Anda di halaman 1dari 27

Bagian Ilmu Kesehatan Mata Laporan Kasus & Referat

Fakultas Kedokteran Maret 2018


Universitas Hasanuddin

DAKRIOSISTITIS KRONIK

Oleh:
Nurul Magfirah Rusli
C111 13 564

Pembimbing
dr. Ira Aldita Noviyanty

Supervisor
Dr. dr. Noor Syamsu, Sp.M(K), M. Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS HASANUDDIN
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menerangkan bahwa laporan kasus dan
referat dengan judul OD Dakriosistitis Kronik, yang disusun oleh:

Nama : Nurul Magfirah Rusli


NIM : C111 13 564
Asal Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Telah diperiksa dan dikoreksi, untuk selanjutnya dibawakan sebagai tugas


pada bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
pada waktu yang telah ditentukan.

Makassar, 8 Maret 2018

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

Dr. dr. Noor Syamsu, Sp.M(K), M. Kes dr. Ira Aldita Noviyanty
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Ny. R. D
 Jenis kelamin : Perempuan
 Umur : 61 tahun
 Agama : Islam
 Suku/Bangsa : Gorontalo/Indonesia
 Pekerjaan : Wiraswasta
 Alamat : Desa Huntu Barat, Gorontalo
 No. Register : 830971
 Tanggal pemeriksaan : 22 Februari 2018
 Rumah sakit : RSWS

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Air mata berlebih di mata kanan
Anamnesis Terpemimpin :
Dialami sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu disertai bengkak pada sudut
bagian dalam mata kanan yang dirasakan terus menerus, ada riwayat keluar
nanah dari benjolan, nyeri ada hilang timbul, kotoran mata berlebih ada, mata
merah tidak ada, gatal tidak ada, silau tidak ada, rasa mengganjal tidak ada,
rasa berpasir tidak ada, penglihatan menurun tidak ada. Riwayat nyeri kepala
tidak ada. Riwayat berobat 2 bulan yang lalu di Gorontalo, diberikan obat
tetes mata dan obat oral mefinal, cefadroxyl, metilprednisolon tapi keluhan
tidak berkurang. Riwayat trauma tidak ada. Riwayat operasi katarak 5 bulan
yang lalu, pada mata kanan dan kiri. Riwayat penggunaan kacamata ada
untuk membaca jauh dan dekat. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama
tidak ada. Riwayat DM dan Hipertensi disangkal.

III. STATUS GENERALIS


 KU : Sakit sedang/ gizi baik/ compos mentis
 Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 125/82 mmHg
- Nadi : 102 x/ menit
- Pernapasan : 18x/ menit
- Suhu : 36,5 C

IV. FOTO KLINIS


Oculus Dextra 22/02/2018 Oculus Sinistra 22/02/108

V. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
A. Inspeksi
Pemeriksaan OD OS
Palpebra Edema daerah kantus Edema (-)
medial (+)
Apparatus Hiperlakrimasi (+) Hiperlakrimasi (-)
lakrimalis
Silia Sekret (+) berasal dari Sekret (-)
pus benjolan
Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Bola Mata Intak Intak

Mekanisme
muscular

Kornea Jernih Jernih


Bilik mata depan VH4 VH4
Iris Cokelat, kripte (+) Cokelat, kripte (+)
Pupil Bulat sentral, Refleks Bulat sentral, Refleks
cahaya (+) cahaya(+)
Lensa IOL (+) sentral IOL (+) sentral

B. Palpasi
Pemeriksaan OD OS
Tekanan Okular Tn Tn
Nyeri tekan (-) (-)
Massa Tumor Benjolan di daerah (-)
kantus medial
Glandula pre-aurikular Pembesaran (-) Pembesaran (-)

C. Tonometri
TIOD : 19 mmHg
TIOS : 18 mmHg

D. Visus
VOD : 6/12
VOS : 6/9,6

E. Color Sense
Tidak dilakukan pemeriksaan.

F. Penyinaran Oblik
Pemeriksaan OD OS
Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kornea jernih jernih
BMD VH4 VH4
Iris Cokelat, Kripte (+) Cokelat, kripte (+)
Pupil Bulat, reflex cahaya (+) Bulat, refleks cahaya
(+)

G. Funduskopi
Tidak Dilakukan Pemeriksaan

H. Tes Anel
Oculus Dextra Superior : negatif (-)
Oculus Dextra Inferior : negatif (-), sekret dari punctum
inferior (+)
I. Slit Lamp
SLOD : Palpebra edema daerah kantus medial (+). Silia sekret (+).
Konjungtiva hiperemis (-). Kornea jernih. BMD VH4, Iris coklat, kripte
(+). Punctum lacrimal kesan udem (+). Pupil bulat, sentral, Refleks
Cahaya (+), IOL (+) sentral.

SLOS : Palpebra edema (-). Silia sekret (-). Konjungtiva


hiperemis (-). Kornea jernih. BMD VH4, Iris coklat, kripte (+). Pupil
bulat, sentral, Refleks Cahaya (+), IOL (+) sentral.

