Disusun Oleh :
Clarissa Tan
Pembimbing :
Dr. Tuty Rahayu, Sp.A(K)
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka Laporan Kasus Pasien pada program Internsip
Mengetahui,
Pembimbing
2
BAB I
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PASIEN
• Nama : An. RN
• Jenis Kelamin : Laki - laki
• Umur : 6 tahun (08-05-2016)
• Alamat : Jl. H. Taiman Barat
• No. IGD : 22092149
• No. RM : 2022-928738
• Tanggal Masuk : 27 September 2022 (00:52)
• Ruang Rawat : PICU
2. ANAMNESIS
Autoanamnesa
3
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya
- Tidak ada riwayat alergi
- Tidak pernah dirawat di RS
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Buruk
GCS : 12 (E3M5V4)
Data antropometri:
BB : 15.2 kg
TB : 117 cm
Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/59 mmHg
Nadi : 159 x/menit, tidak kuat angkat
RR : 28 x/menit
Suhu : 38.4 °C
SpO2 : 98%
Pemeriksaan Thoraks
4
Perkusi : Paru kiri Sonor , Paru kanan Sonor
Auskultasi : Suara Napas Vesikuler, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Pemeriksaan Jantung
Pemeriksaan Abdomen
Pemeriksaan Ekstremitas
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
5
Eosinofil 0 %
Neutrofil Batang 0 %
Neutrofil Segmen 40 %
Limfosit 51 %
Monosit 8 %
Limfosit Absolut 5585 /µL
Neutrofil Limfosit Ratio 0.78
Kimia Klinik
SGOT 653 U/L
SGPT 164 U/L
Ureum Darah 121 mg/dL
Kreatinin Darah 1.00 mg/dL
eGFR 129.3 mL/min/1.73 m’2
GDS 123 mg/dL
Elektrolit
Na 119 mmol/L
K 5.0 mmol/L
Cl 84 mmol/L
Serologi
Anti Dengue IgG Positif
Anti Dengue IgM Negatif
DIAGNOSIS
DSS
Hiponatremia berat
Insufisiensi hepar
TERAPI AWAL
6
Loading RA 20cc/kgBB (300cc)
Propiretik 160mg supp
7
+
Th : ves +/+ rh -/- wh -/-
BJ I&II reg, g -, m-
Abd : supel, BU + meningkat,
turgor kulit menurun
Ext : akral dingin, CRT >2s,
nadi teraba dalam.
A/ penkes ec DSS.
hiponatremia
P/ konsul dr.Tuty Rahayu,
SpA(K)
2022-09- S / Anak kesan lemas dan Jawaban konsulen :
27 gelisah -Loading sampai
02:50 O/ KU berat kesan apatis 40cc/kgBB maks
E3M5V4 60cc/kgBB -> tetap
TD : 113/68 perhatikan klinis
HR : 147 x/m, mulai teraba pasien
RR : 27x/m - Drip dobutamin start
SpO2 : 100% NK 2lpm 5mcg/kgBB/menit,
S: 36.9 boleh uptitrasi ke
Ext : akral dingin, CRT 3 10mcg/kgBB/menit
detik, edema -/- - Inj. Omeprazole
A/ DSS + hiponatremia berat + 2x15mg
insufisiensi hepar -FFP berikan jika
P/ konsul sementara dr. Arif, cairan sudah
Sp.A(K) maksimal, berikan
10cc/kgBB
-Pasang 2 lineline 1:
IVFD NaCl 0.9%
1000cc/24 jam
Line 2: IVFD Asering
8
200cc/24 jam
-Rawat PICU
2022-09- S / Anak kesan lemas, sesak, Terapi:
28 demam O2 Nasal 2 lpm
06:10 O/ KU berat -Loading sampai
E4M5V46 40cc/kgBB maks
TD : 96/44 60cc/kgBB -> tetap
HR : 110 x/m, mulai teraba perhatikan klinis
RR : 31x/m pasien
SpO2 : 100% NK 2lpm - Inj Ceftriaxone 2x
S: 38.8 250 mg IV
Ext : akral hangat, CRT < 2 - Inj. Omeprazole
detik, edema -/- 2x15mg
Lab : -FFP berikan jika
Hb : 8.0 g/dL cairan sudah
Hct : 23% maksimal, berikan
Trombosit: 50 ribu /uL 10cc/kgBB
GDS 102 -Pasang 2 lineline 1:
A/ DSS + hiponatremia berat + IVFD NaCl 0.9%
insufisiensi hepar 1000cc/24 jam
Line 2: IVFD Asering
200cc/24 jam
