Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS DOKTER INTERNSIP

ASMA PADA KEHAMILAN

Oleh:
dr.

Pembimbing:
dr.

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT
KOTA
2022

0
BERITA ACARA PRESENTASI LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

Telah dipresentasikan laporan kasus oleh :


Nama : dr.
Kasus : Asma pada Kehamilan
Topik : Ilmu Obstetri dan Ginekologi
Nama Pendamping : dr.
Nama Wahana : RS
Hari / Tanggal :

No Nama Peserta Tanda tangan


1 1.
2 2.
3 3.
4 4.
5 5.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Mengetahui,
Dokter Internship Dokter Pendamping

dr. dr.

1
BAB I
PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang melibatkan


banyak sel dan elemen seluler yang mengakibatkan terjadinya hiperresponsif
jalan napas yang dapat menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi,
sesak nafas, dada berat, dan batuk terutama pada malam dan atau dini hari
yang bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.1
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak status atopi, faktor keturunan,
serta
faktor lingkungan. Di Indonesia asma merupakan penyakit sepuluh besar
penyebab kesakitan dan kematian, hal itu tergambar dari data studi survei
kesehatan
rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi Indonesia. Data SKRT tahun 2000
menunjukkan asma, bronkitis kronik, dan emfisema merupakan penyebab
kesakitan
ke-5 di Indonesia. Data SKRT tahun 2002 menunjukkan asma, bronkitis kronik,
dan emfisema sebagai penyebab kematian ke- 4 di Indonesia dengan nilai sebesar
5,6%. Pada tahun 2005 prevalensi asma di Indonesia adalah sebesar 2,1%, dan
tahun
Insidensi asma dalam kehamilan adalah sekitar 0,5-1% dari seluruh
kehamilan, serangan asma biasanya timbul pada usia kehamilan 24 hingga 36
minggu, jarang pada akhir kehamilan. Di Indonesia prevalensi asma dalam
kehamilan adalah sekitar 3,7-4%. Hal tersebut membuat asma menjadi salah satu
permasalahan yang biasa ditemukan dalam kehamilan.4
Selama kehamilan ada banya perubahan pada tubuh ibu mulai dari
perubahan anatomis pada rongga dada yang disebabkan oleh pembesaran uterus
yang menggeser diafragma ke atas hingga sejauh 4 cm, perubahan fisiologis pada
paru yang mengalami penurunan secara progresif kapasitas residu fungsional
sekitar 10-12% yang diakibatkan oleh perubahan anatomi rongga dada dan
perubahan pada hormonal yaitu peningkatan kadar estrogen dan progesteron yang

2
dapat mengakibatkan saluran napas atas dan mukosa jalan napas menjadi
hiperemis, edema, dan hipersekesi, hormon juga akan berkompetisi dan mencegah
translokasi
nuklear glukokortikoid, menyebabkan perlawanan efek fisiologis steroid endogen
dan eksogen.5
Perubahan tersebut dapat menyebabkan penurunan oksigenasi
maternal, sementara kehamilan itu sendiri akan meningkatkan 20% konsumsi
oksigen serta 15% laju metabolik, hal ini menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi. Kebutuhan ekstra ini dapat diperoleh
melalui peningkatan 40-50% resting minute ventilation, yang berasal terutama
dari
peningkatan volume tidal, dan hiperventilasi menyebabkan peningkatan
tekanan oksigen arteri (PaO2) serta penurunan tekanan karbondioksida arteri
(PaCO2), dengan kompensasi penurunan konsentrasi bikarbonat serum sampai
18-
22 mmol/l. Alkalosis respiratorik ringan (pH 7,44) seringkali ditemukan dalam
kehamilan. Oleh karenanya sesak napas sering dijumpai selama kehamilan.5.6
Faktor pencetus timbulnya asma pada ibu hamil antara lain zat-zat alergi,
infeksi saluran nafas, pengaruh udara dan faktor psikis. Dispnoe simtomatik yang
terjadi pada saat kehamilan, bisa memberi kesan memperberat keadaan asma. 7
Sekitar sepertiga kasus mengalamiperberatan penyakit, sepertiga kasus
lainnya mengalami menifestasi klinis yang lebih ringan dibanding sebelum
kehamilan, dan sepertiga terakhir tidak mengalami perubahan manifestasi klinis
asma sebelum dan sesudah kehamilan. Eksaserbasi serangan asma tampaknya
juga sering terjadi pada trimester III atau pada saat persalinan, hal ini
menimbulkan
pendapat ada pengaruh perubahan pada faktor hormonal, yaitu terjadinya
penurunan progesteron dan peningkatan prostaglandin.

3
BAB II
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
a. Nama : Ny. HRS

b. Umur : 30 tahun

c. Alamat : Palembang

d. Pekerjaan : Ibu rumah tangga

e. Tanggal periksa : 4 April 2022

f. No. RM : 143107

g. HPHT : Lupa

h. HPL : 2 Februari 2023

i. UK : 22-23 minggu

j. Berat badan : 65 Kg

k. Tinggi Badan : 156 cm

2. Keluhan Utama
Sesak Nafas

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang G3P1A1, 30 tahun, usia kehamilan 22-23 minggu.
mengeluh sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu, dan makin memberat 5
jam yang lalu. Pasien tidak sedang mengalami mual, muntah, batuk,
pilek dan demam. Selain itu pasien juga mengalami flek sedikit sejak
hari ini, namun perut tidak ada keluhan nyeri.
Riwayat kehamilan sebelumnya pasien juga menalami sesak nafas
saat kehamilan pertama, dan saat itu rutin fisioterapi untuk pencegahan
kekambuhan asma. Pasien juga memiliki riwayat alergi terhadap debu,

4
dingin, dan bulu kucing. Setiap tidur pasien selalu menggunakan 2-3
bantal.
Saat diberikan terapi nebul Ventolin dan nebul Pulmicort pasien
mengeluh dada terasa berdebar-debar. Setelah diberikan terapi Innovair
spray keluhan cukup membaik, tidak ada keluhan berdebar-debar.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat hipertensi kehamilan sebelumnya : Disangkal

b. Riwayat sesak kehamilan sebelumnya : Ada

c. Riwayat infeksi : Disangkal

d. Riwayat minum obat/ jamu selama hamil : Disangkal

e. Riwayat serupa kehamilan sebelumnya : Ada

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa disangkal
6. Riwayat pengobatan
Ventoline dan seretide
7. Riwayat Fertilitas
Cukup Baik

8. Riwayat Obstetri
I : Laki-laki, 7 tahun, lahir spontan di RS, BBL 3100 gram
II : Tahun 2020  Abortus
III : Hamil ini

9. Riwayat Ante Natal Care (ANC)


Pasien rutin melaksanakan ANC di bidan praktek mandiri hingga
kandungan pasien memasuki trimester kedua. Pasien rutin ANC ke
bidan setiap bulannya..

5
10. Riwayat Menstruasi
a. Menarche : 13 tahun

b. Lama menstruasi : 5 hari

c. Siklus menstruasi : 30 hari


11. Riwayat Perkawinan
Menikah 1 kali, selama 10 tahun

12. Riwayat Keluarga Berencana (KB)


Pasien KB dengan KB suntik 1 bulan dilakukan selama 4 tahun diantara
waktu anak pertama dan kedua. Selanjutnya pasien tidak memakai alat
kontrasepsi.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Interna
a. Keadaan Umum: Baik, GCS E4V5M6, gizi kesan cukup
b. Tanda Vital:
- Tekanan darah : 139/93 mmHg

- Nadi : 107 x / menit

- Respiratory Rate : 28 x/menit


- Suhu : 36,5 0C

- SpO2 : 99 %

c. Kepala : Mesocephal
d. Mata : Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
e. THT : Tonsilla palatina membesar (-), Oropharynx hiperemis (-)
f. Leher : Pembesaran Gld. thyroidea (-), lymphadenopathy (-)
g. Thorax : Normothorax, Gld. mammae hipertrofi, areola
mammae hiperpigmentasi (+)

6
h. Cor:
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat

- Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar

- Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler,


bising (-)
i. Pulmo:
- Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
- Palpasi : Fremitus taktil dada kanan = kiri

- Perkusi : Sonor/sonor

- Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wheezing


+/+

j. Abdomen: lihat status obstetri


k. Ekstremitas :
Edema Akral dingin
- -
- -
- -
- -

2. Status Obstetri
a. Abdomen :
- Inspeksi : Dinding perut > dinding dada, distended gravid
(+), striae gravidarum (+)
- Palpasi : Teraba janin tunggal intrauterin, membujur,
punggung di kiri (puki), presentasi kepala (preskep),
kepala belum masuk panggul, his (-), tinggi fundus uteri
(TFU) 21 cm ~ taksiran berat janin (TBJ) 470 gram.

7
Palpasi Leopold
I : Tinggi fundus uteri (TFU) setinggi 21 cm ~ taksiran berat
janin (TBJ) 470 gram, teraba bagian lunak dan tidak
simetris, kesan bokong janin
II : Teraba punggung di sebelah kiri (puki), dan bagian-bagian
kecil sebelah kanan
III : Teraba 1 bagian keras bulat, kesan kepala janin
IV : Kepala janin belum masuk panggul
- Auskultasi : Detak jantung janin (DJJ) 146 kali/menit,
ireguler

b. Genital:
Inspeksi : Vulva dan uretra tenang, rembesan air ketuban (-)
Inspekulo : flek (+)
VT : tidak dilakukan

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 12.2 g/dL 11.0 – 15.0
Hematokrit 36.4 % 37 – 48
Leukosit 8.56 103/mL 4.0 - 10.0
Trombosit 304 103/mL 150 – 350
Eritrosit 4.29 106/mL 3.50 – 5.00
NLR 3.21 < 3.13
MCV 84.8 fL 80.0-94.0
MCH 28.4 pg 26.0 – 32.0
MCHC 33.5 g/L 32.0 – 36.0
HITUNG JENIS
Eosinofil 1 1-3
Basofil 0 0-2
Neutrofil segmen 69 50-70

8
Limfosit 22 18-42
Monosit 8 2-11
GDS 84 mg/dL 76-180
SGOT 37 /uL 5-40
SGPT 41 /uL 7-56
Cr 0.64 mg/dL 0.6-1.2
Na 138 mEq/L 135-144
K 3.6 mmol/L 3.5-5.1
Cl 109 mEq/L 98-110
INDEX ERITROSIT
MCV 89.2 fl 82.0 – 95.0
MCH 28.8 pg 27.0 – 31.0
MCHC 32.4 g/dl 32.0 – 36.0
RDW 14.0 % 11.5 – 14.5
MPV 9.1 fl 7.0 – 11.0
PDW 15.8 % 15.0 – 17.0
URINALISA
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Berat Jenis 1.015 1.016 – 1.022
pH 7.0 4.8 – 7.4
Lekosit Negatif /uL Negatif

Nitrit Negatif mg/dL Negatif


Protein Negatif mg/dL Negatif
Glukosa Normal mg/dL Normal
Keton Negatif mg/dL Negatif
Urobilinogen Normal mg/dL Normal
Bilirubin Negatif mg/dL Negatif
Darah Negatif /uL Negatif
Lekosit 0-1 /lpb 1-5
Eritrosit 0-1 /lpb 0-1
Silinder Negatif
Sel Epitel 19-21 /lpk 0-2
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif

9
D. DIAGNOSIS KERJA
G3P1A1 hamil 22-23 minggu dengan Asma Persisten tidak terkontrol

E. TATALAKSANA
Observasi tanda vital, His, DJJ
IVFD RL 500cc/24jam
Nebul Combivent 3x1
Nebul Pulmicort 2x1
Injeksi methylprednisolone 2x 62.5mg (IV)
Inj Broadced 1x 2 g
Prarza 1x1

F. FOLLOW UP

Tanggal Keterangan
11/4/ S: Sesak berkurang, mual (-) muntah (-), demam (-)
2022 O:
 Keadaan Umum : CM, tampak sakit sedang
 Vital Sign:
TD : 122/79 mmHg
N : 91 x/m
RR : 24 x/m
T : 36,5˚C
Thorax : Vesikuler, Rh (-/-) wh (-/-)

A: G3P1A1 UK 22-23 minggu + Asma Persisten tidak terkontrol


P:
IVFD RL 500cc/24jam
Nebul Combivent 3x1

10
Nebul Pulmicort 2x1
Injeksi methylprednisolone 2x 62.5mg (IV)
Inj Broadced 1x 2 g
Prarza 1x1

12/4/ S: Sesak (-), mual (-) muntah (-), demam (-)


2022 O:
 Keadaan Umum : CM, tampak sakit sedang
 Vital Sign:
TD : 110/60 mmHg
N : 83 x/m
RR : 21 x/m
T : 36,5˚C
Thorax : Vesikuler, Rh (-/-) wh (-/-)

A: G3P1A1 UK 22-23 minggu + Asma Persisten tidak terkontrol


P: KRS

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Asma adalah suatu kelainan berupa berulang berupa mengi, batuk,
sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam hari atau dini
hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa
pengobatan.

B. EPIDEMIOLOGI
Asma masih merupakan masalah di dunia dengan angka kejadian
sebanyak 3.000.000 penduduk (prevalensi asma di dunia berkisar
diantara 1%-18%) dan angka kematian sebanyak 250.000 penduduk
setiap tahunnya.2
Di Indonesia prevalensi asma berkisar diantara 5%-6% dari
populasi  penduduk di Indonesia, dengan prevalensi asma pada
kehamilan berkisar diantara 3,7%-4%. Hal ini mengarah kepada tingkat
kejadian asma yang banyak dijumpai  pada kehamilan.

C. ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya, asma bronchial dapat diklasifikasikan
menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-
faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga,
bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin) dan
spora jamur.
2. Instrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi
terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui

12
seperti udara dengan atau bisa juga disebabkan oleh adanya
infeksi saluran pernafasan dan emosi.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik
dari bentuk alergik dan non-alergik. Ada beberapa hal yang
merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
asma bronchiale :
a. Faktor predisposisi
1) Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas.
b. Faktor presipitasi
1) Alergen, alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan.
Misal debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan
polusi.
b. Ingestan, yang masuk melalui mulut.
Misal: makanan dan obat-obatan.
c. Ingestan, yang masuk melalui mulut:
misal: makanan dan obat-obatan. Kontak yang masuk melalui
kontak dengan kulit. Misal: perhisan, logam dan jam tangan.
2) Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingan merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma.
3) Stress
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
4) Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana ia bekerja (Rengganis, 2011)

13
D. PATOFISIOLOGI
a. Sistem Pernapasan Selama Kehamilan
Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang
disebabkan oleh perubahan hormonal dan faktor mekanik. Perubahan-
perubahan ini diperlukan untuk mencukupi peningkatan kebutuhan metabolik
dan sirkulasi untuk pertumbuhan janin, plasenta dan uterus. Selama
kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan kapasitas sebelum
hamil yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi peningkatan volume tidal dari 450 cc
menjadi 600 cc, yang menyebabkan terjadinya peningkatan ventilasi permenit
selama kehamilan antara 19-50 %. Peningkatan volume tidal ini diduga
disebabkan oleh efek progesteron terhada presistensi saluran nafas dan
dengan meningkatkan sensitifitas pusat pernapasan terhadap karbondioksida.3
Dari faktor mekanis, terjadinya peningkatan diafragma terutama setelah
pertengahan kedua kehamilan akibat membesarnya janin, menyebabkan
turunnya kapasitas residu fungsional, yang merupakan volume udara yang
tidak digunakan dalam paru, sebesar 20%. Selama kehamilan normal terjadi
penurunan resistensi saluran napas sebesar 50%. Perubahan-perubahan ini
menyebabkan terjadinya perubahan pada kimia dan gas darah. Karena
meningkatnya ventilasi maka terjadi penurunan pCO2 menjadi 30 mm Hg,
sedangkan pO2 tetap berkisar dari 90-106 mmHg, sebagai penurunan pCO2
akan terjadi mekanisme sekunder ginjal untuk mengurangi plasma bikarbonat
menjadi 18-22 mEq/L, sehingga pH darah tidak mengalami perubahan.
Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan seperti terbukti
oleh peningkatan konsumsi oksigen. Selama melahirkan, konsumsi O2 dapat
meningkat 20-25 %. Bila fungsi paru terganggu karena penyakit paru,
kemampuan untuk meningkatkan konsumsi oksigen terbatas dan mungkin
tidak cukup untuk mendukung partus normal, sebagai konsekuensi fetal
distress dapat terjadi.Pengaruh hormonal pada kehamilan, salah satunya
progesteron tampaknya memberikan pengaruh awal dengan meningkatkan
sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan terjadinya hiperventilasi

14
ringan, yang bisa disebut sebagai dyspnea selama kehamilan. Lebih lanjut
dapat dilihat adanya efek relaksasi otot polos. Selama kehamilan kadar
estrogen meningkat, dan terdapat data-data yang menunjukkan bahwa
peningkatan ini menyebabkan menurunnya kapasitas difusipada jalinan
kapiler karena meningkatnya jumlah sekresi asam mukopolisakarida
perikapiler. Estrogen memberikan pengaruh terhadap asma selama
kehamilan.dengan menurunkan klirens metabolik glukokortikoid sehingga
terjadi peningkatan kadar kortisol.
Kadar kortisol bebas plasma meningkat selama kehamilan, hal ini
seharusnya memberikan perbaikan terhadap keadaan penderita asma, akan
tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Tampaknya beberapa wanita
hamil refrakter terhadap kortisol meskipun terjadi peningkatan kadar dalam
serum 2-3 kali lipat.Hal ini mungkin disebabkan terjadinya kompetisi pada
reseptor glukoortikoid oleh progesteron, deoksikortikosteron dan aldosteron
yang semuanya meningkatselama kehamilan.3Semua tipe prostaglandin
meningkat dalam serum maternal selamakehamilan, terutama menjelang
persalinan aterm. Meskipun dijumpai adanyapeningkatan kadar matabolit
prostalandin PGF 2x yang merupakan suatubronkokonstriktor kuat, dalam
serum sebesar 10%-30%, hal ini tidak selalumemberikan pengaruh buruk
pada penderita asma selama persalinan.
b. Patofisiologi terjadinya Asma
Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan dengan
komponen genetik yang utama. Peningkatan respon dari saluran pernapasan
dan inflamasi subakut yang persisten telah banyak dihubungkan dengan gen-
gen pada 3 kromosom 5, 11, dan 12 yang meliputi kumpulan gen sitokin, gen
reseptor β-adrenegik dan glukokortikoid, seta gen reseptor antigen sel T.
Selain itu, juga dijumpai adanya stimulan alergen lingkungan seperti virus
influenza dan asap rokok pada penderita-penderita yang rentan.
Tanda khas dari asma berupa obstruksi saluran pernapasan yang reversibel
akibat konstriksi otot polos bronkus, kongesti vaskuler, produksi mukus yang
kental, dan edema mukosa saluran pernapasan.Selain itu, juga dijumpai

15
adanya inflamasi saluran pernapasan dan meningkatnya respon terhadap
berbagai stimuli seperti iritan-iritan, infeksi virus, aspirin, udara dingin, dan
latihan fisik. Proses inflamasi disebaban oleh respon sel mast, eosinofil,
limfosit, dan epitelium  bronkus yang mengakibatkan disekresikannya
mediator-mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien, prostaglandin,
sitokin, dan lain sebagainya. IgE juga memegang peranan penting dalam
patofisiologi dari asma.

Gambar. 3.2. Mekanisme terjaadinya ASMA

E. MANIFESTASI KLINIS
Asma bermanifestasi sebagai spektrum gejala klinis yang luas, dari mengi
yang ringan hingga bronkokonstriksi yang berat. Efek fungsional dari

16
bronkospasme akut adalah obstruksi saluran pernapasan dan penurunnya laju
udara di paru. Upaya bernafas meningkat secara progresif dan menimbulkan
gejala subjektif berupa sesak napas dan gejala objektif berupa mengi. Hal ini
diikuti dengan perubahan oksigenasi yang mengakibatkan ventilation-
perfusion mismatch karena distribusi penyempitan saluran pernapasan yang
tidak seimbang.Variasi dari manifestasi klinis asma telah diklasifikasikan
secara sederhana, dengan tetap meliputi tingkat keparahan, serta onset dan
durasi dari gejala klinis yang timbul.
Tanda / Gejala Asma :
1. Kesulitan bernafas
2. Kenaikan denyut nadi
3. Nafas berbunyi (wheezing)
4. Batuk
5. Kejang di sekitar otot dada
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase
inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti
bunyi Wheezing, batuk yang disertai serangan napas sesak. Pada beberapa
penderita asma, keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak
napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat
atau tiba-tiba menjadi lebih berat(Rengganis, 2011)

17
Tabel 3.3 Derajat Gejala Asma
Gejala klinik bervariasi mulai dari wheezing ringan sampai
bronkokonstriksi berat. Pada keadaan ringan, hipoksia dapat dikompensasi
hiperventilasi. Namun, bila bertambah berat akan terjadi kelelahan yang
menyebabkan retensi O2 akibat hiperventilasi. Bila terjadi gagal napas,
ditandai asidosis, hiperkapnea, adanya pernapasan dalam, takikardi,
pulsus paradoksus, ekspirasi memanjang, penggunaan otot asesoris
pernapasan, sianosis sentral, sampai gangguan kesadaran. Keadaan ini
bersifat reversible dan dapat ditoleransi. Namun, pada kehamilan sangat
berbahaya akibat adanya penurunan kapasitas residu.4 Manifestasi klinis
asma ditandai dengan dyspnea, kesesakan dada, wheezing, dan batuk
malam hari, di mana hanya menjadi tanda dalam beberapa kasus. Selain
itu terdapat gejala seperti gangguan tidur dan nyeri dada. Batuk yang
memicu spasme atau kesesakan dalam saluran pernapasan, atau berlanjut
terus, dapat berbahaya. Beberapa serangan dimulai dengan batuk yang
menjadi progresif lebih “sesak”, dan kemudian bunyi wheezing terjadi.
Ada pula yang berbeda, beberapa penderita asma hanya dimulai wheezing
tanpa batuk. Beberapa yang lain tidak pernah wheezing tetapi hanya batuk
selama serangan asma terjadi.

18
Selama serangan asma, mucus cenderung menjadi kering dan
sukar, sebagian karena cepat, beratnya pernapasan umumnya terjadi saat
serangan asma. Mucus juga menjadi lebih kental karena sel-sel mati
terkelupas.Kontraksi otot bronkus menyebabkan saluran udara menyempit
atau konstriksi. Hal ini disebut brokokonstriksi yang memperbesar
obstruksi yaitu asma.4
Derajat asma :

1. Tingkat pertama : secara klinis normal, tetapi asma timbul jika ada faktor
pencetus.
2. Tingkat kedua : penderita asma tidak mengeluh dan pada pemeriksaan fisik
tanpa kelainan tetapi fungsi parunya menunjukkan obstruksi jalan nafas.
Disini banyak ditemukan pada penderita yang baru sembuh dari serangan
asma
3. Tingkat ketiga : penderita tidak ada keluhan tetapi pada pemeriksaan fisik
maupun maupun fungsi paru menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
4. Tingkat keempat : penderita mengeluh sesak nafas, batuk dan nafas
berbunyi.Pada pemeriksaan fisik maupun spirometri akan dijumpai tanda-
tanda obstruksi jalan napas.
5. Tingkat kelima : adalah status asmatikus, yaitu suatu keadaan darurat medik
berupa serangan akut asma yang berat, bersifat refrakter terhadap pengobatan
yang biasa dipakai.

Diagnosis pasien menurut derajat Asma:


1. Asma akut intermiten :
Di luar serangan, tidak ada gejala sama sekali. Pemeriksaan fungsi paru tanpa
provokasi tetap normal. Penderita ini sangat jarang jatuh ke dalam status
asmatikus dan dalam pengobatannya sangat jarang memerlukan
kortikosteroid.
2. Asma akut dan status asmatikus:

19
Serangan asma dapat demikian beratnya sehingga penderita segera mencari
pertolongan. Bila serangan asma akut tidak dapat diatasi dengan obat-obat
adrenergik beta dan teofilin disebut status asmatikus.
3. Asma kronik persisten (asma kronik):
Pada asma kronik selalu ditemukan gejala-gejala obstruksi jalan napas,
sehingga diperlukan pengobatan yang terus menerus. Hal tersebut disebabkan
oleh karena saluran nafas penderita terlalu sensitif selain adanya faktor
pencetus yang terus-menerus.

Modifikasi asma berdasarkan National Asthma Education Program (NAEPP)


yaitu:

1. Asma Ringan
Singkat (< 1 jam ) eksaserbasi symptomatic < dua kali/minggu.  Puncak
aliran udara ekspirasi > 80% diduga akan tanpa gejala.
2. Asma Sedang
Kekambuhan mempengaruhi aktivitasnya  Kekambuhan mungkin
berlangsung berhari-hari.
Kemampuan puncak ekspirasi /detik dan kemampuan volume ekspirasi
berkisar antara 60-80%.
3. Asma Berat
Gejala terus menerus menganggu aktivitas sehari-hari. Puncak aliran ekspirasi
dan kemampuan volume ekspirasi kurang dari 60% dengan variasi luas .
Diperlukan kortikosteroid oral untuk menghilangkan gejala.

A. Efek kehamilan terhadap asma


Tidak ada bukti bahwa kehamilan memiliki efek yang dapat diprediksi
terhadap asma yang telah ada sebelumnya. Gluck dan Gluck (2006)
melaporkan  bahwa sekitar sepertiga kasus mengalami perberatan
penyakit, sepertiga kasus lainnya mengalami menifestasi klinis yang lebih
ringan dibandingkan sebelum kehamilan, dan sepertiga terakhir tidak

20
mengalami perubahan manifestasi klinis asma sebelum dan sesudah
kehamilan. Namun, Hendler et al  (2006) melaporkan  bahwa wanita
dengan tingkat keparahan asma yang lebih berat memiliki kemungkinan
eksaserbasi asma yang lebih besar dalam kehamilan.Secara umum, Schatz
et al (2003) melaporkan bahwa sekitar 20% wanita dengan tingkat
keparahan asma ringan dan sedang akan mengalami eksaserbasi asma
intrapartum.
B. Efek asma pada kehamilan
Asma, terutama apabila dengan tingkat keparahan yang berat, dapat
mempengaruhi hasil kehamilan secara bermakna. Dalam sebagian besar
penelitian, dijumpai peningkatan insidensi preeklampsia, persalinan
preterm, bayi  berat lahir rendah, dan mortalitas perinatal. Walaupun
belum terbukti, secara logika asma yang terkontrol baik akan memberi
hasi yang lebih baik. Kematian ibu dapat terjadi akibat status asmatikus.
Penyulit yang mengancam nyawa adalah  penumotoraks,
pneumomediastinum, kor pulmonale akut, aritmia jantung, kelelahan otot
serta henti napas.
C. Efek asma terhadap janin
Penelitian pada baik manusia maupun hewan menunjukkan bahwa
alkalosis pada ibu dapat menyebabkan hipoksemia janin jauh sebelum
oksigenasi maternal terganggu. Gangguan pada janin diperkirakan
merupakan akibat dari  beberapa faktor, yaitu berkurangnya aliran darah
fetus, berkurangnya aliran darah  balik vena ibu, dan pergeseran kurva
disosiasi oksihemoglobin ke kiri akibat keadaan basa. Apabila ibu tidak
lagi mampu mempertahankan tekanan oksigen normal dan terjadi
hipoksemia, janin akan berespon dengan mengurangi aliran darah
umbilikus, meningkatkan resistensi vasukler sistemik dan paru, dan
akhirnya mengurangi curah jantung. Kesadaran bahwa janin dapat
mengalami gangguan berat sebelum penyakit ibu menjadi parah
menunjukkan pentingnya  pemantauan dan tatalaksana agresif pada semua

21
wanita hamil dengan asma akut. Pemantauan respon janin pada dasarnya
menjadi indikator gangguan pada ibu

F. DIAGNOSIS
Diagnosis asma tidak sulit, terutama bila dijumpai gejala yang klasik
seperti sesak nafas, batuk dan bunyi wheezing. Adanya riwayat asma
sebelumnya, riwayat penyakit alergik seperti rhinitis alergik, dan keluarga
yang menderita penyakit alergik, dapat memperkuat dugaan penyakit
asma. Selain hal-hal di atas, pada anamnesa perlu ditanyakan mengenai
faktor pencetus serangan (Rengganis, 2011)
Asma dapat timbul pertama kali selama kehamilan sehingga
penegakan diagnosisnya mungkin dikacaukan dengan dispneu fisiologis
kehamilan. Diagnosis asma berdasarkan pada riwayat kesehatan yang
cocok, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium. Diagnosis asma terpusat
pada adanya obstruksi jalan nafas episodik dan reversibilitas obstruksi
tersebut. Reversibilitas dinyatakan dari peningkatan 15% FEV1 atau lebih
setelah 2 kali menghirup preparat agonis B-adrenergik. Penderita asma
biasanya memiliki riwayat episode batuk, dada terasa tertekan, wheezing,
dan dispneu. Asma mungkin timbul dengan gejala-gejala yang tidak khas
seperti batuk terisolasi, nyeri dada, bronkitis berulang, atau dispneu yang
timbul karena aktivitas. Tes fungsi paru dapat ditemukan adanya obstruksi
aliran udara yang reversibel pada spirometri. Kegagalan respon langsung
terhadap bronkodilator inhalasi tidak menyingkirkan diagnosis. Spirometri
ulang setelah beberapa minggu perawatan dapat menunjukkan kemajuan.
Pengukuran udara ekspiratoar puncak mungkin menunjukkan peningkatan
variabilitas atau penurunan aliran puncak seiring timbulnya gejala-gejala.
Metacholine challenge test dapat menunjukkan adanya hiperreaktivitas
jalan nafas namun tes ini jarang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
asma. Tes ini tidak menimbulkan efek samping berlebihan pada wanita
hamil jika dilakukan dengan pemantauan yang baik (10) . Setelah
diagnosis dipastikan, perjalanan penyakit dan efektifitas dari terapi dapat

22
diikuti dengan pengukuran Peak Expiratori Flow Rate (PEFR) atau FEV1.
Untuk mengetahui jenis elergi yang dimiliki dapat dilakukan test dengan
bermacm-macam allergen. (10) Secara labolatoris dapat ditemukan sel-sel
eosinofil dari darah dan sputum dan juga dapat diukur serum IgE, walupun
penemuan tersebut tidak hanya terjadi pada asma.

G. PENATALAKSANAAN
a. Penanganan asma akut
Penanganan asma akut pada kehamilan memegang prinsip yang sama dengan
asma biasa dengan tambahan ambang batas rawat inap yang lebih rendah.
Secara umum, dilakukan penanganan aktif dengan hidrasi intravena,
pemasangan sungkup oksigen dengan target PO2 > 60 mmHg dan
pemasangan pulse oximetry dengan target saturasi O2 > 95%. Kemudian
dilakukan pemeriksaan analisa gas darah (AGDA), pengukuran FEV1 serta
PEFR, dan dilakukan pemantauan janin.
Obat lini pertama adalah agonis β -adrenegik (subkutan, peroral, inhalasi)
dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan maintenance dose
0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dengan kadar plasma
sebesar 10-20 ng/ml. Obat ini akan berikatan dengan reseptor spesifik di
permukaan sel dan mengaktifkan adenilil siklase untuk meningkatkan cAMP
intrasel dan merelaksasi otot polos bronkus. Selain itu, diberikan
kortikosteroid metilprednisolon 40-60 mg intravena setiap 6 jam. Terapi
selanjutnya bergantung kepada pemantauan respon hasil terapi sebelumnya.
Bila FEV1 dan PEFR > 70% baseline maka pasien dapat dipulangkan dan
berobat jalan. Namun, bila FEV1 dan PEFR < 70% baseline setelah 3 kali
pemberian agonis β-adrenegik, maka diperlukan masa observasi di rumah
sakit hingga keadaan pasien stabil.
Asma berat yang tidak berespon terhadap terapi dalam 30-60 menit
dimasukkan dalam kategori status asmatikus. Penanganan aktif di intensive
care unit (ICU) dan intubasi dini, serta penggunaan ventilasi mekanik pada

23
keadaan kelelahan otot, retensi CO2, dan hipoksemia akan memperbaiki
morbiditas.

b. Penanganan asma kronik


Menurut National Asthma Education and Prevention Progra Expert  Panel 
1997, penanganan yang efektif terhadap asma kronis pada kehamilan harus
mencakup hal-hal berikut:
1. Penilaian objektif fungsi paru dan kesejahteraan janin
2. Menghindari/ menghilangkan faktor presipitasi dari lingkungan
3. Terapi farmalokogik dan edukasi pasien
4. Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380-550 L/menit.
Setiap pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga terapi dapat
disesuaikan

Tabel 3.4 Tatalaksana Asma

Pendekatan farmakologis pada penderita asma disesuaikan dengan


tingkat keparahan penyakit sesuai tabel diatas. Pada penderita asma
intermitten ringan, agonis β-adrenegik inhalasi hanya diberikan apabila
keluhan timbul sedangkan  pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah
diberikan sebagai tambahan agonis β-adrenegik inhalasi sebagai
pengendali penyakit pada penderita asma persisten ringan. Pada penderita
asma persisten sedang kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis ringan

24
hingga sedang ditambahkan dengan agonis β-adrenegik inhalasi kerja
panjang diberikan untuk mengontrol keluhan pasien. Kortikosteroid
inhalasi dosis tinggi yang dikombinasikan dengan agonis β-adrenegik
inhalasi kerja panjang diberikan sebagai pengendali penyakit pada
penderita asma persisten berat. Steroid oral juga dapat diberikan pada
penderita asma persisten berat bila  pemberian terapi inhalasi tidak dapat
meredam gejala yang timbul
Penatalaksanaan Asma Kronis Menurut National Ashtma
Education and Prevention Expert Panel, penatalaksaanasma kronis pada
kehamilan harus mencakup hal-hal beriku Terapi farmakologik-Edukasi
pasienPenilaian obyektif fungsi paru dan kesejahteraan janin. Pasien harus
mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380 – 550liter/menit. Tiap
pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga terapi dapat
disesuaikan. Menghindari faktor pencetus asma. Mengenali serta
menghindari faktor pencetus asma dapat meningkatkan kesejahteraan ibu
dengan kebutuhan medikasi yang minimal.14
Asma dapat dicetuskan oleh berbagai faktor termasuk alergi,
infeksi saluran napas atas, sinusitis, exercise, aspirin, obat-obatan anti
inflamasi non steroid (NSAID), daniritan, misalnya: asap rokok, asap
kimiawi, kelembaban, emosi.5
Di samping itu,pencetus terkemuka serangan asma termasuk
serbuk/tepung, tungau, jamur,hewan, makanan, dan hormone.
Gastroesophageal reflux (GER) dikenal sebagai pencetus asma dan
terjadipada hampir 1/3 wanita hamil. Asma yang dicetuskan oleh GER
dapat disebabkanoleh aspirasi isi lambung kedalam paru sehingga
menyebabkan bronkospasme,maupun aktivasi arkus refleks vagal dari
esofagus ke paru sehingga menyebabkan bronkokonstriksi.16 Wanita hamil
perokok harus berhenti merokok, dan menghindari paparan asap tembakau
serta iritan lain di sekitarnya. Wanita hamil yang merokok berhubungan
dengan peningkatan risiko wheezing dan kejadian asma pada anaknya.3,517

25
Edukasi mengontrol asma selama kehamilan penting bagi
kesejahteraan janin. Ibu hamil harus mampu mengenali dan mengobati
tanda-tanda asma yang memburuk agar mencegah. hipoksia ibu dan janin.
Ibu hamil harus mengerti cara mengurangi paparan agar dapat
mengendalikan faktor-faktor pencetus asma.5
Terapi farmakologi selama kehamilan Kelompok kerja NAEPP
merekomendasikan prinsip serta pendekatan terapi farmakologi dalam
penatalaksanaan asma pada kehamilan dan laktasi.Prednison, teofilin,
antihistamin, kortikosteroid inhalasi, β2 agonis dan kromolin bukan
merupakan kontra indikasi pada penderita asma yang menyusui.
Rekomendasi penatalaksanaan asma selama laktasi sama dengan
penatalaksanaan asma selama kehamilan.
Terapi asma modern dengan teofilin, kortikosreoid dan beta agonis
menurunkan risiko komplikasi kehamilan menjadi rendah baik padaibu
maupun janin. Farmakoterapi tdak boleh bersifat teratogenik pada janin
atauberbahaya pada ibu. Penggunaan beta agonis, seperti metaproterenol,
danalbuterol, dapat digunakan dalam pengobatan darurat pada asma berat
dalamkehamilan, tetapi penggunaan jangka panjang seharusnya dihindari
padakehamilan muda, terutama sekali sejak efek pada janin tidak
diketahui.5 Kromolin disodium atau ipratropium inhalasi menghambat
degranulasi selmast. Sehingga hanya efektif pada pencegahan pada asma
kronis. Teofilin(metilsantin) merupakan bronkodilator antiinflamasi.
20 / 31
Dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi lainnya, budesonid
lebih banyak digunakan pada wanita hamil. Belum terdapat data yang
menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid inhalasi selain budesonid
tidak aman selama kehamilan. Oleh karenanya, kortikosteroid inhalasi
selain budesonid juga dapat diteruskan pada pasien yang sudah terkontrol
dengan baik sebelum kehamilan, terutama bila terdapat dugaan perubahan
formulasi dapat membahayakan asma yang terkontrol.5

26
Kortikosteroid oral selama kehamilan meningkatkan risiko
preeklampsia,kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah.
Bagaimanapun juga, mengingat pengaruh serangan asma berat bagi ibu
dan janin, penggunaan kortikosteroid oraltetap diindikasikan secara klinis
selama kehamilan. Selama kehamilan,penggunaan prednison untuk
mengontrol gejala asma penting diberikan bila terdapat kemungkinan
terjadinya hipoksemia ibu dan oksigenasi janin yang tidak adekuat.3
Prednisolon dimetabolisme sangat rendah oleh plasenta (10%).
Beberapastudi menyebutkan tidak ada peningkatan risiko aborsi, bayi lahir
mati, kelainankongenital, reaksi penolakan janin ataupun kematian
neonatus yang disebabkanpengobatan ibu dengan steroid.5Kromolin
sodium memiliki toleransi dan profil keamanan yang baik, tetapikurang
efektif dalam mengurangi manifestasi asma baik secara objektif
maupunsubjektif bila dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi.
Kromolin sodiummemiliki kemampuan anti inflamasi, mekanismenya
berhubungan dengan blockade.

H. PROGNOSIS
Perubahan fisiologis selama kehamilan mengubah prognosis asma. Hal ini
berhubungan dengan perubahan hormonal selama kehamilan. Bronkodilatasi yang
dimediasi oleh progesteron serta peningkatan kadar kortisol serum bebas
merupakan salah satu perubahan fisiologis kehamilan yang dapat memperbaiki
gejala asma, sedangkan prostaglandin F2 dapat memperburuk gejala asma karena
efek bronkokonstriksi yang ditimbulkannya. Perubahan asma pada kehamilan
dapat terjadi dalam tiga bentuk, yaitu tetap saja, membaik, atau dapat bertambah
buruk.6 Pasien yang ringan (< 2 serangan per minggu)mempunyai prognosis baik.
Namun, bila berat maka risiko meningkat. 10 Pada kasus ini tergolong ringan jadi
memiliki prognosis yang baik

27
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien Ny. HR usia 30 tahun datang ke IGD RS Siloam Palembang


pada tanggal 4 April 2022 dengan keluhan utama sesak sejak 5 jam yang
lalu. Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang maka didapatkan diagnosis G3P1A1 hamil 22-23 minggu dengan
ASMA.

28
Diagnosis ASMA didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan laboratorium. Pada kasus, berdasarkan anamnesis pasien
mengatakan lupa HPHT 23 Oktober 2021 dan berdasarkan kontrol
kehamilannya di dokter spesialis kandungan didapatkan HPL pasien
adalah 30 Juli 2022. Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 5 jam
sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan semakin memberat. Keluhan
ini tidak disertai dengan rasa kenceng-kenceng, keluar lendir (-) keluar
sedikit darah (flek) dan demam disangkal. Berdasarkan teori, usia
kandungan pasien belum cukup bulan (preterm) yaitu 22-23 minggu dan
keluhan yang dirasakan oleh pasien mengarah kepada diagnosis Asma
Persisten Tidak Terkontrol. Mekanisme yang mungkin berkontribusi
terhadap perubahan pada
asma selama kehamilan memang masih belum dipahami dengan baik,
peningkatan
pada kadar hormon ibu, perubahan respon β2-adrenoreseptor dan paparan
terhadap
antigen dari jenis kelamin janin mungkin terlibat
Pada kasus, pemeriksaan fisik secara umum didapatkan
peningkatan Respiratory rate 28-30 x /menit, dan ditemukan suara
wheezing pada kedua paru. Pada pasien belum didapatkan adanya tanda-
tanda infeksi. Suhu pasien normal yaitu 36,5o C. Denyut nadinya juga
dalam batas normal, yaitu 88 kali per menit. Tekanan darah pasien juga
dalam batas normal yaitu 130/90mmHg. Pemeriksaan fisik pada kasus
Asma ini penting untuk menentukan derajat diagnosa tingkat keparahan
Asma. Pada kasus ini pasien memiliki riwayat asma di kehamilan
sebelumnya, dan memiliki riwayat alergi terhadap debu, suhu dingin, dan
bulu hewan yang mencetuskan terjadinya asma.
Penentuan derajat diagnosa terkait dengan penatalaksanaan Asma
selanjutnya dimana risiko terhadap ibu dan janin meningkat pada Asma.
Kondisi asma menyebabkan kondisi alkalosis pada ibu yang dapat
menyebabkan hipoksemia janin, yang diperkirakan merupakan akibat dari

29
beberapa faktor, yaitu berkurangnya aliran darah fetus, berkurangnya
aliran darah  balik vena ibu, dan pergeseran kurva disosiasi
oksihemoglobin ke kiri akibat keadaan basa. Apabila ibu tidak lagi mampu
mempertahankan tekanan oksigen normal dan terjadi hipoksemia, janin
akan berespon dengan mengurangi aliran darah umbilikus, meningkatkan
resistensi vasukler sistemik dan paru, dan akhirnya mengurangi curah
jantung. Kesadaran bahwa janin dapat mengalami gangguan berat sebelum
penyakit ibu menjadi parah menunjukkan pentingnya  pemantauan dan
tatalaksana agresif pada semua wanita hamil dengan asma akut.
Pemantauan respon janin pada dasarnya menjadi indikator gangguan pada
ibu
.Dalam sebagian besar  penelitian, dijumpai peningkatan insidensi
preeklampsia, persalinan preterm, bayi  berat lahir rendah, dan mortalitas
perinatal. Tetapi pada kasus ini tidak didapatkan tanda-tanda preeklamsia
pada kehamilan.
Pemeriksaan inspekulo secara steril didapatkan hasil normal.
Pemeriksaan dalam tidak dilakukan dikarenakan belum ada tanda
persalinan dan mencegah terjadinya infeksi. Berdasarkan pemeriksaan
laboratorium tidak didapatkan nilai abnormal.
Pengobatan medikamentosa pada  penderita asma diberikan sesuai
dengan tingkat keparahan asma itu sendiri, yaitu:
- Asma persisten ringan diberikan agonis β u988970- adrenegik
inhalasi bila
diperlukan
- Asma persisten ringan diberikan kortikosteroid inhalasi dosis
rendah
dengan tambahan agonis β -adrenegik inhalasi
- Asma persisten sedang diberikan kombinasi kortikosteroid
inhalasi dosis
ringan hingga sedang dengan agonis β -adrenegik inhalasi kerja
panjang

30
- Asma persisten berat diberikan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi
yang
dikombinasikan dengan agonis β-adrenegik inhalasi kerja panjang.
Steroid oral juga dapat diberikan pada  penderita asma persisten berat  bila
pemberian terapi inhalasi tidak dapat meredam gejala yang timbul.

Pada pasien ini diberikan terapi nebul ventolin/ 8jam (agonis β –adrenegik
inhalasi) untuk mengendalikan asma persisten yang dialami pasien.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma (GINA). The global strategy for asthma
management and prevention [internet]. USA: GINA; 2015 [disitasi tanggal 10
Maret 2015]. Tersedia dari: http://www.ginasthma.org/
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Konsensus pedoman diagnosis &
penatalaksanaan asma di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2003
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan hasil riset
kesehatan dasar nasional. Jakarta: Kemenkes RI; 2007.
4. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, et all. Pulmonary Disorders. Dalam
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom
KD, editor. Williams obstetrics. Edisi ke-22. New York: McGraw-Hill; 2007.
5. Nelson-Piercy C. Asthma in pregnancy. dalam: Knox AJ, editor. Respiratory
diseases in pregnancy-1. Thorax. 2001; 56:325-28.
6. American College of Allergy Asthma and Immunology. When Pregnancy is
Complicated by Allergies and Asthma. Illionis: Pregnancy Committee of the
American College of Allergy Asthma and Immunology; 2002.
7. Gluck JC, Gluck PA. The effect of pregnancy on the course of asthma.
Immunol Allergy Clin North Am. 2006: 26(1):63-80.
8. Murphy VE, Gibson PG, Smith R, Clifton VL. Asthma during pregnancy:
mechanisms and treatment implications. Eur Respir. 2005; 25:731-50.
9. Namazy JA, Schatz M. Pregnancy and asthma: recent developements
[internet]. New York: WebMD LLC.; 2005 [disitasi tanggal 15 Maret 2015].
Tersedia dari http://www.medscape.com/viewarticle/ 496583
10. Cunningham FG. Asma dalam kehamilan. Dalam: Cunningham FG, Leveno
KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom KD, editor. Obstetri
wiilliams volume II. Edisi ke-21. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG;
2005
11. American College of Obstetricians and Gynecologists. Asthma in pregnancy.
Washington DC: ACOG; 2008.

32
12. Creasy RK, Resnik R, Iams JD. Maternal-fetal medicine. Edisi ke-5. St. Louis:
Saunders; 2004. Edisi ke-5. St. Louis: Saunders; 2004.

33

Anda mungkin juga menyukai