Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

DOKTER INTERNSHIP

EPIGLOTITIS AKUT

Oleh :
dr. Andi Sanapati, S. Ked

Pembimbing :
dr. Sufriani Syam, M. Kes, Sp.THT-KL

RSUD LATEMMAMALA
SOPPENG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Epiglotitis adalah peradangan akut pada daerah supraglotis, termasuk epiglotis,


arytenoid, dan lipatan aryepiglotis. Oleh karena mukosa dari daerah epiglotis longgar
dan kaya akan vaskular, sehingga peradangan, iritasi dan respon alergi dapat dengan
cepat menyebabkan edema dan pembengkakan vaskular yang mengakibatkan
obstruksi saluran napas atas total dan kematian mendadak.1,2
Epiglotitis biasanya disebabkan karena adanya infeksi bakteri pada daerah
tersebut, dengan bakteri penyebab terbanyak adalah Haemophilus influenzae tipe B.1
Epiglotitis paling sering terjadi pada anak-anak berusia 2 – 4 tahun, namun akhir-
akhir ini dilaporkan bahwa prevalensi dan insidensinya meningkat pada orang
dewasa. Data dari wilayah geografis yang mendapatkan vaksinasi rutin H. influenzae
tipe B konjugat didapatkan 90% hingga 95% dari semua kasus epiglotitis pada orang
dewasa menunjukkan bahwa agen bakteri sebagai penyebab sering tidak
ditemukan.3,4
Epiglotitis pada populasi dewasa sering melibatkan lebih banyak struktur
supraglotis (lipatan aryepiglotis, vallecula, dasar lidah) dan tidak terkait dengan
bakteremia (<15%), penyebab infeksi terbanyak pada populasi dewasa yaitu
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus pyogenes, atau Neisseria meningitidis.
Pada orang dewasa, epiglotitiss dikaitkan dengan sejumlah kondisi komorbiditas,
termasuk hipertensi, diabetes mellitus, penyalahgunaan zat, dan defisiensi imun.
Penyebab epiglotitis yang tidak menular juga harus dipertimbangkan, termasuk
cedera termal, menelan benda asing, dan menelan makanan pedas.5, 6
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan riwayat perjalanan penyakit dan tanda serta
gejala klinis yang ditemui, dan dari pemeriksaan radiologis seperti foto rontgen
lateral leher yang memperlihatkan edema epiglotis berupa “thumb sign” dan dilatasi
dari hipofaring, pemeriksaan USG epiglottis, CT Scan leher dan beberapa
pemeriksaan penunjang lainnya.7
Tujuan utama dari tatalaksana pada pasien dengan epiglotitis akut adalah
menjaga agar saluran napas tetap terbuka dan menangani infeksi penyebab atau
penyebab yang lainnya.7
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. MIR
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 21 Juni 1980
Umur : 39 tahun
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Alamat : BTN Graha Lacanre
No. RM : 212546
Tanggal MRS : 09 Maret 2020

2.2 ANAMNESIS
Keluhan utama :
Sesak napas
Anamnesis terpimpin :
Dirasakan sekitar 2 jam sebelum masuk RS, secara tiba – tiba, makin lama
makin bertambah sesak seperti dicekik. Pasien juga mengeluhkan tenggorokan
terasa perih hingga sulit berbicara dan menelan, seperti terhalang sesuatu. Pasien
memiliki keluhan batuk, sudah dialami lebih dari 1 tahun, hanya sesekali,
bersifat hilang timbul, batuk disertai lendir berwarna putih kental sulit
dikeluarkan, beberapa jam sebelum masuk RS pasien berusaha mengeluarkan
lendir dengan batuk secara keras berulang kali namun lendir dirasakan tidak
keluar. Pasien sulit menelan air liur karena nyeri saat menelan hingga air liur
menetes keluar. Ada rasa tidak enak badan, sejak beberapa jam sebelum masuk
RS, tidak ada rasa perih dan panas di dada/ulu hati. Tidak mual dan muntah,
riwayat tersedak sesuatu disangkal, riwayat trauma pada leher disangkal, buang
air kecil kesan lancar, buang air besar kesan biasa.
a. Riwayat penyakit dahulu
1) Riwayat keluhan serupa : disangkal.
2) Riwayat ISPA : ada, namun tidak sering.
3) Riwayat PPOK : disangkal.
4) Riwayat alergi : disangkal.
5) Riwayat diabetes melitus : disangkal.
6) Riwayat hipertensi : disangkal.
7) Riwayat penyakit jantung : disangkal.
8) Riwayat penyakit kuning : disangkal.

b. Riwayat penyakit keluarga


1) Riwayat keluhan serupa : disangkal.
2) Riwayat PPOK : disangkal.
3) Riwayat alergi : disangkal.
4) Riwayat diabetes melitus : disangkal.
5) Riwayat hipertensi : disangkal.
6) Riwayat penyakit jantung : disangkal.
c. Riwayat kontak : Pasien tidak memiliki riwayat kontak dengan seseorang
yang memiliki keluhan yang sama, riwayat kontak dengan pasien TB (-),
pasien Covid-19 (-), terduga Covid-19 (-), riwayat perjalanan keluar daerah 1
bulan terakhir (-).
d. Riwayat pengobatan: Pasien tidak mengkonsumsi obat apapun. Pasien jarang
memeriksakan diri ke Puskesmas, biasanya hanya jika pasien batuk pilek
(ISPA) namun hanya sesekali saja.
e. Riwayat kebiasaan : Pasien perokok aktif, sebungkus per hari sejak kuliah (20
tahun).

