Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS KELOMPOK

STATUS EPILEPTIKUS EC HIDROCEPHALUS, S.SEPSIS

Pembimbing :

dr. Taufiqur Rahman, Sp.A.

Disusun Oleh :

Fidya Ayu Riyastivani

Carla Dora Calista

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya

penulis dapat menyelesaikan laporan kasus anak yang mengambil topik “ Status

Epileptikus ec Hidrochepalus, Suspect Sepsis”

Laporan ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik bagian Ilmu

Kesehatan Anak di RS Muhammadiyah Lamongan. Tidak lupa penulis ucapkan

terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan responsi

kasus ini, terutama kepada dr.Taufiqur Rahman, Sp.A selaku dokter pendamping

yang telah memberikan bimbingan kepada saya dalam penyusunan dan

penyempurnaan laporan kasus ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari

sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam bidang kedokteran

khususnya Bagian Ilmu Kesehatan Anak.

Lamongan, Juni 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................... 2

Daftar Isi............................................................................................... 3

BAB 1. Pendahuluan ............................................................................ 4

BAB 2. Laporan Kasus ........................................................................ 6

BAB 3. Pembahasan ............................................................................ 8

BAB 4. Kesimpulan ............................................................................. 10

Daftar Pustaka ...................................................................................... 11


BAB 1

PENDAHULUAN

Hidrosefalus merupakan suatu kondisi dimana meningkatnya tekanan

intrakranial akibat akumulasi cairan serebro spinalis (CSS) pada sistem ventrikel otak

karena tidak seimbangnya produksi, aliran, dan penyerapan cairan serebrospinal. Hal

ini dapat pula disebabkan oleh gangguan hidrodinamik CSS. ( Espay, 2010 )

Prevalensi hydrocephalus di Indonesia mencapai 10 permil pertahun, sumber

lain menyebutkan insiden hidrosefalus di Indonesia berkisar antara 0,2- 4 setiap 1000

kelahiran ( Maliawan, 2008). Insiden hydrosephalus sama pada wanita dan laki-laki,

kecuali pada Bickers-Adams syndrome, X-linked hydrocephalus yang bermanifestasi

pada laki-laki. Insiden hydrocephalus pda kelompok usia membentuk suatu kurva

bimodal dengan dua puncak. Satu puncak terjadi pada anak-anak yang berhubungan

dengan malformasi congenital. Puncak yang lain terjadi pada dewasa yang

berhubungan dengan normal pressure hydrocephalus ( Espay, 2010 )

Hidrosefalus diklasifikasikan menjadi 2 yaitu hidrosefalus obstruktif dan

hidrosefalus komunikan. Hidrosefalus obstruktif terjadi ketika terdapat sumbatan

aliiran CSS di dalam ventrikel sehingga CSS tidak dapat mencapai rongga sub

arachnoid. Sumbatan pada hidrocefalus obstruktif terjadi di foramen ventrikular,

biasanya disebabkan oleh massa intra ventrikular atau extra ventrikular. Hidrosefalus

komunikan terjadi apabaila masih didapatkan komunikasi antara ventrikel dan sub

arachnoid. Hidrosefalus komunikan disebabkan karena produksi berlebihan CSS (


jarang terjadi ), gangguan absorbsi CSS ( sering ), atau insufisiensi drainase vena (

jarang terjadi ) ( Sitorus, 2004 ).

Hidrosefalus dapat terjadi sejak lahir ( congenital hydrocephalus ) dan dapat

juga terjadi karena didapat di kemudian hari ( acquired hydrocephalus ). Congenital

hydrocephalus dapat disebabkan karena malformasi brainstem yang menyebabkan

stenosis aquaduct of Sylvius, Dandy-Walker malformation, Arnold-Chiari

malformation tipe 1 dan tipe 2, Agenesis of the foramen of Monro, Congenital

toxoplasmosis, Bickers-Adams syndrome. Acquired hydrocephalus pada bayi dan

anak-anak dapat disebabkan karena massa, hemorrhage, infeksi, peningkatan tekanan

sinus venous ( achondroplasia, craniostenoses ), iatrogenik, idiopatik. Acquired

hydrocephalus pada dewasa dapat disebabkan karena subarachnoid hemorrhage

(SAH), idiopatik, tumor, congenital aqueductal stenosis, meningitis ( Espay, 2010 )

Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk melaporkan dan membahas

laporan kasus bayi perempuan usia 1 bulan 28 hari dengan “ status epileptikus ec

hidrochepalus, suspect sepsis” dengan menitik beratkan terhadap kompetensi dokter

umum yaitu pada penegakan diagnois dan penatalaksanaan.


