Anda di halaman 1dari 23

Departemen Ilmu Bedah Orthopedi Laporan Kasus

dan Traumatologi

CLOSED FRACTURE 1/3 MIDDLE RIGHT TIBIA


CLOSED FRACTURE RIGHT FIBULA

Oleh:

GEDE DEWAGAMA M C11113117


SITI FATIMAH BINTI MOHD ZAIDI C11113817
SITI BALQIS BINTI ABDULLAH NAJIB C11113852
ANUGRAH ALHARI C11113337
ANTONI Adaptasi LN

Residen Pembimbing

dr. Iswahyudi
dr. Pierre Alexander

Supervisor Pembimbing
dr. Dewi Kurniati P, M. Kes, Sp.OT

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


PADA DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS HASANUDDIN
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : GEDE DEWAGAMA M C11113117


SITI FATIMAH BINTI MOHD ZAIDI C11113817
SITI BALQIS BINTI ABDULLAH NAJIB C11113852
ANUGRAH ALHARI C11113337
ANTONI Adaptasi LN

Judul : CLOSED FRACTURE 1/3 MIDDLE RIGHT TIBIA

CLOSED FRACTURE RIGHT FIBULA

Telah menyelesaikan tugas Case Report dalam rangka kepaniteraan klinik pada
Departemen Ortopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Desember 2018

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Iswahyudi dr. Pierre Alexender

Supervisor

dr. Dewi Kurniati P, M. Kes, Sp.OT

2
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Tn. M.S.M
 Umur : 24 tahun
 Jenis Kelamin : Laki-Laki
 Tanggal Masuk : 15 Desember 2018
 No. Rekam Medik : 838504

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri pada tungkai kanan bawah

- Anamnesis Terpimpin: dialami sejak 15 menit sebelum dibawa ke R.S.


Wahidin Sudirohusodo karena kecelakaan lalu lintas.
- Mekanisme trauma : Pasien sedang berjalan melintas jalan dan tiba-tiba kaki
kanan pasien ditabrak oleh sepeda motor dari sisi kanan.
- Tidak ada riwayat penurunan kesadaran setelah kejadian, Tidak ada riwayat
mual dan muntah proyektil. Tidak ada riwayat hipertensi dan diabetes mellitus.
III. PEMERIKSAAN FISIS

PRIMARY SURVEY
 Airway : Bebas
 Breathing : RR = 18 x/menit reguler, spontan, tipe torakoabdominal,
simetris
 Circulation : BP = 120/80 mmHg, HR = 84 x/minute reguler, kuat angkat
 Disability : GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor, Ø 3 mm/3 mm, refleks
cahaya +/+
 Environment : Suhu axilla = 36,7 oC

3
SECONDARY SURVEY
Right Cruris Region
Inpeksi : Deformitas (+), Bengkak (+), Hematom (-), Wound (-)
Palpasi : Nyeri tekan (+)
ROM : Gerak aktif dan pasif dari sendi lutut tidak dapat dievaluasi
karena nyeri. Gerak aktif dan pasif dari sendi pergelangan kaki
tidak dapat dievaluasi karena nyeri.
NVD : Sensibilitas baik. Pulsasi dari arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis
posterior teraba. Capillary Refill Time <2”

IV. GAMBARAN KLINIS

Gambar 1 : Regio Kruris Dextra lateral Gambar 2 : Regio Kruris Dextra Medial

4
Gambar 3 : Regio Kruris Dextra Anterior

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

TEST RESULT REFERENCE UNIT


WBC 9.2 4,00-10,0 103 /ul
HGB 12.1 12,0-16,0 gr/dl
HCT 38 37,0-48,0 %
PLT 149 150-400 103/ul
RBS 142 mg/dl
CT 7’00 4-10 Menit
BT 3’00 1-7 Menit
HbsAg Non-Reactive Non-Reactive
Ureum 31 mg/dl
Kreatinin 1.65 mg/dl
SGOT 45 U/L
SGPT 28 U/L
Sodium 142 mmol/L
Potasium 4.2 mmol/L
Chloride 110 mmol/L