2.3 PEMERIKSAAN FISIS


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 19 Mei 2019
a. Keadaan umum : Lemah
Status Gizi : Cukup (BB 64 kg, TB 162 cm, IMT 24,38 kg/m2)
Kesadaran : Compos mentis (GCS: 15, E4V5M6)
b. Tanda Vital :
1) Tekanan Darah : 100/60 mmHg
2) Nadi : 102 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
3) Pernapasan : 26 x/menit, stridor inspiratoar (+)
4) Suhu : 37.2o C melalui axilla
5) Saturasi Oksigen : 84%
6) Skala nyeri : 5-7 NRS
c. Telinga
1) Aurikula : Tofus (-/-), sekret (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-), nyeri tekan
tragus (-/-)
2) Pendengaran : Kesan normal
3) Proc. mastoideus : Nyeri tekan (-/-)
d. Hidung
1) Cavum Nasi : Sekret (-/-), darah (-/-), krusta (-/-)
e. Mulut
1) Bibir : Mukosa pucat (-), sianosis (+) , stomatitis (-), perdarahan (-),
hipersalivasi (+), drooling (+)
2) Oropharynx :
Dinding dorsal, Arkus ant/post, Plt.molle hiperemis (+), edema (+)
Tonsil edema (+) hiperemis (+) dextra et sinistra
3) Larynx (Laryngoscopy direct oleh dokter Anestesi)
Hyphoparynx, epiglotis : hiperemis (+), edema (+), sekret (+)
f. Leher
1) Kelenjar getah bening : Limfadenopati (-)
2) JVP = 5-2 cm H2O
3) Pembuluh darah : Pulsasi arteri carotis (+), tidak ada spider naevi,
pelebaran pembuluh darah tidak ada.
4) Kaku kuduk : Negatif
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah rutin (tanggal 09 Maret 2020)
Hematologi Hasil Unit Nilai Rujukan
WBC 23.700 103/uL 4,0 - 12,0
Limfosit 4.3 103/uL 1,0 – 5,0
Monosit 0.6 103/uL 0,1 – 1,0
Neutrofil 16.8 103/uL 2,0 – 8,0
Limfosit% 18.0 % 25,0 – 50,0
Monosit% 2.6 % 2,0 – 10,0
Neutrofil% 70.9 % 50,0 – 80,0
RBC 5.70 106/uL 4,0 – 6,20
Hemoglobin 17.7 g/dl 11,0 – 17,0
Hematokrit 54.6 % 35,0 – 55,0
PLT 235 103/uL 150 – 400
Kesan: - Leukositosis

b. Kimia darah (tanggal 10 Maret 2020)


Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Gula darah sewaktu 121 mg/dl < 140
Ureum 36 mg/dl 10 – 50
Kreatinin 0.9 mg/dl L: <1,1 / P: <0,9
SGOT 13 U/L L: <42 / P : <37
SGPT 24 U/L L: <42 / P : <32

2.5 DIAGNOSIS
Epiglotitis Akut

2.6 DIANOSIS BANDING


Croup (Laryngotracheobronchitis)

2.7 PENATALAKSANAAN
- Oksigen via NRM 8-10 liter/menit
- IVFD Ringer laktat 16 tetes/menit
- Cefim 1 gram/12 jam/intravena (skin test)
- Dexametason injeksi 2 ampul/intravena, lanjut 1 ampul/8 jam/intravena
- Diphenhidramin injeksi 1 ampul/8 jam/intravena
- Pantoprazole injeksi 1 ampul/24 jam/intravena
- Konsul TS Anestesi :
Intubasi endotracheal
Oksigen via ventilator mode CPAP

2.8 RENCANA PEMERIKSAAN


Kontrol darah rutin

2.9 FOLLOW UP
a. Perawatan hari pertama (09/03/2020)
Subjective Sesak (+), stridor (+), odinofagi (+), odinofoni (+),
demam (-), riwayat batuk berdahak (+)
KU: Lemah/ Gizi cukup/ Compos mentis (GCS: 15, E4V5M6)
TD: 100/60 mmHg
N: 102x/i
P: 26x/i
S: 37,2oC
SpO2 : 84%
Objective NRS : 5-7
Oropharynx :
Dinding dorsal, Arkus ant/post, Plt.molle hiperemis (+),
edema (+)
Tonsil edema (+) hiperemis (+) dextra et sinistra
Larynx :
Hyphoparynx, epiglotis : hiperemis (+), edema (+), sekret (+)
Assessment Epiglotitis akut
Planning Oksigen NRM 8-10 liter/menit
IVFD Ringer laktat 16 tetes/menit
Cefim 1 gram/12 jam/intravena (skin test)
Dexametason injeksi 2 ampul/intravena, lanjut 1 ampul/8
jam/intravena
Diphenhidramin injeksi 1 ampul/8 jam/intravena
Pantoprazole injeksi 1 ampul/24 jam/intravena
Konsul TS Anestesi :
- Pindah perawatan ICU
- Intubasi endotracheal
- Oksigen via ventilator mode CPAP
- Head up 15-30°
- IVFD aminofluid 1000 cc/24 jam
- IVFD ringer laktat 1000 cc/24 jam
- Fentanyl 30 mcg/jam/sryngepump
- Pasang NGT
- Pasang kateter urin

b. Perawatan hari kedua (10/03/2020)


Subjective Tersedasi
KU: Lemah/ Gizi cukup/ Tersedasi
TD: 100/60 mmHg
N: 80x/i
P: 16x/i
Objective
S: 36.5oC
SpO2 : 97%
Oropharynx : tidak dapat dinilai (terintubasi)
Larynx : tidak dapat dinilai (terintubasi)

Assessment Epiglotitis akut

Planning Cefim 1 gram/12 jam/intravena


Dexametason injeksi 1 ampul/8 jam/intravena
Diphenhidramin injeksi 1 ampul/8 jam/intravena
Pantoprazole injeksi 1 ampul/24 jam/intravena
Pemeriksaan darah rutin, GDS, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT
Konsul TS Gizi Klinik :
- KEB : 1100 kkal, KET : 1800 kkal
- Stop intake per oral
TS Anestesi :
- Head up 15-30°
- O2 via ventilator mode SIMV
- Fentanyl 30 mcg/jam/sp
- IVFD RL 1000 cc/24 jam
- IVFD Aminofluid 1000 cc/24 jam

c. Perawatan hari ketiga (11/03/2020)


Subjective Sesak (-), stridor (-), demam (-)
KU: Baik/ Gizi cukup/ Compos mentis (GCS: 15, E4V5M6)
TD: 110/60 mmHg
N : 71x/i
P: 14 x/i
S: 36.5 oC
Objective
SpO2: 98%
Oropharynx :
Dinding dorsal, Arkus ant/post, Plt.molle hiperemis (+),
edema (+) berkurang
Larynx : tidak dapat dievaluasi (terpasang ventilator)
Assessment Epiglotitis akut
Planning IVFD RL 20 tpm
Cefim 1 gram/12 jam/intravena
Dexametason injeksi 1 ampul/8 jam/intravena
Diphenhidramin injeksi 1 ampul/8 jam/intravena
Pantoprazole injeksi 1 ampul/24 jam/intravena
Nebulisasi Combivent/8 jam
TS Gizi Klinik :
- KET : 1800 kkal
- Gut feeding via NGT 50 cc/2 jam
- Hydromal 20% 100 cc
TS Anestesi :
- Head up 15-30°
- O2 via ventilator mode PSV
- Fentanyl 2 cc/jam/sp
d. Perawatan hari keempat (12/03/2020)
Subjective Sesak (-), stridor (-), odinophagi (+) berkurang, disfagi (-),
demam (-), dahak (+)
KU: Baik/ Gizi cukup/ Compos mentis (GCS: 15, E4V5M6)
TD: 110/60 mmHg
N : 72x/i
P: 14 x/i
S: 36.5 oC
Objective
SpO2: 98%
Oropharynx :
Dinding dorsal, Arkus ant/post, Plt.molle hiperemis (-), edema
(+) berkurang
Larynx : tidak dilakukan pemeriksaan
Assessment Epiglotitis akut
Planning IVFD RL 20 tpm
Cefim 1 gram/12 jam/intravena
Dexametason injeksi 1 ampul/8 jam/intravena
Diphenhidramin injeksi 1 ampul/8 jam/intravena
Pantoprazole injeksi 1 ampul/24 jam/intravena
Nebulisasi Combivent/8 jam
TS Gizi Klinik :
- KET : 1700 kkal, Protein : 60 gram/hari
- Asupan dilatih via oral
- Aminofluid 1000 cc/24 jam
TS Anestesi :
- O2 8 lpm via NRM

e. Perawatan hari kelima (13/03/2020)