- Inj Omeprazole 2x
15mg
- PCT drip 150 mg
2022-09- S / Anak kesan lemas dan Terapi:
29 gelisah -IVFD RA 500cc/ hari
06:10 O/ KU berat E4M5V6 - Inj Ceftriaxone 2x
TD : 113/68 250 mg IV
HR : 147 x/m, mulai teraba - Inj Omeprazole 2x
9
RR : 27x/m 15mg
SpO2 : 100% NK 2lpm - PCT drip 150 mg
S: 36.9
Ext : akral hangat, CRT < 2
detik, edema -/-
Lab :
Hb : 7.6 g/dL
Hct : 23%
Trombosit: 64 ribu /uL
GDS 102
SGOT : 602
SGPT : 182
A/ DSS + hiponatremia berat +
insufisiensi hepar
P/ konsul sementara dr. Arif,
Sp.A(K)
2022-09- S / Anak kesan lemas , nafsu Jawaban konsulen :
30 makan tidak ada, perut sakit -IVFD RA 500cc/ hari
07:00 O/ KU lemah - Inj Ceftriaxone 2x
E4M5V6 250 mg IV
TD : 109/80 - Inj Omeprazole 2x
HR : 100 x/m, mulai teraba 15mg IV
RR : 27x/m - PCT drip 150 mg
SpO2 : 90% - Feriz drops 2x 1.5 ml
S: 37.9
Ext : akral dingin, CRT 3
detik, edema -/-
Lab :
Hb : 7.0 g/dL
Hct : 21%
Trombosit: 95 ribu /uL
10
A/ DSS + hiponatremia berat +
insufisiensi hepar
P/ konsul sementara dr. Arif,
Sp.A(K)
BAB II
11
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam Dengue (DD) dan Deman Berdarah Dengue (DBD) adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh virus genus flavivirus family flaviviridae,
mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3 dan den 4 melalui perantara
gigitan nyamuk Aedes aegepti. Keempat serotype virus ini dapat temukan di
berbagai daerah Indonesia. Serotype den-3 merupakan serotype yang dominan dan
diasumsikan banyak menunjukkan manifestasi klinik yang berat.
B. Epidemiologi
Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh
World Health Organization (WHO).Virus dengue dilaporkan telah menjangkit
lebih dari 100 negara terutama didaerah perkotaan yang padat penduduk dan
permukiman di Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara
dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 – 100 juta orang,
setengahnya dirawat dirumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap
tahunnya, diperkirakan 2.5 milyar atau hampir 40% populasi dunia, tinggal
didaerah endemis DBD dan memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui
gigitan nyamuksetempat.
Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun dibeberapa daerah tropik dan
subtropik bahkan cenderung meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada
anak, 90% diantaranya menyerang anak dibawah 15 tahun.
C. Patogenesis
1. Hipotesis Infeksi Sekunder
Hingga saat ini patogenesis DD/DBD masih belum jelas. Menurut
hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh suvatte, 1977 sebagai akibat
infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi
anamnestik pasien akan terpicu, memyebabkan poliferasi dan transformasi
12
limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Hal ini mengakibatkan
terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebebkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular yang
mengakibatkan anjloknya volume darah dan dapat berakibat hipotensi,
hemokonsentrasi, efusi pleura, efusi perikard, asites dan shok. Hipovolemik
ini juga berakibat pada hipoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.
