Anda di halaman 1dari 35

Resusitasi dan Stabilisasi neonatus

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 005/Rek/PP IDAI/V/2014
tentang
Resusitasi dan Stabilisasi neonatus
 

Tujuan : Membuat bayi baru lahir stabil dalam waktu selambat-lambatnya 1 jam sesudah lahir
1. Menjamin suhu neonatus dalam keadaan normal. Suhu normal bayi baru lahir adalah
dalam rentang 36,5-37,50C yang diukur di aksila selama 3 sampai 5 menitatau sampai
termometer berbunyi jika menggunakan termometer digital.
2. Menjaga patensiairway (jalan napas) yang baik dengan menggunakanContinuous
Positive Airway Pressure (CPAP) untuk bayi yang retraksi atau merintih sejak di kamar
bersalin. Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended
oxygen) dan mengatur konsentrasi oksigen berdasarkan panduan oksimetri dengan target
saturasi oksigen 88-92%.
3. Penilaian sirkulasi bayi baru lahir yang baik dilihat dari beberapa parameter yaitu
1) heart rate antara 120-160 x/menit, 2) pulsasi arteri radialis kuat dan teratur, 3) akral hangat,
dan 4)capillary refill time < 3 detik.
4. Bila bayi tidak dapat minum, dapat dipasang akses melalui vena perifer atau dalam
keadaan darurat dapat menggunakan tali pusat.
5. Identifikasi bayi yang potensial mengalami hipoglikemia, sepertibayi kurang bulan (usia
gestasi <37 minggu), kecil masa kehamilan (KMK), besar masa kehamilan (BMK), bayi dari ibu
penderita diabetes melitus, bayi sakit, dan bayi dari ibu yang mengonsumsi obat-obatan
tertentu (beta-simpatomimetik, penghambat beta, klorpropamid, benzotiazid, dan anti-
depresan trisiklik) selama kehamilan. Apabila pada pemeriksaan ditemukan kadar gula darah <
47 mg/dL dapat diberikan bolus dextrosa 10% 2 mL/kgbb atau segera diberi minum jika tidak
ada kontraindikasi pemberian minum.
6. Bayi harus dirujuk dalam keadaan stabil dan kondisi tersebut dapat dicapai dengan
menerapkan program STABLE. Program STABLE adalah panduan yang dibuat untuk tata
laksana bayi baru lahir yang sakit, mulai dari pasca-resusitasi/pra-transportasi. Program ini
berisi standar tahapan stabilisasi pasca-resusitasi untuk memerbaiki kestabilan, keamanan,
dan luaran bayi. STABLE tersebut merupakan singkatan dari S: Sugar and safe care (kadar
gula darah dan keselamatan bayi), T: Temperature (suhu), A: Airway (jalan napas),
B: Blood pressure (tekanan darah), L: Lab work (pemeriksaan laboratorium), E: Emotional
support (dukungan emosional). Program STABLE mengupayakan kondisi bayi menjadi “warm,
pink, and sweet” secepatnya dalam kurun waktu 1 jam.
7. Padakondisi lingkungan (cuaca dingin, angin kencang, dataran tinggi, jarak jauh) dan
fasilitas kurang memadai, upaya mengendalikan suhu neonatus selama proses
transportasidapat dilakukan dengan perawatan metode kanguru.
 
Referensi :
1. Karlsen K. The S.T.A.B.L.E program, post-resuscitation / pre-transport stabilization care
of sick infants. Utah: March of Dimes; 2006.
2. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, Atkins DL, Chameides L, Goldsmith JP, et al. Part 11:
Neonatal rescucitation: 2010 International consesnsus on cardiopulmonary rescucitation and
emergency cardiovascular care science with treatment recommendations. Circulation.
2010;122:516-38.
3. The Royal Women’s Hospital. Intensive and special care nurseries, clinician’s handbook.
Melbourne: The Royal Women’s Hospital; 2007.
4. Das UG, Leuthner SR. Preparing the neonate for trasnport. Pediatr Clin North Am.
2004;51:581-98.
5. Wang CL, Anderson C, Leona TA, Rich W, Govindaswami B, Finer NN. Resuscitation of
preterm neonates by using room air or 100% oxygen. Pediatrics. 2008;121:1083-9.
6. Vento M, Moro M, Escrig R, Arruza L, Villar G, Izquierdo I. Preterm resuscitation with low
oxygen causes less oxidative stress, inflammation, and chronic lung disease. Pediatrics.
2009;124:439-49.
7. Ringer S A. Rescucitation in the Delivery Room. Dalam: Cloherty J P, Eichenwald EC,
Stark A R. Manual of Neonatal Care edisi ke 6. Philadelphia: Lippincott William and
Wilkins;2008:59-71.
8. Salhab WA, Wyckoff MH, Laptook AR, Perlman JM. Initial hypoglycemia and neonatal
brain injury in term infants with severe fetal acidemia. Pediatrics. 2004;114:361-6.

Tata Laksana Syok

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


 
REKOMENDASI
No.: 004/Rek/PP IDAI/III/2014
tentang
 
Tata Laksana Syok
 

1. Kecepatan dalam memberikan penanganan syok sangat penting, makin lama dimulainya
tindakan resusitasi makin memperburuk prognosis.
2. Prioritas utama yang harus segera dilakukan adalah pemberian oksigen aliran tinggi,
stabilisasi jalan nafas, dan pemasangan jalur intravena, diikuti segera dengan resusitasi
cairan. Apabila jalur intravena perifer sukar didapat, jalur intraoseus (IO) segera dimulai.
3. Setelah jalur vaskular didapat, segera lakukan resusitasi cairan dengan bolus kristaloid
isotonik (Ringer lactate, normal saline) sebanyak 20 mL/kg dalam waktu 5-20 menit.
4. Pemberian cairan dapat diulang untuk memperbaiki tekanan darah dan perfusi jaringan.
Pada syok septik mungkin diperlukan cairan 60 mL/kg dalam 30-60 menit pertama.
5. Pemberian cairan hanya dibatasi bila diduga penyebab syok adalah disfungsi jantung
primer.
6. Apabila setelah pemberian 20-60 mL/kg kristaloid isotonik masih diperlukan cairan,
pertimbangkan pemberian koloid.  Darah hanya direkomendasikan sebagai pengganti volume
yang hilang pada kasus perdarahan akut atau anemia dengan perfusi yang tidak adekuat
meskipun telah mendapat 2-3 x 20 mL/kg bolus kristaloid.
7. Pada syok septik, bila refrakter dengan pemberian cairan, pertimbangkan pemberian
inotropik.
8. Dopamin merupakan inotropik pilihah utama pada anak, dengan dosis 5-10 μgr/kg/menit. 
Apabila syok resisten dengan pemberian dopamin, tambahkan epinefrin (dosis 0,05-0,3
μgr/kg/menit) untuk cold shock atau norepinefrin (dosis 0,05-1 μgr/kg/menit) untuk warm
shock.
9. Syok resisten katekolamin, dapat diberikan kortikosteroid dosis stres (hidrokortison 50
mg/m2/24jam).
10. Dobutamin dipergunakan apabila setelah resusitasi cairan didapatkan curah jantung yang
rendah dengan resistensi vaskular sistemik yang meningkat, ditandai dengan ekstremitas
dingin, waktu pengisian kapiler memanjang, dan produksi urin berkurang tetapi tekanan darah
normal.
11. Pada syok septik, antibiotik harus diberikan dalam waktu 1 jam setelah diagnosis
ditegakkan, setelah sebelumnya diambil darah untuk pemeriksaan kultur dan tes resistensi.
12. Sebagai terapi awal dapat digunakan antibiotik berspektrum luas sampai didapatkan hasil
kultur dan antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab.
13. Target akhir resusitasi yang ingin dicapai merupakan petanda perfusi jaringan dan
homeostasis seluler yang adekuat, terdiri dari: frekuensi denyut jantung normal, tidak ada
perbedaan antara nadi sentral dan perifer, waktu pengisian kapiler < 2 detik, ekstremitas
hangat, status mental normal, tekanan darah normal, produksi urin >1 mL/kg/jam, penurunan
laktat serum.
14. Tekanan darah sebenarnya bukan merupakan target akhir resusitasi, tetapi perbaikan
rasio antara frekuensi denyut jantung dan tekanan darah yang disebut sebagai syok indeks,
dapat dipakai sebagai indikator adanya perbaikan perfusi.
Referensi :
1. Schwarz A. Fluids and electrolytes. Dalam: Schwarz A, penyunting. Blueprints pocket
pediatric ICU. Philadelphia: Lippincott; 2007. h. 31-42.
2. Wilhelm M, Schleien C. Electrolyte and metabolic disorders. Dalam: Nichols DG, Yaster
M, Schleien CL, Paidas CN, penyunting. Golden hour: the handbook of advanced pediatric life
support. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2011. h. 143-59.
3. Nadel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognition and initial management of shock. Dalam:
Nichols DG, penyunting.  Rogers textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 372-83.
4. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, Bion J, parker MM, Jaeschke R, et al. Surviving sepsis
campaign: International guidelines for management of severe sepsis and septic shock:2008.
Crit Care Med, 2008;36:296-327.
Jakarta, 14 Maret 2014

Pemantauan Ukuran Lingkar Kepala dan Ubun-Ubun Besar

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 003/Rek/PP IDAI/I/2014
tentang
Pemantauan  Ukuran Lingkar Kepala dan Ubun-Ubun Besar
 
Pengukuran lingkar kepala dan ubun-ubun besar perlu dilakukan untuk menilai pertumbuhan dan
ukuran otak anak.

Pemantauan lingkar kepala


1. Lingkar kepala anak diukur dengan menggunakan grafik lingkar kepala Nelhaus (1968).
2. Grafik bayi laki-laki cukup bulan dimulai dengan ukuran 32-38 cm, sedangkan grafik bayi
perempuan cukup bulan dimulai dari ukuran 31-37 cm.
3. Lingkar kepala di bawah -2 SD disebut mikrosefali dan bila ukurannya di atas +2 SD
disebut makrosefali.
4. Lingkar kepala diukur setiap bulan pada tahun pertama, setiap 3 bulan pada tahun ke
dua, dan setiap 6 bulan pada usia 3 sampai 5 tahun.
 
