Oleh :
MAGDALENA RINDAWATII
NIM : 30120119007K
A. Latar Belakang
Kejang demam adalah kelainan neurologis yang paling sering terjadi pada
anak, yaitu pada 1 dari 25 anak akan mengalami satu kali kejang demam.
Penyebab kejang demam pada anak yang masih berusia dibawah 5 tahun
adalah karena pada usia tersebut sangat rentan terhadap berbagai penyakit
yang disebabkan sistem kekebalan tubuh yang belum terbentuk secara
sempurna (Harjaningrum, 2011). Kejang pada anak dapat mengganggu
kehidupan keluarga dan kehidupan sosial orang tua khususnya ibu, karena
stress dan rasa cemas yang luar biasa. Bahkan, ada yang mengira anaknya
akan meninggal karena kejang. Beberapa ibu akan panik ketika anak mereka
demam dan melakukan kesalahan dalam mengatasi demam dan
komplikasinya. Biasanya saat anak demam ibu akan memakaikan pakaian
tebal pada anak karna anak akan terlihat menggigil saat demam dan
kebanyakan kesalahan ibu saat anak kejang adalah ibu menahan kekakuan
pada kaki dan tangan anaknya Kesalahan penanganan yang dilakukan oleh
ibu salah satunya disebabkan karena kurang pengetahuan dalam menangani.
Memberikan informasi kepada ibu tentang hubungan demam dan kejang itu
sendiri merupakan hal yang penting untuk menghilangkan stress dan cemas
mereka (Hazaveh, 2011).
Gejala yang mungkin muncul saat anak mengalami kejang demam antara
lain : demam tinggi, kejang tonik-klonik / grand mal, pingsan, postur ionic
(kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh biasanya berlangsung selama 16-20
detik). Gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat berirama,
biasanya berlangsung dalam 1-2 menit), lidah atau pipi tergigit, gigi atau
rahangnya tertutup rapat, inkontinentia (mengeluarkan air kemih atau tinja
diluar kesadaran)., hilang kesadaran, tangan dan kaki kaku tersentak-sentak,
sulit bernafas, mulut mengeluarkan busa, wajah dan kulit menjadi pucat atau
kebiruan, dan mata berputar sehingga hanya bagian putih saja yang nampak.
Komplikasi yang sering terjadi adalah : kerusakan sel otak, penurunan IQ
pada demam yang berlangsung selama 15 menit, henti nafas, epilepsy
(Mansjoer Arif dkk, 2010).
B. Tujuan Penulisan
C. Metode Penulisan
Metode penulisan terdiri dari : Konsep dasar medis : pengertian, anatomi
dan fisiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, faktor resiko,
klasifikasi kejang demam, komplikasi, pemeriksaan diagnostik,
penalaksanaan medis. Konsep dasar keperawatan : pengkajian keperawatan,
diagnosis keperawatan, intervensi keperawatan
D. Sistematika Penulisan
TINJAUAN TEORI
A. KONSEP DASAR MEDIS
1. Definisi
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi.
Suhu badan yang tinggi ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial. Anak
yang sebelumnya pernah mengalami kejang tanpa demam tidak digolongkan
sebagai penderita kejang demam, serangan kejang dapat terjadi satu kali,
dua kali, tiga kali, atau lebih sekama satu episode demam (Syilfia, 2015).
Kejang demam biasanya menyerang anak dibawah umur 5 tahun, dengan
insiden puncak yang terjadi pada anak usia antara 14 dan 18 bulan. Kejang
demam jarang terjadi pada anak dibawah 6 bulan dan di atas 5 tahun.
Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki dan terjadi
peningkatan risiko pada anak yanga memiliki riwayat kejang demam pada
keluarga. Kejang demam berkaitan dengan demam, biasanya terkait
penyakit virus. Kejang tersebut biasanya jinak, tetapi dapat sangat
menakutkan baik bagi anak maupun keluarga. Pada sebagian besar kasus,
prognosis sangat baik. Kejang demam ini terjadi tanpa adanya infeksi
intracranial, gangguan metabolik, (Reese C, et al, 2012).
Kejang demam adalah perubahan fungsi pada otak secara mendadak dan
sangat singkat atau sementara yang dapat disebabkan oleh aktivitas
abnormal serta adanya pelepasan listrik serebral yang sangat berlebihan dan
terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38C) disebabkan oleh
proses ekstrakranium ( Bararan dan Jaumar, 2013)
2. Anatomi dan Fisiologi
Sumber : http://thnm.adam.com
a. Otak
Otak terdiri dari otak besar yaitu disebut cerebrum, otak kecil disebut
cerebellum dan batang otak disebut brainstem. Beberapa
karakteristik khas otak anak yaitu mempunyai berat lebih kurang 2 % dari
berat badan dan mendapat sirkulasi darah sebanyak 20 % dari cardiac
output dan membutuhkan kalori sebesar 400 kkal setiap hari. Otak
mempunyai jaringan yang paling banyak menggunakan energi yang
didukung oleh metabolisme oksidasi glukosa. Kebutuhan oksigen dan
glukosa otak relatif konstan, hal ini disebabkan oleh metabolisme otak
yang merupakan proses yang terus menerus tanpa periode istirahat yang
berarti. Bila kadar oksigen dan glukosa kurang dalam jaringan otak maka
metabolisme menjadi terganggu dan jaringan saraf akan mengalami
kerusakan. Secara struktural,cerebrum terbagi menjadi bagian korteks
yang disebut korteks cerebri dan sub korteks yang disebut struktural
subkortikal.Korteks cerebri terdiri atas korteks sensorik yang berfungsi
untuk mengenal,interpretasi inpuls sensorik yang diterima sehingga
individu merasakan, menyadari adanya suatu sensasi rasa/indera tertentu.