Gamb
ar 1. Teori secondary heterologous infection yang pertama kali
13
internalisasi dan akan teraktivasi dan memprodusi IL-1, IL-6, tumor necrosis
factor-alpha (TNF-A), dan platelet activating factor (PAF) (Candra, 2010).
14
terjadi kebocoran plasma yang bermakna sehingga akan menimbulkan
hipovolemi dan bila berat menimbulkan syok dengan mortalitas yang
tinggi.
Gambar
15
Perdarahan mukosa spontan atau perdarahan di tempat
pengambilan darah merupakan manifestasi perdarahan penting.
Hepatomegali dan nyeri perut sering ditemukan. Penurunan jumlah
trombosit yang cepat dan progresif menjadi di bawah 100.000 sel/mm3
serta kenaikan hematokrit di atas data dasar merupakan tanda awal
perembesan plasma, dan pada umumnya didahului oleh leukopenia
(≤5.000 sel/mm ).
Peningkatan hematokrit di atas data dasar merupakan salah satu
tanda paling awal yang sensitif dalam mendeteksi perembesan plasma
yang pada umumnya berlangsung selama 24-48 jam. Peningkatan
hematokrit mendahului perubahan tekanan darah serta volume nadi, oleh
karena itu, pengukuran hematokrit berkala sangat penting, apabila makin
meningkat berarti kebutuhan cairan intravena untuk mempertahankan
volume intravaskular bertambah, sehingga penggantian cairan yang
adekuat dapat mencegah syok hipovolemi.
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok
terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil pasien
akan jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok hipotensif
dan profound shock yang menyebabkan asidosis metabolik, gangguan
organ progresif, dan koagulasi intravaskular diseminata. Perdarahan hebat
yang terjadi menyebabkan penurunan hematokrit, dan jumlah leukosit
yang semula leukopenia dapat meningkat sebagai respons stres pada
pasien dengan perdarahan hebat.
Beberapa pasien masuk ke fase kritis perembesan plasma dan
kemudian mengalami syok sebelum demam turun, pada pasien tersebut
peningkatan hematokrit serta trombositopenia terjadi sangat cepat. Selain
itu, pada pasien DBD baik yang disertai syok atau tidak dapat terjadi
keterlibatan organ misalnya hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis,
dan/atau perdarahan hebat, yang dikenal sebagai expanded dengue
syndrome.
3. Fase penyembuhan (fase konvalesens)
16
Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar
24-48 jam, terjadi reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular ke dalam
ruang intravaskular yang berlangsung secara bertahap pada 48-72 jam
berikutnya. Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala
gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil, dan diuresis menyusul
kemudian.
Pada beberapa pasien dapat ditemukan ruam konvalesens, beberapa
kasus lain dapat disertai pruritus umum. Bradikardia dan perubahan
elektrokardiografi pada umumnya terjadi pada tahap ini. Hematokrit
kembali stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan yang
direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah penurunan
suhu tubuh akan tetapi pemulihan jumlah trombosit umumnya lebih
lambat.
Gangguan pernapasan akibat efusi pleura masif dan ascites, edema
paru atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis dan/atau
fase pemulihan jika cairan intravena diberikan berlebihan. Penyulit dapat
terjadi pada fase demam, fase kritis, dan fase konvalesens.
17
Dengue Shock Syndrome
Sindrom syok dengue (SSD) merupakan syok hipovolemik yang terjadi
pada DBD, yang diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler yang disertai
perembesan plasma. Syok dengue pada umumnya terjadi di sekitar penurunan
suhu tubuh (fase kritis), yaitu pada hari sakit ke 4-5 (rentang hari ke 3-7), dan
sering kali didahului oleh tanda bahaya (warning signs). Pasien yang tidak
mendapat terapi cairan intravena yang adekuat akan segera mengalami syok.
Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi
lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan
lembab dan pasien tampak gelisah.
18
E. Diagnosa
Demam Dengue (DF)
Seseorang yang mengalami demam dengue (dengue fever/DF)
umumnya akan merasakan gejala prodromal, berupa menggigil atau rasa
kedinginan yang diikuti dengan demam yang berakhir 2-3 hari kemudian.
Gejala klasik DF adalah:
Demam tinggi onset mendadak disertai menggigil
19
Demam, dapat mencapai 41 Celcius dan berakhir sekitar 2-7 hari
Pola demam klasik, yang lebih umum terjadi pada anak-anak, dengan
pola Saddleback fever, yaitu demam turun pada satu hari kemudian meningkat
Sakit kepala berat secara menyeluruh
Mialgia pada punggung bawah dan ekstremitas
Wajah kemerahan dan terasa sensitif
Nyeri retro orbital
Artralgia, biasanya pada lutut dan bahu
Pada pemeriksaan fisik biasanya akan tampak ruam kulit yang khas
yang mulai timbul pada hari ke-3 dan menetap 2-3 hari. Manifestasi
perdarahan ringan, yang tampak pada kulit berupa petekia, purpura, ekimosis.
Manifestasi neurologis sangat jarang terjadi tapi pernah dilaporkan sebagai
manifestasi infeksi dengue seperti kejang, ensefalitis, ensefalopati, sindrom
Guillain-Barre dan myelitis transversa.
1. Demam Berdarah Dengue (DHF)
Bila pada hari ke 3-4 demam ada manifestasi perdarahan,
kemungkinan DF berlanjut menjadi demam berdarah dengue (dengue
hemmorhagic fever/DHF). Tanda yang ditemukan pada DHF kurang lebih
mirip dengan DF, namun sudah terjadi kebocoran plasma, sehingga apabila
terjadi perdarahan maka intensitasnya bisa lebih berat dibandingkan DF.
Dapat terjadi efusi peritoneal, efusi pleura, atau keduanya. Infeksi
konjungtiva dapat terjadi pada sebagian penderita DHF. Optik neuropati juga
dapat terjadi dan dapat menjadi gangguan penglihatan permanen. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan uji torniquet (+).
2. Dengue Shock Syndrome (DSS)
Hal yang membedakan dengue shock syndrome (DSS) dari bentuk
dengue lainnya adalah adanya tanda kegagalan sirkulasi, yang dapat berupa :
Hipotensi
Bradikardia yang bersifat paradoksikal, atau takikardia disertai
hipovolemik shok
Hepatomegali
20
Hipotermia
Nadi teraba lemah (< 20 mmHg)
Terjadi penurunan perfusi perifer
Warning sign penting untuk diketahui pasien, keluarga pasien, dan
dokter untuk mencegah terjadinya perburukan dan komplikasi pada dengue
fever. Warning sign yang harus diwaspadai adalah:
Tidak ada perbaikan klinis atau perburukan keadaan pasien sebelum atau
saat perpindahan ke fase afebris atau pada perkembangan penyakit
Muntah persisten yang diikuti dengan kegagalan rehidrasi oral
Nyeri perut yang berat
Letargi atau gelisah, atau perubahan perilaku secara mendadak
Perdarahan : epistaksis, feses berwarna gelap, darah menstruasi yang
sangat banyak, haemoglobinuria, ataupun hematouria
Pusing berat
Pucat dan ekstremitas yang teraba dingin
Oliguria
21
Diagnosis infeksi dengue:
Gejala klinis + trombositopenia + hemokonsentrasi, dikonfirmasi dengan
deteksi antigen virus dengue (NS-1) atau dan uji serologi anti dengue positif
(IgM anti dengue atau IgM/IgG anti dengue positif)
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada demam dengue (dengue fever/DF) yang
paling sederhana adalah pemeriksaan darah lengkap (complete blood count/CBC).
