Anda di halaman 1dari 10

PATOFISIOLOGI

HIPOKSIA ISKEMIK ENSEFALOPATI

Disusun oleh :
Satrio Putra Prawiro
1161050255
Pembimbing
dr. Mas Wisnu Wardhana, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD BEKASI
PERIODE 29 FEBRUARI 7 MEI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA

KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Pertama penulis mengucapkan puji dan syukur Penulis kepada Allah SWT atas rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Hipoksia
Iskemik Ensefalopati tepat pada waktunya. Adapun pembuatan makalah ini adalah untuk
melengkapi tugas di kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi Program
Studi Kedokteran Universitas Kristen Indonesia
Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing,
dr. Mas Wisnu Wardhana, Sp.A yang telah memberikan bimbingannya dalam proses
penyelesaian makalah ini dan dalam pelaksanaan kepaniteraan.
Demikian makalah ini dituliskan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya. Penulis memohon maaf apabila pada penulisan masih terdapat banyak
kekurangan. Untuk itu penulis menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan
kritik yang membangun dalam perbaikan makalah ini.

Bekasi, Maret 2016

Satrio Putra Prawiro

HIPOKSIA ISKEMIK ENSEFALOPATI


I.

DEFINISI
Hipoksia merupakan istilah yang menggambarkan turunnya konsentrasi oksigen
dalam darah arteri, dan iskemia menggambarkan penurunan aliran darah ke sel atau organ
yang menyebabkan insufisiensi fungsi pemeliharaan organ tersebut. Sedangkan
ensefalopati sendiri adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi dimana bayi
mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan pemeriksaan.
Ensefalopati hipoksik iskemik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya
kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak akut yang
disebabkan karena asfiksia. Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan penyebab penting
kerusakan permanen sel-sel pada susunan saraf pusat (SSP), yang berdampak pada
kematian atau kecacatan berupa palsi cerebral atau defisiensi mental. Sedangkan
ensefalopati sendiri adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi dimana bayi
mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan pemeriksaan.

II.

ETIOLOGI
Hipoksia pada fetus disebabkan oleh :
1. Oksigenase yang tidak adekuat dari darah maternal yang disebabkan hipoventilasi
selama proses pembiusan, CHD, gagal nafas, keracunan CO2.
2.

Tekanan darah ibu yang rendah karena hipotensi akibat dari anestesi spinal atau
tekanan uterus pada vena cava dan aorta.

3. Relaksasi

uterus

kurang

karena

pemberian

oksitosin

berlebihan

akan

menyebabkan tetani.
4. Plasenta terlepas dini.
5. Penekanan pada tali pusat atau lilitan tali pusat.
6. Vasokonstriksi pembuluh darah uterus karena kokain.
7. Insufisiensi plasenta karena toksemia dan post date

Setelah lahir, hipoksia dapat disebabkan oleh:


1. Anemia berat karena perdarahan atau penyakit hemolitik.
2. Renjatan akan menurunkan transport oksigen ke sel-sel penting disebabkan oleh
infeksi berat, kehilangan darah bermakna dan perdarahan intrakranial atau
adrenal.
3. Defisit saturasi oksigen arterial karena kegagalan pernafasan bermakna dengan
sebab defek serebral, narkosis atau cedera.
4. Kegagalan

III.

oksigenasi

karena

CHD

berat

atau

penyakit

paru.