J. Pemeriksaan Mikrobiologi
Tidak dilakukan pemeriksaan.

VI. RESUME
Seorang perempuan berusia 61 tahun datang ke poli RSUP Wahidin
Sudirohusodo dengan keluhan air mata berlebih pada oculi dextra. Dialami
sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu disertai bengkak pada sudut bagian
dalam mata kanan yang dirasakan terus menerus, ada riwayat keluar nanah
dari benjolan, nyeri ada hilang timbul, kotoran mata berlebih ada, mata
merah tidak ada, gatal tidak ada, silau tidak ada, rasa mengganjal tidak
ada, rasa berpasir tidak ada, penglihatan menurun tidak ada. Riwayat nyeri
kepala tidak ada. Riwayat berobat 2 bulan yang lalu di Gorontalo,
diberikan obat tetes mata dan obat oral mefinal, cefadroxyl,
metilprednisolon tapi keluhan tidak berkurang. Riwayat trauma tidak ada.
Riwayat operasi katarak 5 bulan yang lalu, pada mata kanan dan kiri.
Riwayat penggunaan kacamata ada untuk membaca jauh dan dekat.
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama tidak ada. Riwayat DM dan
Hipertensi disangkal.
Pada pemeriksaan visus di dapatkan VOD: 6/12, VOS: 6/9,6
Pada pemeriksaan oftalmologi pada oculi dextra didapatkan palpebra
udem pada daerah kantus medial, hiperlakrimasi, silia sekret ada berasal
dari pus benjolan, punctum lacrimal kesan udem, dan terpasang IOL di
bagian sentral. Dilakukan pemeriksaan tes anel dan di dapatkan hasil
negatif.

VII. DIAGNOSIS
OD Dacriosistitis kronik

VIII. DIAGNOSIS BANDING


 Hordeolum
 Selulitis orbita

IX. PENATALAKSANAAN
Terapi Farmakologi :
 Levofloxacin 1 tetes / 4 jam / OD
 Natrium diklofenak 50 mg / 12 jam / oral
 Amoxicilin 500 mg / 8 jam / oral
Terapi Non Farmakologi:
 Kompres air hangat
 Massase untuk mengeluarkan pus
 Edukasi terapi : pemakaian obat tetes mata yang adekuat dan teratur
Rencana Tindakan :
- Pemeriksaan Laboratorium fungsi ginjal
- Foto fistulografi ODS

X. PROGNOSIS
 Qua ad vitam : Bonam
 Qua ad sanationem : Dubia ad Bonam
 Qua ad visum : Dubia ad Bonam
 Qua ad kosmeticum : Bonam
DAKRIOSISTITIS

I. Anatomi dan Fisiologi Sistem Lakrimalis


Sistem lakrimal terdiri dari dua bagian, yaitu sistem sekresi yang berupa
kelenjar lakrimalis dan sistem ekskresi yang terdiri dari punctum lakrimalis,
kanalis lakrimalis, sakus lakrimalis, duktus nasolakrimalis, dan meatus inferior. 1
Kelenjar lakrimalis terletak pada bagian lateral atas mata yang disebut dengan
fossa lakrimalis. Bagian utama kelenjar ini bentuk dan ukuranya mirip dengan biji
almond, yang terhubung dengan suatu penonjolan kecil yang meluas hingga ke
bagian posterior dari palpebra superior. Dari kelenjar ini, air mata diproduksi dan
kemudian dialirkan melalui 8-12 duktus kecil yang mengarah ke bagian lateral
dari fornix konjungtiva superior dan di sini air mata akan disebar ke seluruh
permukaan bola mata oleh kedipan kelopak mata.3
Gambar 1. Kelenjar Lakrimalis dan Sistem Drainase3

Selanjutnya, air mata akan dialirkan ke dua kanalis lakrimalis, superior dan
inferior, kemudian menuju ke punctum lakrimalis yang terlihat sebagai
penonjolan kecil pada kantus medial. Setelah itu, air mata akan mengalir ke dalam
sakus lakrimalis yang terlihat sebagai cekungan kecil pada permukaan orbita. Dari
sini, air mata akan mengalir ke duktus nasolakrimalis dan bermuara pada meatus
nasal bagian inferior. Dalam keadaan normal, duktus ini memiliki panjang sekitar
12 mm dan berada pada sebuah saluran pada dinding medial orbita.3

