Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus Sulit Selasa, 11 Januari 2022

Pkl 13.00 WIB Kepada Yth.

Seorang Bayi dengan Distres Napas ec Pneumonia + Bronchopulmonary Dyspl

Pembimbing
dr. Afifa Ramadanti, Sp.A (K) dr. Fifi Sofiah, Sp.A (K) dr. Indrayady, SpA(K)

KSM/BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN U


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG 2022

1
PENDAHULUAN

Saraf phrenikus adalah salah satu saraf terpenting dalam tubuh karena
perannya dalam pernapasan. Saraf phrenikus mensuplai motorik utama ke diafragma,
otot pernapasan utama. Parese saraf phrenikus dapat menyebabkan disfungsi
diafragma. Presentasi parese saraf phrenikus tidak spesifik dan diagnosisnya dapat
dengan mudah terlewatkan. Parese saraf phrenikus dapat diidentifikasi dengan
sejumlah modalitas pencitraan termasuk ultrasound, elektromiografi, dan
fluoroskopi.1 Kelumpuhan saraf phrenikus dapat terjadi paska trauma lahir
selama persalinan traumatis neonatus karena regangan akibat hiperekstensi lateral
leher saat lahir. Ini bisa menjadi penyebab gangguan pernapasan pada periode baru
lahir dengan pernapasan tidak teratur. Distres pernapasan pada masa bayi yang
disebabkan oleh disfungsi diafragma merupakan kondisi yang jarang terjadi. Distres
pernapasan karena kerusakan saraf phrenikus yang menyebabkan kelumpuhan
diafragma ipsilateral memerlukan tekanan jalan napas positif yang berkelanjutan atau
ventilasi mekanis dan jika tidak responsif perlu dilakukan pembedahan diafragma.2
Lesi saraf phrenikus termasuk neuropati, kompresi akar saraf, kerusakan pada
bagian perifer saraf oleh trauma bedah, dan penyebab idiopatik. Pada tahun 1902,
Naunyn melaporkan kelahiran pertama dengan lesi traumatik dari saraf phrenikus
yang berhubungan dengan cedera pleksus brakialis. Kelumpuhan diafragma dapat
menyebabkan distres pernapasan karena gerakan paradoks dari diafragma yang
terkena dan pergeseran kontralateral mediastinum selama ekspirasi. Tindakan plikasi
diafragma awal sederhana akan dapat
menghindari operasi yang lebih serius.3
Laporan kasus ini membahas tentang seorang bayi yang saat ini berusia 2
bulan dengan keluhan sesak napas yang belum perbaikan dengan tunjangan ventilator
yang sudah dalam waktu lama. Pasien sejak masuk dengan keluhan awal sesak napas,
permasalahan pasien telah ditelusur dan didiagnosis paralisis diafragma karena parese
nervus phrenicus. Pasien telah direncanakan untuk tindakan operasi namun belum
terlaksana karena kondisi pasien belum optimal. Pasien saat ini telah terpasang
trakeostomi dan mendapatkan tunjangan ventilator yang hampir mencapai usianya.
Setiap pasien dicoba untuk dilakukan weaning ventilator pasien selalu mengalami

2
peningkatan work of breathing dan desaturasi. Kesulitan dalam melakukan eksplorasi
paru dan diafragma pada pasien ini juga membuat langkah untuk melakukan rule out
terhadap kondisi lain yang mungkin dihadapi menjadi terbatas. Sajian kasus ini
mempresentasikan adanya kesulitan dalam hal penentuan langkah dan tindakan pada
pasien ini mengingat bahwa pasien telah dirawat cukup lama di ruang NICU RSMH
Palembang. Harapan disajikannya kasus ini, kita dapat menyusun suatu rumusan solusi
yang dapat dilakukan dengan tujuan pasien memperoleh angka keberhasilan terapeutik
yang optimal. Sajian kasus ini juga diharapkan mampu menjadi pembelajaran dalam
tatalaksana kasus serupa di masa yang akan datang.

3
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : By. SNH
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/tanggal lahir : Palembang, 02 November 2021
Umur (saat MRS) : 10 hari
Alamat Rumah : Lr Gelora VI, 32 Ilir, Palembang
Anak ke 1
Tanggal MRS : 12 November 2021
Berat badan : 3070 gram
Panjang badan : 49 cm

II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis) Keluhan utama
: Sesak napas Riwayat
perjalanan penyakit:
Bayi lahir dari ibu G1P0A0 hamil cukup bulan + KPD 4 jam lahir dengan
persalinan sectio caesarian. Riwayat ibu demam, batuk, dan pilek saat melahirkan
disangkal. Riwayat darah tinggi dan kencing manis disangkal. Saat lahir bayi
langsung menangis, sekitar 30 menit kemudian anak tampak merintih. Bayi
dirawat di RS swasta selama 10 hari dan dilakukan rontgen toraks dengan curiga
adanya massa paru kanan. Pasien telah mendapatkan pengobatan ampisilin 2x135
mg dan ceftazidim 2x135 mg selama perawatan. Pasien dirujuk untuk perawatan
lebih lanjut ke RSMH. Pada saat di IGD RSMH, bayi masih tampak sesak, biru
tidak ada. Keluhan demam tidak ada. Pasien lalu dirawat ke perawatan NICU
untuk support oksigen dengan alat bantu CPAP. Pada perawatan hari pertama,
pasien tampak sesak yang bertambah, pasien lalu diintubasi dan diberikan
tunjangan ventilator. Setelah perawatan selama 6 hari, klinis distress napas masih
belum membaik, setting ventilator pun kesulitan untuk dilakukan weaning.
Kemudian dilakukan penelusuran terhadap masalah paru dan otot bantu nafas
pada pasien dilakukan pemeriksaan usg toraks bedside dan didapatkan kesan
4
paralisis diafragma ec parese

5
nervus phrenicus. Pasien telah dikonsulkan ke bedah anak dan direncanakan untuk
dilakukan plikasi diafragma. Pada perawatan hari ke 10, pasien direncanakan
operasi, namun kondisi pasien dinilai belum optimal, dengan kesan status ASA
IV. Operasi ditunda dengan perbaikan kondisi dengan alasan ada penurunan
kesadaran, terdapat ronki bilateral dengan kesan pneumonia. Pertimbangan
keberhasilan 50:50 dari bedah dan kemungkinan risiko tinggi, maka tindakan
operasi dibatalkan. Pada saat perawatan, klinis pneumonia tidak perbaikan dengan
pemberian antibiotik meropenem, dilakukan kultur sekret tenggorok dan
diapatkan kuman Pseudomonas aeruginosa dengan kesan ventilator acquired
pneumonia, terapi antibiotik diganti berdasarkan hasil kultur. Selama perawatan,
pasien juga ditatalaksana untuk bronchopulmonary dysplasia, karena
ketergantungan oksigen persisten hingga 28 hari kehidupan. Pasien diberikan
terapi DART regimen dengan pemberian dexamethasone selama 10 hari. Selama
perawatan, dilakukan terapi suportif dan pasien dengan status ventilator
dependent.

Riwayat Penyakit dalam keluarga


 Riwayat keluarga dengan kelainan bawaan
 Riwayat berpergian keluar kota ataupun kontak dengan pasien
terkonfirmasi covid 19 disangkal

Riwayat Imunisasi:
Pasien baru mendapatkan imunisasi hepatitis B saat lahir, selebihnya pasien
masih belum mendapatkan imunisasi dasar sesuai jadwal PPI.

