yang mula-mula meluas, tapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
perkapuran.

Sarang dini

yang

meluas

sebagai

granuloma

berkembang

menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami


nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan
keluar akan terjadi kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama
dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar,
sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkejuan dan kavitas
adalah karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang
diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya.
II.1.5 Gejala Klinis
1. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering
dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat
rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul pada
waktu penderita tertidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari. (1)
Bila proses destruksi berlanjut, sekret dikeluarkan terus menerus sehingga batuk
menjadi lebih dalam dan sangat mengganggu penderita pada waktu siang maupun
malam hari. Bila yang terkena trakea dan/ bronkus, batuk akan terdengar sangat
keras, lebih sering atau terdengar beruang-ulang (paroksismal). (1)
Bila laring yang terserang, batuk terdengar sebagai hallow sounding cough, yaitu
batuk tanpa tenaga dan disertai suara serak. (1)
2. Dahak
Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian
berubah menjadi mukopurulen/ kuning atau kuning hijau sampai purulen dan
10

kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi pengejuan dan perlunakan.
Jarang berbau busuk, kecuali bila ada infeksi anaerob. (1)
3. Batuk Darah
Darah yang dikeluarkan penderita mungin berupa garis atau bercak-bercak darah,
gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak (profus).
Batuk darah jarang merupakan tanda permulaan dari penyakit tuberkulosis atau
initial symptom karena batuk darah merupakan tanda telah terjadinya ekskavasi
dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kavitas. Oleh karena itu, proses
tuberkulosis harus cukup lanjut, untuk dapat menimbulkan batuk dengan
ekspektorasi. (1)
Batuk darah massif terjadi bila ada robekan dari aneurisma Rasmussen pada
dinding kavitas atau ada perdarahan yang berasal dari bronkiektasis atau ulserasi
trakeo-bronkial. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian karena penyumbatan
saluran pernapasan oleh bekuan darah. Batuk darah jarang berhenti mendadak,
karena itu penderita masih terus menerus mengeluarkan gumpalan-gumpalan
darah yang berwarna cokelat selama beberapa hari. (1)
Batuk darah yang disebabkan tuberkulosis paru, pada penerawangan (pemeriksaan
radiologis) tampak ada kelainan kecuali bila penyebab batuk darah tersebut adalah
trakeobronkitis. Sering kali darah yang dibatukkan pada penyakit tuberkulosis
bercampur dahak yang mengandung basil tahan asam dan keadaan ini berbahaya
karena

dapat

menjadi

sumber

penyebaran

kuman

secara

bronkogen

(bronkopneumonia).(1)
Batuk darah dapat pula terjadi pada tuberkulosis yang sudah sembuh, hal ini
disebabkan oleh robekan jaringan paru atau darah berasal dari bronkiektasis yang
merupakan salah satu penyulit tuberkulosis paru. Pada keadaan ini dahak sering
tidak mengandung basil tahan asam (negatif). (1)
4. Nyeri Dada
Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila nyeri
bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di daerah
aksila, di ujung skapula atau di tempat-tempat lain). (1)
5. Wheezing
Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh
sekret, bronkostenosis, keradangan, jaringan granulasi, ulserasi, dan lain-lain
(pada tuberkulosis lanjut). (1)
6. Dispneu
Dispneu merupakan late symptom dari prose lanjut tuberkulosis paru akibat
adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular
11

bed/vascular thrombosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi


pulmonal dan korpulmonal. (1)
Gejala-Gejala Umum
1. Panas badan
Merupakan gejala paling sering dijumpai dan paling penting. Sering kali panas
badan sedikit meningkat pada siang maupun sore hari. Panas badan meningkat
atau menjadi lebih tinggi bila proses berkembang menjadi progresif sehingga
penderita merasakan badannya hangat atau muka terasa panas. (1)
2. Menggigil
Dapat terjadi bila panas badan naik dengan cepat, tetapi tidak diikuti pengeluaran
panas dengan kecepatan yang sama atau dapat terjadi suatu reaksi umum yang
lebih hebat. (1)
3. Keringat malam
Keringat malam bukanlah gejala yang patognomonis untuk penyakit tuberculosis
paru. Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut, kecuali pada
orang-orang dengan vasomotor labil, keringat malam dapat timbul lebih dini.
Nausea, takikardi, dan sakit kepala timbul bila ada panas. (1)
4. Gangguan menstruasi
Gangguan menstruasi sering terjadi bila proses tuberkulosis paru sudah menjadi
lanjut. (1)
5. Anoreksia
Anoreksia dan penurunan berat badan merupakan manifestasi toksemia yang
timbul belakangan dan lebih sering dikeluhkan bila proses progresif.(1)
6. Lemah badan
Gejala-gejala ini dapat disebabkan oleh kerja berlebihan, kurang tidur, dan
keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan. Karena itu harus dianalisa
dengan baik dan harus lebih berhati-hati apabila dijumpai perubahan sikap dan
temperamen (misalnya penderita yang mudah tersinggung), perhatian penderita
berkurang atau menurun pada pekerjaan, anak yang tidak suka bermain, atau
penderita yang kelihatan neurotik. (1)
II.1.6 Pemeriksaan Fisis
Dasar kelainan anatomis tuberkulosis paru terletak pada lobuli, jadi meliputi
alveoli dan beberapa bronkiolus terminalis (kecuali pada penyebaran hematogen
dimana kelainan terdapat dalam jaringan interstisiel). Tanda-tanda dini berupa
konsolidasi serta didapatkan sekret di bronkus kecil. Karena proses menjalar pelan12

pelan dan menahun, maka biasanya penderita datang dengan keadaan yang sudah
lanjut sehingga kelainan fisik mudah diketahui, berupa: (1)
-

Kelainan parenkim yaitu konsolidasi, fibrosis, atelektasis, dan kerusakan

parenkim dengan sisa suatu kavitas.


Kelainan saluran pernapasan:
Berupa radang dari mukosa disertai dengan penyempitan maupun penimbunan

sekret.
Kelainan pleura:
Oleh karena proses terletak dekat pleura, maka hampir selalu terjadi reaksi pleura
berupa penebalan atau nyeri pleura.
Jadi, dapat dibayangkan hampir semua jenis proses terdapat di suatu tempat

dan kelainan-kelainan tersebut akan menimbulkan tanda fisik sebagai berikut: (1)
-

Perubahan volume paru.


Konsolidasi pada parenkim tidak mengubah volume paru. Fibrosis, atelektasis,
dan kavitas memperkecil volume jaringan paru yang terkena, sehingga menarik
jaringan seperti trakea, mediastinum, fosa supraklavikularis dan infraklavikularis,

ditambah lagi dengan penebalan pleura.