PATOFISIOLOGI
Beberapa menit setelah fetus mengalami hipoksia total, terjadi bradikardia,
hipotensi, turunnya curah jantung dan gangguan metabolik seperti asidosis respiratorius.
Respon sistim sirkulasi pada fase awal dari fetus adalah peningkatan aliran pintas melalui
duktus venosus, duktus arteriosus dan foramen ovale, dengan tujuan memelihara perfusi
dari otak, jantung dan adrenal, hati, ginjal dan usus secara sementara.
Patologi hipoksia-iskemia tergantung organ yang terkena dan derajat berat-ringan
hipoksia. Pada fase awal terjadi kongesti, kebocoran cairan intravaskuler karena
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan pembengkakan sel endotel
merupakan tanda nekrosis koagulasi dan kematian sel. Kongesti dan petekie tampak pada
perikardium, pleura, timus, jantung, adrenal dan meningen. Hipoksia intrauterin yang
memanjang dapat menyebabkan Periventicular leukomalacia (PVL) dan hiperplasia otot
polos arteriole pada paru yang merupakan predesposisi untuk terjadi hipertensi pulmoner
pada bayi. Distres nafas yang ditandai dengan gasping, dapat terjadi akibat aspirasi bahan
asing dalam cairan amnion (misalnya mekonium, lanugo dan skuama).
Kombinasi hipoksia kronik pada fetus dan cedera hipoksik-iskemik akut setelah
lahir akan menyebabkan neuropatologik khusus dan hal tersebut tergantung pada usia
kehamilan. Pada bayi cukup bulan akan terjadi nekrosis neuronal korteks (lebih lanjut
akan terjadi atrofi kortikal) dan cedera iskemik parasagital. Pada bayi kurang bulan akan
terjadi PVL (selanjutnya akan menjadi spastik diplegia), status marmoratus basal ganglia
dan IVH. Pada bayi cukup bulan lebih sering terjadi infark fokal atau multifokal pada
4

korteks yang menyebabkan kejang fokal dan hemiplegia jika dibandingkan dengan bayi
kurang bulan.
IV.

MANIFESTASI KLINIS
Tanda hipoksia pada fetus dapat diidentifikasi pada beberapa menit hingga beberapa
hari sebelum persalinan. Retardasi pertumbuhan intrauterin dengan peningkatan tahanan
vaskular merupakan tanda awal hipoksia fetus.
Asidosis terjadi akibat komponen metabolik atau respiratorik. Terutama pada bayi
menjelang aterm, tanda-tanda hipoksia janin merupakan dasar untuk memberikan oksigen
konsentrasi tinggi pada ibu dan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan untuk
mencegah kematian janin atau kerusakan SSP
Pada saat persalinan, air ketuban yang berwarna kuning dan mengandung
mekoneum dijumpai pada janin yang mengalami distres. Pada saat lahir, biasanya terjadi
depresi pernafasan dan kegagalan pernafasan spontan. Setelah beberapa jam kemudian,
bayi akan tampak hipotonia atau berubah menjadi hipertonia berat atau tonus tampak
normal.
Derajat encephalopathy dibagi 3, secara keseluruhan resiko terjadi kematian atau
kecacatan berat tergantung pada derajat ensefalopati hipoksik iskemik.
1. Derajat 1 : 1,6%
2. Derajat 2 : 24%
3. Derajat 3 : 78%
4. Ensefalopati >6 hari pada derajat 2 juga mempunyai resiko tinggi terjadi
kecacatan neurologi berat.
Kelainan EEG digolongkan menjadi 3 yang masing-masing menunjukkan angka
rata-rata kematian atau kecacatan berat :
1. Kelainan berat (burst suppression, low voltage atau isoelektrik)
2. Kelainan sedang (slow wave activity)
3. Kelainan ringan atau tanpa kelainan