BAB 2

LAPORAN KASUS

Bayi F umur 1 bulan 28 hari rujukan dari RS ngimbang dengan diagnosis

kejang demam. Bayi datang ke RSML dengan berat aktual 4.5 kg dengan keluhan

kejang. Pasien kejang 1 hari saat perawatan di RS ngimbang. Kejang generalisata

selama kurang lebih 5 menit, lalu kejang kembali 2 kali berupa kejang parsial selama

5 menit. Saat di RSML pasien kejang di IGD 2 kali parsial selama 3 menit tapi tidak

disertai dengan demam. Suhu saat kejang 35.9 C. batuk + kadang – kadang, sesak -,

mual -, muntah-, demam + naik turun. Sebelumya pasien berobat ke spesialis anak

dengan keluhan demam naik turun selama 10 hari. Pasien dibawa ke speisalis anak

dan hasil lab normal. Pasien disarankan rawat jalan. Lalu pasien memutuskan untuk

rawat inap dan terjadi kejang saat rawat inap. Riwayat penyakit dahulu pasien tidak

pernah mengalami kejang sebelumnya. Riwayat penyakit dalam keluarga tidak ada

yang pernah mengalami kejang. Anak lahir di bidan, berat 3700 gr usia kehamilan

aterm dan langsung menangis kuat. Riwayat minum ASI eksklusif. Riwayat imunisasi

bayi diberikan imunisasi hepatitis B, polio, DPT.

Hasil dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak apatis dan

kesan gizi cukup. Pada pemeriksaan vital sign didapatkan: nadi 169x/menit,

respiratory rate 28x/menit, suhu tubuh 38.30C, dan SpO2 100% dengan oksigen

support. Pada pemeriksaan kepala dan leher, didapatkan lingkar kepala 40

(makrocephal), ubu-ubun menonjol, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspneu (-).

Reflek cahaya +/+ pupil bulat isokor Ф 3mm/3mm, pembesaran kelenjar KGB (-).
Pada pemeriksaan paru, didapatkan suara nafas yang vesikuler pada kedua lapang

paru. Terdapat rhonki positif kedua lapang paru, wheezing negative. Pada

pemeriksaan jantung tidak didapatkan S1 dan S2 tunggal dan tidak didapatkan

murmur dan gallop. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen flat simetris,

soepel, liver, lien, dan renal tidak teraba, meteorismus (-), dan bising usus (+) dalam

batas normal. Pada pemeriksaan akral teraba hangat, kering, merah.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil darah lengkap leukosit

24.9, Hs CRP 133.20, natrium serum 119, Hb 9.3, IT Ratio 0.18. Hasil foto Ct scan

didapatkan kesimpulan brain edema. Hodrocepalus. Hasil dari foto thorax didapatkan

kesimpulan pneumonia dan peningkatan gas usus.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan clue, Bayi F, Perempuan 1

bulan 28 hari 4,5 kg dengan keluhan kejang, demam naik turun 10 hari. KU

lemah.kesadaran apatis. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan lekosit 24.900 uL,

Hs CRP 133.20, natrium serum 119, Hb 9.3, IT Ratio 0.18. Hasil foto Ct scan

didapatkan kesimpulan brain edema. Hodrocepalus. Hasil dari foto thorax didapatkan

kesimpulan pneumonia dan peningkatan gas usus. Dapat ditegakkan diagnosis

hidrochepalus suspect sepsis.