VI. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

5
Gambar 4. X-Ray posisi AP/ Lateral (Cruris Dextra)

VII. RESUME

Laki-laki, 26 tahun datang ke Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Wahidin


Sudirohusodo dengan keluhan nyeri pada kaki kanan yang diderita sejak 15
menit sebelum masuk rumah sakit, pasien berjalan kaki menyebrang jalan dan
tiba-tiba ia ditabrak oleh sepeda motor dari sisi kanan. Tidak ada riwayat
penurunan kesadaran. Tidak ada riwayat mual dan muntah proyektil. Tidak ada
riwayat hipertensi dan diabetes mellitus.
Pada pemeriksaan fisik daerah kaki kanan, ada deformitas,
pembengkakan, hematom, dan tidak ditemukan luka terbuka. Ada nyeri tekan,
gerakan aktif dan pasif lutut dan sendi pergelangan kaki tidak dapat dievaluasi
karena sakit. Neurovaskular distal dalam batas normal.
Pada laboratorium menemukan WBC 9.200 / ul, hb 12,1 gr / dl. Pada
pemeriksaan radiologi cruris dextra, hasilnya Closed fracture 1/3 middle right
tibia, Closed Fracture Middle Right Fibula.

VIII. DIAGNOSIS
- Closed fracture 1/3 middle right tibia
- Closed Fracture Middle Right Fibula

6
IX. PENATALAKSANAAN
- IVFD RL 20 TPM
- Analgesik dan Antibiotik
- Paracetamol 500mg/ 8jam/IV
- Ranitidin 50mg/ 12 jam/ IV
- Apply long leg back slab at right lower limb elevator, awasi neuoravaskular
distal
- Lapor konsulen Orthopedi

TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN

Fraktur adalah rosaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan


dan lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma. Tidak
hanya keretakan atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering
mengakibatkan kerosakan yang komplit dan fragmen tulang terpisah. Tulang
relatif rapuh, namun memiliki kekuatan dan kelenturan untuk menahan tekanan.
Fraktur dapat diakibatkan oleh cedera, stress yang berulang, kelemahan tulang
yang abnormal atau disebut juga fraktur patologis 1. Fraktur tibia tendensi terjadi
pada pasien-pasien yang berusia lanjut, kaena mereka lebih mudah jatuh dan
pada populasi ini sering ditemukan fraktur tipe III, fraktur terbuka dengan
fraktur kominutif. Dan hal ini lebih sering pada pada wanita yang berhubungan
dengan adanya osteoporosis dan terkait dengan perubahan hormone. Sedangkan
pada pasien usia muda, mekanisme trauma yang paling sering adalah kecelakaan
kendaraan bermotor. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan atau kecelakaan. 2,3

7
Penyebab fraktur ada 3 yaitu, fraktur traumatik yang dapat terjadi karena
trauma yang tiba-tiba, fraktur stress atau repetitif yang bisa terjadi karena adanya
trauma yang terus menerus pada suatu tempat yang tertentu, dan yang ketiga
adalah fraktur patologis yang terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya
akibat adanya kelainan patologis di dalam tulang. Fraktur patologis ini dapat
terjadi secara spontan atau akibat trauma ringan. 2

Sebagian besar fraktur disebabkan oleh fraktur traumatic atau fraktur


yang disebabkan kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa
pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Bila terkena
kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena, jaringan
lunaknya juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat
mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu,
kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada. Pada fraktur yang
diakibatkan oleh stress atau tekanan paling sering ditemukan pada tibia atau
fibula atau metatarsal, terutama pada atlet, penari, dan calon tentara yang jalan
berbaris dalam jarak jauh. Fraktur patologik pula dapat terjadi oleh tekanan yang
normal, jika tulang itu lemah contohnya adanya tumor atau keadaan tulang itu
sendiri yang bersifat sangat rapuh misalnya pada penyakit Paget.

