KROMOBLASTOMIKOSIS
Oleh :
Pembimbing :
Identitas Pasien
Nama : Tn. P
Usia : 66 tahun
Alamat : Kp. Sempu Rt 03/03 Pasir Gombong, Cikarang Utara
Agama : Islam
Status : sudah menikah
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Kompos Mentis
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 95x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36,6OC
SpO2 : 99%
Kepala :
Bentuk : Normosefal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-),sklera ikterik (-/-).
Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-)
Mulut : Mukosa lembab
Telinga : Normotia, tanda radang (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks :
Inspeksi : Bentuk normal, gerak nafas kedua dinding dada simetris
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal (+/+) simetris
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi :
- Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru : Vesikuler +/+ wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Cembung
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas Superior : akral hangat, oedem (-), sianosis (-)
Ekstermitas Inferior : akral hangat, oedem (-), sianosis (-)
Darah lengkap Hitung jenis
Hemoglobin 14,4 g/dl (13-18) Basofil 0 % (0-1)
Hematokrit 42 % (40-54) Eosinofil H 16 % (1-6)
Eritrosit 4.61 10^6/uL (4.60- Neutrofil 53 % (50-70)
6.20
MCV 91 fL (80-96) Limfosit 23 % (20-40)
MCH 31 pg/mL (28-33) NLR 23.0
MCHC 34 g/dl (33-36) Monosit 8 % (2-9)
Trombosit 250 10^3/uL (150- Laju Endap Darah H 12 mm/jam (<10)
140) (LED)
Leukosit 9.7 10^3/uL (5-10)
Hematologi
BTA kulit Telinga Kanan (-)
Telinga Kiri (-)
Pantat 1 (-)
Pantat 2 (-)
Pantat 3 (-)
Kimia Klinik
SGOT (AST) 12 U/L (<38)
SGPT (ALT) 15 U/L (<41)
Ureum kreatinin
Ureum 27 mg/dL (13-43) Protein Total 6,7 g/dL (6,4-8,3)
Kreatinin 0,8 mg/dL (0,67- Albumin 3,7 g/dL (3,5-5,2)
1,17)
eGFR 93.1 mL/min Globulin 3,0 g/dL (2,5-3,9)
(>60)
Mikrobiologi
Pemeriksaan KOH 10 % Epitel : 5-7/LPK
Leukosit : 4-6/LPK
Jamur : (++)
Hyphae : (++)
Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi
Makroskopik : diterima satu botol dengan keterangan Tn. Parosih. Berisi satu jaringan
warna cokelat, ukuran 1x0,5x0,5cm, kenyal, kulit. Semua cetak 1 cup 1 kaset.
Mikroskopik : sediaan dengan keterangan berasal dari gluteal sinistra menunjukkan jaringan
kulit dengan epidermis yang hiperplastik, setempat – setempat hipergranulosis dan akantotik.
Pada dermis atas tampak sebukan keras sel radang limfosit. Plasma dan beberapa PMN.
Setempat – setempat tampak kelompokan sel histiosit / makrofag dengan abses di bagian
sentral dan ditemukan pigmented sclerotic bodies dari jamur.
Status Dermatologikus
Pada regio gluteal sinistra terdapat plak eritematosa dengan jumlah lesi multiple dan ukuran
lesi plakat. Lesi berbatas tegas (sirkumskrip) dan terdapat beberapa hiperpigmentasi serta
skuama yang halus. Lesi berukuran 20-30 cm.
Diagnosis
Chromoblastomikosis
Diagnosis Banding
Blastomycosis
Morbus hensen
Ectyma
Tatalaksana
Itrakonazole 200 mg 2 dd 1
Prognosis
KROMOBLASTOMIKOSIS
1. Pendahuluan
Mikosis subkutan umum terjadi pada daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia.
