Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

KROMOBLASTOMIKOSIS

Oleh :

Saddam Fadhli (1101011250)

Pembimbing :

Dr. Evy Aryanty, Sp.DV

Kepaniteraan Klinik Departemen Kulit & Kelamin RS Kab. Bekasi


Universitas Yarsi
Jakarta
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn. P
Usia : 66 tahun
Alamat : Kp. Sempu Rt 03/03 Pasir Gombong, Cikarang Utara
Agama : Islam
Status : sudah menikah
Pekerjaan : Tidak Bekerja

Keluhan Utama : Gatal di bagian bokong kiri 1 bulan SMRS.

Keluhan Tambahan : tidak ada

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Kab. Bekasi dengan keluhan
gatal di bagian bokong kiri 1 bulan SMRS. Pasien merupakan rujukan dari RS Khasanah.
Berawal dari lesi yang kecil, setiap pasien merasakan gatal lalu langsung menggaruk sampai
rasa gatalnya hilang. Rasa gatal yang dialami timbul hanya sewaktu-waktu. Kadang timbul
rasa nyeri pada bagian lesi pada saat selesai menggaruk. Pasien mengaku rutin mandi setiap
hari 2-3x sehari. Pasien tidak melakukan aktivitas yang berat, hanya aktivitas dirumah saja.
Sebelumnya pasien mengaku telah berobat ke klinik dokter umum dan RS khasanah, tetapi
masihnbelum ada perubahan. Pasien pun lupa obat apa saja yang telah dikonsumsi
sebelumnya.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien belum pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya. Dan alergi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Keluarga belum pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya. Dan alergi disangkal.
Pemeriksaan Fisik

Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Kompos Mentis
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 95x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36,6OC
SpO2 : 99%

Kepala :
Bentuk : Normosefal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-),sklera ikterik (-/-).
Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-)
Mulut : Mukosa lembab
Telinga : Normotia, tanda radang (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks :
Inspeksi : Bentuk normal, gerak nafas kedua dinding dada simetris
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal (+/+) simetris
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi :
- Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru : Vesikuler +/+ wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Cembung
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas Superior : akral hangat, oedem (-), sianosis (-)
Ekstermitas Inferior : akral hangat, oedem (-), sianosis (-)
Darah lengkap Hitung jenis
Hemoglobin 14,4 g/dl (13-18) Basofil 0 % (0-1)
Hematokrit 42 % (40-54) Eosinofil H 16 % (1-6)
Eritrosit 4.61 10^6/uL (4.60- Neutrofil 53 % (50-70)
6.20
MCV 91 fL (80-96) Limfosit 23 % (20-40)
MCH 31 pg/mL (28-33) NLR 23.0
MCHC 34 g/dl (33-36) Monosit 8 % (2-9)
Trombosit 250 10^3/uL (150- Laju Endap Darah H 12 mm/jam (<10)
140) (LED)
Leukosit 9.7 10^3/uL (5-10)

Hematologi
BTA kulit Telinga Kanan (-)
Telinga Kiri (-)
Pantat 1 (-)
Pantat 2 (-)
Pantat 3 (-)

Kimia Klinik
SGOT (AST) 12 U/L (<38)
SGPT (ALT) 15 U/L (<41)

Ureum kreatinin
Ureum 27 mg/dL (13-43) Protein Total 6,7 g/dL (6,4-8,3)
Kreatinin 0,8 mg/dL (0,67- Albumin 3,7 g/dL (3,5-5,2)
1,17)
eGFR 93.1 mL/min Globulin 3,0 g/dL (2,5-3,9)
(>60)

Mikrobiologi
Pemeriksaan KOH 10 % Epitel : 5-7/LPK
Leukosit : 4-6/LPK
Jamur : (++)
Hyphae : (++)
Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi

Lokasi gluteal sinistra

Makroskopik : diterima satu botol dengan keterangan Tn. Parosih. Berisi satu jaringan
warna cokelat, ukuran 1x0,5x0,5cm, kenyal, kulit. Semua cetak 1 cup 1 kaset.