Riwayat Tumbuh Kembang


 Pertumbuhan
Saat lahir berat badan penderita 3030 gr cukup bulan, panjang badan lahir 49
cm, namun lingkar kepala lahir tidak diketahui.
Kesan : Pertumbuhan masih dalam pemantauan

6
 Perkembangan
Perkembangan pasien belum dapat dinilai.
Kesan: Perkembangan belum dapat dinilai.

Status Pubertas : P1M1

Riwayat Nutrisi
Pasien sejak lahir diberi susu formula merk Lactogen 1® dan kadang
diselingi ASI sampai dengan saat ini. ASI dari ibu kadang tidak mencukupi jadi
lebihs sering diganti dengan susu formula. Pemberian ASI selama perawatan
selalu dengan kuantitas dan jumlah kalori yang telah dihitung.
Kesan: kuantitas dan kualitas asupan nutrisi cukup

Riwayat Sosioekonomi
Pasien adalah anak pertama. Pendidikan terakhir ayah penderita adalah
D3, bekerja sebagai wiraswasta. Ibu penderita adalah ibu rumah tangga dengan
pendidikan terakhir S1.
Kesan: sosioekonomi cukup

III. PEMERIKSAAN FISIS


(Tanggal 12 November 2021, pukul 24.00 WIB saat di IGD)
Keadaan Umum:
Kesadaran : E4M6V5
Nadi : 152 kali/menit (isi dan tekanan
cukup) Frekuensi nafas : 58 kali/menit (teratur)
Suhu : 36.7 C
Saturasi Oksigen : 96%
Berat badan : 3070 gram
Panjang badan : 49 cm

7
Keadaan spesifik:
Kepala Nafas cuping hidung (+) edema palpebra (-), konjungtiva
anemis (-), sklera ikterik (-), pupil bulat isokor  3mm,
refleks cahaya (+) normal
Leher Pembesaran KGB (-).
Toraks Asimetris, dinding dada kanan tertinggal, retraksi (+)
intercostal
Cor Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo Vesikuler normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien dalam batas normal
Extremitas Akral hangat, CRT <3’
Status pubertas P1M1

Status neurologis
Motorik Dalam batas normal
Sensorik Dalam batas normal

IV. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Pemeriksaan Laboratorium
o Darah (12/11/2021)
Hb 13.2 g/dl, Ht 37%, WBC 8.170/mm3 Eritrosit 3.660.000/mm3 PLT
199.000/mm3 MCV 101.6 Fl MCH 36 PG MCHC 36% LED 15 mm/jam
DC 0/5/28/54/13 IT ratio 0.13 GDS 70 mg/dl
o AGD (12/11/2021)
PH 7.273 Pco2 65.4 mmHg PO2 66 mmHg SO2 88.9% HCO3 30.5
mmol/L BE 3.4

8
Rontgen toraks (RS Bunda Palembang, 11 November 2020)

Kesan : Perselubungan padat radio opaque di basal paru kanan


dd/ massa di basal paru kanan
dd/ diafragma kanan letak tinggi

Rontgen toraks (RSMH, 12 November 2021)

9
Kesan : Aerasi paru tidak adekuat

Rontgen toraks (RSMH, 4 Januari 2021)

Kesan : Pleuropneumonia kanan

10
Echocardiography (RSMH, 19 November 2021)

Kesan : Persistent foramen ovale

USG (RSMH, 19 November 2021)

Kesan : Paralisis diafragma

11
V. DAFTAR MASALAH AWAL
1. Distres napas ec pneumonia
2. Curiga massa paru kanan

VI. DIAGNOSIS AWAL


NCB SMK + Distres napas ec pneumonia + Curiga massa paru kanan

VII. TATALAKSANA AWAL


 Support Oksigen BCPAP PEEP 7 FiO2 40%
 IVFD D101/5 NS + Ca Glukonas 10% 30 ml + Fosfat 6 ml + Kcl 6 ml kec
5.4 ml/jam
 Aminosteril 6% kec 5 ml/ jam
 Meropenem 60 mg per 8 jam IV
 ASI 8x30 ml per OGT
 Pemantauan tanda vital
 Pemantauan akseptabilitas, toleransi,serta efikasi dari diet

12
FOLLOW UP

12 November 2021 (perawatan hari ke-1) 12 November 2021 (siang 18 November 2021 22 November 2021 29 November 2021 6 Desember 2021
hari) (perawatan hari ke-6) (perawatan hari ke-10) (perawatan hari ke-17) (perawatan hari ke-24)

S Sesak ada Sesak bertambah Sesak masih ada, terintubasi Sesak napas, terintubasi Sesak napas masih ada, Sesak napas masih ada,
terintubasi pro trakeostomi,kejang
O KU Sensorium : E4M6V5, Sensorium : E4M6V5, Nadi Sensorium : E3M5VT, Nadi Sensorium : E3M4VT, Nadi Sensorium : E4M4VT, Nadi Sensorium : E4M4VT,
Nadi 146x/menit( isi dan 166x/menit( isi dan tegangan 156x/menit( isi dan tegangan 146x/menit( isi dan tegangan 150x/menit( isi dan tegangan Nadi 154x/menit( isi dan
tegangan cukup ) Laju cukup ) Laju napas cukup ) Laju napas cukup ) Laju napas cukup ) Laju napas tegangan cukup ) Laju
napas 58x/menit 70x/menit Temperatur 36.5 46x/menit Temperatur 36.5 50x/menit Temperatur 36.5 52x/menit Temperatur 36.5 napas 50x/menit
Temperatur 36.5 ºC( ºC( aksilla), SpO2 81-82% ºC( aksilla), SpO2 95% ºC( aksilla), SpO2 94-96% ºC( aksilla), SpO2 96% Temperatur 36.5 ºC(
aksilla), SpO2 90% dengan BCPAP PEEP 7 aksilla), SpO2 96%
dengan BCPAP PEEP 7 FiO2 40%
FiO2 40%
Kepala Normosefali, pupil bulat Normosefali, pupil Normosefali, pupil Normosefali, pupil bulat Normosefali, pupil bulat Normosefali, pupil
isokor Ø 3mm, refleks bulat isokor Ø 3mm, bulat isokor Ø 3mm, isokor Ø 3mm, refleks isokor Ø 3mm, refleks bulat isokor Ø 3mm,
cahaya +/+ normal , refleks cahaya +/+ refleks cahaya +/+ cahaya +/+ normal , cahaya refleks cahaya +/+
konjungtiva anemis (-), normal , konjungtiva normal , konjungtiva konjungtiva anemis (-), +/+ normal , konjungtiva normal , konjungtiva
napas cuping hidung (+), anemis (-), anemis (-), napas cuping hidung (-), anemis (-), napas cuping anemis (-),
napas cuping hidung (+), napas cuping hidung (-), hidung (-), napas cuping hidung (-),
Thorax Asimetris, dinding kanan Asimetris, dinding kanan Asimetris, dinding kanan Asimetris, dinding kanan Asimetris, dinding kanan Asimetris, dinding kanan
dada tertinggal, retraksi dada tertinggal, retraksi sc, dada tertinggal, retraksi ada dada tertinggal, retraksi sc dada tertinggal, retraksi tidak dada tertinggal, retraksi
sc, ic ic ada Pulmo : vesikuler kanan dan Pulmo : vesikuler kanan dan ada Pulmo : vesikuler kanan tidak ada
Pulmo : vesikuler kanan Pulmo : vesikuler kanan dan kiri normal, ronkhi (-), kiri normal, ronkhi (-), dan kiri normal, ronkhi (-), Pulmo : vesikuler kanan
dan kiri normal, ronkhi (- kiri normal, ronkhi (-), wheezing(-) wheezing(-) wheezing(-) dan kiri normal, ronkhi (-),
), wheezing(-) wheezing(-) Cor: Bunyi jantung I dan II Cor: Bunyi jantung I dan II Cor: Bunyi jantung I dan II wheezing(-)
normal, murmur (-), gallop normal, murmur (-), gallop normal, murmur (-), gallop (-)
(-) (-)

