Anda di halaman 1dari 21

LONG CASE KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU SARAF

FRONTAL LOBE EPILEPSY et causa OAE WITHDRAWAL

Disusun oleh:
Irine Handini Suryana / 01073170084

Pembimbing:
dr. Vonny F. Goenawan, SpS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE-RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE SEPTEMBER 2018 – OKTOBER 2018
TANGERANG

0
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1. Identitas Pasien


Nama : MA
Usia : 8 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : pelajar
Alamat : Tangerang
Status : belum menikah
Pendidikan : SD
No. MR : 7612xx

1.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan alloanamnesis pada ibu dan ayah kandung pasien pada tanggal 27
September 2018, jam 06.00

1.2.1. Keluhan Utama


Kejang berulang sejak 7 bulan SMRS.

1.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan kejang berulang yang berlangsung sejak 7 bulan SMRS.
Kejang pasien bertambah banyak sejak 2 minggu SMRS dengan jumlah kejang 7 sampai 8 kali
dalam sehari dengan durasi 3 sampai 4 menit dengan kondisi pasien sadar di antara episode kejang.
Kejang pasien dapat dipicu suara kencang, kondisi lelah, atau sebelum tidur. Kejang pasien diawali
kaku pada tangan kanan, leher menengok ke kiri, mulut terbuka, mata mendelik ke atas, lalu
kelojotan satu badan. Setelah kejang pasien langsung sadar dan kembali aktif. Pasien tidak ingat
kejadian saat kejang. Pasien tidak mengeluhkan lidah tergigit, mengompol, demam, mual, atapun
muntah.

1
1.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pertama kali kejang pada usia 19 hari setelah terkena demam. Pada usia 2 tahun,
anggota gerak kanan pasien mulai lemah. Pada tahun 2017, pasien terdiagnosis dengan epilepsi
dan rutin mengkonsumsi obat Asam Valproat 10 mL 2x1 dan Fenobarbital 15 mg 2x1. Namun
pasien berhenti mengkonsumsi obat sejak bulan Maret 2018.

1.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal serupa ataupun memiliki riwayat kejang.

1.2.5. Riwayat Sosial, Kebiasaan, dan Tumbuh Kembang


Pasien lahir normal dengan berat badan lahir 3 kg. Ibu pasien mengaku tidak mengalami
demam atau komplikasi saat hamil. Pasien dapat berbicara 1 kata pada usia 9 bulan dan berjalan
sendiri pada usia 2 tahun. Pasien mulai sekolah pada usia 6 tahun namun putus sekolah. Pasien
belum bisa menulis. Riwayat vaksin pasien tidak lengkap namun pasien tidak ingat.

1.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Pernapasan : 20 x/menit
Nadi : 95 x/menit
Suhu tubuh : 36,50C
Saturasi Oksigen : 98%
BB/TB : 20 kg / 127 cm

1.3.1. Status Generalis


Kepala Normosefali
Mata Konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-), lapgophthalmos (-/-), ptosis (-/-)
THT Tampak dalam batas normal, sekret hidung (-), tonsil T1/T1, faring hiperemis
(-)
Leher Pembersaran KGB (-), pembersaran tiroid (-), deviasi trakea (-)

2
Thorax Perkembangan dinding dada simetris, retraksi (-)
Paru Sonor pada seluruh lapang paru, suara vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-
/-)
Jantung Ictus cordis (-), suara S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Datar, bising usus (+) normal, timpani pada seluruh lapang abdomen, nyeri
tekan (-)
Punggung Deformitas (-), massa (-)
Extremitas Akral hangat, CRT <2 detik

1.3.2. Status Neurologis


GCS: E4 M6 V5
Saraf Kranial Kanan Kiri
Nervus I Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nervus II
 Visus >3/60 >3/60
 Lapang pandang Normal Normal
 Warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Fundus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Nervus III, IV, VI


 Sikap bola mata Othotropia Othotropia
 Celah palpebra Normal Normal
 Pupil Bulat, 3 mm Bulat, 3 mm