Mikroskopik : sediaan dengan keterangan berasal dari gluteal sinistra menunjukkan jaringan
kulit dengan epidermis yang hiperplastik, setempat – setempat hipergranulosis dan akantotik.
Pada dermis atas tampak sebukan keras sel radang limfosit. Plasma dan beberapa PMN.
Setempat – setempat tampak kelompokan sel histiosit / makrofag dengan abses di bagian
sentral dan ditemukan pigmented sclerotic bodies dari jamur.

Kesimpulan : Histologik sesuai dengan chromoblastomikisis

Status Dermatologikus

Pada regio gluteal sinistra terdapat plak eritematosa dengan jumlah lesi multiple dan ukuran
lesi plakat. Lesi berbatas tegas (sirkumskrip) dan terdapat beberapa hiperpigmentasi serta
skuama yang halus. Lesi berukuran 20-30 cm.
Diagnosis

Chromoblastomikosis
Diagnosis Banding

Blastomycosis

Morbus hensen

Ectyma

Tatalaksana

Itrakonazole 200 mg 2 dd 1

Ctm ½ tab | cetirizine ½ tab | ranitidine tab 2 dd 1

Prognosis

• Qua ad Vitam : ad Bonam

• Qua ad Fungtionam : ad Bonam

• Qua ad Sanationam : ad Bonam

KROMOBLASTOMIKOSIS

1. Pendahuluan
Mikosis subkutan umum terjadi pada daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia.
Mikosis subkutan atau mikosis implantasi merupakan infeksi yang disebabkan oleh jamur
yang menginfeksi langsung ke dermis atau jaringan subkutan. Infeksi ini sering mengenai
para pekerja lapangan didaerah tropis dan subtropis melalui inokulasi trauma seperti tusukan
duri. Biasanya sering mengenai anggota tubuh dan menunjukkan reaksi piogranulomatosa
pada kulit. Meskipun banyak infeksi tropis lain seperti sporotrikosis yang lazim terjadi di
daerah beriklim sedang, infeksi ini dapat terjadi sebagai penyakit yang didapat dari pasien
yang berasal dari daerah endemik, kadang-kadang setelah selang waktu bertahun-tahun.
Mikosis subkutan yang paling umum terjadi adalah sporotrikosis, misetoma, dan
kromoblastomikosis. (ftz,CIDR12)

Kromoblastomikosis (dahulu dikenal dengan kromomikosis) merupakan mikosis yang


bersifat kronik, progresif dan mengenai subkutan yang disebabkan oleh pheoid atau
dematiaceous fungi, dengan gambaran lesi berbentuk nodular atau verukous yang sering
terjadi pada ekstremitas bagian bawah. Grup terakhir dari jamur dengan pigmen hitam yang
termasuk didalamnya adalah fonsecaea, phialophora, dan cladophialophora spp. Semua agen
penyebab akan mengeluarkan parasitik yang sama, dikenal dengan sel fumagoid atau medlar
body. Gambaran jamur tampak hitam, berbentuk oval dengan dinding tebal disertai septa dan
pembelahan biner. (elsv12)

Walaupun kromoblastomikosis disebabkan oleh berbagai spesies jamur dematiaceous,


dan berpigmen, yang paling sering adalah fonsecaea pedrosoi. Jenis jamur penyebab ini
ditemukan pada tanah, kayu dan tumbuh-tumbuhan yang membusuk. Frekuensi paling tinggi
ditemukan pada petani dan pekerja pedesaan, dimana lebih dari 80% ditemukan pada petani
yang sering pergi tanpa menggunakan alas kaki.(elsv12,eop04)

Perjalanan penyakit ini sangat lambat dan hampir menetap pada jaringan subkutan.
Kromoblastomikosis tidak melibatkan tulang, dan jarang menyebar melalui pembuluh limfe
dan secara disseminata menyebar ke sistem saraf pusat.(Eop04)

2. Sejarah
Kromoblastomikosis merupakan salah satu mikosis subkutan yang sering terjadi.
Kromoblastomikosis pertama sekali ditemukan di Brazil pada tahun 1911 oleh de Moraes
Pedroso, namun ini tidak dilaporkan sampai tahun 1920 oleh Pedroso dan Gomes. Pada tahun
1914, Max Rudolph menekankan gambaran klinikopatologi berupa penyakit eksotik yang
disebut “figuiera”, dan Medlar serta Rane melaporkan kasus pertama di Boston daerah
Amerika Utara tahun 1915. Saat itu, jamur yang diisolasi dinamakan Phialophora verrucosa.
Pada tahun 1922, Pedroso melakukan kultur kembali dan ditemukan tipe reproduksi yang
berbeda, termasuk Hormodendrum, Phialophora, dan Acrotheca. Dari hasil temuan ini, maka
jamur dinamakan dengan Hormodendrum pedrosoi. Pada tahun 1936, Carrion, di Puerto
Rico, menjelaskan organisme ketiga yaitu Hormodendrum compactum. Kromoblastomikosis
diperkenalkan oleh Terra dkk pada tahun 1922 dan disahkan pada tahun 1992.
(elsv12,mmf09)