Planning terapi diberikan O2 nasal 3 lpm, inf D 10 0.18 NS 250cc/3 jam,


lanjut Kaen 1B 500cc/24 jam. Inf Nacl 3% 140cc/24 jam. Inj ceftriaxon 2x250 mg,
inj santagesik 50 mg prn, ranitidin 2 x 5 mg, inj miloz 0,5 mg iv prn, inj kutoin 2 x 10
mg, transfusi PRC 1 kolf, sanmol drops 4 x 5 cc prn demam. Operasi VP shunt.untuk
penatalaksanaan hodrochepalus. Planning monitoring yang dilakukan adalah keadaan
umum pasien, tanda-tanda vital (nadi, respiratory rate, suhu tubuh).
BAB 3

PEMBAHASAN

Bayi F datang dengan keluhan demam, batuk kadang – kadang, kejang. Pasien

datang dengan keluhan tersebut memiliki diagnosis banding diantaranya :

1. Status epileptikus

SE adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode waktu tertentu atau

berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi

menurut ILAE tersebut adalah batasan lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab

itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30

menit atau lebih.

Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi:

1. Simtomatis: penyebab diketahui

a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma

kepala, perdarahan, atau stroke.

b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati hipoksik-iskemik

(EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak kongenital.

c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun (contohnya

vaskulitis)

d. Epilepsi

2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui

Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status

epileptikus:

1. Epilepsi
Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode status

epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat merupakan manifestasi

epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.

2. Pasien sakit kritis

Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi

SSP, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama post-operatif ), dan

ensefalopati hipertensi.

2. Sepsis

Sepsis biasa diartikan sebagai gejala sistematik infeksi oleh bakteri, virus, dan

jamur. The International Sepsis Definition Conferences (ISDC,2001), sepsis

adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome

(SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari

infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan, dan

akhirnya kematian.

Menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood Illnesses tahun

2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat bila

ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini:55

• Laju napas > 60 kali per menit

• Retraksi dada yang dalam

• Cuping hidung kembang kempis

• Merintih

• Ubun ubun besar membonjol


• Kejang

• Keluar pus dari telinga

• Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit

• Suhu >37,7°C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5°C (atau akral teraba dingin)

• Letargi atau tidak sadar

• Penurunan aktivitas /gerakan

• Tidak dapat minum

• Tidak dapat melekat pada payudara ibu

• Tidak mau menetek

Ini sesuai dengan teori bahwa pasien dengan sepsis mengalami hipertermia

>38 C, nadi > 160x/menit dan pada pasien ini terdapat peningkatan Hs CRP>

133.20. dan dari pemeriksaan penunjang foto thorak terdapat sumber infeksi dari

sepsis yaitu berupa bronkopnrumonia. Dari pemeriksaan CT scan terdapat

kesimpulan terdapat hydrocephalus.

Hidrosefalus diambil dari bahasa Yunani yaitu Hydro yang berarti air, dan

cephalus yang berarti kepala. Secara umum hidrosefalus dapat didefiniskan

sebagai suatu gangguan pembentukan, aliran, maupun penyerapan dari cairan

serebrospinal sehingga terjadi kelebihan cairan serebrospinal pada susunan saraf

pusat, kondisi ini juga dapat diartikan sebagai gangguan hidrodinamik cairan

serebrospinal.
Secara teoritis, terdapat tiga penyebab terjadinya hidrosefalus, yaitu:

1. Produksi likuor yang berlebihan. Kondisi ini merupakan penyebab paling jarang

dari kasus hidrosefalus, hampir semua keadaan ini disebabkan oleh adanya tumor

pleksus koroid (papiloma atau karsinoma), namun ada pula yang terjadi akibat dari

hipervitaminosis vitamin A.

2. Gangguan aliran likuor yang merupakan awal kebanyakan kasus hidrosefalus.

Kondisi ini merupakan akibat dari obstruksi atau tersumbatnya sirkulasi cairan

serebrospinalis yang dapat terjadi di ventrikel maupun vili arakhnoid. Secara umum

terdapat tiga penyebab terjadinya keadaan patologis ini, yaitu:

a. Malformasi yang menyebabkan penyempitan saluran likuor, misalnya stenosis

akuaduktus sylvii dan malformasi Arnold Chiari.

b. Lesi massa yang menyebabkan kompresi intrnsik maupun ekstrinsik saluran likuor,

misalnya tumor intraventrikel, tumor para ventrikel, kista arakhnoid, dan hematom.

c. Proses inflamasi dan gangguan lainnya seperti mukopolisakaridosis, termasuk

reaksi ependimal, fibrosis leptomeningeal, dan obliterasi vili arakhnoid.