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi DF dan mendeteksi adanya kebocoran
plasma. Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah antigen dengue
non-structural protein 1 (NS-1 antigen), dan IgM anti dengue.
1. Uji ELISA Anti-Dengue IgM
Uji antibody-capture ELISA telah berhasil mengukur titer antibody
IgM terhadap virus dengue. IgM anti-Dengue timbul pada infeksi primer
22
maupun sekunder. IgM timbul sekitar hari ke 3 dan kadarnya meningkat pada
akhir minggu pertama sampai dengan minggu ke-3 dan menghilang pada
minggu ke-6, sedang IgG timbul pada hari ke-5 dan mencapai kadar tertinggi
pada hari ke-14, kemudian bertahan sampai berbulan-bulan. Pada infeksi
sekunder kadar IgG telah meningkat pada hari ke-2 melebihi kadar IgM. Uji
ini telah dipakai untuk membedakan infeksi virus dengue dari infeksi virus
Japanese B ensefalitis.
Penelitian yang dilakukan Wu SJL dkk dengan menggunakan tes
dipstick ELISA untuk mendeteksi IgG dan IgM Anti dengue di dalam serum
menunjukkan sensitivitas 97,9 % dan spesifitas 100 % (Wu SJL dkk, 1997).
2. Uji Dengue NS1 antigen
Tahun 2002, team dari ”Institut Pasteur” menjelaskan percobaan
untuk mendeteksi Dengue NS1 antigen untuk infeksi DBD primer dan
sekunder selama fase akut (Alcon S dkk, 2002). NS1 (non-structural protein
1) antigen yang akan terdeteksi dalam serum orang yang terinfeksi virus
dengue di hari pertama demam hingga hari ke-18.
23
G. Diagnosa Banding
Diagnosis banding demam dengue
Infeksi virus Virus chikungunya, dan penyakit infeksi virus lain seperti
campak, campak Jerman, dan virus lain yang menimbulkan
ruam; virus eipstein-barr, enterovirus, influenza, hepatitis A
H. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yag spesifik untuk demam dengue. Prinsip utama
adalah terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian
dapat diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairansirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan DBD. Asupan
cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral
pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
Terapi non-farmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi
yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi
saluaran cerna.
Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari
karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas
(lambung/duodenum).
Pedoman tatalaksana menurut WHO 2009, dibagi dalam 3 Grup : Grup A,
Grup B dan Grup C
1. Grup A. Pasien Rawat Jalan
24
Mampu mentoleransi kebutuhan cairan yang cukup, BAK 1x/6jam, dan tidak
ada warning sign. Pasien dengan hematokrit stabil dengan rencana tindakan
sbg berikut:
Oral intake sebagai cairan rehidrasi, jus buah dan cairan lain yang
mengandung elektrolit dan gula untuk menggantikan kehilangan cairan
akibat demam dan muntah.
Berikan parasetamol untuk demam tinggi jika pasien merasa tidak
nyaman. Interval dosis parasetamol tidak boleh kurang dari enam jam.
Kompres hangat jika pasien masih demam tinggi. Jangan berikan asam
asetilsalisilat (aspirin), ibuprofen, atau zat antiinflamasi nonsteroid lainnya
(NSAID) karena obat ini dapat memperburuk gastritis atau perdarahan.
Asam asetilsalisilat (aspirin) dapat dikaitkan dengan Sindrom Reye.
Menginstruksikan kepada keluarga yang merawat bahwa pasien harus
segera dibawa ke rumah sakit jika terjadi hal-hal berikut: tidak ada
perbaikan klinis, penurunan waktu penyembuhan, sakit perut yang parah,
muntah terus-menerus, ekstremitas dingin dan basah, lesu atau lekas
marah/gelisah, pendarahan (misalnya tinja hitam atau muntah darah), tidak
buang air kecil lebih dari 4-6 jam.