Penggunaan pemanas untuk pengobatan kromoblastomikosis diperkenalkan pertama


kali oleh Silva pada tahun 1958. Setelah penemuan ini, beberapa klinisi di Jepang melakukan
percobaan termoterapi, dimana tampak keberhasilan dengan menggunakan penghangat saku.
Pada tahun 2005, genus Fonsecaea telah dijelaskan, dan Fonsecaea monophora dijelaskan
melalui analisis molekuler dari yang diisolasi, yang kebanyakan identifikasinya berasal dari
Fonsecaea pedrosoi. Spesies baru telah ditemukan dan memiliki kemiripan yaitu Fonsecaea
nubica melalui data molekular multilokus termasuk amplified fragment length polymorphism
profiles, transkripsi pengaturan untaian ribosomal internal dan untaian sebagian siklus
pembelahan sel (cdc-42), β-tubulin (tub1) dan aktin (act1). (elsv12,mmf09)

3. Etiologi

Agen penyebab kromoblastomikosis sering terdapat pada saprofit tanah yaitu dari
kayu atau tanaman yang membusuk. Jamur akan berpenetrasi masuk melalui kulit yang abrasi
dan kemudian menyebar karena adanya kontak. Jamur ini berkembang lambat dengan
virulensi yang rendah dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap panas (40 0C – 420C). Pada
media kultur, jamur ini membutuhkan masa inkubasi lebih kurang 4 minggu dalam media
standar seperti agar Saboroud dextrose. Kebanyakan spesies berwarna coklat tua, hijau atau
hitam dengan koloni seperti beludru selama masa inkubasi. (elsv12, cm03, elsv07)

Kromoblastomikosis disebabkan oleh jamur filamen yang termasuk ke dalam famili


Dematiaceae. Agen penyebab yang paling sering ditemukan adalah Fonsecaeae pedrosoi dan
Cladophialophora carrionii. Kebanyakan kedua penyebab ini ditemukan didaerah tropis dan
subtropis walaupun F. pedrosoi juga dijumpai di daerah yang lembab dan C. carionii sering
ditemukan saat musim semi. Yang termasuk agen penyebab lain adalah: Fonsecaea
compacta, Phialophora verrucosa, Exophiala spinifera, Wangiella dermatitidis,
Cladophialophora arxii, Botryomyces caespitosus dan Rhinocladiella aquaspersa. Beberapa
penulis juga menyatakan bahwa Sporothrix schenckii varian luriei dimasukkan sebagai
etiologi. Kebanyakan infeksi di seluruh dunia disebabkan oleh Fonsecaeae pedrosoi.(elsv12,
cm03, elsv07, coid06,mmf09))

Baru – baru ini, beberapa penyebab yang tidak diduga seperti Aerobasidium
pullulans, Rhytidhysteron sp., Chaetomium funicola, Catenulostroma chromoblastomycosum,
dihubungkan dengan lesi kulit sesuai tipe kromoblastomikosis ini, terutama pada pasien
imunokompromais tanpa adanya sel – sel muriform. Kromoblastomikosis umumnya terjadi
pada kulit sehat, infeksi pada kulit, subkutan ataupun sistemik pada pasien
immunokompromais yang dikenal dengan phaeohyphomycosis, karena adanya hifa, ragi atau
sel vesikular yang diamati pada jaringan.(mmf09)