Proses penyembuhan fraktur berbeda-beda pada tulang kortikal (pada


tulang panjang), tulang kanselosa (pada metafisis tulang panjang dan tulang-
tulang pendek) dan pada tulang rawan persendian. Proses penyembuhan fraktur
pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu :1,4

8
Gambar 5: Proses penyembuhan

a. Fase hematoma:
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang
melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah
fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma
yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat
mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi
ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak. Osteosit dengan lakunanya yang
terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur akan kehilangan darah dan mati,
yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulang yang mati pada
sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.

Gambar 6: Fase Hematoma

b. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal:


Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi
penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik
yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta

9
pada daerah endosteum membentuk kalus interna sebagai aktifitas seluler
dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat pada
periosteum, maka penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-sel
mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada tahap
awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi pertambahan jumlah dari sel-sel
osteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat pada jaringan osteogenik
yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler
tidak terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur.
Setelah beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa
yang meliputi jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologis kalus belum
mengandung tulang sehingga merupakan suatu daerah radiolusen.

Gambar 7: Fase Proliferasi seluler sub-periosteal

c. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)


Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen
sel dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas
membentuk tulang rawan. Tempat osteoblas diduduki oleh matriks
interseluler kolagen dan perlengketan polisakarida oleh garam-garam
kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk tulang ini disebut
sebagai woven bone. Pada pemeriksaan radiologi kalus atau woven bone
sudah terlihat dan merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya
penyembuhan fraktur.

10
Gambar 8: Fase Kalus

d. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)


Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan diubah
menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi
struktur lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara bertahap

Gambar 9: Fase Konsolidasi

e. Fase remodeling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian
yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis.
Pada fase remodeling ini, perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik
dan tetap terjadi proses osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara
perlahan-lahan menghilang. Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang
kompak dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan
mengalami peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.3

11
Gambar 10: Fase Remodeling

2. EPIDEMIOLOGI

Kecelakaan lalu-lintas merupakan pembunuh nomor tiga di Indonesia, setelah


penyakit jantung dan stroke. Pada kecelakaan lalu lintas banyak yang sebagian
korban yang mengalami fraktur. Banyak pula kejadian alam yang tidak terduga
yang banyak menyebabkan fraktur. Di Amerika Serikat, insidens tahunan fraktur
terbuka tulang panjang diperkirakan 11 per 100.000 orang, dengan 40% terjadi
di ekstremitas bawah. Fraktur ekstremitas bawah yang paling umum terjadi pada
diafisis tibia 1,2,6. Pada fraktur shaft tibia dan fibula adalah fraktur tersering yang
terjadi pada tulang panjang. Rata-rata populasi menunjukkan sebanyak 26 kasus
fraktur diafisis tibia pada lelaki dewasa muda yakni kelompok usia sekitar 15
hingga 19 tahun dengan insidensi sebanyak 109 kasus per 100,000 populasi
dalam satu tahun. Kasus fraktur diafisis tibia yang terbanyak pada wanita
mengenai usia lanjut dengan insidensi 49 kasus per 100,00 populasi dalam satu
tahun 6 .

3. ANATOMI KRURIS

Tibia adalah tulang tubular panjang dangan penampang berbentuk segitiga.


Tulang ini termasuk tulang panjang, sehingga terdiri dari tiga bagian:3,4,5
1. Epiphysis proximalis (ujung atas)

12
Bagian ini melebar secara transversal dan memiliki permukaan sendi superior
pada tiap condylus, yaitu condylus medial dan condylus lateral. Ditengah-
tengahnya terdapat suatu peninggian yang disebut eminenta intercondyloidea.
2. Diaphysis (corpus)
Pada penampang melintang merupakan segitiga dengan puncaknya menghadap
ke muka, sehingga corpus mempunyai tiga sisi yaitu margo anterior (di sebelah
muka), margo medialis (di sebelah medial) dan crista interossea (di sebelah
lateral) yang membatasi facies lateralis, facies posterior dan facies
medialis.Facies medialis langsung terdapat dibawah kulit dan margo anterior di
sebelah proximal.
3. Epiphysis distalis (ujung bawah)
Ke arah medial bagian ini kuat menonjol dan disebut maleolus medialis (mata
kaki). Epiphysis distalis mempunyai tiga dataran sendi yaitu dataran sendi yang
vertikal (facies articularis melleolaris), dataran sendi yang horizontal (facies
articularis inferior) dan disebelah lateral terdapat cekungan sendi (incisura
fibularis).