Sistem Sekresi Air Mata


Permukaan mata dijaga tetap lembab oleh kelenjar lakrimalis. Sekresi basal air
mata perhari diperkirakan berjumlah 0,75-1,1 gram dan cenderung menurun seiring
dengan pertambahan usia. Volume terbesar air mata dihasilkan oleh kelenjar air mata
utama yang terletak di fossa lakrimalis pada kuadran temporal di atas orbita. Kelenjar ini
terletak didalam palpebra superior. Setiap kelenjar ini dibagi oleh kornu lateral
aponeurosis levator menjadi lobus orbita yang lebih besar dan lobus palpebra yang lebih
kecil. Setiap lobus memiliki saluran pembuangannya tersendiri yang terdiri dari tiga
sampai dua belas duktus yang bermuara di forniks konjungtiva superior. Sekresi dari
kelenjar ini dapat dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan menyebabkan air mata mengalir
berlimpah melewati tepian palpebra (epiphora).
Persarafan pada kelenjar utama berasal nukleus lakrimalis pons melalui nervus
intermedius dan menempuh jalur kompleks dari cabang maksilaris nervus trigeminus.
Kelenjar lakrimal tambahan, walaupun hanya sepersepuluh dari massa utama, mempunya
peranan penting. Kelenjar Krause dan Wolfring identik dengan kelenjar utama yang
menghasilkan cairan serosa namun tidak memiliki sistem saluran. Kelenjar-kelenjar ini
terletak di dalam konjungtiva, terutama forniks superior. Sel goblet uniseluler yang
tersebar di konjungtiva menghasilkan glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi
kelenjar sebasea Meibom dan Zeis di tepian palpebra memberi substansi lipid pada air
mata. Kelenjar Moll adalah modifikasi kelenjar keringat yang juga ikut membentuk film
prekorneal 4

Komposisi air mata terdiri dari :


 Sel goblet pada konjungtiva membentuk lapisan terdalam air mata dengan
mensekresi musin, dimana distribusinya merata pada permukaan mata.
 Glandula lakrimalis dan glandula aksesorius membentuk lapisan intermediate
akuos pada air mata.
 Kelenjar Meibom memproduksi minyak pada lapisan terluar air mata, yang
mengurangi penguapan lapisan dasar akuos.5

Sistem Ekskresi Air Mata

Sistem ekskresi terdiri atas punkta, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus
nasolakrimalis. Setiap berkedip, palpebra menutup mirip dengan risleting yaitu mulai di
lateral, menyebarkan air mata secara merata di atas kornea, dan menyalurkannya ke
dalam sistem ekskresi pada aspek medial palpebra. Setiap kali mengedip, muskulus
orbicularis okuli akan menekan ampula sehingga memendekkan kanalikuli horizontal.
Dalam keadaan normal, air mata dihasilkan sesuai dengan kecepatan penguapannya, dan
itulah sebabnya hanya sedikit yang sampai ke sistem ekskresi. Bila memenuhi sakus
konjungtiva, air mata akan masuk ke punkta sebagian karena hisapan kapiler. 5
Dengan menutup mata, bagian khusus orbikularis pre-tarsal yang mengelilingi
ampula mengencang untuk mencegahnya keluar. Secara bersamaan, palpebra ditarik ke
arah krista lakrimalis posterior, dan traksi fascia mengelilingi sakus lakrimalis berakibat
memendeknya kanalikulus dan menimbulkan tekanan negatif pada sakus. Kerja pompa
dinamik mengalirkan air mata ke dalam sakus, yang kemudian masuk melalui duktus
nasolakrimalis – karena pengaruh gaya berat dan elastisitas jaringan – ke dalam meatus
inferior hidung. Lipatan – lipatan mirip katup dari epitel pelapis sakus cenderung
menghambat aliran balik air mata dan udara. Yang paling berkembang di antara lipatan
ini adalah “katup” Hasner di ujung distal duktus nasolakrimalis. Berikut adalah ilustrasi
dari sistem ekskresi air mata yang berhubungan dengan fungsi gabungan dari muskulus
orbikularis okuli dan sistem lakrimal inferior. 5
Gambar 2. Anatomi normal pada sistem ekskresi air mata. 5

Penguapan air mata mengurangi jumlah air mata sekitar 10% pada usia
lebih muda dan 20% pada usia lebih tua. Sebagian besar aliran air mata secara
aktif dipompa dari tear lake dengan adanya aktifitas otot orbikularis. Beberapa
bentuk teori mekanisme pompa air mata telah dikemukakan. Mekanisme menurut
Rosengren-Doane, kontraksi orbikularis memberikan kekuatan. Kontraksi tersebut
menghasilkan tekanan positif di dalam sakus lakrimalis, mendorong air mata
menuju hidung. Ketika kelopak mata membuka dan menutup rapat, sakus
lakrimalis akan memberikan tekanan negatif. Tekanan ini akan memberi tahanan
pada kelopak mata dan juga punktum. Ketika kelopak mata terbuka sempurna,
punktum terbuka dan tekanan negative mendorong air mata menuju kanalikuli.5
Gambar 3. Pompa lakrimasi. A, pada saat istirahat. B dengan menutupnya kelopak
mata, terjadi kontraksi m.orbicularis. Penekanan pada orbikularis pre tarsal dan
penutupan kanalikuli. Orbikularis preseptal, yang menuju sakus lakrimalis,
menarik sakus lakrimalis hingga terbuka. Membuat adanya tekanan negatif yang
menyebabkan air mata masuk ke sakus lakrimalis.C, dengan terbukanya kelopak
mata, relaksasi m.orbikularis, dan keelastisannya akan membentuk tekanan positif
dalam sakus yang mengalirkan air mata turun ke duktus.5

