Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Nomor RM : 16.16.24
Alamat : Lamuru, Bone
Umur : 27 thn
Jenis Kelamin : Laki-laki
Masuk RS tanggal : 15-02-2019 pukul 18.33 WITA
Agama : Islam

II. ANAMNESIS : Autoanamnesis


Keluhan Utama : Nyeri Perut
Anamnesis Terpimpin :
Pasien datang ke IGD RSUD Latemmamala dengan keluhan nyeri perut sejak 2
hari yang lalu. Nyeri dirasakan pada seluruh bagian perut. Mual (+), muntah (-),
nafsu makan menurun (+). Pasien juga mengeluh perut terasa kembung (+).
BAB(-), kentut(-) sejak 2 hari yang lalu. Riwayat BAB cair 3 hari sebelum masuk
rumah sakit frekuensi 3 kali. BAK lancar.
Riwayat Penyakit Sebelumnya:
- Riwayat penyakit yang sama sebelumnya disangkal
- Riwayat trauma sebelumnya tidak ada
Riwayat keluarga:
- Riwayat keluarga yang menderita penyakit dengan keluhan yang sama
tidak ada
Riwayat Alergi:
- Riwayat alergi obat, cuaca, dan makanan disangkal

III.PEMERIKSAAN FISIK AWAL (DI IGD)


Keadaan Umum : tampak sakit sedang, lemah (+)
Kesadaran : E4M6V5 composmentis

1
Tanda vital
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 100 kali per menit, reguler, kuat angkat
Pernapasan : 22 kali per menit, Tipe : Thoracoabdominal
Suhu : 37,2oC (axilla)
Skala nyeri : 5 VAS
Status Generalis:
Kepala : Normocephal, rambut hitam, sukar dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Mulut : tidak ada kelainan
Leher : kaku kuduk (-), pembesaran KGB (-), pembesaran
kelenjar thyroid (-)
Thorax
Paru: I: Simetris dalam keadaan statis dan dinamis, tidak ada
bagian dada yang tertinggal, penggunaan otot bantu napas
(-), retraksi (-)
P: Vocal fremitus sama di kedua hemithorax
P: Sonor di kedua hemithorax
A: Suara napas bronkovesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung: I: Ictus cordis tidak nampak
P: Ictus cordis teraba, thrill (-)
P: Dalam batas normal, tidak terdapat pembesaran
jantung
A: Bunyi jantung I dan II murni, regular, murmur
(-), gallop (-)

2
Abdomen:

I: distended
A: Peristaltik meningkat, metallic sound (+)
P: Nyeri tekan seluruh abdomen

Ekstremitas: Akral hangat, petechie (-), CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-),
turgor baik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium

Jenis Pemerikaan Hasil (15/02/2019) Nilai Rujukan


WBC 24,4 x 103/uL 4 - 12 x 103/uL
RBC 4,86 x 106/uL 4–6.2 x 106/uL
HGB 14.4 g/dL 11 - 17 g/dL
PLT 647 x 103/uL 150-400x103/uL
GDS 110 mg/dl <140 mg/dl
Kalium 3,7 3,5 – 5
Natrium 124 136 - 146
Chlorida 96 98 – 106
Ureum 37 10 – 50 mg/dl
Kreatinin 0,6 L : <1,1 . P : <0,9
Albumin 1,8 3,8 – 5,1
SGOT 23 L = <42 , P = <37
SGPT 23 L = <42 , P = <32

Foto BNO 3 Posisi

3
Kesan : Ileus Obstruksi Parsial

V. RESUME
Laki-laki usia 27 tahun datang ke IGD RSUD Latemmamala dengan
keluhan nyeri perut sejak 2 hari yang lalu. Nyeri dirasakan pada seluruh
bagian perut. Mual (+), muntah (-), nafsu makan menurun (+). Pasien juga
mengeluh perut terasa kembung (+). BAB(-), kentut(-) sejak 2 hari yang lalu.
Riwayat BAB cair 3 hari sebelum masuk rumah sakit frekuensi 3 kali. BAK
lancar.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, gizi
kurang, composmentis. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan
darah 130/90 mmHg, nadi 100 kali per menit reguler; kuat angkat,
pernapasan 22 x/menit, tipe thoracoabdominal serta suhu 37,2oC (axilla).
Pada pemeriksaan abdomen tampak distensi abdomen, peristaltik usus
meningkat, dan pada palpasi didapatkan nyeri tekan pada seluruh abdomen.