Mikosis subkutan atau mikosis implantasi merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur
yang menginfeksi langsung ke dermis atau jaringan subkutan. Infeksi ini sering mengenai
para pekerja lapangan didaerah tropis dan subtropis melalui inokulasi trauma seperti tusukan
duri. Biasanya sering mengenai anggota tubuh dan menunjukkan reaksi piogranulomatosa
pada kulit. Meskipun banyak infeksi tropis lain seperti sporotrikosis yang lazim terjadi di
daerah beriklim sedang, infeksi ini dapat terjadi sebagai penyakit yang didapat dari pasien
yang berasal dari daerah endemik, kadang-kadang setelah selang waktu bertahun-tahun.
Mikosis subkutan yang paling umum terjadi adalah sporotrikosis, misetoma, dan
kromoblastomikosis. (ftz,CIDR12)
Perjalanan penyakit ini sangat lambat dan hampir menetap pada jaringan subkutan.
Kromoblastomikosis tidak melibatkan tulang, dan jarang menyebar melalui pembuluh limfe
dan secara disseminata menyebar ke sistem saraf pusat.(Eop04)
2. Sejarah
Kromoblastomikosis merupakan salah satu mikosis subkutan yang sering terjadi.
Kromoblastomikosis pertama sekali ditemukan di Brazil pada tahun 1911 oleh de Moraes
Pedroso, namun ini tidak dilaporkan sampai tahun 1920 oleh Pedroso dan Gomes. Pada tahun
1914, Max Rudolph menekankan gambaran klinikopatologi berupa penyakit eksotik yang
disebut “figuiera”, dan Medlar serta Rane melaporkan kasus pertama di Boston daerah
Amerika Utara tahun 1915. Saat itu, jamur yang diisolasi dinamakan Phialophora verrucosa.
Pada tahun 1922, Pedroso melakukan kultur kembali dan ditemukan tipe reproduksi yang
berbeda, termasuk Hormodendrum, Phialophora, dan Acrotheca. Dari hasil temuan ini, maka
jamur dinamakan dengan Hormodendrum pedrosoi. Pada tahun 1936, Carrion, di Puerto
Rico, menjelaskan organisme ketiga yaitu Hormodendrum compactum. Kromoblastomikosis
diperkenalkan oleh Terra dkk pada tahun 1922 dan disahkan pada tahun 1992.
(elsv12,mmf09)
3. Etiologi
Agen penyebab kromoblastomikosis sering terdapat pada saprofit tanah yaitu dari
kayu atau tanaman yang membusuk. Jamur akan berpenetrasi masuk melalui kulit yang abrasi
dan kemudian menyebar karena adanya kontak. Jamur ini berkembang lambat dengan
virulensi yang rendah dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap panas (40 0C – 420C). Pada
media kultur, jamur ini membutuhkan masa inkubasi lebih kurang 4 minggu dalam media
standar seperti agar Saboroud dextrose. Kebanyakan spesies berwarna coklat tua, hijau atau
hitam dengan koloni seperti beludru selama masa inkubasi. (elsv12, cm03, elsv07)
Baru – baru ini, beberapa penyebab yang tidak diduga seperti Aerobasidium
pullulans, Rhytidhysteron sp., Chaetomium funicola, Catenulostroma chromoblastomycosum,
dihubungkan dengan lesi kulit sesuai tipe kromoblastomikosis ini, terutama pada pasien
imunokompromais tanpa adanya sel – sel muriform. Kromoblastomikosis umumnya terjadi
pada kulit sehat, infeksi pada kulit, subkutan ataupun sistemik pada pasien
immunokompromais yang dikenal dengan phaeohyphomycosis, karena adanya hifa, ragi atau
sel vesikular yang diamati pada jaringan.(mmf09)
4. Epidemiologi
Infeksi didapat melalui inokulasi yang tidak disengaja dari agen penyebab yang
masuk melalui jaringan subkutan karena penetrasi duri tanaman yang berbeda. Beberapa
pasien memiliki riwayat trauma sebelumnya pada daerah yang terkena atau luka berulang
yang didapat saat bekerja. (elsv07)
Pada saat tertancap ke jaringan maka jamur akan berubah dari bentuk filamen menjadi
parasit penyakit yang dikenal dengan sel fumagoid atau muriform body. Sel fumagoid yang
matang akan berkembang secara paralel dan membentuk septa perpendikular menjadi struktur
fragmentasi. Tiap fragmen dari sel fumagoid baru yang matur akan terbentuk. Sel fagosit
seperti makrofag dan sel polimorfonuklear tidak mampu untuk menghancurkan parasit ini.
