Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE

OLEH :
dr. Rynda Firsta Rosandy

PEMBIMBING :
dr. Debby

INSTALASI GAWAT DARURAT


RUMKIT JITRA BHAYANGKARA BENGKULU
2022
BAB 1
PENDAHULUAN

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD/ Penyakit Refluks


Gastroesofageal) adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh
kegagalan dari mekanisme antirefluks untuk melindungi mukosa esofagus
terhadap refluks asam lambung dengan kadar yang abnormal dan
paparan yang berulang. Refluks asam merupakan suatu pergerakan dari
isi lambung dari lambung ke esofagus dan merupakan keadaan fisiologis.
Refluks bisa terjadi pada semua orang, khususnya pada saat makan
banyak. Keadaan refluks asam patologis adalah ketika menghasilkan
gejala atau tanda rusaknya mukosa esofagus seperti erosi dan ulserasi
epitel skuamosa esofagus. GERD dapat terjadi pada semua kelompok
umur, umumnya ditemukan pada populasi di Negara-negara Barat, namun
dilaporkan relatif rendah insidennya di Negara-negara Asia-Afrika. GERD
umumnya lebih sering menyerang laki-laki daripada wanita. 1
Di Indonesia, penyakit ini sepintas tidak banyak ditemukan. Hanya
sebagaian kecil pasien GERD datang berobat pada dokter karena pada
umumnya keluhannya ringan dan menghilang setelah diobati sendiri
dengan antasida. Dengan demikian hanya kasus yang berat dan disertai
kelainan endoskopi dan berbagai macam komplikasinya yang datang
berobat ke dokter. Berbagai survei menunjukkan bahwa pada orang
dewasa menderita heartburn (rasa panas membakar di daerah
retrosternal), suatu keluhan klasik GERD. Sedangkan pada bayi dan
balita, tidak ada gejala kompleks yang dapat menegakan diagnosis GERD
atau memprediksi respon terhadap terapi. 2
Penyakit refluks
gastroesofageal (GERD) adalah penyakit organ esofagus yang banyak
ditemukan di negara barat. Tingginya kasus GERD pada populasi di
negara barat diduga disebabkan karena meningkatnya obesitas dan faktor
diet 3.
Manifestasi klinis penyakit refluks gastroesofagus sangat bervariasi
dan gejala yang timbul kadang-kadang sukar dibedakan dengan kelainan
4
fungsional lain dari traktus gastrointestinal . Oleh sebab itu, penyakit
refluks gastroesofageal sangat penting untuk dipelajari.
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki – laki
TTL : Bengkulu, 07 Agustus 1986
Usia : 36 tahun
Pekerjaan : karyawan swasta
Pendidikan : SMA
Agama/Suku : Islam/Jawa
MRS : 15 April 2022

2.2. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Nyeri perut daerah ulu hati

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS dengan keluhan nyeri perut daerah
ulu hati sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
dirasakan menetap pada daerah ulu hati, tidak menjalar. Nyeri
yang dirasakan adalah perih dan dirasakan naik dari daerah
dada ke atas kerongkongan dengan sensasi terbakar dan rasa
asam. Nyeri paling terasa di malam hari. Keluhan ini disertai
dengan mual (+), dan muntah (+) 2 kali, cair dan ampas warna
kuning setiap makan sejak 1 hari sebelum MRS, sehingga
nafsu makan pasien menurun. Diare (+) sejak 3 hari terakhir,
diare cair dan sedikit ampas. Panas disangkal. Buang air kecil
dirasa dalam batas normal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah sakit rawat inap di RS dengan keluhan yang
sama, dan membaik setelah dirawat, namun pasien lupa nama
obat yang diminum dulu.

d. Riwayat Pengobatan
Untuk keluhan kali ini, pasien belum dibawa berobat
sebelumnya.