Korteks sensorik juga menyimpan sangat banyak data memori sebagai
hasil rangsang sensorik selama manusia hidup. Korteks motorik berfungsi
untuk memberi jawaban atas rangsangan yang diterimanya.
Struktur Sub Kortikal :
1) Basal ganglia : melaksanakan fungsi motorik dengan merinci dan
mengkoordinasi gerakan dasar, gerakan halus atau gerakan trampil dan
sikap tubuh.
2) Talamus : merupakan pusat rangsang nyeri.
3) Hipotalamus : pusat tertinggi integrasi dan koordinasi sistem syaraf
otonom dan terlibat dalam pengolahan perilaku insting. Seperti makan,
minum, seks dan motivasi.
4) Hipofise : bersama hipotalamus mengatur kegiatan sebagian besar
kelenjar endokrin dalam sintesa dan pelepasan hormon.
Cerebrum terdiri dari dua belahan yang disebut hemispherium cerebri dan
keduanya dipisahkan oleh fisura longitudinalis. Hemisperium cerebri
terbagi hemisper kanan dan kiri. Hemisper kanan dan kiri ini dihubungkan
oleh bangunan yang disebut corpus callosum. Hemisper cerebri dibagi
menjadi lobus lobus yang diberi nama sesuai dengan tulang diatasnya
yaitu:
1) Lobus Frontali : bagian cerebrum yang berada dibawah tulang
frontalis
2) Lonbus Parietalis : bagian cerebrum yang berada dibawah tulang
parietalis
3) Lobus Occipitalis : bagian cerebrum yang berada dibawah tulang
occipitalis
4) Lobus Temporalis : bagian cerebrum yang berada di bawah tulang
temporalis.
b. Medula Spinalis
Medula spinalis merupakan perpanjangan modulla oblongata ke
arah kaudal di dalam kanalis vertebralis cervikalis I memanjang hingga
setinggi cornu vertebralus lumbalias I-II. Terdiri dari 31 segmen yang
setiap segmenya terdiri dari satu pasang saraf spinal. Dari medulla
spinallis bagian cervical keluar 8 pasang dari bagian thorakal 12 pasang,
dari bagian lumbal 5 pasang dan dari bagian sakral 5 pasang serta dari
coxigeus keluar 1 pasang saraf spinalis. Seperti halnya otak,medula
spinalis pun terbungkus oleh selaput meninges yang berfungsi melindungi
saraf spinal dari benturan atau cedera.
Gambaran penampang medula spinalis memperlihatkan bagian-bagian
substansi grissea dan substansia alba. Substansia grissea ini mengelilingi
canalis centralis sehingga membentuk columna dorsalis, columna lateralis
dan columna ventralis. Massa grissea dikelilingi oleh substansia alba atau
badan putih yang mengandung serabut-serabut saraf yang diselubungi oleh
myelin. Substansi alba berisi berkas-berkas saraf yang membawa impuls
sensorik dari sistem saraf tepi (SST) menuju sistem saraf pusat (SSP) dan
impuls motorik sistem saraf pusat (SSP) menuju sistem saraf tepi (SST).
Substansia grissea berfungsi sebagai pusat koordinasi yang berpusat di
medula spinalis. Di sepanjang medula spinalis terdapat jaras saraf yang
berjalan dari medula spinalis menuju otak yang disebut jaras acenden dan
dari otak menuju medula spinalis yang disebut sebagai jaras desenden.
Substansia alba berisi berkas-berkas saraf yang berfungsi membawa
impuls sensorik dari sistem tepi saraf tepi otak ke otak dan impuls motorik
dari otak ke saraf tepi. Substansi grissea berfungsi sebagai pusat
koordinasi reflek yang berpusat di medulla spinalis.
Refleks-refleks yang berpusat di sistem saraf pusat yang bukan medulla
spinalis, pusat koordinasi tidak disubstansi grisea medulla spinalis. Pada
umumnya penghantaran impuls sensorik di substansi alba medula spinalis
berjalan menyilang garis tengah. Impuls sensorik dari tubuh sisi kiri akan
dihantarkan ke otak sisi kanan dan sebaliknya. Demikian juga dengan
impuls motorik.Seluruh impuls motorik dari otak yang dihantarkan ke
saraf tepi melalui medula spinalis akan menyilang.
Salah satu fungsi medula spinalis sebagai sistem saraf pusat adalah sebagai
pusat refleks. Fungsi tersebut diselenggarakan oleh substansi grisea
medula spinalis. Refleks adalah jawaban individu terhadap rangsang
melindung tubuh terhadap berbagai perubahan yang terjadi baik di
lingkungan eksternal. Kegiatan refleks terjadi melalui suatu jalur tertentu
yang disebut lengkung refleks.
Fungsi medula spinalis:
1) Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu di kornu motorik atau kornu
ventralis.
2) Mengurus kegiatan refleks spinalis dan reflek tungkai
3) Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju
cerebellum
4) Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.
Fungsi Lengkung Reflek:
1) Reseptor : penerima rangsang
2) Aferen : sel saraf yang mengantarkan impuls dari reseptor ke sistem
saraf pusat(ke pusat refleks)
3) Pusat Refleks : area di sistem saraf pusat (di medula spinalis :
substansia grisea ) tempat terjadinya sinap(hubungan antara neuron
dengan neuron dimana terjadi pemindahan /penerusan impuls)
4) Eferen : sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke sel
efektor. Bila sel efektornya berupa otot,maka eferen disebut juga
neuron motorik (sel saraf/penggerak)
5) Efektor : sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir sebagai
jawaban refleks.Dapat berupa sel otot (otot jantung ,otot polos atau
otot rangka),sel kelenjar.