1
Cor: Bunyi jantung I dan Cor: Bunyi jantung I dan II Cor: Bunyi jantung I dan
II normal, murmur (-), normal, murmur (-), gallop II normal, murmur (-),
gallop (-) (-) gallop (-)
Abdom Datar, lemas, bising usus Datar, lemas, bising usus Datar, lemas, bising usus Datar, lemas, bising usus (+) Datar, lemas, bising usus (+) Datar, lemas, bising
en (+) normal, hepar tidak (+) normal, hepar tidak (+) normal, hepar tidak normal, hepar tidak teraba, normal, hepar tidak teraba, usus (+) normal, hepar
teraba, lien tak teraba, teraba, lien tak teraba, teraba, lien tak teraba, lien tak teraba, bising usus lien tak teraba, bising usus (+) tidak teraba, lien tak
bising usus (+) normal bising usus bising usus (+) normal normal teraba,
(+) normal (+) normal bising usus (+) normal
Ekstre Akral hangat (+), Akral hangat (+), CRT<3” Akral hangat (+), CRT<3” Akral hangat (+), CRT<3” Akral hangat (+), CRT<3” Akral hangat (+), CRT<3”
mitas CRT<3” detik detik detik detik detik detik
Hasil Hb 13.2 g/dl, Ht 37%, Konsul Bedah Anak : Konsul Anestesi pro Konsul Rehabilitasi Medik: Laboratorium 2/12/21
laborato WBC 8.170/mm3 Kesan : paralisis tindakan: status ASA IV, Kesan : parese nervus Hb 13.3 g/dl, Ht 41%,
rium/ Eritrosit 3.660.000/mm3 diafragmna Saran : plikasi Tunda Operasi dengan phrenicus ec trauma lahir WBC 11.860/mm3 Eritrosit
Konsul PLT 199.000/mm3 MCV diafragma perbaikan KU sesuai TS 4.320.000/mm3 PLT
101.6 Fl MCH 36 PG karena pasien penurunan Saran : latihan manual otot 361.000/mm3 LED 10
MCHC 36% LED 15 Kultur darah (12/11/21) : kesadaran, ada ronki otot diafragma mm/jam DC 0/4/60/29/7
mm/jam DC Kuman : Enterococcus bilateral dengan IT ratio 0.03 Albumin 2.6
0/5/28/54/13 IT ratio faecalis pneumonia. Ca 9.3 Na 137 K 4.9 Cl 99
0.13 GDS 70 mg/dl Sensitifitas : ampisilin, Pertimbangan keberhaslan GDS 80 mg/dl hsCRP 3.6
Laboratorium 26/11/21
benzylpenicilin, 50:50 dari bedah dan
Hb 11.3 g/dl, Ht 32%, WBC
ciprofloxacin, gentamisin, kemungkinan risiko tinggi, Hasil Swab PCR
20.770/mm3 Eritrosit
levofloxacin, Nitrofurantoin, mohon toleransi untuk risiko SARSCOV II tanggal
3.320.000/mm3 PLT
Tigesiklin, Linezolid dan manfaat dari dpjp. 4/12/21 : negatif
614.000/mm3 LED 28 mm/jam
Resisten: Eritromisin,
DC 0/5/59/26/10 IT ratio 0.18
tetrasiklin, streptomsin
hsCRP 17.3
Quinupristin/Dalfopristin Laboratorium 18/11/21
Hb 14.8 g/dl, Ht 45%, WBC
Echocardiography : 14.440/mm3 Eritrosit
Kesan : Pesistent foramen 4.460.000/mm3 PLT
ovale 460.000/mm3 LED 12
mm/jam DC 0/1/72/16/11 IT

1
Saran : Kontrol ulang 6 ratio 0.44 PT 15.9 (13.9)
bulan lagi INR 1.13 APTT 33.0 (31.0)
Albumin 3.2 g/dl Na 139 K
5.1 Ca 9.2 hsCRP 14.8
A NCB SMK + Distres napas ec NCB SMK + Distres NCB SMK + Distres napas NCB SMK + Distres napas NCB SMK + Distres napas ec NCB SMK + Distres napas
pneumonia + Curiga massa paru napas ec pneumonia + ec pneumonia + paralisis ec pneumonia + paralisis pneumonia + paralisis ec pneumonia + paralisis
kanan Curiga massa paru kanan diafragma desktra + diafragma desktra ec parese diafragma dekstra ec parese diafragma desktra ec
persisten foramen ovale nervus phrenicus + persisten nervus phrenicus + persisten parese nervus phrenicus +
foramen ovale foramen ovale persistent foramen
ovale+sepsis
neonatorum+neonatal
seizure ec suspek infeksi
SSP dd/ meningitis

P  Support Oksigen BCPAP PEEP  Intubasi dengan ETT 4  support PSIMV PIP 18 /  support PSIMV PIP 18 /  support PSIMV PIP 16 /  support PSIMV PIP
7 FiO2 40%O2 kedalaman 10 cm, PEEP 6 FiO2 60% I:E PEEP 6 FiO2 60% I:E PEEP 6 FiO2 40% I:E 15 / PEEP 6 FiO2
 IVFD D101/5 NS + Ca support PSIMV PIP 16 1:2 RR setting 50x/m Ti 1:2 RR setting 50x/m Ti 1:2 RR setting 50x/m Ti 50% I:E 1:2 RR
Glukonas 10% 30 ml + Fosfat / PEEP 6 FiO2 50% I:E 0.42 detik 0.42 detik 0.42 detik setting 50x/m Ti 0.42
6 ml + Kcl 6 ml kec 5.4 ml/jam 1:2 RR setting 50x/m  IVFD D101/5 NS + Ca  IVFD D101/5 NS + Ca  IVFD D101/5 NS + Ca detik
 Aminosteril 6% kec 5 ml/ jam Ti Glukonas 10% 30 ml + Glukonas 10% 30 ml + Glukonas 10% 30 ml +  IVFD D101/5 NS +
 Meropenem 60 mg per 8 jam 0.42 detik Fosfat 6 ml + Kcl 6 ml Fosfat 6 ml + Kcl 6 ml Fosfat 6 ml + Kcl 6 ml Ca Glukonas 10% 30
IV(1) kec 5.4 ml/jam kec 12 ml/jam kec 12 ml/jam ml + Fosfat 6 ml +
 ASI/PASI 8x30 ml per OGT  Aminosteril 6% kec 5  Aminosteril 6% kec 6.3  Aminosteril 6% kec 6.3 Kcl 6 ml kec 12
ml/ jam ml/ jam ml/ jam ml/jam
 Meropenem 60 mg per  Meropenem 60 mg per 8  Meropenem 60 mg per 8  Aminosteril 6% kec
8 jam IV(6) jam IV(10) jam IV(17) 6.3 ml/ jam
 ASI/PASI 8x30 ml per  ASI/PASI 8x30 ml per  ASI/PASI 8x30 ml per  Meropenem 60 mg per
OGT OGT OGT 8 jam IV(24)
 Metronidazol 2x60
mg iv (H8)

1
 Albumin 25% 12 ml
salama 3 hari
 Loading Fenobarbital
80 mg dalam Nacl
0.9% 20 ml
(20mg/kgbb) ,
selanjutnya
maintenance 2x12 mg
 ASI/PASI 8x30 ml per
OGT
 Rencana trakeostomi