4
Pada pemeriksaan penunjang diperoleh hasil laboratorium leukosit 24,4 x
103/uL, eritrosit 4,86 x 106/uL, haemoglobin 14.4 g/dL hematokrit 43.6%,
trombosit 647 x 103/uL.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan, maka pasien didiagnosis dengan peritonitis generalisata
et causa appendicitis perforata.

VI. ASSESMENT
- Peritonitis Generalisata et causa Appendisitis Perforata
- Ileus Obstruksi et causa adhesive

VII. PLANNING
 Infus Ringer Laktat 28 tpm
 Pasang NGT
 Santagesic 1 amp/8jam/IV
 Ranitidin 1 amp/8 jam/IV
 Neurosanbe 1 amp/8 jam/IV
 Metronidazole/8 jam/IV
 Cefotaxime 1 gr/8 jam/IV
 Sanmol/8 jam/drips (bila suhu > 38)
 Konsul Spesialis Bedah

Laporan Operasi :
1. Penderita berbaring terlentang dengan pengaruh GA
2. Prosedur steril dan draping
3. Insisi mid line 3 jari bawah prosessus xyphoideus sampai 3 jari bawah
umbilicus

5
4. Perdalam sampai mencapai peritoneum
5. Peritoneum dibuka, keluar cairan keruh berbau
6. Eksplorasi organ berongga tampak perforasi Appendiks dengan
perlengketan usus dan omentum
7. Dilakukan release perlengketan usus, dilanjutkan dengan appendektomi
perforata
8. Operasi selesai.

VIII. PROGNOSIS
Quad ad functionam : Dubia
Quad ad sanationam : Dubia
Quad ad vitam : Dubia

IX. FOLLOW UP PASIEN


TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER
15/02/2019 S : nyeri perut dan perut kembung -IVFD RL 28 tpm
(IGD) Terakhir BAB 2 hari yang lalu - Inj Ranitidin amp/12
18.33 TD: 130/100 mmHg jam/IV
VAS : 5 - Neurosanbe /24 jam/drips
A: Peritonitis Generalisata - Periksa DR, GDS, Foto
BNO 3 Posisi

23.47 S : nyeri semakin memberat -IVFD RL 28 tpm


TD: 130/100 mmHg - Inj Ranitidin amp/12
VAS : 5 jam/IV
A: Peritonitis Generalisata - Neurosanbe /24 jam/drips
- Santagesic amp/8 jam/IV
- Pasang NGT

16/02/2019 S: nyeri perut masih dirasakan -IVFD RL 28 tpm

6
09.00 O: KU: lemah - Inj Ranitidin amp/12
TD: 100/70 mmHg jam/IV
Nadi: 70 kali/menit - Neurosanbe /24 jam/drips
Pernapasan: 20 kali/menit - Santagesic amp/8 jam/IV
Suhu: 36,5oC - Pantoz/24 jam/IV
Skala nyeri: 5 VAS - Metronidazole/8 jam/IV
Abdomen: peristaltik menurun, - Cefotaxime 1 gr/8 jam/IV
metallic sound (+) - Sanmol/8 jam/drips
A: Ileus obstruksi - Laparotomi Eksplorasi
(Konsul Spesialis Bedah)

22.00 Cito Laparotomi Eksplorasi - IVFD RL 28 tpm


A : - Peritonitis Generalisata ec - Ambacin 1 gr/12 jam/IV
Appendisitis Perforasi - Metronidazole 500 mg/12
- Ileus Obstruksi ec Adhesi jam/IV
- Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
- Pumpicel 1 amp/24 jam/IV
- Neurosanbe /24 jam/drips
- Santagesic amp/8 jam/IV
- Sanmol/8 jam/drips
- Rawat ICU

17/02/2019 S: demam, nyeri luka bekas operasi - IVFD RL 28 tpm


(Perawatan O: KU: lemah - Ambacin 1 gr/12 jam/IV
ICU) TD: 110/70 mmHg - Metronidazole 500 mg/12
09.00 Nadi: 70 kali/menit jam/IV
Pernapasan: 20 kali/menit - Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
Suhu: 37,8oC - Pumpicel 1 amp/24 jam/IV
Skala nyeri: 2 VAS - Neurosanbe /24 jam/drips