Subjective Sesak (-), stridor (-), odinophagi (-), disfagi (-), demam (-)
Objective KU: Baik/ Gizi cukup/ Compos mentis (GCS: 15, E4V5M6)
TD: 110/60 mmHg
N : 68 x/i
P: 18 x/i
S: 36.5 oC
SpO2: 98%
Oropharynx :
Dinding dorsal, Arkus ant/post, Plt.molle hiperemis (-), edema
(-)
Tonsil edema (-), hiperemis (-)
Larynx :
Hyphoparynx, epiglotis : hiperemis (-), edema (-)
Assessment Epiglotitis akut
Planning Aff infus
Aff kateter
Clanexi 500 mg 3x1
Lansoprazole 30 mg 1x1
Dexametason 0.5 mg 3x1
Asam mefenamat 500 mg 3x1
Ambroxol 30 mg 3x1
Rawat jalan
f. Rawat jalan / kontrol pertama (16/03/2020)
Subjective Sesak (-), stridor (-), odinophagi (-), disfagi (-), demam (-),
rasa mengganjal di tenggorokan (+), batuk (+)
KU: Baik/ Gizi cukup/ Compos mentis (GCS: 15, E4V5M6)
TD: 110/60 mmHg
N : 80 x/i
P: 18 x/i
S: 36.8 oC
Oropharynx :
Objective
Dinding dorsal, Arkus ant/post, Plt.molle hiperemis (-), edema
(-)
Tonsil edema (-), hiperemis (-)
Larynx :
Hyphoparynx, epiglotis : hiperemis (-), edema (+) berkurang,
pus (+)
Assessment Epiglotitis akut
Planning Clanexi 500 mg 3x1
Metilprednisolon 4 mg 3x1
Metronidazol 500 mg 3x1
Ambroxol 30 mg 3x1

g. Rawat jalan / kontrol kedua (23/03/2020)


Subjective Sesak (-), stridor (-), odinophagi (-), disfagi (-), demam (-), rasa
mengganjal di tenggorokan (-), batuk (-)
KU: Baik/ Gizi cukup/ Compos mentis (GCS: 15, E4V5M6)
TD: 120/70 mmHg
N : 84 x/i
P: 20 x/i
S: 36.7 oC
Objective Oropharynx :
Dinding dorsal, Arkus ant/post, Plt.molle hiperemis (-),
edema (-)
Tonsil edema (-), hiperemis (-)
Larynx :
Hyphoparynx, epiglotis : hiperemis (-), edema (-), pus (-)
Assessment Epiglotitis akut
Planning Cefixime 200 mg 2x1
Metilprednisolon 4 mg 2x1
Corsaneuron 1x1
BAB III
TINJAUN PUSTAKA

3.1 Definisi

Epiglotitis adalah peradangan akut pada daerah supraglotis, termasuk epiglotis,


arytenoid, dan lipatan aryepiglotis. Oleh karena mukosa dari daerah epiglotis longgar
dan kaya vaskular, sehingga peradangan, iritasi dan respon alergi dapat dengan cepat
menyebabkan edema dan pembengkakan vaskular yang mengakibatkan obstruksi
saluran napas atas total dan kematian mendadak.1,2

3.2 Epidemiologi

Sebelum imunisasi bayi secara rutin dengan pemberian vaksin konjugat


Haemophilus influenzae tipe B pada tahun 1990, 65% hingga 75% kasus epiglotitis
yang dilaporkan terjadi pada anak-anak usia 1 sampai 4 tahun (puncaknya pada usia
3 tahun). Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa prevalensi dan insidensinya meningkat
pada orang dewasa. Data dari wilayah geografis yang mendapatkan vaksinasi rutin
H. influenzae tipe B konjugat didapatkan 90% hingga 95% dari semua kasus
epiglotitis pada orang dewasa menunjukkan bahwa agen bakteri sebagai penyebab
sering tidak ditemukan. Insiden epiglotitis pada orang dewasa di Negara Amerika
dan Eropa adalah sekitar 2 dari 100.000 populasi.4

Penyakit akibat Hib invasif di Inggris dan Wales telah menurun sejak tahun
2002, mencapai insiden terendah 0,02 per 100.000 (14 kasus) pada tahun 2012. Pada
anak-anak berusia kurang dari 5 tahun, insidensi infeksi Hib adalah 0,06 per 100 000
(sebanyak 2 kasus), dibandingkan dengan 35,5 per 100 000 sebelum vaksinasi Hib
rutin antara tahun 2009 dan 2012.5

Angka kematian sekarang kurang dari 1% untuk anak-anak tetapi mendekati


7% untuk orang dewasa, persentase penyebab kematian pasien terjadi karena
keterlambatan diagnosis atau keterlambatan tiba di fasilitas medis untuk perawatan
yang sesuai. 5

Sebuah tinjauan retrospektif nasional selama delapan tahun di Amerika Serikat


didapatkan bahwa tipikal pasien yang dirawat dengan epiglotitis adalah pria, berusia
pertengahan 40 tahun, Kaukasia, perkotaan, dengan komorbiditas dan mayoritas
kematian adalah orang dewasa. Jumlah rata-rata kasus epiglotitis selama masa studi
tersebut adalah 4062 kasus tiap tahun. Seri ini mengidentifikasi dua populasi yang
rentan untuk terjadinya epiglotitis yaitu bayi usia kurang dari satu tahun dan
kelompok usia lanjut. 5

3.3 Anatomi & Histologi

Epiglotis adalah struktur tunggal berbentuk seperti daun, terletak di bawah akar
lidah dan menutupi pintu masuk ke dalam laring. Epiglotis bersifat tidak kaku,
terletak miring dan membentuk sudut terhadap sumbu dari trakea. Struktur ini
memiliki inti yang terdiri dari tulang rawan elastis menjadikan epiglotis bersifat
sangat fleksibel dan menempel pada hyoid.8,9
Gambar 1. Struktur Anatomi Saluran Napas Atas8

