OLEH :
dr. Rynda Firsta Rosandy
PEMBIMBING :
dr. Debby
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki – laki
TTL : Bengkulu, 07 Agustus 1986
Usia : 36 tahun
Pekerjaan : karyawan swasta
Pendidikan : SMA
Agama/Suku : Islam/Jawa
MRS : 15 April 2022
2.2. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Nyeri perut daerah ulu hati
d. Riwayat Pengobatan
Untuk keluhan kali ini, pasien belum dibawa berobat
sebelumnya.
f. Riwayat Sosial
Pasien merupakan karyawan swasta, sehari-hari banyak
pekerjaan sehingga sering telat makan.
Balottement: -/-
MCH 27,5 pg 27 – 34
RDW - CV 13 % 11-16
S O A P
Pasien KU: cukup GERD -IVFD RL 1500 cc/ 24
mengatakan Tax: 36 C jam
nyeri ulu hati TD : 120/80 - Inj Omeprazole 2 x 1
sudah HR : 82 amp
berkurang, RR : 20 - Inj Ondansentron 3x1
sensasi amp
terbakar dan - Sucralfat syr 3x C I
rasa naik di
kerongkongan
berkurang,
muntah(+),
mual(+),
diare(-)
Follow up (17/04/2022)
S O A P
Pasien KU: cukup GERD -IVFD RL 1500 cc/ 24
mengatakan Tax: 36,5 jam
nyeri ulu hati TD : 120/80 - Inj Omeprazole 2 x 1
sudah HR : 80 amp
berkurang, RR : 20 - Inj Ondansentron 3x1
sensasi amp
terbakar dan - Sucralfat syr 3x C I
rasa naik di
kerongkongan
(-), muntah
(-),
Mual (+),
diare(-)
Follow up (19/04/2022)
S O A P
Pasien KU: cukup GERD -IVFD RL 1500 cc/ 24
mengatakan Tax: 36,5 jam
nyeri ulu hati TD : 120/80 - Omeprazole tab 2 x
(-),sensasi HR : 82 20 mg
terbakar dan RR : 20
rasa naik di
kerongkongan
(-), muntah
(-), mual (-)
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
3.2. Etiologi
Penyakit GERD dapat disebabkan oleh karena kelebihan
aliran retrogad dari asam dari gaster ke esofagus. Esofagus dan
gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure
zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter
(LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan
kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat
menelan, atau retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau
muntah. Aliran balik gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi
apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg). Pada
GERD, masalah pada mekanik (hypotensive LES) dan fungsional
(transient LES relaxation) menjadi penyebab utama terjadinya
GERD.1 Selain itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus bawah
oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol juga
ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks. 3
3.3. Epidemiologi
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara –
negara barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara
Asia- Afrika. Di amerika di laporkan satu dari lima orang dewasa
mengalami gejala heartburn atau regurgutasi sekali dalam
seminggu serta lebih dari 40 % mengalaminya sekali dalam
sebulan. Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%, sementara
negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan
2,7% di Korea). Sementara di Indonesia belum ada data
epidemiologinya.4
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan, tidak ada
predileksi seksual. Rasio laki-laki dan wanita untuk terjadinya
GERD adalah 2:1 sampai 3:1.6 GERD pada negara berkembang
sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun
merupakan usia yang seringkali mengalami GERD.7
3.4. Patogenesis
Faktor ofensif
Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya
rusak refluksat. Kandungan lambung yang juga ikut berpengaruh
dalam kerusakan mukosa gaster (menambah daya rusak refluksat)
antar lain HCl, pepsin, garam empedu, enzim pankreas. 4
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan
yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin
meningkat pada Ph < 2, atau adanya pepsin dan garam empedu.
Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya rusak tinggi. 4
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD
adalah kelainan lambung yang meningkatkan terjadinya refluks
fisiologis, antara lain : dialatasi lambung atau obstruksi gastric
outlet dan lambatnya pengosongan lambung.4
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi
penyebab GERD . Pada kondisi pengosongan lambung yang
lambat, maka isi dari lambungpun juga banyak. Hal ini berakibat
meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster yang
meningkat ini akan berlawanan dengan kerja dari LES. Pada
keadaan ini, biasanya LES akan kalah oleh tekanan intragaster dan
terjadilah refluks.7
3.7. Penatalaksanaan
Terapi Medikamentosa(3,4,7)
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up
dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai
dengan obat yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam
(antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal baru
diberikan yang lebih kuat menekan sekresi asam dengan masa
terapi lebih lama yaitu penghambat pompa proton. Sedangkan
untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana berupa PPI
terlebih dahulu, setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat dengan
kerja yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam lambung,
yaitu antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.
Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step
down lebih ekonomis dibandingkan dengan step up. Menurut
Genval statement ((1999) dan konsensus asia pasifik tahun 2003
tentang tatalaksana GERD, disepakati bahwa terapi dengan PPI
sebagai terapi lini pertama dan digunakan pendekatan step down.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam
terapi GERD :
Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak
tahun 1971, dan masih dinilai efektif hingga sekarang dan tidak
menimbulkan esofagitis(4,6,7). Selain sebagai penekan asam
lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan LES(4,6).
Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang enak.
Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium
serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium,
Selain itu penggunaannya sangat terbatas untuk pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Dosis sehari 4x1 sendok makan. 4
Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. 6 Yang
termasuk obat golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin
dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini
efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika
diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus (3,4).
Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan yang berat,
misalnya dengan barrett’s esophagus.7
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat
ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150
mg.4
Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk
pengobatan GERD karena penyakit ini dianggap lebih condong
kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya, pengobatan GERD
sangat bergantung pada penekanan sekresi asam. 4 Obat ini
berfungsi untuk memperkuat tonus LES dan mempercepat
pengosongan gaster.6
1. Metoklopramid4
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak
berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali
dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek
terhadap saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi,
tremor, dan diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur. 3
2. Domperidon4
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan
metoklopramid) hanya saja obat ini tidak melewati sawar
darah otak, sehingga efek sampingnya lebih jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun
obat ini diketahui dapat menigkatkan tonus LES dan
percepat pengosongan lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari
3. Cisapride4
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini
dapat memperkuat tonus LES dan mempercepat
pengosongan lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta
penyembuhan lesi lebih bagus dari domperidon.
c. Dosis 3x10 mg
(3,4)
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam
lambung, melainkan berefek pada meningkatkan pertahanan
mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta
dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini
cukup aman karen bersifat topikal. Dosis 4x1 gram
Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya
kegagalan terapi medikamentosa pada pasien GERD, antara lain :
Diagnosa yang tidak benar, pasien GERD sering disertai gejala lain
seperti rasa kembung, cepet kenyang dan mual-mual yang lebih
lama menyembuhkan esofagitisnya. Pada kasus Barrett’s esofagus
kadang tidak memberikan respon terhadap terapi PPI, begitu pula
dengan adenokarsinoma dan bila terjadi striktura. Pada disfungsi
LES juga memiliki hasil yang tidak memuaskan dengan PPI. 4
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika
terapi modifikasi gaya hidup dan medikmentosa tidak berhasil.
Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi (3,4,6,7).
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, Pasien dengan keluhan nyeri perut ulu hati sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri menetap terasa perih dan dirasakan
naik ke kerongkongan dengan sensasi terbakar dan rasa asam. Hal
tersebut dirasakan terutama saat malam hari. mual (+), dan muntah (+) 2
kali, cair dan ampas warna kuning setiap makan sejak 1 hari sebelum
MRS, nafsu makan menurun. Diare (+) sejak 3 hari terakhir, diare cair dan
sedikit ampas.
Informasi tersebut mengarahkan beberapa diagnosis banding seperti
Gastroenteritis Akut dan Dyspepsia Fungsional. diare karena infeksi
parasit, bakteri dan bisa dikarenakan asupan makanan yang kurang.
Namun hasil anamnesis saja belum cukup menegakan diagnosis. Untuk
itu di lakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk
menegakan diagnosis serta mengeliminasi diagnosis banding lainnya.
Hasil pemeriksaan fisik ditemukan vital sign dengan Tekanan darah
120/80 mmHg, Nadi: 82 x/menit, respirasi: 20 x/menit dan suhu : 37.1oC.
Pemeriksaan kepala dalam batas normal. Pemeriksaan leher dan thorak
dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan bising usus
(+) meningkat dan nyeri tekan epigastrik. Hepar dan lien dalam batas
normal. Pada pemeriksaan ekstremitas di temukan akral hangat, CRT <2
detik.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan
darah lengkap. Hasil dari pemeriksaan tersebut didapatkan hitungan
leukosit normal yaitu 3,9 ribu/ul yang mengindikasikan tidak ada infeksi.
hitung angka trombosit normal yaitu 219 ribu/uL Hasil pemeriksaan
tersebut mengeliminasi diagnosis banding lain selain Gastroesophageal
Reflux Disease.
Pada pasien ini dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik serta dengan
pemeriksaan darah lengkap ditegakan diagnosis yaitu gastroesophageal
reflux disease. Prinsip penatalaksanaan pasien ini dengan memberikan
resusitasi cairan menggunakan kristaloid, dan pemberian terapi simptomatis
serta edukasi untuk istirahat yang cukup dan asupan nutrisi makanan yang
adekuat dan aman untuk lambung. Dalam resusitasi cairan perlu
disesuaikan dengan kondisi klinis pasien tesebut. Pada pasien ini diberikan
resusitasi awal menggunakan RL 500 cc dilanjutkan 1000cc / 24jam.
Kemudian dilakukan evaluasi vital sign dan kondisi klinis pasien.
Pemberian cairan asering ini di indikasikan untuk mengganti kebutuhan
cairan pasien yang hilang. Dan cairan asering sebagai asupan energi untuk
pasien karena nafsu makan menurun.
Pada kasus ini diberikan cairan selanjutnya dilakukan evaluasi dan
apabila terjadi perbaikan maka dilanjutkan terapi cairan maintenance, selain
itu pasien juga diberikan injeksi antiemetik, dan penghambat pompa proton
yaitu omeprazole yang merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan
GERD, sehingga dijadikan drug of choice(4,6,7). Golongan ini bekerja langsung
pada pompa proton sel parietal dengan memperngaruhi enzim H, K ATP –
ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam
lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta
penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat
yang refrakter dengan antagonis reseptor H 2
Selain itu juga diberikan terapi oral Sucralfat yang meningkatkan
pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus
serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu.
DAFTAR PUSTAKA