6 Desember 2021 sore (perawatan hari 14 Desember 2021 17 Desember 2021 22 Desember 2021
ke-24) (perawatan hari ke- (perawatan hari ke-35) (perawatan hari ke-40)
32)
S Sesak ada, terpasang trakeostomi terpasang trakeostomi terpasang trakeostomi Sesak napas masih ada
dengan support ventilator, dengan support ventilator, terpasang trakeostomi
belum dapat weaning belum dapat weaning dengan support ventilator,
kejang masih ada belum dapat weaning
O KU Sensorium : E4M6VT, Sensorium : E4M6VT, Nadi Sensorium : E4M6VT, Nadi Sensorium : E4M6VT, Nadi
Nadi 146x/menit( isi dan 142x/menit( isi dan tegangan 144x/menit( isi dan tegangan 152x/menit( isi dan tegangan
tegangan cukup ) Laju cukup ) Laju napas cukup ) Laju napas cukup ) Laju napas
napas 58x/menit 50x/menit Temperatur 36.5 54x/menit Temperatur 36.5 58x/menit Temperatur 36.5
Temperatur 36.5 ºC( ºC( aksilla), SpO2 95% ºC( aksilla), SpO2 95% ºC( aksilla), SpO2 95%
aksilla), SpO2 95%

1
Kepala Normosefali, pupil bulat Normosefali, pupil bulat Normosefali, pupil bulat Normosefali, pupil bulat
isokor Ø 3mm, refleks isokor Ø 3mm, refleks isokor Ø 3mm, refleks isokor Ø 3mm, refleks
cahaya +/+ normal , cahaya +/+ normal , cahaya +/+ normal , cahaya +/+ normal ,
konjungtiva anemis (-), konjungtiva anemis (-), konjungtiva anemis (-), konjungtiva anemis (-),
napas cuping hidung (+), napas cuping hidung (+), napas cuping hidung (-), napas cuping hidung (-),
Terpasang trakeostomi
Thorax Asimetris, retraksi tidak Asimetris, retraksi tidak ada Asimetris, retraksi tidak ada Asimetris, retraksi tidak ada
ada Pulmo : vesikuler kanan dan Pulmo : vesikuler kanan dan Pulmo : vesikuler kanan dan
Pulmo : vesikuler kanan kiri normal, ronkhi (-), kiri normal, ronkhi (-), kiri normal, ronkhi (-),
dan kiri normal, ronkhi (- wheezing(-) wheezing(-) wheezing(-)
), wheezing(-) Cor: Bunyi jantung I dan II Cor: Bunyi jantung I dan II Cor: Bunyi jantung I dan II
Cor: Bunyi jantung I dan normal, murmur (-), gallop normal, murmur (-), gallop normal, murmur (-), gallop
II normal, murmur (-), (-) (-) (-)
gallop (-)
Abdom Datar, lemas, bising usus Datar, lemas, bising usus Datar, lemas, bising usus (+) Datar, lemas, bising usus
en (+) normal, hepar tidak (+) normal, hepar tidak normal, hepar tidak teraba, (+) normal, hepar tidak
teraba, lien tak teraba, teraba, lien tak teraba, lien tak teraba, bising usus teraba, lien tak teraba,
bising usus (+) normal bising usus (+) normal bising usus
(+) normal (+) normal
Ekstre Akral hangat (+), Akral hangat (+), CRT<3” Akral hangat (+), CRT<3” Akral hangat (+), CRT<3”
mitas CRT<3” detik detik detik detik
Hasil - Konsul IPT: Konsul Neuropediatri Hasil usg toraks (19/12/21) :
laborato Kultur seksret tenggorok Kesan : Infeksi SSP belum paralisis diafragma desktra
rium/ (11/12/21) : dapat disingkirkan ec parese nervus phrenicus
Konsul Kuman : Pseudomonas Saran : Lumbal pungsi, usg
aeruginosa trannfontanella, Kepra Hasil usg kepala (19/12/21) :
Sensitifitas : Aztreonam 2x3.75 mg ventrikulomegali
Intermediate :
Ceftazidime Resisten :
Konsul Respirologi

1
Ciprofloxacin, gentamisin, Kesan : pneumonia + TB
tigesiklin, amikasin, paru belum dapat
piperacillin/tazobactam, disingkirkan
cefazoline, cefepime, Saran :
meropenem - Explore TB
- CT scan toraks kontras
Kesan : Ventilator acquired untuk evaluasi gambaran
pneumonia opaque pada basal kanan
Saran : Aztreonam paru
3x150 mg

A NCB SMK + pneumonia + NCB SMK + pneumonia + NCB SMK + Ventilator NCB SMK + Ventilator
paralisis diafragma desktra ec paralisis diafragma desktra acquired pneumonia + acquired pneumonia +
parese nervus phrenicus + ec parese nervus phrenicus paralisis diafragma desktra paralisis diafragma desktra
persistent foramen ovale+sepsis + persistent foramen ec parese nervus phrenicus + ec parese nervus phrenicus
neonatorum+neonatal seizure ec ovale+sepsis persistent foramen + persistent foramen
suspek infeksi SSP dd/ meningitis neonatorum+neonatal ovale+sepsis ovale+sepsis
+ post trakeostomi ai mechanical seizure ec suspek infeksi neonatorum+neonatal neonatorum+neonatal
ventilator dependent SSP dd/ meningitis + post seizure ec suspek infeksi seizure ec suspek infeksi
trakeostomi ai mechanical SSP dd/ meningitis + post SSP dd/ meningitis + post
ventilator dependent trakeostomi ai mechanical trakeostomi ai mechanical
ventilator dependent ventilator dependent

P Instruksi dari divisi THT-KL  support PSIMV PIP 16 /  support PSIMV PIP 15 /  support PSIMV PIP 15 /
Perawatan Trakeostomi: PEEP 6 FiO2 45% I:E PEEP 5 FiO2 60% I:E PEEP 5 FiO2 60% I:E
- Ganti kassa setiap 12 jam 1:2 RR setting 50x/m Ti 1:2 RR setting 50x/m Ti 1:2 RR setting 40x/m Ti
- Ganti tali leher setiap 24 jam 0.40 detik 0.40 detik 050 detik
- Suction berkala  IVFD D101/5 NS + Ca  IVFD D101/5 NS + Ca  IVFD D101/5 NS + Ca
- Nebulisasi dengan Nacl 0.9% 3 Glukonas 10% 30 ml + Glukonas 10% 30 ml + Glukonas 10% 30 ml +
ml setiap 6 jam

1
Fosfat 6 ml + Kcl 6 ml Fosfat 6 ml + Kcl 6 ml Fosfat 6 ml + Kcl 6 ml
kec 12 ml/jam kec 12 ml/jam kec 12 ml/jam
 Aminosteril 6% kec 6.3  Amikasin 3x35 mg IV  Amikasin 3x35 mg IV
ml/ jam (H8) (H13)
 DART Regimen (H3),  Flukonazol 1x50 mg IV  Flukonazol 1x50 mg IV
dexamethasone 2x0.32 (H8) (H13)
mg IV  Ceftazidime 3x210 mg  Ceftazidime 3x210 mg
 Amikasin 3x35 mg IV IV (H2) IV (H7)
(H6)  DART Regimen (H5),  DART Regimen (H10),
 Flukonazol 1x50 mg IV dexamethasone 2x0.32 dexamethasone 2x0.32
(H6) mg IV mg IV
 Metronidazol 2x60 mg  Metronidazol 2x60 mg  Fenobarbital 12 mg
iv iv (H19) setiap 12 jam iv
 Fenobarbital 12 mg  Fenobarbital 12 mg  Kepra 2x37.5 mg PO
setiap 12 jam iv setiap 12 jam iv (H5)
 ASI/PASI 8x30 ml per  ASI/PASI 8x30 ml per  ASI/PASI 8x30 ml per
OGT OGT OGT
 Tindakan LP  belum
berhasil

1
VIII. DAFTAR MASALAH
1. Distres napas ec pneumonia
2. Paralisis diafragma ec parese nervus phrenicus
3. Post trakeostomi
4. Ventilator dependent
5. Sepsis Neonatorum
6. Neonatal seizure ec Suspek Meningitis

IX. DIAGNOSIS KERJA


Ventilator acquired pneumonia + paralisis diafragma desktra ec parese
nervus phrenicus + persistent foramen ovale+sepsis neonatorum+neonatal
seizure ec suspek infeksi SSP dd/ meningitis + post trakeostomi ai
mechanical ventilator dependent.