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Pada keluarga pasien tidak didapatkan keluhan yang serupa.
DM (-) HT(-)

f. Riwayat Sosial
Pasien merupakan karyawan swasta, sehari-hari banyak
pekerjaan sehingga sering telat makan.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK (15 April 2022)


Status generalis
Keadaan Umum : tampak sakit sedang, VAS 7 kesan gizi cukup, BB =
65 kg
GCS 456 TD 120/80 mmHg Nadi 82 x/menit, regular, kuat
RR 20 x/menit, regular suhu 37,1° C
Kepala Pupil isokor 3mm/3mm
Conjunctiva anemic -/-
Sclera icteric -/-
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-)
Faring hiperemis (-)
Thoraks Simetris, retraksi (-)
Jantung Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V MCL Sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan : Sternal Line Dextra
Batas jantung kiri : Ictus
Auskultasi : S1S2 single regular, gallop (-),murmur (-)
Paru Inspeksi: gerak pernapasan simetris statis dan dinamis,
retraksi (-) suprasternal,
Palpasi: Fremitus raba N/N, nyeri tekan (-)
Perkusi Sonor / Sonor
Sonor / Sonor
Sonor / Sonor
Aus : Vesikular Rhonci Wheezing
- - - -
+ +
- - - -
+ +
- - - -
+ +

Abdomen Inspeksi : Flat, scar (-), darm contour (-)

Auskultasi : Bising Usus (+) normal

Palpasi : Nyeri tekan epigastric (+)

Hepar : tidak teraba

Lien : Teraba (-)

Balottement: -/-

Perkusi : timpani (+)


Extremities Akral hangat, kering, merah, CRT < 2 detik
Edema
- -
- -
2.4. DIAGNOSIS KERJA
Gastroesophageal reflux disease (GERD)

2.5. DIAGNOSIS BANDING


Gastroenteritis Akut
Dyspepsia fungsional

2.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium:
Darah Lengkap ( 15 April 2022)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan

WBC 7,9 109/μL 4-10

- Gran 3,4 43,5 109/μL % 2,0-7,0 50-70

- Lym 3,7 46,2 109/μL % 0,8– 4,0 20 – 40

- Mid 2,1 5,0 109/μL % 0,1- 1,2 3-14

RBC 4,68 1012/μL 3,50-5,00

HGB 12,9 g/dL 11,0-15,0

HCT 43,8 % 37,0-47,0

MCV 93,6 fL 80 – 100

MCH 27,5 pg 27 – 34

MCHC 29,4 g/dL 32-36

RDW - CV 13 % 11-16

PLT 219 109/μL 150 - 300

MPV 8,1 fL 6,5 – 12


2.7. MANAJEMEN
1. Planning therapy:
Farmakologi:
IVFD Ringer Lactate loading 500cc dilanjutkan
maintenance 1000 cc/24 jam
Inj Omeprazole 2 x 1 amp
Inj Ondansentron 3x1 amp
Sucralfat syr 3x C I
Attalpugit tab 1 x 2 ( prn diare )  maks 16 tab per hari
Zinc tab 1 x 20mg
Pro Konsul dokter Spesialis Penyakit Dalam
2. Planning Monitoring
Subjektif (nyeri), Vital Sign (GCS, Nadi, RR, suhu)
3. Planning Edukasi
- Menjelaskan mengenai penyakit dan penyebab kepada
pasien dan keluarga.
- Menjelaskan mengenai tatalaksana kepada pasien dan
keluarga.
- Menjelaskan mengenai komplikasi dan prognosis pada
pasien dan keluarga pasien.

Follow up dan Tata Laksana Lanjutan

Follow up: 16/04/2022

S O A P
Pasien KU: cukup GERD -IVFD RL 1500 cc/ 24
mengatakan Tax: 36 C jam
nyeri ulu hati TD : 120/80 - Inj Omeprazole 2 x 1
sudah HR : 82 amp
berkurang, RR : 20 - Inj Ondansentron 3x1
sensasi amp
terbakar dan - Sucralfat syr 3x C I
rasa naik di
kerongkongan
berkurang,
muntah(+),
mual(+),
diare(-)
Follow up (17/04/2022)
S O A P
Pasien KU: cukup GERD -IVFD RL 1500 cc/ 24
mengatakan Tax: 36,5 jam
nyeri ulu hati TD : 120/80 - Inj Omeprazole 2 x 1
sudah HR : 80 amp
berkurang, RR : 20 - Inj Ondansentron 3x1
sensasi amp
terbakar dan - Sucralfat syr 3x C I
rasa naik di
kerongkongan
(-), muntah
(-),
Mual (+),
diare(-)
Follow up (19/04/2022)
S O A P
Pasien KU: cukup GERD -IVFD RL 1500 cc/ 24
mengatakan Tax: 36,5 jam
nyeri ulu hati TD : 120/80 - Omeprazole tab 2 x
(-),sensasi HR : 82 20 mg
terbakar dan RR : 20
rasa naik di
kerongkongan
(-), muntah
(-), mual (-)
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi

Refluks gastroesofageal (GER = gastroesophageal reflux)


sendiri sebenarnya merupakan Gerakan atau usaha tubuh untuk
mengeluarkan isi lambung dari dalam lambung ke esofagus.
Kejadian ini dapat terjadi setiap saat pada setiap orang, biasanya
tanpa menimbulkan keluhan maupun gejala kerusakan organ.
Karena itu, GER sebenarnya bukan suatu penyakit, tetapi lebih
banyak merupakan proses fisiologis yang normal. Namun GER
dapat bersifat patologik, bila peristiwa ini menimbulkan keluhan dan
gejala kerusakan jaringan dalam esofagus, larings, dan saluran
nafas. Bila hal ini terjadi, penderita yang mengalami hal ini disebut
sebagai penderita Penyakit Refluks Gastroesofageal (GERD =
gastroesophageal reflux disease).5

3.2. Etiologi
Penyakit GERD dapat disebabkan oleh karena kelebihan
aliran retrogad dari asam dari gaster ke esofagus. Esofagus dan
gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure
zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter
(LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan
kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat
menelan, atau retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau
muntah. Aliran balik gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi
apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg). Pada
GERD, masalah pada mekanik (hypotensive LES) dan fungsional
(transient LES relaxation) menjadi penyebab utama terjadinya
GERD.1 Selain itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus bawah
oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol juga
ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks. 3

3.3. Epidemiologi
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara –
negara barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara
Asia- Afrika. Di amerika di laporkan satu dari lima orang dewasa
mengalami gejala heartburn atau regurgutasi sekali dalam
seminggu serta lebih dari 40 % mengalaminya sekali dalam
sebulan. Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%, sementara
negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan
2,7% di Korea). Sementara di Indonesia belum ada data
epidemiologinya.4
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan, tidak ada
predileksi seksual. Rasio laki-laki dan wanita untuk terjadinya
GERD adalah 2:1 sampai 3:1.6 GERD pada negara berkembang
sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun
merupakan usia yang seringkali mengalami GERD.7

3.4. Patogenesis

Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3


mekanisme 4 :
1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus LES
setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa patogenesis terjadinya
refluks menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari
esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. 4
 Faktor Defensif
Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:
Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari
LES. Meurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks
retrogard pada saat terjadi peningkatan tekanan intraabdomen. 4
Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus LES
yang normal. Yang dapat menurunkan tonus LES antara lain (3,4,6),
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang LES. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin,
opiat dan lain-lain.
4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat
menurunkan tonus LES
5. Makanan berlemak dan alkohol.
Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri,
tampak bahwa pada kasus GERD dengan tonus normal pada LES
lebih banyak disebabkan oleh terjadinya transient LES relaxation
(TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan
berlangsung kurang lebih 5 detik tanpa didahului proses menelan.
Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme terjadinya TLESR.
Tetapi pada beberapa individu diketahui adanya kaitan dengan
(3,4,6)
keterlambatan pengosongan lambung dan dilatasi lambung .
Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih
kontroversi, karena banyak pasien GERD yang pada endoskopik
didapatkan hiatus hernia tidak menampakan gejala GERD yang
signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang
dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan
tonus LES.4

Bersihan asam dari lumen esofagus


Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus
adalah gravitasi, peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah
terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke
lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses
menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi
oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus. 4
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab,
semakin lama waktu bersihan maka semakin lama kontak mukosa
lambung dengan refluksat, dan makin besar pula kemungkinan
terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD memiliki waktu
transit refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya refluks
adalah peristaltik esofagus yang minimal.4
Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan
kerusakan pada esofagus, karena selama tidur sebagian besar
mekanisme bersihan esofagus tidak aktif.4

Ketahanan Epitelial Esofagus.4


Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki
lapisan mukus untuk melindungi mukosa esofagus.
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari :
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan
esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan
bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport
ion H+ dan Cl- intrasel dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.
Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui
epitel esofagus. Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan
permeabilitas epitel terhadap ion H.