4. Epidemiologi

Kromoblastomikosis memiliki distribusi hampir di seluruh dunia, sering ditemukan


pada iklim tropis dan subtropis. Kebanyakan kasus berasal dari Madagaskar dan Afrika
Selatan (merupakan fokus utama di dunia), namun beberapa kasus berasal dari Gabon,
Mexico, Brazil, Kosta Rika, Puerto Riko, Venezuela, Kuba, Republik Dominika, India dan
Australia. Kromoblastomikosis juga didiagnosis di beberapa negara di Eropa. Telah
dilaporkan antara tahun 1955 dan 1980, ditemukan sebanyak 290 kasus di Jepang dan 249
kasus disebabkan oleh F. pedrosoi.(elsv12,mmf09)

Kromoblastomikosis banyak mengenai laki-laki dengan rentang usia 30 sampai 60


tahun, yang mungkin didapat dari infeksi oleh inokulasi trauma pada saat bekerja.
Kebanyakan pasien tinggal di daerah pedesaan (petani, penebang kayu, pengumpul latex, dan
lainnya), dan semua ras tampaknya rentan menderita. Kromoblastomikosis tidak umum
terjadi pada wanita atau anak-anak dengan usia dibawah 15 tahun.(elsv12)
5. Patogenesis

Infeksi didapat melalui inokulasi yang tidak disengaja dari agen penyebab yang
masuk melalui jaringan subkutan karena penetrasi duri tanaman yang berbeda. Beberapa
pasien memiliki riwayat trauma sebelumnya pada daerah yang terkena atau luka berulang
yang didapat saat bekerja. (elsv07)

Pada saat tertancap ke jaringan maka jamur akan berubah dari bentuk filamen menjadi
parasit penyakit yang dikenal dengan sel fumagoid atau muriform body. Sel fumagoid yang
matang akan berkembang secara paralel dan membentuk septa perpendikular menjadi struktur
fragmentasi. Tiap fragmen dari sel fumagoid baru yang matur akan terbentuk. Sel fagosit
seperti makrofag dan sel polimorfonuklear tidak mampu untuk menghancurkan parasit ini.
(elsv07)

Patogenesis kromoblastomikosis sebenarnya belum sepenuhnya dipahami. Pengaruh


genetik tampak berperan pada beberapa kasus suatu keluarga, walaupun ini belum terbukti.
Defek pada immunitas seluler yang didapat telah dijelaskan, namun infeksi kronis pada tikus
percobaan imunokompeten telah dikembangkan menggunakan inokulasi intraperitoneal.
Keseimbangan antara sel T-helper 1 protektif dan efisiensi rendah pada respon sel T-helper 2
telah dicatat. Respon imunitas humoral melibatkan immunoglobulin (Ig) M dan IgA.(elsv12)

Antibodi IgM tingkat tinggi merupakan hasil stimulasi antigenik konstan yang
dihubungkan dengan degradasi jamur yang lambat. Karena kromoblastomikosis tidak
merusak mukosa epitel, peningkatan kadar IgA sebagai marker pada status imunitas
penderita. Patogenesis dengan komplikasi jangka panjang mungkin di jelaskan pada suatu
hipotesis, perubahan growth factor-β memiliki efek ganda dengan menginduksi fibrosis dan
imunosupresi pada kulit yang terkena. Tergantung pada respon host, granuloma tuberkuloid
atau supuratif telah diamati.(elsv12)

Antibodi antimelanin diproduksi selama infeksi pada manusia. Melanin merupakan


faktor virulensi. Ini bermuatan hidrofobik negatif dari pigmen high-molecular-weight dengan
kelompok hidrokuinon yang terbentuk karena polimerisasi oksidatif dari senyawa fenolik
atau indolik.(elsv12)
6. Gambaran klinis

Periode rata-rata inkubasi kromoblastomikosis tidak diketahui. Kebanyakan kasus


berkembang lambat hingga beberapa bulan atau tahun. Di Jamaika dilaporkan inkubasi rata-
rata ditemukan hingga 8 tahun walaupun beberapa kasus terjadi lebih dari 27 tahun.(elsv07)

Lesi kulit kromoblastomikosis bervariasi. Pada beberapa kasus ditemukan lesi


asimptomatik.(cm03) Lesi paling sering ditemukan pada daerah kaki (85%). Penyakit ini juga
menginfeksi daerah terpapar lainnya sepeti tangan, lengan, badan, bokong, leher dan wajah.
Kurang dari 20% pasien ditemukan lesi disseminata pada lengan dan kaki.(elsv12)

Berikut ini adalah klasifikasi lesi kromoblastomikosis:

*Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 9.