X. TATALAKSANA LANJUTAN
 Tunjangan ventilasi dan oksigenasi
o Ventilator modus PSIMV PEEP 5 PIP 15 FiO2 40% RR setting
40 x/mnt, waktu inspirasi 0,5 detik, flow triger 0.5 tercapai VTE
6-8 ml/kgBB SpO2 95-96% per trakeostomi
 Tunjangan nutrisi dan cairan
o IVFD D101/5 NS + Ca Glukonas 10% 30 ml + Fosfat 6 ml + Kcl
6 ml kec 12 ml/jam
o ASI/PASI 8x30 ml per OGT
 Tunjangan medikamentosa
o Flukonazol 1x50 mg IV
o Aztreonam 3x130 mg IV
o Fenobarbital 2x12 mg
o Levitiracetam 2x37.5 mg
o Nebulisasi Nacl 3 ml tiap 12 jam
Fisioterapi dada berkala

2
Foto Klinis Pasien

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Pleksus brakialis berasal dari rami ventral C5-T1 yang terdiri dari serabut-serabut
saraf yang terjalin satu sama lain membentuk persarafan ekstremitas atas. Rami (roots)
bergabung membentuk trunkus superior (C5 dan C6), trunkus inferior (C7) dan trunkus
medialis (C8 dan T1). Setiap trunkus akan bercabang membentuk dua divisi yaitu divisi
anterior dan divisi posterior yang akan terbagi lagi membentuk korda lateralis, posterior,
dan medialis. Korda posterior memanjang hingga ke tangan membentuk nervus radialis;
korda medialis berakhir di nervus ulnaris; dan nervus medianus terbentuk dari korda
medialis dan sebagian korda lateralis. Saraf-saraf yang lebih kecil berasal dari beberapa
level pleksus yaitu nervus dorsalis scapulae yang mempersarafi rhomboideus berasal dari
ramus ventral C5, nervus thoracicus longus yang berasal dari rami C5-C7, nervus
suprascapularis yang berasal dari trunkus superior, nervus musculocutaneus berasal dari
korda lateralis, dan nervus aksilaris berasal dari korda posterior bersama dengan nervus
torakodorsalis.4

Gambar 1. Anatomi Pleksus Brakialis4

Bagian intraspinal akar pleksus brakialis berjalan secara oblik dari atas ke bawah.
C5, C6, dan C7 disokong oleh ligamen radikular transversus; sedangkan C8 dan T1 tidak
2
disokong oleh ligamen tersebut. Cabang proksimal melewati rami primer ventral menuju
nervus phrenicus (C5), ke nervus serratus anterior (C5, C6, dan C7), dan ke otot scalene
(C5, C6). Susunan anatomis ini memberikan proteksi terhadap gaya traksi pada akar
pleksus brakialis bagian atas. Namun, terdapat beberapa area yang berpotensi mengalami
tethering atau kompresi yaitu di batas posterior otot scalene, antara accessory rib atau
first thoracic rib dan klavikula. Nervus suprascapularis dan sirkumfleksus lewat secara
tajam arah lateral dan posterior aksis utama; begitu pula nervus musulocutanous dan
radialis tetapi dengan sudut yang lebih besar. Nervus-nervus ini rentan terhadap ruptur
saat terjadi lesi tarikan pada pleksus infraklavikular.4,5
Bagian ekstraspinal pleksus brakialis kaya akan cabang dari arteri subclavian
dan arterivertebralis. Arteri ini mengalami kerusakan pada luka tembak dan lebih parah
pada cedera traksi, serta thrombosis pada arteri subclavian dan aksilaris dapat terjadi
akibat komplikasi dari radiasi. Arteri vertebralis melewati akar pleksus brakialis bagian
anterior terutama yang dekat dengan C5, C6, dan C7, yang bersambungan dengan arteri
radialis. Perdarahan pada area ini dapat terjadi secara massif; bahkan memerlukan
trakeostomi akibat dari kompresi oleh perdarahan pembuluh darah radikular setelah
terjadinya avulsi pada C7.4,5

2.2 Fisiologi
Bayi baru lahir berbeda dengan orang dewasa. Saat lahir sudut bukaan superior
adalah horizontal, yaitu vertebra toraks pertama dan batas atas manubrium sterni berada
pada tingkat yang sama. Dengan pertumbuhan, manubrium sterni turun beberapa
sentimeter di bawah vertebra toraks pertama. Penurunan ini tidak dimulai sampai bayi
berusia 6 bulan dan tidak lengkap sampai usia 10 tahun. Pada bayi busur kosta datar dan
tidak bertambah besar dan melengkung dalam beberapa bulan pertama, kemudian
meningkat dengan cepat setelah 6 bulan untuk mencapai bentuk normal pada 2 tahun.
Fenomena ini mendikte bahwa diafragma adalah kekuatan motif vital untuk respirasi
spontan pada bayi.5

2.3 Definisi
Cedera pada saraf phrenikus adalah kondisi yang jarang tetapi serius pada
neonatus, biasanya mengakibatkan kelumpuhan dan elevasi (eventration) diafragma. Lesi
2
saraf

2
phrenikus disebabkan oleh peregangan berlebihan saraf servikal karena hiperekstensi atau
memutar dan torsi kepala dan leher selama persalinan. Oleh karena itu, kelumpuhan
diafragma harus dicurigai pada semua bayi baru lahir dengan gejala pernapasan yang
tidak dapat dijelaskan terjadi setelah persalinan yang sulit atau traumatik.6

Gambar 2. Gambaran bayi selama persalinan pervaginam sebelum fraksi lateral kebawah dari
kepala dan leher untuk mengeluatkan bahu kanan. Sisi dimana nervus phrenicus dapat meregang
dan cedera yang ditunjukkan dengan panah4

2.4 Epidemiologi
Insiden yang tepat dari cedera saraf phrenikus di bayi tidak didokumentasikan
dengan baik. Insiden phrenikus perinatal cedera saraf diperkirakan pada 1:15.000
kelahiran hidup, dan kematian diperkirakan 10-15%. Ada kemungkinan bahwa tidak
semua kasus cedera saraf phrenikus telah diidentifikasi. Kondisi ini mungkin tidak
dikenali ketika bayi lahir, sehingga insidennya tampak jarang terjadi.7

2.5 Etiologi
Terdapat beberapa faktor risiko yang berperan dalam meningkatkan faktor risiko
trauma lahir, faktor ibu di antaranya yaitu: (1) Faktor yang berhubungan dengan akses
melahirkan yang sempit misalnya primipara, malformasi,multipara, dan kondisi panggul
yang sempit; (2) Faktor dari keadaan bayi misalnya terjadi diskrepansi besar dan
kaitannya dengan posisi bayi semisal anomali fetus, mikrosefali, makrosomia, disproporsi
sefalopelvik, presentasi abnormal, dan distosia bahu; terjadinya partus presipitatus atau