Pemantuan ubun-ubun besar
1. Pengukuran ubun-ubun besar (fontanel anterior) juga memegang peranan penting.
2. Ukuran ubun-ubun besar normal pada bayi baru lahir cukup bulan adalah 2 cm x 2 cm,
dengan permukaan agak cekung.
3. Ukuran ubun-ubun besar ini dapat membesar dalam 3 bulan pertama, kemudian akan
mengecil dan menutup dengan bertambahnya umur bayi.
4. Ukuran ubun-ubun besar yang sangat kecil atau lebih besar dari 4 cm harus dicurigai
adanya gangguan perkembangan jaringan otak selama kehamilan.
5. Ubun-ubun besar bayi normal umumnya telah menutup pada usia 19 bulan.
 

Referensi :
1. Ziai M, Penyunting. Pediatrics: evaluation of the child. Boston: Little, Brown and
Company; 1983. h. 17-31.
2. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S, Penyunting. Diagnosis fisis pada anak.
Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto; 2000. h. 48-66.
3. Swaiman KF. Neurologic examination of the term and preterm infant. Dalam: Swaiman
KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric Neurology: Principle and Practice. Edisi ke-
4.  Philadelphia: Mosby Elsevier 2006. h. 47-64.
4. Haslam, RHA. The nervous system. Dalam: Kliegman RM, Behrman R, Jenson HB,
Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18.  Philadephia: Saunders
Elsevier 2007. h. 2433-43.
5. Demyer W. Small, large, or abnormally shaped head. Dalam: Maria BL, penyunting.
Current Management in Child Neurology. Edisi ke-4. Shelton: People’s Medical Publishing
House 2009. h. 413-20.
 

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Disusun oleh: UKK Neurologi IDAI

LAMPIRAN:
Gambar 1. Lingkar kepala perempuan dan laki-laki
(Nellhause G. Pediatrics 1968;41:106).
Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


 
REKOMENDASI
No.: 002/Rek/PP IDAI/I/2014
tentang
 
Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak
1. Anak adalah manusia sejak pembuahan sampai berakhirnya proses tumbuh kembang
yang secara operasional diterjemahkan menjadi dari saat awal kehamilan sampai dengan usia
18 tahun. Anak merupakan investasi generasi suatu bangsa, sehingga kualitas anak sangat
menentukan keberlangsungan generasi dan kualitas bangsa.
2. Kualitas anak sangat ditentukan oleh keberlangsungan proses tumbuh-kembangnya sejak
periode di dalam kandungan dan periode awal kehidupannya selama masa kritis pada 3 tahun
pertama.
3. Proses tumbuh kembang anak selama masa kritis 3 tahun pertama kehidupannya harus
terpantau dan tercatat dengan baik, yang bertujuan menemukan adanya gangguan tumbuh
kembang secara dini sehingga dapat dilakukan penanganan sedini mungkin sebelum anak
melewati masa kritisnya.
1. Pemeriksaan untuk pemantauan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah
terlatih dengan baik untuk pemeriksaan dasar tumbuh-kembang anak.
2. Pemantauan dilakukan untuk semua anak tanpa kecuali baik anak yang terlahir
dengan risiko rendah maupun risiko tinggi.
3. Pemantauan dilakukan secara reguler dan kontinyu dengan jadwal
1) Usia lahir sampai 12 bulan setiap 1 bulan; 2) Usia 12 bulan sampai 3 tahun setiap 3 bulan;
3) Usia 3 tahun sampai 6 tahun setiap 6 bulan; 4) Usia 6 tahun sampai 18 tahun setiap 1
tahun.

4. Pemantauan tumbuh-kembang anak hendaknya dilakukan dengan prinsip-prinsip utama


sebagai berikut:
5. Setiap institusi pelayanan kesehatan anak diharuskan mempunyai pelayanan
pemantauan tumbuh-kembang anak yang dibina oleh dokter spesialis anak setempat.
6. Setiap dokter spesialis anak di Indonesia harus terlatih untuk melakukan skrining dasar    
tumbuh-kembang anak dalam pelayanan kesehatan anak sehari-hari.
 
 

Referensi :
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Anggaran dasar Anggaran Rumah Tangga BAB I pasal
1(4). Jakarta: IDAI. 2011.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Anak.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan.
4. Depkes RI. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta. 2010.
5. Buku tumbuh Kembang Anak dan Remaja edisi pertama. Jakarta : CV Sagung Seto.
2002.
6. American Academy of Pediatrics. Identifying infants and young children with
developmental disorders in the medical home: An algorithm for developmental surveillance and
screening. council on children with disabilities, section on developmental behavioral pediatrics,
bright futures steering committee and medical home initiatives for children with special needs
project advisory committee. Pediatrics. 2006;118: 405-20.
 

Jakarta, 14 Maret 2014

Memerah dan Menyimpan Air Susu Ibu (ASI)

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 006/Rek/PP IDAI/V/2014
tentang
Memerah dan Menyimpan Air Susu Ibu (ASI)
 

A. Memerah Air Susu Ibu (ASI)


1. Memerah ASI diperlukan untuk merangsang pengeluaran ASI pada keadaan payudara
sangat bengkak, puting sangat lecet, dan pada bayi yang tidak dapat diberikan minum.
2. ASI diperah bila ibu tidak bersama bayi saat waktu minum bayi.
3. Untuk meningkatkan produksi ASI, payudara dikompres dengan air hangat dan dipijat
dengan lembut sebelum memerah ASI.
4. Memerah yang dilakukan secara rutin dapat meningkatkan produksi ASI
5. Bila ASI akan diperah secara rutin, dianjurkan menggunakan kantong plastik yang
didisain untuk menyimpan ASI, yang pada ujungnya terdapat perekat untuk menutupnya.
Kumpulan kantong plastik kecil tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik besar agar
terlindung dan terhindar dari robek/ lubang. Pada setiap kantong plastik harus diberi label
tanggal dan waktu memerah.
 

B. Cara memerah ASI dengan tangan


1. Gunakan wadah yang terbuat dari plastik atau bahan metal untuk menampung ASI.
2. Cuci tangan terlebih dahulu dan duduk dengan sedikit mencondongkan badan ke depan.
3. Payudara dipijat dengan lembut dari dasar payudara ke arah puting susu.
4. Rangsang puting susu dengan ibu jari dan jari telunjuk anda.
5. Letakkan ibu jari di bagian atas sebelah luar areola (pada jam 12) dan jari telunjuk serta
jari tengah di bagian bawah areola (pada jam 6).
6. Tekan jari-jari ke arah dada, kemudian pencet dan tekan payudara di antara jari-jari, lalu
lepaskan, dorong ke arah puting seperti mengikuti gerakan mengisap bayi. Ulangi hal ini
berulang-ulang.
7. Hindari menarik atau memeras terlalu keras. Bersabarlah, mungkin pada awalnya akan
memakan waktu yang agak lama.
8. Ketika ASI mengalir lambat, gerakkan jari di sekitar areola dan berpindah-pindah tempat,
kemudian mulai memerah lagi.
9. Ulangi prosedur ini sampai payudara menjadi lembek dan kosong.
10. Menggunakan kompres hangat atau mandi dengan air hangat sebelum memerah ASI
akan membantu pengeluaran ASI.
 
C. Menyimpan ASI
1. ASI perah disimpan dalam lemari pendingin atau menggunakan portable cooler bag
2. Untuk tempat penyimpanan ASI, berikan sedikit ruangan pada bagian atas wadah
penyimpanan karena seperti kebanyakan cairan lain, ASI akan mengembang bila dibekukan.
3. ASI perah segar dapat disimpan dalam tempat/wadah tertutup selama 6–8 jam pada suhu
ruangan (26ºC atau kurang). Jika lemari pendingin (4ºC atau kurang) tersedia, ASI dapat
disimpan di bagian yang paling dingin selama 3-5 hari, di freezer satu pintu selama 2 minggu,
di freezer dua pintu selama 3 bulan dan di dalam deep freezer (-18ºC atau kurang) selama 6
sampai 12 bulan.
4. Bila ASI perah tidak akan diberikan dalam waktu 72 jam, maka ASI harus dibekukan.
5. ASI beku dapat dicairkan di lemari pendingin, dapat bertahan 4 jam atau kurang untuk
minum berikutnya, selanjutnya ASI dapat disimpan di lemari pendingin selama 24 jam tetapi
tidak dapat dibekukan lagi.
6. ASI beku dapat dicairkan di luar lemari pendingin pada udara terbuka yang cukup hangat
atau di dalam wadah berisi air hangat, selanjutnya ASI dapat bertahan 4 jam atau sampai
waktu minum berikutnya tetapi tidak dapat dibekukan lagi.
7. Jangan menggunakan microwave dan memasak ASI untuk mencairkan atau
menghangatkan ASI.
8. Sebelum ASI diberikan kepada bayi, kocoklah ASI dengan perlahan untuk mencampur
lemak yang telah mengapung.
9. ASI perah yang sudah diminum bayi sebaiknya diminum sampai selesai, kemudian
sisanya dibuang.
 

Referensi:
1. World Health Organization, UNICEF. Breastfeeding counselling. A training course.
Geneva: WHO. 2009.
2. Suradi R, Hegar B, Partiwi IGAN dkk. Indonesia Menyusui. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.
2010.
 

