Anda di halaman 1dari 21

PORTOFOLIO

KASUS MEDIK
Hipertiroid

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU SYARAT DALAM


MENEMPUH
PROGRAM DOKTER INTERNSIP
DI RUMKIT TINGKAT III BALADHIKA HUSADA
KABUPATEN JEMBER

Oleh:
dr. Natalia Fajar Indah

Pembimbing:
dr. Agus Yudho Santoso, Sp.PD, FINASM

Pendamping:
dr. Crystalia

RUMKIT TINGKAT III BALADHIKA HUSADA


KABUPATEN JEMBER
2019
Portofolio Kasus Medik
Nama Peserta : dr. Natalia Fajar Indah
Nama Wahana : Rumkit Tk. III Baladhika Husada Jember
Topik : Hipertiroid
Tanggal Kasus: 1 November Nama Presenter:
2019 dr. Natalia Fajar Indah
Tanggal Presentasi : Nama Pembimbing :
dr. Agus Yudho Santoso, Sp.PD, FINASM
Nama Pendamping :
dr. Crystalia
Tempat Presentasi :
Obyektif Presentasi :
■ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
■ Diagnostik □ Manajemen ■ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja ■ Dewasa □ Lansia □ Bumil
Deskripsi : Seorang wanita usia 59 tahun datang dengan keluhan benjolan pada
leher sejak kurang lebih 30 tahun yang lalu. Awalnya benjolan kecil sehingga
pasien merasa tidak terganggu, dan sekarang terasa semakin membesar dan
semakin terlihat. Pasien juga mengeluhkan kadang terasa sesak saat melakukan
aktivitas, sering berdebar, merasa lelah, keringat berlebihan,, nafsu makan tinggi
namun berat badan cenderung menurun. Saat ini pasien juga mengeluhkan nyeri
pada perut daerah ulu hati. Mual (+) muntah (+) tiap kali makan. Pasien sudah
berobat ke mantri untuk nyeri ulu hatinya namun keluhan masih tetap.

Tujuan : Mempelajari cara mendiagnosis dan memberikan terapi pada kasus


hipertiroid
Bahan Bahasan : □ Tinjauan Pustaka □ Riset ■ Kasus □ Audit
Cara Membahas : ■ Diskusi □ Presentasi dan diskusi □ Email □ Pos
Data Pasien :
Nama : Ny. NK No. Register : 09.43.30
Nama RS : Rumkit Tk. III Telp : - Terdaftar sejak :
2|Page
Baladhika Husada Jember
1 November 2019
Data Utama Untuk Bahan Diskusi :
ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
Benjolan pada leher
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang wanita usia 59 tahun datang dengan keluhan benjolan pada leher
sejak kurang lebih 30 tahun yang lalu. Awalnya benjolan kecil sehingga
pasien merasa tidak terganggu, dan sekarang terasa semakin membesar dan
semakin terlihat. Pasien juga mengeluhkan kadang terasa sesak saat
melakukan aktivitas, sering berdebar, merasa lelah, keringat berlebihan,, nafsu
makan tinggi namun berat badan cenderung menurun. Saat ini pasien juga
mengeluhkan nyeri pada perut daerah ulu hati. Mual (+) muntah (+) tiap kali
makan. Pasien sudah berobat ke mantri untuk nyeri ulu hatinya namun
keluhan masih tetap.
Riwayat Penyakit Dahulu
HT (+)
Riwayat Penyakit Keluarga
Disangkal
Riwayat Pengobatan
Pasien mendapat antasida 3x1, captopril 3x25mg, metoclopramide 3x10mg
Riwayat Alergi
Pasien mengatakan tidak ada riwayat alergi makanan ataupun obat.

PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 1 November 2019
Keadaan Umum: Cukup
Kesadaran: Compos Mentis; GCS: 4-5-6
Berat badan: 55 kg

3|Page
Tanda-tanda vital: Tekanan darah = 160/100 mmHg; Nadi = 113x/menit
RR = 20x/menit; suhu = 36,3° C
Kepala/leher: anemis/ikterik/cyanosis/dyspnea = -/-/-/-
Thorak: Cor = S1S2 tunggal, tidak ada extrasistole, gallop, maupun murmur
Pulmo = vesikuler +/+ rhonki -/- wheezing -/-
Abdomen: cembung, BU normal, tympani, soepel, nyeri tekan (+) epigastrium
Extremitas: akral hangat; tidak oedema;
Status lokalis regio colli :
Inspeksi : tampak massa saat posisi kepala normal yang ikut bergerak saat
menelan.
Palpasi : teraba massa yang ikut bergerak saat menelan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Darah lengkap
Hemoglobin 14,0 g/dl 11,4-15,1
Leukosit 7.190 /mm3 4300-11300
Hematokrit 39,4 % 40-47
Trombosit 226.000 /mm3 150.000-450.000
Eritrosit 4.92 juta/µL 4.0-5.0
BSS/GDA 186,1 mg/dL 70-140

DIAGNOSIS
Nodul Thyroid + Syndrome Dyspepsia

TERAPI
Infus Asering + ketorolac 2 ampul 7 tpm
Inj Omeprazole 2x40mg
Inj Ondansentron 3x4mg
PO : Amlodipine 10mg 1x1

4|Page
Sucralfat syr 3xC1
Braxidin 2x1
Pro USG thyroid
Pro Cek TSH, FT4

Follow up
Tanggal 2 November 2019
Subyektif: mual (+), muntah (-), perut terasa nyeri (+), benjolan pada leher (+)
Obyektif:
Keadaan Umum: Cukup
Kesadaran: Compos Mentis; GCS: 4-5-6
Tanda-tanda vital: Tekanan darah = 120/90 mmHg; Nadi = 96/menit
RR = 20x/menit; suhu = 36,6° C
Kepala/leher: anemis/ikterik/cyanosis/dyspnea = -/-/-/-
Thorak: Cor = S1S2 tunggal, tidak ada extrasistole, gallop, maupun murmur
Pulmo = vesikuler +/+ rhonki -/- wheezing -/-
Abdomen: cembung, BU normal, tympani, soepel, nyeri tekan epigastrium
Extremitas: akral hangat; tidak oedema.
Status lokalis regio colli :
Inspeksi : tampak massa saat posisi kepala normal yang ikut bergerak saat
menelan.
Palpasi : teraba massa yang ikut bergerak saat menelan.

Hasil USG thyroid : kesimpulan : struma diffusa bilateral


Hasil lab TSH : <0,005
FT 4 : 3,94

Assesment: Hipertiroid + Syndrome Dyspepsia

Planning:
Infus Asering + ketorolac 2 ampul 7 tpm

5|Page
Inj Omeprazole 2x40mg
Inj Ondansentron 3x4mg
PO : amlodipine 10mg 1x1
Sucralfat syr 3xC1
Braxidin 2x1
PTU 3x200mg

Tanggal 3 November 2019


Subyektif: mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), benjolan pada leher (+)
Obyektif:
Keadaan Umum: Cukup
Kesadaran: Compos Mentis; GCS: 4-5-6
Tanda-tanda vital: Tekanan darah = 110/70 mmHg; Nadi = 96/menit
RR = 20x/menit; suhu = 36,6° C
Kepala/leher: anemis/ikterik/cyanosis/dyspnea = -/-/-/-
Thorak: Cor = S1S2 tunggal, tidak ada extrasistole, gallop, maupun murmur
Pulmo = vesikuler +/+ rhonki -/- wheezing -/-
Abdomen: cembung, BU normal, tympani, soepel.
Extremitas: akral hangat; tidak oedema.
Status lokalis regio colli :
Inspeksi : tampak massa saat posisi kepala normal yang ikut bergerak saat
menelan.
Palpasi : teraba massa yang ikut bergerak saat menelan.