3. Gangguan penyerapan cairan serebrospinal. Suatu kondisi seperti sindrom vena

cava dan trombosis sinus dapat mempengaruhi penyerapan cairan serebrospinal.

Kondisi jenis ini termasuk hidrosefalus tekanan normal atau pseudotumor serebri.

Dari penjelasan di atas maka hidrosefalus dapat diklasifikasikan dalam beberapa

sebutan diagnosis. Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi ventrikel,

sedangkan hidrosefalus eksterna menunjukkan adanya pelebaran rongga


subarakhnoid di atas permukaan korteks. Hidrosefalus komunikans adalah keadaan di

mana ada hubungan antara sistem ventrikel dengan rongga subarakhnoid otak dan

spinal, sedangkan hidrosefalus non-komunikans yaitu suatu keadaan dimana terdapat

blok dalam sistem ventrikel atau salurannya ke rongga subarakhnoid. Hidrosefalus

obstruktif adalah jenis yang paling banyak ditemui dimana aliran likuor mengalami

obstruksi.

Terdapat pula beberapa klasifikasi lain yang dilihat berdasarkan waktu onsetnya,

yaitu akut (beberapa hari), subakut (meninggi), dan kronis (berbulan-bulan). Terdapat

dua pembagian hidrosefalus berdasarkan gejalanya yaitu hidrosefalus simtomatik dan

hidrosefalus asimtomatik.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui tanda dan gejala klinis. Makrokrania

merupakan salah satu tanda dimana ukuran kepala lebih besar dari dua deviasi standar

di atas ukuran normal atau persentil 98 dari kelompok usianya. Hal ini disebabkan

oleh peningkatan tekanan intrakranial dan menyebabkan empat gejala hipertensi

intrakranial yaitu fontanel anterior yang sangat tegang (37%), sutura tampak atau

teraba melebar, kulit kepala licin, dan sunset phenomenon dimana kedua bola mata

berdiaviasi ke atas dan kelopak mata atas tertarik. Pada pasien didapatkan

makrochepali dari pemeriksaan fisik.

Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar

daripada bayi, gejala ini mencakup nyeri kepala, muntah, gangguan okulomotor, dan

gejala gangguan batang otak (bradikardia, aritmia respirasi). Gejala lainnya yaitu

spastisitas pada eksremitas inferior yang berlanjut menjadi gangguan berjalan dan

gangguan endokrin.

Penatalaksanaan untuk hidrochepalus dapat dilakukan operasi shunt. Sebagian

besar pasien memerlukan tindakan ini untuk membuat saluran baru antara aliran

likuor (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas drainase (seperti peritoneum, atrium

kanan, dan pleura). Komplikasi operasi ini dibagi menjadi tiga yaitu infeksi,

kegagalan mekanis, dan kegagalan fungsional. Tindakan ini menyebabkan infeksi

sebanyak >11% pada anak setelahnya dalam waktu 24 bulan yang dapat merusak

intelektual bahkan menyebabkan kematian

Metode Endoscopic third ventriculostomy (ETV) semakin sering digunakan di

masa sekarang dan merupakan terapi pilihan bagi hidrosefalus obstruktif serta
diindikasikan untuk kasus seperti stenosis akuaduktus, tumor ventrikel 3 posterior,

infark serebral, malformasi Dandy Walker, syringomyelia dengan atau tanpa

malformasi Arnold Chiari tipe 1, hematoma intraventrikel, myelomeningokel,

ensefalokel, tumor fossa posterior dan kraniosinostosis. ETV juga diindikasikan pada

kasus block shunt atau slit ventricle syndrome.