Perubahan pergerakan pernapasan.
Daerah yang terkena penyakit akan berkurang gerakannya.
Perubahan penghantaran getaran suara
Konsolidasi dan fibrosis pada parenkim paru dengan saluran pernapasan yang
masih terbuka akan meningkatkan penghantaran getaran suara sehingga fremitus
suara meningkat. Suara napas menjadi bronko-vesikuler atau bronkial, didapatkan
bronkofoni atau suara bisik yang disebut whispered pectoriloque.
Atelektasis obstruktif dan penebalan pleura akan menghambat penghantaran

getaran suara, tetapi atelektasis parsial meningkatkan penghantaran getaran suara. (1)
Sekret yang berada di dalam bronkus akan menimbulkan suara tambahan
berupa ronki basah. Suara ronki kasar atau halus tergantung dari tempat sekret berada.
Penyempitan saluran pernapasan menimbulkan ronki kering, dan jika penyempitan ini
disertai kavitas, dapat terdengar suara yang disebut hollow sound sampai amforik. (1)
II.1.7 Pemeriksaan Laboratorium
Adapun pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosa tuberkulosis antara lain:
1. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor
13

cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan


biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologis yang menggunakan sputum, cara
pengambilannya terdiri dari 3 kali: sewaktu (pada saat kunjungan), pagi (keesokan
harinya), dan sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi). (1,3)
Ada
beberapa
tipe
interpretasi
pemeriksaan
mikroskopis,

WHO

merekomendasikan pembacaan dengan skala IUATLD (International Union


Againts Tuberculosis and Lung Disease) :
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif
- Ditemukan 1 9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
- Ditemukan 10 99 BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut + (+1)
- Ditemukan 1 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut ++ (+2)
- Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut +++ (+3)
2. Cairan Pleura
Cairan pleura diperoleh dengan melakukan fungsi percobaan pada kasus-kasus
yang diduga tuberkulosis disertai dengan efusi pleura (dengan pemeriksaan fisik)
dan dilakukan pemeriksaan baik makroskopis maupun mikroskopis. (1,3)
3. Darah
Laju endapan darah sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endapan darah
yang normal tidak dapat mengesampingkan proses tuberkulosis aktif. Jumlah
leukosit dapat normal atau sedikit meningkat pada proses yang aktif. Pada
penyakit tuberkulosis berat sering disertai dengan anemia derajat sedang, bersifat
normositik dan sering disebabkan defisiensi besi. (1,3)
4. Uji Tuberkulin
Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan guna menunjukkan reaksi imunitas seluler
yang timbul setelah 4-6 minggu penderita mengalami infeksi pertama dengan basil
tuberkulosis. Banyak cara yang dipakai, tapi yang paling sering adalah cara
mantoux. Robert Koch (1890) membuat old tuberculin dari filtrat kultur basil
tuberkulosis dan kemudian penelitian ini dilanjutkan oleh F.B. Siebert (1926)
dengan cara memurnikan hasil kultur yang diperoleh menjadi purified protein
derivate of tuberculin (PPD). Disamping untuk menunjukkan infeksi dengan basil
-

tuberkulosis uji tuberkulin dapat dipakai untuk: (1)


Mencari kelompok beresiko tinggi untuk tuberkulosis
Pra vaksinasi sebelum disuntik dengan BCG
- Tuberculous surveillance untuk menemukan insidens dan prevalensi infeksi
tuberkulosis

II.1.8 Pemeriksaan Radiologi

14

Gambaran radiologi memperkuat dugaan adanya penyakit tuberculosis paru


lebih dini. Gambaran kelainan radiologi paru karena proses tuberculosis sudah tampak
lebih dahulu kira-kira 2-3 tahun sebelum ada gejala klinik. Tetapi diagnosa definitif
tuberkulosis paru tidak dapat dibuat atas dasar gambaran radiologi saja karena masih
banyak penyakit paru lain yang merupakan gambaran mirip tuberkulosis. (1)
Macam-macam Gambaran Kelainan Paru(1)
1. Tuberkulosis paru menahun. Sering dijumpai pada segmen posterior atau apikal
dari lobus superior atau pada segmen superior dari lobus inferior. Pada
tuberkulosis paru menahun, tampak campuran bermacam-macam proses di paru,
yaitu proses tuberkulosis lama yang sebagian jaringan paru telah mengalami
penyembuhan disertai dengan proses baru di sekitarnya, sehingga pada suatu
daerah tampak gambaran fibrosis, kavitas, kelainan noduler dengan bermacammacam ukuran serta proses eksudatif.
2. Kelainan akibat penyebaran hematogen, bersifat difus atau simetris kecil-kecil
(milier), jadi berbeda dengan penyebaran bronkogen yang tidak simetris dan
setempat.
3. Tuberkulosis paru akut dengan gambaran menyerupai proses pneumonia karena
infeksi banal yang tidak mudah sembuh jika tidak diberi terapi spesifik.
Ada konsolidasi homogen yang mengenai satu segmen/lobus, yang dsebabkan
oleh obstruksi endobronkial. X-foto thoraks hanya dapat menunjukkan adanya
kelainan di paru seperti luasnya proses, lokalisasi dan macam perubahan yang
terjadi tetapi tidak dapat mengetahui etiologinya. Sedangkan luas proses yang
tampak pada foto thoraks dinyatakan sebagai berikut, sesuai dengan American
Thoracic Society dan National Tuberculosis Association: (1)
4.1. Lesi minimal (minimal lesion)
Bila proses tuberkulosis paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal
junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau
korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.
4.2. Lesi sedang (moderately advanced)
Bila proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan
densitas sedang, tetapi luas proses tidak boleh lebih luas dari satu paru. Atau
jumlah seluruh proses yang ada paling banyak seluas satu paru
15

4.3. Lesi luar (far advanced)


Kelainan lebih luas dari lesi sedang
II.1.9 Diagnosis
Dari uraian-uraian sebelumnya tuberkulosis paru cukup mudah dikenal mulai
dari keluhan-keluhan klinis, gejala-gejala, kelainan fisis, kelainan radiologis sampai
dengan kelainan bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya tidaklah selalu mudah
menegakkan diagnosisnya. Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964
diagnosis pasti tuberculosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium
tuberculosis dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. (1,3)
Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis di atas karena fasilitas
laboratorium yang sangat terbatas untuk pemeriksaan biakan. Diagnosis tuberculosis
paru masih banyak ditegakkan dengan kelainan klinis dan radiologis saja. Kesalahan
diagnosis dengan cara ini cukup banyak sehingga memberikan efek terhadap
pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Oleh sebab itu dalam diagnosis
tuberkulosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis, status bakteriologis, status
radiologis, dan status kemoterapi. WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien
tuberkulosis paru: (1,3)
-

Pasien dengan sputum BTA positif: 1. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya
secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2x pemeriksaan,
atau 2. Satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai
dengan gambaran TB aktif, atau 3. Satu sedian sputumnya positif disertai biakan

yang positif.
Pasien dengan sputum BTA negatif: 1. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya
secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2x pemeriksaan tetapi
gambaran radiologis sesuai dengan TB aktif, atau 2. Pasien yang pada
pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali,
tetapi pada biakannya positif.

