Anda di halaman 1dari 42

PRESENTASI KASUS

STROKE ISKEMIK +
SOP CEREBRI

Dokter Penanggung Jawab Pasien


dr. Dewi, Sp. S

Dokter Pendamping
dr. Heru Agusman

Disusun oleh
dr. Andisa P.

INTERNSIP PERIODE 2022/2023


RSU ADHYAKSA
DKI JAKARTA
BAB I
ILUSTRASI KASUS

Data diperoleh dari autoanamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 7 Februari
2022. Data tambahan pemeriksaan penunjang diperoleh dari pasien dan rekam medis pasien.

1.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. W
Usia : 41 tahun
Tanggal lahir : 29 Maret 1980
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Status perkawinan : Menikah
Alamat : Jakarta Timur
Nomor rekam medis : 10-65-49
Tanggal Masuk : 07/02/2022

1.2. Anamnesis
Keluhan Utama
Kelemahan tubuh sisi kanan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki, usia 41 tahun, datang ke IGD RSU Adhyaksa dengan keluhan utama
kelemahan sisi kanan tubuh secara tiba-tiba sejak 4 jam SMRS. Pada awalnya, pasien
merasakan pusing dan adanya nyeri kepala di bagian belakang. Pasien kemudian mengalami
pelo dan cadel saat berbicara, dan diikuti kelemahan tubuh bagian tangan dan kaki di sisi
kanan secara mendadak, disertai dengan rasa baal. Pasien sebelumnya sudah berobat di
klinik dan mengalami enaikan tensi 180/120, lalu pasien megonsumsi obat captopril 25 mg
dan amlodipin 5 mg, namun kondisi pasien tak kunjung membaik. Keluhan demam, kejang,
pandangan kabur, gangguan BAB dan BAK disangkal.

Setelah 10 menit sampai di IGD pasien mendengkur dan mengalami penurunan


kesadaran. Pasien diketahui memiliki hipertensi lebir dari 10 tahun yang lalu, dan memiliki
riwayat merokok. Pasien mengaku tidak mengonsumsi obat karena dikontrol dengan
herbal.Pasien sudah vaksinasi Covid-19 dosis kedua
Riwayat Penyakit Dahulu
HIPERTENSI : Ada

DIABETES : Disangkal.

Riwayat operasi atau trauma kepala disangkal.


Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah dan ibu pasien memiliki Riwayat penyakit darah tinggi.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan suami, tinggal bersama istri dan anak. Pasien tidak minum alkohol atau
menggunakan obat Napza. Pembiayaan dengan BPJS. Pasien diketahui merokok sebanyak 1
bungkus per hari sejak usia muda (sekitar awal 20 tahun-an) hingga saat ini.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Parameter Saat dilakukan pemeriksaan di IGD

Kesadaran Apatis, E3M4V3

Tekanan Darah 144/89 mmHg

Nadi 102x/menit, reguler, kuat

Suhu 36.30C

Pernafasan 30x/menit

Saturasi 97% RA
Status Generalis

Kulit : Kulit sawo matang, lembap, tidak ikterik.

Kepala : Normosefal, tidak ada deformitas, benjolan, atau nyeri tekan.

Rambut : Tebal, hitam, tidak ditemukan tanda-tanda alopesia

Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik.

Mulut : Faring tidak hiperemis, arkus faring simetris, tidak ada deviasi lidah

Leher : JVP 5+0 cmH2O, tidak ada perbesaran KGB.

Dada : Simetris, bentuk normal, diameter anteroposterior:lateral 2:1.

Jantung :

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

: Iktus kordis teraba kuat 1 jari medial dari linea midclaviclaris sinistra tanpa
Palpasi
heaving, tapping, thrilling.

Perkusi : Kesan Jantung tidak membesar

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, tidak ada murmur dan gallop

Paru :

Inspeksi : Simetris, tidak ada retraksi sela iga dan otot bantu napas

: Ekspansi dada simetris, tidak teraba massa atau nyeri tekan,


Palpasi
fremitus simetris pada semua lapang paru

Perkusi : Sonor pada semua lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler di kedua lapang paru, terdapat rhonki diseluruh kedua
bagian lobus paru dan tidak disertai wheezing
Abdomen

Inspeksi : Datar, tidak tampak massa, venektasi, maupun kelainan kulit lainnya
Palpasi : Supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan limpa tidak teraba

Perkusi : Timpani, shifting dullness negatif

Auskultasi : Bising usus positif normal

Genitourinaria : Tidak diperiksa

Anus dan rectum : Tidak diperiksa

Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, tidak ada edema piting

Pemeriksaan Neurologis
Kesadaran : Apatis E3M4V3

Tanda Rangsang Meningeal :

Kaku kuduk : negatif

Brudzinski I : negatif

Brudzinski II : negatif

Kernig : > 1350/ > 1350

Laseque : > 700/ > 700

Nervus Kranialis :

N. I : Tidak diperiksa

N. II : Visus bed side >3/60 dan > 3/60, lapang pandang sama dengan
pemeriksa.

N. II dan III : Pupil bulat isokor, posisi di tengah, diameter 3mm/3mm, refleks
cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+),
akomodasi positif, tidak ditemukan ptosis

N. III, N. IV, N. VI : gerak bola mata normal


N. V : Refleks kornea tidak diperiksa, saraf sensoris wajah baik,
kemampuan mastikasi wajah bilateral baik

N. VII : plica nasolabialis kanan dan kiri simetriskerut dahi simetris


kanan dan kiri, kekuatan otot orbicularis oculi kanan dan kiri
sama-sama kuat

N. VIII : Tidak diperiksa

N. IX dan N. X : Uvula di tengah, arcus faring simetris, refleks muntah tidak


diperiksa,

N. XI : kekuatan otot trapezius dan sternocleidomastoideus kanan


lebih lemah dari bagian kiri

N. XII : Sulit dievaluasi

Pemeriksaan Motorik

Trofi otot : Eutrofi, tidak tampak tanda atrofi pada seluruh


ekstremitas Tonus : Normotonus, tidak ada rigiditas
Pronator’s drift : Positif pada lengan
kanan Kekuatan mororik : 3333 5555
3333 5555

Refleks fisiologis

Triceps : +2 | +2 Patellar : +2 | +2

Biceps : +2 | +2 Achilles : +2 | +2

Refleks Patologis

Babinsky : - | - Schaeffer : - | -

Chaddock : - | - Gordon : - | -

Oppenheimer : - | - Klonus : - | -
Pemeriksaan Sensorik

Raba halus : kesan simetris

Nyeri : kesan simetris

Suhu : tidak diperiksa

Proprioseptif : kesan simetris

Koordinasi

Heel to knee test : normal kanan dan kiri

Past pointing test : normal kanan dan kiri

Finger to nose test : normal kanan dan kiri

Rebound phenomenon : Normal kanan dan kiri

Disdiadokokinesis : Normal kanan dan kiri

Pemeriksaan Otonom : Kesan baik, tidak ada inkontinensia urine / alvi

1.3. Pemeriksaan Penunjang


1.3.1. Laboratorium
Parameter Nilai Satuan Nilai Rujukan
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 14.0 g/dL 13.2 – 17.3
Hematokrit 41 % 40 – 52
Eritrosit 4.2 Jt/µL 4.4 5.9
Leukosit 24.260 /µL 3.800 - 10600
Trombosit 88.000 /µL 150.000 – 440.000
MCV 97 80 – 100
MCH 33 Pg 26 – 34
MCHC 34 g/dL 32 – 36
Hitung Jenis
Basofil 1 % 0 -1
Eosinofil 0 % 1–3
Neutrofil Batang 1 % 3–5
Neutrofil Segmen 92 % 50 – 70
Limfosit 3 % 25 – 40
Monosit 3 % 2–8
NLR 31.00
Limfosit Absolut 728 /µL 1500 – 4000
Fungsi Hepar
SGOT 17 U/L 0 – 50
SGPT 22 U/L 0 – 35
Diabetes
GDS 139 mg/dL 70 – 160
Elektrolit
Natrium 141 mMol/L 135 – 155
Kalium 4.2 mMol/L 3.6 – 5.5
Clorida 116 mMol/L 98 – 108
Kimia Klinik (Analisa Gas Darah)
pH 7.45 7.370 – 7.400
pCO2 21.5 33.0 – 44.0
pO2 184.0 71.0 – 104.0
Bicarbonat (HCO3) 15.0 mMol/L 22.0 – 29.0
Kelebihan Basa (BE) -7.0 mMol/L
Total CO2 (TCO2) 15.7 mMol/L 19-24
Beecf -9.3 mMol/L
Saturasi O2 99.70 % 95.00 – 98.00
A-aDO2 221
%FIO2 61 %
Fungsi Ginjal
Ureum 25 mg/dL 13 – 43
Kreatinin 1.05 mg/dL 0.67 – 1.17
eGFR 88 mL/min/1.73m2
BUN 12 mg/dL
Imunologi
Antigen SARS-CoV-2 Negatif

1.3.2. Foto THORAX AP



















Cor tidak membesar (CTR < 55%)
 Sinuses dan diafragma normal
 Pulmo:
• Hilli normal
• Corakan Bronkovaskuler bertambah
• Tidak tampak infiltrat di kedua lapang paru
 Soft tissue dan skeletal dalam batas normal
 Kesan :
• Gambaran Bronkhitis
• Bronkhopneumonia Bilateral
• Tidak tampak kardiomegali
1.3.3. CT Kepala Kontras

 Jaringan lunak
ekstracalvaria
dan calvaria dalam
batas normal

Tampak lesi

isodens inhomogen batas tegas tepi irreguler berukuran lk 1.1 x 1.4 x 0.9 cm di
daerah pons, post kontras scanning tdak tampak enhancemet, disertai bayangan
hipodens sekitarnya

 Tampak lesi hipodens batas tidak tegas di daerah subcortical lobus parietalis
bilateral dan kapsula interna kiri

 Sulci dan Gyri corticalis, fissure Sylvii bilateral dan Fissura interhemisfer
tampak normal.
 Bentuk dan posisi ventrikel lateralis bilateral simetris. Ukuran ventrikel
lateralis kanan dan kiri, ventrikal 3 dan 4 tampak normal
 Ruang subarachnoid tampak normal
 Sisterna ambiens dan basalis tampak normal
 Daerah sela tursika jukstasella sera daerah, “cerebello pontine angle” masih
dalam batas normal
 Tampak kalsifikasi di daerah glandula pinealis dan plexus choroideus bilateral
 Mastoid air cell bilateral yang terscanning tampak normal
 Tampak bayangan hipodens yang mengisi sinus maksilaris kanan
 Sinus paranasal lainnya yang terscanning dalam batas normal
 Bulbus Okuli dan ruang retrobulbar bilateral dalam batas normal
 Tidak tampak pergeseran struktur garis tengah

Kesimpulan:
Tampak lesi isodens inhomogen batas tegas tepi irreguler berukuran lk 1.1
x 1.4 x 0.9 cm di daerah pons, post kontras scanning tdak tampak
enhancemet, disertai edema perifokal ec sugestif massa di daerah pons
infark di daerah subcortical lobus parietalis bilateral dan kapsula interna
kiri serta pons Sinusitis maksilaris kiri
Saran : MRI kepala dengan kontras
1.3.4. EKG
Kesan : Sinus Rhythm, HR 108 X/menit normoaxis, tidak terdapat hipertrofi,
tampak kelainan morfologi gelombang P, QRS, dan T

1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
1.4.
Diagnosis
 Diagnosis Klinis :
o Penurunan Kesadaran, Hemiparesis dextra, hemiparaesthesia dextra, ec. Stroke
Iskemik
o Hipertensi
o Alkalosis Respiratorik terkompensasi sebagian
o Dyspnoe e.c Bronkhopneumonia bilateral
 Diagnosis Topis : subcortical lobus parietalis bilateral dan kapsula interna kiri
serta pons Sinusitis maksilaris kiri

 Diagnosis Etiologi : Edema Perifokal


 Diangosis Patologi : Infark Parenkim Otak
1.5. Tatalaksana yang diberikan pada IGD
 O2 NRM 8 lpm
 Injeksi citicoline 2 x 500 mg
 Injeksi Omeprazole 40 mg
 Konsul dr. Dewi , Sp, S:
o IVFD NaCl 0.9 % 20 tpm
o Inj citicoline 2x 500mg
 Konsul dr. Sp.P :
o Inhalasi ventolin /8 jam
1.6. Follow Up
Perintah Pengobatan / Tindakan yang
Tanggal Perjalanan penyakit
diberikan
1.7. Hari ke-1 S = Penurunan kesadaran. Sesak (+)
08/02/2022 berkurang, cegukan (+), batuk (+) - Bilas lambung NaCl 0.9 : sukralfat
slem (+) putih - kekuningan 100 ml : 15ml/jam
- klem 1 jam alirkan 3 jam
O= Apatis- Somnolen, GCS : 342 - Bisolvon 3x1
KU : lemah - Cefotaxim 3x1g IV
TD:142/82 mmHg, N: 104x/min, - PCT 3x1 g IV (bila suhu > 37.6C)
RR: 32x/min, Temp: 36 C, SpO2: 92% - OMZ 2x 40 mg IV
NGT : Hitam - merah - Furosemid 20mg/jam
DC : urine kunig jernih - Nebul Ventolin = NaCl 3% = 1 =1/8 jam
UOP : 150cc/6 jam - IVFD RL 1000ml : aminofluid 500/24jam
GDS : 129 - Kultur sputum, TCM, Swab PCR
Motorik 2/3 2/3 - CT Scan kontras
A= O2 6 lpm simple mask
- Penurunan kesadaran ec CVD SI
- Dyspnoe ec Alkalosis Respiratorik
Terkompensasi Sebagian
- HT tidak terkontrol
- O2 10 lpm NRM
Hari ke-2 S = Penurunan kesadaran. Sesak - Bilas lambung entranux 6x100ml
09/02/2022 berkurang, nyeri (-), kepala pusing, Stop bilas lambung - sukralfat
batuk (+) - Bisolvon 3x1
O= Apatis- Somnolen - Cefotaxim 3x1g IV
KU : lemah - PCT 3x1 g IV (bila suhu > 37.6C)
TD:151/79 mmHg, N: 117x/min, - OMZ 2x 40 mg IV
RR: 19x/min, Temp: 37.8 C, SpO2: 97% - Furosemid 20mg/jam
NGT : resiud (-) - Nebul Ventolin = NaCl 3% = 1 =1/8 jam
DC : urine kuning jernih - IVFD RL 1000ml : aminofluid 500/24jam
Motorik 2/3 2/3

A=
- Dyspnoe ec Alkalosis Respiratorik
Terkompensasi Sebagian
- HT tidak terkontrol

Hari ke-3 S = nyeri kepala, batuk (+), lemas,


10/02/2022 bicara kurang jelas, pasien menglami
- O2 10 lpm NRM
henti nafas tiap 40 detik. Lalu bernafas
- Bilas lambung entranux 6x150ml
kembali, sesak (+), demam naik turun
Stop bilas lambung - sukralfat
O= GCS 456
- Ambroxol syr 3x30 mg
KU : lemah
- Codein 3x10mg
TD:109/55 mmHg, N: 99x/min,
- Levofloxacin 1x750mg IV
RR: 30x/min, Temp: 36 C, SpO2: 97%
- PCT 3x1 g IV (bila suhu > 37.6C)
NGT : residu (-)
- OMZ 2x 40 mg IV
DC : urine kunig jernih
- Inj Dexamethason 3x10mg (tappering off)
Motorik 5/5 5/n5
- Furosemid 20mg/jam
GDS : 291
- Insulin drip 2U/jam
A=
- Nebul Ventolin = NaCl 3% = 1 =1/8 jam
- Gagal nafas tipe 1 IVFD RL 1000ml : aminofluid 500/24jam
- Dyspnoe ec Alkalosis Respiratorik
Terkompensasi Sebagian
- SOP Cerebri
- Hiperglikemia
- Pneumonia
Prognosis
 Ad vitam : malam
 Ad functionam : malam
 Ad sanationam : dubia ad malam
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1. Definisi Stroke

Stroke atau Cerebrovascular disease menurut World Health Organization (WHO) adalah
“tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global karena
adanya sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak dengan gejala-gejala yang berlangsung
selama 24 jam atau lebih” (Arifianto et al., 2014). Stroke iskemik adalah stroke yang disebabkan
adanya obtruksi dari pembuluh darah oleh plak aterosklerotik, bekuan darah atau kombinasi
keduanya sehingga menghambat aliran darah ke area otak.

2.2. Anatomi
Basal Ganglia terdiri dari striatum (nukleus kaudatus dan putamen), globus palidus
(eksterna dan interna), substansia nigra dan nukleus sub- thalamik. Nukleus pedunkulopontin tidak
termasuk bagian dari basal ganglia, meskipun dia memiliki koneksi yang signifikan dengan basal
ganglia. Korpus striatum terdiri dari nukleus kaudatus, putamen dan globus palidus. Striatum
dibentuk oleh nuldeus kaudatus dan putamen. Nukleus lentiformis dibentuk oleh putamen dan
kedua segmen dari globus palidius. Tetapi letak anatomis perdarahan basal ganglia yang dibahas
disini hanya meliputi nukleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula interna terletak diantara
nuleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula intema adalah tempat relay dari traktus motorik
volunter, sehingga jika ada lesi pada lokasi ini akan menyebabkan gangguan motorik seperti
hemiparesis ataupun gangguan motorik lain (Tortora, 2009).

Vaskularisasi yang mendarahi basal ganglia adalah cabang-cabang arteri yang berasal dari
arteri serebri anterior (ACA), serebri media (MCA), choroidal anterior, posterior communicans (P-
commA), serebri posterior (PCA) dan serebelar superior. Cabang dari MCA, yang disebut
Lenticulostriata lateral, adalah yang terbanyak mendarahi striatum dan lateral dari pallidum.
Perdarahan pada basal ganglia yang tersering adalah dikarenakan ruptur arteri lenticulostriata
media. Arteri Heubner, disebut juga arteri striata media, berasal dari A2, yaitu segmen dari ACA,
memperdarahi putamen dan kepala dari nukleus caudatus. Arteri choroidalis anterior
memperdarahi sebagian dari globus palidus dan putamen, juga ekor dari nukleus caudatus. Arteri
posterior communicans memperdarahi bagian medial dari pallidum, medial substansia nigra dan
sebagian nukleus subthalamikus. Thalamo perforata dari PCA adalah yang terbanyak
memperdarahi substansia nigra dan sebagian dan STN. Cabang dari SCA memperdarahi bagian
lateral dari substatia nigra (Moore, 2005).
2.3 Epidemiologi Stroke

Di Indonesia berdasarkan riset kementerian kesehatan Indonesia tahun 2007 prevalensi


penyakit tidak menular (PTM) khususnya stroke mencapai 8,3% urutan keempat. Penderita stroke
yang meninggal di usia muda mulai memprihatinkan, direntang usia 45-54 tahun kematian karena
stroke mencapai 15,9% di antara penyebabnya lambannya penanganan terhadap penderita
(Arifianto et al., 2014).

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi penyakit stroke di Indonesia


meningkat seiring bertambahnya umur. Kasus stroke tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan
terjadi pada usia >75 tahun (43,1%) dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun (0,2%).
Prevalensi berdasarkan jenis kelamin yaitu lebih banyak pada laki-laki (7,1%) dibandingkan dengan
perempuan (6,8%). Berdasarkan tempat tinggal, prevalensi di perkotaan lebih tinggi (8,2%)
dibandingkan dengan daerah pedesaan (5,7%) (Taufiqurrohman dan Sari, 2016).

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 2065 klien di 28 rumah sakit di Indonesia
selama enam bulan, didapatkan hasil bahwa rata-rata klien yang terserang stroke berumur antara 18
– 95 tahun dengan gejala dan tanda klinis terbesar adalah gangguan motorik (90.5%), kemudian
nyeri kepala (39.8%), disartria (35.2%), gangguan sensorik (22.3 %) dan disfasia (15.6 %).
2.4 Faktor Risiko Terjadinya Stroke Iskemik
Faktor-faktor resiko yang signifikan untuk stroke adalah hipertensi, hiperkolesterolemia,
diabetes melitus, merokok, komsumsi minuman keras, dan penggunaan kontrasepsi oral (Tjikoe et
al., 2014). Menurut Sengsempurno (2012), semua faktor yang menentukan timbulnya manifestasi
stroke dikenal sebagai faktor risiko stroke. Non modifiable risk factors : usia (berdasarkan data
WHO stroke meningkat pada usia ≥ 45 tahun), jenis kelamin, ras, dan genetik atau keturunan.

Modifiable risk factors : hipertensi, penyakit jantung (akut miokard infark, atrial fibrilasi),
hiperkolestrolemia, diabetes mellitus, merokok, obesitas.

Menurut (Junaidi, 2011).Faktor resiko strokeumumnya dibagi 2 golongan besar :


1. Faktor resiko yang tidak dapat di kontrol:
a. Umur
Jika seseorang semakin tua maka kejadian stroke semakin tinggi. Setelah
individu berumur 45 tahun maka resiko stroke iskemik meningkat dua kali
lipat pada tiap dekade.
b. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih beresiko dibandingkan dengan wanita dengan
perbandingan 3:2. Pada laki-laki cenderung mengalami stroke iskemik,
sedangkan wanita lebih sering menderita haemoragik dan kematiannya dua
kali lipat di bandingkan dengan laki-laki.
c. Riwayat Keluarga (Orang tua, saudara)
Keluarga yang pernah mengalami stroke pada usia muda, maka anggota
keluarga lainnya memiliki resiko tinggi untuk mendapatkan serangan stroke.

2.Faktor resiko yang dapat dikontrol:


a. Hipertensi
Hipertensi dapat menyebabkan stroke iskemik maupun pendarahan, tetapi
kejadian stroke pendarahan akibat hipertensi lebih banyak akibat hipertensi
sikitar 80%. Hipertensi merupakan penyebab utama terjadinya komplikasi
kardiovaskuler dan merupakan masalah utama kesehatan masyarakat yang
mangalami transisi dalam sosial ekonomis.
b. Kencing manis (Diabetes mellitus)
Kencing manis dapat menyebabkan stroke iskemik karena terbentuknya
plak aterosklerotik pada dinding pembuluh darah yang disebabkan
gangguan metebolisme glukosa sistemik. Peningkatan resiko stroke pada
pasien diabetes diduga karena hiperinsulinemia.
c. Merokok
Kebiasaan merokok memiliki kemungkinan untuk menderita stroke lebih
besar, karena dengan merokok dapat menyebabkan vasokonstriksi (menyempitnya pembuluh
darah). Resiko meningkatnya stroke sesuai
dengan beratnya kebiasaan merokok.
d. Stres
Stres dapat mempengaruhi dan menurunkan fungsi imunitas tubuh serta
juga menyebabkan gangguan fungsi hormonal.

2.5 Klasifikasi

Klasifikasi stroke infark meliputi:

1. Stroke infark tromboli

Trombus dapat disebabkan secara langsung pada tempat tersebut (stroke iskemik
trombotik). Gejala utama timbulnya defisit neurologik secara mendadak/subakut, didahului
gejala prodromal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran biasanya tak
menurun. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Pada pungsi lumbal, Liquor Cerebro
Spinalis (LCS) jernih, tekanan normal, dan eritrosit kurang dari 500. Pemeriksaan CT Scan
dapat dilihat adanya daerah hipodens yang menunjukkan infark/iskemik dan edema.

2. Stroke infark emboli

Embolus dari sirkulasi yang mengikuti aliran darah sehingga menyebabkan obstruksi
arteri serebri (stroke iskemik embolik). Stroke ini terjadi pada usia lebih muda, mendadak dan
pada waktu aktif. Sumber emboli berasal dari berbagai tempat yakni kelainan jantung atau
ateroma yang terlepas. Kesadaran dapat menurun bila embolus cukup besar. Pemeriksaan LCS
normal.
2.6 Patofisiologi

Stroke iskemik adalah tanda klinis gangguan fungsi atau kerusakan jaringan otak sebagai
akibat dari berkurangnya aliran darah ke otak, sehingga mengganggu pemenuhan kebutuhan
darah dan oksigen di jaringan otak (Masayu, 2015).

Stroke infark terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Aliran darah ke otak
normalnya adalah 58 mL/100 gram jaringan otak per menit; jika turun hingga 18 mL/100 gram
jaringan otak per menit, aktivitas listrik neuron akan terhenti meskipun struktur sel masih baik,
sehingga gejala klinis masih reversibel. Jika aliran darah ke otak turun sampai <10 mL/100
gram jaringan otak per menit, akan terjadi rangkaian perubahan biokimiawi sel dan membran
yang ireversibel membentuk daerah infark (Setyopranoto, 2011).

Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang diperlukan untuk
pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan Na+ K + ATP-ase, sehingga
membran potensial akan menurun. K + berpindah ke ruang ekstraselular, sementara ion Na
dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negatif
sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat awal depolarisasi membran sel masih reversibel,
tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian jaringan otak.
Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun dibawah ambang batas kematian jaringan,
yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 10 ml / 100 gram / menit. Akibat kekurangan
oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan fungsi enzim-enzim, karena tingginya
ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral yang ditandai pembengkakan sel,
terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh karena itu terjadi
peningkatan resistensi vaskuler dan kemudian penurunan dari tekanan perfusi sehingga terjadi
perluasan daerah iskemik. Iskemia menyebabkan aktifitas intraseluler Ca2+ meningkat hingga
peningkatan ini akan menyebabkan juga aktifitas Ca2+ di celah sinaps bertambah sehingga
terjadi sekresi neurotransmitter yang berlebihan, yaitu glutamat, asparat, dan kainat yang
bersifat eksitotoksik. Jika proses berlanjut, pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan
membran sel dan rangka sel (sitoskeleton) melalui terganggunya proses fosforilasi dari
regulator sekunder sintesa protein, proses proteolisis dan lipolisis yang akan menyebabkan
ruptur atau nekrosis. Pada infark serebri yang cukup luas, edema serebri timbul akibat
kegagalan energy dari sel-sel otak dengan akibat perpindahan elektrolit (Na+, K+) dan
perubahan permeabilitas membran serta gradasi osmotik. Akibatnya terjadinya pembengkakan
sel/edema sitotoksik. Keadaan ini terjadi pada iskemia berat dan akut seperti hipoksia dan
henti jantung. Selain itu edema serebri dapat juga timbul akibat kerusakan sawar otak yang
mengakibatkan permeabilitas kapiler rusak, sehingga cairan dan protein bertambah mudah
memasuki ruangan ekstraseluler sehingga menyebabkan edema vasogenik. Efek edema jelas
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan akan memperburuk iskemia otak.
Selanjutnya terjadi efek massa yang berbahaya dengan akibat herniasi otak (Wijaya, 2015).

2.7 Manifestasi Klinis Stroke Iskemik

Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah otak bergantung pada
berat ringannya gangguan dan lokasi. Gejala utama stroke non-hemoragik ialah timbulnya
defisit neurologik secara mendadak, didahului gejala prodromal, terjadi waktu istirahat atau
bangun tidur dan kesadaran biasanya tidak menurun (Dinanti dan Carolia, 2016).

Gambaran 3.1: Perbedaan Antara Stroke Iskemik dan Stroke Hemoragik


19

Gambar 3.2: Perbedaan Stroke Infark Trombosis dan Emboli

Menurut Affandi dan Panggabean (2016), gejala klinis peningkatan TIK antara lain:

1. Nyeri kepala

Nyeri kepala terjadi karena dilatasi vena, sehingga terjadi traksi dan regangan struktur-sensitif-
nyeri, dan regangan arteri basalis otak. Nyeri kepala dirasakan berdenyut terutama pagi hari saat
bangun tidur. Kadangkala penderita merasa ada rasa penuh di kepala. Nyeri kepala bertambah jika
penderita bersin, mengejan, dan batuk.

2. Muntah

Muntah terjadi karena adanya distorsi batang otak saat tidur, sehingga biasanya muncul pada pagi
hari saat bangun tidur. Biasanya tidak disertai mual dan sering proyektil.

3. Kejang
Kecurigaan tumor otak disertai peningkatan TIK adalah jika penderita mengalami kejang fokal
menjadi kejang umum dan pertama kali muncul pada usia lebih dari 25 tahun.

4. Perubahan status mental dan penurunan kesadaran

Penderita sulit memusatkan pikiran, tampak lebih banyak mengantuk serta apatis.

Tanda dan gejala yang timbul dapat berbagai macam tergantung dari berat ringannya lesi dan juga
topisnya. Namun ada beberapa tanda dan gejala yang umum dijumpai pada penderita stroke non
hemoragik yaitu (Masayu, 2015) :

1. Gangguan Motorik

 Tonus abnormal (hipotonus/ hipertonus)

 Penurunan kekuatan otot

 Gangguan gerak volunter

 Gangguan keseimbangan

 Gangguan koordinasi

 Gangguan ketahanan

2. Gangguan Sensorik

 Gangguan propioseptik

 Gangguan kinestetik

 Gangguan diskriminatif

3. Gangguan Kognitif, Memori dan Atensi

 Gangguan atensi

 Gangguan memori

 Gangguan inisiatif
 Gangguan daya perencanaan

 Gangguan cara menyelesaikan suatu masalah

4. Gangguan Kemampuan Fungsional

 Gangguan dalam beraktifitas sehari-hari seperti mandi, makan, ke toilet dan berpakaian

Manifestasi klinisnya meliputi:

. 1)  Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul mendadak.

. 2)  Gangguan sensibilitas pada satu atua lebih anggota badan (gangguan hemisensorik).

. 3)  Perubahan mendadak status mental (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma).

. 4)  Afasia (bicara tidak lancar, kurangnya ucapan, atau kesulitan memahami ucapan).

. 5)  Disartria (bicara pelo atau cadel).

. 6)  Gangguan penglihatan (hemianopsia atau monokuler) atau diplopia.

. 7)  Ataksia (trunkal atau anggota badan), vertigo, mual dan muntah, atau nyeri kepala.
2.8 Pendekatan Klinis pada Pasien dengan Kecurigaan Stroke

Semua pasien yang masuk melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD) harus dilakukan
pemeriksaan dari segi airway, breathing dan circulation. Pemeriksaan tanda vital juga
merupakan hal yang snagat penting. Pada pasien dengan stroke akut, Mean Arterial Blood
Pressure (MAP) umumnya meningkat yang dapat disebabkan oleh hipertensi kronis ataupun
respons untuk mempertahankan perfusi darah ke otak. Oleh karena itu, diperlukan
pertimbangan dalam menurunkan tekanan darah pada kasus stroke akut. 1,6

Pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial dapat mengalami penurunan laju


respirasi (hipoventilasi). Kondisi hipoventilasi juga dapat berujung pada peningkatan
tekanan pCO2 dalam darah yang berujung pada vasodilatasi serebral dan semakin
meningkatkan tekanan intrakranial (TIK). Oleh karena itu, intubasi perlu dilakukan untuk
memungkinkan
ventilasi adekuat untuk melindungi saluran nafas. Pasien dengan kecurigaan stroke yang
mengalami demam juga harus diturunkan suhu adanya hingga mencapai normal untuk
mengurangi beban metabolisme. 1,6

Anamnesis

Pada pasien dengan kecurigaan stroke perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang mumpuni untuk menyingkirkan diagnosis banding dari stroke seperti kejang,
sinkop, migrain ataupun hipoglikemia. Anamnesis gejala pada pasien stroke setidaknya
mencakup onset, gangguan neurologis (fokal / global), perjalanan (dari onset hingga tiba di
IGD). Pada pasien dengan stoke akibat emboli umumnya memiliki onset cepat, gangguan
neurologis fokal yang mencapai gangguan maksimal pada onset gejala. Pada pasien dengan
stroke akibat thrombosis umumnya gejalanya bervariasi antara fase bergejala dengan fase
perbaikan gejala. Perdarahan intraserebral umumnya berjalan secara gradual dalam hitungan
menit hingga jam tanpa perbaikan gejala pada fase akut. Sedangkan perdarahan
subarachnoid menyebabkan gejala secara akut dan umumnya bersifat global. 1,6

Stroke Hemorrhagik
Stroke Iskemik
Perdarahan Intraserebral Perdarahan Subarachnoid
Terjadi akibat oklusi Umumnya berasal dari Umumnya terjadi akibat
pembuluh darah arterior / pembuluh rupture dari aneurisma arteria
otak darah tau AVM di daerah basal otak
kecil.
FR : hipertensi, DM, FR : hipertensi, trauma, FR : trauma, angiopathi
Merokok, asam urat, angiopati amyloid, amyloid, penggunaan obat
dislipidemia, usia tua, laki- amfetamine/kokain, (lebih jarang)
laki, dll. malformasi pembuluh darah
Gejala sangat bergantung Akumulasi darah terjadi Ruptur aneurisma
pada daerah otak yang tidak dalam hingungan menit/jam melepaskan darah langsung
mendapatkan darah secara dan berkembang secara ke cairan serebrospinal
optimal (dapat bersifat gradaual hingga gejala sehingga meningkatkan CP
lokal maupun global) maksimal. secara cepat onset lebih cepat
(segera) dibanding ICH dan
gejala lebih hebat.
Gejala serupa tidak
akan muncul pada
perdarahan minimal.

Stroke Iskemik Thrombotik: Pada perdarahan intraserbral Perdarahan umumnya


gejala dan fase perbaikan nyeri kepala baru terasa berlansung singkat namun
gejala silih berganti dan ketika perdarahan melebar risiko perdarahan kembali
berkembang dalam hitungan karena tidak ada serabut sangat umum
jam hingga hari nyeri di daerah intraserebral.

Stroke Iskemik Emboli : Dapat dipicu oleh sex / Dapat dipicu oleh sex /
onset mendadak dan deficit aktivitas fisik aktivitas fisik
neurologis maksimal pada
saat onset, dapat dipicu
oleh
batuk ataupun bersin

Riwayat gejala stroke sebelumnya, kegiatan sewaktu munculnya gejala, riwayat


penyakit terdahulu serta terapi yang dikonsumsi termasuk obat-obatan antihiperglisemia,
obat pengencer darah, ataupun Riwayat trauma perlu ditanyakan. Pada stroke hemorrhagik,
kegiatan aktivitas fisik ataupun hubungan seksual dapat memicu terjadinya stroke. Adapun
batuk dan bersin dapat meningkatkan risiko emboli ke otak. Gejala penyerta lainnya seperti
nyeri kepala, muntah, kejang, dan kesadaran juga perlu dinilai. Nyeri kepala uumnya
ditemukan pada kasus stroke perdarahan, meskipun beberapa pasien dpat mengalami nyeri
kepala sebagai gejala prodromal sebelum stroke iskemik. Muntah umum ditemukan pada
stroke hemorrhagic dan iskemia arteri daerah posterior. Kejang lebih umum ditemukan pada
pasien dengan perdarahan intraserebral. Penurunan kesadaran juga lebih umum ditemukan
pada kasus stroke hemorrhagik. 1,6
Gambar 3 Perjalanan Stroke Emboli6

Gambar 4 Perjalanan Stroke Tromboti,6

Gambar 5 Perjalanan Defisit Neurologis pada Perdarahan Intraserebral6


Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik umum setidaknya meliputi pemeriksaan nadi pada keempat ekstremitas
dan karotid untuk melihat adanya atherosclerosis ataupun tanda-tanda emboli. Pada leher
perlu dicari apakah terdapat bruit untuk melihat adanya sumbatan aliran darah ekstrakranial.
Pemeriksaan fisik lainnya juga perlu dilakukan terutama pemeriksaan jantung untuk melihat
apakah terdapat fibrilasi atrium, murmur, dan pembesaran jantung yang meningkatkan risiko
emboli yang berasal dari jantung. 1,6

Pemeriksaan neurologis spesifik perlu dilakukan untuk melokalisi lokasi dan kejadian
diotak yang memicu kelainan neurologis. Pemeriksaan fisik pada fase akut setidaknya
mencakup pemeriksaan kesadaran, pemeriksaan nervus kranialis, pemeriksaan tanda rangsang
meningeal, pemeriksaan motorik, pemeriksaan refleks fisiologis dan refleks fisiologis.
Pemeriksaan neurologis sebisa mungkin dilakukan untuk menentukan lebih lanjut defisit
neurologis yang muncul akibat stroke tersebut. 1,6

Pemeriksaan Penunjang

Periksaan penunjang pada pasien CVA infark :


1. Laboratorium
Pada pemeriksaan paket stroke: Viskositas darah pada pasien CVA ada
peningkatan VD > 5,1 cp, Test Agresi Trombosit (TAT), Asam
Arachidonic (AA), Platelet Activating Factor (PAF), fibrinogen (Muttaqin,
2018: 249-252).
2. Pemeriksaan sinar X toraks
Dapat mendeteksi pembesaran jantung (kardiomegali) dan infiltrate paru
yang berkaitan dengan gagal jantung kongestif (Prince,dkk,2016:1122).
3. Ultrasonografi (USG) karotis
Evaluasi standard untuk mendeteksi gangguan aliran darah karotis dan
kemungkinan memmperbaiki kausa stroke (Prince, dkk, 2016:1122).
4. Angiografi serebrum
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara Spesifik seperti lesi
ulseratrif, stenosis, displosia fibraomuskular, fistula arteriovena, vaskulitis
dan pembentukan thrombus di pembuluh besar (Prince, dkk, 2016:1122).
5. Ekokardiogram transesofagus (TEE)
Mendeteksi sumber kardioembolus potensial (Prince, dkk, 2016:1123).
6. CT scan
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya
secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal,
kadang pemadatan terlihat di ventrikel atau menyebar ke permukaan otak
(Muttaqin, 2014:140).
7. MRI
Menggunakan gelombang magnetik untuk memeriksa posisi dan besar /
luasnya daerah infark (Muttaqin, 2014)

Penggunaan Scoring dalam Menegakkan Diagnosis dan Menilai Keparahan Stroke

1. Siriraj Score

Penggunaan sistem skor dapat bermanfaat terutama bila tidak terdapat fasilitas pencitraan
otak yang dapat membedakan secara pasti patologi penyebab stroke. Meskipun begitu,
perlu diingat bahwa manifestasi klinis stroke hemorrhagic dengan volume perdarahan
kecil dapat menyerupai stroke iskemik sedangkan manifestasi klinis stroke iskemik luas
dengan peningkatan TIK dapat menyerupai stoke hemorrhagik. Salah satu skor yang
dapat digunakan untuk membedakan stroke hemorrhagik dan stroke iskemik adalah
Siriraj Score.1

𝑆𝑖𝑟𝑖𝑟𝑎𝑗 𝑆𝑐𝑜𝑟𝑒 = (2.5 × 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑠𝑎𝑑𝑎𝑟𝑎𝑛) + (2 × 𝑚𝑢𝑛𝑡𝑎ℎ) + (2 × 𝑛𝑦𝑒𝑟𝑖 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑙𝑎)


+ (0.1 × 𝑡𝑒𝑘𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑎ℎ diastole) − (3 × 𝑚𝑎𝑟𝑘𝑒𝑟 𝑎𝑡𝑒𝑟𝑜𝑚) − 12

Keterangan:
- Derajat kesadaran
o Sadar penuh : 0
o Somnolen : 1
o Koma : 2
- Nyeri kepala dalam 2 jam
o Ada : 1
o Tidak ada : 0
- Muntah
o Ada : 1
o Tidak ada : 0
- Aterom (Jantung, DM, angina, claudicatio intermitten)
o Ada : 1
o Tidak ada :
0 Keterangan Hasil
- SS > 1 : stroke hemoragik
- -1 < SS < 1 : perlu pemeriksaan penunjang CT Scan
- SS < -1 : stroke non hemoragik

2. Penilaian Keparahan Stroke dan Prognosis Stroke dengan menggunakan NIHSS Score
NIHSS Score dapat digunakan untuk menilai keparahan stroke dan prognosis dari stroke.
Skor ini terdapat pada aplikasi kalkulator yang dapat digunakan secara daring. Lebih
lanjutnya, skor ini dapat digunakan untuk menentukan kelayakan terapi fibrinolysis pada
pasien stroke iskemik. 1,6
2.9 Penatalaksanaan Pasien dengan Stroke Iskemik
Menurut Setyopranoto (2011), terapi stroke dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Terapi umum

o Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu bidang; ubah
posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil.

o  Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan
hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan
kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh,
dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).

o Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500- 2000 mL dan
elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik.
Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan
gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui slang nasogastrik.

o Kadar gula darah > 150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150
mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia
(kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan
dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya.

o Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat- obatan sesuai
gejala.

o Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi
NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL
selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu
tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit
sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.

o Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelanpelan selama 3 menit, maksimal 100
mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin).
Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka
panjang.
o Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25
sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan
umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5
hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (< 320 mmol); sebagai alternatif,
dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid. 2. Terapi khusus
Penatalaksanaan farmakologi untuk stroke non hemoragik atau stroke iskemik
(Purnama et al., 2013; Presley, 2014; Taufiqurrohman dan Sari, 2016):

2. Terapi Khusus

a. Fibrinolitik/trombolitik (rtPA/recombinant tissue plasminogen activator) intravena

Golongan obat ini digunakan sebagai terapi reperfusi untuk mengembalikan perfusi
darah yang terhambat pada serangan stroke akut. Jenis obat golongan ini adalah alteplase,
tenecteplase dan reteplase, namun yang tersedia di Indonesia hingga saat ini hanya
alteplase. Obat ini bekerja memecah trombus dengan mengaktivasi plasminogen yang
terikat pada fibrin. Efek samping yang sering terjadi adalah risiko pendarahan seperti pada
intrakranial atau saluran cerna; serta angioedema.

Waktu memegang peranan penting dalam penatalaksanaan stroke iskemik akut dengan
fibrinolitik. Beberapa penelitian yang ada menunjukkan bahwa rentang waktu terbaik
untuk dapat diberikan diberikan terapi fibrinolitik yang dapat memberikan manfaat
perbaikan fungsional otak dan juga terhadap angka kematian adalah < 3 jam dan rentang 3-
4,5 jam setelah onset gejala. Pada pasien yang menggunakan terapi ini, usahakan untuk
menghindari penggunaan bersama obat antikoagulan dan antiplatelet dalam 24 jam
pertama setelah terapi untuk menghindari resiko perdarahan.

b. Antikoagulan

Unfractionated heparin (UFH) dan lower molecular weight heparin (LMWH) termasuk
dalam golongan obat ini. Obat golongan ini seringkali juga diresepkan untuk pasien stroke
dengan harapan dapat mencegah terjadinya kembali stroke emboli, namun hingga saat ini
literatur yang mendukung pemberian antikoagulan untuk pasien stroke iskemik masih
terbatas dan belum kuat. Salah satu meta-analisis yang membandingkan LMWH dan
aspirin menunjukkan LMWH dapat menurunkan risiko terjadinya tromboembolisme vena
dan peningkatan risiko perdarahan, namun memiliki efek yang tidak signifikan terhadap
angka kematian, kejadian ulang stroke dan juga perbaikan fungsi saraf.
Oleh karena itu antikoagulan tidak dapat menggantikan posisi dari aspirin untuk
penggunaan rutin pada pasien stroke iskemik. Terapi antikoagulan dapat diberikan dalam
48 jam setelah onset gejala apabila digunakan untuk pencegahan kejadian tromboemboli
pada pasien stroke yang memiliki keterbatasan mobilitas dan hindari penggunaannya
dalam 24 jam setelah terapi fibrinolitik. Bukti yang ada terkait penggunaan antikoagulan
sebagai pencegahan kejadian tromboembolik atau DVT (deep vein thrombosis) pada
pasien stroke yang mengalami paralisis pada tubuh bagian bawah, dimana UFH dan
LMWH memiliki efektifitas yang sama tapi juga perlu diperhatikan terkait risiko
terjadinya pendarahan. Berdasarkan analisis efektivitas biaya LMWH lebih efektif dan
risiko trombositopenia lebih kecil dibandingkan dengan UFH.

c. Antiplatelet

Golongan obat ini sering digunakan pada pasien stroke untuk pencegahan stroke
ulangan dengan mencegah terjadinya agregasi platelet. Aspirin merupakan salah satu
antiplatelet yang direkomendasikan penggunaannya untuk pasien stroke. Penggunaan
aspirin dengan loading dose 325 mg dan dilanjutkan dengan dosis 75- 100 mg/hari dalam
rentang 24-48 jam setelah gejala stroke. Penggunaannya tidak disarankan dalam 24 jam
setelah terapi fibrinolitik. Sedangkan klopidogrel hingga saat ini masih belum memiliki
bukti yang cukup kuat penggunaannya untuk stroke iskemik jika dibandingkan dengan
aspirin.

Klopidogrel secara aktif menghambat aktivasi agregasi platelet yang diinduksi oleh
ADP secara selektif dan permanen menghalangi reseptor P2Y12 sedangkan asetosal
mereduksi aktivasi dari platelet dengan cara asetilasi COX-1 secara irreversible sehingga
produksi TXA2 terhambat. Keduanya bekerja pada faktor yang berbeda tetapi dengan cara
yang sama, sebagai anti agregrasi platelet.

Tujuan dari pemberian anti agregasi platelet kepada pasien stroke iskemik akut adalah
untuk menghentikan pembentukan klot pada pembuluh darah sehingga peristiwa iskemik
tidak terus berlanjut, pemberian ini ditujukan sampai titik normal viskositas darah dan
kondisi tubuh kembali seperti keadaan normal. Pemberian terapi tunggal dengan asetosal
saja atau klopidogrel saja sebenarnya sudah dapat mencapai titik normal yang dikehendaki.
Pemberian kombinasi misalnya asetosal dan klopidogrel bersamaan hanya memberikan
waktu kembali normal lebih cepat, ketika keadaan tubuh kembali ke fungsi normal maka
efek anti agregasinya tidak lagi terlihat, bahkan pemberian yang berlebihan tersebut akan
meningkatkan kemungkinan perdarahan. Pemberian kombinasi dapat diberikan jika
memang ada indikasi tertentu dan harus dengan pemantauan yang lebih ekstra.

Pada salah satu kajian sistematis yang membandingkan terapi jangka panjang
antiplatelet monoterapi (aspirin atau klopidogrel) dan kombinasi antiplatelet (aspirin dan
klopidogrel) pada pasien stroke menunjukkan bahwa penggunaan antiplatelet tunggal
efektif dengan resiko perdarahan yang lebih rendah dibandingkan dengan kombinasi pada
pasien dengan stroke iskemik. Oleh karena itu, pada pedoman terapi stroke iskemik oleh
American Heart Association/American Stroke Association tahun 2013 tidak
direkomendasikan kombinasi antiplatelet karena masih belum kuatnya bukti dan masih
merekomendasikan penggunaan antiplatelet tunggal dengan aspirin.

d. Antihipertensi

Peningkatan nilai tekanan darah pada pasien dengan stroke iskemik akut merupakan
suatu hal yang wajar dan umumnya tekanan darah akan kembali turun setelah serangan
stroke iskemik akut. Peningkatan tekanan darah ini tidak sepenuhnya merugikan karena
peningkatan tersebut justru dapat menguntungkan pasien karena dapat memperbaiki
perfusi darah ke jaringan yang mengalami iskemik, namun perlu diingat peningkatan
tekanan darah tersebut juga dapat menimbulkan risiko perburukan edema dan risiko
perdarahan pada stroke iskemik. Oleh karena itu seringkali pada pasien yang mengalami
stroke iskemik akut, penurunan tekanan darah tidak menjadi prioritas awal terapi dalam 24
jam pertama setelah onset gejala stroke, kecuali tekanan darah pasien > 220/120 mmHg
atau apabila ada kondisi penyakit penyerta tertentu yang menunjukkan keuntungan dengan
menurunkan tekanan darah, hal ini dikarenakan peningkatan tekanan darah yang ekstrim
juga dapat berisiko terjadinya ensefalopati, komplikasi jantung dan juga insufisiensi ginjal.

Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan kecuali bila tekanan sistolik = 220
mmHg, diastolik = 120 mmHg, MAP = 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang
waktu 30 menit) atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal
ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan
adalah natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfabeta, penyekat Angiotensin Converting
Enzyme (ACE) atau antagonis kalsium (Dinanti dan Carolia, 2016).

Salah satu penelitian menunjukkan bahwa setiap penurunan tekanan darah 10 mmHg
pada pasien stroke yang masuk rumah sakit dengan tekanan darah sistolik ≤180 mmHg dan
juga peningkatan tekanan darah 10 mmHg pada pasien stroke yang masuk dengan tekanan
darah sistolik > 180 mmHg dalam 24 jam pertama setelah gejala stroke iskemik akut dapat
berakibat pada perburukan fungsi neurologis (penurunan ≥ 1 poin pada Canadian stroke
scale yang mengukur beberapa aspek seperti kesadaran dan fungsi motorik) dan outcome
yang lebih buruk pada pasien stroke iskemik akut. Target penurunan tekanan darah pada
pasien yang tidak menerima terapi rtPA adalah penurunan tekanan darah 15% selama 24
jam pertama setelah onset gejala stroke dengan disertai monitoring kondisi neurologis.

e. Obat neuroprotektif

Golongan obat ini seringkali digunakan dengan alasan untuk menunda terjadinya
infark pada bagian otak yang mengalami iskemik khususnya penumbra dan bukan untuk
tujuan perbaikan reperfusi ke jaringan. Beberapa jenis obat yang sering digunakan seperti
citicoline, flunarizine, statin, atau pentoxifylline.

Citicoline merupakan obat neuroprotektor yang telah banyak diteliti dan digunakan
untuk pengobatan berbagai gangguan neurologis termasuk stroke iskemik. Citicoline aman
digunakan dan mungkin memiliki efek yang menguntungkan pada pasien stroke iskemik
dan bisa digunakan untuk semua usia namun pada usia lansia efek pengobatannya mulai
berkurang. Beberapa penelitian belum mengatakan secara pasti apakah sitikoline ini
memiliki efek dalam pengobatan atau tidak. Namun salah satu penelitian di Italia
menunjukan peningkatan fungsi kognitif yang lebih baik pada pasien gangguan vaskuler di
otak yang diberikan citicoline.

1. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi

Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut seperti


aspirasi, malnutrisi, pneumonia, DVT, dan emboli paru perlu dilakukan.
Antibiotik dapat diberikan sesuai dengan indikasi. Lakukan pencegahan ulkus
dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/atau memakai kasur antidekubitus. Pada
pasien dengan risiko DVT seperti pasien trombofilia dapat diberikan heparin SC
2 x 5.000 IU atau 10.000 IU drip dalam 24 jam ataupun LMWH. Terapi
antikoagulan secara rutin tanpa tujuan sebagai pencegahan DVT tidak
direkomendasikan.1,6
2.9 Komplikasi
Ada beberapa komplikasi CVA infark (Muttaqin, 2018)
1. Dalam hal imobilisasi:
a. Infeksi pernafasan
b. Timbulnya rasa nyeri pada daerah yang tertekan.
c. Konstipasi
d. Tromboflebitis
2. Berhubungan dengan mobilisasi
a. Nyeri pada daerah punggung
b. Dislokasi sendi
c. Hambatan mobilitas fisik
d. Deformitas.
3. Dalam hal kerusakan otak:
a. Epilepsy
b. Kraniotomi
c. Hidrocefalus
d. Hipoksia serebral.
e. Herniasi otak.
f. Kontraktur.
g. Space Occupying Procces Cerebri
lesi pada ruang intracranial khususnya yang mengenai otak, Banyak
penyebab yang dapat menimbulkan lesi pada otak seperti kontusio
serebri, hematoma, infark, abses otak dan tumor intracranial
BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosis

Pasien terdiagnosis klinis hemiparesis dan hemiparaesthesia dextra ec. Lesi di area pons, edema
perifokal di daerah subcortical lobus parietalis bilateral dan kapsula interna sinistra dan pons
sinusitis maksilaris sinistra ec. Stroke iskemik observasi hari ke-2 dan 3 dengan hipertensi,
dyspnoe e.c bhronkopneumonia bilateral, alkalosis respiratorik terkompensasi sebagian

Anamnesis:

Pasien laki-laki, 41 tahun, dengan keluhan utama kelemahan tubuh sisi kanan sejak 4 jam SMRS.
Pasien mengatakan terdapat keluhan nyeri kepala di bagian belakang beberapa saat sebelum
mulai gejala. Selama di perjalanan pasien mengalami pelo dan cadel dan saat di IGD 10 menit
kemudian pasien mendengkur dan mengalami penurunan keadaran. kejang disangkal. Tidak ada
Riwayat jatuh sebelumnya pada pasien. Terdapat Riwayat hipertensi sebelumnya dan tidak
berobat. Pasien diketahui merokok 1 bungkus per hari sejak usia muda. Selama masa perawatan,
pasien mengaku terdapat baal pada sisi tubuh yang lemah.

Pemeriksaan fisik:

Kesadaran compos mentis, TD 144/89, pemeriksaan fisik umum kesan dalam batas normal. Pada
pemeriksaan neurologis di dapatkan hemiparesis dextra dan kesan tidak terdapat hipestesia,
refleks fisiologis normal dan refleks patologis negatif. Pasien kemudian diklasifikasi dengan
menggunakan skor Siriraj didapatkan skor (2.5 x 1) + (2 x 1) + (2 x 1) + (0.1
x 89) – (3 x 0) – 12 = -3.4, dengan nilai <- 1 kesan tidak terdapat perdarahan intrakranial. Meskipun
begitu pemeriksaan harus dikonfirmasi dengan menggunakan CT scan kepala non kontras.
Penilaian juga dilakukan dengan menggunakan NIHSS pada NIHSS terdapat kesan hemiparesis
minimal pada lengan kanan dan tungkai kanan sehingga di dapatkan nilai NIHSS 9. Nilai NIHSS
5-14 digolongkan sebagai stroke sedang.

Pemeriksaan penunjang:

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis, dan trombositopenia, hasil Analisa Gas Darah
menunjukkan alkalosis respiratorik terkompensasai sebagian. Leukocytosis merupakan temuan yang
wajar pada kasus infark akut sehingga pada kasus ini bukan suatu penanda adanya infeksi,
namun pasien mengalami sesak sehingga disarankan foto rontgen thorax PA, yang menunjukkan
gambaran bronkhitis, dan bronkhopnoeumonia bilateral.
Pada CT Scan menurut ekspertise radiologi kesan terdapat lesi isodens inhomogen batas tegas tepi
irreguler berukuran lk 1.1 x 1.4 x 0.9 cm di daerah pons, dan hipodens batas tidak tegas di daerah
subcortical lobus parietalis bilateral dan kapsula interna kiri yang mengarah ke diagnosa SOP
Cerebri

Tatalaksana

Terapi awal selama di IGD sebaiknya meliputi:

1. Dalam menatalaksana pasien dengan stroke, waktu onset pasien datang hingga hendak
dilakukan terapi harus diperhatikan. Selain itu manajemen jalan nafas, breathing dan
circulation juga harus dilakukan. Pada pasien ini tidak diketmukan gangguan masalah
dari segi manajemen jalan nafas, breathing maupun circulation. Pasien kemudian
dilakukan pemeriksaan fisik neurologis kesan terdapat stroke sedang (NIHSS 5-14)
dengan onset 4 jam. Pemeriksaan CT scan kepala tidak menunjukkan adanya perdarahan
intrakranial.
2. Pada pasien kesan tidak tampak dehidrasi, maka terapi cairan tidak diperlukan namun
dapat diberikan terapi maintenance dengan menggunakan NaCL 0.9% sebanyak 20
tpm.1,6,7

3. Gula darah pasien dalam batas normal sehingga dapat dipertahankan pada kondisi tersebut.
4. Fungsi menelan abnormal sehingga dipasang NGT
5. Pemantauan tekanan darah. Pada saat pasien masuk ke IGD, diketahui TD 144/89. Pasien
ini diketahui memiliki riwayat hipertensi sebelumnya. Namun perlu diingat pada pasien
dengan stroke akut, dapat ditemukan peningkatan respons simpatis untuk menjaga perfusi
darah ke otak sehingga terapi anti hipertensi agresif sebaiknya tidak diberikan pada
tekanan darah dibawah 220/120 tanpa rencana pemberian terapi IV alteplase. 1,7,8
6. Pada pasien terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, berupa delirium
akibat dari edema cerebri yang terjadi dan akan bertambah dalam beberapa jam setelah
onset stroke. Sehingga pemberian manitol perlu diberikan, namun pada kasus ini
diberikan terapi alternatif pemberian larutan hipertonik Nacl dan furosemid.
7. Pertimbangan terapi reperfusi
Berdasarkan waktu, pasien dapat dipertimbangkan untuk diberikan terapi reperfusi dengan
menggunakan IV Alteplase. Meskipun begitu, berdasarkan derajat keparahan dengan
pasien ini mendapatkan NIHSS 9 yang digolongkan sebagai stroke berat, selain itu pasien
tidak memiliki gejala yang bersifat disabling seperti hemianopia total, afasia hebat, hilang
pegelihatan, lemah hingga tidak mampu menahan gaya grafitasi sehingga pada pasien ini
belum perlu dilakukan pemberian IV Alteplase. 1,6,7

Terapi awal kedepannya sebaiknya meliputi:

1. Terapi antihipertensi dengan ACE-I berupa ramipril ataupun ARB berupa candesartan
yang dapat dikombinasikan dengan amlodipine untuk mencapai target tekanan darah <
140 mmHg setelah pasien melewati masa akut stroke. 1,6
2. Terapi DAPT dilanjutkan selama 21 hari dengan aspirin 1x 80mg dan clopidogrel 1x75
mg. Setelah 21 hari, pasien dapat diberikan antiplatelet clopidogrel 1x 75 mg sebagai
monoterapi sebagai pencegahan sekunder stroke kedepannya. 1,6-9

3. Anjuran berhenti merokok


4. Anjuran perubahan gaya hidup menjadi lebih aktif dengan berolahraga dan meningkatkan
aktivitas fisik
Prognosis

Prognosis untuk pasien ini buruk, karena kondisi pasien mengancam nyawa pasien. Rehabilitasi
medik dapat dilakukan untuk membantu pasien kembali ke aktivitas semua dengan lebih baik.
Jika pasien menjaga gaya hidup, menurunkan faktor risiko, risiko pasien untuk stroke kembali
dapat diturunkan.
Referensi:

1. berg J.A., Lacy C.., Amstrong L.., Goldman M.. and Lance L.L., 2009, Drug
Information Handbook, 17th Edition, American Pharmacists Association
2. Caplain L. Etiology, classification, and epidemiology of stroke [Internet]. Uptodate.com.
2021 [cited 1 November 2021]. Available from:
https://www.uptodate.com/contents/etiology-classification-and-epidemiology-of- stroke?
_escaped_fragment_=
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
RISKESDAS2013.
4. DepKes RI, 2013, Modul Penggunaan Obat Rasional, Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan: Jakarta
5. Majid A. Pathophysiology of Ischemic Stroke [Internet]. Uptodate. 2021 [cited 1
November 2021]. Available from: https://www.uptodate.com/contents/pathophysiology-
of-ischemic- stroke?search=pathophysiology%20of%20ischemic
%20stroke&source=search_result&se
lectedTitle=1~150&usage_type=default&display_rank=1#topicContent
6. Persatuan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI), 2011, Penatalaksanaan Khusus
Stroke Akut, PERSI: Jakarta
7. Jauch E.C., Saver J.L., Adams H.P., Bruno A., Connors J.J.B., Demaerschalk
B.M., Khatri P., McMullan P.W., Qureshi A.I., Rosenfield K., Scott P.A.,
Summers D.R., Wang D.Z., Wintermark M. and Yonas H., 2013, Guidelines
for the Early Management of Patients with Acute Ischemic Stroke, American
Heart Association, 44 (3), 870–947.
8. AHA/ASA Guideline. Guidelines for the Early Management of Patiens With Acute
Ischemic Stroke : 2019 Update to the 2018 Guidelines for the Early Management of
Acute Ischemic Stroke. USA: American Heart Association, Inc; December 2019.
DOI: 10.1161/STR.000000000000021

Anda mungkin juga menyukai