Pasien yang dipulangkan harus dipantau setiap hari oleh petugas kesehatan
untuk pola suhu, volume asupan dan kehilangan cairan, output urin
(volume dan frekuensi), warning signs, tanda-tanda kebocoran dan
perdarahan plasma, hematokrit, dan sel darah putih dan platelet jumlah
(lihat grup B).
25
pasien demam berdarah dengan warning sign, rencana tindakan sebagai
berikut:
Cek hematokrit sebelum terapi cairan. Berikan cairan isotonik seperti
larutan saline 0,9%, atau RL. Mulai dengan 5-7 ml/kg/ jam selama 1-2
jam, kemudian kurangi menjadi 3-5 ml/kg/ jam selama 2-4 jam, lalu
kurangi menjadi 2–3 ml/kg/ jam atau kurang sesuai dengan respon klinis,
Nilai kembali status klinis dan cek ulang hematokrit. Jika hematokrit tetap
sama atau hanya naik minimal, lanjutkan dengan laju yang sama (2-3 ml /
kg / jam) selama 2-4 jam lagi. Jika tanda-tanda vital memburuk dan
hematokrit meningkat dengan cepat, tingkatkan hingga 5-10 ml/kg/ jam
selama 1-2 jam. Nilai kembali status klinis, cek ulang hematokrit dan
sesuaikan laju cairan infus.
Berikan volume minimum yang diperlukan untuk mempertahankan perfusi
dan output urin yang baik yaitu 0.5 ml/kg/jam. Cairan intravena biasanya
hanya dibutuhkan selama 24-48 jam. Kurangi cairan intravena secara
bertahap ketika tingkat kebocoran plasma menurun menjelang akhir fase
kritis. Ini ditunjukkan dari urin output dan / atau asupan cairan oral yang
cukup, atau hematokrit menurun pada pasien yang stabil.
Pasien dengan warning sign harus dipantau sampai periode risiko berakhir.
Keseimbangan cairan yang terperinci harus dijaga.
Parameter yang harus dipantau adalah tanda-tanda vital dan perfusi perifer
(1-4 jam sampai pasien keluar dari fase kritis), output urin (4-6 jam),
hematokrit (sebelum dan setelah penggantian cairan) , glukosa darah, dan
fungsi organ lainnya (seperti profil ginjal, profil hati, profil koagulasi,
sesuai indikasi).
Jika pasien demam berdarah tanpa warning sign, rencana tindakan harus
sebagai berikut:
Beri cairan oral. Jika tidak toleran, mulailah terapi cairan intravena saline
0,9% atau Ringer laktat dengan atau tanpa dekstrosa pada maintenance.
Untuk pasien obesitas dan kelebihan berat badan, gunakan berat badan
26
ideal untuk perhitungan infus cairan. Berikan volume minimum yang
diperlukan untuk mempertahankan perfusi dan output urin yang baik.
Cairan intravena biasanya hanya dibutuhkan selama 24-48 jam.
Pasien harus dipantau untuk pola suhu, volume asupan dan kehilangan
cairan, urin output (volume dan frekuensi), warning sign, hematokrit, dan
jumlah leukosit dan jumlah trombosit. Tes laboratorium lainnya (seperti
tes fungsi hati dan ginjal) dapat dilakukan, tergantung pada gambaran
klinis
27
28
Penatalaksanaan Dengue Shock Syndrome
Tatalaksana dengue syok sindrom dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi
teraba kecil, lembut, atau tidak teraba, tekanan nadi menyempit, sianosis, tangan
dan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin adalah sebagai berikut:
1. Segera beri infus kristaloid (ringer laktat atau NaCl 0.9%) 10-20ml/kg BB
secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 2-4
liter/menit.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat
tetap dilanjutkan 15-20ml/kg BB, maksimal 30ml/kg BB. Observasi
keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa
hematokrit tiap 4-6 jam.