7
Tampak luka post op laparotomi - Santagesic amp/8 jam/IV
A : POH 1 Laparotomi Eksplorasi - Sanmol/8 jam/drips

18/02/2019 S: nyeri luka operasi - IVFD RL 28 tpm


09.00 O: KU: baik - Ambacin 1 gr/12 jam/IV
TD: 125/64 mmHg - Metronidazole 500 mg/12
Nadi: 88 kali/menit jam/IV
Pernapasan: 20 kali/menit - Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
Suhu: 38,1oC - Pumpicel 1 amp/24 jam/IV
Skala nyeri: 2 VAS - Neurosanbe /24 jam/drips
A: POH2 Laparotomi Eksplorasi - Santagesic amp/8 jam/IV
- Sanmol/8 jam/drips
-Puasakan
-Duduk
19/02/2019 S: nyeri berkurang -IVFD NaCl 28 tpm
09.00 O: KU: baik - Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
TD: 120/70 mmHg -Metronidazole 0,5gr/12
Nadi: 80 kali/menit jam/iv
Pernapasan: 20 kali/menit -Santagesic 1 amp/8 jam/iv
Suhu: 37,5oC - Ranitidin 1 amp/12 jam/iv
Skala nyeri: 1 VAS -Puasakan
A: POH3 Laparotomi Eksplorasi -Duduk

8
TINJAUAN PUSTAKA

PERITONITIS
Definisi
Peritonitis didefinisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang
membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya.

Anatomi
Abdomen adalah rongga terbesar dalam tubuh. Dinding perut mengandung
struktur muskulo aponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang, struktur ini
melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah
melekat pada tulang panggul. Dinding perut terdiri atas beberapa lapis, yaitu dari
luar ke dalam, lapisan kulit yang terdiri dari:
1. Kutis.
2. Subkutis.
- Fascia superfisial (fascia camper).
- Fascia profunda (fascia scarpa).
3. Otot dinding perut.
a. Kelompok ventrolateral
- Tiga otot pipih: Musculus obliquus abdominis eksternus, Musculus
obliquus abdominis internus, Musculus transversus abdominis.
- Satu otot vertikal: musculus rectus abdominis.
b. Kelompok posterior: musculus psoas major, musculus psoas minor,
musculus iliacus, musculus quadratus lumborum.
4. Fascia tranversalis.
5. Peritoneum.
Regio-regio abdomen dan organ-organnya:

9
 Hypochondrium dextra, yaitu regio kanan atas: Hepar dan Vesica fellea
 Epigastrium, regio yang berada di ulu hati: Gaster, Hepar, Colon
transversum
 Hypochondrium sinistra, regio kiri atas: Gaster, Hepar, Colon
Transversum
 Lumbaris dextra, regio sebelah kanan tengah: Colon ascendens
 Umbilicalis, regio tengah: Intestinum tenue, Colon transversum
 Lumbaris sinistra, regio sebelah kiri umbilikalis: Intestinum tenue, Colon
descendens
 Inguinalis/Iliaca dextra, regio kanan bawah: Caecum, Appendix
vermiformis
 Hypogastrium/Suprapubicum, regio di tengah bawah: Appendix
vermiformis, Intestinum tenue, Vesica urinaria
 Inguinalis/Iliaca sinistra, regio kiri bawah: Intestinum tenue, Colon
descendens, Colon sigmoideum
Dinding abdomen dilapisi oleh peritoneum parietal yang merupakan
membrana serosa tipis yang terdiri atas selapis mesotel yang terletak pada jaringan
ikat dan melanjutkan diri ke bawah dengan peritoneum parietal yang melapisi
rongga pelvis. Peritoneum dibagi dua:

10
1) Peritoneum pars parietal, yang melapisi dinding internal abdominal serta
mendapat suplai neurovaskular dari regio dinding yang dilapisinya.
2) Peritoneum pars visceral, yang melapisi organ intraperitoneal dan
mendapat suplai neurovaskular dari organ yang ditutupinya.
Organ peritoneal adalah organ yang ditutupi oleh peritoneum pars visceral,
diantaranya: hati, spleen, gaster, duodenum pars bulbosa, jejunum, ileum, colon
transversum, colon sigmoid, rektum pars superior. Organ retroperitoneal terdiri
dari ginjal, kelenjar adrenal, pankreas, sisa duodenum, colon ascenden dan
descenden.
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar pada bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan melebar pada bagian ujung
apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan ini memungkinkan apendiks
bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di
belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X.
Perdarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangren.

Klasifikasi Peritonitis
Peritonitis Primer
Peritonitis primer disebabkan oleh infeksi monomikrobial. Sumber infeksi
umumnya ekstraperitonial yang menyebar secara hematogen. Ditemukan pada
penderita serosis hepatis yang disertai asites, sindrom nefrotik, metastasis
keganasan, dan pasien dengan peritoneal dialisis. Peritonitis primer atau
spontaneus peritonitis berhubungan dengan menurunnya ketahanan imun

11
seseorang. Kejadian peritonitis primer kurang dari 5% kasus bedah. Manajemen
dari peritonitis primer ini meliputi antibiotik dan resusitasi cairan dan terkadang
diperlukan pembedahan yaitu laparotomi diagnostik.