Kesuksesan ETV menurun pada kondisi hidrosefalus pasca perdarahan dan

pasca infeksi. Perencanaan operasi yang baik, pemeriksaan radiologis yang tepat,

serta keterampilan dokter bedah dan perawatan pasca operasi yang baik dapat

meningkatkan kesuksesan tindakan ini.

Pada anak dengan hidrosefalus obstruktif yang memiliki korteks serebral

intak, perkembangan yang adekuat dapat dicapai hanya dengan ETV, meskipun

pencapaian tersebut lebih lambat. Pada anak dengan perkembangan otak tidak

adekuat atau serebrum telah rusak oleh hidrosefalus maka perkembangan yang

optimal tidak dapat dicapai hanya dengan terapi ETV meskipun tekanan intrakranial

terkontrol.

Prognosis pada pasien hidrosefalus, kematian dapat terjadi akibat herniasi

tonsilar yang dapat menyebabkan penekanan pada batang otak dan terjadinya henti

nafas. Sedangkan ketergantungan pada shunt sebesar 75% dari kasus hidrosefalus

yang diterapi dan 50% pada anak dengan hidrosefalus komunikans.

Kejang atau status epileptikus pada pasien sesuai teori dapat disebabkan oleh

imbalance elektrolit yaitu hiponatremia, dari hydrocephalus yang dia menyebabkan

peningkatan intracranial sehingga mendesak dari korteks sehingga dapat


menyebabkan kejang, dan juga dapat dari sepsis yang menyebar ke organ otak yang

dapat menyebabkan anak kejang.

Patofisiologi Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk

membatasi penyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang

berlebihan dan atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif.

Neurotransmiter eksitasi utama tersebut adalah neurotran dan asetilkolin, sedangkan

neurotransmiter inhibisi adalah gamma-aminobutyric acid (GABA).


Keterangan:

Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2

mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.

Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan

yang sama

Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai

dosis yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya,

dan teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal

berdasarkan kelompok usia;

• 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)

• 5 mg (usia 1 – 5 tahun)

• 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)

• 10 mg (usia ≥ 10 tahun)

Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah

pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap

dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.

Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun

disesuaikan dengan kondisi rumah sakit

Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan

tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV

dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan.


Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus

Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu

reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat

dan GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem

jaringan neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang

dapat menyebabkan komplikasi sistemik.Proses kontraksi dan relaksasi otot yang

terjadi pada SE konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis,

bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme

anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf

otonom dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau aritmia).

Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan

katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan

berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak

terpenuhi akan memperberat kerusakanotak. Edema otak pun dapat terjadi akibat

proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak.

Komplikasi sekunder

Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah depresi napas

serta hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping

propofol yang harus diwaspadai adalah propofol infusion. syndrome yang ditandai

dengan rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta

asidosis metabolik. Pada sebagian anak, asam valproat dapat memicu ensefalopati

hepatik dan hiperamonia. Selain efek samping akibat obat antikonvulsan, efek

samping terkait perawatan intensif dan imobilisasi seperti emboli paru, trombosis
vena dalam, pneumonia, serta gangguan hemodinamik dan pernapasan harus

diperhatikan.

Prognosis

Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita deficit neurologis

permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang mengalami SE

akan mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus yang terjadi dalam

2 tahun pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda, ensefalopati progresif,

etiologi simtomatis remote, sindrom epilepsi.


BAB 4

KESIMPULAN

Setelah saya laporkan pasien Bayi F, perempuan, usia 1 bulan 28 hari dengan

berat badan actual 4.5 kg dari anamnesis diketahui pasien mengeluhkan kejang,

demam, dan batuk terkadang. Dari hasil pemeriksaan penunjang berupa foto thorak

didapatkan hasil bronkopneumonia dan CT scan dengan hasil terdapat hidrochepalus.

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat di tegakkan diagnosisstatus epileptikus

ec hidrochepalus, suspect sepsis. Karena dari itu pasien harus diberikan antibiotik

yang bertujuan untuk eliminasi kuman dan dilaukan operasi VP shunt untuk

penanganan hidrocephalus. Untuk itu berikan edukasi mengenai bagaimana cara

penularannya, penyebabnya dan pencegahannya.


DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai