PSORIASIS VULGARIS
Pembimbing:
dr. Vincentia, SpKK
Disusun oleh:
Irine Handini S. (01073170084)
1.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan autoanamnesis pada pasien pada 29 Januari 2019 di ruang
poliklinik Kulit dan Kelamin di Rumah Sakit Marinir Cilandak.
Hematokrit 43 % 37 – 54
Basofil 0 % 0–1
Eosinofil 2 % 2–4
Neutrofil Segmen 57 % 50 – 70
Limfosit 35 % 25 – 40
Monosit 4 % 2–6
Ureum 23 mg/dL 20 – 50
1.5. Resume
Pasien, wanita usia 51 tahun, datang dengan keluhan kemerahan pada seluruh tubuh yang
sudah muncul sejak 10 tahun SMRS yang juga terasa panas. Kemerahan awalnya timbul di kedua
kaki dengan bentuk lingkaran di beberapa tempat yang kemudian bertambah banyak dan saling
menyatu. Kemerahan bersifat hilang timbul pada area lain seperti pada badan, ekstremitas atas,
dan meinggalkan bekas warna kecoklatan. sembuh dan timbul baru lagi. Faktor yang
mempengaruhi bertambahnya kemerahan berupa stress dan tidak ada faktor yang memperingan.
Kemerahan disertai dengan mengelupasnya kulit berwarna putih dengan timbul titik merah di
bawahnya dan kulit dibawahnya terlihat seperti basah. Saat ini pasien rutin melakukan kontrol ke
dokter spesialis Kulit dan Kelamin setiap 1 bulan. Pasien rutin mengkonsumsi obat Metrotexate
dan menggunakan salep gentamisin, Inerson, dan vaselin albumin. Pasien dan kakek pasien
memliki riwayat asma sewaktu kecil dan sudah tidak menunjukkan gejala sampai saat ini. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan lesi pada seluruh badan dengan lebih banyak pada area cruris anterior
bilateral dengan bentuk plak eritematosa multiplel, berbentuk numuler, berbatas tegas, dan dengan
permukaan berskuama tebal. Pemeriksaan fenomena tetsan lilin (+) dan fenomena Asupit tampak
bintik-bintik perdarahan atau (+).
1.8. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad cosmeticam : malam
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Psoriasis
2.1.1. Definisi
Psoriasis adalah penyakit inflamsi kronis pada kulit dengan keterlibatan genetik dan
karakteristik perubahan yang kompleks pada pertumbuhan dan diferensiasi epidermis disertai
keabnormal biokemistri, imunologik, dan vaksular. Berdasarkan usia, psoriasis dapat terbagi
menjadi 2 yaitu psoriasis tipe 1 dengan onset <40 tahun dan memiliki asosiasi dengan antigen class
1 HLA dan tipe 2 dengan onset >40 tahun tanpa asosiasi dengan HLA.[1,2]
2.1.2. Epidemiologi
Prevalensi dari psoriasis bervariasi dari 0,1% - 11,8%. Di Asia sendiri prevalensi psoriasis
tergolong sedikit dengan angka 0,4%. Di Amerika Serikat, ada sekitar 150.000 kasus baru psoriasis
setiap tahunnya. Angka kejadian psoriasis antara jenis kelamin pria dan wanita sama banyaknya.
Psoriasis dapat terjadi pada segala golongan usia namun jarang terjadi pada anak usia <10 tahun.