Peritonitis Sekunder
Merupakan infeksi yang disebabkan oleh inflamasi atau proses mekanis
yang terjadi pada saluran cerna, traktus urogenital atau organ solid sehingga akan
mengekspos cavum peritoneal terhadap flora pada saluran cerna. Peritonitis
sekunder diklasifikasikan menjadi: peritonitis akut karena perforasi, peritonitis
postoperatif, dan peritonitis post-traumatik. Peritonitis akut karena perforasi
merupakan jenis yang paling sering terjadi. Perforasi usus halus dapat terjadi
akibat proses inflamasi dan nekrosis dari usus halus seperti yang terjadi pada
demam tifoid. Pada kebanyakan kasus peritonitis yang disebabkan oleh apendisitis
peritonitis yang terlokalisir dapat berkembang menjadi peritonitis generalisata.

Peritonitis tersier
Peritonitis tersier terjadi akibat kegagalan respon inflamasi tubuh atau
superinfeksi. Peritonitis tersier dapat terjadi akibat peritonitis sekunder yang telah
delakukan interfensi pembedahan ataupun medikamentosa. Kejadian peritonitis
tersier kurang dari 1% kasus bedah.

Patofisiologi
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya:
apendisitis, salpingitis), ruptur saluran cerna atau dari luka tembus abdomen.
Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon
pada kasus ruptur apendiks, sedangkan stafilokokus dan streptokokus sering
masuk dari luar.
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Abses terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.

12
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap
sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstruksi usus.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktifitas peristaltik berkurang, usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk
antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Pada apendisitis disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
fekalit atau dengan benda asing. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan, makin lama mukus tersebut semakin
banyak, sehingga elastisitas dinding apendiks mengalami peningkatan tekanan
intra lumen dan menghambat aliran limfe dan mengakibatkan edema, lalu
menganggu aliran arteri sehinga terjadi infark dinding apendiks diikuti dengan
nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan
akhirnya mengakibatkan peritonitis lokal atau difus.
Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup
apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikular. Apabila terjadi pernanahan maka akan terbentuk suatu rongga
yang berisi nanah di sekitar apendiks disebut abses periapendikular.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan serangan berulang di perut kanan
bawah disebut dengan apendisitis rekurens. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.

13
Gejala
1. Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang selalu ada pada peritonitis. Nyeri
biasanya datang dengan onset tiba-tiba, hebat pada penderita dengan perforasi
nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, rasa
seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri lebih terasa pada
daerah dimana terjadinya peradangan peritoneum. Menurunnya intesitas dan
penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan,
ketika intesitasnya bertambah meningkat disertai dengan perluasan daerah nyeri
menandakan penyebaran dari peritonitis. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu
penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif
berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes
lainnya.
2. Dinding perut akan terasa tegang (defans muskular), biasanya karena
mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasi yang
menyakitkan, atau bisa pula tegang karena iritasi peritoneum.
3. Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita ditemukan gejala anoreksia, mual, muntah. Penderita
diikuti badan terasa demam dan mengigil hilang timbul. Meningkatnya suhu
tubuh dapat mencapai 38°C sampai 40°C.
4. Syok
Syok dapat terjadi oleh dua faktor. Yang pertama akibat perpindahan
cairan intravaskular ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang
kedua disebabkan terjadinya sepsis generalisata.

Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Ini merupakan tes yang paling sederhana dilakukan adalah hitung sel darah
dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih lebi dari 20.000/mm.
Pada perhitungan diferensial menunjukan pergeseran ke kiri dan dominasi oleh

14
polimononuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah
leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata.
2. Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada peritonitis adalah dilakukan foto thoraks PA
lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thoraks dapat menunjukkan gambaran
proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen.
Pada foto polos diafragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya
akibatnya adanya udara bebas dalam cavum peritoneum. Pada pemeriksaan foto
polos abdomen dijumpai asites, tanda-tanda obstruksi usus berupa air-udara dan
kadang-kadang udara bebas (perforasi). Biasanya lambung, usus halus dan kolon
menunjukkan dilatasi sehingga menyerupai ileus paralitik. Usus-usus yang
melebar biasanya berdinding tebal.

Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus
septik (apendiks, dan sebagainya) atau penyebab radang lainnya.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera setelah diagnosis peritonitis
bakteri ditegakkan. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan
kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika
didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika
berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis
yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama
operasi.
Penatalaksanaan peritonitis secara kausal ialah eradikasi kuman yang
menyebabkan radang di peritoneum. Secara non-invasif dapat dilakukan dengan
drainase abses dan endoskopi perkutan, namun yang lebih umum dilakukan ialah
laparotomi eksplorasi rongga peritoneum.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan
operasi laparotomi. Operasi ini untuk mengontrol sumber primer kontaminasi

15
bakteri. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Teknik operasi yang
digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat
patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum
yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi
viskus yang perforasi.

APENDISITIS AKUT
Epidemiologi
Insidens apendisitis akut akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir menurun secara
bermakna. Kejadian ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan
makanan berserat dalam menu sehari-hari.Insiden pada lelaki dan perempuan
umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insiden lelaki lebih tinggi.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan, mungkin karen tidak diduga. Insidens tertinggi pada
kelompok 20-30 tahun lalu menurun.

Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang
diajukan sebagai faktor faktor pencetus di samping hiperplasia jaringan limfe,
fekalit, tumor appendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa
apendiks karena parasit seperti E.hystolitica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya ini akan memperpanjang timbulnya apendisitis akut.

16
Patologi
Patologi yang didapat pada apendisitis dapat dimulai di mukosa dan
kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24- 48 jam
pertama. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan
menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau adnexa sehingga terbentuk
massa periapendikuler yang dikenal dengan nama infiltrat apendiks. Di dalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika
tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh sempurna tetapi akan membentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan di sekitarnya.
Perlengkatan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah.
Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami
eksaserbasi akut.

Gambaran klinik
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonium lokal. Gejala klasik apendisitis ialah
nyeri samar- samar ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai
mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa
jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney. Disini nyeri akan
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi. Bila
terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila
berjalan atau batuk.
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya
terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak
ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sis kanan atau
timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari
dorsal.

17
Appendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
beriulang-ulang. Jika appendiks tadi menempel ke kandung kemih dapat terjadi
peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya.
Pada beberapa keadaan apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak pada
waktunya dan terjadi komplikasi.

Pemeriksaan
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 – 38,50 C. Bila suhu
lebih tinggi mungkin sudah terjadi perforasi. Pada inspeksi perut tidak ditemukan
gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi
perforasi.
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa
disertai dengan nyeri nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietal. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan
kunci diagnosis. Pada penekanan perut di kiri bawah akan dirasakan nyeri di
perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing.
Perisltaktik usus sering normal, peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan
colok dubur menyebabkan nyeri bila darah infeksi bisa dicapai dengan jari
telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. Pemeriksaan uji psoas dan uji
obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditutujukan untuk mengetahui letak
apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas, tindakan tersebut
akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks
yang meradang kontak dengan m. obturator internus. Dengan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan
menimbulkan nyeri.

18
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan Alvarado Score ,
yaitu:

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan jumlah leukosit membantu menegakkan diagososis
apendisitis akut. Pada kebanyakan kasus terjadi leukositosis terlebih pada kasus
komplikasi. Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu
(Appendicogram) dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya
kotoran (skibala) didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi)
dan CT scan bisa membantu dakam menegakkan adanya peradangan akut usus
buntu atau penyakit lainnya di daerah rongga panggul. Namun dari semua

19
pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis apendisitis akut adalah
pemeriksaan secara klinis.

Pengelolaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas ,maka tindakan paling tepat adalah
apendiktomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik. Pasien biasanya telah
dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan
pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Apendiktomi bisa dilakukan
dengan cara apendiktomi terbuka atau laparoskopi. Pada apendiktomi terbuka
insisi dilakukan pada daerah Mc Burney paling banyak dipilih oleh para ahli
bedah. Pada penderita yang diagnosis nya tidak jelas adapat dilakuakn observasi
terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila
dalam observasi masih terdapat keraguan. Pada apendisitis tanpa komplikasi
biasanya tidak perlu diberikan antibiotik kecuali pada apendisitis gangrenosa atau
apendisitis perforata.

Apendisitis Perforata
Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak muda) dan
keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang bereperanan dalam terjadinya
perforasi apendiks. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada
orang tua adalah gejala yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan
anatomi apendiks berupa penyempitan lumen. Insidens tinggi pada anak
disebabkan oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak yang kurang
komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis dan omentum anak yang
belum cepat berkembang.