(elsv07)
Antibodi IgM tingkat tinggi merupakan hasil stimulasi antigenik konstan yang
dihubungkan dengan degradasi jamur yang lambat. Karena kromoblastomikosis tidak
merusak mukosa epitel, peningkatan kadar IgA sebagai marker pada status imunitas
penderita. Patogenesis dengan komplikasi jangka panjang mungkin di jelaskan pada suatu
hipotesis, perubahan growth factor-β memiliki efek ganda dengan menginduksi fibrosis dan
imunosupresi pada kulit yang terkena. Tergantung pada respon host, granuloma tuberkuloid
atau supuratif telah diamati.(elsv12)
Gejala awal sering berbentuk warty papule yang meluas secara perlahan dalam
beberapa bulan hingga tahunan.(ftz08) Lesi tampak kecil, tidak pruriginous, papul eritema
yang berkembang lambat ke sekitar kulit. Lesi baru bisa muncul beberapa bulan hingga tahun
pada daerah yang sama atau daerah yang berdekatan.(elsv12) Lesi dapat berkembang menjadi
plak eritematosa dengan bagian tengah atropi, dengan atau tanpa skuama dan ulserasi, dan
berbatas tegas. Plak akan meluas secara sentrifugal dan berkembang menjadi bentuk verukosa
irreguler atau dengan permukaan papilomatosa. Bentuk verukosa paling sering dijumpai,
yang menyebar secara perlahan dan lokal. Lesi pada individu bisa menebal dan sering disertai
dengan infeksi bakteri sekunder. Lesi satelit disekitar infeksi awal, secara lokal dapat meluas
yang disebabkan oleh garukan. (ftz08,elsv12)
Lesi verukosa seperti gambaran cauliflower, dapat berkembang menjadi ulserasi dan
mengeluarkan nanah yang dihubungkan dengan infeksi sekunder. Lesi dapat menyembuh
membentuk skar dan atropi. Pembentukan keloid jarang terjadi. Limfadenopati dapat
ditemukan pada pasien dengan infeksi sekunder bakteri. Limfedema dan elephantiasis juga
dapat berkembang pada kasus yang berat.
Pada pasien dengan lesi yang asimptomatik, tampak lesi pada wajah dan diseminata
dengan rasa gatal atau nyeri. Penyebaran pada limfatik dan hematogen sangat luar biasa
terjadi. Pasien dengan ulserasi atau lesi sikatrik dapat menimbulkan rasa sakit yang berat
sehingga mengganggu aktivitas. Kromoblastomikosis tidak melibatkan tulang ataupun otot.
(elsv12) Komplikasi kromoblastomikosis berupa lokal limfedema, leading elephantiasis, dan
karsinoma skuamosa pada beberapa lesi kronis.(ftz08)
Phialophora verrucosa menghasilkan koloni warna abu kecoklatan hingga abu gelap
kekuningan pada agar Sabouraud, pada suhu 250 - 300C.
F. pedrosoi menghasilkan koloni warna coklat tua, kuning gelap, atau hitam pada agar
Sabouraud. Terdapat tiga tipe sporulasi yaitu Cladosporium, Rhinocladiella, dan
Phialophora.
F. compacta menghasilkan koloni kuning kehitaman dan sporulasi sama dengan F.
pedrosoi.
Cladosporium carrionii menghasilkan koloni beludru hingga berbulu, kuning tua, atau
mendekati hitam pada agar Sabouraud dengan konidia oval.
Rhinocladiella aquaspersa tampak berbulu, gelap hingga kuning keabuan, dengan
konidiofora yang lurus, dan berbentuk silinder, berdinding tebal, konidia bersel satu.
Penyakit ini bisa dibedakan dari podokoniosis dan limfedema tropikal kronik dengan
hiperplasia yang dihubungkan dengan reaksi pada mikropartikel tanah. Untuk lesi verukosa
kronik bisa dibedakan dengan tuberkulosis dan blastomikosis yang sering menyebar.
Identifikasi organisme pada lesi kromoblastomikosis sangatlah penting.(ftz08) Beberapa
diagnosis banding yang penting yaitu tuberculosis verukosa, sporotrikosis, lacaziosis,
leishmaniasis, blastomikosis, paracoccidiodomikosis, veruka, dan karsinoma sel skuamosa.
(elsv12) Berikut ini beberapa diagnosis banding kromoblastomikosis berdasarkan lesi yaitu:
9. Terapi
Kromoblastomikosis sangat sulit untuk diobati dan sering kambuh dengan berbagai
pendekatan terapi. Terapi medis, terapi fisik dan pembedahan, semuanya berperan penting
dalam penatalaksanaan kromoblastomikosis. Terapi utama yang dapat diberikan berupa
itrakonazol 200 mg/hari, terbinafin 250 mg/hari, dan pada kasus yang berat dapat diberikan
amfoterisin B intravena (hingga 1 mg/kgBB/hari). Terapi lain juga dapat digunakan yaitu
kuretase, elektrodesikasi, dan cryosurgery. Terapi dapat diberikan lebih kurang selama 6
bulan yang menunjukkan respon yang baik, namun kekambuhan sering terjadi baik selama
atau setelah pengobatan.(elsv12)
Berikut beberapa terapi yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan
kromoblastomikosis, yaitu:
5-flusitosin berasal dari sitosin dengan dasar pirimidin, dimana pada pertengahan
tahun 1960 merupakan terapi yang penting untu kromoblastomikosis ini. Hingga pada
tahun 1980-an merupakan salah satu terapi pilihan, tetapi ini dapat digunakan secara
tunggal maupun kombinasi yang menghasilkan perbaikan yang bervariasi. Dosis yang
direkomendasikan adalah 100-150 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam 4 dosis. Ini
diberikan selama 6-12 bulan. Sebanyak 10% 5-flusitosin solusio dapat diaplikasikan 2
kali sehari disertai dengan perban oklusif. Pemberian dosis sebanyak 10 gr/hari
tampak menimbulkan perbaikan klinis dan pada beberapa kasus menunjukkan
penyembuhan sempurna dalam beberapa bulan.(mmf09) Obat ini dapat
dikombinasikan juga dengan obat lain seperti potassium iodida atau amfoterisin B,
yang dapat menimbulkan resistensi jika digunakan secara tunggal.
9.1.2 Itrakonazol
Itrakonazol direkomendasikan dengan dosis 200-400 mg tergantung dari beratnya lesi.
Di Brazil, sebanyak 30 orang pasien yang diterapi dengan itrakonazol 200-400
mg/hari menunjukkan 8 orang pasien dengan lesi yang ringan dari penyakit
menunjukkan perbaikan klinis dan mikologi selama setelah 10 bulan. Respon lain
yang ditunjukkan dari 9 pasien dengan lesi yang berat menunjukkan perbaikan secara
klinis dan mikologi setelah pemberian terapi selama 30 bulan. Pemberian itrakonazol
dengan terapi pulse (400 mg/hari selama 1 minggu dalam sebulan) menunjukkan
keberhasilan pada beberapa kasus. Walaupun obat ini atraktif, namun dapat juga
menibulkan resistensi. Itrakonazol dapat dikombinasikan dengan terapi lain seperti
krioterapi atau dengan 5-flusitosin.(mmf09)
9.1.3 Terbinafin
Ini berasal dari derivat alilamin yang dapat digunakan pada dosis 250-500 mg/hari.