Psoriasis paling banyak terjadi pada golongan usia 15-30 tahun. Anak dengan salah satu
orangtuanya mengalami psoriasis memiliki risiko terkena psoriasis sebesar 34-39%.[1,4]
2.1.4. Patofisiologi
Psoriasis diawali dengan gabungan dari faktor genetik dan lingkungan sekitar dapat
menyebabkan disregulasi sistem imun pada kondisi kerusakan perlindung kulit. Interaksi dari
damage associated molecular pattern (DAMP) dan pathogen associated molecular pattern (PAMP)
dengan reseptornya, seperti toll like receptor (TLR) dan nucleotide oligomerization domain
(NOD), menyebabkan aktivasi dari keratinosit dan ativasi sistem imun epidermis. Hal ini juga
menyebabkan pelepasan berbagai sitokin inflamatorik, seperti TNF-α, IL-8, dan IL-1β, yang akan
merupakan chemoattracttant. Pada pasien dengan kelainan genetik, seperti HLA-Cw6, paparan
terhadap PAMP dapat menyebabkan penambahan respon inflamasi dan perbaikan permukaan kulit
yang rusak dengan penambahan ekspresi dari keratins 6 dan 17. Penyembuhan kulit yang abnormal
menyebabkan paparan terhadap PAMP terus berlanjut yang akan dimakan oleh sel langerhans. [3]
Setelah APC menelan antigen, mereka akan bermigrasi ke kelenjar getah bening terdekat
yang akan mengaktivasi sel T. Proses tersebut membutuhkan interaksi antara antigen major
histocompability complex (MHC) pada APC dengan reseptor sel T. Aktivasi dari T sel naive
menjadi sel T patogenik difasilitasi dengan adanya polimorfisme pada gen IL-23 dan HLA-Cw6.
Aktivasi dari HLA-Cw6 dapat menyebabkan aktivasi dari sel T CD8+ yang akan mengamplifikasi
produksi TNF-α dan IFN-γ. Setelah sel T teraktivasi, sel T CD4+ dan sel T CD8+ akan
menginfiltrasi kulit dan mensekresi sitokin Th1 dan Th17. Bersama dengan IL-1 dan TNF-α dari
keratinosit, sitkun tersebut akan meningkatkan ekspresi antimicrobial peptides (AMP). Hal ini
akan menyebabkan siklus positive feedback dimana aktivasi keratinosit menyebabkan aktivasi
sistem imun yang akan mengaktivasi keratinosit dan bertanggung jawab dalam sifat penyakit
psoriasis yang bersifat kronis. [3]
Gambar 2.1. Patogenesis dari Psoriasis[3]
Gambar 2.2. Perkembangan lesi psoriasis. Panel A: kulit sehat pada manusia normal tanpa
psoriasis dengan sel Langerhans pada epidermis dan pada dermis tersebat sel dendritik dan sel T
memori. Panel B: kulit normal pada individu dengan psoriasis, terdapat dilatasi dan kurvatur dari
kapiler dengan sedikit peningkatan sel mononuklear dermal dan sel mast. Dapat juga ditemukan
juga sedikit penebalan epidermis. Panel C: zona transisi dari berkembangnya lesi,
dikarakteristikkan dengan penambahan progresif dari dilatasi dan torsi kapiler, penamabahan
jumlah sel mast, makrofag, dan sel T, dengan degranulasi sel mast (panah). Sel langerhans mulai
keluar dari epidermis dan sel dendritik bersama sel T CD8+ masuk ke epidermis. Panel D: lesi
yang sudah berkembang seluruhnya, dikarakteristikkan dengan bertambahnya dilatasi dan
kurvatur kapiler dengan penambahan aliran darah 10x lipat, penambahan jumlah makrofag pada
membran basal, dan penambahan jumlah sel T dermal terutama CD4+ yang berkontak dengan sel
dendritik matur. Epidermis dari lesi matur mengalami hiperprliferasi keratinosit mencapai
lapisan suprabasal, hilangnya lapisan granular, pemadatan stratum korneum dan parakeratosis di
atasnya, bertambahnya jumalh sel T CD8+, dan akumulasi neutrofil pada strarum korneum atau
yang disebut juga Munro’s microabscesses. [2]
2.1.5. Diagnosis
2.1.5.1. Anamnesis
Beberapa hal yang harus ditanyakan pada pasien dengan psoriasis adalah usia saat psoriasis
pertama timbul dan adanya riwayat keluarga yang mengalami psoriasis karena kedua hal ini
memiliki asosiasi yang erat dengan penyebaran dan rekurensi yang lebih banyak. Perlu diketahui
pula lama lesi sudah timbul dan pola rekurensi apakah rutin timbul lesi baru setiap minggu, bulan,
atau sangat jarang. Lesi yang berkembang lebih cepat dan menutupi proporsi badan yang
signifikan membutuhkan tatalaksana yang lebih banyak. Keluhan pada persendian yang disertai
dengan riwayat persendian bengkak, panas, dan timbul sebelum usia 40 tahun harus meningkatkan
kecurigaan adanya artritis psoriasis. [1,2,6]
Bentuk lesi klasik psoriasis pada kulit yang dikeluhkan pasien dapat berupa plak merah,
berbatas tegas, meninggi, simetris bilateral, dan berlapis sisik keputihan. Pada orang dengan warna
kulit gelap, lesi dapat timbul dengan warna keunguan dengan sisik abu-abu. Lesi dapat timbul
dengan berbagai macam ukuran dari papul pinpoint sampai plak yang menutupi area yang besar.
Di bawah sisik kulit dapat terlihat kulit eritem yang mengkilat dan titik-titik perdarahan ketika
sisik diangkat. Hal ini terjadi karena ketika sisik diangkat maka kapiler yang terdilatasi
dibawahnya rusak atau juga yang disebut Auspitz sign. Namun tipe fenotip psoriasis dapat berubah
walau pada pasien yang sama. [1,2,6]
Untuk membantu mendiagnosis psoriasis juga bisa ditanyakan adanya fenomena Koebner
setelah mengalami trauma pada kulit. Fenomena Koebner adalah induksi traumatik dari psoriasis
pada kulit yang tidak memiliki lesi. Rekasi Koebner umumnya muncul 7 – 14 hari setelah
perlukaan. Risiko dari terjadinya fenomena Koebner juga dapat meningkat dengan adanya infeksi,
stres emosional, dan reaksi obat. [1,2,6]
Gambar 2.3. Kelainan morfologi kuku yang disertai dengan pitting dan oil spots
Pada lidah pasien dengan psoriasis dapat ditermukan geographic tongue yang merupakam
kelainan inflamasi idiopatik yang menyakibatkan hilangnya papil filiformis. Kondisi ini memiliki
gambaran patch eritem dengan pinggir berkelok-kelok menyerupai peta. Psoriasis juga dapat
menimbulkan kelainan pada sendi yang bersifat poliartikular dengan tempat predileksinya berupa
sendi interphalang distal. Psorisis aritritis umumnya ditermuakan pada usia 30-50 tahun. [2,6]
Tingkat keparahan psoriasis dilihat dari luas area lesi dengan luas telapak tangan adalah
1%. Tingkat keparahan terbagi menjadi 3 yaitu mild dengan luas lesi <3%, moderate dengan luas
lesi 3% - 10%, dan severe dengan luas lesi >10%. Bentuk fenotipe dari psoriasis terbagi menjadi
beberap tipe yaitu:
Gambar 2.5. Psoriasis Gutata. Pada gambar D, lesi pasien berkembang menjadi psoriasis
vulgaris. [2]
2.1.5.2.3. Psoriasis Inversa atau Psoriasis Fleksural
Psoriasis Inversa timbul pada area lipatan kulit seperti aksila, regio genito-crural, dan leher.
Skuama minimal atau tidak ada dan lesi memiliki tampak megkilap, berbatas tegas, eritem, dan
terlokalisir pada area yang mengalami kontak kulit dengan kulit. [1,2]
Gambar 2.6. Psoriasis Inversa pada lipatan mamae dan aksila. [2]
Gambar 2.10. Histopatologi dari papul psoriasis. Pada area transisi dari pinggir sampai tengah
lesi dapat terlihat penebalan epidermis dengan elongasi rete pegs, dilatasi dan penambahan
kurvatur dari pembuluh darah, dan bertambahnya infiltrasu sel mononuklear. [2]
Gambar 2.11. Perbandingan antara kulit normal dan kulit berlesi. Pada area normal yang
berdekatan dengan pinggir lesi dapat terlihat penebalan dan pemanjangan rete pegs, dilatasu
pembuluh darah, dan menambahan jumlah sel mononuklear. Pada contoh area normal yang
mendekati pinggir lesi dapat dilihat penambahan frekuensi diskeratotik keratinosit. Bila
dibandingkan dengan kulit area normal, maka pada area aktif dapat terlihat bertambahnya
infiltrasi sel mononuklear, bertambahnay hiperkreratosis, dan Munro’s micvroabscessess. [2]
2.1.7. Tatalaksana
Berdasarkan WHO 2016, tatalaksana psoriasis tidak hanya sekedar perawatan lesi pada
kulit dan kelainan persendian namun juga harus mencangkup keseluruhan dari pasien. Tatalaksana
psoriasis juag mencangkup skrining hipertensi, dislipidemia, diabetes melitus, dan kelaianan
kardiovaskular yang merupakan komplikasi yang dapat muncul pada psoriasis. Pasien psoriasis
memiliki kecenderungan untuk mengalami depresi dan kelainan ansietas sehingga dibutuhkan pula
skrining rutin bersamaan dengan skrining penyakit yang bersangkutan. Intervensi psikososial
seperti edukasi pasien, psikoterapi, dan dukungan moral dapat diberikan. [4]
Terdapat 3 bentuk utama dari tatalaksana psoriasis yaitu dengan terapi topikal, fototerapi
dan terapi sistemik. Terapi didasari dengan tingkat keparahan psoriasis pada pemeriksaan saat itu.