Fibula adalah tulang yang tipis pada bagian lateral tubuh dari tungkai bawah.
Merupakan tulang yang panjang, langsing, terletak di sebelah lateral tibia.
Epiphysis proximalis membulat disebut capitulum fibulae. Kearah proximal
meruncing menjadi apex. Pada capitulum terdapat dua dataran sendi yang
disebut facies articularis capitulli fibulae, untuk bersendi dengan tibia. Pada
corpus terdapat empat buah crista yaitu, crista lateralis, crista anterior, crista
medialis dan crista interosssea. Datarannya ada tiga buah yaitu facies lateralis,
facies medialis dan facies posterior. Pada bagian distal ke arah lateral membulat
menjadi maleolus lateralis.

Ada perbedaan yang mendasar antara fraktur pada anak dengan fraktur pada
orang dewasa, perbedaan tersebut pada anatomi, biomekanik, dan fisiologi
tulang. Pada anak-anak antara epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis
sebagai daerah pertumbuhan kongenital. Lempeng epifisis ini akan menghilang

13
pada dewasa, sehingga epifisis dan metafisis ini akan menyatu pada saat itulah
pertumbuhan memanjang tulang akan berhenti.

Tulang panjang terdiri dari : epifisis, metafisis dan diafisis. Epifisis merupakan
bagian paling atas dari tulang panjang, metafisis merupakan bagian yang lebih
lebar dari ujung tulang panjang, yang berdekatan dengan diskus epifisialis,
sedangkan diafisis merupakan bagian tulang panjang yang di bentuk dari pusat
osifikasi primer3,4,5.

Gambar 11: Komposisi Tulang Panjang

Suplai darah:
Arteri yang menutrisi tibia berasal dari arteri tibialis posterior, yang memasuki
korteks posterolateral distal sampai ke origin dari muskulus soleus. Pada saat
pembuluh darah memasuki kanalis intermedullaris, ia terbagi menjadi tiga
cabang asendens dan satu cabang desendens. Cabang-cabang ini yang kemudian
membentuk endosteal vascular tree, yang beranastomose dengan arteri
periosteal dari arteri tibialis posterior.

14
Arteri tibialis anterior bersifat rapuh terhadap trauma karena perjalanannya yang
melalui sebuah celah padah mebran interosseus. Apabila arteri yang menutrisi
mengalami ruptur akan terjadi aliran melalui korterks, dan suplai darah
periosteal akan menjadi lebih penting. Hal ini menekankan pentingnya
mempertahankan perlekatan periosteum selama fiksasi.
Fibula berperan sebesar 6%-17% dalam menopang berat badan. Pada
bagian leher fibula berjalan nervus peroneus komunis yang sangat dekat dengan
permukaan kulit. Hal ini menyebabkan nervus peroneus komunis rentan
terhadap trauma langsung pada daerah leher fibula.

Gambar 12: Tibia dan fibula

15
Gambar 13: Otot-otot ekstremitas bawah

Terdapat 4 kompartemen pada bagian ekstremitas bawah4 :


a. Anterior:
 Otot tibialis Anterior
 Otot extensor hallucis longus
 Otot extensor digitorum longus
 Tendon peroneus tertius

b. Lateral :
 Otot dan tendon peroneus longus dan peroneus brevis
 Otot dan tendon peroneus longus dan peroneus longus

c. Superficial Posterior:
 Otot gastrocnemius
 Otot soleus
 Otot plantaris

d. Deep Posterior:
 Otot tibiaslis posterior
 Otot flexor digitorum longus
 Otot flexor digitorum brevis

16
4. KLASIFIKASI

Tscherne Classification of Closed Fracture5

Grades Injury Mechanisms Soft Tissue Damage


Grade 0 Indirect Force Negligible soft tissue damage
Low to moderate energy mechanisms Superficial abrasions or contusions of
Grade I
soft tissues overlying the fracture