3. Etiologi
Penyebab Febrile Convulsion hingga kini belum diketahui dengan pasti,
demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak
selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak
begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.
Kejang dapat terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia
(penurunan oksigen dalam darah) berat, hipoglikemia, asodemia,
alkalemia, dehidrasi, intoksikasi air, atau demam tinggi. Kejang yang
disebabkan oleh gangguan metabolik bersifat reversibel apabila stimulus
pencetusnya dihilangkan.
4. Patofisiologi
Patofisiologi kejang demam sampai saat ini belum jelas. Diduga
penyebab kejang demam adalah respon otak imatur terhadap peningkatan
suhu yang cepat. Penyebab kejang diduga berhubungan dengan puncak suhu.
Hipertermia mengurangi mekanisme yang menghambat aksi potensial dan
meningkatkan transmisi sinaps eksitatorik. pada penelitian hewan didapatkan
peningkatan ekstabilitas neuron otak selama proses maturasinya. Suhu yang
sering menimbulkan kejang demam adalah 38,5%0C.
Penelitian pada kejang demam berhasil mengidentifikasi febrile seizures
susceptibility genes pada 2 lokus, yaitu FEB1 (kromosom 8q13-q21) dan
FEB2 (kromosom 19p13.3), bersifat autosomal dominan dengan penetrasi
tidak lengkap. Hal ini menjelaskan mengapa kejang demam lebih sering
terjadi dalam satu keluarga. Mutasi genetik dari kanal ion natrium atau
Na’channelopathy dan gaminobutiric acid A receptor merupakan gangguan
genetik yang mendasari terjadinya kejang demam.
Penelitian pada hewan coba menunjukan kemungkinan peran pirogen
endogen seperti interleukin 1β yang dengan meningkatkan eksitabilitas
neuron, mungkin menghubungkan demam dengan bangkitan kejang.
Penelitian pendahuluan pada anak mendukung hipotesis bahwa cytokine
network teraktivasi dan diduga berperan dalam pathogenesis kejang demam.
Namun, segnifikansi klinis dan patologis pengamatan ini masih belum jelas
Beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam
antara lain:
1. Demam itu sendiri
2. Efek produk toksik dari mikroorganisme terhadap otak
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
4. Perubahan keseimbangan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral
Dari beberapa faktor diatas yang menyebabkan kejang demam maka
masalah yang bisa muncul diantaranya ialah:
Perfusi jaringan serebral yang tidak efektif disebabkan karena rangsang
mekanik dan biokimia yang menyebabkan perubahan konsentrasi ion di ruang
ekstraseluler difusi Na dan K yang akhirnya terjadi kejang kurang dari 15
menit atau lebih dari 15 menit yang menimbulkan resiko kerusakan sel
neuron, selain itu resiko cedera juga terjadi dikarenakan adannya inkordinasi
kontraksi otot mulut dan lidah saat anak mengalami kejang, hipertermi pada
anak terjadi setelah kejang saat aktivitas otot meningkat, metabolisme dan
suhu juga mengalami peningkatan dan kurangnya pengetahuan orang tua
dalam menangani dan mencegah kejang demam pada anak.
5. Faktor Risiko
Faktor risiko yang bisa mencetuskan kejang demam antara lain :
a) Faktor Demam
Anak dengan lama demam kurang dari dua jam untuk terjadinya
bangkitan kejang demam 2,4 kali lebih besar dibandingkan anak yang
mengalami demam lebih dari dua jam. Anak dengan demam lebih besar
dari 390C memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk menderita bangkitan
kejang demam disbanding dengan anak yang demam kurang 390C.
b) Faktor Usia
Anak dengan kejang demam usia kurang dari dua tahun mempunyai
risiko bangkitan kejang demam 3,4 kali lebih besar disbanding yang lebih
dari dua tahun. (Fuadi,2010).
c) Faktor Riwayat Kejang dalam Keluarga
Keluarga dengan riwayat pernah menderita kejang demam sebagai faktor
risiko untuk terjadi kejang demam pertama adalah kedua orang tua
ataupun saudara kandung (first degree relative).
1) Bila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita
kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%.
2) Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah
menderita kejang demam mempunyau risiko untuk terjadi bangkitan
kejang demam 20%-22%.
3) Apabila kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat
pernah menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan
kejang demam meningkat menjadi 59%-64%. Demam diwariskan
lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayaj, 27% berbanding 7%
(Fuadi,2010)
d). Faktor Perinatal dan Pascanatal
1) Kehamilan pada umur lebih 35 tahun
2) Barat lahir sangat rendah atau amat sangat rendah memudahkan
timbulnya bangkitan kejang demam (Fuadi,2010).
e). Faktor Vaksinasi/Imunisasi
Risiko kejang demam dapat meningkat setelah beberapa imunitas pada
anak, seperti imunisasi difteri, tetanus dan pertusis (DPT) atau measles-
mumps-rubella (MMR). (Mayo Clinic, 2012).
Sumber : http://thnm.adam.com
8. Pemeriksaan Fisik
Batas suhu yang bisa mencetuskan kejang demam 38OC atau lebih, tetapi suhu
sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui. Pemeriksaan fisik
lainnya bertujuan untuk mencari sumber infeksi dan kemungkinan adanya
infeksi intrakranial meningitis atau ensefalitis.