: 95%
: 64%
: 3,3%

Tabel 1 :Gradasi ensefalopati hipoksik iskemik pada bayi aterm


Tanda klinis

Derajat 1

Derajat 2

Derajat 3
5

Tingkat kesadaran

Iritabel

Letargik

Stupor, coma

Tonus otot

Normal

Hipotonus

Flaksid

Postur

Normal

Fleksi

Decerebrate

Refleks
tendon/klonus

Hiperaktif

Hiperaktif

Tidak ada

Myoclonus

Tampak

Tampak

Tidak tampak

Refleks Moro

Kuat

Lemah

Tidak ada

Pupil

Midriasis

Miosis

Tidak beraturan,
refleks cahaya
lemah

Kejang

Tidak ada

Sering terjadi

Decerebrate

EEG

Normal

Voltage rendah
yang berubah
dengan kejang

Burst suppression
to isoelektrik

Durasi

<24 jam

24 jam 14 hari

Hasil akhir

Baik

bervariasi

Beberapa hari
hingga minggu
Kematian,
kecacatan berat

Pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi juga
merupakan tanda-tanda ensefalopati hipoksik iskemik. Cerebral edema dapat berkembang
dalam 24 jam kemudian dan menyebabkan depresi batang otak. Selama fase tersebut,
sering timbul kejang yang dapat memberat dan bersifat refrakter dengan pemberian dosis
standar obat antikonvulsan. Walaupun kejang sering merupakan akibat ensefalopati
hipoksik iskemik, kejang pada bayi juga dapat disebabkan oleh hipokalsemia dan
hipoglikemia.
Sebagai tambahan, disfungsi SSP, gagal jantung kongesti dan syok kardiogenik,
hipertensi pulmonal persisten, sindroma distress nafas, perforasi gastrointestinal,
hematuria dan nekrosis tubular akut sering terjadi bersama dengan asfiksia pada masa
perinatal
6

Setelah persalinan, hipoksia yang terjadi biasanya disebabkan karena gagal nafas
dan insufisiensi sirkulasi.
V.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan CT scan, MRI relatif tidak sensitif pada fase awal, dikatakan

pemeriksaan tersebut bermanfaat untuk menegakkan diagnosis struktural pada fase lanjut
dan pemeriksaan tersebut tidak rutin dilakukan.
1. Kelainan USG: Dapat mendeteksi perdarahan. USG kurang baik untuk mendeteksi
kerusakan kortikal. Lesi baru terlihat setelah 2-3 hari terjadi kelainan.
2. CT Scan: Hipodensitas baru tampak setelah 10-14 hari terjadi kelainan. Resiko
terjadi kematian atau kecacatan neurologi berat berkisar 82% pada bayi yang
memperlihatkan hipodensitas berat atau perdarahan berat.
3. Nuclear magnetic resonance: Dapat memperlihatkan struktur otak dan fungsinya
dan sangat sensitif untuk memprediksi prognosis penyakit.
4. Somatosensory evoked potential: terdapat hubungan erat antara hasil akhir dengan
SEP. Bayi dengan hasil akhir normal juga mempunyai hasil SEP yang normal pada
usia < 4 hari, sebaliknya bayi dengan SEP abnormal pada usia < 4 hari akan
mempunyai kelainan pada pengamatan di usia selanjutnya.

VI.

TERAPI
Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi kelainan
sistem organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif untuk
mengatasi cedera jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah dilakukan.
Fenobarbital merupakan obat pilihan keluhan kejang yang diberikan dengan dosis
awal 20mg/kg dan jika diperlukan dapat ditambahkan 10mg/kg hingga 4050mg/kg/hari intravena. Fenitoin dengan dosis awal 20mg/kg atau lorazepam
0,1mg/kg dapat digunakan untuk kejang yang bersifat refrakter. Kadar fenobarbital
dalam darah harus dimonitor dalam 24 jam setelah dosis awal dan terapi pemeliharaan
dimulai dengan dosis 5mg/kg/hari. Kadar fenobarbital yang berfungsi terapeutik
berkisar 20-40g/mL.
7

Pada beberapa percobaan dengan hewan dan manusia ditemukan keuntungan


dalam hubungannya dengan hasil akhir neurologi. Cara yang digunakan disebut
selective cerebral cooling yang menggunakan air dingin disekitar kepala. Penelitian
lanjutan masih dibutuhkan untuk dapat merekomendasikan pengobatan ini khususnya
pada bayi.
Allopurinol pada bayi prematur ternyata tidak mempunyai manfaat dalam
menurunkan insiden periventrikuler leukomalasia. Dikatakan pada hewan coba,
allopurinol mempunyai peranan sebagai additive cerebral cooling sebagai
neuroprotektor. Penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk merekomendasikan
penggunaan allopurinol pada neonatus dengan ensefalopati hipoksik iskemik.
Penggunaan steroid pada percobaan hewan tidak mempunyai manfaat
menurunkan cedera otak. Pada serial kasus yang dilaporkan, steroid hanya
menurunkan tekanan intra kranial secara temporer dan tidak memperbaiki hasil akhir
penderita dengan ensefalopati hipoksik iskemik.
VII.

PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada adanya komplikasi baik metabolik dan
kardiopulmoner yang dapat diterapi, usia kehamilan dan beratnya derajat ensefalopati
hipoksik iskemik. Apgar score rendah pada 20 menit pertama, tidak adanya
pernafasan spontan pada 20 menit pertama dan adanya tanda kelainan neurologi yang
menetap pada usia 2 minggu dapat digunakan sebagai faktor untuk memprediksi
kemungkinan kematian atau defisit neurologi baik kognitif maupun motorik yang
berat. Mati otak yang terjadi setelah diagnosis ensefalopati hipoksik iskemik
ditegakkan berdasarkan penurunan kesadaran berat (koma), apnea dengan PC O2 yang
meningkat dari 40 hingga >60 mmhg dan hilangnya refleks batang otak (pupil,
okulocephalic, oculovestibular, kornea, muntah dan menghisap). Gejala klinis
tersebut ditunjang dengan hasil EEG.

VIII.

KESIMPULAN
Ensefalopati hipoksik iskemik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya
kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak akut yang
disebabkan karena asfiksia dan merupakan penyebab penting kerusakan permanen sel-sel
pada susunan saraf pusat (SSP).
Angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik berkisar antara 0,3 - 1,8% di negaranegara maju, sedangkan di Indonesia belum ada catatan yang cukup valid.
8

Kesadaran letargik, tonus otot flaksid, adanya mioklonus, sering kejang, dan
lemahnya refleks moro merupakan tanda utama ensefalopati hipoksik iskemik. Selain itu
pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi juga
merupakan tanda lain terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik.
Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi kelainan
sistem organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif untuk mengatasi
cedera jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah dilakukan.
Prognosis tergantung pada adanya komplikasi baik metabolik dan kardiopulmoner
yang dapat diterapi, usia kehamilan dan beratnya derajat ensefalopati hipoksik iskemik.
Diperlukan kerjasama tim yang kompak dan harmonis untuk menangani penderita
ensefalopati hipoksik iskemik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aurora S, Snyder EY. Perinatal Asphyxia. 2004. In: Cloherty JP, Eichenwald EC,
Srark AR eds. Manual of Neonatal Care 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams &
Walkins; 536-55.
2. Bager B. 1997. Perinatally acquired brachial plexus Palsy a persisting challenge;
1214.
3. Cordes I, Roland EH, Lupton BA, et al. 1994. Early prediction of the development of
microcephaly after hypoxic-ischaemic encephalopathy in the full term newborn; 93703.
4. Ekert P, Perlman M, Steilin M, et al. 1997. Predicting the outcome of postasphyxial
hypoxic-ischaemic encephalopathy within 4 hours of birth; 131-613.
5. Hall RT, Hall FK, Daily DK. 1998. High-dose Phenobarbital therapy in term-infants
with severe perinatal asphyxia: A randomised, prospective study with three-years
follow-up; 132-345.
6. Hill A, 2005. Neurological and Neuromuscular Disorders. In: MacDonald MG eds.
Averys Neonatology Patophysiology & Management of Newborn 6th ed.
Philadelphia, Lippincott Williams & Walkins; 536-55.
7. Martin Ancel A, Gracia-Alix A, et al. 1995. Multiple organ involvement in perinatal
asphyxia; 127-786.
8. Perlman JM, Risser R, Broyles RS. 1998. Bilateral cystic periventricullar
leucomalacia in the premature infants: Associated risk factors. Pediatrics; 822.

9. Stoll BJ, Kliegman RM. 2004. Nervous System Disorder. In: MacDonald MG, Mullet
MD, Shesia MMK eds. Nelson Textbook of Pediatri 17th ed. Philadelphia, WB
Saunder; 559-68
10. Umam NK, 2006. Terapi hipotermi sistemik (whole body cooling) pada neonatus
dengan ensefalopati hipoksik iskemik: metaanalisis.
11. Volpe JJ. 2001. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In: Volpe JJ eds. Neurology of the
Newborn 4th ed. Philadelphia: WB Saunder Co; 217-394.

10

Anda mungkin juga menyukai