Deep abrasions, muscle/skin contusion,


Grade II Moderate to severe energy mechanisms direct trauma, high risk compartment
syndrome

Extensive crushing of soft tissues, with


Severe energy mechanisms subcutaneous degloving or avulsion,
Grade III
with arterial disruption or established
compartment syndrome

5. MEKANISME TRAUMA

Kebanyakan fraktur disebabkan oleh kekuatan yang berlebihan dan terjadi


secara tiba-tiba. Terbagi menjadi trauma langsung (direct trauma) dan juga
trauma tidak langsung (indirect trauma). Trauma langsung menyebabkan fraktur
tulang pada daerah yang terkena dampak. Trauma langsung dapat menyebabkan
fraktur berbentuk transvere atau berbentuk kupu-kupu. Trauma langsung
misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang. Trauma tidak
langsung akan menyebabkan fraktur tulang pada daerah yang jauh dari tempat
dampak meskipun kerusakan soft tissue pada daerah dampak tetap mengalami
kelainan. trauma yang tidak langsung sebagai contoh apabila penderita jatuh
dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pergelangan
tangan1.

17
Mekanisme trauma dapat dibagi berdasarkan dampak5.
a. Fraktur energy rendah:
- kerusakan torsional, pada cedera indirect menyebabkan fraktur spiral, atau
transversal, kadang pula berbentuk butterfly fragment
- fraktur fibula pada level yang berbeda, tscherne grade 0/1 pada keusakan
soft tissue.
- kompartemen sindrom dan fraktur terbuka bisa terjadi
b. Fraktur energy tinggi : kecelakaan motor
- pada trauma direct sering menunjukkan fraktur obliq dan kadang kala
cominutif, pergeseran dari fragment tulang yang fraktur
- fraktur fibula pada level yang sama, kerusakan soft tissue yang hebat

c. Penetrasi : tembakan

- Bentuk fraktur bermacam – macam tapi sering kominutif

6. PENATALAKSANAAN

Pertimbangan pertama pada pasien fraktur adalah menangani pasien


secara menyeluruh dan bukan hanya menangani frakturnya. Ada tiga fase pada
penanganan pasien fraktur 1) emergency care, 2) definitive care 3) rehabilitasi.
Prinsip dari penanganan fraktur adalah manipulasi untuk mengembalikan posisi
patahan tulang ke posisi semula (reduksi) dan mempertahankan posisi itu selama
masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi) hingga mereka menyatu (united),
sementara pergerakan sendi dan fungsi tulang masih perlu untuk di pertahankan
(mempertahankan fungsi).1

Tidak semua fraktur memerlukan tindakan reduksi, terutama apabila


tidak ada pergeseran dari fragment patahan tulang atau ada pergeseran dari
fragment tulang namun tidak berpengaruh untuk hasil akhir penyembuhan tulang.
Adapun metode reduksi yang dapat dilakukan antara lain 1) reduksi tertutup
dimana tindakan ini adalah tindakan yang paling umum dilakukan dan diperlukan
imobilisasi setelah dilakukan 2)traksi 3) reduksi terbuka.9

18
Setelah dilakukan reduksi maka dilanjutkan dengan immobilisas
adapaun alasan dilakukannya immobilisasi antara lain untuk mencegah pergeseran
dan angulasi daripada tulang, untuk mencegah gerakan yang mungkin dapat
mengganggu proses union, untuk mengurangi rasa nyeri ini merupakan hal yang
paling penting dalam tiap tindakan immobilisasi pada fraktur. Immobilisasi dapat
dilakukan dengan cara non operatif maupun dengan cara operatif. Non operatif
dapat dilakukan dengan cara strapping, sling ataupun dengan cast.operatif dapat
dilakukan dengan cara internal fiksasi atau eksternal fiksasi, dan mobilisasi sendi.9

Rehabilitasi merupakan upaya untuk mengembalikan fungsi dari tulang


yang fraktur seperti sebelum dia fraktur. Rehabilitasi daripada fraktur dimulai dari
terjadinya kejadian tersebut hingga fungsi maksimum dapat dilakukan kembali.
Sepanjang perjalanan fraktur untuk kembali menjadi union maka harus dilakukan
gradual weight bearing. Beberapa alat bantu jalan seperti walker, crutches, stick
dan yang lain sebagainya mungkin diperlukan.9

Skema mengenai penanganan fraktur secara umum9

Tujuan utama dari penanganan pasien dengan fraktur tibia adalah 1)


Untuk membatasi kerusakan jaringan lunak dan mempertahankan kulit, 2) untuk
mencegah atau paling tidak untuk mengenali adanya kompartemen sindrom
3)untuk mengembalikan dan mempertahankan alignment fraktur, 4) untuk
memulai dini weightbearing, 5) melatih pergerakan sendi sedini mungkin. 1

19
Penanganan fraktur pada tibia dapat dilakukan dengan tindakan non
operatif maupun dengan cara operatif. Fraktur tibia yang yang terjadi karena
farktur energy rendah tanpa adanya pergeseran tulang atau dengan pergeseran
yang minimal dapat dilakukan penanganan non operatif berupa pemasangan cast
dari paha bagian atas ke metatarsal (Full length leg cast). Reduksi fraktur yang
dapat diterima antara lain angulasi varus valgus kurang dari 5 derajat, angulasi
anterior posterior kurang dari 10 derajat (disarankan kurang dari 10 derajat),
pemendekan kurang dari 1 cm, deformitas yang berotasi kurang dari 10 derajat
dengan lebih baik pada eksterna rotasi dibanding internal rotasi, kontak kortikal
kurang dari 50%, spina iliaka anterior superior, pusat patela, dan pangkal
proksimal kedua phalanx harus kolinear.3
Apabila didapatkan pergeseran dari fraktur dapat dilakukan reduksi
tertutup dengan anestesi umum di ruang operasi dengan batuan sinar x. Aposisi
tidak harus sempurna tapi cukup mendekati (angulasi tidak lebih dari 7 deajat).
Full length leg cast di pakaikan dan paseien tetap di observasi selama 48-72 jam.
Setelah 2 minggu pasien akan di kontrol kembali menggunakan sinar x. Cast terus
dipertahankan hingga fraktur menjadi union atau sekitar 12 minggu pada orang
dewasa. Pasien tetap di ajarkan untuk eksersise dari awal untuk melatih otot-otot
kaki, sendi ankle dan lutut,apabila sudah waktunya pasien juga sudah mulai bisa
untuk di ajarkan berjalan. Full length leg cast dapat diganti menjadi functional
cast setelah 4 – 6 minggu.1
Apabila didapatkan fraktur pada shaft fibula hal itu dapat diabaikan
kecuali bila pergeeseran fibula tersebut dapat mempengaruhi pergerakan sendi
ankle. Meskipun begitu tetap diperlukan immobilisasi dari fragment tulang yang
patah untuk meminimalisir nyeri.3
Penanganan operatif pada fraktur harus memperhatikan indikasi absolut
dan relative. Indikasi absolut antara lain reduksi tertutup gagal dilakukan, fraktur
yang bergeser ke intraartikular, frsktur ysng non union. Sedangkan indikasi
relative antara lain delayed union, fraktur multiple, fraktur patologis, apabila
telah diketahui bahwa reduksi tertutup tidak memiliki arti bila dilakukan, fraktur
dengan trauma saraf dan pembuluh darah. 9

20
7. KOMPLIKASI

Komplikasi dari pada fraktur dibagi menjadi komplikasi yang cepat


munculnya dan komplikasi yang lamabat, komplikasi yang cepat antara lain
vascular injury, kompartemen sindrom, dan infeksi. Sedangkan untuk komplikasi
lambat antara lain malunion, delayed union, dan kekakuan sendi.1

a. Neurovascular Injury :