Gejala awal sering berbentuk warty papule yang meluas secara perlahan dalam
beberapa bulan hingga tahunan.(ftz08) Lesi tampak kecil, tidak pruriginous, papul eritema
yang berkembang lambat ke sekitar kulit. Lesi baru bisa muncul beberapa bulan hingga tahun
pada daerah yang sama atau daerah yang berdekatan.(elsv12) Lesi dapat berkembang menjadi
plak eritematosa dengan bagian tengah atropi, dengan atau tanpa skuama dan ulserasi, dan
berbatas tegas. Plak akan meluas secara sentrifugal dan berkembang menjadi bentuk verukosa
irreguler atau dengan permukaan papilomatosa. Bentuk verukosa paling sering dijumpai,
yang menyebar secara perlahan dan lokal. Lesi pada individu bisa menebal dan sering disertai
dengan infeksi bakteri sekunder. Lesi satelit disekitar infeksi awal, secara lokal dapat meluas
yang disebabkan oleh garukan. (ftz08,elsv12)
Lesi verukosa seperti gambaran cauliflower, dapat berkembang menjadi ulserasi dan
mengeluarkan nanah yang dihubungkan dengan infeksi sekunder. Lesi dapat menyembuh
membentuk skar dan atropi. Pembentukan keloid jarang terjadi. Limfadenopati dapat
ditemukan pada pasien dengan infeksi sekunder bakteri. Limfedema dan elephantiasis juga
dapat berkembang pada kasus yang berat.

Pada pasien dengan lesi yang asimptomatik, tampak lesi pada wajah dan diseminata
dengan rasa gatal atau nyeri. Penyebaran pada limfatik dan hematogen sangat luar biasa
terjadi. Pasien dengan ulserasi atau lesi sikatrik dapat menimbulkan rasa sakit yang berat
sehingga mengganggu aktivitas. Kromoblastomikosis tidak melibatkan tulang ataupun otot.
(elsv12) Komplikasi kromoblastomikosis berupa lokal limfedema, leading elephantiasis, dan
karsinoma skuamosa pada beberapa lesi kronis.(ftz08)

*Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 7


7. Diagnosis

Dalam penegakan diagnosis secara pasti dapat dilakukan pemeriksaan penunjang


yaitu kerokan kulit dengan KOH, kultur jamur dan pemeriksaan histopatologi. Pada
pemeriksaan KOH dari kerokan kulit yang diambil pada permukaan lesi terutama daerah
yang terdapat warna kehitaman pada permukaan kulit. Gambaran pemeriksaan langsung
kerokan kulit dengan KOH menunjukkan adanya sel sklerotik atau sel fumagoid. Tampak
struktur dinding ganda berwarna coklat dengan diameter 4 sampai 10 µm yang menyerupai
cooper pennies. Terkadang ditemukan hifa yang tipis dan gelap. Kultur dapat dilakukan pada
agar Sabouraud dengan antibiotik pada suhu 250C hingga 280C. Pertumbuhan tampak lambat
yaitu sekitar 25 – 30 hari.(elsv12,ftz8)

Beberapa gambaran yang tampak pada kultur yaitu:

 Phialophora verrucosa menghasilkan koloni warna abu kecoklatan hingga abu gelap
kekuningan pada agar Sabouraud, pada suhu 250 - 300C.
 F. pedrosoi menghasilkan koloni warna coklat tua, kuning gelap, atau hitam pada agar
Sabouraud. Terdapat tiga tipe sporulasi yaitu Cladosporium, Rhinocladiella, dan
Phialophora.
 F. compacta menghasilkan koloni kuning kehitaman dan sporulasi sama dengan F.
pedrosoi.
 Cladosporium carrionii menghasilkan koloni beludru hingga berbulu, kuning tua, atau
mendekati hitam pada agar Sabouraud dengan konidia oval.
 Rhinocladiella aquaspersa tampak berbulu, gelap hingga kuning keabuan, dengan
konidiofora yang lurus, dan berbentuk silinder, berdinding tebal, konidia bersel satu.