9. Komplikasi
Komplikasi kejang demam menurut Waskitho, 2013 adalah :
a. Kerusakan neurotransmitter
Lepasnya muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga daoat meluas ke
seluruh sel ataupun membrane sel yang menyebabkan kerusakan pada
neuron
b. Epilepsi
Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan
kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari
sehingga terjadi serangan epilepsy yang spontan
c. Kelainan anatomi di otak
Serangan kejang yang berlangsung lama yang dapat menyebabkan kelainan
di otak yang lebih banyak terjadi pada anak berumur 4 bulan sampai 5
tahun
d. Kecacatan atau kelainan neurologis karena disertai demam
12. Penatalaksanaan
Pada tata laksana kejang demam, ada 3 hal yang perlu di kerjakan:
1. Pengobatan fase akut
Penanganan pada fase akut kejang demam antara lain:
a. Pertahankan jalan napas
b. Lindungi anak dari trauma/cidera
c. Posisikan anak tidur setengah duduk
d. Longgarkan pakaian atau lepas pakaian yang tidak perlu.
2. Mencari dan mengobati penyebab demam
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas
indikasi untuk mencari penyebab.
3. Penanganan saat kejang di rumah : umumnya kejang berlangsung singkat
dan berhenti sendiri dapat diberikan : Diazepam per rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan < 10 kg dan 10 mg jika berat badan > 10 kg.
Jika setelah pemberian diazepam per rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang dengan dosis sama setelah selang waktu 5 menit. Jika setelah dua
kali pemberian diazepam per rektal masih belum berhenti, dianjurkan ke
rumah sakit.
4. Penanganan kejang di rumah sakit : berikan Diazepam intravena 0.3 – 0.5
mg/kg BB. Jika masih tetap kejang, berikan Fenitoin intravena 10-20
mg/kg.BB/kali dengan kecepatan 1 mg/menit atau < 50 mg/menit. Jika
berhenti dosis selanjutnya Fenitoin 4-8 mg/kg.BB/hari dimulai 12 jam
setelah dosis awal. Jika masih belum berhenti, rawat di ruang intensif.
Pemberian obat saat demam tidak ada bukti bahwa pemberian antipiretik
mengurangi risiko kejang demam; tetapi dapat diberikan Parasetamol
dengan dosis 10 -15 mg/kg BB/kali diberikan 4 kali sehari, tidak lebih
dari 5 kali sehari. Obat lain Ibuprofen dengan dosis 5-10 mg/kg BB /kali,
3 – 4 kali sehari.Asam asetil salisilat tidak dianjurkan terutama pada usia
< 18 bulan karena risiko sindrom Reye. Diazepam oral 0.3 mg/kg.BB tiap
8 jam saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang demam pada
30% - 60 % kasus, begitu pula diazepam rektal 0.5 mg/kg.BB setiap 8
jam pada suhu > 38.5ºC. Hati-hati dengan efek samping ataksia, iritabel
dan sedasi berat yang terjadi pada 25% - 39% kasus. Fenobarbital,
fenitoin dan karbamazepin saat demam tidak berguna untuk mencegah
kejang demam.
Pengobatan rumat/pencegahan/profilaksis :
Diberikan jika :
a. Kejang lama > 15 menit
b. Ada kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
c. Kejang fokal
Dipertimbangkan jika :
a. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
b. Terjadi pada bayi < 12 bulan
c. Kejang demam ≥ 4 kali/tahun
Jenis obat : Pilihan pertama saat ini ialah asam valproat dengan dosis 15-
40 mg/kg BB/hari dibagi 2-3 dosis; atau fenobarbital 3-4 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 1-2 dosis. Asam valproat dapat menyebabkan gangguan
fungsi hati pada sebagian kecil kasus terutama pada usia < 2 tahun;
fenobarbital dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar
pada 40% - 50% kasus.
Lama pengobatan: Diberikan selama 1 tahun bebas kejang; kemudian
dihentikan bertahap dalam 1-2 bulan.
13. Edukasi Pada Orangtua
Orangtua sering panik menghadapi kejang karena merupakan peristiwa yang
menakutkan. Kecemasan ini dapat dikurangi dengan antara lain:
a). Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
b). Memberitahukan cara penanganan kejang
c). Memberi informasi tentang risiko kejang berulang
d). Pemberian obat pencegahan memang efektif, tetapi harus diingat risiko
efek samping obat
B. Diagnosa Keperawatan
1. Perfusi cerebral tidak efektif (D.0017)
2. Hipertermia (D.0130)
3. Defisit Pengetahuan (D.0111)
4. Risiko Cedera (D.0136)
C. Rencana Keperawatan
1. Cedera kepala
B. PEMANTAUAN TEKANAN INTRAKRANIAL (I.06198)
2. Aterosklerotik aorta
3. Infark miokard akut Observasi
4. Diseksi arteri Observasi penyebab peningkatan TIK (mis. Lesi menempati ruang, gangguan
5. Embolisme metabolism, edema sereblal, peningkatan tekanan vena, obstruksi aliran cairan
6. Endokarditis infektif serebrospinal, hipertensi intracranial idiopatik)
7. Fibrilasi atrium 1. Monitor peningkatan TD
8. Hiperkolesterolemia 2. Monitor pelebaran tekanan nadi (selisih Sistol dan Diastol)
9. Hipertensi 3. Monitor penurunan frekuensi jantung
10. Dilatasi kardiomiopati 4. Monitor ireguleritas irama jantung
11. Koagulasi 5. Monitor penurunan tingkat kesadaran
intravaskulerdiseminata 6. Monitor perlambatan atau ketidaksimetrisan respon pupil
12. Miksoma atrium 7. Monitor kadar CO2 dan pertahankan dalm rentang yang diindikasikan
13. Neoplasma otak 8. Monitor tekanan perfusi serebral