II.1.10 Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi seperti : (1,3)
-

Pembagian secara patologis


o Tuberkulosis primer (childhood tuberculosis)
o Tuberkulosis post primer (adult tuberculosis)

16

Pembagian secara aktivitas radiologis Tuberkulosis paru (Koch Pulmonum)

aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh)
- Pembagian secara radiologis (luas lesi)
o Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu
paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
o Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih
dari 4 cm. jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru.
Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian paru.
o Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi
keadaan pada moderately advanced tuberculosis.
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan
klinis, radiologis, dan mikrobiologis :
-

Tuberkulosis paru
Bekas tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam : a.) tuberkulosis paru
tersangka yang diobati. Di sini sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain
positif. b.) tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Di sini sputum BTA
negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.
Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk

TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan : 1.
Status bakteriologi, 2. Mikroskopik sputum BTA (langsung), 3. Biakan sputum BTA,
4. Status radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru, 5. Status
kemoterapi, riwayat pengobatan dengan anti tuberkulosis. (3)
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni:(1,3)
Kategori I, ditunjukkan terhadap:
-

Kasus baru dengan sputum positif


Kasus baru dengan bentuk TB berat
Kategori II, ditunjukkan terhadap:

Kasus kambuh
Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Kategori III, ditunjukkan terhadap:

Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas


Kasus TB ekstra paru selain yang disebut dalam kategori I
Kategori IV, ditunjukkan terhadap: TB kronik

II.1.11 Pengobatan
17

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,


mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT. Pengobatan TB telah bermula bahkan sejak sebelum
Robert Koch menemukan basil tuberkulosis di tahun 1882. Mula-mula hanya
dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi keluhan yang ada, antara lain dengan
mendirikan sanatorium-sanatorium di berbagai tempat. Masa ini dikenal dengan
battle againts symptom. Setelah itu, berkembang pula upaya pembedahan, yang
pada dasarnya adalah menangani kaviti sehingga disebut era battle againts cavity.
Di tahun 1940an barulah ditemukan obat streptomisin, yang kemudian INH,
Pyrazinamid, Etambutol dan Rifampisin yang memulai era paling baru dalam
penanganan TB, yaitu battle againts TB bacilly.(9)
Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak
zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang
kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP-4).
Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat
anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH, PAS dan
Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Para Amino Acid (PAS) kemudian diganti
dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang
terdiri dari INH, Rifampisin dan Etambutol selama 6 bulan.(9)
Berbagai variasi regimen telah

diperkenalkan selama ini. Pada dasarnya

semuanya mengandung dua fase, yaitu fase awal intensif dan fase lanjutan. Fase awal
intensif biasanya diberikan sedikitnya 3 atau 4 obat, sedangkan fase lanjutan dapat
diberikan 2 obat saja baik setiap hari maupun intermitten. Pada tahun 1997 WHO
telah membuat klasifikasi regimen pengobatan pada berbagai keadaan penyakit TB.(9)
Tabel II.2 Jenis dan Dosis OAT(12)

Tahap awal (intensif)


18

o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif
tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu.
o Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan
o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia:
o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT dan peruntukannya
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3), paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3), paduan OAT ini diberikan untuk pasien
BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

19

II.1.12 Evaluasi Pengobatan


Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.(6)
Evaluasi Klinis(6)

Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan

selanjutnya setiap 1 bulan


Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada

tidaknya komplikasi penyakit


Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis

Evaluasi bakteriologi (0-2-6/9 bulan pengobatan) (6)

Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak


Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis
o Sebelum pengobatan dimulai
o Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
o Pada akhir pengobatan
Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

Evaluasi radiologi (0-2-6/9 bulan pengobatan) (6)


Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada :

Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan

kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)


Pada akhir pengobatan

Evaluasi efek samping secara klinis(6)

Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal, dan

darah lengkap
Fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah, serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping

pengobatan
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada

keluhan)
Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)

Evaluasi keteraturan berobat(6)

Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan


diminum/tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting
20

penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat.


Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga, dan

lingkungannya.
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi

Kriteria sembuh(6)

BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir

pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat


Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/perbaikan
Bila ad fasilitas biakan, maka criteria ditambah biakan negatif

Evaluasi pasien yang telah sembuh(6)


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal
dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopis BTA dahak 3,6,12, dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah
dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6,12,24 bulan setelah dinyatakan sembuh
(bila ada kecurigaan TB kambuh).
II.2. Permasalahan DOTS
Sejak 1995 program Pemberantasan Penyakit TB di Indonesia mengalami
perubahan manajemen operasional dengan penyesuaian pada strategi global yanng
direkomendasikan oleh WHO. Langkah ini dilakukan untuk menindaklanjuti Indonesia
WHO joint Evaluation dan National Tuberculosis Programme in Indonesia pada April
1994. Dalam program ini prioritas ditujukan pada peningkatan mutu pelayanan dan
penggunaan obat yang rasional untuk memutuskan rantai penularan serta mencegah
meluasnya resistensi kuman TB di masyarakat. Program ini dilakukan dengan cara
mengawasi pasien dalam menelan obat setiap hari,terutama pada fase awal
pengobatan.10 Strategi DOTS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1996 dan telah
diimplementasikan secara meluas dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat.
Sampai dengan tahun 2001, 98% dari populasi penduduk dapat mengakses pelayanan
DOTS di puskesmas. Strategi ini diartikan sebagai "pengawasan langsung menelan obat
jangka pendek oleh pengawas pengobatan" setiap hari. Indonesia adalah negara high
burden, dan sedang memperluas strategi DOTS dengan cepat, karenanya baseline drug
susceptibility data akan menjadi alat pemantau dan indikator program yang amat
penting. Berdasarkan data dari beberapa wilayah, identifikasi dan pengobatan TB
21