Psoriasis mild ditatalaksana dengan terapi topikal dan bila tidak memberikan respon yang cukup
adekuat maka diberikan terapi fototerapi. Psoriasis moderate dan severe membutuhkan terapi
sistemik. Lini pertama terapi sistemik berupa methotrexate, ciclosporin, acitretin, dan etretinate.
Daftar obat-obatan yang merupakan persyaratan minimun untuk semua fasilitas kesehatan ada
pada Gambar 2.14. Obat-obatan yang tergolong aman untuk digunakan secara terus menerus terdiri
dari calcipotriol, methotrexate, dan acitretin. Sedangkan, kortikosteroid topikal, dithranol, tar,
fototerapi, dsn ciclosporin tidak diindikasikan untuk penggunaan terus menerus jangka panjang.
[4,5]
Gambar 2.14. Tabel pilihan obat tatalaksana psoriasis pada WHO Model List of Essential
Medicine
2.1.7.1. Pengobatan Topikal
2.2.7.1.1 Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal merupakan pengobatan lini pertama untuk psoriasis nild. Namun,
beberapa penelitian mengatakan bahwa pemakaian kortikoisteroid memberikan efek yang sama
dengan analog vitamin D3. Kortikosteroid topikal dengan potensi tinggi, seperti betametason atau
desoksimetason, diberikan pada area lesi 2x/hari selama 2-4 minggu lalu dilanjutkan secara berkala
yaitu setiap akhir minggu. Penggunaan jangka panjang kortikosteroid topikal juga dapat
memberikan efek samping perubahan kulit, tachyphylaxis, dan supresi supresi hypothalamic-
pituitary-adrenal axis. [2,4,5]
2.1.7.2. Fototerapi
Fototerapi merupakan terapi andalan pada psoriasis yang tidak merespon pada agen
topikal. Fototerapi ada dalam bentuk psoralen plus UVA (PUVA), broadband UVB, dan
narrowband UVB (NB-UVB). Lini pertama dari fototerapi adalah NB-UVB yang dimana juga
dapat diberikan pada segala pasien seperti pasien anak dan wanita hamil. Tatalaksana dengan NB-
UVB dimulai dengan 50% dari MED dilanjutkan dengan 3-5 pemberian setiap minggunya. Dosis
dapat ditambah sekitar 10% dari MED. MED dihitung dengan cara dosis UV minimal yang
dibutuhkan untuk menimbulkan eritema dalam 1-6 jam dan hilang dalam 24 jam. Pada pemberian
PUVA, psoralen dapat diberikan secara oral atau topikal. PUVA diberikan berdasarkan MDP atau
dengan dosis inisial 0,5-2 J/cm2. PUVA diberikan 2 kali/minggu dan ditambah 40%/minggu
sampai eritema kemudian maksimum 20%/minggu. Dosis maksimal PUVA adalah 15 J/cm2.