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Skrining Hipotiroid Kongenital Bayi Baru Lahir


IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA
REKOMENDASI
No.: 09/Rek/PP IDAI/07/2014
tentang
 

Skrining Hipotiroid Kongenital Bayi Baru Lahir


 

Memperhatikan:

1. Hipotiroid kongenital merupakan salah satu penyebab terjadinya retardasi mental pada
anak.
2. Insidens hipotiroid kongenital adalah 1: 3000-4000.
3. Bayi hipotiroid kongenital dapat menunjukkan gejala letargi, ikterus, konstipasi, sering
tersedak, kulit teraba dingin, tangisan serak, kulit kering, perut buncit, hernia umbilikalis,
hipotonia, fontanel posterior melebar, lidah besar, edema, refleks lambat, dan goiter.
4. Penyakit hipotiroid kongenital dapat disembuhkan secara total jika pengobatan dilakukan
sejak dini.
Rekomendasi:

1. Perlu melakukan skrining hipotiroid kongenital pada semua bayi baru lahir.
2. Skrining hipotiroid kongenital dilakukan dengan:
a. Mengambilsampel darah kapiler dari permukaan lateral kaki bayi atau bagian
medial tumit, pada hari ke 2 sampai 4 setelah lahir.
b. Darah kapiler diteteskan ke kertas saring khusus.
c. Kertas saring tersebut dikirim ke laboratoriumyang memiliki fasilitas
pemeriksaan Thyroid-Stimulating Hormone (TSH).
3. Bayi dengan hasil uji skrining positif segera dipanggil kembali untuk pemeriksaan TSH
dan T4 serum. Bila hasil TSH tinggi dan FT4 rendah atau hasil FT4 rendah dan berapapun
TSH, segera berikan tiroksin.
a. Bila memungkinkan, lakukan pemeriksaan skintigrafi/sidik tiroid dan
ultrasonografi (USG) tiroid.
b. Bila memungkinkan untuk melakukan kedua pemeriksaan tersebut tetapi
secara teknis sulit dikerjakan pada neonatus, berikan tiroksin dahulu sampai usia 3
tahun.
c. Bila tidak memungkinkan karena lokasi bayi terlalu jauh dari RS rujukan,
tiroksin diberikan dahulu sampai usia 3 tahun kemudian dilakukan retesting off
treatment (obat dihentikan kemudian dilakukan pemeriksaan skintigrafi/sidik tiroid dan
USG tiroid).
4. Perlu penjelasan atau penyuluhan kepada orangtua bayi mengenai:
a. Penyebab hipotiroid kongenital pada bayi mereka.
b. Pentingnya diagnosis dan terapi dini untuk mencegah hambatan tumbuh
kembang bayi.
c. Cara pemberian obat tiroksin.
d. Pentingnya pemeriksaan secara teratur sesuai jadwal yang dianjurkan dokter.
 

Referensi :
1. Pedoman Skrining Hipotiroid Kongenital. Kementerian Kesehatan RI Indonesia; 2012
2. Rose SR, Brown RS. Update of newborn screening and therapy for congenital
hypothyroidism. Pediatrics 2006;117:2290-303.
Tata laksana Menurunkan Angka Kematian Ketoasidosis Diabetikum (KAD) pada Anak
dengan Diabetes Melitus Tipe 1 (DM 1)

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 008/Rek/PP IDAI/V/2014
tentang
Tata laksana Menurunkan Angka Kematian Ketoasidosis Diabetikum (KAD) pada Anak
dengan Diabetes Melitus Tipe 1 (DM 1)
Memperhatikan:

1. Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan komplikasi akut Daiabetes Melitus tipe I (DM
I) yang disebabkan kekurangan insulin.
2. KAD sering terjadi akibat keterlambatan penegakan diagnosis kasus baru DM 1 pada
anak.
3. Insiden kematian akibat KAD sebesar 0,15-0,3%, bahkan lebih tinggi pada daerah
dengan keterbatasan fasilitas.
4. Sebesar 57-87% penyebab kematian pada KAD adalah edema serebri.
5. Seperempat penderita edema serebri pada KAD yang berhasil diselamatkan memiliki
gangguan neurologis permanen.
Rekomendasi:

1. Perlu kewaspadaan gejala dan tanda KAD pada anak dengan DM 1, di antaranya:
poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, sesak nafas (pernafasan Kusmaull, bau
keton), nyeri perut, muntah dan letargi.
2. Perlu pemeriksaan gula darah sewaktu pada semua kegawatan anak terutama di unit
gawat darurat.
3. Perlu pemeriksaan analisis gas darah, elektrolit, keton darah/urin untuk menegakkan
diagnosis KAD (pH <7,3; HCO3 < 15 mmol/L).
4. Perlu diketahui dan dikuasai prinsip tata laksana KAD pada anak dengan DM 1, yaitu:
a. Penilaian kegawatan berupa tanda klinis dan infeksi.
b. Perbaikan jalan nafas, pipa nasogastrik, akses intravena, monitor jantung,
oksigenasi, antibiotik bila ada infeksi, dan kateter urin.
c. Syok (bila ada) diatasi dengan pemberian cairan normal saline 0,9% untuk
penggantian cairan dalam 4-6 jam pertama, dilanjutkan dengan normal saline 0,9%
ditambah dengan KCl untuk 48 jam berikutnya.
d. Insulin kerja pendek/cepat (0,1 unit/kg BB/jam) diberikan 1-2 jam setelah terapi
cairan
e. Koreksi kalium bergantung pada kadar kalium dalam darah: hipokalemia (KCl
20 mmol/L sebelum terapi insulin), normokalemia (KCl 20 mmol/L bersamaan dengan
insulin), hiperkalemia (tunda pemberian KCl hingga diuresis)
f. Bikarbonat (1 mmol/kg BB dalam 60 menit) tidak rutin digunakan, kecuali
asidemia berat atau syok.
g. Perlu pemantauan pemeriksaan darah berkala (gula darah sewaktu/jam,
analisis gas darah, elektrolit, keton), elektrokardiografi bila perlu, dan keton urin.
5. Perlu mengenal gejala dan tanda edema serebri berupa: nyeri kepala, frekuensi denyut
jantung menurun, perubahan status neurologis, gejala gangguan neurologis, peningkatan
tekanan darah, dan penurunan saturasi oksigen. Apabila terdapat gejala dan tanda tersebut,
dapat diberikan tata laksana berupa pengurangan kecepatan infus cairan dan pemberian
manitol 0,5-1 g/kg IV dalam 20 menit atau NaCl 0,3% 5 mL/kg dalam 30 menit.
6. Perlu perawatan kasus KAD pada anak dengan DM 1 di unit perawatan intensif atau yang
setara.
7. Perlu pelatihan tata laksana KAD pada anak dengan DM 1 kepada dokter spesialis anak.
 

Referensi:
1. International Diabetes Federation. Global IDF/ISPAD Guideline for Diabetes in Childhood
and Adolescence. 2011.
2. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes
Mellitus Tipe 1. 2009.

Antibiogram di Rumah Sakit

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


 
REKOMENDASI
No.: 10/Rek/PP IDAI/VIII/2014
tentang
 
Antibiogram di Rumah Sakit
 

Memperhatikan:
1. Berdasarkan penelitian, lebih dari 30% pasien di rumah sakit mendapat antibiotik, 60%-
nya adalah untuk pasien yang tidak terbukti mengalami infeksi bakteri.
2. Sekitar 13-15% cara pemberian antibiotik adalah tidak tepat.
3. Tujuh puluh persen antibiotik yang digunakan berharga mahal, padahal antibiotik dengan
harga lebih murah masih dapat digunakan.
4. Dua puluh persen komplikasi dapat terjadi akibat penggunaan antibiotik, seperti: toksisitas
ginjal atau infeksi rumah sakit.
 

Rekomendasi:
1. Setiap rumah sakit perlu memiliki antibiogram, yaitu peta jenis kuman hasil kultur dan uji
kepekaan, sebagai acuan pemberian antibiotik empiris di rumah sakit.
2. Tujuan penggunaan antibiogram di rumah sakit adalah:
a. Membantu pemilihan antibiotik empiris sebelum didapatkan hasil kultur yang
akan menjadi acuan terapi definitif.
b. Mendapat gambaran kecenderungan terjadinya resistensi sebuah antibiotik.
c. Memperlihatkan adanya kejadian luar biasa akibat infeksi bakteri.
d. Menjadi panduan penyusunan formularium antibiotik di rumah sakit.
e. Sebagai bagian dari regulasi rumah sakit.
3. Sebelum antibiotik diberikan, perlu pengambilan bahan/spesimen untuk pemeriksaan
biakan dan uji kepekaan antibiotik.
4. Untuk itu, setiap rumah sakit perlu memiliki laboratorium mikrobiologi, sumber daya
manusia, sarana, dan prasarana untuk menunjang proses pengambilan bahan biakan dan
pemeriksaan laboratorium agarmendapat hasil biakan yang akurat.
5. Terapi definitif diberikan setelah terdapat hasil kultur dan uji kepekaan.
 
Referensi :
1. Bochud PY, Bonten M, Marchetti O. Antimicrobial therapy for patients with severe sepsis
and septic shock: an evidence-based review. Crit Care Med. 2004;321Supl 1:S495–512.
2. Boehme MS, Somsel PA, Downes FP. Systematic review of antibiograms: a national
laboratory system approach for improving antimicrobial susceptibility testing practices in
Michigan. Public Health Rep. 2010;125Supl 2:S63–72.
3. CDC-WHO. Antibiogram surveillance method using cumulative susceptibility data.
Didapat dari:  http://www.cdc.gov/abcs/reports-findings/downloads/antibiogram-method.pdf.
4. Fridkin SK, Edwards, JR, Tenover FC, Gaynes RP, McGowan JE Jr. Antimicrobial
resistance prevalence rates in hospital antibiograms reflect prevalence rates among pathogens
associated with hospital-acquired infections. Clin Infect Dis. 2001;33:324-30.
5. Hindler JF, Stelling J. Analysis and presentation of cumulative antibiograms: a new
consensus guideline from the clinical and laboratory standards institute. Clin Infect Dis.
2007;44:867-73.
6. Joshi S. Hospital antibiogram: A necessity. Indian J Med Microbiol. 2010;28:277-80.
7. Mitchell M, Levy MM, Dellinger RP,Sean R, Townsend WT, Linde-Zwirble JC. The
surviving sepsis campaign: results of an international guideline-based performance
improvement program targeting severe sepsis. Intensive Care Med. 2010;36:222–31.
8. Pakyz AL. The utility of hospital antibiograms as tools for guiding empiric therapy and
tracking resistance. Insights from the society of infectious diseases pharmacists.
Pharmacotherapy 2007;27:1306-12.
9. Souli M, Galani I, Giamarallou I. Emergence of extensively drug-resistant and pandrug-
resistant gram-negative bacilli in Europe. Eurosurveillance 2008;13:1-10.
10. Stein CR, Weber DJ, Kelley M. Using hospital antibiogram data to assess regional
pneumococcal resistance to antibiotics. Emerg Infect Dis. 2003;9:211–16.
11. Stein CR, Weber DJ, Kelley M, Boggan JC. Pediatric-specific antimicrobial susceptibility
data and empiric antibiotic selection. Pediatrics 2012;130:615.
12. Thomas JG, Rector NT. Susceptibility-testing protocols for antibiograms and preventive
surveillance: a continuum of data collection, analysis and presentation. Dalam: antimicrobial
susceptibility testing protocols. Scwalbe R, Moore LS, Goodwin AC, penyunting. CRC Press,
Boca Raton FL USA, 2007.
13. Van Beneden CA, Lexau C, Baughman W, Barnes B, Bennet N, Cassidy PM, dkk.
Aggregated antibiograms and monitoring of drug-resistant Streptococcus pneumoniae. Emerg
Infect Dis. 2003;9:1089-95Weinstein MP, Reller LP, Murphy JR. The clinical significance of
positive blood cultures: A comprehensive analysis of 500 episodes of bacteremia and fungemia
in adults. Laboratory and epidemiologic observations. Rev Infect Dis. 1983;5:35–53.
14. Zapantis A, Lacy MK, Horvat RT, Grauer D, Barnes BJ, O’Neal B, Couldry R.Nationwide
antibiogram analysis using NCCLS M39-A guidelines. J Clin Microbiol. 2005;43:2629-34.
 