Permukaan lingual epiglotis ditutupi oleh lapisan mukosa dengan epitel


skuamosa berlapis tidak bertanduk yang secara langsung berlanjut dengan epitelium
yang menutupi permukaan dorsal lidah. Epitel ini berlanjut pada permukaan epiglotis
ke laring bawah.9
Gambar 2. Tampakan mikroskopik epiglotis. Epiglotis memiliki inti kartilago
elastic (EC). Permukaan lingual (inferior) dan permukaan marginal (superior)
dilapisi epitel skuamosa berlapis tak bertanduk. Epitel ini menjadi zona transisi pada
pertengahan permukaan laring menjadi epitel respirasi.9

Epitel permukaan ini lebih dalam lagi berlanjut menjadi zona transisi dan epitel
kolumnar bertingkat kemudian epitel kolumnar bersilia pseudostratified dengan sel
goblet, umumnya dikenal sebagai epitel pernapasan. Serabut kelenjar seromukosa
ditemukan di antara lempeng tulang rawan elastis atau dekat dengan mukosa yang
melapisi permukaan bawah.9

Gambar 3. Tampakan mikroskopik zona transisi epitel epiglotis. Epitelium


skuamosa berlapis tak bertanduk (kanan) tiba-tiba berubah menjadi epitel berlapis
kolumnar (kiri). Membran basal tipis (BM) memisahkan epitel dari lamina propria,
yang terdiri dari jaringan ikat longgar (CT). Panah ke limfosit intraepitel.9

Lamina propria jaringan ikat longgar di bawah epitel mengandung banyak


pembuluh darah dan limfatik, saraf, dan jaringan ikat dengan sel-sel mononuklear
yang tersebar. Perichondrium yang mengelilingi tulang rawan elastis menempel kuat
pada lamina propria.9

Saat istirahat, epiglotis biasanya tegak dan memungkinkan udara masuk ke


laring dan sisa saluran pernapasan bawah. Selama menelan, lipatan kembali seperti
penutup untuk menutup pintu masuk ke laring, untuk mencegah makanan dan cairan
memasuki trakea. Sakit tenggorokan seperti infeksi atau radang amandel, faring, atau
laring, dapat menyebabkan sumbatan pada saluran napas dan meningkatkan usaha
untuk bernapas yang bisa berakibat fatal kecuali segera ditangani.9

3.4 Etiologi
Berbagai mikroorganisme diketahui berperan pada terjadinya epiglotitis. H.
influenzae tipe B umumnya merupakan penyebab epiglotitis pada anak dan orang
dewasa, beberapa diantara kasus tersebut terjadi akibat kegagalan vaksinasi.
Epiglotitis pediatrik terutama akibat infeksi Haemophilus influenzae tipe b yang
menginvasi lokal area supraglotis yaitu epiglotis dan berkaitan dengan bakteremia
(60% - 98%). Vaksin konjugasi rutin telah diketahui berperan menghilangkan
sebagian besar bentuk epiglotitis ini.6
Epiglotitis dewasa sering melibatkan lebih banyak struktur supraglotis (lipatan
aryepiglotis, vallecula, dasar lidah) dan tidak terkait dengan bakteremia (<15%);
ketika bakteri patogen diidentifikasi, kemungkinan besar adalah Streptococcus
pneumoniae, Streptococcus pyogenes, atau Neisseria meningitidis5. Pada orang
dewasa, epiglotitiss telah dikaitkan dengan sejumlah kondisi komorbiditas, termasuk
hipertensi, diabetes mellitus, penyalahgunaan zat, dan defisiensi imun. Penyebab
epiglotitis yang tidak menular juga harus dipertimbangkan, termasuk cedera termal,
menelan benda asing, dan menelan pedas.6

Tabel 1. Organisme pada Epiglotitis Dewasa6

Bacterial Fungal Viral


Bacteroides melaninogenicus
Beta-hemolytic streptococcus Aspergillus Herpes
Branhamella catarrhalis simplex
Candida albicans
Citrobacter diversus
Enterobacter cloacae Histoplasma capsulatum
Escherichia coli
Haemophilus influenzae
Haemophilus parainfluenzae
Kingella kingae
Klebsiella pneumoniae
Moraxella catarrhalis
Mycobacterium tuberculosis
Neisseria spp
Pasteurella multocida
Pseudomonas aeruginosa
Serratia marcescens
Staphylococcus aureus
Streptococcus milleri
Streptococcus pneumoniae
Streptococcus pyogenes
Streptococcus viridans
Vibrio vulnificus

3.5 Patofisiologi
Peradangan pada epiglotitis meliputi epiglotis dan jaringan sekitarnya
termasuk seluruh laring supraglotis (bagian laring di atas pita suara), yang dapat
berkembang dengan cepat menjadi obstruksi jalan napas yang mengancam jiwa.
Peradangan juga melibatkan lipatan aryepiglotis, yang merupakan lipatan menonjol
dari membran mukosa yang membentang antara margin lateral epiglotis dan
kartilago arytenoid.8

Bakteri penyebab epiglotitis seperti Haemophilus influenzae tipe b (Hib) atau


Streptococcus pneumoniae dapat berkolonisasi di faring pasien yang sehat yang
terjangkit melalui kontak langsung atau pun transmisi udara pernapasan. Bakteri ini
dapat menembus lapisan mukosa lalu masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan
bakteremia. Bakteri lalu dapat tumbuh pada daerah epiglotis dan jaringan di
sekitarnya.3
Bakteremia juga dapat menyebabkan infeksi pada meninges, kulit, paru-paru,
telinga, sendi, dan struktur lainnya. Infeksi Hib pada epiglotis menyebabkan onset
akut edema inflamasi, dimulai pada permukaan lingual epiglotis di mana submukosa
melekat dengan longgar. Pembengkakan secara signifikan mengurangi bukaan jalan
napas. 3

Pembengkakan atau edema dengan cepat berkembang mencapai lipatan


aryepiglotis, arytenoids, dan seluruh laring supraglottic. Obstruksi jalan napas,
aspirasi sekresi orofaringeal, atau sumbatan mukosa distal dapat menyebabkan henti
napas. Peradangan non-infeksi pada salah satu struktur di sekitar epiglotis juga dapat
terjadi akibat cedera termal atau kimia atau dari trauma lokal, termasuk trauma
tumpul ke leher.3

Epitel yang saling terikat erat pada level pita suara membatasi edema inflamasi,
sehingga pita suara dan saluran udara subglotis (bagian bawah laring tepat di bawah
pita suara turun ke bagian atas trakea) biasanya dalam keadaan normal. Inilah
sebabnya mengapa istilah supraglotitisis sering dipertukarkan dengan epiglotitis,
karena struktur supraglottic sebagian besar terpengaruh. Saat edema supraglotis
meningkat, epiglotis terdorong ke posterior, menyebabkan obstruksi jalan napas yang
progresif.8

3.6 Diagnosis
Mengingat potensi kerusakan klinis yang cepat akibat epiglotitis, diagnosis
kondisi ini membutuhkan kecurigaan yang tinggi dan perhatian yang teliti terhadap
petunjuk dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien.8

a. Anamnesis
Pasien yang terkena biasanya muncul dengan gejala dan tanda yang progresif
terutama pada pasien anak. Onset dan durasi gejala yang dialami pasien sebelum
mencari pertolongan dari tenaga kesehatan bervariasi. Bergantung dari berat
ringannya gejala yang dirasakan, pasien mungkin datang berobat kurang dari 8 jam
hingga 4 hari setelah timbul gejala. Secara historis, epiglotitis akut paling umum
terjadi pada anak-anak berusia 2-4 tahun namun menurun drastis sejak
diperkenalkannya vaksin Hib. Sementara itu kejadian epiglotitis pada orang dewasa
tetap konstan. 10, 11
Pasien umunya pasien dengan epiglotitis datang dengan keluhan utama
kesulitan bernapas atau dispnea. Bicara pasien menjadi terbatas karena nyeri, dan
disfonia atau gangguan berbicara dapat terjadi. Suara cenderung teredam daripada
serak. Keluhan ini seringkali disebut ''hot potato voice" karena seolah-olah pasien
sedang kesulitan berbicara dengan mulut penuh makanan panas. 8,10
Gejala lainnya yang juga dikeluhkan yaitu nyeri pada tenggorokan (95%),
Odinofagia atau disfagia (95%), dan demam. Orang dewasa mungkin memiliki
riwayat gejala infeksi saluran pernapasan atas sebelumnya sepeti batuk-batuk.10

b. Pemeriksaan Fisik

Pasien umumnya datang dengan keadaan tampak gelisah, pada anak umumnya
dengan posisi duduk tegak dengan dagu agak ekstensi dan mulut terbuka, dan posisi
tangan seperti menopang tubuh. Posisi klasik ini dikenal sebagai posisi tripod dan
memungkinkan jalan masuk udara maksimal pada saluran napas. 8,12

Gambar 4. Tripod Position pada Anak dengan Epiglotitis13

Pada pemeriksaan tanda vital bisa ditemukan demam, takipnea dan takikardia.
Selain itu dapat ditemukan limfadenopati atau nyeri di leher anterior, khususnya di
atas tulang hyoid. Anak-anak dengan tampakan gelisah merupakan indikasi kuat
bahwa saluran napas telah terganggu secara signifikan dan kondisi ini dapat
memperburuk derajat obstruksi jalan napas atas. Stridor adalah penemuan pada
kondisi terlambat dan merupakan tanda obstruksi jalan nafas yang hampir lengkap.8,11
Pasien sering mengalami kesulitan dalam mengelola sekresi mereka karena
sakit dan sulit menelan, juga dikenal sebagai disfagia. Akibat disfagia, air liur
menetes keluar (drooling) yang merupakan tanda klasik epiglotitis. Dispnea,
disfagia, disfonia dan drooling merupakan empat tanda khas (4d) yang dapat
dikaitkan dengan epiglotitis.8
Pada pemeriksaan dengan laringoskopi tidak langsung (indirect laryngoscopy)
dapat ditemukan epiglotis yang eritematosa, edema dan pembukaan glotis yang
sempit. Pada gangguan pernapasan berat, perubahan status mental, kecemasan, pucat,
sianosis, dan tanda-tanda hipoksia lainnya bisa ditemukan.11

c. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium, pasien dengan epiglotitis menunjukkan


peningkatan jumlah sel darah putih (leukosit) dan hasil kultur darah positif untuk
bakteri patogen. Pemeriksaan radiologis dapat mengkonfirmasi diagnosis dan
menyingkirkan diagnosis banding seperti adanya benda asing, abses retrofaring
(kumpulan nanah di belakang tenggorokan) atau croup. 8
Gambar 5. Foto Polos Radiologi Leher Lateral Pasien Epiglotitis. Radiografi
lateral dari leher memperlihatkan penebalan jaringan lunak pada lipatan aryepiglotis
dan thumb-like appearance (thumb-print sign) dari epiglotis.14

Radiografi leher lateral yang diambil dengan hiperekstensi leher adalah studi
yang paling berguna. Temuan klasik pada radiografi leher lateral adalah penebalan
dan pembulatan epiglotis (thumb sign). Temuan radiografi lainnya mungkin
termasuk pembesaran lipatan aryepiglotis, distensi hipofaring, penurunan ruang
udara vallecular, atau penegakan lordosis tulang belakang servikal.14, 15

CT scan mungkin berguna untuk menyingkirkan patologi lain seperti abses


retrofaring atau peritonsillar. Perlu dicatat, bagaimanapun, bahwa dengan praktek ini,
penutupan jalan napas yang cepat dapat terjadi sehingga diperlukan intervensi
saluran napas darurat. Diagnosis definitif epiglotitis membutuhkan visualisasi
langsung dari epiglotis merah yang bengkak di bawah laringoskopi.8,14,15

Gambar 6. Laringoskopi Fiberoptik Menunjukkan Edema pada Epiglotis 15

3.7 Diagnosis Banding


Emergensi saluran napas atas pada anak memiliki berbagai diagnosis banding
yang dapat terbagi berdasarkan etiologi infeksi dan non infeksi, termasuk
abnormalitas struktur, edema jaringan, benda asing, kompresi eksternal, dan trauma.
Pada pasien yang disertai dengan demam, etiologi infeksi lebih memungkinkan.
Penyebab tersering dari obstruksi saluran napas yang disertasi demam adalah
laryngo-tracheo-bronchitis (croup), etiologi lain yang memungkinkan adalah
Epiglotitis, abses retropharyngeal, dan tracheitis bakterial.16

Epiglotitis dan croup umumnya memiliki 3 keluhan utama yang sama yaitu
batuk, demam, dan dyspneu. Namun anak-anak dan remaja dengan epiglotitis
memiliki frekuensi yang lebih tinggi untuk menimbulkan gejala dyspneu, nyeri
tenggorokan, dan muntah dibandingkan dengan pasien dengan croup. 17

Cukup sulit untuk membedakan antara epiglotitis dan croup pada fase awal
penyakit, kesulitannya umumnya disebabkan karena keduanya terjadi pada anak
dengan kelompok usia yang sama dan keduanya menyebabkan obstruksi saluran
napas atas. Terlebih lagi, dokter-dokter baru mungkin belum pernah melihat kasus
Epiglotitis berhubung insidensnya yang menurun. Pasien dengan epiglotitis
cenderung mengeluhkan nyeri tenggorokan 10 kali lebih sering dibandingkan dengan
pasien dengan croup. 17

Epiglotitis juga memiliki insidens yang lebih rendah, rata-rata onset usia yang
lebih tua, dan gejala yang lebih berat jika dibandingkan dengan croup. Namun, untuk
kebanyakan kasus, membedakan antara diagnosis epiglotitis dan croup berdasarkan
keluhan utama tetaplah sulit untuk dilakukan, dan seringkali dibutuhkan untuk
dilakukan foto radiologi leher posisi lateral untuk mengonfirmasi diagnosis.
Perbedaan keduanya lebih rinci dapat dilihat pada tabel di bawah. 17

Tabel 2. Perbandingan Epiglotitis Akut dan Laryngo-tracheo-bronchitis Akut18

Laryngo-tracheo-
Perbedaan Epiglotitis Akut
bronchitis Akut
Haemophilus influenzae tipe Virus parainfluenza tipe
Organisme penyebab
B I dan II
Usia 2-7 tahun 3 bulan – 3 tahun
Patologi Supraglotis laryng Area subglotis
Gejala prodromal Tidak ada Ada
Onset Tiba-tiba Lambat
Demam Tinggi Rendah atau tidak ada
Tampakan klinis
Toxic Non-toxic
pasien
Batuk Umumnya tidak ada Ada (batuk keras seperti
menggonggong)
Stridor Ada dan biasanya jelas Ada
Ada, disertai keluarnya
Odynophadia Umumnya tidak ada
sekret
Thumb sign pada proyeksi Steeple sign pada
Gambaran radilogi
lateral proyeksi anteroposterior
Oksigen, cephalosporin
Tatalaksana generasi ketiga (ceftriaxone) Oksigen, steroid
atau amoxicillin

3.8 Penatalaksanaan
Rawat inap sangat penting karena bahaya dari obstruksi saluran napas.
Antibiotik golongan ampicillin atau cephalosporin generasi ketiga efektif untuk H.
influenzae, dan diberikan secara parenteral baik intramuskular ataupun intravena
tanpa menunggu hasil swab tenggorokan atau kultur darah. Steroid seperti
hidrocortisone ataupun dexamethasone juga diberikan melalui intramuskular atau
intravena, steroid dapat mengatasi inflamasi dan dapat menurunkan kemungkinan
butuhnya tindakan trakeostomi.18, 19

Hidrasi adekuat berupa cairan parenteral sangat esensial bagi pasien, begitu
pula dengan oksigen dan humidifikasi dengan menggunakan mist tent atau croupette.
Intubasi atau trakeostomi mungkin deiperlukan untuk mengatasi obstruksi saluran
napas. Pada kasus dimana terdapat pembentukan abses epiglottis, operasi
debridement mungkin diperlukan.18, 19

Pada epiglotitis akut, resiko obstruksi komplit dari saluran napas sangatlah
tinggi, maka saluran napas harus segera diamankan. Intubasi endotracheal
merupakan metode utama yang sering digunakan berhubung pembengkakan
epiglottis seringkali dapat reda dalam hitungan hari.20

Pada pasien anak, jika intubasi endotracheal tidak memungkinkan untuk


dilakukan, makan laryngeal mask airway atau bronchoscope rigid dapat menjadi
alternatif untuk mempertahankan patensi saluran napas dan ventilasi pasien
sementara dilakukan tracheostomy. Perlu dicatat bahwa tindakan tracheostomy pada
anak utamanya pada neonatus berkaitan erat dengan resiko tinggi terjadinya berbagai
komplikasi. Apabila keadaan pasien terus memburuk dan diperkirakan tidak terdapat
waktu yang cukup untuk dilakukan tracheostomy, maka cricothyrotomy dapat
dilakukan sebagai jalur oksigenasi hingga dapat dilakukan tracheostomy. 20

3.9 Komplikasi & Prognosis


Tanpa penatalaksanaan yang tepat, epiglotitis dapat berkembang menjadi
obstruksi saluran napas yang mengancam nyawa. Misdiagnosis dari epiglotitis dapat
berakibat fatal karena epiglotitis dapat menyebabkan obstruksi saluran napas yang
mengancam nyawa dengan onset yang sangat cepat. Anak dan remaja dengan
epiglotitis menunjukkan angka hospitalisasi dan perawatan ICU yang lebih tinggi
dibandingkan dengan croup, hal ini diduga dapat terjadi karena keparahan dan
tingkat emergensi yang lebih tinggi dari epiglotitis. Pada penelitian yang dilakukan
oleh Chen et. al. di Amerika pada tahun 2018, dari 48 kasus yang diambil sebagai
sampel, 13 pasien meninggal dan 35 selamat, dengan persentase mortalitas sebesar
27% menunjukkan sifat epiglotitis yang sangat mengancam nyawa.17,19

Terdapat resiko yang tinggi untuk terbentuknya abses epiglottis dan keadaan
ini harus selalu dipertimbangkan jika tidak tampak adanya perbaikan dari gejala
klinis pasien. Tanpa penanganan yang tepat, infeksi pada Epiglottis dapat pula
menyebabkan komplikasi yang berat seperti sepsis, meningitis, necrotizing fascitis,
dan mediastinitis. Dengan penanganan yang cepat dan tepat, prognosis dari
epiglotitis umumnya baik. 20,21,22
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien adalah seorang laki-laki berusia 39 tahun dengan diagnosa epiglotitis


akut, hal ini sesuai dengan studi epidemiologis yang didapatkan ratio penyakit
tersebut lebih banyak ditemukan pada pasien laki – laki dibanding perempuan, yaitu
3 : 1. Insidensi kasus ini paling sering pada anak – anak, namun makin kesini
insidensi pada anak menurun dan meningkat pada pasien dewasa, hal ini dikaitkan
dengan faktor komorbiditas dari pasien dewasa dan faktor vaksinasi pada pasien
anak.
Keluhan sesak napas pada pasien disertai suara napas tambahan yaitu stridor
inspiratoar menggambarkan adanya kelainan pada saluran napas atas. Stridor
ditemukan pada penyempitan saluran napas atas baik itu parsial, subtotal hingga
mengarah ke obstruksi total. Sesak napas yang dirasakan pasien berlangsung cepat
dan progresif, hal tersebut sesuai dengan literatur dimana daerah supraglotis kaya
akan jaringan ikat loggar dan vaskular, sehingga peradangan, iritasi dan respon alergi
dapat dengan cepat menyebabkan edema dan pembengkakan vaskular yang
mengakibatkan obstruksi saluran napas atas total jika daerah tersebut mengalami
infeksi atau trauma.
Keluhan odinofagi, odinofoni, disfagia pada pasien merupakan gejala khas yang
timbul pada epiglotitis. Hal ini terjadi karena proses inflamasi pada daerah
supraglotis baik epiglotis maupun struktur supraglotis lain, sehingga pasien akan
nyeri saat epiglotisnya terangsang atau tersentuh baik saat berbicara maupun
menelan sesuatu. Keluhan lain yaitu saliva menetes merupakan akibat dari disfagia
dan odinofagia, pada fisiologisnya saliva akan diproduksi terus menerus untuk
membasahi rongga mulut, juga untuk proses mencerna makanan, pada orang normal
saat saliva menumpuk, akan ada refleks untuk menelan, sehingga tidak terjadi retensi
dari saliva, kondisi disfagia dan odinofagia yang diakibatkan nyeri pada daerah
epiglotis dan penyempitan saluran oropharynx menyebabkan saliva sulit tertelan
hingga terkesan hipersalivasi pada cavum oris dan menetes keluar atau sering
diistilahkan dengan drooling, gejala ini khas pada epiglotitis. Beberapa referensi
menyebutkan gejala klasik epiglotitis yaitu 4D, yakni dispneu, disfagia, disfonia,
drooling.
Faktor yang mendasari terjadinya epiglotitis pada pasien bisa disebabkan oleh
trauma hingga infeksi pada epiglotis. Faktor ini saling berkaitan pada pasien ini,
pasien memiliki riwayat batuk yang sudah lama namun muncul sesekali saja, dan
mengeluhkan produksi lendir yang tebal dan lengket, pasien juga beberapa kali
mengalami batuk pilek, dan pasien merupakan perokok aktif yang sudah lama.
Sebelum keluhan sesak tersebut, pasien sempat membatukkan lendir yang dirasakan
menempel di dinding saluran napas atas, hingga beberapa kali dibatukkan dengan
keras namun tidak berhasil. Hal ini bisa menjadi faktor terjadinya inflamasi pada
epiglotis, yang disebabkan trauma akibat tekanan dan termal pada saat batuk keras
secara repetitif, ditambah dengan riwayat batuk dan merokok lama yang
mengarahkan pada ISPA berulang dan bronkitis kronik yang secara teorinya
merupakan faktor - faktor komorbid terjadinya epiglotitis pada pasien dewasa.
Dari hasil pemeriksaan fisis didapatkan kondisi pasien lemah tampak sianosis
serta gelisah, hal ini tentunya berkaitan dengan kurangnya pasokan oksigen akibat
hambatan saluran napas. Pasien lebih nyaman pada saat duduk dibandingkan
berbaring, hal ini sesuai dengan teori bahwa pada saat terjadi obstruksi saluran napas,
posisi duduk tegak atau sedikit membungkuk dengan kepala sedikit elevasi dan
mulut membuka merupakan posisi yang membuat saluran napas lebih terbuka, posisi
duduk pasien seperti ini juga khas pada epiglotitis yaitu membentuk tripod posistion.
Takipneu dan takikardi pada pasien adalah respon tubuh saat terjadi kekurangan
suplai oksigen, sehingga tubuh berusaha untuk melakukan pernapasan dengan cepat
agar tubuh tidak kekurangan oksigen, jantung juga berdetak lebih cepat untuk
memenuhi suplai oksigen perifer. NRS 5-7 merupakan respon psikologik pasien
terhadap stimulus nyeri yang dirasakan, nyeri terjadi akibat inflamasi dari area
supraglotis.
Pada pemeriksaan secara visual dengan laryngoskopi direct didapatkan
hiperemis dan edema pada oropharynx yaitu arkus anterior, tonsil dan dinding dorsal,
proses ini terjadi karena struktur tersebut juga mengalami trauma secara mekanik
pada saat batuk keras dan bisa juga akibat proses infeksi dari ISPA yang berulang
pada pasien tersebut. Pada pemeriksaan laryngoskopi didapatkan struktur supraglotis
hiperemis, edema dan terdapat sekret, hal ini menunjukkan adanya proses inflamasi
pada daerah tersebut, bisa akibat infeksi maupun trauma. Struktur subglotis sulit
divisualisasi akibat pembengkakan area di atasnya. Hasil dari pemeriksaan ini sejalan
dengan teori yang menyebutkan bahwa epiglotitis merupakan inflamasi pada daerah
supraglotis, sehingga didapatkan hasil epiglotis hiperemis, edema dan bisa ada atau
tidaknya sekret.
Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan adanya leukositosis dimana leukosit
meningkat hingga 23.700 tanpa adanya gangguan pada eritrosit dan trombosit.
Peningkatan leukosit dapat terjadi akibat beberapa hal, bisa karena adanya
inflamasi/peradangan pada pasien, sehingga terjadi pelepasan berlebihan dari faktor
– faktro inflamasi yang memicu peningkatan leukosit. Penyebab umum lain bisa
karena proses infeksi yang akan memberikan gambaran peningkatan leukosit, dimana
leukosit berperan untuk melawan mikroorganisme penyebab infeksi. Stres secara
psikologis maupun secara fisik juga dapat meningkatan leukosit, gelisah pada pasien
adalah salah satu bentuk stres secara psikologis dan paparan zat oksidan dari rokok
juga memberikan stres secara fisik pada saluran napas.
Pasien mengalami ancaman gagal napas akibat sumbatan saluran napas atas,
sehingga pasien dikonsultasikan kepada dokter anestesi untuk penanganan jalan
napas. Kondisi pasien yang mengalami desaturasi yang progresif dan tampakan yang
toksis, sehingga dilakukan pemasangan endotracheal tube, kondisi pasien tersedasi
sehingga ETT disambungkan ke ventilator mekanik mode CPAP agar menjamin
patensi airway serta kecukupan oksigen pasien. Pasien dipantau hemodinamiknya
secara berkala dan dirawat di ruang ICU.
Pemberian terapi oksigen pada pasien ini untuk menjamin agar kebutuhan
oksigen tercukupi, pada pasien didapatan sesak napas, stridor dan sianosis sehingga
penting untuk pemberian terapi oksigen tersebut. Saturasi oksigen pasien yaitu 84%,
sehingga dipilih pemberian O2 via NRM untuk memberikan aliran dan konsentrasi
oksigen yang lebih besar, yang diberikan sebelum dan sesudah intubasi. Pemberian
terapi cairan dengan ringer laktat untuk memenuhi kebutuhan cairan selama
perawatan, kondisi pasien diperberat dengan adanya kesulitan menelan sehingga
intake oral tidak terjamin. Pemberian terapi antibiotik yaitu cefim diberikan sesuai
dengan teori yang ada, dimana pilihan antibiotik untuk kasus epiglotitis adalah
cepalosporin generasi ke III, cefim adalah merek antibiotik yang merupakan
ceftizoxime, suatu antibiotik cephalosporin generasi ke III, yang baik untuk infeksi
saluran napas oleh bakteri gram negatif maupun gram positif. Dexametason injeksi
merupakan obat golongan steroid yang diberikan pada pasien untuk mengurangi
peradangan/inflamasi pada epiglotis, sehingga diharapkan membuka kembali saluran
napas yang membengkak. Pemberian dipenhidramin injeksi yang merupakan
golongan antihistamin juga untuk menekan pelepasan histamin yang terjadi selama
proses inflamasi dan mencegah serta mengobati reaksi anafilaktik. Pantoprazole
merupakan PPI untuk mencegah meningkatnya asam lambung (gastroprotecktor)
pada pasien, diakibatkan pelepasan faktor inflamasi yang berefek sistemik baik
akibat epiglotitis maupun efek dari penggunaan steroid yang dapat menurunkan
faktor defensif (pertahanan) pada lambung.
Selama proses perawatan selama 5 hari kondisi pasien berangsur membaik, pada
hari pertama hingga ketiga pasien masih terintubasi, hal ini sesuai dengan beberapa
literatur yang menyebutkan bahwa intubasi dipertahankan 48-72 jam. Pada hari ke
empat dan kelima pasien berangsur stabil dan disiapkan untuk rawat jalan. Pasien
dibekali pegobatan oral berupa clanexi yang mengandung amoxicilin dan asam
klavulanat merupakan salah satu pilihan antibiotik oral untuk saluran napas,
amoxicilin secara teori merupakan salah satu antibiotik pilihan pada epiglotitis.
Terapi lain berupa dexametason sebagai antiinflamasi, asam mefenamat sebagai
analgetik untuk mengurangi nyeri pasca intubasi dan nyeri akibat sisa inflamasi
epiglotis, ambroxol sebagai mukolitik untuk mengencerkan lendir sehingga
mencegah stagnansi lendir yang dapat merangsang pasien untuk batuk kembali.
Kontrol pertama di poliklinik, pasien mengeluhkan batuk dan rasa mengganjal di
tenggorokan. Setelah dilakukan pemeriksaan fisis didapatkan supraglotis masih
edema minimal dengan pus, hal ini mungkin merupakan proses resolusi untuk
radangnya, sedangkan pus bisa terjadi akibat infeksi yang masih tersisa, sehingga
pasien diberikan tambahan antimikroba berupa metronidazole yang baik untuk
bakteri anaerob dan parasit, sedangkan clanexi tetap dilanjutkan, analgetik sudah
tidak diberikan karena nyeri sudah tidak dirasakan pasien, ambroxol tetap diberikan
karena adanya keluhan batuk. Dexametasone diganti menjadi metilprednisolon sebab
inflamasi pasien sudah berkurang. Kontrol poliklinik ke dua kalinya, pasien sudah
tidak ada keluhan, pemeriksaan fisis didapatkan supraglotis dan subglotis tenang,
tidak ada pus dan inflamasi, antibiotik tetap diberikan berupa cefixim yang
merupakan cephalosporin generasi ke III, salah satu pilihan untuk infeksi saluran
napas, metilprednisolon dilanjutkan dengan tappering off dosis serta diberikan
multivitamin untuk menjaga imunitas tubuh tetap optimal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rabindra B, Prakash A, et al. Prevalence of Acute Epiglotitis and its Association


with Pulmonary Tuberculosis in Adults in a Tertiary Care Hospital of Nepal.
2018;12(4).
2. Dhingra, P.L. Acute and Chronic Inflammation of Larynx. In: Dhingra, P.L.
Diseases of Ear, Nose and Throat. 6th Ed. USA: Elsevier; 2014
3. Gompf SG, Taylor JP. Epiglottitis Clinical Presentation. [Updated 2018 Apr 10].
In: Medscape [Internet]. Emergency Medicine; 2020 Apr. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/763612-clinical#showall
4. Mandell, Douglas, and Bennett. Principles and Practice of Infectious Diseases
Eighth Edition. USA: Elsevier; 2015. p785-8.
5. Cohen J, Powderly WG, Opal SM. Infectious Diseases Fourth Edition. USA:
Elsevier; 2017. p229-35.
6. Sandra M. Emergency Medicine Reports 2014; 35(11).
7. Snow, J.B., Ballenger, J.J. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery. 16th Ed. USA: BC Decker; 2003:1090-1093,1195-1199.
8. Perretta, Julianne S. Neonatal and Pediatric Respiratory Care A Patient Case
Method. Philadelphia: F. A. Davis Company, 2014. p 417-9.
9. Ovalle WK and Nahirney PC. Netter’s Essential Histology 2nd Edition.
Philadelphia: Elsevier Saunder, 2013. p339.
10. Buttaro TM, Trybulsky J, Bailey PP, et al. Primary care: A Collaboration
Practise. Missouri: Elsevier Mosby; 2013. p349-50.
11. Udeani J, Steele RW. Pediatric Epiglottitis. [Updated 2016 Jan 6]. In: Medscape
[Internet]. Pediatric General Medicine; 2020 Apr. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/963773-overview#a4
12. Gaba DM, Fish KJ, Howard SK, et al. Crisis Management in Anesthesiology 2nd
Edition. Philadelphia: Elsevier Saunder, 2015. p190-2.
13. Oleh Jong EC and Stevens DL. Netter's Infectious Disease. Philadelphia: Saunder
Elsevier, 2012. p16.
14. Hochberg, Eric S. Adult Epiglotitis complicated by negative pressure pulmonary
edema. Journal of American Academy of Physician Assistants 2014; 27(6): 50-2.
15. Knoop KJ, Stack LB, Storrow AB, et al. The Atlas of Emergency Medicine.
USA: Mc Graw Hill Education, 2016. p125-6.
16. Gorga SM, et al. Haemophilus influenzae Serotype f Epiglotitis: A Case Report
and Review. 2017. USA: American Academy of Pediatrics.
17. Lee DR, et al. Clinical characteristics of children and adolescents with croup and
Epiglotitis who visited 146 Emergency Departments in Korea. Seoul: Korean
Journal of Pediatric. 2015;58(10):380-385.
18. Tsai YT, et al. Risk of Acute Epiglotitis in Patients with Preexisting Diabetes
Mellitus: A Population-Based Case–Control Study. PLOS One Journal; 2018; p1-
13.
19. Chen C, et al. Acute Epiglotitis in the Immunocompromised Host: Case Report
and Review of the Literature. 2018. Oxford University: Infectious Disease
Society of America.
20. Ludman H dan Bradley PJ. ABC of Ear, Nose, and Throat Sixth Edition. UK:
Blackwell Publishing Ltd. 2013. p101, 102, 105.
21. Norton, Neil S. Netter’s Head and Neck Anatomy for Dentistry 2nd Edition.
Philadelphia: Elsevier Saunder, 2012. p435.
22. Rochrbach MR, et al. Airway Obstruction Secondary to Emphysematous
Epiglotitis: A Case Report. 2016. USA: American Journal of Case Reports.

Anda mungkin juga menyukai