2
prematur; (3) Faktor yang berkaitan dengan tindakan persalinan seperti tindakan versi-
ekstraksi, pemakaian vakum dan forsep.6,7
Cedera saraf phrenikus perinatal sering dikaitkan dengan persalinan presentasi
bokong dan distosia bahu, ketika traksi dan peregangan berlebihan dari akar saraf servikal
ke-3 hingga ke-5 mengakibatkan cedera atau laserasi saraf phrenikus, biasanya secara
unilateral. Salah satu etiologi umum lain cedera saraf phrenikus adalah operasi, terutama
operasi toraks dan jantung. Nervus phrenikus kiri turun ke anterior antara perikardium dan
pleura mediastinum. Saraf phrenikus juga dapat rusak akibat trauma tumpul atau tembus,
penyakit metabolik seperti diabetes, infeksi seperti penyakit Lyme dan herpes zoster,
invasi langsung oleh tumor, penyakit saraf seperti spondylosis serviks dan multipel
sklerosis, miopati (yaitu, distrofi otot) dan penyakit imunologis (misalnya, sindrom
Guillain-Barre). Cedera saraf phrenikus dapat muncul sebagai disfungsi diafragma,
kelumpuhan diafragma unilateral, atau kelumpuhan diafragma bilateral. Salah satu
penyebab paling sering kelumpuhan diafragma unilateral adalah iatrogenik. Pada
kelumpuhan diafragma bilateral, salah satu penyebab paling umum adalah penyakit
neuron motorik, termasuk amyotrophic lateral sclerosis dan post-polio syndrome.1,8

2.6 Patofisiologi
Saraf phrenikus mempersarafi satu-satunya persarafan motorik ke diafragma;
dengan demikian, cedera regangan selama persalinan dapat menyebabkan paralisis
diafragma yang menyebabkan penurunan kapasitas ventilasi, penonjolan eventrasi, atau
insufisiensi pernapasan.6 Dalam keadaan seperti ini, elemen otot dari diafragma awalnya
normal meskipun bergerak secara paradoks. Ini adalah gerakan paradoks dari diafragma
lumpuh yang menyebabkan disfungsi pernapasan dan posisi yang lebih tinggi dapat
menjadi predisposisi ke volvulus lambung. Kelumpuhan saraf phrenikus menyebabkan
gangguan pernapasan melalui dua mekanisme. Pertama, gangguan kontraksi diafragma
kaudal yang menyebabkan perubahan besar pada volume toraks, membebani otot
interkostal dan diafragma kontralateral. Kontraksi yang terkompensasi menghasilkan
pernapasan paradoks dan kelelahan otot-otot pernapasan. Ini juga berkembang menjadi
masalah gizi karena peningkatan pengeluaran energi dari pernapasan.7,8
Kedua, peningkatan diafragma juga menyebabkan atelektasis atau ketidaksesuaian

2
ventilasi-perfusi, yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi pernapasan dan
hipoksia relatif saat bergerak. Secara khusus, kelumpuhan saraf phrenikus pada bayi
sering menyebabkan gagal napas yang parah karena cadangan fungsi pernapasan yang
relatif rendah dan ketergantungan yang tinggi pada pernapasan abdominal.8

2.7 Diagnosis Banding


Pada bayi yang jarang tanpa disertai Erb palsy, kelumpuhan diafragma mungkin
merupakan temuan yang terisolasi dan berhubungan dengan hipoplasia otot diafragma.
Selain itu, beberapa gangguan neuromuskular dapat muncul saat lahir dengan kelumpuhan
diafragma unilateral atau bilateral, misalnya, sindrom miastenia kongenital, distrofi
miotonik kongenital, distrofi otot kongenital, miopati kongenital (miopati nemalin atau
miotubular), dan sindrom atrofi otot tulang belakang dengan gangguan pernapasan
(syndrome of spinal muscular atrophy with respiratory distress=SMARD). Gangguan ini
disertai oleh tanda-tanda lain dari penyakit neuromuskular, terutama hipotonia umum dan
kelemahan. Di pusat medis yang melakukan sejumlah besar operasi jantung besar pada
bayi baru lahir, kelumpuhan diafragma sekunder akibat cedera saraf phrenikus dapat
ditemukan tanpa adanya cedera pleksus brakialis.

2.8 Diagnosis
2.8.1 Anamnesis
Anamnesis diarahkan tehadap faktor risiko persalinan yang menyebabkan
trauma pada bayi baru lahir.
2.8.2 Pemeriksaan Fisis
Pada jam-jam pertama setelah lahir, bayi mengalami kesulitan bernapas, sering
dengan takipnea. Terjadinya sianosis dengan kesulitan bernapas sering meningkatkan
kemungkinan penyakit jantung bawaan atau primer penyakit paru-paru. Selama
beberapa hari berikutnya, dengan terapi oksigen dan berbagai tingkat dukungan
ventilasi, kondisi mungkin meningkat atau setidaknya menstabilkan. Hal ini yang kerap
membuat diagnosis ini tidak mudah diidentifikasi. Namun pada kondisi cedera saraf
phrenicus yang parah menyebabkan paralisis diafragma yang berat tentu saja akan
menampakkan tanda gangguan pernapasan sejak awal lahir bahkan hingga gagal napas.

2
Kelumpuhan diafragma biasanya muncul sebagai gangguan pernapasan atau kesulitan
dalam menyapih dari ventilator. Dengan pasien dalam posisi dekubitus lateral dan sisi
lumpuh menghadap ke atas, penekanan gerakan epigastrium paradoksikal inspirasi ke
dalam ipsilateral ke hemidiafragma yang lumpuh dapat terlihat.4,9

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang


2.8.3.1 Rontgen Toraks
Gambaran hemidiafragma meningkat terlihat pada rontgen dada.9
2.8.3.2 Ultrasonografi
Ultrasound sangat ideal sebagai tes diagnostik untuk kondisi ini karena
modalitasnya non-invasif, tidak menimbulkan risiko radiasi ion, biaya rendah dan
dapat dilakukan di samping tempat tidur. Ini sangat ideal untuk pasien kritis. USG
lebih sering digunakan untuk mengevaluasi cedera saraf phrenikus karena
kemampuannya untuk mengevaluasi fungsi dan struktur diafragma.
Ultrasonografi diafragma dapat membantu dokter mengidentifikasi penyakit
yang disebabkan oleh cedera saraf phrenikus termasuk kelumpuhan diafragma dan
disfungsi diafragma. USG kadang-kadang dapat mengidentifikasi etiologi di balik
penyakit dan memberikan data untuk menentukan prognosis. Ultrasonografi diafragma
juga berguna dalam penilaian ventilasi mekanis yang berkepanjangan dan penilaian
kegagalan penyapihan dari ventilasi mekanis. Modalitas ini juga dapat membantu
memilih pasien untuk operasi awal (yang dapat mengurangi lama rawat inap di unit
perawatan intensif dan pneumonia terkait ventilator).3 Pemindaian ultrasound
diafragma secara real-time menunjukkan penurunan dan perjalanan paradoks dari
diafragma hemi ipsilateral dan ekskursi normal dari sisi kontralateral. 3,8
2.8.3.3 Potensial Aksi Diafragma
Mengukur potensial aksi diafragma (DAPs) setelah stimulasi transkutan
langsung dari saraf phrenikus dapat berperan dalam menentukan apakah pemulihan
spontan fungsi diafragma, karena dapat membedakan antara latensi yang
berkepanjangan dari pemulihan saraf phrenikus (memar) dan tidak adanya sinyal
(laserasi). Studi elektrodiagnostik (EDS) adalah alat tambahan dan bantuan untuk
melokalisasi dan memprediksi hasil dari kelumpuhan saraf phrenicus.3,8

2
2.8.3.4 Fluroskopi
Dalam kasus yang dicurigai paralisis diafragma pemeriksaan fluoroskopi
dijadikan sebagai diagnosis baku emas. Pemeriksaan ini menunjukkan peningkatan
hemidiafragma dan gerakan paradoksal dari sisi yang terkena dengan pernapasan.7

2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kelumpuhan diafragma akibat cedera saraf phrenikus masih
kontroversial. Ada tiga pilihan yang dapat dikerjakan:10,11
1) Plikasi diafragma segera untuk mengurangi kebutuhan ventilasi mekanis, durasi rawat
inap dan infeksi paru
2) Plikasi diafragma setelah 2-4 minggu, yang merupakan waktu yang biasa untuk
pemulihan spontan
3) Konservatif
Pendekatan nonoperatif menggunakan ventilasi mekanis berkepanjangan, karena
perbaikan dapat terjadi hingga 2 bulan sehingga menghindari operasi atau komplikasi
pasca operasi.