 Refleks cahaya langsung (+) (+)

 Refleks cahaya tidak (+) (+)

langsung
 Refleks konvergensi (-) (-)
(+) (+)
 Nistagmus
(-) (-)
 Pergerakan bola mata

3
Nervus V
Motorik
 Inspeksi Normotrofi Normotrofi
 Palpasi Normotonus Normotonus
 Membuka mulut (+) (+)

 Gerakan rahang (+) (+)

Sensorik
 Sensibilitas V1 Normal Normal

 Sensibilitas V2 Normal Normal


Normal Normal
 Sensibilitas V3
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks kornea
Nervus VII
 Sikap mulut istirahat Simetris
 Angkat alis, kerut dahi, tutup Simetris, kuat
mata dengan kuat
 Kembung pipi Kuat kanan dan kiri

 Menyeringai Simetris

 Rasa kecap 2/3 anterior lidah Tidak dilakukan

Nervus VIII
Nervus cochlearis
 Suara bisikan / gesekan jari Normal, terdengar sama Normal, terdengar sama
 Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Nervus vestibularis
 Nistagmus (-) (-)
Tidak dilakukan Tidak dilakukan

4
 Berdiri dengan 1 kaki: mata
tertutup Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Berdiri dengan 1 kaki: mata
terbuka Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Berdiri dengan 2 kaki: mata
tertutup Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Berdiri dengan 2 kaki: mata


terbuka Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Berjalan tandem Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Fukuda stepping test Tidak dilakukan Tidak dilakukan

 Past pointing test


Nervus IX, X
 Arkus faring Simetris
 Uvula Ditengah, deviasi (-)
 Disfoni disartria

 Disfagi Terpasang NGT

 Refleks faring Tidak dilakukan

Nervus XI
 Sternocleidomastoideus Normal Normal
 Trapezius Normal Normal
Nervus XII
Sikap lidah dalam mulut
 Deviasi (-)
 Atrofi (-)
 Fasikulasi (-)

 Tremor (-)

Menjulurkan lidah Deviasi (-)

Kekuatan lidah Normal

Kekuatan motorik Kanan Kiri

5
Ekstremitas atas
Inspeksi Atrofi (-), fasikulasi (-) Atrofi (-), fasikulasi (-)
Palpasi: tonus Normotonus Normotonus
Kekuatan
 Sendi bahu 4 5
 Biceps 4 5
 Triceps 4 5

 Pergelangan tangan 4 5

 Extensi jari 4 5

 Menggenggam 4 5

Gerakan involunter (-) (-)

Ekstremitas bawah
Inspeksi Atrofi (-), fasikulasi (-) Atrofi (-), fasikulasi (-)
Palpasi: tonus Normotonus Normotonus
Kekutan
 Gluteus 4 5
 Hip flexor 4 5
 Quadriceps hamstring 4 5

 Ankle dorsiflexi 4 5

 Gastrocnemius 4 5

Gerakan involunter (-) (-)

Refleks fisiologis Kanan Kiri


Biceps +++ ++
Triceps +++ ++
KPR +++ ++
APR +++ ++

Refleks patologis Kanan Kiri


Babinski (+) (-)

6
Chaddock (+) (-)
Oppenheim (+) (-)
Gordon (+) (-)
Schaffer (-) (-)
Rossolimo (-) (-)
Mendel Bechthrew (-) (-)
Hoffman Trommer (-) (-)

Sensorik Kanan Kiri


Eksteroseptif
 Raba Normal Normal
 Nyeri Normal Normal
 Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Propioseptif
 Posisi sendi Normal Normal
 Getar Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Koordinasi
Tes tunjuk-hidung Tidak dilakukan
Tes Tumit-lutut Tidak dilakukan
Disdiadokinesis Tidak dilakukan

Otonom
Miksi Normal
Defekasi Normal
Sekresi keringat Normal

MMSE: Tidak dilakukan

7
1.4. Resume
Pasien, laki-laki usia 8 tahun, datang dengan keluhan kejang berulang sejak 7 bulan SMRS
yang bertambah banyak 2 minggu SMRS dengan jumlah 7 sampai 8 kali per hari dan durasi 3
sampai 4 menit tiap serangan dengan pasien sadar diantara kejang. Kejang pasien dapat dipicu
suara berisik, kondisi lelah, dan sebelum tidur. Kejang pasien diawali pada tangan kanan, leher
menengok ke kiri, mulut terbuka, mata mendelik ke atas, lalu kelojotan satu badan. Setelah kejang
pasien langsung sadar dan kembali aktif. Pasien tidak ingat kejadian saat kejang. Pasien memiliki
riwayat kejang pertama kali pada usia 19 hari setelah demam dan hemiparesis kanan yang mulai
muncul pada usia 2 tahun. Pada tahun 2017 pasien terdiagnosis dengan epilepsi dan mengkonsumsi
obat Asam Valproat 10 ml 2x1 dan Fenobarbital 15 mg 2x1. Pasien putus obat sejak bulan Maret
2018. Riwayat persalinan dan masa prenatal pasien baik dan riwayat tumbuh kembang pasien
terhambat.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan hemiparese kanan. Refleks fisiologis pasien meningkat
pada sisi kanan dan refleks patologis positif pada sisi kanan maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat lesi ada Upper Motor Neuron (UMN).

1.5. Diagnosis
Klinis : hemiparesis dextra, lesi pada UMN
Topis : lobus frontalis hemisfer kiri
Etiologi : kelainan struktur
Patologi : perlukaan jaringan otak akibat infeksi dan kejang sebelumnya

1.5.1. Diagnosis kerja: frontal lobe epilepsy et causa OAE withdrawal

1.5.2. Diagnosis banding: status epileptikus

1.6. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

8
1.7. Saran Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium: Complete blood count, fungsi liver, fungsi ginjal, gula darah sewaktu,
elektrolit
 EEG

1.8. Saran Terapi


 Asam Valproat 10 mL PO BD
 Fenobarbital 15 mg PO BD
 Rawat inap
 Edukasi kepatuhan konsumsi obat dan kontrol rutin
1.9. Pemeriksaan Penunjang
1.9.1. Laboratorium (26 September 2018)

Tes Hasil Batas normal

Haemoglobin 14,2 g/dL 11,7 – 15,5

Hematokrit 43,1 % 35 - 47

Erythrocyte 5,54 x 10^6/uL 3,8 – 5,2

Leukosit 14,1 x 10^3/uL 3.6 – 11

Platelet 424 x 10^3/uL 150 - 440

MCV 77,8 fL 69 - 100


MCH 25,6 pg 22 - 34
MCHC 32,9 g/dL 32 – 36

SGOT 22 U/L 0 - 40
SGPT 12 U/L 0 - 41

Ureum 24 mg/dL <50.00

Creatinine 0,45 mg/dL 0,5 – 1,3


eGFR 155,2 mL/menit/1.73 m^2 >= 60

Gula darah sewaktu 155 mg/dL <200

9
Sodium (Na) 140 mmol/L 137 - 45
Potasium (K) 4,1 mmol/L 3.6 - 5.0
Chloride (Cl) 101 mmol/L 98 – 107

1.9.2. CT Scan brain non contrast (15 September 2010)

1.9.3. Electroencephalogram (8 November 2017)


Kesan: gelombang epileptiform di frontal kiri dan perlambatan di fronto-sentral kanan

1.10. Follow Up
27 September 2018
S Kejang 2 kali pada kemarin sore hari dan jam 11 malam kemarin selama 3-4 menit. Mual
(-), muntah (-), demam (-), nafsu makan baik.

10
O KU: tampak sakit ringan
Kesadaran: Compos mentis
GCS: E4M6V5
TD: 100/75 mmHg, HR: 90 x/menit , RR: 19 x/menit, Suhu: 36,6oC, SatO2: 98%

Motorik
4444 5555
4444 5555
Refleks fisiologis
 Biceps (+++/++)
 Triceps (+++/++)
 KPR (+++/++)
 APR (+++/++)
Refleks patologis
 Babinski: (+/-)
 Chaddock: (+/-)
 Oppenheim: (+/-)
 Gordon: (+/-)
A Frontal lobe epilepsi et causa withdrawal obat anti epilepsi
P Asam Valproat 10 mg PO BD
Fenobarbital 15 mg PO BD
Curcuma syrup 1 cth PO TDS
Fenitoin 50 mg IV TDS
28 September 2018
S Tidak ada kejang. Mual (-), muntah (-), demam (-), nafsu makan baik.
O KU: tampak sakit ringan
Kesadaran: Compos mentis
GCS: E4M6V5
TD: 110/80 mmHg, HR: 95 x/menit , RR: 20 x/menit, Suhu: 36,5oC, SatO2: 98%

11
Motorik
4444 5555
4444 5555
Refleks fisiologis
 Biceps (+++/++)
 Triceps (+++/++)
 KPR (+++/++)
 APR (+++/++)
Refleks patologis
 Babinski: (+/-)
 Chaddock: (+/-)
 Oppenheim: (+/-)
 Gordon: (+/-)
A Frontal lobe epilepsi et causa withdrawal obat anti epilepsi
P Fenobarbital 15 mg PO BD
Curcuma syrup 1 cth PO TDS
Fenitoin 50 mg IV TDS
29 September 2018
S Tidak ada kejang. Mual (-), muntah (-), demam (-), nafsu makan baik.
O KU: tampak sakit ringan
Kesadaran: Compos mentis
GCS: E4M6V5
TD: 110/80 mmHg, HR: 98 x/menit , RR: 20 x/menit, Suhu: 36,7oC, SatO2: 98%

Motorik
4444 5555
4444 5555
Refleks fisiologis
 Biceps (+++/++)
 Triceps (+++/++)

12
 KPR (+++/++)
 APR (+++/++)
Refleks patologis
 Babinski: (+/-)
 Chaddock: (+/-)
 Oppenheim: (+/-)
 Gordon: (+/-)
A Frontal lobe epilepsi et causa withdrawal obat anti epilepsi
P Fenobarbital 15 mg PO BD
Curcuma syrup 1 cth PO TDS
Fenitoin 50 mg IV BD
1 Oktober 2018
S Tidak ada kejang. Mual (-), muntah (-), demam (-), nafsu makan baik.
O KU: tampak sakit ringan
Kesadaran: Compos mentis
GCS: E4M6V5
TD: 100/750 mmHg, HR: 87 x/menit , RR: 19 x/menit, Suhu: 36,6oC, SatO2: 98%

Motorik
4444 5555
4444 5555
Refleks fisiologis
 Biceps (+++/++)
 Triceps (+++/++)
 KPR (+++/++)
 APR (+++/++)
Refleks patologis
 Babinski: (+/-)
 Chaddock: (+/-)
 Oppenheim: (+/-)

13
 Gordon: (+/-)
A Frontal lobe epilepsi et causa withdrawal obat anti epilepsi
P Fenitoin 50 mg IV BD
Fenobarbital 15 mg PO BD
Curcuma syrup 1 cth PO TDS
Acc. Rawat jalan dengan resep: Fenobarbital 15 mg PO 2x1 dan fenitoin 50 mg PO 2x1

14
BAB II
ANALISA KASUS

Pasien, wanita usia 8 tahun, datang dengan keluhan kejang berulang sejak 7 bulan SMRS
dengan frekuensi yang bertambah banyak sejak 2 minggu SMRS. Seharinya pasien dapat kejang
sebanyak 7-8 kali dengan lama tiap kejangnya 3-4 menit dan pasien sadar di antara kejang.
Berdasarkan PERDOSSI 2014, epilepsi ditandai dengan minimal 2 kejang tanpa provokasi atau
kejang refleks dengan jarak antar kejang lebih dari 24 jam. Epilepsi juga dapat didefinisikan
dengan 1 kejang tanpa provokasi atau kejang refleks dengan kemungkinan terjadinya kejang
berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan bila terdapat 2 kejang tanpa provokasi atau kejang
refleks atau pasien memiliki riwayat terdiagnosis dengan sindrom epilepsi. Sedangkan, status
epileptikus adalah kondisi dimana kejang berlangsung lebih dari 30 menit atau di antara kedua
kejang tersebut pasien tidak mengalami pemulihan kesadaran. Berdasarkan definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa kejang yang dialami pasien bukanlah suatu status epileptikus. Dengan riwayat
pasien yang terdiagnosis dengan epilepsi pada usia 7 tahun, maka kondisi pasien merupakan
sebuah epilepsi.
Berdasarkan klasifikasi ILAE 1981, kejang terbagi menjadi beberapa klasifikasi sesuai
dengan tipe bangkitan.
1. Bangkitan parsial atau fokal
a. Bangkitan parsial sederhana: dengan gejala motorik, dengan gejala
somatosensorik, dengan gejala otonom, atau dengan gejala psikis.
b. Bangkitan parsial kompleks: bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan
gangguan kesadaran atau bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak
awal bangkitan.
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder: parsial sederhana yang
menjadi umum, parsial kompleks menjadi umum, dan parsial sederhana
menjadi kompleks lalu menjadi umum.
2. Bangkitan umum
a. Lena atau absence: tipikal lena atau atipikal lena.
b. Mioklonik
c. Klonik

15
d. Tonik
e. Tonik – klonik
f. Atonik atau astatik
3. Bangkitan tak tergolongkan
Kejang pasien merupakan kejang parsial sederhana yang menjadi umum dikarenakan
kejang pasien awalnya bersifat terlokalisasi pada suatu fokal pada area hemisfer cerebri yaitu
berupa gejala kaku pada tangan kanan yang kemudian kejang menyebar ke seluruh tubuh dengan
kondisi pasien tidak sadar saat kejang.
Bedasarkan klasifikasi ILAE 1989, kejang terbagi lagi menjadi sesuai dengan tipe pola
kejang dan etiologinya. Klasifikasi kejang fokal terbagi sebagai berikut:
1. Idiopatik, dimana tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis. Diduga
kejang terjadi karena predisposisi genetik.
a. Epilepsi benigna denga gelombang paku di daerah sentrotemporal
b. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital
c. Epilepsi primer saat membaca.
2. Simtomatik, dimana kejang terjadi karena kelainan lesi pada otak seperti cedera kepala,
infeksi, kelainan kongenital, lesi yang mendesak, ataupun gangguan perdarahan.
a. Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak atau
kojenikow’s syndrome
b. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan seperti
kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi
fungsi kortikal tinggi, atau membaca.
c. Epilepsi lobus temporal
d. Epilepsi lobus frontal
e. Epilepsi lobus parietal
f. Epilepsi oksipital
3. Kriptogeni, dimana penyebab kejang belum diketahui dan memiliki gambaran klinis
sesuai dengan ensfalopati difus. Beberapa contohnya adalah Sindrom West, sindrom
Lennox-Gastaut, atau epulepsi miklonik.
Kejang pada pasien bersifat simtomatis didukung dengan ditemukannya tamda-tamda lesi
pada UMN dalam pemeriksaan fisik pasien. Kejang pada pasien memiliki manifestasi motorik

16
yang dominan berupa gerakan di ekstremitas dan kepala. Kejang tersebut berdurasi singkat yang
terjadi beberapa kali dalam sehari tanpa adanya kebingungan post iktal.

Namun dari pembagian jenis kejang berdasarkan ILAE 2017, kejang pada pasien memiliki
onset fojal. Dari onset fokal, kejang pasien dapat tergolongkan lagi ke kejang focal to bilateral
tonic-clonic.

17
Pada pasien ini disarankan untuk melakukan pemeriksaan penunjang EEG untuk
mengkonfirmasi adanya epilepsi dan lokasinya. Pada hasil pemeriksaan EEG pasien, ditemukan
gelombang epileptiform pada lobus frontal kiri dan perlambatan di fronto-sentral kanan. Hal ini
menandakan bahwa fokus awal kejang berada pada lobus frontal kiri. Pada pasien tidak disarankan
untuk melakukan pemeriksaan pencitraan karena tidak adanya indikasi seperti kejang pertama
tanpa pemicu pada usia dewasa atau pasien dengan kejang refraktor yang merupakan kandidat
operasi. Berdasarkan PERDOSSI, pemeriksaan laboratorium darah disarankan untuk dilakukan
pada awal pengobatan dengan OAE, 2 bulan setelah pemberian OAE, dan diulang setiap tahun.
Pemeriksaan kadar OAE dalam plasma darah belum dibutuhkan karena kejang sudah terkontrol
sebelumnya dengan obat, namun pasien kembali kejang karena berhenti minum obat.
Pada awal perawatan, pasien diberikan obat asam valproat 10 mg 2x1 dan Fenobarbital 15
mg 2x1. Asam valproat berkerja dengan cara memblokir voltage gated sodium channel dan
meningkatkan kadar gamma-aminobutyric acid (GABA). Fenobarbital bekerja dengan cara
meningkatkan aktivasi reseptor GABA sehingga ion klorida masuk influks dan menurunkan
eksitabilitas. Namun dengan dosis obat tersebut pasien masih mengeluhkan terjadinya kejang
sebanyak 2 kali sehingga obat anti epilepsi pasien ditambah dengan Fenitoin 50 mg 3x1.
Berdasarkan panduan PERDOSSI, pemberian Fenitoin sangat dianjurkan pada pasien dengan

18
bangkitan fokal ataupun bangkitan umum sekunder. Fenitoin bekerja dengan cara memblokir
voltage gated sodium channel. Dengan pengobatan tersebut pasien tidak mengeluhkan adanya
serangan kejang yang timbul maka obat antiepilepsi asam valproat hentikan. Dengan kombinasi
pengobatan Fenobarbital 15 mg 2x1 dan Fenitoin 50 mg 3x1, pasien juga tidak memiliki keluhan
kejang lagi. Maka dari itu, dosis fenitoin diturunkan menjadi 50 mg 2x1 dengan Fenobarbital 15
mg 2x1. Dengan dosis obat tersebut pasien bebas kejang selama 2 hari sehingga pasien dapat
dirawat jalan dengan dosis obat efektif yang harus rutin diminum adalah Fenitoin 50 mg 2x1 dan
Fenobarbital 15 mg 2x1.

Pemberian OAE pada pasien dapat dipertimbangkan apabila pasien bebas kejang selama 3
– 5 tahun. Syarat untuk penghentian pemberian OAE adalah minimal 3 tahun bebas kejang dengan
gambaran EEG normal, penghentian pemberian OAE dilakukan secara bertahap dengan penurunan
25% dari dosis setiap bulan selama 3-6 bulan dan dimulai dari penurunan dosis OAE yang bukan
utama. Apabila setelah penghentian OAE pasien terkena kejang, maka pasien harus kembali
mengkonsumsi obat OAE dengan dosis efektif sebelum diturunkan.

19
Daftar Pustaka

1. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Pedoman


Tatalaksana Epilepsi. 5th ed. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakkan Unair; 2014.
2. Commission on Classification and Terminology of the International Leage Against
Epilepsi. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic Classification of
Epileptic Seizure. Epilepsia 1981; 22: 489-501
3. Commission on Classification and Terminology of International Leage Against Epilepsi.
Proposal for Revised Classsification of Epilepsies and Epileptic Syndrome. Epilepsia July-
August 1989; 30(4):389-99.
4. World Health Organization. Epilepsy: A manual for Medical and Clinical Officers In
Africa. Geneva: WHO; 2002
5. Cendes F, Theodore W, Brinkmann B, Sulc V, Cascino G. Neuroimaging of epilepsy.
Handbook of Clinical Neurology. 2016;:985-1014.

20

Anda mungkin juga menyukai