Kehadiran Dokter Spesialis Anak pada Pertolongan Persalinan per Vaginam

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 007/Rek/PP IDAI/XI/2013
tentang
Kehadiran Dokter Spesialis Anak pada Pertolongan Persalinan per Vaginam
 

Memperhatikan:
 
1. Sebanyak 90% persalinan akan berjalan normal dan bayi yang lahir tidak memerlukan
bantuan aktif sedangkan yang membutuhkan resusitasi lengkap sampai intubasi hanya 1-3%
dari seluruh persalinan.
2. Pada umumnya literature menyebutkan bahwa kehadiran dokter spesialis anak
dibutuhkan pada persalinan dengan risiko.
3. Tidak ada literatur yang menyebutkan keharusan kehadiran dokter spesialis anak pada
partus per vaginam tanpa risiko.
 

Rekomendasi:
 

1. Dokter spesialis anak tidak perlu menghadiri setiap persalinan per vaginam
2. Persalinan per vaginam yang perlu dihadiri oleh dokter spesialis anak adalah persalinan
yang mempunyai faktor risiko, yaitu :
a. Prematuritas dengan usia gestasi antara 22 sampai 36 minggu (< 36 minggu)
atau postmatur > 42 minggu
b. Kehamilan ganda atau kembar
c. Kelainan presentasi janin, presentasi bokong
d. Persalinan per vaginam dengan bantuan alat forsep atau vakum
e. Ibu yang mendapat obat petidin atau narkotik dalam < 4 jam sebelum partus
f. Air ketuban meconium staining
g. Gawat janin yang dibuktikan dengan kelainan CTG atau Doppler
h. Analgesi maternal sistemik yang diberikan dalam 2 jam sebelum persalinan
i. Persalinan seksio sesar (tidak termasuk seksio sesar ulangan rutin dengan
anestesi regional)
j. Intrauterine growth retardation (IUGR) atau makrosomia
k. Polihidramnion
l. Korioamnionitis, abrupsio plasenta
m. Janin tersangka kelainan jantung bawaan atau disritmia kardiak
n. Ketuban pecah dini > 24 jam
o. Ibu dengan preeklamsia atau eklampsia
p. Persalinan dengan anestesi umum
q. Meningkatnya risiko infeksi neonatal seperti ibu yang mendapat antibiotik
profilaksis <4 jam sebelum persalinan vaginal atau tersangka infeksi TORCH
r. Terdapat kelainan anatomi saat antenatal termasuk tersangka kelainan
kromosom
. Rumah sakit perlu membentuk tim gawat darurat (blue team) yang terlatih yang bertugas
menangani keadaan gawat darurat, termasuk pada janin dan bayi baru lahir, yang dapat terjadi
sewaktu-waktu di rumah sakit
. Petugas kesehatan (dokter, bidan atau perawat) yang membantu persalinan per vaginam
harus mempunyai kompetensi dalam menangani kegawatan pada janin atau bayi baru lahir
 

Rekomendasi ini dibuat untuk diketahui dan digunakan sebagai acuan bagi semua dokter spesialis
anak dan pihak lain yang berkepentingan

Daftar referensi:
 

1. Tawam Hospital in affiliation with Johns Hopkins Medicine. Medical Affairs Department of
Pediatrics. Clinical practice guideline. Attendance of pediatrician at delivery. Agustus 2011.
2. Boston Medical Centre. Maternal child health policy and procedure manual. NICU delivery
team policy for high risk deliveries. June 2009.
3. University of Michigan Women’s Hospital. Pediatric provider presence at deliveries. Juli
2010.
4. Primhak RA, Herber SM, Whincup G, Milner RDG. Which deliveries require paediatricians
in attendance? Br Med J. 1984;289:16-8.
5. Gonzalez F, Juliano S. Is pediatric attendance necessary for all cesarean section? JAQA
2002;102:127-9.
6. Arya R, Pethen T, Johanson RB,Spencer SA. Outcome in low risk pregnancies. Archs Dis
Child 1996;75:F97-102.
7. Levine EM, Ghai V, Barton JJ, Strom CM. Pediatrician attendance at cesarean delivery:
Necessary or not? Obstet Gynecol. 1999;93:338-40.
8. Tooke LJ, Joolay Y, Horn AR, Harrison MC. Is the attendance of paediatricians at all
elective caesarean sections an effective use of resources? S Afr Med J. 2011;101:749-50
9. Gordon A, MacKechnie EJ, Jeffrey H. Pediatric presence at caesarean section: Justified
or not? Am J Obstet Gynecol. 2005;193:599-605.
10. Atherton N, Parsons SJ, Mansfield P. Attendance of paediatrician at elective caesarean
sections performed under regional anesthesia: Is it warranted? J Paediatr Child Health.
2006;42:332-6.
11. Kamath BD, Todd JK, Glazner JE,  Lezotte D, Lynch AM.  Neonatal outcomes after
elective caesarean delivery. Obstet Gynecol.2009;113:1231-8.
12. Parsons SJ, Sonneveld S, Nolan T. Is a paediatrician  needed at all caesarean section? J
Paediatr Child Health. 1998;34:241-4.
13. Johanson R, Newburn M, Macfarlane A. Has the medicalization of childbirth gone too far?
BMJ.2002;324:892-5.
Hiperplasia Adrenal Kongenital (Congenital Adrenal Hyperplasia)

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 006/Rek/PP IDAI/VII/2013
tentang
Hiperplasia Adrenal Kongenital (Congenital Adrenal Hyperplasia)
 

1. Perlu skrining pada bayi baru lahir terhadap hiperplasia adrenal kongenital (HAK),
khususnya HAK dengan defisiensi enzim 21 hidroksilase. Skrining ini dapat diintegrasikan
dengan program skrining bayi baru lahir yang lain seperti terhadap hipotiroid kongenital.
2. Perlu pemeriksaan 17 hidroksi progesteron (17OHP) pagi hari untuk menegakkan
diagnosis HAK pada kasus-kasus yang diduga secara klinis mengalami HAK.
3. Perlu pengadaan sarana diagnostik untuk pemeriksaan 17 hidroksi progesteron di
Indonesia.
4. Perlu pemberian terapi rumatan untuk pasien HAK klasik dengan menggunakan tablet
hidrokortison.
5. Perlu pemberian fludrokortison tablet pada pasein HAK klasik, terutama pada bayi baru
lahir dan masa bayi.
6. Perlu pemberian hidrokortison injeksi pada pasien HAK klasik yang mengalami kondisi
gawat darurat, berupa krisis adrenal.
7. Perlu pengadaan hidrokortison tablet, hidrokortison injeksi, dan fludrokortison tablet untuk
digunakan sebagai pengobatan pasien HAK.
 

Referensi :
1. Speiser PW, Azziz R, Baskin LS, Ghizzoni L, Hensle TW, Merke DP. Congenital adrenal
hyperplasia due to steroid 21-hydroxylase deficiency: an endocrine society clinical practice
guideline. J ClinEndocrinol Metab. 2010;95:4133-60.
2. Joint LWPES/ESPE CAH Working Group; Consensus statement on 21-hydroxylase
deficiency from the Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society and the European Society for
Paediatric Endocrinology. J Clin Endocrinol Metab. 2002;87:4048–53.
3. White PC. Neonatal screening for congenital adrenal hyperplasia. Nat Rev Endocrinol.
2009;5:490-8.
Tes Kulit pada Pemberian Injeksi Antibiotik

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 005/Rek/PP IDAI/VI/2013
tentang
Tes Kulit  pada Pemberian Injeksi Antibiotik
 
1. Tes kulit hanya direkomendasikan untuk antibiotik golongan penisilin, harus
menggunakan penisilin dan metabolitnya yang telah terbukti menimbulkan reaksi alergi.
2. Tes kulit terhadap penisilin dengan metabolit determinan mayor dan minor merupakan tes
yang paling dipercaya untuk evaluasi IgE-mediated alergi penisilin. Nilai ramal negatif tes kulit
terhadap penisilin adalah mendekati 100%, dan nilai ramal prositif adalah antara 40%-100%.
3. Tes kulit memberikan bukti sensitisasi terhadap obat tertentu tetapi harus selalu
dinterpretasikan sesuai konteks klinis dan tidak digunakan untuk skrining alergi obat.
4. Berhubung saat ini di Indonesia belum tersedia sediaan metabolit penisilin, maka tes kulit
untuk antibiotik tidak direkomendasikan. Jika diperlukan antibiotik secara  parenteral, maka
diperlukan perangkat penanganan reaksi anafilaksis.
 