Indikasi plikasi disebutkan bahwa jika terjadi kegagalan untuk menyapih dari
dukungan ventilasi atau gangguan pernapasan persisten yang serius. Waktu yang tepat
dilakukannya plikasi harus dilakukan masih kontroversial. Meskipun beberapa
menyarankan manajemen konservatif selama enam minggu atau lebih untuk mengevaluasi
apakah pemulihan spontan terjadi, namun ada juga yang menyarankan untuk melakukan
plikasi sesegera mungkin. Pembedahan awal diperlukan untuk mendapatkan resolusi
lengkap dari kegagalan pernapasan dan untuk mendapatkan ruang yang cukup untuk
pengembangan paru. Penelitian terbaru oleh Shiohama dkk bahwa hilangnya gerakan
diafragma yang serius pada evaluasi awal menunjukkan perlunya plikasi dini, tidak
memandang seberapa berat disfungsi pernapasan. Jadi, dalam setiap kasus yang
menunjukkan pemulihan tidak lengkap dari kelumpuhan saraf phrenikus setelah lahir,
melanjutkan ke intervensi bedah seperti plikasi video assissted thoracoscopy (VATS).
Pendekatan dengan VATS ini tampaknya kurang invasif, aman, dan efektif daripada
pendekatan torakotomi klasik untuk bayi dengan penyakit paru dan toraks. Meskipun

2
beberapa laporan telah mengusulkan efektifitas terapeutiknya, aplikasi klinis untuk
kelumpuhan saraf phrenikus masih tetap terbatas. Dalam peneitian Shiohama dkk, kedua
kasus berhasil dioperasi menggunakan pendekatan ini masing-masing pada 2 bulan dan 15
bulan. Oleh karena itu, terapi kurang invasif ini harus diterapkan pada pasien dengan
kelumpuhan saraf phrenikus yang berhubungan dengan trauma lahir. 8,12 Para peneliti telah
merekomendasikan bahwa pasien dengan gejala harus segera dioperasi, dengan resolusi
dari gangguan pernapasan. Risiko anestesi dan torakotomi harus dipertimbangkan bersama
dengan morbiditas pernapasan yang signifikan terkait dengan pilihan menunggu
pemulihan spontan fungsi diafragma.7,12,13

2.10 Prognosis
Perjalanan dari kondisi bayi dengan kelumpuhan diafragma tipikal yang
disebabkan cedera saraf phrenikus bergantung pada tingkat keparahan cedera tetapi
terutama pada kualitas perawatan suportif. Angka kematian untuk lesi unilateral yang
umum pada seri komposit sekitar 10% sampai 15%. Namun, sebagian besar bayi
sembuh, biasanya dalam 6 sampai 12 bulan pertama kehidupan. Pemulihan klinis dapat
terjadi meskipun ada kelemahan yang cukup signifikan yang ditunjukkan pada gambaran
radiografi. Luaran yang lebih buruk diperkirakan pada sejumlah kecil bayi angka
kematian bayi dengan paralisis diafragma bilateral mendekati 50% dengan dukungan
ventilasi berkepanjangan. Namun, kemajuan dalam manajemen meningkatkan luaran.4,8,13

3
ANALISIS KASUS

Seorang bayi perempuan yang saat ini berusia 2 bulan, beralamat dalam kota, saat usia 10
hari datang ke IGD RSMH dengan keluhan sesak napas.
Berdasarkan anamnesis didapatkan bayi lahir dari ibu G1P0A0 hamil cukup bulan + KPD
4 jam lahir dengan persalinan sectio caesarian. Riwayat ibu demam, batuk, dan pilek saat
melahirkan disangkal. Riwayat darah tinggi dan kencing manis disangkal. Saat lahir bayi
langsung menangis, sekitar 30 menit kemudian anak tampak merintih. Dari keterangan rujukan
diperoleh infromasi apgar score bayi 5/8 dan berat bayi lahir 3070 gram. Bayi dirawat di RS
swasta selama 10 hari dan dilakukan rontgen toraks dengan curiga adanya massa paru kanan.
Pasien telah mendapatkan pengobatan ampisilin 2x135 mg dan ceftazidim 2x135 mg selama
perawatan. Pasien dirujuk untuk perawatan lebih lanjut ke RSMH. Pada saat di IGD RSMH, bayi
masih tampak sesak, biru tidak ada. Keluhan demam tidak ada. Pasien lalu dirawat ke perawatan
NICU untuk support oksigen dengan alat bantu CPAP.
Pada pemeriksaan fisis, diperoleh peningkatan frekuensi napas, inspeksi toraks terdapat
dinding toraks yang asimetri dengan suara vesikuler pada kedua paru normal. Pada pemeriksaan
penunjang, dilakukan ultrasonografi toraks bedside ditemukan adanya diafragma kanan yang
tidak bergerak atau tertinggal. Pasien saat ini telah dirawat kurang lebih hampir 2 bulan dengan
ketergantungan terhadap tunjangan ventilator yang sudah dalam waktu lama. Permasalahan
pasien telah ditelusur dan didiagnosis ada paralisis diafragma karena parese nervus phrenicus.
Berdasarkan literatur bahwa faktor risiko terjadinya paralisis diafragma dapat berkaitan
karena cedera lahir traumatik yang menyebabkan parese nervus phrenicus. Faktor yang
berhubungan dengan akses melahirkan yang sempit misalnya primipara, malformasi, multipara,
dan kondisi panggul yang sempit; (2) Faktor dari keadaan bayi misalnya terjadi diskrepansi besar
dan kaitannya dengan posisi bayi semisal anomali fetus, mikrosefali, makrosomia, disproporsi
sefalopelvik, presentasi abnormal, dan distosia bahu; terjadinya partus presipitatus atau prematur;
(3) Faktor yang berkaitan dengan tindakan persalinan seperti tindakan versi-ekstraksi, pemakaian
vakum dan forsep.6,7 Pada pasien ini, belum dapat ditentukan penyebab pasti dari risiko terjadinya
cedera lahir traumatik yang menyebabkan parese nervus phrenicus. Pemeriksaan fisik yang
diperoleh dapat ditemukan tanda gangguan pernapasan berupa distress napas karena kontraksi
yang terkompensasi menghasilkan pernapasan paradoks dan kelelahan otot-otot pernapasan.

3
Peningkatan diafragma juga menyebabkan atelektasis atau ketidaksesuaian ventilasi-perfusi,
yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi pernapasan dan hipoksia relatif saat
bergerak. Secara khusus, kelumpuhan saraf phrenikus pada bayi sering menyebabkan gagal napas
yang parah karena cadangan fungsi pernapasan yang relatif rendah dan ketergantungan yang
tinggi pada pernapasan abdominal.9
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk diagnosis parese nervus phrenicus meliputi
pemeriksaan rontgen toraks dengan gambaran hemidiafragma meningkat terlihat pada rontgen
dada. Pemerksaan ultrasonografi toraks sangat ideal untuk pasien kritis. USG lebih sering
digunakan untuk mengevaluasi cedera saraf phrenikus karena kemampuannya untuk
mengevaluasi fungsi dan struktur diafragma. Pemindaian ultrasound diafragma secara real-time
menunjukkan penurunan dan perjalanan paradoks dari diafragma hemi ipsilateral dan ekskursi
normal dari sisi kontralateral. Mengukur potensial aksi diafragma (DAPs) setelah stimulasi
transkutan langsung dari saraf phrenikus dapat berperan dalam menentukan apakah pemulihan
spontan fungsi diafragma, karena dapat membedakan antara latensi yang berkepanjangan dari
pemulihan saraf phrenikus (memar) dan tidak adanya sinyal (laserasi). Studi elektrodiagnostik
(EDS) adalah alat tambahan dan bantuan untuk melokalisasi dan memprediksi hasil dari
kelumpuhan saraf phrenicus. Pemeriksaan fluroskopi menjadi diagnosis baku emas untuk melihat

paralisis diafragma.3,6,8

Pasien telah direncanakan operasi pada perawatan hari ke 10, namun kondisi pasien
dinilai belum optimal, dengan kesan status ASA IV. Operasi ditunda dengan perbaikan kondisi
dengan alasan pasien penurunan kesadaran, ada ronki bilateral dengan kesan pneumonia.