Assesment: Hipertiroid + Syndrome Dyspepsia

Planning:
Acc KRS  aff infus
P/o
PTU 3x200mg
Sucralfat Syr 3xC1

6|Page
Amlodipine 10 mg 1x1

KIE :
Minum obat teratur dan kontrol rutin ke dokter spesialis penyakit dalam

Hasil Pembelajaran :
1. Manifestasi klinis Hipertiroid
2. Pemeriksaan dan diagnosis Hipertiroid secara cepat, tepat, dan akurat
3. Penanganan kasus Hipertiroid secara tepat
Daftar Pustaka:
Bruncardi, F.C., et al. 2014. Thyroid, Parathyroid, and Adrenal in Schwartz’s
Principal Of Surgery 9th Edition. United States of America.
Djokomoeljanto,R. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Kelenjar Tiroid,
Hipotiroidisme dan Hipertiroidsme. Jakarta : Pusat Penerbit FKUI.
Jasalim U. 2011. Struma difusa toksik. Samarinda : Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman.
Rani, A. 2009. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta : Pusat Penerbit Ilmu Penyakit
Dalam.
Sudoyo AW. 2007. Buku ajar penyakit dalam jilid II edisi IV. Jakarta Pusat.

7|Page
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio Kasus Medik

Subjektif:
Seorang wanita usia 59 tahun datang dengan keluhan benjolan pada leher
sejak kurang lebih 30 tahun yang lalu. Awalnya benjolan kecil sehingga pasien
merasa tidak terganggu, dan sekarang terasa semakin membesar dan semakin
terlihat. Pasien juga mengeluhkan kadang terasa sesak saat melakukan aktivitas,
sering berdebar, merasa lelah, keringat berlebihan, nafsu makan tinggi namun
berat badan cenderung menurun. Saat ini pasien juga mengeluhkan nyeri pada
perut daerah ulu hati. Mual (+) muntah (+) tiap kali makan. Pasien sudah berobat
ke mantri untuk nyeri ulu hatinya namun keluhan masih tetap.

Objektif:
Menurut hasil pemeriksaan fisik awal didapatkan pemeriksaan vital sign
nadi meningkat lebih dari 90x/menit dan tekanan darah mencapai 160/100 mmhg.
Dan pemeriksaan pada regio colli :
Inspeksi : tampak massa saat posisi kepala normal yang ikut bergerak saat
menelan.
Palpasi : teraba massa yang ikut bergerak saat menelan.

Assessment:
Hipertiroid adalah suatu gangguan dimana kelenjar tiroid memproduksi
lebih banyak hormon tiroid yang dibutuhkan oleh tubuh. Kadang-kadang disebut
juga tirotoksikosis. Wanita lebih banyak mengalami kejadian ini dibandingkan
dengan pria. Hipertiroid merupakan penyakit metabolik yang menempati urutan
kedua terbesar setelah diabetes melitus. (Sudoyo, 2007 ; Jasalim, 2011).
Perlu dibedakan antara pengertian tirotoksikosis dengan hipertiroidsme.
Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar
dalam sirkulasi. Hipertiroidsme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh
kelenjar tiroid yang hiperkatif. Apapun sebabnya manifestasi kliniknya sama,

8|Page
karena efek ini disebabkan ikatan T3 dengan reseptor T4-inti yang makin penuh
(Sudoyo, 2007).

Beberapa penyebab terjadinya hipertiroid adalah (Jasalim, 2011 ; Sudoyo, 2007):


1. Penyakit Grave
Pada penyakit grave sistem imun membuat antibodi yang disebut thyroid
stimulating immunoglobulin (TSI), dimana memiliki struktur yang hampir
sama dengan TSH dan menyebabkan peningkatan hormon tiroid yang
lebih banyak dalam tubuh.
2. Nodul Tiroid
Nodul tiroid yang dikenal juga sebagai adenoma adalah benjolan yang
terdapat pada tiroid. Nodul tiroid umumnya bukan suatu keganasan. 3 -7%
populasi memiliki resiko terjadinya nodul tiroid. Nodul dapat menjadi
hipereaktif dan menghasilkan banyak hormon tiroid. Suatu nodul yang
hiperaktif disebut adenoma toksik dan apabila melibatkan banyak nodul
yang mengalami hiperaktif disebut sebagai goiter multinodular toksik.
Meskipun jarang ditemukan pada orang dewasa goiter multinodular toksik
dapat memproduksi lebih banyak hormon tiroid.
3. Tiroiditis
Beberapa jenis tiroiditis dapat menyebabkan hipertiroidisme. Tiroiditis
tidak menyebabkan tiroid untuk menghasilkan hormon berlebihan.
Sebaliknya, hal itu menyebabkan hormon tiroid yang disimpan, bocor
keluar dari kelenjar yang meradang dan meningkatkan kadar hormon
dalam darah.
a. Tiroiditis subakut
Kondisi ini berkembang akibat adanya inflamasi pada kelenjar tiroid
yang dapat diakibatkan dari infeksi virus atau bakteri.
b. Tiroiditis postpartum
Tiroiditis post partum diyakini kondisi autoimun dan menyebabkan
hipertiroidisme yang biasanya berlangsung selama 1 sampai2 bulan.
Kondisi ini akan terulang kembali dengan kehamilan berikutnya.