 Faktor ofensif
Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya
rusak refluksat. Kandungan lambung yang juga ikut berpengaruh
dalam kerusakan mukosa gaster (menambah daya rusak refluksat)
antar lain HCl, pepsin, garam empedu, enzim pankreas. 4
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan
yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin
meningkat pada Ph < 2, atau adanya pepsin dan garam empedu.
Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya rusak tinggi. 4
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD
adalah kelainan lambung yang meningkatkan terjadinya refluks
fisiologis, antara lain : dialatasi lambung atau obstruksi gastric
outlet dan lambatnya pengosongan lambung.4
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi
penyebab GERD . Pada kondisi pengosongan lambung yang
lambat, maka isi dari lambungpun juga banyak. Hal ini berakibat
meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster yang
meningkat ini akan berlawanan dengan kerja dari LES. Pada
keadaan ini, biasanya LES akan kalah oleh tekanan intragaster dan
terjadilah refluks.7

3.5. Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang khas pada penderita GERD adalah nyeri


(3,4)
atau rasa tidak enak di dada atau epigastrium . Rasa nyeri
biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar atau heartburn(4,8).
Selain itu, keluhan lainnya adalah regurgitasi dan disfagia atau
water brash(3,8). Regurgitasi yaitu pergerakan kembali isi lambung
(material refluks) sampai esofagus atau faring yang menimbulkan
keluhan sering sendawa dan/ atau mulut rasa asam atau pahit (4,8).
Pada beberapa kasus, timbul juga keluhan disfagia atau sulit
menelan saat memakan makanan padat. Hal ini mungkin sudah
terjadi striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett’s
esophagus. Odinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan)
mungkin bisa terdapat pada pasien GERD oleh karena sudah
terbentuk ulserasi esofagus yang berat.4
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus
yang atipik seperti laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi
sampai timbul asma.4 Manifestasi non esofagus pada GERD dapat
disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma, pneumonia
aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel
decay).7 Di lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu timbulnya
GERD oleh karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat
menurunkan tonus LES. Misalnya theofilin. Gejala GERD biasanya
muncul perlahan dan jarang menimbulkan keadaan gawat yang
mengancam jiwa.4

3.6. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemantauan pH Esofageal4
Pemantauan pH esofagus selama 24 jam secara
ambulatoir memegang peranan penting dalam mendiagnosis
GER khususnya pada penderita asma tanpa gejala klasik atau
pada asma yang sulit diobati. Pemeriksaan ini gold standard
untuk mendeteksi GER karena dapat menunjukkan korelasi
antara episode GER dengan wheezing atau gejala lain yang
menunjukkan bronkospame. Gejala respiratorik timbul selama
episode refluks asam (pH esofagus <4) atau dalam 10 menit
sesudahnya, menunjukkan korelasi dan dugaan GER sebagai
pemicu asma. Sedangkan timbulnya refluks asam setelah
gejala respiratorik menunjukkan asma memicu GER.
2. Proton Pump Inhibitor/PPI test (acid supression test) 4
PPI merupakan obat pilihan utama untuk diagnostic
trial.Trial terapi dengan PPI dosis tinggi selama 1 minggu dapat
dipakai untuk mendukung diagnosis GERD (misalnya
omeprazol 20 atau 40 mg 2 kali sehari). Pada penelitian
Amstrong dkk, pemberian omeprazole 40 mg 1-2x/hari selama
1 minggu terbukti menunjukkan ” positive predictive value”
(PPV) tinggi sebagai acid supression test, untuk menghilangkan
keluhan heart burn akibat asam.
3. Endoskopi4
Endoskopi merupakan metode yang paling dapat
diandalkan untuk mendeteksi esofagitis tetapi mungkin kurang
diperlukan untuk diagnosis GER karena sebagian besar
penderita GER tidak diapatkan adanya bukti esofagitis
(misalnya eritema mukosa, edema, erosi atau ulserasi).
Endoskopi seharusnya dilakukan pada penderita dengan gejala
refrakter / telah mendapat terapi GER yang adekuat, yaitu
untuk mengevaluasi adanya Barret’s esophagus atau esofagitis
ulseratif.
4. Tes perfusi Asam (Tes Bernstein)4
Pemeriksaan ini tidak menunjukkan ada atau tidaknya
GER tetapi lebih menunjukkan akibat dari paparan asam
lambung yang lama pada esofagus (misalnya esofagitis). Tes
ini dilakukan dengan perfusi salin dan larutan 0.1 N HCl
bergantian secara lambat pada mid-esofagus melalui
nasogastric tube. Tes positif bila gejala yang diprovokasi
dengan gejala yang terjadi spontan. Hasil yang negatif tidak
menyingkirkan adanya refluks.
5. Manometri Esofagus (Studi Motilitas Esofagus)4
Manometri berguna untuk mengevaluasi gangguan motor
seperti akalasia, spasme esofagus yang difus, akan tetapi
kurang berguna untuk menilai GER karena adanya overlapping
tekanan LES yang rendah pada penderita dengan dan tanpa
refluks. Pada penderita dengan tekanan LES yang sangat
rendah (< 6 mmHg) lebih mudah untuk mengalami esofagitis.
6. Esofagografi Barium (Upper Gastrointestinal Series) 4
Pemeriksaan ini dapat menyingkirkan adanya
abnormalitas anatomik, mendeteksi esofagitis, ulkus peptikum,
striktur dan hernia hiatus serta memberikan informasi fungsi
menelan . Karena pemeriksaan ini tidak spesifik dan tidak
sensitif untuk GER maka hasil yang normal tidak menyingkirkan
adanya GER.