3
Penatalaksanaan

3
kelumpuhan diafragma akibat cedera saraf phrenikus ada tiga pilihan meliputi: 1) Plikasi
diafragma segera untuk mengurangi kebutuhan ventilasi mekanis, durasi rawat inap dan infeksi
paru, 2) Plikasi diafragma setelah 2-4 minggu, yang merupakan waktu yang biasa untuk
pemulihan spontan, dan 3) Konservatif, pendekatan nonoperatif menggunakan ventilasi mekanis
berkepanjangan, karena perbaikan dapat terjadi hingga 2 bulan sehingga menghindari operasi
atau komplikasi pasca operasi. Indikasi plikasi disebutkan bahwa jika terjadi kegagalan untuk
menyapih dari dukungan ventilasi atau gangguan pernapasan persisten yang serius. Waktu yang
tepat dilakukannya plikasi harus dilakukan masih kontroversial. Meskipun beberapa
menyarankan manajemen konservatif selama enam minggu atau lebih untuk mengevaluasi
apakah pemulihan spontan terjadi, namun ada juga yang menyarankan untuk melakukan plikasi
sesegera mungkin. Pembedahan awal diperlukan untuk mendapatkan resolusi lengkap dari
kegagalan pernapasan dan untuk mendapatkan ruang yang cukup untuk pengembangan paru.10,11

Pada pasien ini telah mengalami komplikasi dengan adanya distress napas disebabkan
oleh pneumonia dan telah mengalami ketergantungan dengan tunjangan ventilator yang hampir
mencapai kurun waktu 2 bulan. Pasien juga telah didiagnosis bronchopulmonary dysplasia
(BPD) karena pasien masih sesak sejak hari awal kehidupan hingga saat ini. Bronchopulmonary
dysplasia adalah bentuk kelainan paru kronis pada neonatus yang mengikuti perjalanan utama
kegagalan pernapasan (misalnya, sindrom gangguan pernapasan [RDS], sindrom aspirasi
mekonium) pada hari-hari pertama kehidupan. Bronchopulmonary dysplasia didefinisikan
sebagai ketergantungan oksigen persisten hingga 28 hari kehidupan. Tingkat keparahan disfungsi
paru terkait BPD pada anak usia dini lebih akurat diprediksi oleh ketergantungan oksigen

3
pada usia pascamenstruasi

3
(PMA) 36 minggu, pada bayi <32 minggu usia kehamilan (GA) dan pada usia 56 hari pada bayi
dengan usia gestasi yang lebih tua. Klasifikasi BPD pada usia pascakelahiran lanjut ini menurut
jenis bantuan pernapasan yang diperlukan untuk mempertahankan saturasi oksigen arteri normal
(89%). Adapun klasifikasi meliputi (1). BPD ringan. Bayi yang telah disapih dari oksigen
tambahan apa pun. (2) BPD Sedang. Bayi yang terus membutuhkan oksigen hingga 30%. (3)
BPD berat. Bayi yang kebutuhannya melebihi 30% dan/atau membutuhkan tekanan jalan napas
positif atau ventilasi mekanis terus menerus.14
Bronchopulmonary dysplasia biasanya dicurigai pada bayi dengan penurunan fungsi paru
yang progresif dan idiopatik. Bayi yang mengalami BPD sering membutuhkan terapi oksigen
atau ventilasi mekanis setelah minggu pertama kehidupan. Kasus BPD yang parah biasanya
berhubungan dengan pertumbuhan yang terganggu, edema paru, dan jalan napas yang
hiperreaktif.14

3
Dari laporan kasus ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Apa kemungkinan penyebab parese nervus phrenicus pada pasien ini?
b. Bagaimana pemeriksaan sementara yang dapat dikerjakan pada kondisi pasien seperti ini?
c. Pemeriksaan apa saja ang dapat dilakukan untuk memastikan penyebab-penyebab parese
nervus phrenicus pada pasien ini?
d. Bagaimana pertimbangan tatalaksana pada pasien dengan parese nervus phrenicus?
e. Bagaimana penatalaksanaan lebih lanjut pada pada pasien yang tidsk mengalami perbaikan
spontan seperti ini?
f. Bagaimana persiapan tindakan bedah pada pasien ini?

3
DAFTAR PUSTAKA

1. Dubé BP, Dres M. Diaphragm Dysfunction: Diagnostic Approaches and Management


Strategies. J Clin Med. 2016;5(12)
2. Bowerson M, Nelson VS, Yang LJ. Diaphragmatic paralysis associated with neonatal
brachial plexus palsy. Pediatr Neurol 2010;42:234-6.
3. Stramrood C, Blok C, Zee D, Gerards J. Neonatal phrenic nerve injury due to traumatic
delivery. J. Perinat. Med. 2009;37:293-6
4. Volpe J. Volpe’s Neurology of the newborn. Edisi ke-6. Elsevier;2016
5. Avroy A, Fanaroff MB, Richard J, Martin MB, Neonatal Perinatal Medicine. Textbook of
Disease of Fetus and Infant. Vol 1. 8th ed. 2006; Pp: 475-6.
6. Rizeq Y dkk. Diaphragmatic paralysis after phrenic nerve injury in newborns.
J.jpedsurg.2019;10(38):1-5
7. Kacho M, Zahedpasha Y, Hadipoor A, dan Akbarian Z. Early Surgical Intervention for
Diaphragmatic Paralysis in a Neonate; Report of a Case and Literature Review. Iran J
Pediatr. 2011;21(1):116-20
8. Shiohama dkk. Phrenic nerve palsy associated with birth trauma – Case reports and a
literature review. Brain & Development. 2013;35:363-6.
9. Murty VSSY, Ram KD. Phrenic nerve palsy: a rare cause of respiratory distress in
newborn. J Pediatr Neurosci 2012 Sep;7(3):225–7.
10. Lemmer J, Stiller B, Heise G, Hu¨ bler, Alexi-Meskishvili V, Weng Y, et al.
Postoperative phrenic nerve palsy: early clinical implications and management. Intensive
Care Med. 2006;32:1227–33.
11. Garge SS, Passi GR, Ghanekar D. Early thoracoscopic plication of diaphragm in a
newborn with brachial plexus palsy and concurrent phrenic nerve palsy. J Indian Assoc
Pediatr Surg 2017;22:165–7.
12. Tsakiridis K, Visouli AN, Zarogoulidis P, et al. Early hemi-diaphragmatic plication
through a video assisted mini-thoracotomy in postcardiotomy phrenic nerve paresis. J
Thorac Dis 2012 Nov;4(Suppl. 1):56–68.
13. Shimizu M. Bilateral phrenic-nerve paralysis treated by thoracoscopic diaphragmatic
plication in a neonate. Pediatr Surg Int 2003;19:79–81.

3
14. Gomella TL, Cuningham D, dan Eyal F. Neonatology: Management, Procedures, On Call
Problems, Diseases and Drugs. Edisi ke-8. McGraw Hill;2015.

Anda mungkin juga menyukai