Diagnosis
Perforasi apendiks akan menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat serta meliputi seluruh perut dan perut
menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut,
mungkin dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan.

20
Pengelolaan
Perbaikan keadaan umum dengan infus, antibiotik untuk kuman gram
negatif dan positif serta kuman anaerob dan pipa nasogastrik perlu dilakukan
sebelum pembedahan. Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi panjang supaya
dapat dilakukan pencucian rongga peritoneum ataupun pengeluaran fibrin secara
adekuat dan memudahkan pembersihan kantong nanah.

ILEUS OBSTRUKSI

Definisi
Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi
usus akut yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan. Ileus Obstruktif
adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh sumbatan
mekanik sehingga isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus
karena ada sumbatan/hambatan yang disebabkan kelainan dalam lumen usus,
dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan vaskularisasi pada suatu
segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut.
Berdasarkan proses terjadinya ileus obstruksi dibedakan menjadi ileus
obstruksi mekanik dan non mekanik. Ileus obstruksi mekanik terjadi karena
penyumbatan fisik langsung yang bisa disebabkan karena adanya tumor atau
hernia sedangkan ileus obstruksi non mekanik terjadi karena penghentian gerakan
peristaltik.

Etiologi
Obstruksi usus halus dapat disebabkan oleh :
a. Perlekatan usus atau adhesi, dimana pita fibrosis dari jaringan ikat
menjepit usus.
b. Jaringan parut karena ulkus, pembedahan terdahulu atau penyakit
Crohn.

21
c. Hernia inkarserata, usus terjepit di dalam pintu hernia
d. Neoplasma.
e. Intususepsi.
f. Volvulus.
g. Benda asing, kumpulan cacing askaris
h. Batu empedu yang masuk ke usus melalui fistula kolesisenterik.
i. Penyakit radang usus, striktur, fibrokistik dan hematoma.
Kira-kira 15% obstruksi usus terjadi di usus besar. Obstruksi dapat terjadi
di setiap bagian kolon tetapi paling sering di sigmoid. Penyebabnya adalah :
a. Karsinoma.
b. Volvulus.
c. Kelainan divertikular (Divertikulum Meckel), Penyakit
Hirschsprung
d. Inflamasi.
e. Tumor jinak.
f. Impaksi fekal

Patofisiologi
Pada obstruksi mekanik, usus bagian proksimal mengalami distensi akibat
adanya gas/udara dan air yang berasal dari lambung, usus halus, pankreas, dan
sekresi biliary. Cairan yang terperangkap di dalam usus halus ditarik oleh sirkulasi
darah dan sebagian ke interstisial, dan banyak yang dimuntahkan keluar sehingga
akan memperburuk keadaan pasien akibat kehilangan cairan dan kekurangan
elektrolit. Jika terjadi hipovolemia mungkin akan berakibat fatal.
Obstruksi yang berlangsung lama mungkin akan mempengaruhi pembuluh
darah vena, dan segmen usus yang terpengaruh akan menjadi edema, anoksia dan
iskemia pada jaringan yang terlokalisir, nekrosis, perforasi yang akan mengarah
ke peritonitis, dan kematian. Septikemia mungkin dapat terjadi pada pasien
sebagai akibat dari perkembangbiakan kuman anaerob dan aerob di dalam lumen.
Usus yang terletak di bawah obstruksi mungkin akan mengalami kolaps dan
kosong.

22
Secara umum, pada obstruksi tingkat tinggi (obstruksi letak
tinggi/obstruksi usus halus), semakin sedikit distensi dan semakin cepat
munculnya muntah. Dan sebaliknya, pada pasien dengan obstruksi letak rendah
(obstruksi usus besar), distensi setinggi pusat abdomen mungkin dapat dijumpai,
dan muntah pada umumnya muncul terakhir sebab diperlukan banyak waktu
untuk mengisi semua lumen usus. Kolik abdomen mungkin merupakan tanda khas
dari obstruksi distal. Hipotensi dan takikardi merupakan tanda dari kekurangan
cairan. Dan lemah serta leukositosis merupakan tanda adanya strangulasi. Pada
permulaan, bunyi usus pada umumnya keras, dan frekuensinya meningkat,
sebagai usaha untuk mengalahkan obstruksi yang terjadi. Jika abdomen menjadi
diam, mungkin menandakan suatu perforasi atau peritonitis dan ini merupakan
tanda akhir suatu obstruksi.