9|Page
c. Tiroiditis “silent”
Jenis tiroiditis disebut "silent" karena tidak menimbulkan rasa sakit,
seperti tiroiditis post partum, meskipun tiroid dapat membesar. Seperti
tiroiditis post partum, tiroiditis “silent” mungkin suatu kondisi
autoimun.
4. Penggunaan Yodium
Kelenjar tiroid menggunakan yodium untuk membuat hormon tiroid,
sehingga jumlah yodium yang dikonsumsi berpengaruh pada jumlah
hormon tiroid yang dihasilkan. Pada beberapa orang, mengkonsumsi
sejumlah besar yodium dapat menyebabkan tiroid untuk membuat hormon
tiroid berlebihan. Kadang-kadang jumlah yodium yang berlebihan
terkandung dalam obat - seperti amiodarone, yang digunakan untuk
mengobati masalah jantung. Beberapa obat batuk juga mengandung
banyak yodium.
5. Medikasi berlebihan dengan hormon tiroid
Beberapa orang yang menderita hipotiroid akan mengkonsumsi hormon
tiroid lebih banyak, yang terkadang akan menyebabkan kelebihan hormon
tiroid dalam tubuh. Selain itu, beberapa obat juga dapat meningkatkan
sekresi hormon tiroid. Oleh sebab itu, penggunaan obat-obat haruslah
dengan konsultasi pada tenaga kesehatan.

Gejala klinis dari hipertiroid dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk umur
penderita, lamanya menderita hipertiroid dan kepekaan organ terhadap kelebihan
kadar hormon tiroid. Manifestasi klinis paling sering dirasakan adalah penurunan
berat badan padahal nafsu makan baik, kelelahan atau kelemahan otot, tremor,
gugup, berdebar-debar, keringat berlebihan, tidak tahan panas, palpitasi dan
pembesaran tiroid dan payah jantung. Gejala ini dapat berlangsung beberapa hari
sampai beberapa tahun. Bahkan, kadang-kadang penderita juga tidak menyadari
penyakitnya (Sudoyo, 2007).

Gejala Serta Tanda Hipertiroidisme Umumnya dan pada Penyakit Graves

10 | P a g e
Sistem Gejala dan Tanda Sistem Gejala dan
Tanda
Umum Tak tahan hawa Psikis dan saraf Labil. Iritabel,
panas, tremor, psikosis,
hiperkinesis, nervositas,
capek, BB turun, paralisis periodik
tumbuh cepat, dispneu
toleransi obat,
youth fullness
Gastrointestinal Hiferdefekasi, Jantung hipertensi, aritmia,
lapar, makan palpitasi, gagal
banyak, haus, jantung
muntah, disfagia,
splenomegali
Muskular Rasa lemah Darah dan Limfositosis,
limfatik anemia,
splenomegali,
leher membesar
Genitourinaria Oligomenorea, Skelet Osteoporosis,
amenorea, libido epifisis cepat
turun, infertil, menutup dan nyeri
ginekomastia tulang
Kulit Rambut rontok,
berkeringat, kulit
basah, silky hair
dan onikolisis
Tabel 1. Gejala Serta Tanda Hipertiroidisme Umumnya dan pada Penyakit Graves
(Djokomoeljanto, 2006)

Diagnosis:

11 | P a g e
Diagnosis suatu penyakit hampir pasti diawali oleh kecurigaan klinis. Untuk
ini telah dikenal indeks klinis Wayne yang didasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik teliti. Kemudian diteruskan dengan pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi
diagnosis anatomis, status tiroid dan etiologi (Rani, 2009).