Referensi :
1. Barbaud A, Goncalo M, Bruynzeel D, Bircher A, Guidelines for performing skin tests with
drugs in the investigation of cutaneous adverse drug reactions. Contact dermatitis
2001;45:321–8.
2. Bernstein IL, Li JT, Bernstein DI, Hamilton R, Spector SL, Tan R, dkk. Allergy diagnostic
testing: an updated practice parameter. Part 2. Ann Allergy Asthma Immuno.l 2008;100 Supl
3:S66-121.
3. Lee SH, Park HW, Kim SH, dkk. The current practice of skin testing for antibiotics in
Korean hospitals. Korean J Intern Med. 2010;25:207–12.
4. Fox S, Park MA. Penicillin skin testing in the evaluation and management of penicillin
allergy. Ann Allergy Asthma Immunol. 2011;1;106:1–7.
5. Langley JM, Halperin S. Allergy to antibiotics in children: perception versus reality. Can J
Infect Dis. 2002;13:160–3.
6. Macy E, Ho NJ. Adverse reactions associated with therapeutic antibiotic use after
penicillin skin testing. Perm J.  2011;15: 31–7.
7. Solensky R, Khan DA. Drug allergy: an updated practice parameter.  Annals of Allergy,
Asthma & Immunol. 2010;105: 1-76.
8. Thong BY. Update on the management of antibiotic allergy. Allergy Asthma Immunol Res.
2010;2:77–86.
9. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Allergy, Asthma & Clinical Immunol.
2011;7 Supl 1:S10. 

Tes Kulit pada Pemberian Injeksi Antibiotik

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 005/Rek/PP IDAI/VI/2013
tentang
Tes Kulit  pada Pemberian Injeksi Antibiotik
 
1. Tes kulit hanya direkomendasikan untuk antibiotik golongan penisilin, harus
menggunakan penisilin dan metabolitnya yang telah terbukti menimbulkan reaksi alergi.
2. Tes kulit terhadap penisilin dengan metabolit determinan mayor dan minor merupakan tes
yang paling dipercaya untuk evaluasi IgE-mediated alergi penisilin. Nilai ramal negatif tes kulit
terhadap penisilin adalah mendekati 100%, dan nilai ramal prositif adalah antara 40%-100%.
3. Tes kulit memberikan bukti sensitisasi terhadap obat tertentu tetapi harus selalu
dinterpretasikan sesuai konteks klinis dan tidak digunakan untuk skrining alergi obat.
4. Berhubung saat ini di Indonesia belum tersedia sediaan metabolit penisilin, maka tes kulit
untuk antibiotik tidak direkomendasikan. Jika diperlukan antibiotik secara  parenteral, maka
diperlukan perangkat penanganan reaksi anafilaksis.
 

Referensi :
1. Barbaud A, Goncalo M, Bruynzeel D, Bircher A, Guidelines for performing skin tests with
drugs in the investigation of cutaneous adverse drug reactions. Contact dermatitis
2001;45:321–8.
2. Bernstein IL, Li JT, Bernstein DI, Hamilton R, Spector SL, Tan R, dkk. Allergy diagnostic
testing: an updated practice parameter. Part 2. Ann Allergy Asthma Immuno.l 2008;100 Supl
3:S66-121.
3. Lee SH, Park HW, Kim SH, dkk. The current practice of skin testing for antibiotics in
Korean hospitals. Korean J Intern Med. 2010;25:207–12.
4. Fox S, Park MA. Penicillin skin testing in the evaluation and management of penicillin
allergy. Ann Allergy Asthma Immunol. 2011;1;106:1–7.
5. Langley JM, Halperin S. Allergy to antibiotics in children: perception versus reality. Can J
Infect Dis. 2002;13:160–3.
6. Macy E, Ho NJ. Adverse reactions associated with therapeutic antibiotic use after
penicillin skin testing. Perm J.  2011;15: 31–7.
7. Solensky R, Khan DA. Drug allergy: an updated practice parameter.  Annals of Allergy,
Asthma & Immunol. 2010;105: 1-76.
8. Thong BY. Update on the management of antibiotic allergy. Allergy Asthma Immunol Res.
2010;2:77–86.
9. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Allergy, Asthma & Clinical Immunol.
2011;7 Supl 1:S10. 
 

Tuberkulosis

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 004/Rek/PP IDAI/VI/2013
tentang
Tuberkulosis
 
1. Diagnosis tuberkulosis (TB) pada anak didasarkan pada:
a. Bukti atau kecurigaan adanya kontak dengan sumber infeksi TB, biasanya
pasien TB dewasa dengan hasil basil tahan asam (BTA) positif.
b. Gejala dan tanda klinis sugestif TB, termasuk penilaian seksama terhadap
kurva tumbuh kembang anak.
c. Uji tuberkulin positif.
d. Gambaran radiologis sugestif ke arah TB.
3. Uji tuberkulin penting dalam penegakan diagnosis TB pada anak. Sangat tidak
direkomendasikan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan radiologis.
4. Terapi TB anak terdiri atas minimal 3 obat (H, R, Z) dalam fase intensif (2 bulan) dan 2
obat (H, R) dalam fase lanjut. Etambutol ditambahkan pada kasus berat seperti TB milier,
meningitis TB, TB tulang dan TB ekstra paru berat lainnya.
5. Contact tracing atau investigasi lanjutan dilakukan pada :
a. Seluruh anak yang didiagnosis TB, yaitu untuk mencari sumber penularan.
b. Seluruh anak yang kontak erat dengan pasien TB dewasa terutama dengan
sputum BTA positif, yaitu dengan mengevaluasi anak tersebut terhadap kemungkinan
tertular TB.
. Anak balita sehat yang kontak erat dengan pasien TB dewasa BTA positif harus
mendapat profilaksis INH.
 

Referensi:
1. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on the
management of tuberculosis in children. WHO/HTM/TB/2006.371. Geneva: WHO; 2006.
2. Stop TB Partnership Childhood TB Subgroup, World Health Organization. Guidance for
national tuberculosis programmes on the management of tuberculosis in children: childhood
contact screening and management. Int J Tuberc Lung Dis. 2007;11:12–5.
3. Ormerod LP. Drug therapy for children with tuberculosis. Arch Dis Child. 2012;97:1097–
101.
4. Swaminathan S, Rekha B. Pediatric tuberculosis: global overview and challenges. Clinl
Infec Dis. 2010;50 Supl 3:S184–194.
5. Rigouts L. Diagnosis of childhood tuberculosis. Eur J Pediatr. 2009;168:1285–90.
6. LoBue PA, Enarson DA, Thoen TC. Tuberculosis in humans and its epidemiology,
diagnosis and treatment in the United States. Int J Tuberc Lung Dis. 2010;14:1226–32.
7. Singh M, Mynak ML, Kumar L, dkk. Prevalence and risk factors for transmission of
infection among children in household contact with adults having pulmonary tuberculosis. Arch
Dis Child. 2005;90:624–8.
8. Armbruster B, Brandeau ML. Contact tracing to control infectious disease: when enough
is enough. Health Care Manage Sci. 2007;10:341–55.
9. Underwood BR, White VLC, Baker T. Contact tracing and population screening for
tuberculosis – who should be assessed? Journal of Public Health Medicine 2003;25:59–61.

Penanganan Perdarahan Akut pada Hemofilia


IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA
REKOMENDASI
No.: 003/Rek/PP IDAI/VI/2013
tentang
Penanganan Perdarahan Akut pada Hemofilia

1. Hemofilia A disebabkan kekurangan faktor VIII, sedangkan hemofilia B disebabkan


kekurangan faktor IX.
2. Secara klinis, perdarahan pada hemofilia A maupun B tidak dapat dibedakan.
Perdarahan  dapat terjadi spontan atau pasca trauma/operasi. Berdasarkan aktifitas kadar
faktor VIII/IX, hemofilia dapat diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat.
3. Tata laksana pasien hemofilia harus bersifat komprehensif dan multidisiplin, melibatkan
tenaga medis di bidang hematologi, bedah ortopedi, gigi, psikiatri, rehabilitasi medik, serta unit
transfusi darah.
4. Bila terjadi perdarahan akut pada sendi/otot, sebagai pertolongan pertama perlu
dilakukan RICE (rest, ice, compression, elevation).
5. Dalam waktu kurang dari 2 jam pasien harus mendapat replacement therapyfaktor VIII/IX.
6. Untuk perdarahan yang mengancam jiwa (intrakranial, intra abdomen atau saluran
napas), replacement therapy harus diberikan sebelum pemeriksaan  lebih lanjut.
7. Selain replacement therapy, dapat diberikan terapi ajuvan untuk pasien hemofilia, yaitu :
a. Desmopresin (1-deamino-8-D-arginine vasopressin atau DDAVP).
Dosis: 0,3 mg/kg (meningkatkan kadar F VIII 3-6x dari baseline).

Cara pemberian: DDAVP dilarutkan dalam 50-100 ml normal saline, diberikan melalui infus
perlahan dalam 20-30 menit.
DDAVP juga dapat diberikan intranasal, dengan menggunakan preparat DDAVP nasal
spray. Dosis DDAVP intranasal yaitu 300 mg, setara dengan dosis intravena 0,3 mg/kg.
DDAVP intranasal terutama sangat berguna untuk mengatasi perdarahan minor pasien
hemofilia ringan-sedang di rumah.
Efek samping DDAVP: takikardi, flushing, tremor, dan nyeri perut (terutama pada
pemberian intravena yang terlalu cepat), retensi cairan dan hiponatremia.

b. Asam traneksamat
Indikasi : perdarahan mukosa seperti epistaksis, perdarahan gusi.

Kontra indikasi : perdarahan saluran kemih (risiko obstruksi saluran kemih akibat bekuan
darah).

Dosis : 25 mg/kgBB/kali, 3 x sehari, oral/intravena. Dapat diberikan selama 5-10 hari.


Referensi :
1. Montgomey RR, Gill JC, Scott JP. Hemophilia and von willebrand disease. Dalam: Nathan
DG, Orkin SH, penyunting. Nathan and oski’s hematology of infancy and childhood. Edisi ke-6.
Tokyo: WB Saunders Company 2003. h. 1631-69.
2. Friedman KD, Rodgers GM. Inherited coagulation disorders. Dalam: Greer JP, Foerster J,
Lukens JM, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, penyunting. Wintrobe’s clinical hematology.
Edisi ke-11. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins 2004. h. 1620-7.
3. Marques MB, Fritsma GA. Hemorrhagic coagulation disorders. Dalam: Rodak BF,
penyunting. Hematology: clinical principles and applications. Edisi ke-2. Tokyo: WB Saunders
Company 2002. h. 588-604.
4. Scott JP, Montgomery RR. Hereditary clotting factor. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia:
WB Saunders Co 2007. h. 2066-74.
5. World Federation of Hemophilia. Guidelines for the management of hemophilia. Canada:
World Federation of Hemophilia; 2005.