II. Definisi
Dakriosistitis adalah peradangan pada sakus lakrimalis akibat adanya
obstruksi pada duktus nasolakrimalis. Obstruksi pada anak-anak biasanya akibat
tidak terbukanya membran nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa akibat
adanya penekanan pada salurannya, misal adanya polip hidung.1

III. Epidemiologi
Penyakit ini sering ditemukan pada anak-anak atau orang dewasa di atas 40
tahun, terutama perempuan dengan puncakinsidensi pada usia 60 hingga 70
tahun.4 Dakriosistitis pada bayi yang baru lahir jarang terjadi, hanya sekitar 1%
dari jumlah kelahiran yang ada dan jumlahnya hampir sama antara laki-laki dan
perempuan.4 Jarang ditemukan pada orang dewasa usia pertengahan kecuali bila
didahului dengan infeksi jamur.1

IV. Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, dakriosistitis dibedakan menjadi 3
(tiga) jenis , yaitu:
a. Akut
Pasien dapat menunjukkan morbiditasnya yang berat namun jarang
menimbulkan kematian. Morbiditas yang terjadi berhubungan dengan abses
pada sakus lakrimalis dan penyebaran infeksinya.4
b. Kronis
Morbiditas utamanya berhubungan dengan lakrimasi kronis yang berlebihan
dan terjadinya infeksi dan peradangan pada konjungtiva.4
c. Kongenital
Merupakan penyakit yang sangat serius sebab morbiditas dan mortalitasnya
juga sangat tinggi. Jika tidak ditangani secara adekuat, dapat menimbulkan
selulitis orbita, abses otak, meningitis, sepsis, hingga kematian.
Dakriosistitis kongenital dapat berhubungan dengan amniotocele, di mana
pada kasus yang berat dapat menyebabkan obstruksi jalan napas.
Dakriosistitis kongenital yang indolen sangat sulit didiagnosis dan biasanya
hanya ditandai dengan lakrimasi kronis dan infeksi ocular surface. 4

Gambar 4. Dakriosistitis Akut3 Gambar 5. Dakriosistitis Kongenital3


V. Faktor Predisposisi Dan Etiologi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya obstruksi duktus
nasolakrimalis 5:
 Terdapat benda yang menutupi lumen duktus, seperti pengendapan
kalsium, atau koloni jamur yang mengelilingi suatu korpus alienum.
 Terjadi striktur atau kongesti pada dinding duktus.
 Penekanan dari luar oleh karena terjadi fraktur atau adanya tumor pada
sinus maksilaris.
 Obstruksi akibat adanya deviasi septum atau polip.5
Dakriosistitis dapat disebabkan oleh bakteri Gram positif maupun Gram
negatif. Bakteri Gram positif Staphylococcus aureus merupakan penyebab utama
terjadinya infeksi pada dakriosistitis akut, sedangkan Coagulase Negative-
Staphylococcus merupakan penyebab utama terjadinya infeksi pada dakriosistitis
kronis. Selain itu, dari golongan bakteri Gram negatif, Pseudomonas sp. juga
merupakan penyebab terbanyak terjadinya dakriosistitis akut dan kronis.6

VI. Patomekanisme
Awal terjadinya peradangan pada sakus lakrimalis adalah adanya obstruksi
pada duktus nasolakrimalis. Obstruksi duktus nasolakrimalis pada anak-anak
biasanya akibat tidak terbukanya membran nasolakrimal, sedangkan pada orang
dewasa akibat adanya penekanan pada salurannya, misal adanya polip hidung.
Obstruksi pada duktus nasolakrimalis ini dapat menimbulkan penumpukan air
mata, debris epitel, dan cairan mukus sakus lakrimalis yang merupakan media
pertumbuhan yang baik untuk pertumbuhan bakteri. 6
Ada 3 tahapan terbentuknya sekret pada dakriosistitis. Hal ini dapat
diketahui dengan melakukan pemijatan pada sakus lakrimalis.6 Tahapan-tahapan
tersebut antara lain:
 Tahap obstruksi
Pada tahap ini, baru saja terjadi obstruksi pada sakus lakrimalis, sehingga
yang keluar hanyalah air mata yang berlebihan.
 Tahap Infeksi
Pada tahap ini, yang keluar adalah cairan yang bersifat mukus, mukopurulen,
atau purulent tergantung pada organisme penyebabnya.
 Tahap Sikatrik
Pada tahap ini sudah tidak ada regurgitasi air mata maupun pus lagi. Hal ini
dikarenakan sekret yang terbentuk tertahan di dalam sakus sehingga
membentuk suatu kista.6