Gejala Klinis
Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain nyeri kolik abdomen, mual,
muntah, perut distensi dan tidak bisa buang air besar (obstipasi). Mual muntah
umumnya terjadi pada obstruksi letak tinggi. Bila lokasi obstruksi di bagian distal
maka gejala yang dominan adalah nyeri abdomen. Distensi abdomen terjadi bila
obstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal usus menjadi sangat dilatasi.
Obstruksi pada usus halus menimbulkan gejala seperti nyeri perut sekitar
umbilikus atau bagian epigastrium. Pada pasien dengan suatu obstruksi sederhana
yang tidak melibatkan pembuluh darah, sakit cenderung menjadi kolik yang pada
awalnya ringan, tetapi semakin lama semakin meningkat, baik dalam frekuensi
atau derajat kesakitannya. Sakit mungkin akan berlanjut atau hilang timbul. Pasien
sering berposisi knee-chest, atau berguling-guling. Pasien dengan peritonitis
cenderung kesakitan apabila bergerak.
Pasien dengan obstruksi partial bisa mengalami diare. Kadang – kadang
dilatasi dari usus dapat diraba. Obstruksi pada kolon biasanya mempunyai gejala
klinis yang lebih ringan dibanding obstruksi pada usus halus. Umumnya gejala
berupa konstipasi yang berakhir pada obstipasi dan distensi abdomen. Muntah
adalah suatu tanda awal pada obstruksi letak tinggi atau proksimal.

23
Bagaimanapun, jika obstruksi berada di distal usus halus, muntah mungkin akan
tertunda. Pada awalnya muntah berisi semua yang berasal dari lambung, yang
mana segera diikuti oleh cairan empedu, dan akhirnya muntah akan berisi semua
isi usus halus yang sudah basi. Muntah jarang terjadi. Pada obstruksi bagian
proksimal usus halus biasanya muncul gejala muntah. Nyeri perut bervariasi dan
bersifat intermittent atau kolik dengan pola naik turun. Jika obstruksi terletak di
bagian tengah atau letak tinggi dari usus halus (jejenum dan ileum bagian
proksimal) maka nyeri bersifat konstan/menetap. Pada pemeriksaan abdomen
didapatkan abdomen tampak distensi, terdapat darm contour (gambaran usus), dan
darm steifung (gambaran gerakan usus), pada auskultasi terdapat hiperperistaltik
berlanjut dengan Borborygmus (bunyi usus mengaum) menjadi bunyi metalik
(klinken) / metallic sound. Pada tahap lanjut dimana obstruksi terus berlanjut,
peristaltik akan melemah dan hilang. Pada palpasi tidak terdapat nyeri tekan,
defans muscular (-), kecuali jika ada peritonitis.
Pada tahap awal, tanda vital normal. Seiring dengan kehilangan cairan dan
elektrolit, maka akan terjadi dehidrasi dengan manifestasi klinis takikardi dan
hipotensi postural. Suhu tubuh biasanya normal tetapi kadang – kadang dapat
meningkat. Hipovolemia dan kekurangan elektrolit dapat terjadi dengan cepat
kecuali jika pasien mendapat cairan pengganti melalui pembuluh darah
(intravena). Derajat tingkat dan distribusi distensi abdominal dapat mencerminkan
tingkatan obstruksi. Pada obstruksi letak tinggi, distensi mungkin minimal.
Sebaliknya, distensi pusat abdominal cenderung merupakan tanda untuk obstruksi
letak rendah.

Diagnosis
Pada anamnesis obstruksi tinggi sering dapat ditemukan penyebab
misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi atau terdapat hernia.
Gejala umum berupa syok, oliguri dan gangguan elektrolit. Selanjutnya
ditemukan meteorismus dan kelebihan cairan di usus, hiperperistaltis berkala
berupa kolik yang disertai mual dan muntah. Kolik tersebut terlihat pada inspeksi
perut sebagai gerakan usus atau kejang usus dan pada auskultasi sewaktu serangan