melalui Rumah Sakit mencapai 20-50% dari kasus BTA positif, dan lebih banyak lagi
untuk kasus BTA negatif. Jika tidak bekerja sama dengan Puskesmas maka banyak
pasien yang didiagnosis oleh Rumah Sakit (RS) memiliki resiko tinggi dalam kegagalan
pengobatan, dan mungkin menimbulkan kekebalan obat. Akibat kurang baiknya
penanganan pengobatan penderita TB dan lemahnya implementasi strategi DOTS.
Penderita yang mengidap BTA yang resisten terhadap OAT akan menyebarkan infeksi
TBC dengan kuman yang bersifat multi-drugs resistant (MDR).10,11
II.3. Putus dari Pengobatan OAT
II.3.1. Faktor Risiko Putus dari Pengobatan OAT
Menurut penelitian kohort yang dilakukan Rio (2008) terdapat beberapa faktor
risiko yang menyebabkan terjadinya putus dari pengobatan OAT yaitu:
a. Rendahya status ekonomi berdasarkan penghasilan yang diperoleh kepala keluarga.
Pasien putus pengobatan kebanyakan berasal dari keluarga yang mempunyai
penghasilan yang rendah. Hal ini terjadi karena mereka tidak mempunyai kenderaan
dan tidak mampu untuk menyediakan biaya untuk berobat ke rumah sakit.12,13
b. Rendahnya tingkat pendidikan. Didapati bahwa pasien yang tidak pandai membaca
sulit untuk mengakses informasi yang diberikan oleh pelayanan kesehatan. Hal ini
juga turut berhubungan dengan rendahnya ekonomi dan menyebabkan pasien putus
dari pengobatan OAT.12,13
c. Stigma sosial yang menyebabkan pasien merasa malu sekiranya orang disekeliling
tahu bahwa mereka menderita TB dan memilih untuk berobat di tempat yang jauh
dari tempat tinggal mereka. Kondisi jarak yang jauh menyebabkan terjadinya
ketidakberaturan berobat dan menyebabkan mereka malas untuk meneruskan
pengobatan OAT.12,13
II.3.2. Alasan Putus dari Pengobatan OAT
Studi Kasus Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru di 10 Puskesmas di DKI
(Departemen Kesihatan Indonesia) Jakarta pada tahun 1996-1999 menunjukkan bahwa
kasus putus pengobatan OAT adalah cukup besar yakni sebanyak 20,4% (53 kasus) dari
220 kasus. Alasan putus pengobatan OAT dapat dilihat pada tabel II.3.
No.
1.

Alasan
Pasien tidak kembali
22

Kasus (%)
69,8

2.
3.
4.
5.
6.

Spesimen ulangan tidak dikirim


11,3
Penderita bosan berobat
5,3
Efek samping OAT
5,3
Meninggal
5,3
Pindah berobat
3,0
Tabel II.3. Alasan kasus putus dari pengobatan OAT
Alasan drop out terutama (69,8%) adalah pasien tidak kembali untuk kunjungan

ulang (follow up); antara lain karena pulang kampung tanpa pemberitahuan
sebelumnya. Terdapat 3 pasien (5,3%) yang tidak melanjutkan terapi karena bosan
selain terdapat 3 pasien yang meninggal karena sepsis dan hepatitis.14
II.3.3. Efek Putus Pengobatan OAT
Putus pengobatan OAT menimbulkan beberapa implikasi seperti: 12,14
1. Multidrugs-Resistent in Tuberculosis (MDR-TB)
Keadaan ini terjadi apabila pasien tidak mengambil obat sesuai dengan yang
diresepkan oleh dokter. Hal ini menyebabkan kuman TB resisten terhadap antibiotik
yang diberikan sebelumnya sehingga antibiotik tersebut tidak lagi dapat membunuh
kuman TB. MDR-TB biasanya terjadi pada pasien yang :
(a) terinfeksi dengan seseorang yang telah mengalami MDR-TB.
(b) ketidakberaturan minum obat.
(c) putus pengobatan sebelum kuman TB dibasmi.
(d) pasien yang relaps setelah mendapat pengobatan TB.
Kadangkala kuman TB resisten terhadap lebih dari satu antibiotik. Untuk
menangani kasus MDR-TB dibutuhkan obat lain selain obat standar pengobatan TB
yaitu obat fluorokuinolon seperti siprofloksasin, ofloxacin, atau levofloxacin. Sangat
disayangkan bahwa obat ini tidak dianjurkan pada anak dalam masa pertumbuhan
(Felton, 2005).
2. Kematian
Menurut Rio (2008), pengobatan yang tidak komplit merupakan faktor risiko
yang terpenting yang menyebabkan kematian pada penyakit TB. Pada penelitian yang
dijalankan oleh Rio de Janeiro pada tahun 2007, dari 320 pasien yang meninggal
sebanyak 18.2% adalah pasien yang putus dari pengobatan OAT yang sebelumnya.
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
23

III.1 Kerangka Konsep


Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
P
J
U
S
C
B
u
r
e
m
t
a
s
e
n
u
a
lr
iv
r
t
a
e
a
s
u
n
P
ln
s
K
e
p
u
y
n
e
P
m
a
ls
e
b
t
i
n
a
u
s
g
m
d
y
i
a
o
p
n
d
r
iu
a
b
a
t
k
n
u
a
t
s
n
d
a
r
i
p
e
n
g
o
b
a
t
a
n
O
A
T

Gambar III.1 Kerangka konsep penelitian


III.2 Definisi Operasional
a. Putus dari pengobatan OAT
Definisi : Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
Cara Ukur : Pencatatan melalui data sekunder yang di dapapatkan dari rekam medis

pasien TB di RSUD Labuang Baji Makassar


Alat Ukur : Rekam Medik
Skala Pengukuran : Nominal

b. Prevalensi
Definisi : Prevalensi adalah jumlah total kasus lama dan kasus baru yang putus

dari pengobatan TB per jumlah total kasus yang TB pada tahun tersebut
Cara Ukur : Pencatatan melalui data sekunder yang didapatkan dari rekam medis
pasien TB di RSUD Labuang Baji

24

Prevalensi pasien putus OAT =

Jumlah Pasien Putus Obat


Jumlah PasienTB Paru

x 100%

Alat Ukur : Rekam Medik


Skala Pengukuran : Rasio

c. Jenis Kelamin

Definisi : Jenis kelamin pasien TB Paru yang tercantum dalam data rekam medik

Cara ukur : Observasi rekam medik

Alat ukur : Rekam medik


Hasil Ukur : a. Pria
b. Wanita

Skala ukur : Nominal

d. Umur
Umur didefinisikan sebagai usia warga yang terhitung sejak lahir sampai saat yang
tertera pada rekam medik.
Kriteria objektif :
a. < 1 tahun

e. 15 - 19 tahun

b. 1 - 4 tahun

f. 20 44 tahun

c. 5 - 9 tahun

g. 45 59 tahun

d. 10 14 tahun

h. >60 tahun

e. Status Pendidikan

Definisi : Tingkat pendidikan yang terakhir yang ditamatkan pasien:


1.Tidak bersekolah
2.SD
3.SMP
4. SMA
5. Diploma 3
6. Perguruan Tinggi
25

Cara ukur : Observasi rekam medik

Alat ukur : Rekam medik

Skala ukur : Nominal

f. Cara Pembayaran

Definisi : Cara pasien yang berobat TB melakukan pembayaran


1. Asuransi
2. Pembayaran secara langsung

Cara ukur : Observasi rekam medik

Alat ukur : Rekam medik

Skala ukur : Nominal

g. Bulan putus obat

Definisi : Bulan dimana pasien mulai berhenti berobat atau tidak datang kontrol ke
RSUD Labuang Baji Makassar pada waktu yang ditetapkan dan setelah 60 hari dari
tanggal yang telah ditetapkan untuk penderita datang kontrol

Kriteria objektif :

Januari

- Juli

Februari

- Agustus

Maret

- September

April

- Oktober

Mei

- November

Juni

- Desember

BAB IV
26

METODE PENELITIAN
IV.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain penelitian cross sectional
dimana pada penelitian ini dilakukan observasi data untuk menggambarkan tentang
prevalensi Pasien putus obat OAT di RSUD Labuang Baji, Makassar dan retrospektif
dikarenakan pengumpulan data berdasarkan data sekunder, yakni rekam medik pasien.
IV.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji,
Makassar. Waktu pengambilan dan pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada
tanggal 5 17 April2014.

IV.3 Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian.(35) Populasi penelitian adalah
seluruh pasien dengan diagnosis Tuberkulosis yang putus obat di Rumah Sakit
Umum Daerah Labuang Baji, Makassar selama periode Januari 2013 sampai
Desember 2013.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang mewakili populasi yang akan diambil. (36)
Besar sampel yang digunakan ialah dengan metode total sampling, dimana sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua populasi yang sesuai dengan
kriteria penelitian.
3. Kriteria Sampel
a. Kriteria Inklusi
1) Seluruh pasien Tuberkulosis yang tercatat dalam rekam medis di RSUD
Labuang Baji Makassar
b. Kriteria Eksklusi
1)
Terdapat variabel yang tidak lengkap dalam rekam medik pasien TB
Paru minimal 80%.
IV.4 Cara Pengambilan Sampel

27

Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan metode total sampling


yaitu semua populasi dijadikan sampel
IV.5 Jenis dan Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder adalah data yang
telah diolah atau diperoleh dari rekam medis, dokumen atau laporan tertulis yang dapat
dipandang sangat relevan dengan penulisan proposal penelitian ini seperti dokumen
atau arsif data Dinas Kesehatan, Puskesmas dan data Statistik.

IV.6 Pengolahan Dan Penyajian Data


Pengolahan dan analisa data dibagi dalam beberapa tahap, yaitu pengumpulan
data,

pengolahan

data,

analisis/interpretasi

penyajian
data

dan

data,

pengambilan

kesimpulan.(37) Dalam penelitian ini, setelah data


dikumpulkan dan dicatat kemudian diolah menggunakan program SPSS (Statistical
Product and Service Solution).

IV.7 Etika Penelitian


Menjaga kerahasiaan identitas pribadi pasien yang terdapat pada data rekam medis,
sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam penelitian ini

28

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
V.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama dua minggu yaitu mulai tanggal 5 Mei 2014
24 Mei 2014 dengan mengambil data sekunder dari rekam medis pasien TB Paru di
bagian rekam medik RSUD Labuang Baji, Makassar. Sampel dalam penelitian ini
adalah seluruh pasien dengan diagnosis TB Paru yang berobat di poli paru RSUD
Labuang Baji, Makassar selama rentang waktu bulan Januari 2013 sampai Desember
2013. Dari 194 pasien yang menderita tuberkulosis, ada 27 buah rekam medik yang
tidak ditemukan. Dari 167 buah rekam medik pasien dengan TB Paru yang diperiksa,
tidak ada sampel yang terekslusi oleh karena variabel yang diteliti semua lengkap di
dalam rekam medik pasien.
Berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data rekam medik, maka dapat
disimpulkan hasil penelitian sebagai berikut :
V.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang baji, Makassar yang
terletak di bagian selatan Kecamatan Mamajang Kota Makassar tepatnya di Jalan
Dr.Ratulangi No. 81 Makassar.Rumah Sakit ini juga menjadi rumah sakit Tipe B dan
juga sebagai pusat rujukan region gerbang Selatan, mencakup Kabupaten Gowa,
Kabupaten Takalar, Kabupaten Jeneponto, termasuk untuk masyarakat yang berdomisili
di sisi selatan Kota Makassar. Dikeluarkannya Perda Pemerintah Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun 2002 yang merubah status dari RSUD non pendidikan
menjadi BP RSUD Labuang Baji yang berada dibawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Gubernur Sulawesi Selatan, namun sebelumnya RSUD Labuang Baji
telah Terakreditasidengan 5 (lima) bidang pelayanan Kemudian dengan dikeluarkannya
Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2008 pada tanggal 21 Juli 2008 dengan merubah
struktur organisasi RSUD Labuang Baji dari bentuk badan menjadi Rumah Sakit
Umum.
29

V.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel


V.1.2.1 Prevalensi Pasien Putus Obat Periode Januari-Desember 2013
Berdasarkan hasil penelitian pada 161 rekam medis dengan diagnosis TB Paru yang
berobat di Poliklinik Paru RSUD Labuang Baji, Makassar pada tahun 2013 didapatkan pasien
yang
1. Prevalensi Pasien Putus Obat

=
=

Jumlah Pasien Putus Obat


Jumlah PasienTB Paru
27
161

x 100%

x 100%

= 16,8%

Penderita TB Paru

Menjalani

di RSUD Labuang

OAT
Frequency

Percent

Frequency

Percent

134

83.2

27

16.8

Baji Periode
Januari-Desember

Pengobatan Putus Pengobatan OAT

2013
Tabel V.1 Distribusi frekuensi pasien TB Paru di RSUD Labuang Baji Periode JanuariDesember 2013
Dari hasil pengumpulan data didapatkan sebanyak 161 pasien TB Paru yang
memenuhi kriteria menjadi sampel penelitian, terdiri dari penderita TB yang putus dari
pengobatan OAT adalah sebanyak 27 orang (16,8%) dan sebanyak 134 orang (83,2%)
penderita TB yang menjalani pengobatan OAT.
V.1.2.2. Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin

30

Dalam Pengobatan OAT


Putus Pengobatan OAT
Frequency
Percent
Frequency
Percent
Laki-laki
87
64.9
17
63.0
Perempuan
47
35.1
10
37.0
Total
134
100.0
27
100.0
Tabel V.2 Distribusi frekuensi TB Paru berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel V.2 di atas, penderita TB yang putus dari pengobatan OAT
lebih banyak pada kelompok lelaki (64,9%) begitu juga pada penderita TB yang
menjalani pengobatan lebih banyak pada kelompok lelaki (63,0%).
V.1.2.3 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Kelompok Umur
Umur

Menjalani Pengobatan OAT

Putus Pengobatan OAT

Frequency

Percent

Frequency

Percent

15-19

10

7.5

3.7

20-44

70

52.2

18

66.7

45-59

34

25.4

18.5

>60

20

14.9

11.1

Total
134
100.0
27
100.0
Tabel V.3 Distribusi frekuensi pasien TB Paru berdasarkan kelompok umur
Berdasarkan tabel V.3 di atas, penderita TB yang putus dari pengobatan OAT
lebih banyak pada kelompok umur 20-44 tahun (66,7%) begitu juga pada penderita TB
yang menjalani pengobatan lebih banyak pada kelompok umur 20-44 tahun (52,2%).
V.1.2.4 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Status Pendidikan
Menjalani Pengobatan OAT
Putus Pengobatan OAT
Frequency
Percent
Frequency
Percent
Tidak Sekolah
1
0.7
1
3.7
SD
30
22.4
4
14.8
SMP
31
23.1
7
25.9
SMA
67
50.0
12
44.4
D3
1
0.7
1
3.7
S1
4
3.0
2
7.4
Total
134
100.0
27
100.0
Tabel V.4 Distribusi frekuensi pasien TB Paru berdasarkan status pendidikan

Status Pendidikan

31

Berdasarkan table V.4 tersebut, pasien yang mendapat pendidikan sampai SMA
mencatat angka yang tertinggi (44,4%), disusuli dengan SMP (25,9%), kemudian SD
(14,8%), seterusnya S1(7,4%), Tidak Bersekolah (3,7%) dan terakhir D3 (3,7%).
V.1.2.5 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Cara Pembayaran
Menjalani Pengobatan OAT

Putus Pengobatan OAT

Cara Pembayaran

Asuransi

Frequency

Percent

Frequency

Percent

Jamkesmas
Jamkesda
Askes
Jaminan

23
68
16

17.2
50.7
11.9

5
17
2

18.5
63.0
7.4

Kesehatan

2.2

3.7

Nasional
Jamsostek
4
3.0
0
0,0
Umum
20
14.9
2
7.4
Total
134
100.0
27
100.0
Tabel V.5 Distribusi frekuensi pasien TB Paru berdasarkan Cara Pembayaran
Berdasarkan tabel V.5 di atas, penderita yang putus dari pengobatan OAT lebih
banyak pada mereka yang melakukan pembayaran secara asuransi (92,6%) berbanding
dengan penderita yang melakukan pembayaran secara langsung , begitu juga pada
penderita TB yang menjalani pengobatan lebih banyak pada mereka yang melakukan
pembayaran secara asuransi (85,1%).

V.1.2.6 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Bulan Putus Obat

32

Grafik V.1 Distribusi frekuensi TB Paru berdasarkan bulan putus obat


Berdasarkan grafik V.1 di atas, penderita yang putus dari pengobatan OAT lebih
banyak pada bulan september yaitu sebanyak 5 orang (18,5%), kemudian pada bulan
oktober sebanyak 4 orang (14,8%), pada bulan juni dan agustus masing-masing
sebanyak 3 orang (11,1%), dan pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei dan Juli
masing-masing sebanyak 2 orang (7,4%)
V.2. Pembahasan
V.2.1. Karakteristik Responden
Selama dua minggu penelitian yang dijalankan di Rumah Sakit Umum Daerah
Labuang Baji, didapatkan sejumlah 161 kasus yang terdiri dari 27 pasien yang putus
dari pengobatan OAT dan 134 kelompok yang menjalani pengobatan OAT . Prevalensi
pasien yang putus dari pengobatan OAT di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji
adalah 16,8%.
Sementara menurut penelitian Nani dan Retno (2007) berdasarkan Studi Kasus
Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru di 10 Puskesmas di DKI (Departemen Kesihatan
Indonesia) Jakarta pada tahun 1996- 1999 menunjukkan bahwa jumlah penderita TB
yang putus dari pengobatan adalah sebanyak 20,4 % yang disebabkan pelbagai alasan
33

seperti bosan berobat ,pindah berobat, spesimen ulang tidak dikirim dan efek samping
OAT.15 Penelitian mengenai Riwayat Pengobatan Penderita TB Paru yang Meninggal di
Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa dari semua penderita TB yang meninggal
dari 109 yang meninggal akibat TB sebanyak 19 (17,5 %) orang yang pernah berobat
dan putus dari pengobatan OAT ( Herryanto, 2002). Sementara menurut penelitian yang
dijalankan di Banda Aceh tahun 2001- 2002 angka putus berobat penderita TB paru di
Kota Banda Aceh tahun sebesar 21,5% yang disebabkan pelbagai faktor seperti
pekerjaan, pengetahuan, dan efek samping obat OAT.15 Data pada Dinas Kesehatan
Propinsi Jawa Timur tahun 2004 menunjukkan 15% dari penderita TB paru yang
diobati di seluruh Puskesmas di Jawa Timur yang mempergunakan program pengobatan
strategi DOTS, tidak melanjutkan pengobatan sampai selesai dengan persentanse tiap
daerah tingkat ialah : Bangkalan(37%), Sidoarjo(29%), Lamongan (27%), Sumenep
(24%), Situbondo (23%), Gresik (22%). Sementara pada tahun 2005 total yang putus
pengobatan adalah sebesar 14% dengan daerah terbanyak adalah Ngawi (38%), Jember
(36%), Bangkalan (28%), Kabupaten Malang (25%), Gresik (20%) (Tahan , 2005). 15
Berdasarkan jenis kelamin, didapatkan penderita TB yang putus dari pengobatan
OAT di Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji selama tahun 2013 lebih banyak
pada kelompok lelaki (64,9%) begitu juga dengan penderita TB yang menjalani
pengobatan OAT lebih banyak pada kelompok lelaki ( 63%).
Peningkatan angka putus pengobatan OAT lebih tinggi pada kelompok lelaki pada
kasus mungkin disebabkan jumlah pasien laki-laki pada penderita TB lebih tinggi pada
lelaki berbanding perempuan. Selain itu, hal ini juga mungkin disebabkan perbedaan
persepsi sakit pada laki-laki berbanding wanita. Laki- laki lebih berpendapat mereka
kuat untuk melawan kesakitan yang dialami sehingga mereka tidak mahu untuk
melanjutkan pengobatan OAT. Laki-laki juga berpendapat bahwa mereka adalah
tunggak keluarga sehingga masa yang mereka ada lebih diperuntukkan untuk bekerja
demi menyara keluarga mereka berbanding ke rumah sakit untuk meneruskan
pengobatan OAT yang memerlukan masa yang lama dan membebankan keluarga dari
segi keuangan.16
Berdasarkan penelitian Biomed Central (BMC) Public Health pada tahun 2010
yang dijalankan di kawasan terpencil di Provinsi Shaanxi penderita yang putus dari
pengobatan banyak pada kelompok lelaki (67,3%) karena lelaki perlu bekerja untuk
menanggung keluarga sehingga lelaki lebih mudah untuk putus dari pengobatan TB.
Walaubagaimanapun, menurut penelitian yang dijalankan oleh Rio pada tahun 2008
34