3.7. Penatalaksanaan

Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap,


yaitu terapi modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi
pembedahan serta akhir-akhir ini mulai diperkenalkan terapi
endoskopik (3,4,7)
Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi
esofagus, menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan,
memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya
komplikasi(4,7).

 Terapi Non Medikamentosa


Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu
penatalaksanaan GERD,namun demikian bukan merupakan
pengobatan primer.4 Usaha ini bertujuan untuk mengurangi refluks
serta mencegah kekambuhan.4,7
Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup
antara lain(3,4,6,7) :
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari
makan sebelum tidur, dengan tujuan meningkatkan bersihan
asam lambung selama tidur serta mencegah refluks asam
lambung ke esofagus.
2. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena
berpengaruh pada tonus LES.
3. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan
yang di makan karena dapat menimbulkan distensi lambung.
4. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian
ketat untuk mengurangi tekanan intrabdomen.
5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, teh , kopi
dan minuman soda karena dapat merangsang asam lambung.
6. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat
meningkatkan menurunkan tonus LES, antara lain antikolinergik,
teofilin, diazepam, antagonis kalsium, progesteron. 7

 Terapi Medikamentosa(3,4,7)
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up
dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai
dengan obat yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam
(antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal baru
diberikan yang lebih kuat menekan sekresi asam dengan masa
terapi lebih lama yaitu penghambat pompa proton. Sedangkan
untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana berupa PPI
terlebih dahulu, setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat dengan
kerja yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam lambung,
yaitu antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.
Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step
down lebih ekonomis dibandingkan dengan step up. Menurut
Genval statement ((1999) dan konsensus asia pasifik tahun 2003
tentang tatalaksana GERD, disepakati bahwa terapi dengan PPI
sebagai terapi lini pertama dan digunakan pendekatan step down.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam
terapi GERD :

Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak
tahun 1971, dan masih dinilai efektif hingga sekarang dan tidak
menimbulkan esofagitis(4,6,7). Selain sebagai penekan asam
lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan LES(4,6).
Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang enak.
Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium
serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium,
Selain itu penggunaannya sangat terbatas untuk pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Dosis sehari 4x1 sendok makan. 4

Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. 6 Yang
termasuk obat golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin
dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini
efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika
diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus (3,4).
Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan yang berat,
misalnya dengan barrett’s esophagus.7
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat
ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150
mg.4
Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk
pengobatan GERD karena penyakit ini dianggap lebih condong
kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya, pengobatan GERD
sangat bergantung pada penekanan sekresi asam. 4 Obat ini
berfungsi untuk memperkuat tonus LES dan mempercepat
pengosongan gaster.6
1. Metoklopramid4
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak
berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali
dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek
terhadap saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi,
tremor, dan diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur. 3