3. Koreksi asidosis, elektrolit, dan gula darah.
Berikut ini adalah bagan yang memuat algoritma terapi dari DBD dengan syok
29
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dengue Syok Sindrom
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Garna (2007), anak dengan usia 5-9
tahun memiliki resiko 1.6 kali lebih tinggi untuk mengalami DSS. Hal ini
mungkin dikarenakan mikrovaskular dan permeabilitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan anak berusia kurang dari 5 tahun atau lebih dari 9 tahun.
Peningkatan permeabilitas vaskular bisa dikarenakan oleh beberapa faktor, seperti
bantalah vaskular yang lebih besar dan kebocoran plasma yang lebih besar.12
Faktor resiko DSS yang telah diketahui saat ini adalah karena perdarahan,
hemokonsentrasi lebih dari 22%, dan infeksi sekunder virus dengue. Jenis kelamin
dan malnutrisi bukan menjadi faktor resiko terjadinya DSS saat ini seperti yang
telah dijelaskan oleh Hung, tapi bertolak belakang dengan yang sudah dijelaskan
oleh penelitian Kalayanarooj dkk.
I. Prognosa
Berdasarkan kesuksesan dalam terapi dan penatalaksanaan yang
dilakukan. Terapi yang tepat dan cepat akan memberikan hasil yang optimal.
Penatalaksanaan yang terlambat akan menyebabkan komplikasi dan
penatalaksanaan yang tidak tapat danadekuat akan memperburuk keadaan.
DBD Derajat I dan II akan memberikan prognosis yang baik,
penatalaksanaan yang cepat, tepat akan menentukan prognosis. Umumnya
derajat I dan II tidak menyebabkan komplikasi sehingga dapat sembuh sempurna.
DBD derajat III dan IV merupakan derajat sindrom syok dengue dimana
pasien jatuh ke dalam keadaan syok dengan atau tanpa penurunan kesadaran.
Tanda-tanda penyembuhan:
Frekuensi nadi, tekanan darah, dan frekuensi napas stabil
Suhu badan normal
Tidak dijumpai perdarahan baik eksternal maupun internal
Nafsu makan membaik
Tidak dijumpai muntah maupun nyeri perut
Volume urin cukup
30
Kadar hematokrit stabil pada kadar basal
Ruam konvalesens, ditemukan pada 20%-30% kasus.
J. Pencegahan
a. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan
tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
d. Foging Focus dan Foging Masal
- Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang
waktu 1 minggu
- Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam
jangka waktu 1 bulan
e. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan
menggunakan Swing Fog
f. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat.untuk sosialisasi penanggulangan DBD.
31
BAB III
DISKUSI
Pada kasus ini, Pasien dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 4 jam
sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien mengalami demam naik turun
sejak 3 hari yang lalu. nafsu makan menurun, lemas, dan pasien senderung tidur,
mual, muntah (-), perdarahan gusi dan perdarahan hidung disangkal. BAK warna
seperti teh disangkal.
Informasi tersebut mengarahkan beberapa diagnosis banding seperti
demam berdarah dengue, demam karena infeksi virus, bisa berupa cikungunya
dan faringitis akut serta mengarahkan pula pada demam tifoid. Namun hasil
anamnesis saja belum cukup menegakan diagnosis. Untuk itu di lakukan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosis serta
mengeliminasi diagnosis banding lainnya.
Hasil pemeriksaan fisik ditemukan vital sign dengan Tekanan darah
120/90 mmHg, Nadi: 159 x/menit, respirasi: 28 x/menit dan suhu : 38.4oC, SpO2
98%. Pemeriksaan kepala dalam batas normal. Pemeriksaan leher dan thorak
dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan bising usus (+)
normal. Hepar dan lien dalam batas normal. Pada pemeriksaan ekstremitas di
temukan akral dingin, CRT <2 detik dan nadi teraba dalam.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah
lengkap. Hasil dari pemeriksaan tersebut didapatkan hitungan leukosit 10.95
ribu/uL, hitung angka trombosit menurun yaitu 44 ribu/uL Hasil pemeriksaan
tersebut mengeliminasi diagnosis banding lain selain Dengue Shock Syndrome
sesuai dengan kriteria WHO.