VII. Gejala Klinis


Gejala umum pada penyakit ini adalah keluarnya pus. Pada dakriosistitis
akut, pasien akan mengeluh nyeri di daerah kantus medial (epifora) yang
menyebar ke daerah dahi, orbita sebelah dalam dan gigi bagian depan. Sakus
lakrimalis akan terlihat edema, lunak dan hiperemi yang menyebar sampai ke
kelopak mata dan pasien juga mengalami demam. Jika sakus lakrimalis ditekan,
maka yang keluar adalah sekret mukopurulen. Pada dakriosistitis kronis gejala
klinis yang dominan adalah lakrimasi yang berlebihan terutama bila terkena angin.
Dapat disertai tanda-tanda inflamasi yang ringan, namun jarang disertai nyeri.
Bila kantung air mata ditekan akan keluar sekret yang mukoid dengan pus di
daerah punctum lakrimal dan palpebra yang melekat satu dengan lainnya.1,3
Pada dakriosistitis kongenital biasanya ibu pasien akan mengeluh mata
pasien merah pada satu sisi, bengkak pada daerah pangkal hidung dan keluar air
mata diikuti dengan keluarnya nanah terus-menerus. Bila bagian yang bengkak
tersebut ditekan pasien akan merasa kesakitan (epifora).5

VIII. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dakriosistitis dibutuhkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dapat dilakukan
dengan cara autoanamnesis dan heteroanamnesis. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan fisik. Jika, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik masih belum
bisa dipastikan penyakitnya, maka boleh dilakukan pemeriksaan penunjang.1

Beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui ada


tidaknya obstruksi serta letak dan penyebab obstruksi. Pemeriksaan fisik yang
digunakan Untuk memeriksa letak obstruksinya dapat digunakan probing test dan
anel test, sedangkan untuk memeriksa ada tidaknya obstruksi pada duktus
nasolakrimalis dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan zat warna fluorescein
2% sebagai indikator yaitu dye dissapearence test, fluorescein clearance test dan
John's dye test.1,4,5

Anel test merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai fungsi ekskresi air
mata ke dalam rongga hidung. Tes ini dikatakan positif bila ada reaksi menelan.
Hal ini menunjukkan bahwa fungsi sistem ekskresi lakrimal normal. Pemeriksaan
lainnya adalah probing test. Probing test bertujuan untuk menentukan letak
obstruksi pada saluran ekskresi air mata dengan cara memasukkan sonde ke dalam
saluran air mata. Pada tes ini, punctum lakrimal dilebarkan dengan dilator,
kemudian probe dimasukkan ke dalam sackus lakrimal. Jika probe yang bisa
masuk panjangnya lebi dari 8 mm berarti kanalis dalam keadaan normal, tapi jika
yang masuk kurang 8 mm berarti ada obstruksi.1,6

Gambar 8. Anel Test2,8

Pemeriksaan penunjang juga memiliki peranan penting dalan penegakkan


diagnosis dakriosistitis. CT scansangat berguna untuk mencari tahu penyebab
obstruksi pada dakriosistitis terutama akibat adanya suatu massa atau keganasan.
Dacryocystography (DCG) dandacryoscintigraphysangat berguna untuk
mendeteksi adanya kelainan anatomi pada sistem drainase lakrimal.4

Gambar 9. Probing Test2,8


Dye dissapearance test (DDT) dilakukan dengan meneteskan zat warna
fluorescein 2% pada kedua mata, masing-masing 1 tetes. Kemudian permukaan
kedua mata dilihat dengan slit lamp. Jika ada obstruksi pada salah satu mata akan
memperlihatkan gambaran seperti di bawah ini.1

Gambar 6. Terdapat obstruksi pada duktus nasolakrimalis kiri2,8

Fluorescein clearance test dilakukan untuk melihat fungsi saluran ekskresi


lakrimal. Uji ini dilakukan dengan meneteskan zat warna fluorescein 2% pada
mata yang dicurigai mengalami obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya. Setelah
itu pasien diminta berkedip beberapa kali dan pada akhir menit ke-6 pasien
diminta untuk beringus (bersin) dan menyekanya dengan tissue. Jika pada tissue
didapati zat warna, berarti duktus nasolakrimalis tidak mengalami obstruksi.1,4
Jones dye test juga dilakukan untuk melihat kelainan fungsi saluran ekskresi
lakrimal. Uji ini terbagi menjadi dua yaitu Jones Test I dan Jones Test II. Pada
Jones Test I, mata pasien yang dicurigai mengalami obstruksi pada duktus
nasolakrimalisnya ditetesi zat warna fluorescein 2% sebanyak 1-2 tetes.
Kemudian kapas yang sudah ditetesi pantokain dimasukkan ke meatus nasal
inferior dan ditunggu selama 3 menit. Jika kapas yang dikeluarkan berwarna hijau
berarti tidak ada obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya. Pada Jones Test II,
caranya hampir sama dengan Jones test I, akan tetapi jika pada menit ke-5 tidak
didapatkan kapas dengan bercak berwarna hijau maka dilakukan irigasi pada
sakus lakrimalisnya. Bila setelah 2 menit didapatkan zat warna hijau pada kapas,
maka dapat dipastikan fungsi sistem lakrimalnya dalam keadaan baik. Bila lebih
dari 2 menit atau bahkan tidak ada zat warna hijau pada kapas sama sekali setelah
dilakukan irigasi, maka dapat dikatakan bahwa fungsi sistem lakrimalnya sedang
terganggu.3,6

