Anda di halaman 1dari 17

Laporan Kasus

SOURCE CONTROL PADA PASIEN SEVERE SEPSIS

Basuki Rachmad

Pembimbing
dr Prananda Surya Airlangga Sp.An. Mkes. KIC

Fellow KIC
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr soetomo
Surabaya

2015BAB I
RESUME PASIEN
Anak laki laki berumur 8 tahun BB= 32 kg pada hari sabtu, pukul 13.00 WIB
tanggal 4 juli 2014 mengalami kecelakaan lalu lintas, terjatuh saat di gonceng sepeda
motor kemudian terlindas truk kontainer dari arah depan. Pasien di rujuk ke RS Yapalis
dan mendapatkan resusitasi cairan RL 1000 cc, anti nyeri, anti tetanus, dan kemudian
pasien di rujuk ke RSUD Dr Soetomo. Setelah dilakukan pemeriksaan primary survey,
secondary survey dan pemeriksaan penunjang di dapatkan diagnosis :
-

Open degloving regio hip, femur, cruris


Open degloving regio flank dan gluteus
Open fraktur dislokasi genu dekstra
Open fraktur epifisiolisis distal femur
Suspect lesi vaskuler a poplitea
Ruptur perineum grade 4
Fractur coste 3,4,5,6 lateral dektra

Dengan Mangled Extremity Severity Score (MESS) total = 7 tetapi ektremitas


dipertahankan tidak dilakukan amputasi. Pasien dilakukan operasi debridement,
pemasangan eksternal fiksasi, trombektomi a femoralis, dibuat colotransverstomi dan
repair perineum. Dirawat 13 hari di ROI ( Ruang Observasi Intensif ) mendapatkan
perawatan intensif, diberikan support ventilasi mekanik, antibiotik, anti nyeri,
pencegahan stres ulcer, nutrisi, rongent thorak, pemeriksaan darah lengkap, kultur,
blood gas analysis, laktat, PCT. Pasien ini dilakukan 4 kali operasi, pada pasien ini
mengalami severe sepsis dan yang diakibatkan degloving nya yang luas, kemudian
dilakukan operasi amputasi hari ke-10 sebagai keputusan untuk source control. Pada
saat direncanakan naik ke OK untuk dilakukan debridement yang ke-5 pasien
mengalami penurunan kondisi terjadi melena sampai sekitar 1000 cc kemudian terjadi
syok yang refrakter

tidak respon resusitasi cairan. Pasien mengalami

kemudian dilakukan RJP tetapi tidak ROSC.

bradikardi

SOURCE CONTROL PADA PASIEN SEVERE SEPSIS


Basuki Rachmad
Pembimbing
dr Prananda Surya Airlangga Sp.An. Mkes. KIC

PENDAHULUAN
Di Amerika Utara kecelakaan pada anak masih menjadi perhatian kesehatan
masyarakat, lebih dari 70 % kecelakaan menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang
semestinya dapat dilakukan pencegahan.

Mesin pertanian, kecelakaan motor dan

kecelakaan kereta api menyebabkan Mangled extremity pada anak. 4


A Mangled Extremity di definisikan kerusakan akibat
badan ( jaringan lunak, tulang, saraf dan pembuluh darah).

trauma berat

anggota

Walaupun ketepatan

definisi masih belum sempurna namun masih dapat digunakan menilai viabilitas dan
evaluasi fungsi nya. Pedoman ini dipakai untuk melakukan evaluasi, pengobatan di
UGD dan managemen prehospital.7

Pengambilan keputusan cermat

merupakan

tantangan yang sangat berarti, setelah dilakukan life-threatening sampai tercapai


kondisi stabil. Pada proses awal penyelamatan dievaluasi oleh bedah ortopedi, bedah
plastik, bedah anak, bedah vaskuler untuk menilai kerusakan anggota badan serta
kemungkinan pemulihannya. Pada vaskuler

yang compromise diharapkan ekscisi

jaringan yang terkontaminasi dilakukan tanpa ragu-ragu akan memperpanjang waktu


iskemik. Target secara dini adalah debridemen luka, irigasi serta kotoran dibuang
untuk mencegah kontaminasi dan

infeksi. Patah tulang terbuka sebaiknya diobati

sebagai pasien emergensi dengan intervensi pembedahan dalam 4-8 jam setelah
terjadinya injury, memang terkadang menjadi pilihan yang sulit
menyelamatkan fungsi ekstremitas atau menyelamatkan pasien nya.

apakah mau
Sayangnya,

melakukan penyelamatan ekstremitas tidak selalu berhasil dan amputasi sekunder


dilakukan karena perfusi yang kurang bagus, adanya infeksi dan nyeri kronis.

1,3,5,6

Antibiotik yang diberikan disesuaikan terapi empiris pada awal pasien datang dengan
trauma degloving kaki kanan dengan diberikan cefazoline. 8
The Mangled Extremity Severity Score (MESS) adalah skala obyektif membantu
pengambilan keputusan secara cermat untuk keberhasilan penyelamatan ekstremitas
atau akan dilakukan amputasi.2 Banyak penelitian dengan MESS sudah digunakan
pada orang dewasa atau kombinasi secara serial pada sebagian kecil anak anak.

Pada tabel diatas, menunjukkan Mangled Extremity Severity Score (MESS) yang dinilai
skor < 6 atau lebih kecil : diselamatkan ekstremitas nya
Skor > 7 atau lebih

SEVERE SEPSIS

: dilakukan amputasi

Pada tahun 2005, WHO mengumumkan bahwa 80 % dari anak-anak seluruh


dunia meninggal disebabkan oleh

5 penyakit infeksi yang berat yaitu

pneumonia,

malaria, morbili, sepsis dan diare. Intervensi termasuk immunisasi, vitamin dan
tambahan mineral, antibiotik, resusitasi cairan dan support inotropik akan menurunkan
mortalitas. 11,12
Sepsis di definisikan sebagai systemic inflamatory respon syndrome

(SIRS)

yang dicetuskan oleh keberadaan kuman pathogen yang apabila tidak diketahui secara
dini dan diobati maka akan menjadi penyebab utama mordibitas dan mortalitas pada
anak. Pendekatan terapi yang utama pada sepsis adalah supportif, prinsip fisiologi dari
critical care medicine dan memerlukan 4 target penting : 4
-

Initial resusitation
Eradikasi kuman patogen
Maintenance oksigen delivery
Mengubah respon inflamasi

Initial Resusitasi menjadi target utama terapi jam pertama dari gambaran klinis untuk
mempertahankan oksigenasi jaringan, ventilasi serta mencapai perfusi yang normal.
Parameter klinis yang penting untuk merefleksikan perfusi normal adalah :
capillary refill < 2 detik, pulsasi yang normal dengan tidak ada perbedaan diantara
kualitas dari perifer dan pulsasi sentral, perfusi eksremitas hangat, status mental
normal, normal tekanan darah sesuai umur dan kecukupan urin output sesuai umur
Definisi sepsis, severe sepsis, sepsis shock dan multiple organ dysfunction syndrome
sama dengan dewasa tetapi tergantung pada umur, spesifik heart rate, respiratory rate
dan nilai sel darah putih.13

A. Initial resusitation7
1) Pemberian oksigen lewat face mask diperlukan high flow oksigen nasal canul
atau nasopharing CPAP apabila terjadi respiratori distress dan hipoksia.
Akses intravena perifer atau intraosseus dapat digunakan untuk resusitasi
cairan dan infus inotropik ketika akses sentral tidak dapat digunakan. Apabila

diharapkan ventilasi mekanis, tetapi terdapat ketidak stabilan kardiovaskuler


selama intubasi diharapkan resusitasi kardiovakuler terlebih dahulu.
Dasar pemikiran, karena fungsi residual capasity (FRC) masih rendah, maka
selama intubasi dan ventilasi mekanik akan menaikkan tekanan intratorakal
sehingga dapat menurunkan venous return dan menyebabkan syok yang
memburuk. Apabila pasien tidak diisi volume, apabila terjadi desaturasi
diberikan oksigen face mask, high flow nasal canul oksigen atau
nasoparingeal CPAP dapat meningkatkan fungsional residual capacity (FRC)
dan menurunkan work of breathing. ( grade 2 C )
2) Titik akhir initial terapi dari resusitasi sepsis shock adalah capillany refill 2
detik, tekanan darah normal sesuai umur, pulse normal dengan tidak ada
perbedaan antara perifer dan sentral, ektremitas hangat, urin output > 1
ml/kg/h dan status mental normal. Setelah itu SCVO 2 saturasi lebih besar
atau sama 70% dan cardiac index target 3,3 dan 6.0 L/mnt/m 2. ( grade 2C )
Guideline pada dewasa direkomendasi bersihan laktat baik, tetapi pada anak
anak pada umumnya level laktat normal pada syok sepsis. Oleh karena
banyak modalitas dapat digunakan untuk menilai SCVO 2 dan cardiac index
dapat dipilih sebagai bahan pertimbangan.
Evaluasi untuk dan reverse pneumothorak, pericardial tamponade atau
kegawatdaruratan endokrin

termasuk hipoadrenalism dan hypothyroidism

dengan refrakter shock ( grade IC )


B. Antibiotik dari source kontrol.7
1. Direkomendasikan pemberian empiris antibiotik dalam 1 jam identifikasi dari
severe sepsis. Kultur darah sebaiknya diambil sebelum pemberian antibiotik,
sehingga tidak terlambat pemberian antibiotik. ( grade I D )
Antibiotik dapat diberikan intramuskular dan oral ( apabila di toleransi ).
2. Penggunaan clindamycin untuk menurunkan produksi toksin dan antitoksin
terapi untuk toksis syok syndrome dengan hipotensi refrakter. Penggunaan
IVIG tidak jelas tetapi dipertimbangkan pada syok toksis refrakter.
3. Di rekomendasikan secara dini dan agresif source kontrol adalah terpenting
terhadap infeksi. (grade I D).
C. Fluid resusitasi7
Initial resusitasi dari syok hipovolemi dimulai dengan infus isotonik kristaloid atau
albumin dengan bolus 20 ml/kg untuk kristaloid ( atau albumin equivalen ) lebih
dari 5 -10 menit. Di titrasi untuk me reverse hipotensi, menaikkan urine output

dan mencapai capillary refill normal, pulse perifer dan level kesadaran tanpa
menyebabkan hepatomegali atau rales. Pada anak anemia hemolitik yang berat
( malaria berat atau sickle sel krisis ) dimana tidak hipotensi, tranfusi darah lebih
di pertimbangkan di banding kristaloid atau albumin. ( grade 2C ).
D. Inotropik / vasopressor / vasodilator.7
1. Disarankan dimulai support inotropik perifer sampai akses central vena
didapat pada anak yang tidak respon dengan resusitasi cairan. (grade 2C).
2. Pada pasien dengan low cardiak output dan kenaikan sistemik vaskuler
resisten dengan tekanan darah normal di berikan terapi inotropik (grade 2C).
E. ECMO ( Extracorporeal Membran Oxygenation )7
Disarankan pada anak dengan refrakter syok sepsis atau gagal nafas refrakter
respiratory di sebabkan oleh sepsis ( grade 2C ).
F. Kortikosteroid 7
Disarankan diberikan secara tepat dengan syok sepsis yang refrakter cairan,
katekolamin resisten syok dan suspek adrenal insufficiensi ( grade I A ).
G. Produk darah dan plasma terapi.7
Disarankan target Hb pada anak dan dewasa adalah sama. Selama resusitasi
syok vena cava superior SCVO2 < 70%, Hb level 10 gr/dl. Setelah stabilisasi
dari pemulihan syok dan hipoksemia kemudian target > 7 gr/dl ( grade 1B ).
H. Mekanikal ventilasi7
Disarankan lung protektif strategi selama mekanikal ventilasi ( grade 2C ).
I. Sedasi /analgesi/ toksisitas obat7
Direkomendasikan penggunaan sedasi dengan target sepsis dengan mekanikal
ventilasi ( grade1 D)
J. Kontrol glukosa 7
kontrol hiperglikemia menggunakan target seperti dewasa ( 180 mg/dl ).
Infus glukosa disertai terapi insulin pada bayi dan anak ( grade 2 C )
K. Diuretics and Renal Replacement Therapy7
Penggunaan diuretik saat overload cairan setelah syok diatasi dan jika tidak
berhasil dilakukan continous venovenous hemofiltration atau dialisis (grade 2 C)
L. DVT profilaksis.7
Tidak direkomendasikan pada prepubertas.
M. Profilaksis stress ulcer7
Tidak ada grade rekomendasi pada stress ulcer propilaksi pada studi
menunjukkan angka kejadiannya sama dengan dewasa.
N. Nutrisi7

Nutrisi enteral harus diberikan bila dapat ditoleransi dan bila tidak ditoleransi
diberikan lewat parenteral (grade 2C)

Dalam menangani pasien sepsis yang kritis harus difahami secara benar seperti pada
tabel diatas

sebagai awal dari keberhasilan dari tindakan selanjutnya, dimana

resusitasi cairan merupakan awal kunci keberhasilan selain source kontrol dan terapi
antibiotik. Resusitasi cairan harus dilakukan

yang terdahulu agar tidak terjadi

hipoperfusi jaringan sebagai akibat dari vasodilatasi apabila diperlukan pemberian obat
vasoaktif dan pemberian transfusi darah seperti EGDT.
Patofisiologi
Apabila kuman patogen

masuk

ke intravaskuler, maka host akan mengaktifkan

mekanisme pertahanan tubuh. Bakterimia temporer tanpa konsequensi klinis yang


bermakna pada umumnya terjadi pada anak yang sehat. Pada yang lain, kemungkinan
tergantung umur dan imunokompeten dari pasien, virulensi dan jumlah patogen pada
darah, timing, dan terapi intervensi, host sistemik inflamatory respon terjadi, dan dapat
berlanjut walaupun telah berhasil memusnahkan kuman patogen. Infeksi merupakan
penyebab terbesar SIRS

penyebab yang lain termasuk : trauma, ARDS, neoplasma,

burn injury, pankreatitis, dysfunctional macrophage activation.

Akibat yang

paling

patofisiologi hasil dari sepsis syndrome adalah ketidakseimbangan diantara pro dan
antiinflamatori mediator dengan di kombinasi toksin kuman. Pada anak severe sepsis
muncul dari aktivasi respon immun innate. Respon ini di trigger oleh kuman patogen
yang berbeda, respon akan mensekresi pro dan anti-inflamatori sitokin, meng aktivasi
dan

memobilisasi

meningkatkan

lekosit,

apoptosis.

aktivasi
Proses

koagulasi,
inflamasi

menghambat

innate

akan

fibrinolisis

merugikan

dan

dengan

mengakibatkan disfungsi jantung, vasodilatasi, injuri kapiler, mikro dan makrovaskuler


trombosis.10
Manifestasi klinis sepsis menghasilkan sistemik inflamasi dan regulasi temperatur yang
abnormal, takikardi, takipneu, asidosis metabolik ( kenaikan serum laktat, penurunan
base excess),

gangguan fungsi renal atau hepar, trombosis dan lekositosis, dan

apabila berlanjut terjadi

kegagalan multiorgan (MODS) termasuk gagal nafas akut,

hipotensi, gagal jantung, penurunan fungsi neurologis, oliguria/anuria, gagal hepar,


lekopenia, anemia, dan trombositopenia, dan kematian.

10

Salah satu yang komplikasi pasien criticall ill adalah stress related mucosal disease
(SRMD). Terapi prophylaksis secara rutin diberikan pada pasien kritis yang dirawat di
ICU yang resiko tinggi, yang merupakan proses erosive dari gastroduodenal mukosa
yang secara fisiologis abnormal. Resiko tinggi SRMD termasuk :

14

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Mekanikal ventilation (lebih dari 48 jam)


Koagulopati
Syok state (sepsis,hemorrhagic, cardiogenic, anaphilaksis)
Severe head injury dan neurological pasien.
Severe burn (more than 30 %)
Multiple organ failure

Komplikasi gastrointestinal sering terjadi pada pasien di ICU, tentu saja ulkus dan
perdarahan dikaitkan dengan SRMD dapat memperpanjang masa rawat inap di rumah
sakit dan meningkatkan mortalitas sebanyak 4 kali dibanding yang tanpa komplikasi.
Insiden secara klinis penting yang dapatmenyebabkan komplikasi ketidakstabilan
hemodinamik, penurunan Hb dan memerlukan transfusi. Pada tipe ulcer dan bleeding
dapat meningkatkan long of stay
dibanding tanpa komplikasi ini.14

PEMBAHASAN

dan meningkatkan mortalitas sebanyak 4 kali

Pasien dirujuk dari RS Yapalis datang ke ruang resusitasi RSUD Dr Soetomo.


Dari Primary Survey saat itu didapatkan kondisi keadaan umum sadar, lemah, nafas
spontan 30 x/mnt, tampak pucat, perfusi dingin, basah. Tensi : 93/48 mmHG, nadi = 150
x/m, capillari refill time > 2 dtk, dilakukan Initial Resusitation : untuk respiratory distress
dan hipoksemia dimulai dengan pemberian oksigen masker, pasien sudah terpasang iv
line di RS Yapalis sebelumnya dan untuk memperbaiki sirkulasi

kondisi syok

hipovolemia dengan melakukan resusitasi cairan isotonis kristaloid RL sebanyak 300 ml


secara cepat, sambil menunggu mencari darah diberikan koloid gelofusin 500 ml.
Pasien tetap di monitor vital sign (tensi, nadi, respirasi, kenaikan produksi urin,
pencapaian capillary refill yang normal, pulse perifer, level kesadaran tanpa
mempengaruhi hepatomegali, atau rales.

Setelah dilakukan resusitasi cairan telah

terjadi kenaikan parameter makrosirkulasi. Dari pemeriksaan secundary survey nafas


spontan 28 x/mnt, T = 100/46 mmHG, nadi = 140 x/mnt, urin 100 cc/3 jam USG FAST
tidak ada kelainan, foto pelvis tidak ada kelainan, thorak : fx costae 3,4,5,6 kanan. Dari
hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia (Hb= 6 gr/dl), alb 2,23 dan asidosis
metabolik kemungkinan disebabkan karena hipoksia jaringan diakibatkan hipoperfusi.
Kemudian dilakukan transfusi darah WB 350 cc setelah dilakukan pengecekan
labelnya. Pada pasien ini di diagnosis : syok hipovolemik moderate respon resusitasi,
open degloving regio hip, femur s/d cruris dektra, open degloving regio flank & gluteus
dektra, open fractur dislokasi genu dekstra, open fractur epifisiolisis distal femur dektra,
suspek lesi a poplitea, ruptur perineum grade 4 dan fraktur costae 3,4,5,6, dengan
perhitungan MESS (Mangled Extremity Severity Score) didapatkan dengan score = 7
secara perhitungan harusnya dilakukan tindakan amputasi dengan sensitivitas 91 %
dan spesifisitas 98 %, walaupun status vaskuler pulsasi a femoralis, a poplitea, a tibialis
posterior, a dorsalis pedis, yang kanan mengalami penurunan dibanding yang kiri tetapi
pada pasien ini tidak dilakukan amputasi karena di perfusi masih hangat dan saturasi
masih bagus 99 % . Hal ini lah yang menjadi dasar untuk mempertahankan ekstremitas
nya walaupun akan memiliki ancaman potensial komplikasi seperti

infeksi,

reaksi/respon inflamasi yang luas (SIRS), sepsis, severe sepsis sampai multiorgan
dysfunction syndrome (MODS), menghadapi operasi dari multidisiplin (orthopedi, TKV,
bedah plastik, bedah anak) yang berkali-kali dan lebih kompleks, banyak pemakaian

obat antibiotik, analgetik, obat protektif ulcer dan lama lebih lama perawatan di Rumah
Sakit dibanding yang langsung dilakukan amputasi secara primer.
Pasien dilakukan operasi I, dilakukan tindakan : debridement, orif pinning patella dan
femur, eksternal fiksasi femur ke cruris, trombektomi a femoralis sampai dengan pedis
posterior, jahit luka primer, colotranversotomi (stoma) dan post operasi dirawat di ROI
(ruang observasi intensif).
Antibiotik yang diberikan sudah disesuaikan terapi empiris pada awal pasien datang
dengan trauma degloving kaki kanan dengan diberikan cefazoline 3 x 500 mg.
Kemudian hari ke 3 diganti dengan sefosulbactam 2 x 750 mg di sesuaikan dengan
kultur (diberikan selama 7 hari), kemudian diganti dengan dilanjutkan dengan
pemberian meropenem 3 x 600 mg.
Pemberian nutrisi yang adekuat merupakan tantangan yang utama, apalagi pada
pasien severe sepsis. Pasien ini hari ke-3 dari NGT berwarna kehijauan dan produk
aktif, Hb turun menjadi 7,46, hematokrit 23, albumin 2,63 dan APTT memanjang > 2 x
(62,70/24,30), nadi : 130-148 x/mnt, t = 37,4-39 0 C disebabkan karena kenaikan
metabolik rate karena febris, kecemasan serta dihubungkan dengan sepsis nya.
Hipoperfusi intestinal dikombinasi dengan ketidakcukupan nutrisi lokal enterocyte dapat
menyebabkan

gangguan mukosa barrier dan menyokong translokasi bakteri dan

endotoksin dari usus ke dalam darah. Nutrisi enteral tetap diupayakan sebelum
parenteral dengan alasan tropik efek pada intestinal villus sehingga menurunkan
translokasi bakteri, men support jaringan limfoid, lebih murah, lebih minimal resiko
infeksi.

Pencapaian

nitrogen

balance

adalah

penting

untuk

recovery

dan

mengembalikan fisiologis homeostasis, meningkatkan respon imunologis.


Operasi ke- 2 (hari ke- 2) dilakukan debridement luka.
Operasi ke- 3 (hari ke- 6), kondisi klinis

febris, takikardi,

severe sepsis dengan

didukung penurunan Hb dari 10,7 menjadi 4,6 gr/dl, PTT dan APTT memanjang > 2x
nya, NGT hematin dengan tetap dilakukan tindakan debridement luka.

Mulai hari ke- 8-9, kondisi pasien sadar, ikterik, febris 37,5-40

C, takikardi 150-

162x/mnt, SGOT= 95, SGPT= 55, Bil Dir= 3,97, bil total= 7,69, laktat= 2,7, PCT= 62,
merupakan biokimia marker dari inflamasi, sehingga pasien sudah terjadi gangguan
fungsi organ di hepar.
Hari ke- 10, di lakukan operasi ke-4, dilakukan amputasi (disartikulasi hip d/) untuk
source kontrol (keputusan hasil conference)
Hari ke -11,

pasien sadar, tensi stabil, nadi = 121-139 x/mnt, suhu =36,8-38

C, lab :

Hb= 8,5, Hmt= 24,4 , leko= 12.000, SGOT= 113, SGPT= 40, Bil tot= 4,6 Bil direct= 3,38,
CRP= 116,

walaupun temperatur relatif turun dibanding hari sebelumnya, tetapi

lekositosis, artinya masih terdapat gangguan pada fungsi liver , didukung biomarker
CRP masih tinggi.
Pada hari ke-12,

pasien di dx : severe sepsis (dengan gangguan fungsi hepar,

dengan kondisi sadar, nafas spontan, tensi stabil, nadi 115 x/mnt, temp = 36,6-37,5 ,
urin output sudah mulai menurun, disini pasien sudah mengalami gangguan fungsi
renal walaupun jumlah total dalam satu hari urin masih baik,

tetapi pasien

direncanakan untuk debridement di OK UGD. Pada saat pkl 18.00 terjadi perdarahan
lewat stoma 100 cc, kemudian 300 cc, kemudian tensi = 98/58 mmHG, nadi =156
x/mnt, HB= 6,5, t= 36,6 , akhirnya diberikan PRC 200 cc dan Wb 350 cc, dan pkl 23.00
diberikan WB lagi 350 cc, kemudian pkl 4.30 naik ke kamar operasi, pada saatdi
kamar operasi kondisi mengalami penurunan, terjadi perdarahan lewat stoma sampai
700 cc, pasien syok, hemodinamik T= 75/35, n= 177 x/m, t= 36,6 0 C,

dilakukan

resusitasi diberikan gelufusin 500 cc dilanjutkan PRC 200 cc 2 kolf,

diberikan

topangan nor-epineprin 300

dan adrenalin 100 mikro selama 3 jam di ROI terjadi

bradikardi, cardiac arrest di lakukan RJPO tetapi tidak ROSC. Disini sudah terjadi syok
sepsis walaupun sudah diberikan resusitasi cairan, darah dan dukungan vasopressor,
tidak memberikan respon tetapi yang berlanjut ke MODS. Dari respon tubuh akibat
inflamasi dan infeksi walaupun sudah diberikan pengobatan dengan antibiotik dan
perawatan yang cermat dengan mortalitas rate sekitar 30-60 %.

KESIMPULAN

Managemen dari injuri limb yang berat membuat keputusan yang


kontroversial. Apalagi apabila

MESS skor dalam borderline, sehingga

membuat keputusan mau diselamatkan atau di amputasi secara primer.


Sayang nya upaya yang dilakukan untuk penyelamatan limb terkadang
sukses dan juga terdapat kegagalan. Kegagalan disebabkan karena
perawatan yang lama di rumah sakit, muncul potensi infeksi, prosedur
pembedahan yang kompleks, nyeri, trauma psikologis, ketidaknyamanan,
masalah ekonomi dan akhir nya secara lambat di amputasi juga. Situasi
yang ideal diidentifikasi pasien yang menguntungkan secara dini dan
agresif usaha penyelamatan dan untuk yang primer amputasi adalah
pilihan benar.
Pasien sejak awal sudah dideteksi mulai dari SIRS karena trauma nya
yang luas, dilakukan perawatan yang intensif kemudian berlanjut severe
sepsis karena infeksi nya sudah diberikan antibiotik sesuai empiris dan
kultur, dilakukan source kontrol dengan melakukan amputasi sekunder,
terapi supportif lain masih saja berlanjut terjadi MODS. Komplikasi
hematologis, gangguan fungsi hepar, gangguan di gastrointestinal (SRMD),
meskipun sudah dilakukan monitoring secara ketat terhadap parameter
yang ada tetapi masih diketemukan ketidakberhasilan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lucian Fodor, Raluca Sobec, Laura Sita-Alb, Marius Fodor Constantin Ciuce.
Mangled Lower Extremity : Can we thrust the amputation scores ?. Int J Burn
Trauma ; 2(1) 51-58.
2. Wolinsky PR, Webb LX, Harvey EJ, Tejwani NC. The mangled limb: salvage
versus amputation. Instr Course Lect. 2011;60:2734.
3. Sapan D. Gandhi , Joshua M. Abzug, and Martin J. Herman. The Mangled
Extremity in Children Chapter 2. New York 2012.
4. Limb de fi ciencies. In: Herring JA, editor. Tachdjians pediatric orthopaedics. 4th
ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.
5. Oakes R, Urban A, Levy PD. The mangled extremity. J Emerg Med.
2008;35:43744.
6. Patzakis MJ, Wilkins J. Factors in fl uencing infection rate in open fracture
wounds. Clin Orthop Relat Res. 1989;243:3640.
7. R. Phillip Delinger, Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012.
8. Sara E, Edina, Kate. Antibiotic Guidelines. Treatment Recomendations for Adult
Inpatients. Johns Hopkins. 2014-2015 : 97
9. Thomas M et all, Western Trauma Association Critical Decision in Trauma
Management of the mangled extremity. J Trauma, 2002; 72 : 86-93.
10. Goldstein B, Giroir B, Randolph A, International pediatric sepsis consensus
conference: definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatric
Critical Care Med. 2005 : 6 : 2-8
11. Kissooon N. Sepsis Guideline implementation : benefits, pitfalls and possible
solutions. The Annual Update in Intensive Care and Emergency Medicine, 2014
12. Kissoon N et all. World Federation of Pediatric Intensive Care and Critical Care
Societies : Global Sepsis Initiative. Pediatric Critical Care Med 2012, Vol. 12,
no.5
13. Nidal el, Timothy, T Cornell, Nranjany Kissoon, Thomass : Management and
Treatment Guideline for Sepsis in Pediatric Patients. Open Inflamm J. 2011
14. Neil stollman, Patofisiology & prophylaxis of stress ulces in intensive care unit
patients. Journal of critical care 2005, 20 ; 35-45
15. Kumar MK.et al, Salvage versus amputation : utility of mangled extremity severity

score in severely injured lower limbs. Indian J Orthop 2007; 41 : 183-7

Anda mungkin juga menyukai