24
kolik, hiperperistaltis kedengaran jelas sebagai bunyi nada tinggi. Penderita
tampak gelisah dan menggeliat sewaktu kolik dan setelah satu dua kali defekasi
tidak ada lagi flatus atau defekasi. Pemeriksaan dengan meraba dinding perut
bertujuan untuk mencari adanya nyeri tumpul dan pembengkakan atau massa yang
abnormal.
Gejala permulaan pada obstruksi kolon adalah perubahan kebiasaan buang
air besar terutama berupa obstipasi dan kembung yang kadang disertai kolik pada
perut bagian bawah. Pada inspeksi diperhatikan pembesaran perut yang tidak pada
tempatnya misalnya pembesaran setempat karena peristaltis yang hebat sehingga
terlihat gelombang usus ataupun kontur usus pada dinding perut. Biasanya
distensi terjadi pada sekum dan kolon bagian proksimal karena bagian ini mudah
membesar.
Nilai laboratorium pada awalnya normal, kemudian akan terjadi
hemokonsentrasi, leukositosis, dan gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan
radiologis, dengan posisi tegak, terlentang dan lateral dekubitus menunjukkan
gambaran anak tangga dari usus kecil yang mengalami dilatasi dengan air fluid
level. Pemberian kontras akan menunjukkan adanya obstruksi mekanis dan
letaknya. Pada ileus obstruktif letak rendah jangan lupa untuk melakukan
pemeriksaan rektosigmoidoskopi dan kolon (dengan colok dubur dan barium in
loop) untuk mencari penyebabnya.

Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami
obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan.
Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu
penyumbatan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika
disebabkan oleh perlengketan. Penderita penyumbatan usus harus di rawat di
rumah sakit.
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit
dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi,

25
mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk
memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda – tanda
vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami
dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan
intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan
memonitor tanda – tanda vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian
cairan intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT
digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila
muntah dan mengurangi distensi abdomen.
Pemberian obat – obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai
profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk
mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul
dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi.
a. Persiapan Operasi
Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah
aspirasi dan mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan,
kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan
umum. Setelah keadaan optimum tercapai barulah dilakukan laparatomi. Pada
obstruksi parsial atau karsinomatosis abdomen dengan pemantauan dan
konservatif.
b. Operasi
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk
mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul
dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi.
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital
berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah
pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila terjadi:
1. Strangulasi
2. Obstruksi lengkap

26
3. Hernia inkarserata
4. Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan
pemasangan NGT, infus, oksigen dan kateter).
c. Pasca Operasi
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan
elektrolit. Harus dicegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan kalori
yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah, usus pasien masih dalam keadaan
paralitik. Tujuan pengobatan yang paling utama adalah dekompresi kolon yang
mengalami obstruksi sehingga kolon tidak perforasi, tujuan kedua adalah
pemotongan bagian yang mengalami obstruksi.
Persiapan sebelum operasi sama seperti persiapan pada obstruksi usus
halus, operasi terdiri atas proses sesostomi dekompresi atau hanya kolostomi
transversal pada pasien yang sudah lanjut usia. Perawatan sesudah operasi
ditujukan untuk mempersiapkan pasien untuk menjalani reseksi elektif kalau lesi
obstruksi pada awalnya memang tidak dibuang.

Prognosis
Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti umur,
etiologi, tempat dan lamanya obstruksi. Jika umur penderita sangat muda ataupun
tua maka toleransinya terhadap penyakit maupun tindakan operatif yang dilakukan
sangat rendah sehingga meningkatkan mortalitas. Pada obstruksi kolon
mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan obstruksi usus halus.
Obstruksi usus halus yang tidak mengakibatkan strangulasi mempunyai
angka kematian 5 %. Kebanyakan pasien yang meninggal adalah pasien yang
sudah lanjut usia. Obstruksi usus halus yang mengalami strangulasi mempunyai
angka kematian sekitar 8 % jika operasi dilakukan dalam jangka waktu 36 jam
sesudah timbulnya gejala-gejala, dan 25 % jika operasi diundurkan lebih dari 36
jam. Pada obstruksi usus besar, biasanya angka kematian berkisar antara 15–30 %.
Perforasi sekum merupakan penyebab utama kematian yang masih dapat
dihindarkan.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, R. Usus halus, appendiks, kolon, dan anorektum dalam Buku


Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Ed Sjamsuhidajat R, De Jong W.Jakarta:
EGC, pp: 865-875.
2. Craig, S. Appendicits . Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/7738
3. Ordonez, CA. Management of peritonitis in the critically ill patient. Available
at : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3413265/
4. Brunicardi, F. Charles, dkk. Schwartz’s Principles of Surgery Eight Edition
5. Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani WI., Setiowulan W. Ileus Obstruktif.
Dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2000; 318 –
20.
6. Khan AN., Howat J. Small-Bowel Obstruction. Last Updated: june4, 2012.
In:Http://www.yahoo.com/search/cache?/ileus_obstructif/Article:By:eMedici
ne.com
7. Schrock TR. Obstruksi Usus. Dalam Ilmu Bedah (Handbook of Surgery).
Alih Bahasa: Adji Dharma, dkk. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
1993; 239 – 42.

28

Anda mungkin juga menyukai