masih tidak dapat dikenal pasti hubungan jantina dengan faktor putus berobat, namun
pada penelitian tersebut pria lebih sering putus berobat berbanding wanita. Menurut
Waisbord (2005) dalam penelitian yang dijalankan di negara Bangladesh dan Vietnam
menyatakan bahwa alasan untuk wanita untuk menangguhkan pengobatan OAT adalah
karena apabila mereka didiagnosa menghidap TB mereka akan dipinggirkan oleh
keluarga dan beresiko tinggi untuk diceraikan oleh suami mereka sehingga mereka
mengambil keputusan untuk menghentikan pengobatan. Namun pada penelitian yang
dijalankan di China dan India golongan perempuan lebih peka untuk mendapatkan
pengobatan berbanding kaum lelaki sehingga jarang bagi golongan mereka untuk putus
dari pengobatan OAT.17 Sebaliknya alasan golongan lelaki untuk putus dari pengobatan
OAT pada studi yang dijalankan di Vietnam dan India, alasan untuk laki-laki putus dari
pengobatan OAT adalah takut akan biaya individual yang dikenakan pada pemeriksaan
dan pengobatan.17 Selain itu, menurut penelitian yang dijalankan di Banda Aceh tahun
2001-2003 golongan laki-laki (72%) lebih sering putus dari pengobatan OAT
berbanding dengan perempuan. Namun menurut buku Tuberkulosis Klinik (2002) tidak
terdapat perbedaan antara jenis kelamin dengan kejadian tuberkulosis. 17
Berdasarkan status pendidikan , penderita TB yang putus dari pengobatan OAT di
Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji selama tahun 2013 terbagi atas tidak
bersekolah, SD, SMP, SMA, D3 dan S1. Jumlah pasien yang mendapat pendidikan
sampai SMA mencatat angka yang tertinggi (44,4%), disusuli dengan SMP (25,9%),
kemudian SD (14,8%), seterusnya S1(7,4%), Tidak Bersekolah (3,7%) dan terakhir D3
(3,7%). Kelompok SMA mencatat jumlah tertinggi dalam status pendidikan mungkin
disebabkan kelompok ini juga mencatatkan angka tertinggi berdasarkan dari semua
kasus TB.
Menurut penelitian mengenai Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kepatuhan
Minum Obat Anti Tuberkulosis tahun 2005 mencatatkan penderita yang menamatkan
pendidikan sampai SMA mencatatkan angka tertinggi yaitu sebanyak 59 % ( Tahan,
2005) Namun berdasarkan penelitian yang dijalankan oleh Rio (2008) didapati bahwa
penderita dengan status pendidikan rendah sulit untuk mengakses informasi yang
diberikan oleh pelayanan kesehatan sehingga mereka tidak kembali untuk melanjutkan
pengobatan. Hal ini juga berhubungan dengan rendahnya ekonomi dan menyebabkan
pasien putus dari pengobatan OAT. Namun, dalam penelitian yang dilakukan pada
penderita TB di Rumah Sakit Haji Adam Malik selama tahun 2009, tidak dapat
dihubungkan tingkat pendidikan dengan status ekonomi pasien karena dalam rekam
35

medis penderita tidak tercantum jumlah pendapatan kepala keluarga penderita.


Sebaliknya, hal yang dicantumkan di dalam rekam medis penderita adalah cara
pembayaran penderita sama ada melalui asuransi ataupun dengan pembayaran secara
langsung. Menurut Waishbord tahun 2005, penelitian yang dijalankan di Tazmania
menunjukkan pada beberapa komuniti, pasien yang berpendidikan rendah lebih
memilih untuk berobat secara tradisional dan ke apotek untuk mengambil obat yang
bersifat simptomatik dari meneruskan program DOTS sehingga mereka tidak kembali
lagi untuk berobat setelah kunjungan pertama. Selain itu, menurut penelitian Goodman
(2001) yang dikutip oleh Amalia (2009) menyatakan bahwa seseorang yang
berpendidikan tinggi dapat lebih memelihara tingkat kesehatannya daripada seseorang
yang berpendidikan lebih rendah. Orang yang berpendidikan lebih tinggi lebih mudah
untuk menjaga kesehatan dilingkungannya.15,16,17
Berdasarkan data cara pembayaran pasien TB di Rumah Sakit Umum Daerah
Labuang Baji tahun 2013, didapatkan data penderita yang putus dari pengobatan OAT
lebih banyak pada penderita yang melakukan pembayaran secara asuransi (92,6%)
berbanding dengan penderita yang melakukan pembayaran secara langsung , begitu
juga pada penderita TB yang menjalani pengobatan lebih banyak pada mereka yang
melakukan pembayaran secara asuransi (85,1%).
Hal tersebut mungkin terjadi karena Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji
adalah rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah, jadi kebanyakan pasien yang datang
berobat ke Rumah Sakit Umum Daerah Labuang Baji adalah mereka yang
berpendapatan rendah sampai sederhana. Namun, jika ditinjau perbedaan antara
penderita yang putus dari pengobatan OAT dengan penderita yang menjalani
pengobatan OAT, prevalensi penderita yang melakukan pembayaran secara umum lebih
tinggi pada penderita yang putus dari pengobatan OAT berbanding dengan dengan
penderita yang menjalani pengobatan OAT. Hal tersebut berkemungkinan disebabkan
oleh beban biaya yang lebih tinggi untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan TB
sehingga mereka mengambil keputusan untuk berhenti berobat.Hal yang sebaliknya
terjadi pada penderita yang mempunyai asuransi karena beban biaya mereka dikurangi
oleh pihak asuransi sehingga mereka langsung tidak terbeban untuk meneruskan
pengobatan OAT . Pernyataan di atas disokong oleh penelitian Biomed Central (BMC)
Public Health pada tahun yang dijalankan di kawasan terpencil di Provinsi Shaanxi
menunjukkan bahwa sebanyak 39,3 % penderita TB yang putus berobat tidak
mempunyai asuransi medik sehingga mereka terpaksa menanggung sendiri biaya yang
36

dikenakan oleh rumah sakit seperti pemeriksaan, pengobatan OAT, dan pengobatan
untuk mengatasi efek samping akibat pengobatan TB. Penelitian yang juga dilakukan
China mendapati bahwa biaya pengobatan yang mahal dan kesulitan keuangan
menyebabkan penderita menangguhkan pengobatan OAT. Hal tersebut disebabkan
penderita terpaksa meminjam uang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan akibat
tidak mempunyai asuransi medis.17
Berdasarkan data bulan putus obat pasien TB di Rumah Sakit Umum Daerah
Labuang Baji tahun 2013, didapatkan penderita yang putus dari pengobatan OAT lebih
banyak pada bulan september yaitu sebanyak 5 orang (18,5%), kemudian pada bulan
oktober sebanyak 4 orang (14,8%), pada bulan juni dan agustus masing-masing
sebanyak 3 orang (11,1%), dan pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei dan Juli
masing-masing sebanyak 2 orang (7,4%).

BAB VI
37

KESIMPULAN DAN SARAN


VI.1. Kesimpulan
1. Dari penelitian yang dijalankan didapatkan sejumlah 161 penderita yang terdiri
dari 27 (16,8%) penderita TB yang putus dari pengobatan OAT .
2. Menurut penelitian ini, didapatkan persentase penderita TB yang putus dari
pengobatan pada kelompok laki-laki lebih tinggi berbanding kelompok perempuan
yaitu 64,9%.
3. Menurut penelitian ini, didapatkan persentase penderita TB yang putus dari
pengobatan pada kelompok umur 20-44 lebih tinggi yaitu 66,7%
4. Menurut hasil penelitian ini berdasarkan status pendidikan, didapatkan persentase
penderita yang putus dari pengobatan OAT paling tinggi pada kelompok SMA
(44,4%).
5. Berdasarkan penelitian ini , menunjukkan bahwa penderita yang melakukan
pembayaran secara ansuransi (92,6%) lebih sering untuk putus berobat berbanding
yang melakukan pembayaran secara langsung.
VI.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang telah dipaparkan
sebelumnya, maka saran-saran yang diajukan adalah sebagai berikut.
1. Perlunya peran aktif pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan dalam upaya
pencegahan dan penangggulangan TB agar tidak meluas lebih banyak lagi di kalangan
masyarakat
2. Perlunya peran serta staf medis dalam memberikan pelayanan kesehatan dan akses
pengetahuan kesehatan kepada masyarakat luas berupa penyuluhan tentang bahaya
TB, meningkatkan kinerja para pengawas menelan obat (PMO) agar lebih aktif lagi
dalam mengawasi para penderita TB, untuk mencegah penularan dan komplikasi lebih
lanjut dari TB, sehingga meningkatkan angka kesembuhan penderita TB, dan

38

mengintensifkan penemuan penderita TB baru agar mencegah penularan yang lebih


luas
3. Pihak RSUD Labuang Baji juga harus memastikan bahwa setiap pasien yang datang,
baik pasien kasus baru ataupun pasien yang sudah mendapat pengobatan sebelumnya
agar memiliki pengawas minum obat (PMO) yang selalu memantau dan mengawasi
pengobatan yang telah diberikan agar tepat

dan optimal. Hal ini juga sangat

penting dalam menekan angka kejadian TB kasus baru dan TB-MDR yang sulit
diobati.
4. Bagi pihak RSUD Labuang Baji Makassar, diharapkan untuk memperhatikan
kelengkapan dan keseragaman pengisian data penderita serta sistem penyimpanan
rekam medik yang baik, untuk kepentingan pencatatan dan pelaporan dalam rangka
meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat dan perencanaan untuk perbaikan
program kesehatan di masa mendatang.
5. Perlunya dilakukan penelitian yang lebih lanjut dan teratur untuk periode tertentu agar
mendapatkan hasil yang lebih akurat mengingat mengingat periode penelitian yang
sempit dan angka kejadian TB yang terus berubah tiap tahunnya.

39

DAFTAR PUSTAKA
1. Alsagaff, Hood, Mukty, Abdul. Tuberkulosis Paru. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu
Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press.2005
2. Departemen Kesehatan RI. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 20103.

2014. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.2011


Sudoyo, W. Aru, dkk. Tuberkulosis Paru. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi

IV. Jakarta: Penerbit FK-UI. 2007


4. Departemen Kesehatan RI. Situasi Epdemiologi TB di Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.2010
5. Djitowiyono, Sugeng, Jamil, Akhmad. Hubungan Pendekatan Strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Short-course) dengan Kepatuhan Berobat Pasien
Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kalasan Sleman 2008. Yogyakarta: Jurnal Kesehatan
Surya Medika Yogyakarta. 2008
6. Yunus, Faisal, dkk. Tuberkulosis. IPDS Compendium of Indonesian Medicine 1st
edition 2009. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2009
7. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan. Gerakan Terpadu Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Disampaikan pada Seminar Sehari TB Paru dalam
rangka Peringatan Hari TB Sedunia ke 117. Jakarta: Mei 1999
8. Burman WJ, Dalton CB, et al. A Cost Effectiveness Analysis of Directly Observed
Therapy vs Self Adminstered Therapy for Treatment of Tuberculosis. CHEST 1997
112:63-70
9. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.2007
10. WHO Global Tuberculosis Incidence 2012 [internet] 2013 Nov 8 [cited 2013 Nov 23].
Available from :
http://gamapserver.who.int/mapLibrary/Files/Maps/Global_TBincidence_2012.png
11. WHO. Global Tuberculosis Report 2013 [pdf]. Genewa: 2013 [cited 2013 Nov 23].
Available from:
http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/index.html
12. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. 2006
13. Alur Sentra DOTS BBKPM Makassar [internet] [cited 2013 Nov 23]. Available from:
http://balaiparumakassar.com/pengenalan-sentra-dots/
14. Rio, DJ. 2007.Factors associated with treatment failure, dropout and death in cohort
or tuberculosis patients in Refice, Pernambuco State, Brazil. Available from:
http://www.scielosp.org
40

15. Shaikh, B.T., 2004. Health Seeking Behaviour and Health Service Utilization in
Pakistan: Challenging The Policy Makers. Journal of Public Health,27 (1): 4954.
Available from: http://jpubhealth.oxfordjournals.org
16. Subdirektorat TB Departemen Kesehatan RI dan World Health Organization, 2008.
Hari TB Sedunia. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Direktorat Promosi
Kesehatan.
17. Sudoyo, et al., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II , Edisi keempat.
Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

41

Anda mungkin juga menyukai