Gambaran biopsi spesimen menunjukkan hiperplasia pseudoepitelioma dengan


parakeratosis, spongiosis dan terkadang tampak abses. Pada dermis tampak supuratif dan
granuloma tuberkuloid dengan limfosit, sel plasma, neutrofil, eosinofil, makrofag,
multinucleated giant cell. Fibrosis dapat dijumpai pada kasus yang kronis. Sel fumagoid
dapat ditemukan tunggal atau rangkaian berkelompok, baik didalam atau diluar
multinucleated giant cell dan dapat diidentifikasi dengan hematoksilin dan eosin tanpa
pewarnaan khusus.(elsv12,ftz08)

Pada jaringan yang terinfeksi, gambaran histopatologi menunjukkan adanya badan


sklerotik tunggal atau banyak dengan septa sel jamur berwarna coklat tua yang menyerupai
bentuk yeast. Badan sklerotik sering di kenal dengan istilah sel muriform yang menunjukkan
adanya septa sel yang berbentuk vertikal dan horizontal. Penyakit ini biasanya berjalan
kronis, lokalisata, dan jarang sekali mengancam jiwa.(CM03)

*Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 7

*Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. in situ imun chromo


8. Diagnosis banding

Penyakit ini bisa dibedakan dari podokoniosis dan limfedema tropikal kronik dengan
hiperplasia yang dihubungkan dengan reaksi pada mikropartikel tanah. Untuk lesi verukosa
kronik bisa dibedakan dengan tuberkulosis dan blastomikosis yang sering menyebar.
Identifikasi organisme pada lesi kromoblastomikosis sangatlah penting.(ftz08) Beberapa
diagnosis banding yang penting yaitu tuberculosis verukosa, sporotrikosis, lacaziosis,
leishmaniasis, blastomikosis, paracoccidiodomikosis, veruka, dan karsinoma sel skuamosa.
(elsv12) Berikut ini beberapa diagnosis banding kromoblastomikosis berdasarkan lesi yaitu:

9. Terapi

Kromoblastomikosis sangat sulit untuk diobati dan sering kambuh dengan berbagai
pendekatan terapi. Terapi medis, terapi fisik dan pembedahan, semuanya berperan penting
dalam penatalaksanaan kromoblastomikosis. Terapi utama yang dapat diberikan berupa
itrakonazol 200 mg/hari, terbinafin 250 mg/hari, dan pada kasus yang berat dapat diberikan
amfoterisin B intravena (hingga 1 mg/kgBB/hari). Terapi lain juga dapat digunakan yaitu
kuretase, elektrodesikasi, dan cryosurgery. Terapi dapat diberikan lebih kurang selama 6
bulan yang menunjukkan respon yang baik, namun kekambuhan sering terjadi baik selama
atau setelah pengobatan.(elsv12)
Berikut beberapa terapi yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan
kromoblastomikosis, yaitu:

9.1 Terapi Medis


9.1.1 5-flusitosin

5-flusitosin berasal dari sitosin dengan dasar pirimidin, dimana pada pertengahan
tahun 1960 merupakan terapi yang penting untu kromoblastomikosis ini. Hingga pada
tahun 1980-an merupakan salah satu terapi pilihan, tetapi ini dapat digunakan secara
tunggal maupun kombinasi yang menghasilkan perbaikan yang bervariasi. Dosis yang
direkomendasikan adalah 100-150 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam 4 dosis. Ini
diberikan selama 6-12 bulan. Sebanyak 10% 5-flusitosin solusio dapat diaplikasikan 2
kali sehari disertai dengan perban oklusif. Pemberian dosis sebanyak 10 gr/hari
tampak menimbulkan perbaikan klinis dan pada beberapa kasus menunjukkan
penyembuhan sempurna dalam beberapa bulan.(mmf09) Obat ini dapat
dikombinasikan juga dengan obat lain seperti potassium iodida atau amfoterisin B,
yang dapat menimbulkan resistensi jika digunakan secara tunggal.

9.1.2 Itrakonazol
Itrakonazol direkomendasikan dengan dosis 200-400 mg tergantung dari beratnya lesi.
Di Brazil, sebanyak 30 orang pasien yang diterapi dengan itrakonazol 200-400
mg/hari menunjukkan 8 orang pasien dengan lesi yang ringan dari penyakit
menunjukkan perbaikan klinis dan mikologi selama setelah 10 bulan. Respon lain
yang ditunjukkan dari 9 pasien dengan lesi yang berat menunjukkan perbaikan secara
klinis dan mikologi setelah pemberian terapi selama 30 bulan. Pemberian itrakonazol
dengan terapi pulse (400 mg/hari selama 1 minggu dalam sebulan) menunjukkan
keberhasilan pada beberapa kasus. Walaupun obat ini atraktif, namun dapat juga
menibulkan resistensi. Itrakonazol dapat dikombinasikan dengan terapi lain seperti
krioterapi atau dengan 5-flusitosin.(mmf09)
9.1.3 Terbinafin
Ini berasal dari derivat alilamin yang dapat digunakan pada dosis 250-500 mg/hari.
Kesamaan dengan itrakonazol yaitu menunjukkan aktivitas respon yang baik secara in
vitro dalam melawan jamur yang berpigmen. Ada juga beberapa laporan dengan dosis
rendah sebesar 250 mg/hari yang menunjukkan perbaikan. Ini merupakan salah satu
pengobatan terbaik ditinjau keamanan dan efikasinya, terutama dengan sifat
fungisidalnya dan kenyataannya tidak menunjukkan keterlibatan oksidase sitokrom
P-450 yang menghasilkan interaksi obat yang minimal.(mmf09)
9.1.4 Amfoterisin B intravena
Amfoterisin B intravena menunjukkan keberhasilan pada beberapa kasus, namun
kegagalan juga sering terjadi. Sebagai tambahan, pasien harus monitor dengan ketat
untuk efek nefrotoksisitas. Dosis awal Amfoterisin B 0,1-0,25 mg/kgBB/hari. Jika
toksisitas terjadi maka obat dapat diberikan pada hari yang berbeda atau dosis dapat
dikurangi. Sebagai alternatif, amfoterisin B dapat diberikan secara intralesi dalam 2%
larutan prokain perminggu selama 5 bulan. Yang harus diperhatikan yaitu jika terjadi
injeksi intra arterial dapat menyebabkan nekrosis distal dari limb. Respon topikal
amfoterisin B sangat lambat dan sangat tidak efektif.

9.2 Terapi Kombinasi


9.2.1 Kombinasi terapi sistemik
Penyakit ini menunjukkan kekambuhan yang tinggi, oleh karena itu terapi kombinasi
dianjurkan untuk meningkatkan angka kesembuhan dan juga menghasilkan beberapa
efek samping. Kombinasi yang paling sering digunakan adalah 5-flusitosin dengan
amfoterisin B dan 5-flusitosin dengan itrakonazol. Saat ini, Gupta dkk melaporkan
pengamatan mereka menggunakan itrakonazol dan terbinafin pada
kromoblastomikosis kronis yang tidak respon terhadap amfoterisin B, antijamur oral
(termasuk itrakonazol) atau terapi panas. Suatu penelitian menggunakan dua
modalitas terapi yaitu kombinasi alternate dan concomitant. Terapi alternate yang
digunakan berupa itrakonazol 200-400 mg/hari dan terbinafin 500-750 mg/hari. Yang
lain diberikan itrakonazol 200-400 mg/hari dengan terbinafin 250-1000 mg/hari. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan adanya efek sinergis dari sintesa ergosterol sebagai
mekanisme aksi dari kedua obat tersebut.
Itrakonazol, amfoterisin B dan tiabendazol sering dikombinasikan dengan 5-flusitosin.
Pemberian itrakonazol disertai dengan aplikasi lokal dari cairan nitrogen krioterapi
tampak bermanfaat pada beberapa kasus. Amfoterisin B intravena dapat diberikan
tunggal, namun kurang efektif, dan direkomendasikan pemberian kombinasi dengan
injeksi intralesi yang lain. Itrakonazol, amfoterisin B dan tiabendazol sering
dikombinasikan dengan 5-flusitosin. Pemberian itrakonazol disertai dengan aplikasi
lokal dari cairan nitrogen krioterapi tampak bermanfaat pada beberapa kasus.

Semua terapi yang diberikan ini memiliki efek samping yang signifikan, sehingga
diperlukan pemantauan fingsi hati dan fungsi ginjal. Amfoterisin B intravena dapat diberikan
tunggal, namun kurang efektif, dan direkomendasikan pemberian kombinasi dengan injeksi
intralesi yang lain.