14. Segmen ventrikel kiri 9. Monitor jumlah, kecepatan, dan karakteristik drainase cairan serebrospinal
akinetik 10. Monitor efek stimulus lingkungan terhadap TIK
15. Sindrom sick sinus Terapeutik
16. Stenosis carotid 1. Ambil sampel drainase cairan serebrospinal
17. Stenosis mitral 2. Kalibrasi transduser
18. Hidrosefalus 3. Pertahankan sterilitas system pemantauan
19. Infeksi otak (mis. 4. Pertahankan posisi kepala dan leher netral
meningitis, ensefalitis, 5. Bilas sitem pemantauan, jika perlu
abses serebri) 6. Atur interval pemantauan sesuai kondisi pasien
7. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika PERLU
Objektif
1. Menunjukan perilaku
tidak sesuai anjuran
2. Menunjikan presepsi
yang keliru terhadap
masalah
1. Menjalani pemeriksaan
yang tepat
2. Menunjikan perilaku
berlebihan (mis. apatis,
bermusuhan,
agitasi,histeria)
1. Kejang
2. Sinkop
3. Vertigo
4. Gangguan penglihatan
5. Gangguan pendengaran
6. Parkinson
7. Hipotensi
8. Retardasi mental
BAB III
TINJAUAN KASUS
Riwayat Penyakit :
Ibu pasien mengatakan anak baru pertama kali dirawat di RS
Tidak ada riwayat penyakit lain
Dikirim oleh : Diantar oleh : Orang Cara masuk RS : Informasi didapat dari :
Orang tua tua IGD Ibu pasien
Keluhan Utama:
Ibu pasien mengatakan anak kejang 1x jam 08:00 sekitar 5 menit, saat kejang badan kaku dan mata
melotot ke atas, kejang terjadi saat badan, kejang berhenti sendiri
Objektif :
Keadaan umum : sakit ringan √ sakit sedang sakit berat
Kesadaran : AVPU √ Alert Verbal Pain Unrespon
Tanda-tanda Vital
Suhu : 39,6C Nadi : 125 x/mnt Pernapasan : 30 x/mnt TD : 100 /54 mmHg
Nyeri : √ Tidak ada Ada Skala = 0/10
Riwayat kelahiran :
Usia kehamilan : 36 minggu BBL: 3200 gram PB : 49 cm
Persalinan : √ spontan SC Forcep VE
Menangis : √ ya tidak, Nilai Apgar : Ibu tidak tahu
Jaundice : ya √ tidak
Golongan darah ibu : B
Golongan darah ayah : AB
Komplikasi persalinan : menurut ibu tidak ada
Riwayat penyakit sebelumnya :
Klien pernah mengalami penyakit: batuk, pilek, disertai demam yang naik turun sekitar 2 minggu
sebelum kejang
Riwayat konsumsi obat : tidak ada
Riwayat kecelakaan : tidak pernah
Riwayat operasi : tidak pernah
Riwayat alergi
Imunisasi :
Jenis alergen : dingin Hepatititis : I II √ III
Pada usia : 2 tahun DPT :I II √ III
Polio :I II III √ IV
Reaksi alergi : bersin-bersin BCG : √
Campak : √
Kategori FLACC Scoring
0 Skor 1 Skor 2 Skor
Face (wajah) Tidak ada 0 Meringis sesekali 1 Dahi berkerut, dagu gemetar dan -
ekspresi tertentu atau kerutan dahi, rahang dikatupkan berulang-ulang
atau tersenyum muram, tidak
tertarik
Legs (kaki) Posisi normal 0 Gelisah resah, 1 Menendang-nendang atau kaki ke -
atau relaksasi tegang atas
Activity Berbaring 0 Mengeliat, maju 1 Menekuk, kaku atau menghentak- -
(aktivitas) dengan tenang, mundur, tegang hentak
posisi normal,
bergerak dengan
mudah
Cry Tidak ada 0 Merengek atau 1 Menangis terus menerus, menjerit -
(tangisan) tangisan (terjaga mengerang, sesekali atau menangis tersedu-sedu,
atau tertidur) mengeluh/ mengeluh terus-menerus
menggerutu
Consolabilit Puas, santai 0 Diyakini dengan 1 Sulit merasakan puas dan nyaman
y sentuhan sesekali
(kemampuan perlu atau diajak
dihibur) berbicara
Total 0–3 √ 4–7 8 – 10
Score
RIWAYAT PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
Umur Sosial Motorik halus Motorik kasar Bahasa
2 tahun √ menggunakan √ membuat garis √ berdiri dgn satu kaki √ menyebutkan anggota
sendok tubuh
3 tahun √ melepaskan √ meniru membuat garis √ mengayuh sepeda √ menyebut nama awal
pakaian dan nama akhir
√ memasang
kancing baju
memakai baju
tanpa
pengawasan
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
KONSERVASI ENERGI
1. NUTRISI DAN CAIRAN
BB lahir : 3200 gr BB saat ini 15 kg
BB sebelum sakit 15 kg
PB/TB saat ini : 100 cm
Lingkar lengan atas : 15 cm
Diet : tidak ada
√ ASI Susu formula
Puasa : ya √ tidak
Cara minum : √ oral NGT/OGT/Gastrostomi
Jumlah minum : 1500 .ml/hari
Frekuensi makan : 3 x/hari
Cara makan : √ disuapi makan sendiri
Kualitas makanan : kurang √ cukup baik
Mukosa mulut : √ lembab kering kotor
Labio schizis Palato schiziz LPG schiziz
Lidah : √ lembab kering kotor
Gigi : √ bersih kotor karies
Abdomen : √ supel kembung tegang
Bising usus : 10 x/mnt
Mual : ya √ tidak
Muntah : √ tidak ya
Turgor : √ elastis tidak elastis
Edema: √ Ada Tidak ada
Pembesaran hati: Ada √ Tidak ada
Pembesaran limpa: Ada √ Tidak ada
Polifagia: Ada √ Tidak ada
Polidipsi: Ada √ Tidak ada
Hasil laboratorium :
Hb :
Ht :
1. PERTUKARAN GAS
Napas spontan : √ ya tidak, apnea -
RR : 30 x/mnt √ teratur tidak teratur
Sesak : ya √ tidak takipnea
retraksi sianosis napas dgn cuping hidung
grunting
Suara napas : √ vesikuler bronkovesikuler
rales ronkhi wheezing
Batuk : √ tidak ya kering
berlendir, konsistensi - warna -
Oksigen : - SaO2 95 %
Metode : nasal head box
Alat bantu napas :
ETT CPAP NCPAP Ventilator
Hasil analisa gas darah : tidak ada
Asidosis respiratorik Alkalosis respiratorik
Lain-lain : -
2. KARDIO VASKULER
Bentuk dada:
Bunyi jantung : √ Normal Murmur
√ Takikardia Bradikardia Frekuensi 120 x/mt
Tekanan darah : 87 /54 mmHg.