Kesamaan dengan itrakonazol yaitu menunjukkan aktivitas respon yang baik secara in
vitro dalam melawan jamur yang berpigmen. Ada juga beberapa laporan dengan dosis
rendah sebesar 250 mg/hari yang menunjukkan perbaikan. Ini merupakan salah satu
pengobatan terbaik ditinjau keamanan dan efikasinya, terutama dengan sifat
fungisidalnya dan kenyataannya tidak menunjukkan keterlibatan oksidase sitokrom
P-450 yang menghasilkan interaksi obat yang minimal.(mmf09)
9.1.4 Amfoterisin B intravena
Amfoterisin B intravena menunjukkan keberhasilan pada beberapa kasus, namun
kegagalan juga sering terjadi. Sebagai tambahan, pasien harus monitor dengan ketat
untuk efek nefrotoksisitas. Dosis awal Amfoterisin B 0,1-0,25 mg/kgBB/hari. Jika
toksisitas terjadi maka obat dapat diberikan pada hari yang berbeda atau dosis dapat
dikurangi. Sebagai alternatif, amfoterisin B dapat diberikan secara intralesi dalam 2%
larutan prokain perminggu selama 5 bulan. Yang harus diperhatikan yaitu jika terjadi
injeksi intra arterial dapat menyebabkan nekrosis distal dari limb. Respon topikal
amfoterisin B sangat lambat dan sangat tidak efektif.
Semua terapi yang diberikan ini memiliki efek samping yang signifikan, sehingga
diperlukan pemantauan fingsi hati dan fungsi ginjal. Amfoterisin B intravena dapat diberikan
tunggal, namun kurang efektif, dan direkomendasikan pemberian kombinasi dengan injeksi
intralesi yang lain.
10. Kesimpulan
1. Hay JR. Deep Fungal Infections. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8.
New York: McGraw Hill;2012. h.3694-700. (ftz08)
2. M Ricardo, Hoz L, Baddley JW. Subcutaneous Fungal Infections. Curr Infect Dis Rep
(2012) 14:530-539. (cidr12)
3. Guerrero ET, Isa RI, Isa M, Arenas R. Chromoblastomycosis. Clinics in Dermatology
(2012) 30, 403-408. (elsv12)
4. Bonifaz A, Solis VP, Saul A. Treating chromoblastomycosis with systemic antifungals.
Expert Opin. Paharmacother. (2004) 5(2):247-254. (eop04)
5. Tells FQ, Esterre P, Blanco MP, Vitales RG, Salgado CG, Bonifaz A.
Chromoblastomycosis: an overview of clinical manifestations, diagnosis and treatment.
Medical Mycology February 2009, 47, 3-15. (mmf09)
6. Silva AAL, Criado PR, Nunes RS, Silva WLF, Galo LK, Duarte MIS, et al. In Situ
Immune Response in Human Chromoblastomycosis – A Possible Role for Regulatory and
Th17 T Cells. Plos Negl Trop Dis 8(9): e3162. (plos 14)
7. Esterre P, Telles FQ. Management of chromoblastomycosis: novel perspectives. Curr
Opin Infect Dis 19:148-152. (coid06)
8. Martinez RL, Tovar LJM. Chromoblastomycosis. Clinics in Dermatology (2007) 25, 188-
194. (elsv07)
9. Khan I, Khan AR, Khan MS. Clinicopathological study of cutaneous
chromoblastomycosis in Pakistan. Journal of Pakistan Association of Dermatologists
2012;22:122-125. (jpad12)