9.2.2 Kombinasi terapi fisik dan kemoterapi


Metode pembedahan dapat digunakan untuk penyembuhan dan juga mencegah
penyebaran penyakit. Ini penting apabila dikombinasi dengan itrakonazol atau
terbinafin. Hasil kombinasi terapi panas dan itrakonazol telah outstanding, namun
bedah krio dengan itrakonazol tampak berhasil terutama untuk kasus yang berat.
Itrakonazol diaplikasikan hingga menunjukkan perbaikan lesi yang muncul setelah 8
hingga 12 bulan terapi dan pembedahan dilakukan pada beberapa sesi.

9.3 Terapi pembedahan

Pembedahan direkomendasikan jika lesi kecil. Fotokoagulasi lesi tampak berhasil


dengan menggunakan laser CO2. Pembedahan Moh’s Surgery disertai dengan pemeriksaan
histopatologi yang bermanfaat pada beberapa kasus. Untuk kasus dengan lesi yang berbatas
tegas, kuretase menggunakan elektrokauter menunjukkan hasil yang memuaskan. Aplikasi
panas secara lokal menyebabkan shrinkage pada lesi. Krioterapi dengan cairan nitrogen yang
diaplikasikan sekali dalam sebulan dan dikombinasikan dengan tiabendazol tampak hasil
yang baik.
Terapi untuk kromoblastomikosis ini harus diberikan hingga gambaran klinis
mencapai perbaikan, yang biasanya terjadi setelah beberapa bulan terapi. Kekambuhan
biasanya terjadi pada kasus dengan lesi yang luas.

Untuk keberhasilan terapi pasien kromoblastomikosis, yang harus dipertimbangkan


adalah kesehatan umum pasien, keadaan sosial ekonomi, kepatuhan pasien, penanganan
resistensi obat, serta terapi komorbiditas dan komplikasi yang terjadi dikarenakan sekarang
ini belum ada terapi yang memuaskan untuk penanganan kasus ini. Ini dihubungkan dengan
beberapa organisme penyebab, beberapa tidak rentan dengan terapi yang diberikan.

10. Kesimpulan

Kromoblastomikosis (dahulu dikenal dengan kromomikosis) merupakan mikosis yang


bersifat kronik, progresif dan mengenai subkutan yang disebabkan oleh pheoid atau
dematiaceous fungi. Jenis jamur penyebab ini ditemukan pada tanah, kayu dan tumbuh-
tumbuhan yang membusuk.(elsv12,eop04) Perjalanan penyakit ini sangat lambat dan hampir
menetap pada jaringan subkutan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hay JR. Deep Fungal Infections. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8.
New York: McGraw Hill;2012. h.3694-700. (ftz08)
2. M Ricardo, Hoz L, Baddley JW. Subcutaneous Fungal Infections. Curr Infect Dis Rep
(2012) 14:530-539. (cidr12)
3. Guerrero ET, Isa RI, Isa M, Arenas R. Chromoblastomycosis. Clinics in Dermatology
(2012) 30, 403-408. (elsv12)
4. Bonifaz A, Solis VP, Saul A. Treating chromoblastomycosis with systemic antifungals.
Expert Opin. Paharmacother. (2004) 5(2):247-254. (eop04)
5. Tells FQ, Esterre P, Blanco MP, Vitales RG, Salgado CG, Bonifaz A.
Chromoblastomycosis: an overview of clinical manifestations, diagnosis and treatment.
Medical Mycology February 2009, 47, 3-15. (mmf09)
6. Silva AAL, Criado PR, Nunes RS, Silva WLF, Galo LK, Duarte MIS, et al. In Situ
Immune Response in Human Chromoblastomycosis – A Possible Role for Regulatory and
Th17 T Cells. Plos Negl Trop Dis 8(9): e3162. (plos 14)
7. Esterre P, Telles FQ. Management of chromoblastomycosis: novel perspectives. Curr
Opin Infect Dis 19:148-152. (coid06)
8. Martinez RL, Tovar LJM. Chromoblastomycosis. Clinics in Dermatology (2007) 25, 188-
194. (elsv07)
9. Khan I, Khan AR, Khan MS. Clinicopathological study of cutaneous
chromoblastomycosis in Pakistan. Journal of Pakistan Association of Dermatologists
2012;22:122-125. (jpad12)

Anda mungkin juga menyukai