Pada pasien, peningkatan permeabilitas kapiler akan bertambah parah
dengan kehilangan volume plasma. Kadar hematokrit yang melebihi batas normal
dapat digunakan sebagai acuan melihat derajat keparahan kebocoran plasma. Syok
terjadi jika volume plasma berkurang hingga titik kritis dan sering didahului oleh
warning signs. Akumulasi cairan yang ditemukan secara klinis, peningkatan
hematokrit yang disertai penurunan cepat trombosit ditemui pada kasus ini.
32
Pada pasien ini dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik serta dengan
pemeriksaan darah lengkap ditegakan diagnosis yaitu demam dengue. Prinsip
penatalaksanaan pasien ini dengan memberikan resusitasi cairan menggunakan
kristaloid, dan pemberian terapi simptomatis serta edukasi untuk istirahat yang
cukup dan minum air putih yang banyak. Dalam resusitasi cairan perlu
disesuaikan dengan kondisi klinis pasien tesebut. Pada pasien ini diberikan
resusitasi awal menggunakan RA loading 150 cc dilanjutkan loading RA
20cc/kgBB. Kemudian dilakukan evaluasi vital sign dan kondisi klinis pasien.
Pemberian cairan asering ini di indikasikan untuk mengganti kebutuhan
cairan pasien yang hilang. Dan cairan asering sebagai asupan energi untuk pasien
karena nafsu makan menurun. Pengaturan pemberian cairan pada pasien dengue
bervariasi, sesuai dengan derajat dan kondisi klinis pasien. Terapi yang diberikan
pada pasein demam dengue hanya untuk memperbaiki keluhan simptomatik dan
meningkatkan imunitas. Pemberian antibiotik pada kasus Dengue Shock
Syndrome dimungkinkan untuk menghindari infeksi sekunder pada pasien.
Pada kasus ini diberikan cairan selanjutnya dilakukan evaluasi dan apabila
terjadi perbaikan maka dilanjutkan terapi cairan maintenance, selain itu pasien
juga diberikan drip dobutamin untuk menangani shock yang dialami oleh pasien,
dan juga diberikan injeksi antipiretik, dan antiemetik.
33
DAFTAR PUSTAKA
34
Tropical medicine & international health : TM & IH, 2008. 13(11): p. 1328-
1340.
12. Singhi, S., N. Kissoon, and A. Bansal, Dengue and dengue hemorrhagic fever:
management issues in an intensive care unit. J Pediatr (Rio J), 2007. 83(2 Suppl): p.
S22-35.
13. Soegijanto S, 2004. Demam berdarah dengue. Airlangga University Press Surabaya.
Hal 99.
14. Tantawichien, T., Dengue fever and dengue haemorrhagic fever in adolescents and
adults. Paediatrics and International Child Health, 2012. 32(s1): p. 22-27.
15. Whitehorn, J. and J. Farrar, Dengue. British Medical Bulletin, 2010. 95(1): p. 161-
173.
16. WHO. Dengue: Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. 2009;
Available from: www.who.int/rpc/guidelines/9789241547871/en/.
17. WHO. National Guidelines for Clinical Management of Dengue Fever. 2014:1-35
18. WHO. Weekly epidemiological record. 2016; Available from:
http://www.who.int/wer/2016/wer9130.pdf?ua=1.
19. World Health Organization. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam
Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Jakarta.: WHO Departemen Kesehatan
RI.2003.
20. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and
Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive Guidelines.
New Delhi : WHO.2009.
21. Zaki, S.A., Pleural Effusion and Ultrasonography in Dengue Fever. Indian Journal of
Community Medicine : Official Publication of Indian Association of Preventive &
Social Medicine, 2011. 36(2): p. 163-163.
35