Gambar 7. Irigasi mata setelah ditetesi fluorescein pada Jones dye test II9

IX. Diagnosis Banding


A. Selulitis Orbita

Patogenesis selulitis orbita odontogen adalah melalui 3 rute dasar


penyebaran infeksi yaitu sinus paranasalis, jaringan lunak premaksila atau
melalui fossa infratemporalis dan fisura orbitalis inferior. Kasus terbanyak
adalah melalui sinus paranasalis. Puncak gigi molar dan premolar superior
terletak pada dasar sinus maksilaris, sehingga infeksi pada gigi-gigi ini
dapat mengakibatkan sinusitis maksilaris yang pada gilirannya akan
mengenai jaringan orbita dan menyebarnya infeksi menjadi selulitis
orbita.13

Menurut klasifikasi Chandler, secara kilnis selulitis orbita dibagi


dalam 5 tingkat yaitu 1. edem dan inflamasi preseptal (selulitis
preseptal/SP), ditandai oleh edem palpebra di bagian anterior septum
orbital, tanpa disertai nyeri tekan atau gejala okuler. 2. Selulitis orbital
(SO), terjadi perluasan infeksi ke posterior melewati septum orbital
dengan edem komponen orbital, ditandai dengan proptosis, kemosis,
gerakan bola mata terbatas dan atau gangguan penglihatan. 3. Abses
subperiosteal, merupakan pembentukan abses di daerah antara orbital dan
periosteum, ditandai dengan proptosis dan hilangnya fungsi penglihatan. 4.
Abses orbital, merupakan pembentukan abses di daerah orbital, ditandai
dengan optalmoplegi, hilangnya fungsi penglihatan dan proptosis berat. 5.
Trombosis sinus kavernosus (TSK), merupakan perluasan infeksi orbital
ke v. Optalmikus superior selanjutnya menuju sinus kavernosus dan orbital
bilateral. TSK ditandai dengan edem, eritem, optalmoplegi akibat
keterlibatan n. III, IV dan VI, dan pada tingkat yang lebih lanjut disertai
iritasi meningeal, sepsis dan gangguan kesadaran. Trombosis vena dapat
terjadi akibat pembentukan trombus fibrin oleh bakteri, seperti
stafilokokus dengan memproduksi koagulase yang menyebabkan
pembekuan plasma.14

Gambar 10.
Preseptal
Selulitis. Pasien
umur 8 tahun
dengan unilateral eyelid swelling and eritema.
Gambar 11. Pasien dengan selulitis orbita stadium abses pada mata kanan
tampak proptosis, kemosis dan adanya luka yang mengeluarkan nanah.13

Berbagai kondisi di atas harus segera diketahui mengingat


penanganan sedini mungkin yang tepat akan mencegah perkembangan
penyakit lebih berat. Sedangkan secara radiologis selulitis orbita
diklasifikasikan ke dalam 3 kategori utama yaitu infiltrasi difus jaringan
lemak, abses subperiosteal, dan abses orbita.14

Kuman penyebab selulitis orbita odontogen pada umumnya


polimikrobial, dengan proliferasi spesies aerob dan anaerob. Hasil kultur
terdiri dari kuman aerob gram-positif (S.aureus dan epidermis,
Streptoccosus) dan anaerob (Bacteroides) dan beberapa kuman oral
patogen (Peptostreptococcus, Prevotella, Fusobacterium, and
Streptococcus hemolitik). Terapi antibiotik harus berspektrum luas yang
mencakup semua spesies tersebut termasuk kuman patogen oral.

Selulitis orbita odontogen biasanya tidak memberikan respons


terhadap pemberian antibiotik saja dan memerlukan insisi dan drainase.
Menurut Pat dan Manning tindakan bedah orbita dan sinus pada kasus
selulitis orbita dilakukan bila secara klinis dan radiologis didapatkan
tanda-tanda supurasi, adanya penurunan visus pada pasien dengan
immunocompromised, adanya komplikasi lebih berat seperti kebutaan dan
defek pupil aferen dengan selulitis ipsilateral dan timbulnya tanda-tanda
progresivitas pada orbita walaupun sudah diberikan antibiotika intravena.13
B. Hordeolum

Hordeolum merupakan infeksi lokal atau proses peradangan


pada kelopak mata. Bila kelenjar Meibom yang terkena disebut
hordeolum internum, sedangkan bila kelenjar Zeiss atau Moll yang terkena
maka disebut hordeolum eksternum. Staphylococcus aureus adalah agen
infeksi pada 90-95% kasus hordeolum.16

Patogenesis terjadinya hordeolum eksterna diawali dengan


pembentukan nanah dalam lumen kelenjar oleh infeksi
Staphylococcus aureus. Biasanya mengenai kelenjar Zeis dan Moll.
Selanjutnya terjadi pengecilan lumen dan statis hasil sekresi kelenjar.
Statis ini akan mencetuskan infeksi sekunder oleh Staphylococcus
aureus. Terjadi pembentukan nanah dalam lumen kelenjar. Penonjolan
terutama ke daerah kulit kelopak. Pada hordeolum eksternum, nanah
dapat keluar dari pangkal rambut. Tonjolannya ke arah kulit, ikut
dengan pergerakan kulit dan mengalami supurasi, memecah sendiri ke
arah kulit. Secara histologis akan tampak gambaran abses, dengan
ditemukannya PMN dan debris nekrotik.16

Gambar 12. Hordeolum


eksternum.16

Hordeolum internum merupakan infeksi kelenjar Meibom yang


terletak di dalam tarsus dengan penonjolan terutama ke daerah kulit
konjungtiva tarsal. Hordeolum internum biasanya berukuran lebih besar
dibandingkan hordeolum eksternum. Pada hordeolum internum, benjolan
menonjol ke arah konjungtiva dan tidak ikut bergerak dengan pergerakan
kulit, serta jarang mengalami supurasi dan tidak memecah sendiri.

Gambar 13. Hordeolum Internum.16

Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan oftalmologis. Dari anamnesis didapatkan adanya benjolan
pada kelopak mata yang awalnya hanya berupa benjolan kecil berwarna
kemerahan namun makin lama makin membesar dan disertai nyeri bila
ditekan. Benjolan ini menjadi besar dan mengalami reaksi radang
akibat infeksi kuman stafilokokus pada kelenjar kelopak mata.

Dari pemeriksaan oftalmologi didapatkan adanya edema dan


hiperemi pada palpebra yang disertai nyeri. Benjolan menonjol kearah
kulit dan ikut bergerak dengan pergerakan kulit disertai adanya
supurasi tanpa injeksi konjungtiva. Kadang ditemukan pseudoptosis atau
ptosis yang terjadi akibat bertambah beratnya kelopak sehingga sukar
diangkat. Penatalaksanaan terdiri dari perawatan umum seperti kompres
hangat, antibiotik topikal ataupun sistemik dan pembedahan.16

X. Terapi
Pengobatan dakriosistitis pada anak (neonatus) dapat dilakukan dengan
masase kantong air mata ke arah pangkal hidung. Dapat juga diberikan antibiotik
amoxicillin/clavulanate atau cefaclor 20-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga dosis
dan dapat pula diberikan antibiotik topikal dalam bentuk tetes (moxifloxacin
0,5% atau azithromycin 1%)7 atau menggunakan sulfonamid 4-5 kali sehari 1.
Pada orang dewasa, dakriosistitis akut dapat diterapi dengan melakukan
kompres hangat pada daerah sakus yang terkena dalam frekuensi yang cukup
sering.1,8 Dari analisis antibiogram yang di isolasikan telah menemukan golongan
gentamisin, ciprofloxacin dan kloramfenikol merupakan golongan yang sensitif
terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif.
Untuk mengatasi nyeri dan radang, dapat diberikan analgesik oral
(acetaminofen atau ibuprofen), dan apabila perlu dilakukan perawatan di rumah
sakit dengan pemberian antibiotik secara intravena, seperti cefazoline tiap 8 jam 8.
Bila terjadi abses dapat dilakukan insisi dan drainase 1. Dakriosistitis kronis pada
orang dewasa dapat diterapi dengan cara melakukan irigasi dengan antibiotik.
Sumbatan duktus nasolakrimal dapat diperbaiki dengan cara pembedahan jika
sudah tidak radang lagi. 1
Penatalaksaan dakriosistitis dengan pembedahan bertujuan untuk
mengurangi angka rekurensi. Prosedur pembedahan yang sering dilakukan pada
dakriosistitis adalah dacryocystorhinostomy (DCR). Di mana pada DCR ini dibuat
suatu hubungan langsung antara sistem drainase lakrimal dengan cavum nasal
dengan cara melakukan bypass pada kantung air mata. Dulu, DCR merupakan
prosedur bedah eksternal dengan pendekatan melalui kulit di dekat pangkal
hidung. Saat ini, banyak dokter telah menggunakan teknik endonasal dengan
menggunakan scalpel bergagang panjang atau laser. 8
Gambar 13. Teknik Dakriosistorinostomi Eksternal4
Dakriosistorinostomi internal memiliki beberapa keuntungan jika
dibandingkan dengan dakriosistorinostomi eksternal. Adapun keuntungannya
yaitu, (1) trauma minimal dan tidak ada luka di daerah wajah karena operasi
dilakukan tanpa insisi kulit dan eksisi tulang, (2) lebih sedikit gangguan pada
fungsi pompa lakrimal, karena operasi merestorasi pasase air mata fisiologis tanpa
membuat sistem drainase bypass, dan (3) lebih sederhana, mudah, dan cepat (rata-
rata hanya 12,5 menit). 4
Kontraindikasi pelaksanaan DCR ada 2 macam, yaitu kontraindikasi absolut
dan kontraindikasi relatif. Kontraindikasi relatif dilakukannya DCR adalah usia
yang ekstrim (bayi atau orang tua di atas 70 tahun) dan adanya mucocele atau
fistula lakrimalis. Beberapa keadaan yang menjadi kontraindikasi absolut antara
lain:4
 Kelainan pada kantong air mata :
- Keganasan pada kantong air mata
- Dakriosistitis spesifik, seperti TB dan sifilis
 Kelainan pada hidung :
- Keganasan pada hidung
- Rhinitis spesifik, seperti rhinoskleroma
- Rhinitis atopi
 Kelainan pada tulang hidung, seperti periostitis4
Gambar 14. Teknik Dakriosistorinostomi Internal4

