Tujuan : Membuat bayi baru lahir stabil dalam waktu selambat-lambatnya 1 jam sesudah lahir
1. Menjamin suhu neonatus dalam keadaan normal. Suhu normal bayi baru lahir adalah
dalam rentang 36,5-37,50C yang diukur di aksila selama 3 sampai 5 menitatau sampai
termometer berbunyi jika menggunakan termometer digital.
2. Menjaga patensiairway (jalan napas) yang baik dengan menggunakanContinuous
Positive Airway Pressure (CPAP) untuk bayi yang retraksi atau merintih sejak di kamar
bersalin. Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended
oxygen) dan mengatur konsentrasi oksigen berdasarkan panduan oksimetri dengan target
saturasi oksigen 88-92%.
3. Penilaian sirkulasi bayi baru lahir yang baik dilihat dari beberapa parameter yaitu
1) heart rate antara 120-160 x/menit, 2) pulsasi arteri radialis kuat dan teratur, 3) akral hangat,
dan 4)capillary refill time < 3 detik.
4. Bila bayi tidak dapat minum, dapat dipasang akses melalui vena perifer atau dalam
keadaan darurat dapat menggunakan tali pusat.
5. Identifikasi bayi yang potensial mengalami hipoglikemia, sepertibayi kurang bulan (usia
gestasi <37 minggu), kecil masa kehamilan (KMK), besar masa kehamilan (BMK), bayi dari ibu
penderita diabetes melitus, bayi sakit, dan bayi dari ibu yang mengonsumsi obat-obatan
tertentu (beta-simpatomimetik, penghambat beta, klorpropamid, benzotiazid, dan anti-
depresan trisiklik) selama kehamilan. Apabila pada pemeriksaan ditemukan kadar gula darah <
47 mg/dL dapat diberikan bolus dextrosa 10% 2 mL/kgbb atau segera diberi minum jika tidak
ada kontraindikasi pemberian minum.
6. Bayi harus dirujuk dalam keadaan stabil dan kondisi tersebut dapat dicapai dengan
menerapkan program STABLE. Program STABLE adalah panduan yang dibuat untuk tata
laksana bayi baru lahir yang sakit, mulai dari pasca-resusitasi/pra-transportasi. Program ini
berisi standar tahapan stabilisasi pasca-resusitasi untuk memerbaiki kestabilan, keamanan,
dan luaran bayi. STABLE tersebut merupakan singkatan dari S: Sugar and safe care (kadar
gula darah dan keselamatan bayi), T: Temperature (suhu), A: Airway (jalan napas),
B: Blood pressure (tekanan darah), L: Lab work (pemeriksaan laboratorium), E: Emotional
support (dukungan emosional). Program STABLE mengupayakan kondisi bayi menjadi “warm,
pink, and sweet” secepatnya dalam kurun waktu 1 jam.
7. Padakondisi lingkungan (cuaca dingin, angin kencang, dataran tinggi, jarak jauh) dan
fasilitas kurang memadai, upaya mengendalikan suhu neonatus selama proses
transportasidapat dilakukan dengan perawatan metode kanguru.
Referensi :
1. Karlsen K. The S.T.A.B.L.E program, post-resuscitation / pre-transport stabilization care
of sick infants. Utah: March of Dimes; 2006.
2. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, Atkins DL, Chameides L, Goldsmith JP, et al. Part 11:
Neonatal rescucitation: 2010 International consesnsus on cardiopulmonary rescucitation and
emergency cardiovascular care science with treatment recommendations. Circulation.
2010;122:516-38.
3. The Royal Women’s Hospital. Intensive and special care nurseries, clinician’s handbook.
Melbourne: The Royal Women’s Hospital; 2007.
4. Das UG, Leuthner SR. Preparing the neonate for trasnport. Pediatr Clin North Am.
2004;51:581-98.
5. Wang CL, Anderson C, Leona TA, Rich W, Govindaswami B, Finer NN. Resuscitation of
preterm neonates by using room air or 100% oxygen. Pediatrics. 2008;121:1083-9.
6. Vento M, Moro M, Escrig R, Arruza L, Villar G, Izquierdo I. Preterm resuscitation with low
oxygen causes less oxidative stress, inflammation, and chronic lung disease. Pediatrics.
2009;124:439-49.
7. Ringer S A. Rescucitation in the Delivery Room. Dalam: Cloherty J P, Eichenwald EC,
Stark A R. Manual of Neonatal Care edisi ke 6. Philadelphia: Lippincott William and
Wilkins;2008:59-71.
8. Salhab WA, Wyckoff MH, Laptook AR, Perlman JM. Initial hypoglycemia and neonatal
brain injury in term infants with severe fetal acidemia. Pediatrics. 2004;114:361-6.
1. Kecepatan dalam memberikan penanganan syok sangat penting, makin lama dimulainya
tindakan resusitasi makin memperburuk prognosis.
2. Prioritas utama yang harus segera dilakukan adalah pemberian oksigen aliran tinggi,
stabilisasi jalan nafas, dan pemasangan jalur intravena, diikuti segera dengan resusitasi
cairan. Apabila jalur intravena perifer sukar didapat, jalur intraoseus (IO) segera dimulai.
3. Setelah jalur vaskular didapat, segera lakukan resusitasi cairan dengan bolus kristaloid
isotonik (Ringer lactate, normal saline) sebanyak 20 mL/kg dalam waktu 5-20 menit.
4. Pemberian cairan dapat diulang untuk memperbaiki tekanan darah dan perfusi jaringan.
Pada syok septik mungkin diperlukan cairan 60 mL/kg dalam 30-60 menit pertama.
5. Pemberian cairan hanya dibatasi bila diduga penyebab syok adalah disfungsi jantung
primer.
6. Apabila setelah pemberian 20-60 mL/kg kristaloid isotonik masih diperlukan cairan,
pertimbangkan pemberian koloid. Darah hanya direkomendasikan sebagai pengganti volume
yang hilang pada kasus perdarahan akut atau anemia dengan perfusi yang tidak adekuat
meskipun telah mendapat 2-3 x 20 mL/kg bolus kristaloid.
7. Pada syok septik, bila refrakter dengan pemberian cairan, pertimbangkan pemberian
inotropik.
8. Dopamin merupakan inotropik pilihah utama pada anak, dengan dosis 5-10 μgr/kg/menit.
Apabila syok resisten dengan pemberian dopamin, tambahkan epinefrin (dosis 0,05-0,3
μgr/kg/menit) untuk cold shock atau norepinefrin (dosis 0,05-1 μgr/kg/menit) untuk warm
shock.
9. Syok resisten katekolamin, dapat diberikan kortikosteroid dosis stres (hidrokortison 50
mg/m2/24jam).
10. Dobutamin dipergunakan apabila setelah resusitasi cairan didapatkan curah jantung yang
rendah dengan resistensi vaskular sistemik yang meningkat, ditandai dengan ekstremitas
dingin, waktu pengisian kapiler memanjang, dan produksi urin berkurang tetapi tekanan darah
normal.
11. Pada syok septik, antibiotik harus diberikan dalam waktu 1 jam setelah diagnosis
ditegakkan, setelah sebelumnya diambil darah untuk pemeriksaan kultur dan tes resistensi.
12. Sebagai terapi awal dapat digunakan antibiotik berspektrum luas sampai didapatkan hasil
kultur dan antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab.
13. Target akhir resusitasi yang ingin dicapai merupakan petanda perfusi jaringan dan
homeostasis seluler yang adekuat, terdiri dari: frekuensi denyut jantung normal, tidak ada
perbedaan antara nadi sentral dan perifer, waktu pengisian kapiler < 2 detik, ekstremitas
hangat, status mental normal, tekanan darah normal, produksi urin >1 mL/kg/jam, penurunan
laktat serum.
14. Tekanan darah sebenarnya bukan merupakan target akhir resusitasi, tetapi perbaikan
rasio antara frekuensi denyut jantung dan tekanan darah yang disebut sebagai syok indeks,
dapat dipakai sebagai indikator adanya perbaikan perfusi.
Referensi :
1. Schwarz A. Fluids and electrolytes. Dalam: Schwarz A, penyunting. Blueprints pocket
pediatric ICU. Philadelphia: Lippincott; 2007. h. 31-42.
2. Wilhelm M, Schleien C. Electrolyte and metabolic disorders. Dalam: Nichols DG, Yaster
M, Schleien CL, Paidas CN, penyunting. Golden hour: the handbook of advanced pediatric life
support. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2011. h. 143-59.
3. Nadel S, Kissoon N, Ranjit S. Recognition and initial management of shock. Dalam:
Nichols DG, penyunting. Rogers textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-4. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 372-83.
4. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, Bion J, parker MM, Jaeschke R, et al. Surviving sepsis
campaign: International guidelines for management of severe sepsis and septic shock:2008.
Crit Care Med, 2008;36:296-327.
Jakarta, 14 Maret 2014
Referensi :
1. Ziai M, Penyunting. Pediatrics: evaluation of the child. Boston: Little, Brown and
Company; 1983. h. 17-31.
2. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S, Penyunting. Diagnosis fisis pada anak.
Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto; 2000. h. 48-66.
3. Swaiman KF. Neurologic examination of the term and preterm infant. Dalam: Swaiman
KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric Neurology: Principle and Practice. Edisi ke-
4. Philadelphia: Mosby Elsevier 2006. h. 47-64.
4. Haslam, RHA. The nervous system. Dalam: Kliegman RM, Behrman R, Jenson HB,
Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-18. Philadephia: Saunders
Elsevier 2007. h. 2433-43.
5. Demyer W. Small, large, or abnormally shaped head. Dalam: Maria BL, penyunting.
Current Management in Child Neurology. Edisi ke-4. Shelton: People’s Medical Publishing
House 2009. h. 413-20.
LAMPIRAN:
Gambar 1. Lingkar kepala perempuan dan laki-laki
(Nellhause G. Pediatrics 1968;41:106).
Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak
Referensi :
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Anggaran dasar Anggaran Rumah Tangga BAB I pasal
1(4). Jakarta: IDAI. 2011.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Anak.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan.
4. Depkes RI. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta. 2010.
5. Buku tumbuh Kembang Anak dan Remaja edisi pertama. Jakarta : CV Sagung Seto.
2002.
6. American Academy of Pediatrics. Identifying infants and young children with
developmental disorders in the medical home: An algorithm for developmental surveillance and
screening. council on children with disabilities, section on developmental behavioral pediatrics,
bright futures steering committee and medical home initiatives for children with special needs
project advisory committee. Pediatrics. 2006;118: 405-20.
Referensi:
1. World Health Organization, UNICEF. Breastfeeding counselling. A training course.
Geneva: WHO. 2009.
2. Suradi R, Hegar B, Partiwi IGAN dkk. Indonesia Menyusui. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.
2010.
Memperhatikan:
1. Hipotiroid kongenital merupakan salah satu penyebab terjadinya retardasi mental pada
anak.
2. Insidens hipotiroid kongenital adalah 1: 3000-4000.
3. Bayi hipotiroid kongenital dapat menunjukkan gejala letargi, ikterus, konstipasi, sering
tersedak, kulit teraba dingin, tangisan serak, kulit kering, perut buncit, hernia umbilikalis,
hipotonia, fontanel posterior melebar, lidah besar, edema, refleks lambat, dan goiter.
4. Penyakit hipotiroid kongenital dapat disembuhkan secara total jika pengobatan dilakukan
sejak dini.
Rekomendasi:
1. Perlu melakukan skrining hipotiroid kongenital pada semua bayi baru lahir.
2. Skrining hipotiroid kongenital dilakukan dengan:
a. Mengambilsampel darah kapiler dari permukaan lateral kaki bayi atau bagian
medial tumit, pada hari ke 2 sampai 4 setelah lahir.
b. Darah kapiler diteteskan ke kertas saring khusus.
c. Kertas saring tersebut dikirim ke laboratoriumyang memiliki fasilitas
pemeriksaan Thyroid-Stimulating Hormone (TSH).
3. Bayi dengan hasil uji skrining positif segera dipanggil kembali untuk pemeriksaan TSH
dan T4 serum. Bila hasil TSH tinggi dan FT4 rendah atau hasil FT4 rendah dan berapapun
TSH, segera berikan tiroksin.
a. Bila memungkinkan, lakukan pemeriksaan skintigrafi/sidik tiroid dan
ultrasonografi (USG) tiroid.
b. Bila memungkinkan untuk melakukan kedua pemeriksaan tersebut tetapi
secara teknis sulit dikerjakan pada neonatus, berikan tiroksin dahulu sampai usia 3
tahun.
c. Bila tidak memungkinkan karena lokasi bayi terlalu jauh dari RS rujukan,
tiroksin diberikan dahulu sampai usia 3 tahun kemudian dilakukan retesting off
treatment (obat dihentikan kemudian dilakukan pemeriksaan skintigrafi/sidik tiroid dan
USG tiroid).
4. Perlu penjelasan atau penyuluhan kepada orangtua bayi mengenai:
a. Penyebab hipotiroid kongenital pada bayi mereka.
b. Pentingnya diagnosis dan terapi dini untuk mencegah hambatan tumbuh
kembang bayi.
c. Cara pemberian obat tiroksin.
d. Pentingnya pemeriksaan secara teratur sesuai jadwal yang dianjurkan dokter.
Referensi :
1. Pedoman Skrining Hipotiroid Kongenital. Kementerian Kesehatan RI Indonesia; 2012
2. Rose SR, Brown RS. Update of newborn screening and therapy for congenital
hypothyroidism. Pediatrics 2006;117:2290-303.
Tata laksana Menurunkan Angka Kematian Ketoasidosis Diabetikum (KAD) pada Anak
dengan Diabetes Melitus Tipe 1 (DM 1)
1. Ketoasidosis diabetikum (KAD) merupakan komplikasi akut Daiabetes Melitus tipe I (DM
I) yang disebabkan kekurangan insulin.
2. KAD sering terjadi akibat keterlambatan penegakan diagnosis kasus baru DM 1 pada
anak.
3. Insiden kematian akibat KAD sebesar 0,15-0,3%, bahkan lebih tinggi pada daerah
dengan keterbatasan fasilitas.
4. Sebesar 57-87% penyebab kematian pada KAD adalah edema serebri.
5. Seperempat penderita edema serebri pada KAD yang berhasil diselamatkan memiliki
gangguan neurologis permanen.
Rekomendasi:
1. Perlu kewaspadaan gejala dan tanda KAD pada anak dengan DM 1, di antaranya:
poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, sesak nafas (pernafasan Kusmaull, bau
keton), nyeri perut, muntah dan letargi.
2. Perlu pemeriksaan gula darah sewaktu pada semua kegawatan anak terutama di unit
gawat darurat.
3. Perlu pemeriksaan analisis gas darah, elektrolit, keton darah/urin untuk menegakkan
diagnosis KAD (pH <7,3; HCO3 < 15 mmol/L).
4. Perlu diketahui dan dikuasai prinsip tata laksana KAD pada anak dengan DM 1, yaitu:
a. Penilaian kegawatan berupa tanda klinis dan infeksi.
b. Perbaikan jalan nafas, pipa nasogastrik, akses intravena, monitor jantung,
oksigenasi, antibiotik bila ada infeksi, dan kateter urin.
c. Syok (bila ada) diatasi dengan pemberian cairan normal saline 0,9% untuk
penggantian cairan dalam 4-6 jam pertama, dilanjutkan dengan normal saline 0,9%
ditambah dengan KCl untuk 48 jam berikutnya.
d. Insulin kerja pendek/cepat (0,1 unit/kg BB/jam) diberikan 1-2 jam setelah terapi
cairan
e. Koreksi kalium bergantung pada kadar kalium dalam darah: hipokalemia (KCl
20 mmol/L sebelum terapi insulin), normokalemia (KCl 20 mmol/L bersamaan dengan
insulin), hiperkalemia (tunda pemberian KCl hingga diuresis)
f. Bikarbonat (1 mmol/kg BB dalam 60 menit) tidak rutin digunakan, kecuali
asidemia berat atau syok.
g. Perlu pemantauan pemeriksaan darah berkala (gula darah sewaktu/jam,
analisis gas darah, elektrolit, keton), elektrokardiografi bila perlu, dan keton urin.
5. Perlu mengenal gejala dan tanda edema serebri berupa: nyeri kepala, frekuensi denyut
jantung menurun, perubahan status neurologis, gejala gangguan neurologis, peningkatan
tekanan darah, dan penurunan saturasi oksigen. Apabila terdapat gejala dan tanda tersebut,
dapat diberikan tata laksana berupa pengurangan kecepatan infus cairan dan pemberian
manitol 0,5-1 g/kg IV dalam 20 menit atau NaCl 0,3% 5 mL/kg dalam 30 menit.
6. Perlu perawatan kasus KAD pada anak dengan DM 1 di unit perawatan intensif atau yang
setara.
7. Perlu pelatihan tata laksana KAD pada anak dengan DM 1 kepada dokter spesialis anak.
Referensi:
1. International Diabetes Federation. Global IDF/ISPAD Guideline for Diabetes in Childhood
and Adolescence. 2011.
2. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes
Mellitus Tipe 1. 2009.
Memperhatikan:
1. Berdasarkan penelitian, lebih dari 30% pasien di rumah sakit mendapat antibiotik, 60%-
nya adalah untuk pasien yang tidak terbukti mengalami infeksi bakteri.
2. Sekitar 13-15% cara pemberian antibiotik adalah tidak tepat.
3. Tujuh puluh persen antibiotik yang digunakan berharga mahal, padahal antibiotik dengan
harga lebih murah masih dapat digunakan.
4. Dua puluh persen komplikasi dapat terjadi akibat penggunaan antibiotik, seperti: toksisitas
ginjal atau infeksi rumah sakit.
Rekomendasi:
1. Setiap rumah sakit perlu memiliki antibiogram, yaitu peta jenis kuman hasil kultur dan uji
kepekaan, sebagai acuan pemberian antibiotik empiris di rumah sakit.
2. Tujuan penggunaan antibiogram di rumah sakit adalah:
a. Membantu pemilihan antibiotik empiris sebelum didapatkan hasil kultur yang
akan menjadi acuan terapi definitif.
b. Mendapat gambaran kecenderungan terjadinya resistensi sebuah antibiotik.
c. Memperlihatkan adanya kejadian luar biasa akibat infeksi bakteri.
d. Menjadi panduan penyusunan formularium antibiotik di rumah sakit.
e. Sebagai bagian dari regulasi rumah sakit.
3. Sebelum antibiotik diberikan, perlu pengambilan bahan/spesimen untuk pemeriksaan
biakan dan uji kepekaan antibiotik.
4. Untuk itu, setiap rumah sakit perlu memiliki laboratorium mikrobiologi, sumber daya
manusia, sarana, dan prasarana untuk menunjang proses pengambilan bahan biakan dan
pemeriksaan laboratorium agarmendapat hasil biakan yang akurat.
5. Terapi definitif diberikan setelah terdapat hasil kultur dan uji kepekaan.
Referensi :
1. Bochud PY, Bonten M, Marchetti O. Antimicrobial therapy for patients with severe sepsis
and septic shock: an evidence-based review. Crit Care Med. 2004;321Supl 1:S495–512.
2. Boehme MS, Somsel PA, Downes FP. Systematic review of antibiograms: a national
laboratory system approach for improving antimicrobial susceptibility testing practices in
Michigan. Public Health Rep. 2010;125Supl 2:S63–72.
3. CDC-WHO. Antibiogram surveillance method using cumulative susceptibility data.
Didapat dari: http://www.cdc.gov/abcs/reports-findings/downloads/antibiogram-method.pdf.
4. Fridkin SK, Edwards, JR, Tenover FC, Gaynes RP, McGowan JE Jr. Antimicrobial
resistance prevalence rates in hospital antibiograms reflect prevalence rates among pathogens
associated with hospital-acquired infections. Clin Infect Dis. 2001;33:324-30.
5. Hindler JF, Stelling J. Analysis and presentation of cumulative antibiograms: a new
consensus guideline from the clinical and laboratory standards institute. Clin Infect Dis.
2007;44:867-73.
6. Joshi S. Hospital antibiogram: A necessity. Indian J Med Microbiol. 2010;28:277-80.
7. Mitchell M, Levy MM, Dellinger RP,Sean R, Townsend WT, Linde-Zwirble JC. The
surviving sepsis campaign: results of an international guideline-based performance
improvement program targeting severe sepsis. Intensive Care Med. 2010;36:222–31.
8. Pakyz AL. The utility of hospital antibiograms as tools for guiding empiric therapy and
tracking resistance. Insights from the society of infectious diseases pharmacists.
Pharmacotherapy 2007;27:1306-12.
9. Souli M, Galani I, Giamarallou I. Emergence of extensively drug-resistant and pandrug-
resistant gram-negative bacilli in Europe. Eurosurveillance 2008;13:1-10.
10. Stein CR, Weber DJ, Kelley M. Using hospital antibiogram data to assess regional
pneumococcal resistance to antibiotics. Emerg Infect Dis. 2003;9:211–16.
11. Stein CR, Weber DJ, Kelley M, Boggan JC. Pediatric-specific antimicrobial susceptibility
data and empiric antibiotic selection. Pediatrics 2012;130:615.
12. Thomas JG, Rector NT. Susceptibility-testing protocols for antibiograms and preventive
surveillance: a continuum of data collection, analysis and presentation. Dalam: antimicrobial
susceptibility testing protocols. Scwalbe R, Moore LS, Goodwin AC, penyunting. CRC Press,
Boca Raton FL USA, 2007.
13. Van Beneden CA, Lexau C, Baughman W, Barnes B, Bennet N, Cassidy PM, dkk.
Aggregated antibiograms and monitoring of drug-resistant Streptococcus pneumoniae. Emerg
Infect Dis. 2003;9:1089-95Weinstein MP, Reller LP, Murphy JR. The clinical significance of
positive blood cultures: A comprehensive analysis of 500 episodes of bacteremia and fungemia
in adults. Laboratory and epidemiologic observations. Rev Infect Dis. 1983;5:35–53.
14. Zapantis A, Lacy MK, Horvat RT, Grauer D, Barnes BJ, O’Neal B, Couldry R.Nationwide
antibiogram analysis using NCCLS M39-A guidelines. J Clin Microbiol. 2005;43:2629-34.
Memperhatikan:
1. Sebanyak 90% persalinan akan berjalan normal dan bayi yang lahir tidak memerlukan
bantuan aktif sedangkan yang membutuhkan resusitasi lengkap sampai intubasi hanya 1-3%
dari seluruh persalinan.
2. Pada umumnya literature menyebutkan bahwa kehadiran dokter spesialis anak
dibutuhkan pada persalinan dengan risiko.
3. Tidak ada literatur yang menyebutkan keharusan kehadiran dokter spesialis anak pada
partus per vaginam tanpa risiko.
Rekomendasi:
1. Dokter spesialis anak tidak perlu menghadiri setiap persalinan per vaginam
2. Persalinan per vaginam yang perlu dihadiri oleh dokter spesialis anak adalah persalinan
yang mempunyai faktor risiko, yaitu :
a. Prematuritas dengan usia gestasi antara 22 sampai 36 minggu (< 36 minggu)
atau postmatur > 42 minggu
b. Kehamilan ganda atau kembar
c. Kelainan presentasi janin, presentasi bokong
d. Persalinan per vaginam dengan bantuan alat forsep atau vakum
e. Ibu yang mendapat obat petidin atau narkotik dalam < 4 jam sebelum partus
f. Air ketuban meconium staining
g. Gawat janin yang dibuktikan dengan kelainan CTG atau Doppler
h. Analgesi maternal sistemik yang diberikan dalam 2 jam sebelum persalinan
i. Persalinan seksio sesar (tidak termasuk seksio sesar ulangan rutin dengan
anestesi regional)
j. Intrauterine growth retardation (IUGR) atau makrosomia
k. Polihidramnion
l. Korioamnionitis, abrupsio plasenta
m. Janin tersangka kelainan jantung bawaan atau disritmia kardiak
n. Ketuban pecah dini > 24 jam
o. Ibu dengan preeklamsia atau eklampsia
p. Persalinan dengan anestesi umum
q. Meningkatnya risiko infeksi neonatal seperti ibu yang mendapat antibiotik
profilaksis <4 jam sebelum persalinan vaginal atau tersangka infeksi TORCH
r. Terdapat kelainan anatomi saat antenatal termasuk tersangka kelainan
kromosom
. Rumah sakit perlu membentuk tim gawat darurat (blue team) yang terlatih yang bertugas
menangani keadaan gawat darurat, termasuk pada janin dan bayi baru lahir, yang dapat terjadi
sewaktu-waktu di rumah sakit
. Petugas kesehatan (dokter, bidan atau perawat) yang membantu persalinan per vaginam
harus mempunyai kompetensi dalam menangani kegawatan pada janin atau bayi baru lahir
Rekomendasi ini dibuat untuk diketahui dan digunakan sebagai acuan bagi semua dokter spesialis
anak dan pihak lain yang berkepentingan
Daftar referensi:
1. Tawam Hospital in affiliation with Johns Hopkins Medicine. Medical Affairs Department of
Pediatrics. Clinical practice guideline. Attendance of pediatrician at delivery. Agustus 2011.
2. Boston Medical Centre. Maternal child health policy and procedure manual. NICU delivery
team policy for high risk deliveries. June 2009.
3. University of Michigan Women’s Hospital. Pediatric provider presence at deliveries. Juli
2010.
4. Primhak RA, Herber SM, Whincup G, Milner RDG. Which deliveries require paediatricians
in attendance? Br Med J. 1984;289:16-8.
5. Gonzalez F, Juliano S. Is pediatric attendance necessary for all cesarean section? JAQA
2002;102:127-9.
6. Arya R, Pethen T, Johanson RB,Spencer SA. Outcome in low risk pregnancies. Archs Dis
Child 1996;75:F97-102.
7. Levine EM, Ghai V, Barton JJ, Strom CM. Pediatrician attendance at cesarean delivery:
Necessary or not? Obstet Gynecol. 1999;93:338-40.
8. Tooke LJ, Joolay Y, Horn AR, Harrison MC. Is the attendance of paediatricians at all
elective caesarean sections an effective use of resources? S Afr Med J. 2011;101:749-50
9. Gordon A, MacKechnie EJ, Jeffrey H. Pediatric presence at caesarean section: Justified
or not? Am J Obstet Gynecol. 2005;193:599-605.
10. Atherton N, Parsons SJ, Mansfield P. Attendance of paediatrician at elective caesarean
sections performed under regional anesthesia: Is it warranted? J Paediatr Child Health.
2006;42:332-6.
11. Kamath BD, Todd JK, Glazner JE, Lezotte D, Lynch AM. Neonatal outcomes after
elective caesarean delivery. Obstet Gynecol.2009;113:1231-8.
12. Parsons SJ, Sonneveld S, Nolan T. Is a paediatrician needed at all caesarean section? J
Paediatr Child Health. 1998;34:241-4.
13. Johanson R, Newburn M, Macfarlane A. Has the medicalization of childbirth gone too far?
BMJ.2002;324:892-5.
Hiperplasia Adrenal Kongenital (Congenital Adrenal Hyperplasia)
1. Perlu skrining pada bayi baru lahir terhadap hiperplasia adrenal kongenital (HAK),
khususnya HAK dengan defisiensi enzim 21 hidroksilase. Skrining ini dapat diintegrasikan
dengan program skrining bayi baru lahir yang lain seperti terhadap hipotiroid kongenital.
2. Perlu pemeriksaan 17 hidroksi progesteron (17OHP) pagi hari untuk menegakkan
diagnosis HAK pada kasus-kasus yang diduga secara klinis mengalami HAK.
3. Perlu pengadaan sarana diagnostik untuk pemeriksaan 17 hidroksi progesteron di
Indonesia.
4. Perlu pemberian terapi rumatan untuk pasien HAK klasik dengan menggunakan tablet
hidrokortison.
5. Perlu pemberian fludrokortison tablet pada pasein HAK klasik, terutama pada bayi baru
lahir dan masa bayi.
6. Perlu pemberian hidrokortison injeksi pada pasien HAK klasik yang mengalami kondisi
gawat darurat, berupa krisis adrenal.
7. Perlu pengadaan hidrokortison tablet, hidrokortison injeksi, dan fludrokortison tablet untuk
digunakan sebagai pengobatan pasien HAK.
Referensi :
1. Speiser PW, Azziz R, Baskin LS, Ghizzoni L, Hensle TW, Merke DP. Congenital adrenal
hyperplasia due to steroid 21-hydroxylase deficiency: an endocrine society clinical practice
guideline. J ClinEndocrinol Metab. 2010;95:4133-60.
2. Joint LWPES/ESPE CAH Working Group; Consensus statement on 21-hydroxylase
deficiency from the Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society and the European Society for
Paediatric Endocrinology. J Clin Endocrinol Metab. 2002;87:4048–53.
3. White PC. Neonatal screening for congenital adrenal hyperplasia. Nat Rev Endocrinol.
2009;5:490-8.
Tes Kulit pada Pemberian Injeksi Antibiotik
Referensi :
1. Barbaud A, Goncalo M, Bruynzeel D, Bircher A, Guidelines for performing skin tests with
drugs in the investigation of cutaneous adverse drug reactions. Contact dermatitis
2001;45:321–8.
2. Bernstein IL, Li JT, Bernstein DI, Hamilton R, Spector SL, Tan R, dkk. Allergy diagnostic
testing: an updated practice parameter. Part 2. Ann Allergy Asthma Immuno.l 2008;100 Supl
3:S66-121.
3. Lee SH, Park HW, Kim SH, dkk. The current practice of skin testing for antibiotics in
Korean hospitals. Korean J Intern Med. 2010;25:207–12.
4. Fox S, Park MA. Penicillin skin testing in the evaluation and management of penicillin
allergy. Ann Allergy Asthma Immunol. 2011;1;106:1–7.
5. Langley JM, Halperin S. Allergy to antibiotics in children: perception versus reality. Can J
Infect Dis. 2002;13:160–3.
6. Macy E, Ho NJ. Adverse reactions associated with therapeutic antibiotic use after
penicillin skin testing. Perm J. 2011;15: 31–7.
7. Solensky R, Khan DA. Drug allergy: an updated practice parameter. Annals of Allergy,
Asthma & Immunol. 2010;105: 1-76.
8. Thong BY. Update on the management of antibiotic allergy. Allergy Asthma Immunol Res.
2010;2:77–86.
9. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Allergy, Asthma & Clinical Immunol.
2011;7 Supl 1:S10.
Referensi :
1. Barbaud A, Goncalo M, Bruynzeel D, Bircher A, Guidelines for performing skin tests with
drugs in the investigation of cutaneous adverse drug reactions. Contact dermatitis
2001;45:321–8.
2. Bernstein IL, Li JT, Bernstein DI, Hamilton R, Spector SL, Tan R, dkk. Allergy diagnostic
testing: an updated practice parameter. Part 2. Ann Allergy Asthma Immuno.l 2008;100 Supl
3:S66-121.
3. Lee SH, Park HW, Kim SH, dkk. The current practice of skin testing for antibiotics in
Korean hospitals. Korean J Intern Med. 2010;25:207–12.
4. Fox S, Park MA. Penicillin skin testing in the evaluation and management of penicillin
allergy. Ann Allergy Asthma Immunol. 2011;1;106:1–7.
5. Langley JM, Halperin S. Allergy to antibiotics in children: perception versus reality. Can J
Infect Dis. 2002;13:160–3.
6. Macy E, Ho NJ. Adverse reactions associated with therapeutic antibiotic use after
penicillin skin testing. Perm J. 2011;15: 31–7.
7. Solensky R, Khan DA. Drug allergy: an updated practice parameter. Annals of Allergy,
Asthma & Immunol. 2010;105: 1-76.
8. Thong BY. Update on the management of antibiotic allergy. Allergy Asthma Immunol Res.
2010;2:77–86.
9. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Allergy, Asthma & Clinical Immunol.
2011;7 Supl 1:S10.
Tuberkulosis
Referensi:
1. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on the
management of tuberculosis in children. WHO/HTM/TB/2006.371. Geneva: WHO; 2006.
2. Stop TB Partnership Childhood TB Subgroup, World Health Organization. Guidance for
national tuberculosis programmes on the management of tuberculosis in children: childhood
contact screening and management. Int J Tuberc Lung Dis. 2007;11:12–5.
3. Ormerod LP. Drug therapy for children with tuberculosis. Arch Dis Child. 2012;97:1097–
101.
4. Swaminathan S, Rekha B. Pediatric tuberculosis: global overview and challenges. Clinl
Infec Dis. 2010;50 Supl 3:S184–194.
5. Rigouts L. Diagnosis of childhood tuberculosis. Eur J Pediatr. 2009;168:1285–90.
6. LoBue PA, Enarson DA, Thoen TC. Tuberculosis in humans and its epidemiology,
diagnosis and treatment in the United States. Int J Tuberc Lung Dis. 2010;14:1226–32.
7. Singh M, Mynak ML, Kumar L, dkk. Prevalence and risk factors for transmission of
infection among children in household contact with adults having pulmonary tuberculosis. Arch
Dis Child. 2005;90:624–8.
8. Armbruster B, Brandeau ML. Contact tracing to control infectious disease: when enough
is enough. Health Care Manage Sci. 2007;10:341–55.
9. Underwood BR, White VLC, Baker T. Contact tracing and population screening for
tuberculosis – who should be assessed? Journal of Public Health Medicine 2003;25:59–61.
Cara pemberian: DDAVP dilarutkan dalam 50-100 ml normal saline, diberikan melalui infus
perlahan dalam 20-30 menit.
DDAVP juga dapat diberikan intranasal, dengan menggunakan preparat DDAVP nasal
spray. Dosis DDAVP intranasal yaitu 300 mg, setara dengan dosis intravena 0,3 mg/kg.
DDAVP intranasal terutama sangat berguna untuk mengatasi perdarahan minor pasien
hemofilia ringan-sedang di rumah.
Efek samping DDAVP: takikardi, flushing, tremor, dan nyeri perut (terutama pada
pemberian intravena yang terlalu cepat), retensi cairan dan hiponatremia.
b. Asam traneksamat
Indikasi : perdarahan mukosa seperti epistaksis, perdarahan gusi.
Kontra indikasi : perdarahan saluran kemih (risiko obstruksi saluran kemih akibat bekuan
darah).
Penggunaan Popok Bayi dan Anak untuk Mencegah Infeksi Saluran Kemih
REKOMENDASI
IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA(IDAI) dan PERHIMPUNAN DOKTER BEDAH ANAK
INDONESIA (PERBANI)
tentang
TONGUE TIE (ANKILOGLOSSIA)
1. Tongue tie atau ankiloglosia adalah variasi bentuk anatomi dari frenulum lidah; frenulum
menjadi lebih pendek dan atau tebal. Bentuk ini dapat dijumpai pada bayi, anak, maupun
orang dewasa.
2. Tongue tie dapat menyebabkan gerakan lidah terbatas, walaupun demikiantongue
tie tidak selalu menyebabkan gangguan menghisap pada bayi menyusui.
3. Tindakan frenektomi dilakukan atas indikasi yang jelas, yang berarti bahwa tidak semua
bayi memerlukan tindakan frenektomi,tetapi bergantung pada jenis dan masalah yang ada
pada bayi.
4. Tindakan frenektomi dapat menimbulkan komplikasi, antara lain perdarahan karena
terpotong pembuluh darah besar atau mencederai/merusak kelenjar saliva.
5. Tindakan frenektomi harus dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten.
Demikian rekomendasi ini dibuat untuk diketahui dan digunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 15 April 2013
Ketua Umum,
Ketua Umum,
Sekretaris 1,
Daftar pustaka:
1. Knox I. Tongue tie and frenotomy in the breastfeeding newborn. NeoReviews
2010;11;e513.
2. Forlenza GP, Black NMP, McNamara EG, Sullivan SE. Ankyloglossia exclucive breast
feeding, and failure to thrive. Pediatrics 2010;125:e1500.
3. Deshmuhk V. Pediatric oncall. www.pediatriconcall.com-fordoctor-diseaseandcondition-
pediatric_surgery-ankylog-pdf-Adobe Reader. Diakses tanggal 12 Maret 2013.
4. Ballard JL, Auer CE, Khoury JC. Ankyloglossia: Assessment, incidence, and effect of
frenuloplasty on the breastfeeding dyad. Paediatrics. 2002;110:e63.
5. Messner AH, Lalakea ML, Aby J, Macmahon J, Bair E. Ankyloglossia. Incidence and
associated feeding difficulties. Arc Otolaryngol Head Neck Surg. 2000;126:36-39.
6. Coryllos E, Genna CW, Salloum AC. Congenital tongue-tie and its impact breastfeeding.
Breastfeeding: Best for Baby and Mothers. American Academy of Pediatrics. 2004.1-6.
Referensi :
1. Lucas A, Prewett RB, Mitchell MD. Breastfeeding and plasma oxytocin concentrations. Br
Med J. 1980;281:834-5.
2. Beral V. Breast cancer and breastfeeding: collaborative reanalysis of individual data from
47 epidemiological studies in 30 countries, including 50302 woman with breast cancer and
96973 woman without the disease. Lancet. 2002;360:187-95.
3. Saadeh R, Benbouzid D. Breastfeeding and child spacing: importance of information
collection to public health policy. Bull World Health Organ. 1990;68:625-31.
4. Popkin BM, Adair L, Akin JS, Black R. Breastfeeding and diarrheal morbidity. Pediatrics.
1990;86:874-82.
5. Howie PW, Forsyth JS, Ogston SA, Clark A, Florey CV. Protective effect of breastfeeding
against infection. BMJ. 1990;300:11-6.
6. Scariati PD, Grummer-Strawn LM, Fein SB. A longitudinal analysis of infant morbidity and
the extent of breastfeeding in the United States. Pediatrics. 1997;99:e5.
7. Kramer MS, Chalmers B, Hodnett ED, Sevkovskaya Z, Dzikovich I, Shapiro S, et al.
Promotion of breastfeeding intervention trial (PROBIT). JAMA. 2001;285:413-20.
8. Cesar JA, Victora CG, Barros FC, Santos IS, Flores JA. Impact of breastfeeding on
admission for pneumonia during postneonatal period in Brazil: nested case-control. BMJ.
1999;318:1316-20.
9. Chantry CJ, Howard CR, Auinger P. Full breastfeeding duration and associated decrease
in respiratory tract infection in US children. Pediatrics. 2006;117:425-32.
10. Aniansson G, Alm B, Andersson B, Hakansson A. A prospective coherent study on
breasfeeding and otitis media in Swedish infants. Pediatr Inf Dis J. 1994;13:183-8.
11. Norris JM, Scott FN. A meta-analysis of infant diet and insulin-dependent diabetes
mellitus: do biases play a role? Epidemiology. 1996;7:87-92.
12. WHO collaborative study team on the role of breastfeeding in the prevention of infant
mortality. Effect of breastfeeding of infant and child mortality due to infections disease in less
developed countries: a pooled analysis. Lancet. 2000;355:451-5.
13. Bahl R, Frost C, Kirkwood BR, Edmund K, Martinez J, Bhandari K. Infant feeding patterns
and risks of death and hospitalization in the first half of infancy: multicentre cohort study. Bull
World Health Organ. 2005;83:418-26.
14. Kull I, Wickman M, Lilja G, Nordvall SL, Pershagen G. Breastfeeding and allergic
diseases in infants – a prospective birth cohort study. Arch Dis Child. 2002;87:478-81.\
15. Von Kries R, Koletzko B, Sauerwald T, von Mutius E, Barnert D, Grunert V, et al.
Breastfeeding and obesity: cross sectional study. BMJ. 1999;319:147-50.
16. Gillman MW, RIfas-Shiman SL, Camargo Jr CA. Risk of overweight among adolescents
who were breastfed as infants. JAMA. 2001;285:2461-7.
17. Kramer MS, Aboud F, Miranova F, Vanilovich I, Platt RW, Matush L, et al. Breastfeeding
and child cognitive development. New evidence from a large randomized trial. Arch Gen
Psychiatry. 2008;65:578-84.
18. Mortensen EL, Michaelsen KF, Sanders SA, Reinisch JM. The association between
duration of breastfeeding and adult intelligence. JAMA. 2002;287:2365-71.\
19. World Health Organization, UNICEF, and Wellstart International. Baby-friendly hospital
initiative : revised, updated and expanded for integrated care. Section 2. Strengthening and
sustaining the baby-friendly hospital initiative: a course for decisionmakers. WHO and UNICEF.
2009. Geneva.
20. American Academy of Pediactrics, Section on Breastfeeding. Breastfeeding and the use
of human milk. Pediatrics. 2005;115:496-506.
21. World Health Organization. Acceptable medical reasons for use of breastmilk substitutes.
WHO. 2009. Geneva.
Referensi :
1. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, Hill D, Isolauri E, Koletzko S, dkk. Guideline for the
diagnosis and the management cow’s milk protein allergy in infants. Arch Dis Child.
2007;92;902-8.
2. Scurlock AM, Lee LA, Burks AW. Food allergy in children. Immunol Allergy Clin N Am.
2005;25:369-88.
3. Host A. Frequency of cow’s milk allergy in childhood. Ann Allergy Asthma Immunol.
2002;89Supl 1:33–7.
4. Burks W, Ballmer-Weber BK. Food allergy review. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2000;30:1-26.
5. Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA. Adverse reactions to foods. Med Clin N Am.
2006;90:97-127.
6. Sullivan PB. Cows’ milk induced intestinal bleeding in infancy. Arch Dis Child.
1993;68:240-5.
7. Osborn DA, Sinn JKH. Formulas containing hydrolysed protein for prevention of allergy
and food intolerance in infants. Cochrane Database of Systematic Reviews 2006, Issue 4. Art.
No.: CD003664. DOI: 10.1002/14651858.CD003664.pub3.
8. Kemp AS, Hill DJ, Allen KJ, Anderson K, Davidson GP, Day AS, dkk. Guidelines for the
use of infant formulas to treat cows milk protein allergy: an Australian consensus panel opinion.
MJA. 2008;188:109- 12.
9. Brill H. Approach to milk protein allergy in infants. Can Fam Physician 2008;54:1258-64.
10. Committee on Nutrition American Academy of Pediatrics. Hypoallergenic infant formula.
Pediatrics. 2000;106:346-9.
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
Disusun oleh: UKK Alergi-Imunologi, UKK Gastrohepatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik
IDAI
Dengan mengkaji berbagai kepustakaan yang berkaitan dengan penggunaan Zinc dan Cairan
Rehidrasi Oral pada penderita diare, maka disimpulkan bahwa pemberian Zinc dan Cairan Rehidrasi
Oral Hipoosmolar pada anak dengan diare memenuhi ‘Level of Evidence’ I (satu) dengan derajat
rekomendasi A.
Berdasarkan hal tersebut, maka pemberian preparat Zinc dan Cairan Rehidrasi Oral Hipoosmolar
direkomendasikan pada anak yang mengalami diare.
Referensi:
1. Guarino A, Albano F, Guandalini S; Working group on acute gastroenteritis. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2001; 33 Supl 2:S2-12.
2. Hans S, Kim Y, Garner P. Reduced osmolarity oral rehydration solution for treating
dehydration due to diarrhea in children: systematic review. BMJ. 2001;323: 81-5.
3. World Health Organization. Pocket book of hospital care for children. Geneva: WHO;
2005.
4. Aiuke, Rohde J, Schuert J, Jude N, Camille S, Soenarto Y. Assessment for the
introduction of zinc in improved management of diarrhea in Indonesia. Airlington, Virginia,
USA: Basic Support for Institutionalizing Child Survival (BASICS) for the United States Agency
for International Development (USAID). 2007.
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
pasal 5 (2) : Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu dan terjangkau,
pasal 19 : Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya
kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
2. Kebijakan WHO tahun 2011:
Penutup
Dengan terbitnya surat edaran ini, agar Kepala Dinas Kesehatan di Provinsi/ Kabupaten/ Kota,
Ketua Asosiasi/ Organisasi Profesi untuk menyampaikan informasi hal diatas kepada seluruh
jajarannya, yang terkait dengan program pengendalian TB di Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Akmal Taher
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Indonesia