2. Domperidon4
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan
metoklopramid) hanya saja obat ini tidak melewati sawar
darah otak, sehingga efek sampingnya lebih jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun
obat ini diketahui dapat menigkatkan tonus LES dan
percepat pengosongan lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari

3. Cisapride4
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini
dapat memperkuat tonus LES dan mempercepat
pengosongan lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta
penyembuhan lesi lebih bagus dari domperidon.
c. Dosis 3x10 mg

(3,4)
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam
lambung, melainkan berefek pada meningkatkan pertahanan
mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta
dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini
cukup aman karen bersifat topikal. Dosis 4x1 gram

Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)


Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD,
sehingga dijadikan drug of choice(4,6,7). Golongan ini bekerja
langsung pada pompa proton sel parietal dengan memperngaruhi
enzim H, K ATP –ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam
menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan
pada esofagitis erosiva derajat berat yang refrakter dengan
antagonis reseptor H2.
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi
inisial) berikutnya dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4
bulan , tergantung esofagitisnya. Efektivitas obat ini semakin
bertambah jika dikombinasi golongan prokinetik.

Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan


lini pertama.4
Gejala khas GERD

Umur <40 tahun


Umur >40 tahun

PPI tes/ terapi empiris

Gejala menetap/berulang Respon baik

Endoskopi Terapi minimal 4minggu

kekambuhan Terapi on demand

Skema 2. Algoritma tatalaksana GERD pada pusat pelayanan yang


memiliki fasilitas diagnostik memadai. 4
Terduga kasus GERD

Tidak diselidiki Diselidik


Keluhan menetap

Terapi empiris/Tes PPI Terapi awal


Esofagitis ringan Esofagitis sedang dan be
PPI test 1-2 minggu dosis NERD Gejala berulang
ganda (sensitivitas 60-80%)

On demand therapy Terapi Maintenance

Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya
kegagalan terapi medikamentosa pada pasien GERD, antara lain :
Diagnosa yang tidak benar, pasien GERD sering disertai gejala lain
seperti rasa kembung, cepet kenyang dan mual-mual yang lebih
lama menyembuhkan esofagitisnya. Pada kasus Barrett’s esofagus
kadang tidak memberikan respon terhadap terapi PPI, begitu pula
dengan adenokarsinoma dan bila terjadi striktura. Pada disfungsi
LES juga memiliki hasil yang tidak memuaskan dengan PPI. 4
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika
terapi modifikasi gaya hidup dan medikmentosa tidak berhasil.
Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi (3,4,6,7).

Fundoplikasi Nissen (6,9)


Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk
tatalaksana penyakit GERD bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup
dan medikamentosa tidak berhasil. Pada Hiatus hernia,
Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik
operasi ini dilakukan dengan laparoskopi. Tujuan dari teknik ini
adalah memperkuat esofagus bagian bawah untuk mencegah
terjadinya refluks dengan cara membungkus bagian bawah
esofagus dengan bagian lambung atas.
Indikasi Fundoplikasi4
1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi
yang tidak sepenuhnya responsif terhadap terapi medis atau pada
pasien dengan terapi medis jangka panjang yang tidak
menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi
PPI, Pada pasien ini dipertimbangkan untuk dilakukan
pembedahan. Pada pasien dengan penyakit yang tekontrol dengan
baik juga dapat dilakukan pertimbangan pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan.
Asam lambung meningkatkan terjadinya barrett esofagus
berkembang kearah keganasan, tetapi kebanyakan ahli
menyarankan tindakan mensupresi asam lambung secara lengkap
untuk pencegahan pada pasien yang terbukti secara histologis
menderita esofagus barret.
3.8. Prognosis

Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil


tingkat kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk
selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan
(maintenance therapy) atau bahkan terapi “bila perlu” (on-demand
therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari
sampai dua minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang. 10
BAB 3