Karena PUVA dan terapi UVB memiliki sifat karsinogenik, maka paparan cahaya UV kepada
pasien harus dibatasi. [2,4,5]
2.1.7.3.2. Ciclosporin
Ciclosporin adalah inhibitor calcineurin yang dapat digunakan untuk psoriasi moderate-
severe dan artritis psoriasis. Pemakaiannya dapat memberikan remisi total pada 80-90% pasien
dalam 12-16 minggu. Keunggulannya berupa onset kerja yang cepat dan risiko rendah terhadap
hepatotoksik dan myelosuppresion. Pemberian ciclosporin dapat dilakukan dengan dosis tinggi
atay dosis rendah. Pendekatan dosis tinggi dilakukan dengan dosis 5 mg/kgBB dan kemudian
diturunkan. Pendekatan dengan dosis rendah dimulai dengan dosis 2,5 mg/kgBB per hari dan
dinaikkan 5 mg/kgBB per 2-4 minggu. Dosis diturunkan bila penggunaan obat akan
dihentikan.[2,4,5]
Pemakaian jangka panjang dari ciclosporin memberikan efek nefrotoksik. Efek samping
lain yang dapat timbul berupa hipertensi, hipertrigliserida, hiperplasia gingiva, tremor,
hypomagnesemia, hiperkalemia, dan keganasan. Keganasan yang dapat ditimbulkan berupa
karsinoma sel basal atau sel skuamosa, kanker mamae, dan limfoma. Ciclosporin harus diberikan
secara intermiten dan tidak lebih dari 12 minggu hanya sebagai pengontrol serangan akut. [2,4,5]
2.1.7.3.3. Acitretin
Acitretin adalah retinoid sintesis yang diindikasikan pada psoriasis moderate severe.
Acitrectin bekerja dengan mengikat reseptor asam retinoid dan berperan dalam normalisasi
keratinasi dan proliferasi epidermis. Acitrecin diberikan dengan dosis inisial 25-50 mg/hari dan
disesuaikan dengan respon. Pemakaian acitretin sebagai terapi tambahan terbukti dapat
meningkatkan efikasi, menurunkan dosis, dan menurunkan angka kejadian efek samping. Efek
samping dari pemberian acitretin berupa mukosa kering, athralgia, keluhan gastrointestinal, dan
fotosensitivitas. Acitretin merupak teratogen yang poten sehingga harus dihindari pada wanita usia
produktif. Disarankan bagi wanita untuk tidak hamil selama 3 tahun setelah pemberhentian
acitretin. Wanita yang sedang menyusui juga merupakan kontraindikasi pemberian acitrecin. [2,4,5]
2.1.8. Komplikasi
Pasien psoriasis memiliki risiko mortalitas dan morbiditas yang tinggi dari penyakit
kardiovaskular dan limfoma. Risiko ini akan lebih tinggi pada pasien yang terkena psoriasis pada
usia muda. Penyakit psoriasis tidak membahayakan nyawa, namun sangat merusak kualitas hidup.
Pasien psoriasis dapat memiliki beban psikososial yang lebih besar karena kekhawatiran akan
penampilan mereka. Hal ini mengakibatkan rendahnya kepercayaan diri, penolakan sosial, rasa
bersalah, malu, masalah seksual, dan kelainan pada kemampuan bekerja. Aspek psikologis ini
dapat menimbulkan depresi dan ansietas. [2,4]
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien, wanita usia 51 tahun, datang dengan keluhan kemerahan pada seluruh tubuh yang
sudah muncul sejak 10 tahun SMRS yang juga terasa panas. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
didapatkan bahwa lesi kemerahan pasien bersifat plak eritematosa multiplel, berbentuk numuler,
berbatas tegas. Kemerahan menandakan adanya proses inflamasi yang terjadi pada kulit dan pada
pasien ini sudah kronis. Dari deskripsi lesi yang bersifat plak eritematosa numuler berbatas tegas
ini dapat diduga bahwa pasien mengalami psoriasis atau tinea corporis. Plak eritematosa
bertambah banyak ketika pasien mengalami stress dan sifat penyebaran lak eritematosa pada
pasien tersebar sampai kulit kepala yang merupakan salah satu gejala dari dermatitis seboroik dan
psoriasis. Pasien juga memiliki riwayat penyakit dahulu dan riwayat keluarga mengalami asma
yang mendukung diagnosis dermatitis kontak alergi. Maka dari itu, pada pasien ini terdapat 4
kemungkinan diagnosisnya yaitu psoriasis, dermatitis seboroik, tinea corporis, dan DKA.