Pengisian kembali kapiler 3 detik
Sianosis : ya √ tidak
Perdarahan : √ tidak ya, jumlah …………..ml
Pucat : √ Tidak ya
Clubbing finger: Ada √ Tidak ada
Nadi radialis/brachialis/femoralis :
Isi : √ kuat lemah
Frekuensi 120 x/mnt
3. SUHU
Suhu tubuh :39,6C
Suhu kulit : √ panas hangat dingin
Warna kulit : √ kemerahan pucat ikterus
cutis marmorata
Lain-lain -
4. ELIMINASI
5. MUSKULOSKELETAL
Postur tubuh : √ normal tidak normal
Berjalan : √ normal tidak normal
Kepala dan leher : Gerakan √ normal tidak normal
Pembesaran kelenjar limfe : ya √ tidak
Ekstremitas (tangan dan kaki)
Panjang kanan & kiri : √ sama tidak sama
Jumlah jari kanan & kiri : √ sama tidak sama
Polidaktili : ya √ tidak
Syndactili : ya √ tidak
Gerakan ektremitas: √ aktif simetris asimetris
Lain-lain :
Tulang belakang :
√ Lurus Kiposis Skoliosis
Spina bifida : √ tidak ya, utuh / rupture
Lain-lain : -
Lain-lain -
6. INTEGUMEN
Warna kulit:
Ptekie: Ada √ Tidak ada
Memar: Ada √ Tidak ada
Perdarahan dari membran mukosa/luka suntikan/ fungsi vena: Ada √ Tidak ada
Luka: Ada √ Tidak ada
Jenis luka: Terbuka Tertutup Luka bakar
Penyebab luka: Tumpul Tajam
Grade luka : tidak ada luka
Letak luka : -
Jenis perawatan luka : -
Frekuensi perawatan luka : -
Masalah keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
7. KEBERSIHAN PERORANGAN
Rambut : √ bersih kotor bau
Mata : Sekret ya √ tidak
Telinga : √ bersih kotor
Hidung : Sekret √ ya tidak
Kulit : √ bersih kotor utuh rash
bullae pustule ptechiae lesi
kering nekrosis Lain-lain -
phlebitis
Genetalia perempuan :
Vagina : bersih kotor
Menstruasi : ya tidak
Pemasangan kateter : ya tidak
Genetalia laki-laki :
Preputium : √ bersih tidak Phimosis
Hipospadia : ya √ tidak
Skrotum : Testis kanan/kiri √ ya tidak
Pemasangan kateter : ya √ tidak
Lain-lain -
Masalah keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
8. PENGOBATAN
Obat-obatan yang diberikan : Paracetamol syrup saat badan panas
Interaksi orangtua-anak :
Berkunjung : √ ya tidak
Kontak mata : √ ya tidak
Menyentuh : √ ya tidak
Berbicara : √ ya tidak
Menggendong : √ ya tidak
Ekspresi wajah : √ ya tidak
Kebiasaan anak :
Mencuci tangan : √ ya tidak
Sarapan pagi : √ ya tidak
Senang jajan : ya √ tidak
membawa bekal makanan dari rumah : √ ya tidak
lain-lain -
PENGORGANISASIAN DATA
Data Subyektif Data Obyektif
ANALISA DATA
Data Senjang Etiologi Masalah
DO :
humpty dumpty 15
II. DIAGNOSIS KEPERAWATAN (berdasarkan prioritas masalah)
keperawatan
1 Perfusi cerebral Perfusi serebral A. MANAJEMEN PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL (I.
. tidak efektif meningkat 06198)
(D.0017) (L.02014) dengan
Observasi :
kriteria
Kondisi klinis
1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. Lesi, gangguan
terkait : 1. Tingkat
metabolisme, edema serebral)
kesadaran
Infeksi 2. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. Tekanan darah meningkat,
meningkat
tekanan nadi melebar, bradikardia, pola napas ireguler, kesadaran
Faktor resiko : 2. Tekanan
menurun)
intracranial
Cedera kepala 3. Monitor status pernapasan
menurun
4. Monitor intake dan output cairan
3. Tekanan darah
Terapeutik
membaik
1. Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang
2. Berikan posisi semi fowler
3. Hindari maneuver Valsava
4. Cegah terjadinya kejang
5. Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian sedasi dan antikonvulsan
Edukasi
Kolaborasi
Pencegahan Cidera
2.