Cedera vaskuler dan saraf pada kondisi fraktur dapat terjadi baik secara
langsung oleh trauma bersamaan dengan terjadinya fraktur, ataupun secara
tidak langsung karena tertusuk fragmen tulang atau tertekan edem disekitar
fraktur.Selain itu, pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan. Cedera pada saraf biasanya dapat ditandai dengan kelainan
pada saraf di bahagian distal tubuh, tetapi dapat juga pada profunda 7.

b. Compartment Syndrome:

Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan


dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang
membungkus otot terlalu ketat atau gips (balutan) yang terlalu menjerat dan
peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan
sehubungan dengan berbagai masalah(iskemi, cedera remuk, penyuntikan
bahan penghancur jaringan). Pencegahan dan penatalaksanaan sindrom
kompartemen dapat dicegah dengan mengontrol edema yang dapat dicapai
dengan meninggikan ekstremitas yang cedera setinggi jantung dan
memberikan kompres es setelah cedera sesuai resep, Bila terjadi sindrom
kompartemen, balutan yang kuat harus dilonggarkan7,8.

21
c. Infeksi:

Biasanya terjadi pada fraktur akibat trauma dan berupa fraktur terbuka.
Kerusakan jaringan lunak akan memudahkan timbulnya infeksi baik pada
jaringan lunak itu sendiri maupun sampai di jaringan tulang itu sendiri
(osteomielitis ).

Dan dapat juga terjadi pada operasi fraktur tertutup. Keadaan ini
dapatmenimbulkan delayed union atau bahkan non union.Komplikasi sendi
dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada fraktur
terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan
kartilagosendi dan berakhir dengan degenerasi 7

d. Malunion/ Non Union:

 Non-union merupakan akibat imobilisasi yang tidak adekuat atau


adanya fraktur patologis. Non union terjadi karena adanya
konsolidasi pada fase pembentukan kalus yang dimulai minggu ke 4-
8 dan berakhir pada minggu ke 8- 14 setelah terjadinya fraktur.

 Mal-union adalah penyembuhan dengan angulasi yang buruk,


keadaan ini dikatakan buruk karena fraktur sembuh pada saatnya,
tetapi terdapat deformitas yang terbentuk angulasi, varus / valgus,
rotasi, kependekan atau union secara menyilang misalnya pada
fraktur radius dan ulna 9.

e. Kekakuan sendi

Hal ini terjadi apabila sendi – sendi disekitar fraktur tidak/ kurang
digerakkan sehingga terjadi perubahan synovial sendi, penyusutan kapsul,
inextensibility otot, pengendapan callus dipermukaan sendi dan timbulnya
jaringan fibrous pada ligament 9.

DAFTAR PUSTAKA

22
1. Apley A. Graham. Solomon Louis, Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures, 7th edition, Butterworth Heinemann Oxford, Injuries of the knee and
leg.
2. Rasjad C. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta: PT Yarsif Watampone; 2006;
355-6, 398, 431-4.
3. Handbook of Fractures 5th Edition, Chapter 37: Lower Extremity Fracture and
Dislocation; Tibia/Fibula Shaft
4. Thompson JC. Chapter 9: leg/knee. In: Netter’s concise orthopaedic anatomy. 2nd
ed. USA: Elsevier Saunders; 2010; 251-81.
5. https://www.orthobullets.com/trauma/1003/gustilo-classification Brinker. Review
Of Orthopaedic Trauma, Pennsylvania: Saunders Company, 127-135.
6. Bulcholz RW, Heckman JD, Court-Brown CM. Rockwood & Green's Fractures
in. Adults, 6th Edition. USA: Maryland Composition. 2006. p80-331
7. Sjamsuhidayat, de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: Penerbit. Buku
Kedokteran ECG. 2011. p959-1083
8. Salter RB. Textbook Disorders and Injuries of The Muskuloskeletal System Third.
Edition. USA: Lippincott Williams and Wilkins. 1999. p417-498
9. Maheswari. Essential Orthopaedics. New Delhi : The Health Sciences Publisher.
Chapter 21: Injuries to The Leg Ankle and Foot

23

Anda mungkin juga menyukai