Namun, pasien tidak memiliki riwayat rasa gatal atau panas dan dari pemeriksaan fisik dan
didapatkan bahwa plak eritematosa pasien bersifat keseluruhan tanpa adanya central healing maka
dari itu diagnosis tinea corporis dapat disingkirkan. Tidak adanya riwayat gatal atau panas pada
pasien dan tidak adanya riwayat paparan terhadan benda-benda yang berpotensi sebagai alergen
juga membuktikan bahwa kemungkinan pasien mengalami DKA berkurang. Lesi pada pasien
sudah ada sejak 10 tahun dan pada DKA yang bersifat kronis dapat memberikan tampilan
likenifikasi yang tidak ditemukan pada pasien. Maka dari itu, diagnosis banding DKA dapat
disingkirkan.
Pasien juga mengeluhkan adanya kulit bewarna putih yang mengelupas dimana pada
pemeriksaan fisik terlihat bahwa lesi kemerahan pasien berskuama. Didapatkan juga skuama pada
pasien bersifat tebal putih pada seluruh lesi dimana pada diagnosis banding dermatitis seboroik
skuama bersifat halus kekuningan. Lesi pada pasien juga cenderung tersebar pada area-area yang
tidak mengandung banyak kelenjar sebasea seperti badan, lengan bawah, dan anterior tibialis dan
hanya sedikit pada bagian wajah atau lipatan. Maka dari itu, diagnosis banding dermatitis seboroik
dapat disingkirkan.
Dari bentuk lesi pasien yang berupa plak eritem dengan skuama putih dan tersebar terutama
pada bagian ekstensor dimana pada pasien berada pada area tibialis anteior menandakan bahwa
tiper psoriasis pasien adalah psoriasis vulgaris. Lesi kemerahan yang sudah sembuh meinggalkan
bekas warna kecoklatan yang merupakan hiperpigmentasi post inflamasi. Lesi pasien bersifat
hilang timbul terus menerus karena psoriasis terjadi karena kelainan genetik. Riwayat keluhan
pasien timbul titik merah di bawahnya setelah kulit berwarna putih mengelupas merupakan
rusaknya kapiler yang tervasodilatasi. Hal ini dikonfirmasi dengan positifnya Auspitz sign pada
pemeriksaan fisik. Pada pasien juga didapatkan fenomena tetesan lilin positif. Berdasarkan analisa
tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami psoriasis vulgaris.
Luas lesi pasien >3% namun <10 % yang menandakan psoriasis passien sudah pada tingkat
severe dimana pasien perlu mendapatkan pengobatan sistemik seperti methotrexate. Saat ini pasien
sudah menjalani test dose methotrexate 5 mg dan saat ini memakai Inerson yang mengandung
Desoksimetason, vaselin album, dan salep gentamisin. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium,
SGOT dan SGPT pasien masih dalam batas normal sehingga pasien sudah dapat diberikan
methotrexate. Pasien juga diberikan lagi cefixime dan ibuprofen. Cefixime dapat diperburuk
karena infeksi pada kulit maka dari itu pasien diberikan cream gentamisin, cefixime, dan
ibuprofen.
Daftar Pustaka
1. Menaldi S, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin. 1st ed. Depok:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2016.
2. Fitzpatrick T, Goldsmith L. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed.
McGraw Hill; 2013.
3. Handa S, Mahajan R. Pathophysiology of psoriasis. Indian Journal of Dermatology,
Venereology, and Leprology. 2013;79(7):1.
4. WHO. Global Report on Psoriasis. Switzerland: WHO; 2016.
5. Hsu S. Consensus Guidelines for the Management of Plaque Psoriasis. Archives of
Dermatology. 2012;148(1):95.
6. Kim W, Jerome D, Yeung J. Diagnosis and Management of Psoriasis. Can Fam
Physician. 2017;63:278-285.
7. Coimbra S, Oliveira H, Figueiredo A, Rocha-Pereira P, Santos-Silv A. Psoriasis:
Epidemiology, Clinical and Histological Features, Triggering Factors, Assessment of
Severity and Psychosocial Aspects. Psoriasis - A Systemic Disease. 2012;.