Menurut indeks Wayne jika >20, maka dapat dikatakan hipertiroid. Pada
kasus ini didapatkan keluhan sesak saat kerja (+1), berdebar (+2), kelelahan (+2),
keringat berlebihan (+3), nafsu makan meningkat (+3), berat badan turun (+3),
suka udara dingin (+5), tiroid teraba (+3), nadi >90 x/menit (+3), dan indeks
Wayne pada kasus ini didapatkan nilai 25 sehingga dapat dikatakan sebagai
hipertiroid.
Manifestasi klinis hipertiroid umumnya dapat ditemukan. Sehingga mudah
pula dalam menegakkan diagnosa. Namun pada kasus-kasus yang sub klinis dan
orang yang lanjut usia perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk
membantu menetapkan diagnosa hipertiroid. Diagnosa pada wanita hamil agak

12 | P a g e
sulit karena perubahan fisiologis pada kehamilan seperti pembesaran tiroid serta
manifestasi hipermetabolik, sama seperti pada tirotoksikosis. Meskipun diagnosa
sudah jelas, namun pemeriksaan laboratorium untuk hipertiroidisme perlu
dilakukan, adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan (Sudoyo, 2007 ;
Rani, 2009) :
 Laboratorium : TSHs, T4 atau fT4, T3 atau fT3, TSH Rab, kadar leukosit
(bila timbul infeksi pada awal pemakaian obat antitiroid)
 Sidik Tiroid/thyroid scan : terutama membedakan penyakit Plummer dari
penyakit Graves dengan komponen nodosa
 EKG
 Foto torak

Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema


dibawah ini :

Gambar 1. Skema Kelainan Laboratorium pada kelainan Hipertiroidisme (Sudoyo,


2007).

13 | P a g e
Menurut Bayer MF kombinasi hasil pemeriksaan laboratorium Thyroid
Stimulating Hormone sensitif (TSHs) yang tak terukur atau jelas subnormal dan
free T4 (FT4) meningkat, jelas menunjukan hipertiroidisme (Sudoyo, 2007).

Pengobatan:
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya
tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan
respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya,
1. Obat – obatan
a. Obat Antitiroid :
Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan
imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan
imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat
golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama
dengan metimazol (Djokomoeljanto, 2006).
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.
Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi
biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi
dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah
struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin.
Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat
konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada
metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini,
PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan
penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan
metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang
dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal
(Djokomoeljanto, 2006).
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis
dan jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa

14 | P a g e
kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan
methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya
dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat
antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan
eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan
secara tunggal pagi hari) (Rani, 2009).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-
150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200
mg , 1 atau 2 kali sehari. Propylthiouracil mempunyai kelebihan
dibandingkan methimazole karena dapat menghambat konversi T4
menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat
pada fase akut dari penyakit Graves (Rani, 2009).
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat
diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis
methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 5 – 20 mg perhari (Djokomoeljanto, 2006).
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis
tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU
dimulai dengan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai
dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah
periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan
biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai
dosis terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang
masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas
dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek
perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai
dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab
lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis
(Djokomoeljanto, 2006 ; Rani, 2009).

15 | P a g e
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya
efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping
agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like
syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan.
Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu
penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk
terapi alternatif yaitu yodium radioaktif. Agranulositosis biasanya ditandai
dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu
diberikan antibiotika (Djokomoeljanto, 2006).
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian
terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik,
Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk
mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi
perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes
fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi.
Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan
memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih
modalitas pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi (Rani, 2009).
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat
dicoba ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol
atau sebaliknya (Rani, 2009).
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat
penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan
kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan
sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna
menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan sesuai
respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid.
Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih
mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi
dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap dapat
diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti

16 | P a g e
Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut (Djokomoeljanto,
2006 ; Rani, 2009) :
1. Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2. Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian
Obat Anti Tiroid dosis rendah.
3. Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.

Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila


terdapat T-3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan
efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak
terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai.
Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah berat badan, nadi,
tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata (Sudoyo, 2007).

b. Obat Golongan Penyekat Beta


Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida,
sangat bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis
(hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi
panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek
antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikit-
menurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap konversi T-4
ke T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari
(Djokomoeljanto, 2006).
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta
dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol.
Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari
mempunyai efek serupa dengan propranolol (Djokomoeljanto, 2006).
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik. Beberapa
efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala, insomnia,
fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan,
demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat

17 | P a g e
beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali
gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga
dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan
pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase
(Djokomoeljanto, 2006).

c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic
contrast, potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai
efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai
regimen standar pengelolaan penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian
digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi
atau setelah terapi iodium radioaktif (Djokomoeljanto, 2006).
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda
dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan.
Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan
relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai
2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan
OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi setelah pengobatan
dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan,
kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang
tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif
terhadap OAT (Djokomoeljanto, 2006).
Pemeriksaan laboratorium perlu diulang setiap 3 - 6 bulan untuk
memantau respons terapi, dimana yang paling bermakna adalah
pemeriksaan kadar FT4 dan TSH (Djokomoeljanto, 2006).

2.Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan
struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan

18 | P a g e
eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu ,
selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5
tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar
dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat
mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat (Bruncardi,
2014).
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan
oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan
tiroid yang ditinggalkan , dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli
bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan
penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi
pada penyakit Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus
recurrens merupakan komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1%
kasus (Bruncardi, 2014).

3.Terapi Yodium Radioaktif


Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari
50 tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui
efek ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan
iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain
disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam
perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik.
Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan
tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi
hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1
tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna
untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid.
Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman , tidak
mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak
ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah
mendapat pengobatan yodium radioaktif (Bruncardi, 2014).

19 | P a g e
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau
menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium
radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain
kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium
radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang
berpendapat bahwa pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk
pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini
seringkali kambuh dengan OAT (Bruncardi, 2014).
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang
kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena
massa yodium dalam dosis I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat
diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat
penyekat beta dan / atau OAT. Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif
terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis I131 dan beberapa faktor lain seperti
faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari
(Bruncardi, 2014).
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis;
makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian
hipotiroidisme. Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat
jaringan tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2
tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya (Bruncardi, 2014).

Komplikasi:
Komplikasi hipertiroidisme yang dapat mengancam nyawa adalah krisis
tirotoksik (thyroid storm). Hal ini dapat berkembang secara spontan pada pasien
hipertiroid yang menjalani terapi, selama pembedahan kelenjar tiroid, atau terjadi
pada pasien hipertiroid yang tidak terdiagnosis. Akibatnya adalah pelepasan HT
dalam jumlah yang sangat besar yang menyebabkan takikardia, agitasi, tremor,

20 | P a g e
hipertermia (sampai 1060F), dan apabila tidak diobati dapat menyebabkan
kematian (Jasalim, 2011).
Komplikasi lainnya adalah penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati
Graves, dermopati Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan
obat antitiroid. Hipertiroid yang terjadi pada anak-anak juga dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan (Jasalim, 2011).

Prognosis :
Prognosis penyakit yang berhubungan dengan keadaan hipertiroid tidak sebaik
dengan keadaan hipotiroid. Kemampuan dan pengetahuan seorang pemeriksa
sangat dibutuhkan untuk menentukan prognosis dari penyakit ini. Kegagalan
terapi memberikan prognosis yang buruk bagi penderita hipertiroidism. Operasi
tiroid atau yodium radioaktif biasanya akan menyebabkan hipotiroid. Tanpa
penanganan yang tepat dari pengganti hormone tiroid, hipotiroid dapat
menyebabkan terjadinya depresi, kelesuan fisik dan mental (Jasalim, 2011).

Pendidikan:
Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga agar pasien beristirahat cukup,
mematuhi segala saran dari dokter tentang pengobatan, rutin untuk mengkontrol
penyakit, menjelaskan prognosis kepada pasien dan keluarga.

Konsultasi: Konsultasi kepada dokter spesialis penyakit dalam

21 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai