Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

PSORIASIS VULGARIS

Pembimbing:
dr. Vincentia, SpKK

Disusun oleh:
Irine Handini S. (01073170084)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 28 JANUARI 2019 – 1 MARET 2019
JAKARTA
2019
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1. Identitas Pasien


1.1.1. Pasien
Nama : Ny. SA
Tempat/tanggal lahir : Surabaya, 5 Juni 1967
Usia : 51 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jalan Swadaya no. 22, Krukut
Status Perkawinan : Sudah menikah
No. MR : 1040xx

1.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan autoanamnesis pada pasien pada 29 Januari 2019 di ruang
poliklinik Kulit dan Kelamin di Rumah Sakit Marinir Cilandak.

1.2.1. Keluhan Utama


Kemerahan pada kulit pada seluruh tubuh sudah 10 tahun sejak sebelum masuk rumah sakit
(SMRS).

1.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan kemerahan pada seluruh tubuh yang sudah muncul sejak 10
tahun SMRS yang juga terasa panas. Kemerahan awalnya timbul di kedua kaki dengan bentuk
lingkaran di beberapa tempat. Kemerahan tersebut bertambah banyak, mulai muncul pada badan,
ekstremitas atas, dan kulit kepala. Kemerahan lama kelamaan bertambah besar dan saling menyatu.
Kemerahan muncul dengan pola beberapa sembuh dan timbul baru lagi. Faktor yang
mempengaruhi bertambahnya kemerahan berupa stress dan tidak ada faktor yang memperingan.
Kemerahan ini disertai dengan mengelupasnya kulit berwarna putih dengan timbul titik merah di
bawah kulit yang mengelupas. Setelah mengelupas, pasien mengaku bahwa kulit dibawahnya
terlihat seperti basah Kemerahan yang sudah sembuh meninggalkan bekas warna coklat gelap pada
kulit. Pasien tidak mengeluhkan adanya gatal ataupun nyeri pada kulit. Pasien tidak mengeluhkan
adanya nyeri sendi. Pasien tidak memiliki riwayat paparan terhadap bahan-bahan besi atau kimia
seperti deterjen.

1.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien tidak
memiliki riwayat infeksi pada kulit sebelumnya. Pasien rutin melakukan kontrol ke dokter spesialis
Kulit dan Kelamin setiap 1 bulan. Saat ini pasien rutin mengkonsumsi obat Metrotexate dan
menggunakan salep gentamisin, Inerson, dan vaselin albumin. Pasien memliki riwayat asma
sewaktu kecil dan sudah tidak menunjukkan gejala sampai saat ini. Pasien tidak memiliki riwayat
alergi.

1.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami hal serupa. Tidak ada riwayat keluarga
memliki kelainan bawaan pada kulit ataupun alergi obat. Kakek pasien dari pihak ayah memiliki
riwayat asma.

1.2.8. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan


Pasien menyangkal adanya riwayat merokok ataupun mengkonsumsi alkohol. pasien
tinggal di rumah milik sendiri. Pasien rutin mandi di kamar mandi rumah dan dengan
menggunakan sabun Lux.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tanda – tanda vital:
 Tekanan darah : 120/80 mmHg
 Pernapasan : 19 x/menit
 Nadi : 85 x/menit
 Suhu tubuh : 36,70C
 Saturasi Oksigen : 99%

1.3.1. Status Generalis


Kulit Pigmentasi kulit seragam warna sawo matang, sianosis (-), kekuningan (-),
keseluruhan edema (-), lesi (+)
Kepala Normosefali
Rambut: rambut tersebar merata, warna hitam, kuat, tidak mudah rontok
Kulit kepala: lesi (+), massa (-), kekuningan (-), edema (-)
Mata Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Pupil: bulat isokor, 3 mm/3 mm
THT Telinga: bentuk dan ukuran normal, serumen (-)
Hidung: bentuk dan ukuran normal, septum ditengah, sekret (-), darah (-),
mukosa hiperemis (-), napas cuping hidung (-)
Tenggorok: bibir normal, mukosa lembab, ulkus (-), geographic tongie (-),
tonsil T1/T1, detritus (-), faring hiperemis (-)
Leher Pembersaran KGB (-), pembersaran tiroid (-), deviasi trakea (-)
Thorax Paru I: Perkembangan dinding dada simetris dan dinamis, retraksi (-), deformitas
(-), lesi (+)
P: Perkembangan dada simetris, taktil fremitus simetris kanan dan kiri
P: Sonor pada seluruh lapang paru
A: Duara vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung I: iktus kordis tidak terlihat
P: ikuts kordis tidak teraba
P: tidak dilakukan
A: suara S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen I: Datar, bekas luka (-), striae (-), caput medusa (-), spider nevi (-), lesi (+)
A: bising usus (+) normal, metalic sound (-), bruit (-)
P: timpani pada seluruh lapang abdomen, nyeri ketok CVA (-/-)
P: supel, nyeri tekan (-), pembesaran hepar tidak teraba, pembesaran lien
tidak teraba
Extremitas atas I: pigmentasi kulit seragam, deformitas pada jari (-), sianosis (-), kekuningan
dan bawah (-), edema (-), clubbing finger (-), lesi (+) bilateral lebih banyak pada area
cruris anterior
P: Akral hangat, CRT <2 detik, nyeri tekan (-)

1.3.2. Status Dermatologis


Pada seluruh badan tampak plak eritematosa multiplel, berbentuk numuler, berbatas tegas, dan
dengan permukaan berskuama tebal. Pada palpasi tidak terdapat nyeri ataupun hangat.
Fenomena tetsan lilin : (+)
Fenomena Asupitz : tampak bintik-bintik perdarahan / (+)

1.4. Pemeriksaan Penunjang


1.4.1. Cek darah (21 Januari 2019)

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Haemoglobin 14,1 Gr/dL L: 13-17, P: 12-16

Hematokrit 43 % 37 – 54

Leukosit 7,0 rb/uL 5 – 10

Trombosit 261 rb/ul 150 – 400

Laju Endap Darah 14 mm/jam L: <10, P: <20

Basofil 0 % 0–1

Eosinofil 2 % 2–4

Neutrofil Batang 2 % 3–5

Neutrofil Segmen 57 % 50 – 70
Limfosit 35 % 25 – 40

Monosit 4 % 2–6

Glukosa sewaktu 202 mg/dL <200

Albumin 4,22 g/dL 3,4 – 4,8

SGOT 23 u/L L: <50, P: <35

SGPT 18 u/L L: <50, P: <35

Ureum 23 mg/dL 20 – 50

Creatinin 0,73 mg/dL 0,8 – 1,1

1.5. Resume
Pasien, wanita usia 51 tahun, datang dengan keluhan kemerahan pada seluruh tubuh yang
sudah muncul sejak 10 tahun SMRS yang juga terasa panas. Kemerahan awalnya timbul di kedua
kaki dengan bentuk lingkaran di beberapa tempat yang kemudian bertambah banyak dan saling
menyatu. Kemerahan bersifat hilang timbul pada area lain seperti pada badan, ekstremitas atas,
dan meinggalkan bekas warna kecoklatan. sembuh dan timbul baru lagi. Faktor yang
mempengaruhi bertambahnya kemerahan berupa stress dan tidak ada faktor yang memperingan.
Kemerahan disertai dengan mengelupasnya kulit berwarna putih dengan timbul titik merah di
bawahnya dan kulit dibawahnya terlihat seperti basah. Saat ini pasien rutin melakukan kontrol ke
dokter spesialis Kulit dan Kelamin setiap 1 bulan. Pasien rutin mengkonsumsi obat Metrotexate
dan menggunakan salep gentamisin, Inerson, dan vaselin albumin. Pasien dan kakek pasien
memliki riwayat asma sewaktu kecil dan sudah tidak menunjukkan gejala sampai saat ini. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan lesi pada seluruh badan dengan lebih banyak pada area cruris anterior
bilateral dengan bentuk plak eritematosa multiplel, berbentuk numuler, berbatas tegas, dan dengan
permukaan berskuama tebal. Pemeriksaan fenomena tetsan lilin (+) dan fenomena Asupit tampak
bintik-bintik perdarahan atau (+).

1.6. Diagnosis Kerja


 Psoriasis Vulgaris

1.7. Diagnosis Banding


 Dermatitis seboroik
 Tinea korporis
 Dermatitis Kontak Alergi

1.8. Terapi yang di dapat


 Desosksimetason cream 2 x pemakaian luar
 Gentamisin cream 2 x pemakaian luar
 Cefixime 2 x 100 mg
 Ibuprofen 3 x 400 mg

1.8. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad cosmeticam : malam
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1. Psoriasis
2.1.1. Definisi
Psoriasis adalah penyakit inflamsi kronis pada kulit dengan keterlibatan genetik dan
karakteristik perubahan yang kompleks pada pertumbuhan dan diferensiasi epidermis disertai
keabnormal biokemistri, imunologik, dan vaksular. Berdasarkan usia, psoriasis dapat terbagi
menjadi 2 yaitu psoriasis tipe 1 dengan onset <40 tahun dan memiliki asosiasi dengan antigen class
1 HLA dan tipe 2 dengan onset >40 tahun tanpa asosiasi dengan HLA.[1,2]

2.1.2. Epidemiologi
Prevalensi dari psoriasis bervariasi dari 0,1% - 11,8%. Di Asia sendiri prevalensi psoriasis
tergolong sedikit dengan angka 0,4%. Di Amerika Serikat, ada sekitar 150.000 kasus baru psoriasis
setiap tahunnya. Angka kejadian psoriasis antara jenis kelamin pria dan wanita sama banyaknya.
Psoriasis dapat terjadi pada segala golongan usia namun jarang terjadi pada anak usia <10 tahun.
Psoriasis paling banyak terjadi pada golongan usia 15-30 tahun. Anak dengan salah satu
orangtuanya mengalami psoriasis memiliki risiko terkena psoriasis sebesar 34-39%.[1,4]

2.1.3. Etiologi dan Faktor Risiko


Terdapat 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya psoriasis yaitu faktor genetik dan faktor
imunologis. Psoriasis terjadi akibat dari kelainan pada sekumpulan gen yang berfungsi dalam
regulasi sistem imun tubuh manusia. Kumpulam gen tersebut disebut psoriasis susceptibility 1
(PSORS1) yang terletak pada kumpulan gen Human Leucocyte Antigen (HLA). Kelainan pada
gen HLA-Cw6 paling banyak ditemukan pada pasien psoriasis. 2 gen HLA yang memiliki
hubungan erat dengan timbulnya artritis psoriasis berupa HLA-Cw6 dan HLA-B27. [2]
Faktor imunologis yang berperan dari terjadinya psoriasis berupa adanya defek pada salah
satu dari sel limfosit T, sel dendritik dermal, dan keratosit. Psoriasis merupakan penyakit yang
diperantarai oleh sistem imun dimana limfosit T CD4 dapat ditemukan pada dermis lesi psoriasis
dan limfosit T CD8 pada lesi baru. Proses dari patogenesis psoriasis juga dipengaruhi oleh sel
langerhans, sel dendritik pada kulit. Proliferasi epidermis dipengaruhi oleh adanya pergerakkan
antigen oleh sel Langerhans. Pada pasien psoriasis, pembentukkan epidermis menjadi lebih cepat
yaitu 3-4 hari dibanding dengan kulit normal yang membutuhkan 27 hari. [2]
Beberapa faktor yang dapat menimbulkan eksaserbasi psoriasis berupa stres dan gangguan
emosi, infeksi lokal, trauma, penyakit metabolik seperti diabetes melitus, dan penggunaan obat-
obatan. Sekitar 68% penderita psoriasis menyatakan bahwa stess dan kegelisahan dapat
memperburuk gejala psoriasis yang dialami. Obat-obatan yang dapat mencetus timbulnya
eksasserbasi psoriasis berupa beta blocker, antimalaria, lithium, NSAID, ACE inhibitor, dan
gemfibrozil. [2]

2.1.4. Patofisiologi
Psoriasis diawali dengan gabungan dari faktor genetik dan lingkungan sekitar dapat
menyebabkan disregulasi sistem imun pada kondisi kerusakan perlindung kulit. Interaksi dari
damage associated molecular pattern (DAMP) dan pathogen associated molecular pattern (PAMP)
dengan reseptornya, seperti toll like receptor (TLR) dan nucleotide oligomerization domain
(NOD), menyebabkan aktivasi dari keratinosit dan ativasi sistem imun epidermis. Hal ini juga
menyebabkan pelepasan berbagai sitokin inflamatorik, seperti TNF-α, IL-8, dan IL-1β, yang akan
merupakan chemoattracttant. Pada pasien dengan kelainan genetik, seperti HLA-Cw6, paparan
terhadap PAMP dapat menyebabkan penambahan respon inflamasi dan perbaikan permukaan kulit
yang rusak dengan penambahan ekspresi dari keratins 6 dan 17. Penyembuhan kulit yang abnormal
menyebabkan paparan terhadap PAMP terus berlanjut yang akan dimakan oleh sel langerhans. [3]
Setelah APC menelan antigen, mereka akan bermigrasi ke kelenjar getah bening terdekat
yang akan mengaktivasi sel T. Proses tersebut membutuhkan interaksi antara antigen major
histocompability complex (MHC) pada APC dengan reseptor sel T. Aktivasi dari T sel naive
menjadi sel T patogenik difasilitasi dengan adanya polimorfisme pada gen IL-23 dan HLA-Cw6.
Aktivasi dari HLA-Cw6 dapat menyebabkan aktivasi dari sel T CD8+ yang akan mengamplifikasi
produksi TNF-α dan IFN-γ. Setelah sel T teraktivasi, sel T CD4+ dan sel T CD8+ akan
menginfiltrasi kulit dan mensekresi sitokin Th1 dan Th17. Bersama dengan IL-1 dan TNF-α dari
keratinosit, sitkun tersebut akan meningkatkan ekspresi antimicrobial peptides (AMP). Hal ini
akan menyebabkan siklus positive feedback dimana aktivasi keratinosit menyebabkan aktivasi
sistem imun yang akan mengaktivasi keratinosit dan bertanggung jawab dalam sifat penyakit
psoriasis yang bersifat kronis. [3]
Gambar 2.1. Patogenesis dari Psoriasis[3]
Gambar 2.2. Perkembangan lesi psoriasis. Panel A: kulit sehat pada manusia normal tanpa
psoriasis dengan sel Langerhans pada epidermis dan pada dermis tersebat sel dendritik dan sel T
memori. Panel B: kulit normal pada individu dengan psoriasis, terdapat dilatasi dan kurvatur dari
kapiler dengan sedikit peningkatan sel mononuklear dermal dan sel mast. Dapat juga ditemukan
juga sedikit penebalan epidermis. Panel C: zona transisi dari berkembangnya lesi,
dikarakteristikkan dengan penambahan progresif dari dilatasi dan torsi kapiler, penamabahan
jumlah sel mast, makrofag, dan sel T, dengan degranulasi sel mast (panah). Sel langerhans mulai
keluar dari epidermis dan sel dendritik bersama sel T CD8+ masuk ke epidermis. Panel D: lesi
yang sudah berkembang seluruhnya, dikarakteristikkan dengan bertambahnya dilatasi dan
kurvatur kapiler dengan penambahan aliran darah 10x lipat, penambahan jumlah makrofag pada
membran basal, dan penambahan jumlah sel T dermal terutama CD4+ yang berkontak dengan sel
dendritik matur. Epidermis dari lesi matur mengalami hiperprliferasi keratinosit mencapai
lapisan suprabasal, hilangnya lapisan granular, pemadatan stratum korneum dan parakeratosis di
atasnya, bertambahnya jumalh sel T CD8+, dan akumulasi neutrofil pada strarum korneum atau
yang disebut juga Munro’s microabscesses. [2]

2.1.5. Diagnosis
2.1.5.1. Anamnesis
Beberapa hal yang harus ditanyakan pada pasien dengan psoriasis adalah usia saat psoriasis
pertama timbul dan adanya riwayat keluarga yang mengalami psoriasis karena kedua hal ini
memiliki asosiasi yang erat dengan penyebaran dan rekurensi yang lebih banyak. Perlu diketahui
pula lama lesi sudah timbul dan pola rekurensi apakah rutin timbul lesi baru setiap minggu, bulan,
atau sangat jarang. Lesi yang berkembang lebih cepat dan menutupi proporsi badan yang
signifikan membutuhkan tatalaksana yang lebih banyak. Keluhan pada persendian yang disertai
dengan riwayat persendian bengkak, panas, dan timbul sebelum usia 40 tahun harus meningkatkan
kecurigaan adanya artritis psoriasis. [1,2,6]
Bentuk lesi klasik psoriasis pada kulit yang dikeluhkan pasien dapat berupa plak merah,
berbatas tegas, meninggi, simetris bilateral, dan berlapis sisik keputihan. Pada orang dengan warna
kulit gelap, lesi dapat timbul dengan warna keunguan dengan sisik abu-abu. Lesi dapat timbul
dengan berbagai macam ukuran dari papul pinpoint sampai plak yang menutupi area yang besar.
Di bawah sisik kulit dapat terlihat kulit eritem yang mengkilat dan titik-titik perdarahan ketika
sisik diangkat. Hal ini terjadi karena ketika sisik diangkat maka kapiler yang terdilatasi
dibawahnya rusak atau juga yang disebut Auspitz sign. Namun tipe fenotip psoriasis dapat berubah
walau pada pasien yang sama. [1,2,6]
Untuk membantu mendiagnosis psoriasis juga bisa ditanyakan adanya fenomena Koebner
setelah mengalami trauma pada kulit. Fenomena Koebner adalah induksi traumatik dari psoriasis
pada kulit yang tidak memiliki lesi. Rekasi Koebner umumnya muncul 7 – 14 hari setelah
perlukaan. Risiko dari terjadinya fenomena Koebner juga dapat meningkat dengan adanya infeksi,
stres emosional, dan reaksi obat. [1,2,6]

2.1.5.2. Pemeriksaan Fisik


Selain ditemukannya gejala lesi pada kulit dapat juga ditemukan gejala klinis lainnya yang
mengarah pada diagnosis psoriasis. Kelainan pada kuku dapat ditemukan pada 50% pasien dengan
gejala pitting nail atau nail pit yang merupakan lekukan-lekukan miliar 0,50-2 mm. Lesi psoriasis
yang muncul pada areamatriks kuku proksimal akan menyebabkan kelainan berupa deformitas
morfologi kuku yang terdiri dari leukonychia, hancurnya kuku, dan titik meral pada lunula. Dapat
ditemukan juga oil spots splinter hemorrhage karena perdarahan kapiler dibawah kulit.
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan selain Auspitz sign dan Fenomena Koebner adalah
fenomena tetesan lilin dimana skuama yang digores dengan benda tajam seperti kaca objek akan
menjadi warna putih. [2,6]

Gambar 2.3. Kelainan morfologi kuku yang disertai dengan pitting dan oil spots

Pada lidah pasien dengan psoriasis dapat ditermukan geographic tongue yang merupakam
kelainan inflamasi idiopatik yang menyakibatkan hilangnya papil filiformis. Kondisi ini memiliki
gambaran patch eritem dengan pinggir berkelok-kelok menyerupai peta. Psoriasis juga dapat
menimbulkan kelainan pada sendi yang bersifat poliartikular dengan tempat predileksinya berupa
sendi interphalang distal. Psorisis aritritis umumnya ditermuakan pada usia 30-50 tahun. [2,6]
Tingkat keparahan psoriasis dilihat dari luas area lesi dengan luas telapak tangan adalah
1%. Tingkat keparahan terbagi menjadi 3 yaitu mild dengan luas lesi <3%, moderate dengan luas
lesi 3% - 10%, dan severe dengan luas lesi >10%. Bentuk fenotipe dari psoriasis terbagi menjadi
beberap tipe yaitu:

2.1.5.2.1.Psoriasis Vulgaris atau Psoriasis Plakat


Psoriasis vulgaris dapat ditemukan pada 90% pasien. Psoriasis vulgaris memiliki tampilan
kemerahan, berskuama putih, plak yang tersebar simetris yang terlokalisir pada ekstensor
ekstremitas terutama siku, lutut, kulit kepala, lumbosacral, bokong, dan keterlibatan genitalia. Lesi
yang saling menyatu akan membentuk plak dengan pinggiran yang menyerupai peta atau disebut
juga Psoriasis geographica. Psoriasis yang mengalami penyembuhan di bagian tengah akan terlihat
seperti cincin atau yang disebut juga Annular Psoriasis yang menandakan penyembuhan lesi dan
prognosis yang baik. Pasien yang sudah menjalani pengobatan dengan cahaya UV atau
kortikosteroid topikal dapat memberikan tampilan cincin hipopigmentasi yang mengelilingi lesi
psoriasis atau yang disebut juga Woronoff ring. [1,2]

Gambar 2.3. Psoriasis Vulgaris dengan penyebarannya yang simetris. [2]


Gambar 2.4. Woronoff ring pada pasien psoriasis yang sudah menjalani pengobatan dengan
lampu UVB, coal tar, dan kortikosteroid topikal. [2]

2.1.5.2.2. Psoriasis Gutata


Psoriasis Gutata memiliki tampilan erupsi papul pada badan bagian atas dam ekstremitas
pada proksimal. Lesi ini umumnya timbul pada pasien usia muda. Lesi ini umunya timbul setelah
infeksi Streptococcus. [1,2]

Gambar 2.5. Psoriasis Gutata. Pada gambar D, lesi pasien berkembang menjadi psoriasis
vulgaris. [2]
2.1.5.2.3. Psoriasis Inversa atau Psoriasis Fleksural
Psoriasis Inversa timbul pada area lipatan kulit seperti aksila, regio genito-crural, dan leher.
Skuama minimal atau tidak ada dan lesi memiliki tampak megkilap, berbatas tegas, eritem, dan
terlokalisir pada area yang mengalami kontak kulit dengan kulit. [1,2]

Gambar 2.6. Psoriasis Inversa pada lipatan mamae dan aksila. [2]

2.1.5.2.4. Psoriasis Eritroderma


Psoriasias eritroderma mengenai seluruh badan termasuk wajah, tangan, kaki, kuku, badan,
dan ekstremitas. Pada psoriasis eritroderma gejala yang dominan adalah eritema. Skuama pada
psoriasias eritroderma bersifat superfisial. Namun, pasien dengan psoriasis eritroderma mengalami
kehilangan panas karena vasodilatasi secara menyeluruh yang mnyebabkan hipotermia. Psoriasias
eritroderma memiliki 2 macam bentuk: psoriasis plak kronik dan generalized erythroderma.
Psoriasis plak kronik dapat memburuk dan mengenai seluruh permukaan kulit. Pada tipe
Generalized erythroderma, lesi dapat timbul mendadak sebagai hasil tatalaksana eksternal yang
tidap dapat ditoleransi seperti UVB dan anthralin. Hal tersebut serupa dengan fenomena Koebner
yang generalized. [1,2]
Gambar 2.7. Pasien dengan psoriasis plak kronik yang hampir menyebar ke seluruh
badan. [2]

2.1.5.2.5. Psoriasis Pustulosa


Psoriasis Pustulosa dapat terbagi lagi menjadi beberapa tipe yaitu:
1. Generalized Pustular Psoriasis atau von Zumbusch
Generalized Pustular Psoriasis umumnya didahului oleh penyakit lainnya. Gejalanya
dapat berupa demam beberapa hari dan erupsi mendadak yang berupa pustul pada
badan, ekstremitas, telapak tangan, telapak kaki, dan kuku. Pustul tersebut timbul kulit
yang eritem. Seiring berjalannya waktu pustul tersebut dapat berkonfluensi dan
membentuk lake of pus. [1,2]
Gambar 2.8. Generalized Pustular Psoriasis pada kulit eritema[2]

2. Exanthematic Pustular Psoriasis


Exanthematic Pustular Psoriasis timbul setelah infeksi virus dengan bentuk pustul dan
plak psoriasis. Perbedaannya dengan von Zumbusch adalah tidak adanya gejala
konstitusional.[2]

3. Annular Pustular Psoriasis


Annular Pustular Psoriasis tergolong jarang ditemukan. Karakteristik dari lesi ini
berupa pustul pada eritema yang berbentuk cincin. [2]

4. Localized Pustular Psoriasis variants


Localized Pustular Psoriasis variants terbagi lagi menjadi 2 macam yaitu pustulosis
palmaris et plantaris dan acrodermatitis continua. [2]

2.1.5.2.6. Psoriasis Seboroik


Psoriasis seboroik memiliki gambaran plak eritem dengan skuama berminyak yang
terlokalisir pada area seboroik yaitu area kulit kepala, glabella, lipatan nasolabial, perioral,
presternal, dan area intertriginosa. [2]

2.1.5.2.7. Napkin Psoriasis


Napkin psoriasis umumnya timbul antara usia 3-6 bulan dan bermula pada area diaper
dengan tampilan area kemerahan. Dalam beberapa hari timbul papul kemerahan dengan skuama
putih pada badan dan ekstremitas. Lesi ini memberikan respon baik terhadap pengobatan dan dapat
menghilang setelah usia 1 tahun. [2]

2.1.5.2.8. Psoriasis Linear


Psoriasis linear tergolong sangat jarang ditemukan dengan gambaran lesi psoriasis
berpola linear. [2]

2.1.5.3. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang histopatologi tidak rutin dilakukan pada pasien psoriasis namun
dapat membantu dalam mendiagnosis kasus yang sulit. Kelaianan dan perbandingan kulit dengan
dan tanpa lesi psoriasis dapat dilihat pada Gambar 2.10 dan Gambar 2.11. Aktivitas mitosis pada
epidermis sangat tinggi sehingga pematangan keratinisasi terlalu cepat dan stratum korneum
tampak menebal. Dalam sel keratinosit tersebut masih dapat ditemukan inti sel. Pada stratum
korneum dapat ditemukan kantong-kantong kecil berisikan sel radang polimorfonuklear yang
disebut dengan Munro’s microabscess. Pada puncak papil dermis dapat ditemukan vasodilatasi
kapiler disertai dengan serbukan sel radang limfosit dan monosit. [2,6]
Pada pasien dengan psoriasis vulgaris yang buruk, egeneralized pustular psoriasis vulgaris,
dan erythroderma dapat ditemukan keseimbangan nitrogen yang negatif terlihat dari menurunnya
serum albumin. Pada pasien psoriasis juga dapat ditemukan peningkatan high density lipoprotein
(HDL) dan peningkatan rasio trigliserida banding low density lipoprotein (LDL). [2,6]

Gambar 2.10. Histopatologi dari papul psoriasis. Pada area transisi dari pinggir sampai tengah
lesi dapat terlihat penebalan epidermis dengan elongasi rete pegs, dilatasi dan penambahan
kurvatur dari pembuluh darah, dan bertambahnya infiltrasu sel mononuklear. [2]
Gambar 2.11. Perbandingan antara kulit normal dan kulit berlesi. Pada area normal yang
berdekatan dengan pinggir lesi dapat terlihat penebalan dan pemanjangan rete pegs, dilatasu
pembuluh darah, dan menambahan jumlah sel mononuklear. Pada contoh area normal yang
mendekati pinggir lesi dapat dilihat penambahan frekuensi diskeratotik keratinosit. Bila
dibandingkan dengan kulit area normal, maka pada area aktif dapat terlihat bertambahnya
infiltrasi sel mononuklear, bertambahnay hiperkreratosis, dan Munro’s micvroabscessess. [2]

2.1.5.3. Pengukuran Derajat Keparahan Psoriasis


dalam mengukur derajat keparahan atau perbaikan klinis psoriasis dapat dilakukan dengan
Psoriasis Area and Severity Index (PASI). Penilaian PASI menggunakan presentasi klinis yang
tampak pada kulit yaitu eritema, indurasi, dan skuama. Setiap elemen dinilai terpisah dengan poin
0 – 4 pada setiap bagian tubuh: kepala dan leher, batang tubuh, ekstremitas atas, dan ekstremitas
bawah. Penilaian dari ketiga presentasi klnis tersebut dijumlahkan dan kemudian hasil
penjumlahan dari masing-masing bagian tubuh dikalikan dengan skor luasnya area permukaan
yang terdiri dari skala 1 – 6. Hasilnya kemudian dikalikan dengan faktor koreksi sesuai dengan
bagian tubuhnya yaitu kepa dan leher 0.1, eksstremitas atas 0.2, batang tubuh, 0.3, ekstremitas
bawah 0.4. Skor dari keempat area tubuh tersebut dijumlahkan dan menghasilkan skor PASI. Nilai
tertinggi PASI adalah 72. Psoriasis tergolong ringan bila skor PASI < 11, sedang bila skor PASI
12 – 16, dan berat bila skor PASI > 16. [7]

Gambar 2.12. Psoriasi Area and Severity Index. [7]

2.1.6. Diagnosis Banding


2.1.6.1. Dermatitis seboroik
Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit pada daerah yang mengandung banyak
kelenjar sebasea seperti kulit kepala, muka, leher, dan badan. Prevalensi dermatitis seboroik adalah
sekitar 2-5% populasi dan sering terjadi pada bayi usia bulan-bulan pertama dan usia 18-40 tahun.
Dermatitis seboroik memiliki asosiasi yang erat dengan kulit berminyak, atau yang disebut juga
seborrhea, dimana aktivitas kelenjar sebasea terjadi secara berlebihan. Maka dari itu, dermatitis
seboroik dapat terjadi akibat pengaruh hormon androgen yang mengaktifkan glandula sebasea. Hal
lain yang dapat menyebabkan dermatitis seboroik adalah pertumbuhan jamur pityrosporum ovale
berlebih, iklim, genetik, dan dapat diperburuk dengan stress emosional. Dermatitis seboroik pada
awalnya memiliki tampilan lesi eritema dan skuama halus berminyak yang kekuningan dengan
batas kurang tergas pada area kulit kepala. Pada kulit kepala, kelainan tersebut disebut juga
pitiriasis sika, atau dandruf, dan pada kulit kepala bayi disebut juga cradle cap. Rambut pada area
tersebut memiliki kecenderungan untuk rontok mulai dari vertex dan frontal. Kemudian lesi akan
meluas ke dahi, glabela, telinga postaurikular, dan leher. Lesi yang sudah berat ditandai dengan
skuama, berminyak, adanya eksudasi, dan krusta tebal. Krusta-krusta kotor yang sudah menebal
dapat memberikan bau yang tidak sedap. Dermatitis seboroik juga dapat mengenai area liang
telinga luar, lapiatan nasolabial, strenum, areola mamae, lipatan bawah mamae pada wanita,
interskapular, umbilikus, lipatan paha, dan, area anogenital. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan histopatologis dengan hasil infiltrat sel mononuklear pada lapisan
dermal, hiperplasia, penyumbatan foliker karena ortokeratosis, dan parakeratosis kerak yang
mengandung neurtrofil. Dalam kondisi kronis dapat ditermuakn dilatasi pembuluh darah kapiler.[1]

2.1.6.2. Tinea korporis


Tinear corporis adalah penyakit kulit yang disebabkan jamur golongn dermatofitas spesies
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton yang menyerang area kulit tak berambut pada
wajah, lengan, badan, dan tungkai. Tinear corporis sering terjadi pada populasi di daerah beriklim
panas dan lembab. Tinea corporis dapat menular melalui kontak langsug dengan individu yang
terinfeksi atau tidak langsung melalui hal-hal yang mengandung jamur seperti handuk, tempat tidur
atau hewan anjing dan kucing. Pasien yang mengalami tinea korporis akan mengeluhkan gatal
terutama ketika berkeringat dan lesi akan meluas bila digaruk. Lesi berbentuk bulat atau lonjong
yang terpisah-pisah, berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, dan terkadang vesikal dan papul
di tepi. Tedapat central healing pada lesi. Lesi yang menyatu dapat memberikan gambaran
polisiklik. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan mikologik dengan
sampel dari kerokan kulit dan kuku. Pemeriksaan menggunakan 1-2 tetes KOH 10-20% dan
dibawah mikroskop dapat ditemukan hifa panjang, bersekat, bercabang, dan spora berderet.
Pemeriksaan dengan wood’s lamp pada tinea kapitis memberikan hasil warna kuning kehijauan.[1]

2.1.6.3. Dermatitis Kontak Alergi


Dermatitis kontak alergi (DKA) adalah suatu dermatitis, atau peradangan kulit, yang timbul
setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. Di Indonesia, prevalensi DKA dapat
mencapai 25,4%. DKA dapat terjadi karena bahan yang bersifat iritan seperti pelarut, deterjen,
minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Pasien dengan DKA dapat mengeluhakn gatal,
peedih, panas, ataupun terbakar. pada DKA akut, terjadi karena iritan kuat, gejala timbul segera
setelah kontak dan lesi berupa bercak eritema yang berbatas tegas yang asimetris dan diikuti
dengan edema, bulla, dan nekrosis. Vesikel atau bula yang pecah dapat menimbulkan erosi dan
eksudasi. DKA kronis, karena iritan lemah, akan memberikan gejala kulit kering berskuama,
eritem, dan lambat laun menjadi hiperkeratosis dan likenifikasi difus dengan batas tidak jelas.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dapat dilakukan berupa patch test untuk mengetahui bahan
penyebab DKA. [1]

2.1.7. Tatalaksana
Berdasarkan WHO 2016, tatalaksana psoriasis tidak hanya sekedar perawatan lesi pada
kulit dan kelainan persendian namun juga harus mencangkup keseluruhan dari pasien. Tatalaksana
psoriasis juag mencangkup skrining hipertensi, dislipidemia, diabetes melitus, dan kelaianan
kardiovaskular yang merupakan komplikasi yang dapat muncul pada psoriasis. Pasien psoriasis
memiliki kecenderungan untuk mengalami depresi dan kelainan ansietas sehingga dibutuhkan pula
skrining rutin bersamaan dengan skrining penyakit yang bersangkutan. Intervensi psikososial
seperti edukasi pasien, psikoterapi, dan dukungan moral dapat diberikan. [4]

Gambar 2.12. Algoritma tatalaksana Psoriasis WHO 2016.

Terdapat 3 bentuk utama dari tatalaksana psoriasis yaitu dengan terapi topikal, fototerapi
dan terapi sistemik. Terapi didasari dengan tingkat keparahan psoriasis pada pemeriksaan saat itu.
Psoriasis mild ditatalaksana dengan terapi topikal dan bila tidak memberikan respon yang cukup
adekuat maka diberikan terapi fototerapi. Psoriasis moderate dan severe membutuhkan terapi
sistemik. Lini pertama terapi sistemik berupa methotrexate, ciclosporin, acitretin, dan etretinate.
Daftar obat-obatan yang merupakan persyaratan minimun untuk semua fasilitas kesehatan ada
pada Gambar 2.14. Obat-obatan yang tergolong aman untuk digunakan secara terus menerus terdiri
dari calcipotriol, methotrexate, dan acitretin. Sedangkan, kortikosteroid topikal, dithranol, tar,
fototerapi, dsn ciclosporin tidak diindikasikan untuk penggunaan terus menerus jangka panjang.
[4,5]

Gambar 2.13. Pilihan terapi psoriasis WHO 2016

Gambar 2.14. Tabel pilihan obat tatalaksana psoriasis pada WHO Model List of Essential
Medicine
2.1.7.1. Pengobatan Topikal
2.2.7.1.1 Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal merupakan pengobatan lini pertama untuk psoriasis nild. Namun,
beberapa penelitian mengatakan bahwa pemakaian kortikoisteroid memberikan efek yang sama
dengan analog vitamin D3. Kortikosteroid topikal dengan potensi tinggi, seperti betametason atau
desoksimetason, diberikan pada area lesi 2x/hari selama 2-4 minggu lalu dilanjutkan secara berkala
yaitu setiap akhir minggu. Penggunaan jangka panjang kortikosteroid topikal juga dapat
memberikan efek samping perubahan kulit, tachyphylaxis, dan supresi supresi hypothalamic-
pituitary-adrenal axis. [2,4,5]

2.1.7.1.2. Analog Vitamin D3


Lini pertama dari tatalaksana psoriasis adalah calipotriol. Calcipotriol juga dapat
digunakan pada kasus psoriasis kulit kepala moderate-severe. Calcipotriol bekerja dengan cara
memodulasi proliferasi dan diferensiasi keratinosit serta inhibisi aktivitas limfosit T. Calcipotriene
0,005% diberikan pada area lesi 2 kali/hari. Calcipotriene biasa digunakan bersamaan dengan
steroid topikal dengan contoh analog vitamin D pada senin-jumat dan steroid topikal pada sabtu-
minggu. Efek samping dari pemakaian analog vitamin D3 dapat berupa dermatitis iritan ringan
dan sangat jarang sekali hiperkalsemia pada pemakaian berlebih. Obat ini tidak boleh digunakan
bersama dengan asam slisilat atau sebelum fototerapi. [2,4,5]

2.1.7.1.3. Anthralin atau Dithranol


Dithranol adalah zat yang ditemukan pada pohon Araroba di Amerika Selatan dan dapat
digunakan dalam tatalaksana psoriasis plak kronik. Dithranol diberikan pada psoriasis yang
resisten terhadap pengobatan lain dan dapat dikombbinasikan dengan fototerapi UVB. Efek
samping yang dapat muncul berupa dermatitis kontak iritan dan noda pada baju, kulit, rambut dan
kuku. Anthralin memiliki efek antiproliferatif pada keratinosit manusia dan efek antiinflamsi yang
poten. Anthralin diberikan dimulai dengan konsentrasi rendah 0,05 – 0,1% pada pasta zinc atau
petrolatum dan diberikan 1x/hari. Konsentrasi ditingkatkan setiap minggu sampai 4% hingga lesi
sembuh. [2,4,5]
2.1.7.1.4. Tar
Tar merupakan hasil distilasi kering dari benda organik yang dipanaskan tanpa adanya
oksigen. Preparat tar yang efektif untuk psoriasis berasal dari batubara dan kayu. Pada psoriasis
yan sudah menahun akan lebih efektif menggunakan tar dari batubara dan untuk psoriasis akut
dengan tar dari kayu. Tar berkerja dengan supresi sintesis DNA, pengurangan aktivitas mitosis
pada lapisan basal, dan efek anti inflamasi. Pemberian Tar dimulai dengan konsentrasi rendah
yaitu 2 – 5% dan dinaikkan bila tidak merespon. Tar dapat diberikan bersamaan dengan asam
salisilat 3 – 5 % untuk menambah daya penetrasi. Tar bersifat karsinogenik dan dapat menimbulka
efek samping folikulitis dan reaksi alergi. [2,5]

2.1.7.1.4. Retinoid Topikal


Topikal retinoid Tazarotene dapat mengurangi skuama dan penebalan plak. Tazarotene
berkerja dengan cara mengikat reseptor asam retinoid yang akan menimbulkan efek normalisasi
pada diferensiasi epidermis dan memiliki efek antiproliferatif yang poten. Tazarotene tersedia
dengan sediaan 0,05% dan 0,1% dalam bentuk cream atau gel digunakan setiap malam pada area
lesi. Pemakaian kombinasi tazarotene dengan steroid dapat mengurangi efek atrofi yang biasanya
ada pada pemberian steroid topikal. Kontraindikasi pemberian tazarotene adalah kehamilan dam
hipersensitivitas. [2,4,5]

2.1.7.2. Fototerapi
Fototerapi merupakan terapi andalan pada psoriasis yang tidak merespon pada agen
topikal. Fototerapi ada dalam bentuk psoralen plus UVA (PUVA), broadband UVB, dan
narrowband UVB (NB-UVB). Lini pertama dari fototerapi adalah NB-UVB yang dimana juga
dapat diberikan pada segala pasien seperti pasien anak dan wanita hamil. Tatalaksana dengan NB-
UVB dimulai dengan 50% dari MED dilanjutkan dengan 3-5 pemberian setiap minggunya. Dosis
dapat ditambah sekitar 10% dari MED. MED dihitung dengan cara dosis UV minimal yang
dibutuhkan untuk menimbulkan eritema dalam 1-6 jam dan hilang dalam 24 jam. Pada pemberian
PUVA, psoralen dapat diberikan secara oral atau topikal. PUVA diberikan berdasarkan MDP atau
dengan dosis inisial 0,5-2 J/cm2. PUVA diberikan 2 kali/minggu dan ditambah 40%/minggu
sampai eritema kemudian maksimum 20%/minggu. Dosis maksimal PUVA adalah 15 J/cm2.
Karena PUVA dan terapi UVB memiliki sifat karsinogenik, maka paparan cahaya UV kepada
pasien harus dibatasi. [2,4,5]

2.1.7.3. Pengobatan Sistemik


2.1.7.3.1. Methotrexate
Methotrexate merupakan inhibitor biosintesis folate yang digunakan pada psoriasis untuk
fungsi sitostatik dan antiinflamasinya. Methotrexate digunakan untuk psoriasis moderate severe
dan bisa juga pada artritis psoriasis. Methotrexate diberikan dengan dosis tes 2,5 mg dan kemudian
ditambah perlahan mencapai dosis terapeutik 10-15 mg/minggu dan maksimal 25-30 mg/minggu.
Efek samping obat ini berupa hepatotoksik, penurunan folat, mual muntah, diare, dan lemas. Folat
dapat menurunkan toksisitas pada liver dan melindungi dari efek samping gastrointestinal sehingga
disarankan untuk memberikan suplemen folat pada pasien yang menggunakan methotrexate.
Pasien dengan penyakit komorbid diabetes melitus memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami
sirosis hepar. National Psoriasis Foundation menyarankan untuk dilakukan biopsi liver pada pasien
tanpa faktor risiko, seperti obesitas atau diabetes, setiap pemakaian methotrexate dengan dosis
kumulatif 3,5 – 4 gram. Methetrexate merupakan teratogen dan dapat menyebabkan aborsi
sehingga di kontraindikasikan pada ibu hamil. Bagi wanita perlu memakai alat kontrasepsi sampai
minimal 1 siklus ovulasi setelah pemberhentian pemakaian obat methotrexate. [2,4,5]

2.1.7.3.2. Ciclosporin
Ciclosporin adalah inhibitor calcineurin yang dapat digunakan untuk psoriasi moderate-
severe dan artritis psoriasis. Pemakaiannya dapat memberikan remisi total pada 80-90% pasien
dalam 12-16 minggu. Keunggulannya berupa onset kerja yang cepat dan risiko rendah terhadap
hepatotoksik dan myelosuppresion. Pemberian ciclosporin dapat dilakukan dengan dosis tinggi
atay dosis rendah. Pendekatan dosis tinggi dilakukan dengan dosis 5 mg/kgBB dan kemudian
diturunkan. Pendekatan dengan dosis rendah dimulai dengan dosis 2,5 mg/kgBB per hari dan
dinaikkan 5 mg/kgBB per 2-4 minggu. Dosis diturunkan bila penggunaan obat akan
dihentikan.[2,4,5]
Pemakaian jangka panjang dari ciclosporin memberikan efek nefrotoksik. Efek samping
lain yang dapat timbul berupa hipertensi, hipertrigliserida, hiperplasia gingiva, tremor,
hypomagnesemia, hiperkalemia, dan keganasan. Keganasan yang dapat ditimbulkan berupa
karsinoma sel basal atau sel skuamosa, kanker mamae, dan limfoma. Ciclosporin harus diberikan
secara intermiten dan tidak lebih dari 12 minggu hanya sebagai pengontrol serangan akut. [2,4,5]

2.1.7.3.3. Acitretin
Acitretin adalah retinoid sintesis yang diindikasikan pada psoriasis moderate severe.
Acitrectin bekerja dengan mengikat reseptor asam retinoid dan berperan dalam normalisasi
keratinasi dan proliferasi epidermis. Acitrecin diberikan dengan dosis inisial 25-50 mg/hari dan
disesuaikan dengan respon. Pemakaian acitretin sebagai terapi tambahan terbukti dapat
meningkatkan efikasi, menurunkan dosis, dan menurunkan angka kejadian efek samping. Efek
samping dari pemberian acitretin berupa mukosa kering, athralgia, keluhan gastrointestinal, dan
fotosensitivitas. Acitretin merupak teratogen yang poten sehingga harus dihindari pada wanita usia
produktif. Disarankan bagi wanita untuk tidak hamil selama 3 tahun setelah pemberhentian
acitretin. Wanita yang sedang menyusui juga merupakan kontraindikasi pemberian acitrecin. [2,4,5]

2.1.7.3.4. Agen Biologis


Pengobatan dengan agen biologis, inhibitor TNF, diberikan pada pasien yang tidak
memberikan respon adekuat terhadap terapi sistemik tradisional atau tidak dapat mentoleransi efek
samping. Agen biologis yang paling efektif sampai saat ini adalah infliximab diikuti dengan
ustekinumab, adalimumab, dan etanercept. [2,4,5]
Infliximab memiliki efek penyembuhan dan supresi yang cepat terhadap psoriasis.
Infliximab diberikan dengan cara inravena sebanyak 3 kali/dalam 6 minggu, pada minggu ke 0-2-
6, dengan dosis 5 mg/kgBB dalam 2 jam. Pemberian dilanjutkan dengan infus setiap 8 minggu.
Ustekinimab bekerja dengan mencegah interaksi IL-12 dan IL23 dengan reseptor
permukaan sel. Ustekinimab diberikan secara subkutan sebanyak 45 mg pada pasien dengan berat
<100 kg dan 90 mg pada pasien dengan berat >100 kg pada minggu ke 0 dan 4 kemudian
dilanjutkan setiap 12 minggu. [2,4,5]
Dosis terapi dengan etanercept adalah 50 mg diberikan 2 kali/minggu dan diturunkan
menjadi 50 mg/minggu setelah pemberian 12 minggu. Pasien dengan respon yang kurang adekuat
setelah 24 minggu, perlu dipertimbangkan untuk mempertahankan dosis 50 mg 2 kali seminggu.
Adalimumab diberikan secara subkutan dengan loading dose 80 mg dan dilanjutkan dengan
40 mg setiap minggu seterusnya. Dibandingkan dengan methotrexate, adalimumab memiliki efek
penyembuhan PASI yang lebih baik.[2,4,5]

2.1.8. Komplikasi
Pasien psoriasis memiliki risiko mortalitas dan morbiditas yang tinggi dari penyakit
kardiovaskular dan limfoma. Risiko ini akan lebih tinggi pada pasien yang terkena psoriasis pada
usia muda. Penyakit psoriasis tidak membahayakan nyawa, namun sangat merusak kualitas hidup.
Pasien psoriasis dapat memiliki beban psikososial yang lebih besar karena kekhawatiran akan
penampilan mereka. Hal ini mengakibatkan rendahnya kepercayaan diri, penolakan sosial, rasa
bersalah, malu, masalah seksual, dan kelainan pada kemampuan bekerja. Aspek psikologis ini
dapat menimbulkan depresi dan ansietas. [2,4]
BAB III
ANALISA KASUS

Pasien, wanita usia 51 tahun, datang dengan keluhan kemerahan pada seluruh tubuh yang
sudah muncul sejak 10 tahun SMRS yang juga terasa panas. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
didapatkan bahwa lesi kemerahan pasien bersifat plak eritematosa multiplel, berbentuk numuler,
berbatas tegas. Kemerahan menandakan adanya proses inflamasi yang terjadi pada kulit dan pada
pasien ini sudah kronis. Dari deskripsi lesi yang bersifat plak eritematosa numuler berbatas tegas
ini dapat diduga bahwa pasien mengalami psoriasis atau tinea corporis. Plak eritematosa
bertambah banyak ketika pasien mengalami stress dan sifat penyebaran lak eritematosa pada
pasien tersebar sampai kulit kepala yang merupakan salah satu gejala dari dermatitis seboroik dan
psoriasis. Pasien juga memiliki riwayat penyakit dahulu dan riwayat keluarga mengalami asma
yang mendukung diagnosis dermatitis kontak alergi. Maka dari itu, pada pasien ini terdapat 4
kemungkinan diagnosisnya yaitu psoriasis, dermatitis seboroik, tinea corporis, dan DKA.
Namun, pasien tidak memiliki riwayat rasa gatal atau panas dan dari pemeriksaan fisik dan
didapatkan bahwa plak eritematosa pasien bersifat keseluruhan tanpa adanya central healing maka
dari itu diagnosis tinea corporis dapat disingkirkan. Tidak adanya riwayat gatal atau panas pada
pasien dan tidak adanya riwayat paparan terhadan benda-benda yang berpotensi sebagai alergen
juga membuktikan bahwa kemungkinan pasien mengalami DKA berkurang. Lesi pada pasien
sudah ada sejak 10 tahun dan pada DKA yang bersifat kronis dapat memberikan tampilan
likenifikasi yang tidak ditemukan pada pasien. Maka dari itu, diagnosis banding DKA dapat
disingkirkan.
Pasien juga mengeluhkan adanya kulit bewarna putih yang mengelupas dimana pada
pemeriksaan fisik terlihat bahwa lesi kemerahan pasien berskuama. Didapatkan juga skuama pada
pasien bersifat tebal putih pada seluruh lesi dimana pada diagnosis banding dermatitis seboroik
skuama bersifat halus kekuningan. Lesi pada pasien juga cenderung tersebar pada area-area yang
tidak mengandung banyak kelenjar sebasea seperti badan, lengan bawah, dan anterior tibialis dan
hanya sedikit pada bagian wajah atau lipatan. Maka dari itu, diagnosis banding dermatitis seboroik
dapat disingkirkan.
Dari bentuk lesi pasien yang berupa plak eritem dengan skuama putih dan tersebar terutama
pada bagian ekstensor dimana pada pasien berada pada area tibialis anteior menandakan bahwa
tiper psoriasis pasien adalah psoriasis vulgaris. Lesi kemerahan yang sudah sembuh meinggalkan
bekas warna kecoklatan yang merupakan hiperpigmentasi post inflamasi. Lesi pasien bersifat
hilang timbul terus menerus karena psoriasis terjadi karena kelainan genetik. Riwayat keluhan
pasien timbul titik merah di bawahnya setelah kulit berwarna putih mengelupas merupakan
rusaknya kapiler yang tervasodilatasi. Hal ini dikonfirmasi dengan positifnya Auspitz sign pada
pemeriksaan fisik. Pada pasien juga didapatkan fenomena tetesan lilin positif. Berdasarkan analisa
tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami psoriasis vulgaris.
Luas lesi pasien >3% namun <10 % yang menandakan psoriasis passien sudah pada tingkat
severe dimana pasien perlu mendapatkan pengobatan sistemik seperti methotrexate. Saat ini pasien
sudah menjalani test dose methotrexate 5 mg dan saat ini memakai Inerson yang mengandung
Desoksimetason, vaselin album, dan salep gentamisin. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium,
SGOT dan SGPT pasien masih dalam batas normal sehingga pasien sudah dapat diberikan
methotrexate. Pasien juga diberikan lagi cefixime dan ibuprofen. Cefixime dapat diperburuk
karena infeksi pada kulit maka dari itu pasien diberikan cream gentamisin, cefixime, dan
ibuprofen.
Daftar Pustaka

1. Menaldi S, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin. 1st ed. Depok:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2016.
2. Fitzpatrick T, Goldsmith L. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed.
McGraw Hill; 2013.
3. Handa S, Mahajan R. Pathophysiology of psoriasis. Indian Journal of Dermatology,
Venereology, and Leprology. 2013;79(7):1.
4. WHO. Global Report on Psoriasis. Switzerland: WHO; 2016.
5. Hsu S. Consensus Guidelines for the Management of Plaque Psoriasis. Archives of
Dermatology. 2012;148(1):95.
6. Kim W, Jerome D, Yeung J. Diagnosis and Management of Psoriasis. Can Fam
Physician. 2017;63:278-285.
7. Coimbra S, Oliveira H, Figueiredo A, Rocha-Pereira P, Santos-Silv A. Psoriasis:
Epidemiology, Clinical and Histological Features, Triggering Factors, Assessment of
Severity and Psychosocial Aspects. Psoriasis - A Systemic Disease. 2012;.

Anda mungkin juga menyukai