Penggunaan Popok Bayi dan Anak untuk Mencegah Infeksi Saluran Kemih

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 002/Rek/PP IDAI/VI/2013
tentang

Penggunaan Popok Bayi dan Anak untuk Mencegah Infeksi Saluran Kemih


 
1.     Sebaiknya gunakan popok berbahan kain katun agar ventilasi lebih baik.
2.     Gantilah popok setiap selesai berkemih atau buang air besar.
3.     Bila menggunakan popok berbahan asam poliakrilat (disposable superabsorbent diapers) gantilah
setiap selesai berkemih atau buang air besar.
4.     Bila menggunakan popok berbahan asam poliakrilat, gantilah sesering mungkin. Sebagai patokan,
penggantian ini dapat dilakukan 2-3 jam sekali.
5.     Keringkan daerah kemaluan dan anus setelah pencucian dan penggantian popok  untuk mencegah
lingkungan yang baik bagi perkembangbiakan kuman.
6.     Dapat juga digunakan sistem alarm untuk mengetahui perlu tidaknya penggantian popok, misalnya
adanya perubahan warna popok bila terkena air kemih.
 
Referensi :
1.     Sugimura T, Tananari Y, Ozaki Y, Maeno Y, Tanaka S, Ito S, dkk. Association between the
frequency of disposable diaper changing and urinary tract infection in children. Clin Pediatr.
2009;48:18-20.
2.     Fahimzad A, Taharian M, Dalirani R, Shamshiri A. Diaper type as a risk factor in urinary tract
infection of children. Iran J Pediatr. 2010;20:97-100.

TONGUE TIE (ANKILOGLOSSIA)

REKOMENDASI
IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA(IDAI) dan PERHIMPUNAN DOKTER BEDAH ANAK
INDONESIA (PERBANI)
tentang
TONGUE TIE (ANKILOGLOSSIA)
1. Tongue tie atau ankiloglosia adalah variasi bentuk anatomi dari frenulum lidah; frenulum 
menjadi lebih pendek dan atau tebal.  Bentuk ini dapat dijumpai pada bayi, anak, maupun
orang dewasa.
2. Tongue tie dapat menyebabkan gerakan lidah terbatas, walaupun demikiantongue
tie tidak selalu menyebabkan gangguan menghisap pada bayi menyusui.
3. Tindakan frenektomi dilakukan atas indikasi yang jelas, yang berarti bahwa tidak semua
bayi memerlukan tindakan frenektomi,tetapi bergantung pada jenis dan masalah yang ada
pada bayi.
4. Tindakan frenektomi dapat menimbulkan komplikasi, antara lain perdarahan karena
terpotong pembuluh darah besar atau mencederai/merusak kelenjar saliva.
5. Tindakan frenektomi harus dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten.
 

Demikian rekomendasi ini dibuat untuk diketahui dan digunakan sebagaimana mestinya.
 Jakarta, 15  April  2013         

                         

Pengurus Pusat IDAI

Ketua Umum,

Dr. Badriul Hegar,PhD., Sp.A(K)


 

Pengurus Pusat PERBANI

Ketua Umum,

Dr. Poerwadi, Sp.B.,Sp.BA


 

Sekretaris Umum,                                               

Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)


 

Sekretaris 1,

Dr. IGB.AdriaHariastawa, Sp.B., Sp.BA


 

Daftar pustaka:
1. Knox I. Tongue tie and frenotomy in the breastfeeding newborn. NeoReviews
2010;11;e513.
2. Forlenza GP, Black NMP, McNamara EG, Sullivan SE. Ankyloglossia exclucive breast
feeding, and failure to thrive. Pediatrics 2010;125:e1500.
3. Deshmuhk V. Pediatric oncall. www.pediatriconcall.com-fordoctor-diseaseandcondition-
pediatric_surgery-ankylog-pdf-Adobe Reader. Diakses tanggal 12 Maret 2013.
4. Ballard JL, Auer CE, Khoury JC. Ankyloglossia: Assessment, incidence, and effect of
frenuloplasty on the breastfeeding dyad. Paediatrics. 2002;110:e63.
5. Messner AH, Lalakea ML, Aby J, Macmahon J, Bair E. Ankyloglossia. Incidence and
associated feeding difficulties. Arc Otolaryngol Head Neck Surg. 2000;126:36-39.
6. Coryllos E, Genna CW, Salloum AC. Congenital tongue-tie and its impact breastfeeding.
Breastfeeding: Best for Baby and Mothers. American Academy of Pediatrics. 2004.1-6.

Kekerasan terhadap Anak

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 001/Rek/PP IDAI/V/2013
tentang
Kekerasan terhadap Anak
 
1. Pemerintah dan semua instansi/organisasi terkait perlu meningkatkan diseminasi
mengenai kekerasan terhadap anak, tidak saja kepada praktisi kesehatan tetapi juga kepada
masyarakat.
2. Dokter spesialis anak memiliki kewajiban memberi informasi kepada Pusat Krisis Rumah
Sakit/Kepolisian/Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)/Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), bila terdapat kecurigaan terjadi kekerasan
terhadap anak (KtA), minimal melalui telepon.
3. Menghimbau kepada pemerintah untuk pembentukan Pusat Krisis Rumah Sakit dan
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) pada setiap
provinsi, kabupaten dan kota.
4. Untuk meningkatkan pemahaman dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak,
diperlukan pembuatan modul dan pelatihan tentang ‘Deteksi Dini dan Penanganan Kekerasan
terhadap Anak’ bagi dokter spesialis anak dan praktisi kesehatan anak lainnya.
5. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai lembaga yang mendapat amanat
dari Presiden sangat diharapkan perannya dalam meningkatkan efektifitas penyelenggaraan 
perlindungan anak di Indonesia.

Suplementasi Besi untuk Bayi dan Anak

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 001/Rek/PP IDAI/2011
tentang
Suplementasi Besi untuk Bayi dan Anak
 
1. Suplementasi besi diberikan kepada semua anak, dengan prioritas usia balita (0-5 tahun),
terutama usia 0-2 tahun.
2. Dosis dan lama pemberian suplementasi, untuk :
a. Bayi BBLR (<2500 g): 3 mg/kgBB/hari untuk usia 1 bulan sampai 2 tahun
(dosis maksimum 15 mg/hari, diberikan  dosis tunggal).
b. Bayi cukup bulan: 2 mg/kgBB/hari untuk usia 4 bulan sampai 2 tahun.
c. Usia 2-5 tahun (balita): 1 mg/kgBB/hari, 2x/minggu selama 3 bulan berturut-
turut setiap tahun.
d. Usia >5-12 tahun (usia sekolah): 1 mg/kgBB/hari, 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun.
e. Usia 12-18 tahun (remaja): 60 mg/hari atau 1 mg/kgBB/hari, 2x/minggu selama
3 bulan berturut-turut setiap tahun (khusus remaja perempuan, ditambah 400 µg asam
folat).
. Saat ini belum perlu dilakukan uji tapis (skrining) defisiensi besi secara massal.
. Pemeriksaan kadar hemoglobin dilakukan mulai usia 2 tahun dan selanjutnya setiap
tahun sampai usia remaja. Bila pada hasil pemeriksaan ditemukan anemia, dicari penyebab
anemia dan bila perlu dirujuk.
. Pemerintah harus membuat kebijakan mengenai penyediaan preparat besi dan alat
laboratorium untuk pemeriksaan status besi.
 
Referensi :
1. World Health Organization. Iron deficiency anemia: assessment, prevention, and control.
A guide for programme managers. Geneva: WHO; 2001.
2. Allen LH. Iron supplements: scientific issues concerning efficacy and implication for
research and programs. J Nutr. 2002:132 Supl 1:813-9.
3. Haas JD, Brownlie TIF. Iron deficiency and reduced work capacity: a critical review on the
research to determine a causal relationship. J Nutr. 2001;131Supl 1:676-90.
4. Akman M, Cebecci D, Okur V, Angin H, Abali O, Akman AC, dkk. The effects of iron
deficiency on infants development test performance. Acta Paediatr. 2004;93:1391-6.
5. Lannotti LL, Tielsch JM, Black MM, Black RE. Iron supplementation in early childhood:
health benefit and risks. Am J Clin Nutr. 2006;84:1261-76.
6.  Joyce C, McCann JC, Ames BN. An overview of evidence for a causal relation between
iron deficiency during development and deficits in cognitive or behavioral function. Am J Clin
Nutr. 2007;85:931-45.
7. Helen Keller International (Indonesia). Iron deficiency anemia in Indonesia. Jakarta;
1997:1-16.
8.  Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono. Anemia gizi besi.
Dalam: Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono, penyunting. Gizi
dalam angka sampai tahun 2003. Jakarta: DEPKES; 2005. h. 41-4.
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Disusun oleh: Satgas ADEBE IDAI

Air Susu Ibu dan Menyusui

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI No.: 002/Rek/PP IDAI/XI/2010
tentang
Air Susu Ibu dan Menyusui
 
1. Dokter spesialis anak dan tenaga medis merekomendasikan ASI bagi semua bayi yang
tidak memiliki kontraindikasi medis serta memberikan edukasi mengenai manfaat ASI dan
menyusui.
a. Kontraindikasi medis yang dimaksud mengacu pada Panduan WHO 2009,
termuat pada bagian selanjutnya dari rekomendasi ini. Bila terdapat kontraindikasi, maka
harus ditelaah lebih lanjut, apakah kontraindikasi tersebut bersifat sementara atau
permanen. Bila kontraindikasi hanya bersifat sementara, maka ibu dianjurkan memerah
ASI untuk menjagai kesinambungan produksi ASI. Bila menyusui langsung tidak
memungkinkan, maka dianjurkan memberikan ASI yang diperah.
b. Keputusan untuk tidak menyusui atau menghentikan menyusui sebelum
waktunya didasarkan pada pertimbangan bahwa risiko menyusui  akan lebih
membahayakan dibanding manfaat yang akan didapatkan.
. ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI tanpa suplementasi makanan maupun
minuman lain, baik berupa air putih, jus, ataupun susu selain ASI. Pemberian vitamin, mineral,
dan obat-obatan diperbolehkan selama pemberian ASI eksklusif.
. Seluruh kebijakan yang memfasilitasi pemberian ASI/menyusui harus didukung. Edukasi
orang tua sejak kehamilan merupakan komponen penting penentu keberhasilan menyusui.
Dukungan dan semangat dari ayah dapat berperan besar dalam membantu ibu menjalani
proses inisiasi dan tahapan menyusui selanjutnya, terutama saat terjadi masalah.
. Bayi sehat diletakkan pada dada ibunya agar tercipta kontak kulit ke kulit segera setelah
persalinan sampai bayi mendapat ASI pertamanya. Bayi sehat dan siaga mampu melakukan
perlekatan tanpa bantuan dalam waktu satu jam pertama setelah melahirkan.
a. Keringkan bayi, nilai skor Apgar, dan lakukan pemeriksaan fisis awal saat bayi
sedang kontak dengan ibunya.
b. Prosedur penimbangan, pengukuran, memandikan, pengambilan darah,
pemberian suntikan vitamin K, dan profilaksis mata dapat ditunda sampai bayi mendapat
ASI pertamanya.
c. Bayi yang terpengaruh oleh obat-obatan ibu mungkin membutuhkan bantuan
agar mampu melakukan perlekatan yang efektif.
. Suplemen (air, air gula, susu formula, dan cairan lain) tidak diberikan pada bayi kecuali
atas permintaan dokter sesuai dengan indikasi medis.
. Empeng/dot dihindari pada bayi yang menyusui. Rekomendasi ini tidak melarang
penggunaan empeng untuk tujuan nonnutritive sucking, oral training untuk bayi prematur, dan
bayi yang membutuhkan perawatan khusus.
. Pada minggu-minggu pertama menyusui, bayi disusui sesering kemauan bayi. Ibu
menawarkan payudara apabila bayi menunjukkan tanda-tanda lapar seperti terjaga terus, aktif,
mouthing, atau rooting.
a. Penempatan ibu dan bayi dalam satu ruangan (rooming-in) sepanjang hari
sangat membantu keberhasilan menyusui.
b. Lamanya menyusui tergantung pada kehendak bayi. Payudara diberikan
bergantian kanan dan kiri pada awal menyusui, agar kedua payudara mendapat stimulasi
yang sama dan mendapat pengeringan yang sama.
c. Pada minggu-minggu pertama, bayi sebaiknya dibangunkan atau dirangsang
untuk menyusui maksimum setiap 3 jam.
. Evaluasi keberhasilan menyusui selama dirawat dilakukan oleh tenaga kesehatan
sekurangnya dua kali sehari.
a. Hal yang dinilai meliputi posisi menyusui, perlekatan, dan transfer susu.
b. Kemajuan dan hambatan dalam proses menyusui selama bayi dirawat dicatat
di rekam medis
c. Edukasi ibu untuk mencatat waktu dan durasi setiap kali menyusui, demikian
juga dengan produksi urin dan tinja pada minggu-minggu pertama.
d. Setiap masalah yang ditemui segera dicarikan solusinya sebelum ibu dan bayi
meninggalkan rumah sakit.
. Bayi yang telah pulang dari rumah sakit mendapat pemeriksaan tenaga kesehatan pada
usia 3-5 hari.
a. Dilakukan penilaian bayi yang mencakup pemeriksaan fisis, terutama untuk
mendeteksi ikterus (kuning) dan status hidrasi, pola berkemih dan defekasi, begitu pula
masalah payudara (nyeri, pembengkakan).
b. Teknik menyusui juga harus dinilai, meliputi posisi, perlekatan, dan transfer
susu. Penurunan berat badan lebih dari 7% berat lahir mengindikasikan kemungkinan
masalah menyusui dan harus dievaluasi lebih lanjut.
. Bayi yang mendapat ASI diperiksa kesehatannya kembali pada usia 2-3 minggu agar
dapat dipantau pertambahan berat badan dan memberikan dukungan pada periode awal
menyusui ini.
. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama cukup untuk mencapai tumbuh
kembang optimal.
. Makanan pendamping ASI kaya besi diberikan secara bertahap mulai usia 6 bulan. Bayi
prematur, bayi dengan berat lahir rendah, dan bayi yang memiliki kelainan hematologi tidak
memiliki cadangan besi adekuat pada saat lahir umumnya membutuhkan suplementasi besi
sebelum usia 6 bulan, yang dapat diberikan bersama dengan ASI eksklusif.
. Kebutuhan dan perilaku makan setiap bayi adalah unik.
a. Pengenalan makanan pendamping sebelum usia 6 bulan tidak meningkatkan
asupan kalori maupun kecepatan pertumbuhan berat badan.
b. Selama 6 bulan pertama, bayi yang mendapat ASI tidak membutuhkan air putih
maupun jus buah, bahkan dalam cuaca panas sekalipun. Pemberikan minuman atau
makanan selain ASI berisiko mengandung kontaminan atau alergen.
c. Pemanjangan durasi menyusui bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan dan
perkembangan bayi.
d. Bayi yang telah disapih sebelum usia 12 bulan tidak menerima susu sapi, tetapi
harus mendapat formula bayi yang difortifikasi zat besi.
. Semua bayi yang mendapat ASI mendapat injeksi vitamin K1 1 mg yang  diberikan
setelah mendapat ASI pertamanya dalam kurun waktu 6 jam setelah lahir. Bila tidak tersedia
vitamin K1 injeksi, maka dapat diberikan vitamin K1 oral namun diulang dalam kurun waktu 4
bulan.
. Ibu dan bayi baru lahir berada dalam satu ruangan dan bayi berada dalam jangkauan ibu
selama 24 jam untuk memfasilitasi menyusui.
. Bila ibu atau bayi dirawat di rumah sakit, diusahakan untuk menjaga kesinambungan ASI,
baik dengan menyusui langsung atau memberikan ASI yang diperah.
. Durasi pemberian ASI eksklusif yang dianjurkan adalah selama enam bulan pertama
kehidupan untuk mencapat tumbuh kembang optimal. Setelah enam bulan, bayi mendapat
makanan pendamping yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia 24 bulan.
. Bayi risiko tinggi :
a. Pemberian ASI direkomendasikan untuk bayi prematur dan bayi risiko tinggi
lain, baik secara langsung maupun pemberian ASI perah. Dukungan dan edukasi untuk
ibu mengenai menyusui dan teknik memerah ASI diberikan sedini mungkin.
b. Kontak kulit ke kulit dan menyusui langsung dimulai sedini mungkin.
c. Sebagian besar bayi dengan berat lahir sangat rendah terindikasi mendapat
ASI yang difortifikasi. Di negara maju terdapat bank ASI. Air susu ibu yang berasal dari
bank ASI telah memenuhi persyaratan dan berasal dari donor yang telah diksrining. ASI
segar dari donor yang belum diskrining tidak dianjurkan karena risiko transmisi kuman.
d. Kewaspadaan diperhatikan untuk bayi dengan defisiensi glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (G6PD) karena rentan terhadap hemolisis, hiperbilirubinemia, dan
kernikterus. Ibu yang menyusui bayi dengan defisiensi atau tersangka defisiensi G6PD
harus menghindari obat yang dapat menginduksi hemolisis.
. Keadaan  bencana dan situasi darurat :
a. Air Susu Ibu (ASI) dengan daya perlindungan yang dimilikinya menjadi sangat
penting pada keadaan bencana atau situasi darurat.
b. Dalam situasi bencana, bayi yang tidak disusui mempunyai risiko tinggi terkena
penyakit, karena kurangnya air dan sanitasi, terhentinya persediaan makanan, tempat
tinggal yang tidak memadai, serta tidak adanya fasilitas untuk memasak. Selain itu, tidak
adanya dukungan dan pengetahuan tentang bagaimana cara pemberian makan pada
bayi dan anak dalam keadaan darurat, ikut berkontribusi meningkatkan risiko timbulnya
penyakit.
c. Pemberian susu formula pada keadaan bencana perlu memperhatikan
beberapa hal :
1. Pemberian susu formula dibawah pengawasan dan pemantauan
tenaga kesehatan terlatih.
2. Susu formula diberikan kepada bayi piatu dan bayi yang ibunya
tidak lagi dapat menyusui
3. Telah dilakukan penilaian terhadap status menyusui ibu dan
relaktasi tidak memungkinkan.
4. Ibu atau pengasuh bayi perlu diberi informasi memadai tentang
cara penyajian susu formula yang aman dan pemberian makan bayi yang tepat.
5. Ada petunjuk yang jelas tentang cara penyajian susu formula dalam
bahasa yang dimengerti oleh masyarakat setempat dengan masa kadaluwarsa
minimal 1 tahun.
6. Susu kental manis dan susu cair tidak boleh diberikan kepada bayi
berumur kurang dari 12 bulan.
7. Menggunakan air dan alat yang bersih untuk menyiapkan susu dan
menyimpannya (bila sulit menyiapkan air bersih karena terbatasnya bahan bakar,
dapat menggunakan air dalam kemasan).
8. Sediakan alat untuk menakar air dan susu bubuk
9. Promosi menyusui secara terus menerus untuk agar ibu yang
masih dapat menyusui tidak memberikan susu formula.
d. Industri susu formula tidak diperbolehkan mempromosikan produknya.
 

Referensi :
1. Lucas A, Prewett RB, Mitchell MD. Breastfeeding and plasma oxytocin concentrations. Br
Med J. 1980;281:834-5.
2. Beral V. Breast cancer and breastfeeding: collaborative reanalysis of individual data from
47 epidemiological studies in 30 countries, including 50302 woman with breast cancer and
96973 woman without the disease. Lancet. 2002;360:187-95.
3. Saadeh R, Benbouzid D. Breastfeeding and child spacing: importance of information
collection to public health policy. Bull World Health Organ. 1990;68:625-31.
4. Popkin BM, Adair L, Akin JS, Black R. Breastfeeding and diarrheal morbidity. Pediatrics.
1990;86:874-82.
5. Howie PW, Forsyth JS, Ogston SA, Clark A, Florey CV. Protective effect of breastfeeding
against infection. BMJ. 1990;300:11-6.
6. Scariati PD, Grummer-Strawn LM, Fein SB. A longitudinal analysis of infant morbidity and
the extent of breastfeeding in the United States. Pediatrics. 1997;99:e5.
7. Kramer MS, Chalmers B, Hodnett ED, Sevkovskaya Z, Dzikovich I, Shapiro S, et al.
Promotion of breastfeeding intervention trial (PROBIT). JAMA. 2001;285:413-20.
8. Cesar JA, Victora CG, Barros FC, Santos IS, Flores JA. Impact of breastfeeding on
admission for pneumonia during postneonatal period in Brazil: nested case-control. BMJ.
1999;318:1316-20.
9. Chantry CJ, Howard CR, Auinger P. Full breastfeeding duration and associated decrease
in respiratory tract infection in US children. Pediatrics. 2006;117:425-32.
10. Aniansson G, Alm B, Andersson B, Hakansson A. A prospective coherent study on
breasfeeding and otitis media in Swedish infants. Pediatr Inf Dis J. 1994;13:183-8.
11. Norris JM, Scott FN. A meta-analysis of infant diet and insulin-dependent diabetes
mellitus: do biases play a role? Epidemiology. 1996;7:87-92.
12. WHO collaborative study team on the role of breastfeeding in the prevention of infant
mortality. Effect of breastfeeding of infant and child mortality due to infections disease in less
developed countries: a pooled analysis. Lancet. 2000;355:451-5.
13. Bahl R, Frost C, Kirkwood BR, Edmund K, Martinez J, Bhandari K. Infant feeding patterns
and risks of death and hospitalization in the first half of infancy: multicentre cohort study. Bull
World Health Organ. 2005;83:418-26.
14. Kull I, Wickman M, Lilja G, Nordvall SL, Pershagen G. Breastfeeding and allergic
diseases in infants – a prospective birth cohort study. Arch Dis Child. 2002;87:478-81.\
15. Von Kries R, Koletzko B, Sauerwald T, von Mutius E, Barnert D, Grunert V, et al.
Breastfeeding and obesity: cross sectional study. BMJ. 1999;319:147-50.
16. Gillman MW, RIfas-Shiman SL, Camargo Jr CA. Risk of overweight among adolescents
who were breastfed as infants. JAMA. 2001;285:2461-7.
17. Kramer MS, Aboud F, Miranova F, Vanilovich I, Platt RW, Matush L, et al. Breastfeeding
and child cognitive development. New evidence from a large randomized trial. Arch Gen
Psychiatry. 2008;65:578-84.
18. Mortensen EL, Michaelsen KF, Sanders SA, Reinisch JM. The association between
duration of breastfeeding and adult intelligence. JAMA. 2002;287:2365-71.\
19. World Health Organization, UNICEF, and Wellstart International. Baby-friendly hospital
initiative : revised, updated and expanded for integrated care. Section 2. Strengthening and
sustaining the baby-friendly hospital initiative: a course for decisionmakers. WHO and UNICEF.
2009. Geneva.
20. American Academy of Pediactrics, Section on Breastfeeding. Breastfeeding and the use
of human milk. Pediatrics. 2005;115:496-506.
21. World Health Organization. Acceptable medical reasons for use of breastmilk substitutes.
WHO. 2009. Geneva.
 

Jakarta, 2 November 2010

Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 001/Rek/PP IDAI/2010
tentang
Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi
1. Untuk bayi dengan ASI ekslusif:
a. Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi pada diet ibu
selama 2-4 minggu.
b. Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein
susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis alergi susu sapi.
Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan diagnosis
lain.
c. Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian ASI
diteruskan dan Ibu harus menghindari susu sapi dan produk turunannya pada makanan
sehari-harinya sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu
tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak
sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali,
maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.
. Untuk bayi yang mengonsumsi susu formula standar:
a. Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi yaitu dengan
mengganti susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula hidrolisat
ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau formula asam
amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Eliminasi dilakukan 2-4 minggu.
b. Bila gejala menghilang  setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein
susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis alergi susu sapi.
bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan diagnosis
lain.
c. Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian susu
formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrosilat ekstensif (untuk
kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau formula asam amino (untuk
kelompok dengan gejala klinis berat). Penggunaan formula khusus ini dilakukan sampai
usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi
dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah toleran dan
susu sapi dapat diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali, maka eliminasi dilanjutkan
kembali selama 6 bulan dan seterusnya.
. Pada bayi yang sudah mendapatkan makanan padat, maka perlu penghindaran protein
susu sapi dalam makanan pendamping ASI (MP-ASI).
. Apabila susu formula terhidrosilat ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala biaya,
maka formula kedelai dapat diberikan pada bayi berusia di atas 6 bulan dengan penjelasan
kepada orangtua mengenai kemungkinan reaksi alergi terhadap kedelai. Pemberian susu
kedelai tidak dianjurkan untuk bayi di bawah usia 6 bulan.
. Pemeriksaan IgE spesifik (uji tusuk kulit/IgE RAST) untuk mendukung penegakan
diagnosis dapat dilakukan pada alergi susu sapi yang diperantarai IgE.
 

Referensi :
1. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, Hill D, Isolauri E, Koletzko S, dkk. Guideline for the
diagnosis and the management cow’s milk protein allergy in infants. Arch Dis Child.
2007;92;902-8.
2. Scurlock AM, Lee LA, Burks AW. Food allergy in children. Immunol Allergy Clin N Am.
2005;25:369-88.
3. Host  A. Frequency of cow’s milk allergy in childhood. Ann Allergy Asthma Immunol.
2002;89Supl 1:33–7.
4. Burks W, Ballmer-Weber BK. Food allergy review. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2000;30:1-26.
5. Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA. Adverse reactions to foods. Med Clin N Am.
2006;90:97-127.
6. Sullivan PB. Cows’ milk induced intestinal bleeding in infancy. Arch Dis Child.
1993;68:240-5.
7. Osborn DA, Sinn JKH. Formulas containing hydrolysed protein for prevention of allergy
and food intolerance in infants. Cochrane Database of Systematic Reviews 2006, Issue 4. Art.
No.: CD003664. DOI: 10.1002/14651858.CD003664.pub3.
8. Kemp AS, Hill DJ, Allen KJ, Anderson K, Davidson GP, Day AS, dkk. Guidelines for the
use of infant formulas to treat cows milk protein allergy: an Australian consensus panel opinion.
MJA. 2008;188:109- 12.
9. Brill H. Approach to milk protein allergy in infants. Can Fam Physician 2008;54:1258-64.
10. Committee on Nutrition American Academy of Pediatrics. Hypoallergenic infant formula.
Pediatrics. 2000;106:346-9.
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Disusun oleh: UKK Alergi-Imunologi, UKK Gastrohepatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik
IDAI

Penggunaan Zinc dan Cairan Rehidrasi Oral Hipoosmolar pada Diare

IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA


REKOMENDASI
No.: 001/Rek/PP IDAI/VIII/2009
tentang
Penggunaan Zinc dan Cairan Rehidrasi Oral Hipoosmolar pada Diare

Dengan mengkaji berbagai kepustakaan yang berkaitan dengan penggunaan Zinc dan Cairan
Rehidrasi Oral pada penderita diare, maka disimpulkan bahwa pemberian Zinc dan Cairan Rehidrasi
Oral Hipoosmolar pada anak dengan diare memenuhi ‘Level of Evidence’ I (satu) dengan derajat
rekomendasi A.

Berdasarkan hal tersebut, maka pemberian preparat Zinc dan Cairan Rehidrasi Oral Hipoosmolar
direkomendasikan pada anak yang mengalami diare.

Referensi:
1. Guarino A, Albano F, Guandalini S; Working group on acute gastroenteritis. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2001; 33 Supl 2:S2-12.
2. Hans S, Kim Y, Garner P. Reduced osmolarity oral rehydration solution for treating
dehydration due to diarrhea in children: systematic review. BMJ. 2001;323: 81-5.
3. World Health Organization. Pocket book of hospital care for children. Geneva: WHO;
2005.
4. Aiuke, Rohde J, Schuert J, Jude N, Camille S, Soenarto Y. Assessment for the
introduction of zinc in improved management of diarrhea in Indonesia. Airlington, Virginia,
USA: Basic Support for Institutionalizing Child Survival (BASICS) for the United States Agency
for International Development (USAID). 2007.
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Disusun oleh: UKK Gastrohepatologi IDAI

Larangan Penggunaan Metode Serologi untuk Penegakan Diagnosis TB

Diagnosis TB Paru ditegakkan dengan pemeriksaan dahak SPS (sewaktu-pagi-sewaktu), ini


merupakan kebijakan nasional karena cepat, relatif murah, cukup sensitif dan spesifik untuk TB
paru, meskipun ‘gold standard’ adalah pemeriksaan biakan TB. Sedangkan untuk TB ekstra paru,
diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang
diambil dari jaringan tubuh yang terkena.
Dengan berkembangnya IPTEK saat ini telah banyak beredar bermacam uji serologi komersial,
terutama banyak digunakan secara luas di sektor swasta. WHO tidak merekomendasikan
penggunaan metode serologi untuk tujuan diagnosis TB paru dan ekstra paru karena hasil
pemeriksaan yang tidak konsisten dan tidak tepat.

Maksud dan Tujuan


1. Menjamin mutu hasil pemeriksaan laboratorium diagnostik TB sesuai kebijakan nasional.
2. Mencegah kesalahan dalam penegakan diagnosis TB yang dapat mengakibatkan
dampak secara sosial ekonomi dan epidemiologi.
Ruang Lingkup
Setiap fasilitas kesehatan milik pemerintah atau swasta yang memberikan pelayanan laboratorium
TB UNTUKMENEGAKKAN DIAGNOSIS TIDAK DIPERKENANKAN MENGGUNAKAN METODE
PEMERIKSAAN SEROLOGI.
Dasar
1. Undang-undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

 pasal 5 (2) : Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu dan terjangkau,
 pasal 19 : Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya
kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
2. Kebijakan WHO tahun 2011:

 Commercial Serodiagnostic Tests for Diagnosis of Tuberculosis, Policy Statement.


 Website: www.who.int/publication/2011/9789241502054.eng.pdf
3. Kepmenkes No. 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB)

Penutup
Dengan terbitnya surat edaran ini, agar Kepala Dinas Kesehatan di Provinsi/ Kabupaten/ Kota,
Ketua Asosiasi/ Organisasi Profesi untuk menyampaikan informasi hal diatas kepada seluruh
jajarannya, yang terkait dengan program pengendalian TB di Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

Pada Tanggal: 19 Februari 2013

Akmal Taher
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Indonesia

Anda mungkin juga menyukai