XI. Komplikasi
Dakriosistitis yang tidak diobati dapat menyebabkan pecahnya kantong air
mata sehingga membentuk fistel. Bisa juga terkadi abses kelopak mata, ulkus,
bahkan selulitis orbita.12

Komplikasi juga bisa muncul setelah dilakukannya DCR. Komplikasi


tersebut di antaranya adalah perdarahan pascaoperasi, nyeri transien pada segmen
superior os.maxilla, hematoma subkutaneus periorbita, infeksi dan sikatrik
pascaoperasi yang tampak jelas.12

XII. Prognosis
Dakriosistitis sangat sensitif terhadap antibiotika namun masih berpotensi
terjadi kekambuhan jika obstruksi duktus nasolakrimalis tidak ditangani secara
tepat, sehingga prognosisnya adalah dubia ad malam. Akan tetapi, jika dilakukan
pembedahan baik itu dengan dakriosistorinostomi eksternal atau
dakriosistorinostomi internal, kekambuhan sangat jarang terjadi sehingga
prognosisnya dubia ad bonam.2,12
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. 2008. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Ekananda N, Himayani R. 2017. Dakriosistitis Kronis Post Abses Sakus
Lakrimalis dengan Fistula Sakus Lakrimalis. Volume 7 |Nomor 3| Juni
2017.
3. Ellis, Harold. 2006. Clinical Anatomy, A Revision and Applied Anatomy
for Clinical Students Eleventh Edition. Massachusetts, USA : Blackwell
Publishing, Inc.
4. Gilliland, G.D. 2009. Dacryocystitis. [serial online].
http://www.emedicine.com/. [25 Februari 2018].
5. AAO. 2007. Orbit, Eyelid, and Lacrimal System. Singapore:American
Academy of Ophtalmology.
6. Mamoun, Tarek. 2009. Chronic Dacryocystitis. [serial online].
http://eyescure.com/Default.aspx?ID=84. [25 Februari 2018].
7. Barathi, Ramakrishnan, Maneksha, Shivakumar, Nithya dan Mittal. 2007.
Comparative Bacteriology of Acute and Chronic Dacryocystitis. [serial
online]. http://www.eye.com/. [25 Februari 2018].
8. Sowka, J.W., Gurwood, A.S., dan Kabat, A.G. 2010. Review of Optometry,
The Handbook of Occular Disease Management Twelfth Edition. [serial
online]. http://www.revoptom.com/. [25 Februari 2018].
9. Leitman, M.W. 2007. Manual for Eye Examination and Diagnosis Seventh
Edition. Massachusetts, USA : Blackwell Publishing, Inc .
10. Nascimento SB, Rodrigues AB, et al. Lacrimal Sac Mucocele. Brazil:
Centro Universitario UNINOVAFAPI; 2012. p 1-2.
11. Karim R, Ghabrial R, Lin B. Transitional Cell Carcinoma of the
Nasolacrimal Sac. Australia; University of Sydney; 2009. p 3-4.
12. O'Brien, Terrence P. 2009. Dacryocystitis. [serial online].
http://www.mdguidelines.com/dacryocystitis.htm. [25 Februari 2018].
13. Heni R, Balgis D, 2009. “Orbital Cellulitis and Endophthalmitis
Associated with Odontogenic Paranasal Sinusitis”. Jurnal Oftalmologi
Indonesia. Vol. 7. No. 1 Juni 2009.

14. Aminah S, Sunardi. 2007. “Selulitis Fasialis dengan Trombosis Sinus


Kavernosus”. Facial Cellulitis with Cavernosus Sinus Thrombosis.
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Mutiara
Medika Vol. 7 No. 1: 51-56, Januari 2007.

15. Emine A, Gamze D, Nurullah C. 2014. “Preseptal and orbital cellulitis”.


Yıldırım Beyazıt Univ. Medical Faculty Atatürk Training and Research
Hospital Dept. of Ophthalmology, Ankara, Turkey. www.jmidonline.org.
Vol 4, No 3, September 2014.

16. Kristina L, Jason J, Kay D. 2010. “Intervensions for acute Internal


Hordeolum”. Cochrane Database of Systematic Reviews 2010, Issue 9.

Anda mungkin juga menyukai