Observasi:
Terapeutik:
Tanggal
DK Implementasi dan Respon Nama Profesi
dan jam
Terapeutik
Kolaborasi
Berkolaborasi pemberian sedasi dan antikonvulsan
Terapeutik
Kolaborasi
Edukasi
Terapeutik:
Edukasi
Observasi:
Terapeutik:
V. EVALUASI KEPERAWATAN
Tanggal Nama
DK Evaluasi Keperawatan
dan Jam Jelas
10/6/21 1 S : Ibu pasien mengatakan saat ini anak sudah membaik dan lebih tenang Lena
Jam 0 : kesadaran CM, tampak sakit sedang, pasien tampak tenang, akral hangat, TD 90/58 mmHg, S
11:30 36,9C, N 98x/mnt, RR : 20x/mnt, Sat 96%, pupil (+/+ 2mm/2mm), Intake : 800 ml, output : 700 ml
A : Masalah teratasi
P : Intervensi stop
10/6/21 2 S : Ibu pasien mengatakan saat ini badan anak tidak panas lagi Lena
Jam 0 : kesadaran CM, tampak sakit sedang, pasien tampak tenang, akral hangat, TD 90/58 mmHg, S
11:40 36,9C, N 98x/mnt, RR : 20x/mnt, Sat 96%, pupil (+/+ 2mm/2mm), Intake : 800 ml, output : 700 ml
CRT 2 detik
A : Masalah teratasi
P : Intervensi stop
10/6/21 3 S : Ibu pasien mengatakan saat ini sudah lebih paham mengenai kejang demam Lena
Jam 0 : Ibu pasien dapat menyebutkan mengenai pengertian kejang demam, penyebab dan cara
11:45 mengatasi kejang di rumah
A : Masalah teratasi
P : Intervensi stop
10/6/21 4 S : Ibu pasien mengatakan anak tidak mengalami kejang lagi Lena
Jam 0 : kesadaran CM, tampak sakit sedang, pasien tampak tenang, akral hangat, TD 90/58 mmHg, S
12:10 36,9C, N 98x/mnt, RR : 20x/mnt, Sat 96%, pasien tampak aktif bermain mobil-mobilan di tempat
tidur, respon verbal baik
A : Masalah teratasi
P : Intervensi stop
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab IV ini, akan dibahas mengenai kesenjangan dan kesesuaian yang ditemukan
selama melakukan asuhan keperawatan pada An UFA dengan masalah keperawatan :
perfusi jaringan cerebral tidak efektif d/ diagnose medis kejang demam di ruang Irene 2
Rumah Sakit Santo Boromeus, yang dilaksanakan selama 4 hari dari tanggal 6 Juni 2021
sampai 10 Juni 2021, melalui lima tahapan proses keperawatan yaitu pengkajian,
penentuan diagnosa keperawatan berdasarkan prioritas, perencanaan, implementasi dan
evaluasi.
a. Pengkajian
Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa kejang pertama kali terjadi selama 5 menit
dan saat kejang badan kaku dan mata melotot ke atas. Saat terjadi kejang badan anak
panas. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik di dapatkan bahwa 2 minggu
sebelum terjadi kejang, anak memang mengalami batuk, pilek, disertai demam yang naik
turun dan dari pemeriksaan fisik tidak di dapatkan adanya ronkhi, dan tidak tampak
faring hiperemi maka dapat disimpulkan bahwa anak mengalami infeksi saluran nafas
akut, dimana hal ini demam yang muncul pada pasien diakibatkan oleh karena ISNA,
sehingga peyebab kejang demam kompleks yang terjadi pada anak ini dikarenakan
adanya ISNA yang tidak tertangani dengan baik. Pada pengkajian didapatkan data
bahwa pasien mengalami demam 39,6°C, dan ini pertama kali pasien mengalami kejang
dan ibu merasa bingung dengan kejadian kejang yang anak alami.
Kejang demam biasanya terjadi sebelum usia 6 bulan atau setelah usia 4-5 tahun,
hal ini berhubungan dengan maturitas otak. Proses dasar maturitas otak belum jelas dan
berhubungan dengan meningkatnya myelinisasi neuron atau meningkatnya kompleksitas
sinaptik. Demam sering disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas atau faringitis (38%),
otitis media (23%), pneumonia (15%), gastroenteritis (7%), roseola (5%), penyakit
noninfeksi (12%). Kejang juga sering terjadi setelah mendapat imunisasi difteri-pertusis-
tetanus (DPT) dan vaksinasi campak. Frekuensi kejang demam setelah vaksinasi adalah
6-9 dan 24-25 per 100.000 anak yang telah divaksinasi. Kejang tidak selalu timbul pada
suhu yang tinggi. Kadang- kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan
kejang.
b. Diagnosa keperawatan
Dalam konsep teori ditemukan beberapa diagnosa keperawatan yang berkaitan
dengan kejang demam yaitu :
1. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif,
2. Termoregulasi tidak efektif,
3. Defisit pengetahuan
4. Resiko cedera
1. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif, ditandai dengan kondisi klinis terkait :
infeksi dengan faktor resiko : cedera kepala
2. Termoregulasi tidak efektif, ditandai dengan penyebab : proses penyakit,
peningkatan laju metabolisme, kondisi terkait proses infeksi
3. Defisit pengetahuan ditandai dengan penyebab : kurang terpapar informasi,
ketidaktahuan menemukan sumber informasi
4. Resiko cedera ditandai dengan faktor internal : perubahan orientasi afektif dan
kondisi klinis terkait : kejang
d. Intervensi keperawatan
e. Implementasi keperawatan
f. Evaluasi keperawatan
Menurut Nursalam, 2011 , evaluasi keperawatan terdiri dari dua jenis yaitu :
evaluasi formatif yaitu evaluasi berjalan dimana evaluasi dilakukan sampai dengan
tujuan tercapai. Dan evaluasi somatif yaitu evaluasi akhir dimana dalam metode
evaluasi ini menggunakan SOAP. Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan
untuk menilai keberhasilan dari tindakan keperawatan yang sudah dilakukan,
apakah tujuannya tercapai atau tidak. Setelah melakukan asuhan keperawatan
kepada An,. UFA dengan dengan masalah keperawatan :
1. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif, hasil evaluasi yang didapatkan adalah :
Perfusi jaringan cerebral efektif (S : Ibu pasien mengatakan saat ini anak sudah
membaik dan lebih tenang, 0 : kesadaran CM, tampak sakit sedang, pasien
tampak tenang, akral hangat, TD 90/58 mmHg, S 36,9C, N 98x/mnt, RR :
20x/mnt, Sat 96%, pupil (+/+ 2mm/2mm), Intake : 800 ml, output : 700 ml, A :
Masalah teratasi, P : Intervensi stop)
2. Termoregulasi tidak efektif, hasil evaluasi yang didapatkan adalah :
termoregulasi efektif (S : Ibu pasien mengatakan saat ini badan anak tidak panas
lagi, 0 : kesadaran CM, tampak sakit sedang, pasien tampak tenang, akral hangat,
TD 90/58 mmHg, S 36,9C, N 98x/mnt, RR : 20x/mnt, Sat 96%, pupil (+/+
2mm/2mm), Intake : 800 ml, output : 700 ml CRT 2 detik, A : Masalah teratasi,
P : Intervensi stop).
3. Defisit pengetahuan, hasil evaluasi yang didapatkan adalah : pengetahuan
bertambah (S : Ibu pasien mengatakan saat ini sudah lebih paham mengenai
kejang demam, 0 : Ibu pasien dapat menyebutkan mengenai pengertian kejang
demam, penyebab dan cara mengatasi kejang di rumah , A : Masalah teratasi, P :
Intervensi stop).
4. Resiko cedera, hasil evaluasi yang didapatkan adalah : cedera menurun (S : Ibu
pasien mengatakan anak tidak mengalami kejang lagi, 0 : kesadaran CM, tampak
sakit sedang, pasien tampak tenang, akral hangat, TD 90/58 mmHg, S 36,9C, N
98x/mnt, RR : 20x/mnt, Sat 96%, pasien tampak aktif bermain mobil-mobilan di
tempat tidur, respon verbal baik, A : Masalah teratasi, P : Intervensi stop)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering terjadi
pada anak dibawah umur 5 tahun. Perlu diwaspadai karena kejang yang lama
(lebih dari 15 menit) dapat menyebabkan kematian, kerusakan saraf otak
sehingga menjadi epilepsi, kelumpuhan bahkan retardasi mental. Demam, umur,
genetik, riwayat prenatal dan perinatal dapat memicu terjadinya kejang demam.
Klasifikasi kejang demam ada dua, yaitu kejang demam sederhana yang
berlangsung secara singkat kurang dari 15 menit dan tidak berulang dalam waktu
24 jam. Sedangkan kejang demam kompleks merupakan kejang yang
berlangsung lebih dari 15 menit dan dapat berulang lebih dari 1 kali dalam 24
jam. Kejang demam adalah respon otak imatur terhadap peningkatan suhu yang
cepat yang mengurangi mekanisme menghambat aksi potensial dan
meningkatkan transmisi sinaps eksitatorik. Tanda gejala yang mungkin muncul
seperti peningkatan suhu tubuh mendadak hingga ≥ 38oC. pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan yaitu laboratorium darah, urinalisis, fungsi
lumbal, radiologi, EEG dan penatalaksanaan medis berupa mencari dan
mengobati demam terlebih dahulu dan memberikan pengobatan profilaksis
terhadap kejang yang berulang.
Selanjutnya untuk asuhan keperawatan perlu dilakukan dengan melakukan
proses keperawatan dari pengkajian, diagnose, intervensi, implementasi dan
evaluasi. Pegkajian yang dilakukan merupakan pengkajian secara komperehensif.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu ketidakefektifan perfusi
jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan sirkulasi otak, hipertermia
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme, resiko cidera berhubungan
dengan gangguan sensasi, dan kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang
informasi.
B. Saran
Anak yang mengalami kejang demam perlu mendapat perhatian lebih dan
penatalaksanaan yang tepat. Oleh sebab itu, peran orang tua sangat penting
dalam mengetahui kondisi anak, apakah memiliki tanda gejala, faktor risiko, dan
kemungkinan kekambuhan. Mematuhi peraturan penggunaan obat dari dokter
dan jadwal kontrol juga sangat penting.
DAFTAR PUSTAKA
Andretty Rezy P. 2015. Hubungan Riwatar Kejang Demam Dengan Angka Kejadian
eplilepsi di Dr.Moewardi. Universitas Muhammadiah Surakarta
Fida & Maya. 2012. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Yogyakarta: D-Medika .
Munir Badrul. 2015, Neurologi Dasar. Cetakan pertama, Universitas Brawijaya Malang,
Sagung Seto. Jakarta
Suriadi, Rita. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak.Edisi 2. Sagung Seto. Jakarta
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Waskitho., & Pungguh, A. (2013). Asuhan keperawatan hipertermi. Jakarta :Salemba
Medika.