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, Pasien dengan keluhan nyeri perut ulu hati sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri menetap terasa perih dan dirasakan
naik ke kerongkongan dengan sensasi terbakar dan rasa asam. Hal
tersebut dirasakan terutama saat malam hari. mual (+), dan muntah (+) 2
kali, cair dan ampas warna kuning setiap makan sejak 1 hari sebelum
MRS, nafsu makan menurun. Diare (+) sejak 3 hari terakhir, diare cair dan
sedikit ampas.
Informasi tersebut mengarahkan beberapa diagnosis banding seperti
Gastroenteritis Akut dan Dyspepsia Fungsional. diare karena infeksi
parasit, bakteri dan bisa dikarenakan asupan makanan yang kurang.
Namun hasil anamnesis saja belum cukup menegakan diagnosis. Untuk
itu di lakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk
menegakan diagnosis serta mengeliminasi diagnosis banding lainnya.
Hasil pemeriksaan fisik ditemukan vital sign dengan Tekanan darah
120/80 mmHg, Nadi: 82 x/menit, respirasi: 20 x/menit dan suhu : 37.1oC.
Pemeriksaan kepala dalam batas normal. Pemeriksaan leher dan thorak
dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan bising usus
(+) meningkat dan nyeri tekan epigastrik. Hepar dan lien dalam batas
normal. Pada pemeriksaan ekstremitas di temukan akral hangat, CRT <2
detik.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan
darah lengkap. Hasil dari pemeriksaan tersebut didapatkan hitungan
leukosit normal yaitu 3,9 ribu/ul yang mengindikasikan tidak ada infeksi.
hitung angka trombosit normal yaitu 219 ribu/uL Hasil pemeriksaan
tersebut mengeliminasi diagnosis banding lain selain Gastroesophageal
Reflux Disease.
Pada pasien ini dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik serta dengan
pemeriksaan darah lengkap ditegakan diagnosis yaitu gastroesophageal
reflux disease. Prinsip penatalaksanaan pasien ini dengan memberikan
resusitasi cairan menggunakan kristaloid, dan pemberian terapi simptomatis
serta edukasi untuk istirahat yang cukup dan asupan nutrisi makanan yang
adekuat dan aman untuk lambung. Dalam resusitasi cairan perlu
disesuaikan dengan kondisi klinis pasien tesebut. Pada pasien ini diberikan
resusitasi awal menggunakan RL 500 cc dilanjutkan 1000cc / 24jam.
Kemudian dilakukan evaluasi vital sign dan kondisi klinis pasien.
Pemberian cairan asering ini di indikasikan untuk mengganti kebutuhan
cairan pasien yang hilang. Dan cairan asering sebagai asupan energi untuk
pasien karena nafsu makan menurun.
Pada kasus ini diberikan cairan selanjutnya dilakukan evaluasi dan
apabila terjadi perbaikan maka dilanjutkan terapi cairan maintenance, selain
itu pasien juga diberikan injeksi antiemetik, dan penghambat pompa proton
yaitu omeprazole yang merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan
GERD, sehingga dijadikan drug of choice(4,6,7). Golongan ini bekerja langsung
pada pompa proton sel parietal dengan memperngaruhi enzim H, K ATP –
ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam
lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta
penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat
yang refrakter dengan antagonis reseptor H 2
Selain itu juga diberikan terapi oral Sucralfat yang meningkatkan
pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus
serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu.
DAFTAR PUSTAKA

1. Chandrasoma P. T, DeMeester Tom R. GERD: Reflux to Esophalangeal


Adenocarcinoma. Burlington: Academic Press. 2006.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. 4thed.
Jakarta:FKUI; 2006
3. Asroel H. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Cited July 18 2011. Available :
http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary.pdf
4. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1,
Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
5. Tjokroprawiro, Askandar. 2007. GERD. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Surabaya : Airlangga University Press. Hal. 112-113.
6. Gastroesophageal Reflux Disease. July 15 2011 [cited July 18 2011].
Available : http://en.wikipedia.org/wiki/Gastroesophageal_reflux_disease
7. Patti M, Kantz J,editor. Gastroesophageal Reflux Disease Treatment &
Management. June 8 2011 [cited July 18 2011]. Available:
http://emedicine.medscape.com/article/176595-treatment#aw2aab6b6b4aa
8. Susanto A, Sawitri N, Wiyono W, Yunus F, Prasetyo S. Gambaran klinis dan
endoskopi penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) pada pasien asma
persisten sedang di RS Persahabatan, Jakarta. Jurnal Respirologi. 2005
9. Gastroesophageal reflux disease : Savary – Miller classification. Cited July 18
2011. Available : http://www.gastrolab.net/pa-113.htm
10. Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2006.

Anda mungkin juga menyukai