Anda di halaman 1dari 23

BAB I.

ILUSTRASI KASUS

a. Identitas pasien
Nama : Bapak AS
Usia : 16 tahun
Jenis Kelamin : laki - laki
Pekerjaan : kenek supir truk
Alamat : Legok
Status : belum menikah
Pendidikan : SMP
No. MR : 008041xx

b. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 28 Maret 2018 di ruang rawat
inap Rumah Sakit Umum Siloam.

1. Keluhan Utama : mata merah setelah kecelakaan lalu lintas


2. Keluhan Tambahan : pandangan berbayang, bengkak area sekitar mata, rasa baal di
wajah

3. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien, Bapak AS, datang dengan keluhan mata merah setelah mengalami kecelakaan
lalu lintas 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien sedang menyetir truk dan secara
mendadak ada batu terlempar ke arah kaca mobil truk pengemudi dari arah depan. Batu
memecahkan kaca dan menghantam bagian bawah mata kanan pasien. Pasien tidak ingat
apakah mata dalam keadaan terbuka atau tertutup ketika batu menghantam. Pasien hilang
kesadaran dan langsung di bawa ke rumah sakit terdekat. Ketika pasien sadar, pasien
mengeluhkan pandangan berbayang yang hanya muncul ketika pasien melirik ke atas atau atas
kanan. Pandangan juga akan normal ketika salah satu mata ditutup. Pasien juga mengeluhkan
area sekitar mata kanan bengkak. Pasien tidak mengeluhkan adanya pandangan buram, gelap,
seperti tertutup tirai, atau terdapat bayangan seperti benang kusut bergerak. Pasien juga tidak
mengeluhkan sakit kepala, rasa gatal pada mata, ataupun nyeri pada mata dan area sekitar mata.
Namun, pasien mengeluhkan area di bawah mata kanan dan area pipi terasa baal.

2
4. Riwayat Penyakit Dahulu :
 Pasien mengaku belum pernah mengalami hal serupa sebelumnya.
 Pasien menyangkal adanya penyakit bawaan dari lahir pada mata
 Pasien menyangkal pernah mengalami trauma pada area mata sebelumnya.
 Pasien menyangkal pernah mengalami operasi pada mata
 Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit mata sebelumnya seperti katarak,
glukoma, ataupun juling.
 Pasien menyangkal adanya riwayat pemakaian kacamata ataupun memiliki kelainan
refraksi.
 Pasien menyangkal memiliki masalah kadar gula darah dan kolesterol.
 Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit darah tinggi, kencing manis, alergi obat,
ataupun asma.

5. Riwayat Penyakit Keluarga :


 Pasien mengaku bahwa tidak ada penyakit menurun dalam keluarga.
 Pasien mengaku bahwa anggota keluarga tidak ada yang memiliki kondisi yang serupa.
 Pasien mengaku di kerluarga tidak ada riwayat pemakaian kacamata.

6. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan :


Pasien merokok sekitar 4 batang rokok sehari. Pasien menyangkal adanya riwayat
konsumsi alkohol. Wajah atau mata pasien jarang terpapar debu atau cahaya matahari.

c. Pemeriksaan Fisik:
Pemeriksaan fisik pada tanggal 28 Maret 2018:
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis (E4M6V5)
Pernapasan : 20x/menit
Nadi : 85x/menit
Tekanan darah : 110/60
Suhu tubuh : 36,70C
BB/TB : 62 kg / 161 cm
IMT/BMI : 23,9 (normal)

3
Status Oftalmologi

Okuli Dekstra (OD) Okuli Sinistra (OS)

6/6 Visual Acuity 6/6 F-2


- Correction -
- Addition -
- Kaca Mata -

Gerak Bola Mata

Hipotropia Allignment ortotropia


Palpebra Superior
Ada Ecchymosis Tidak ada
Ada Hematoma Tidak ada
Normal Bulu mata Normal
Tidak ada Madarosis Tidak ada
Tidak ada Massa Tidak ada
Tidak ada Kalazion Tidak ada
Tidak ada Hordeolum Tidak ada
Tidak ada Lapgothalmos Tidak ada
Tidak ada Ptosis Tidak ada
Ada Edema Tidak ada
Tidak ada Exopthalmos Tidak ada

4
Tidak ada Enopthalmos Tidak ada
Tidak ada Krusta Tidak ada
Palpebra Inferior
Normal Bulu mata Normal
Tidak ada Madarosis Tidak ada
Tidak ada Hematoma Tidak ada
Tidak ada Massa Tidak ada
Tidak ada Kalazion Tidak ada
Tidak ada Hordeolum Tidak ada
Tidak ada Lapgothalmos Tidak ada
Tidak ada Ptosis Tidak ada
Tidak ada Edema Tidak ada
Tidak ada Exopthalmos Tidak ada
Tidak ada Enopthalmos Tidak ada
Tidak ada Krusta Tidak ada
Area Lakrimal dan
Punctum Lakrimal
Tidak ada Bengkak Tidak ada
Tidak ada Hiperemi Tidak ada
Tidak ada Fistula Tidak ada
Tidak ada Benjolan Tidak ada
Tidak ada Epiphora Tidak ada
Konjungtiva Tarsalis
Tidak ada Simblefaron Tidak ada
Tidak ada Membran Tidak ada
Tidak ada Pseudomembran Tidak ada
Tidak ada Papil Tidak ada
Tidak ada Folikel Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Pucat Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada
Tidak ada Kemosis Tidak ada
Konjungtiva Bulbi

5
Tidak ada Sekret Tidak ada
Tidak ada Papil Tidak ada
Tidak ada Folikel Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada
Tidak ada Degenerasi Hialin Tidak ada
Ada Kemosis Tidak ada
Tidak ada Injeksi Konjungtiva Tidak ada
Tidak ada Injeksi Silier Tidak ada
Ada Perdarahan Tidak ada
Subkonjungtiva
Tidak ada Pterigium Tidak ada
Tidak ada Pinguecula Tidak ada
Tidak ada Nevus Tidak ada
Tidak ada Massa Tidak ada
Tidak ada Korpus Alienum Tidak ada
Cornea
Jernih Kejernihan Jernih
Tidak ada Arcus Senilis Tidak ada
Tidak ada Edema Tidak ada
Tidak ada Ulkus Tidak ada
Tidak ada Pigmen Iris Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada
Tidak ada Corpus Alienum Tidak ada
Tidak ada Perforasi Tidak ada
COA
Dalam Kedalaman Dalam
Tidak ada Flare Tidak ada
Tidak ada Hipopion Tidak ada
Tidak ada Hifema Tidak ada
Pupil
Bulat Bentuk Bulat
3 mm Ukuran 3 mm
Sentral Letak Sentral

6
Isokoria Isokoria/Anisokoria Isokoria
+ Refleks Cahaya Langsung +
+ Refleks Cahaya Tidak +
- Langsung -
RAPD
Tidak ada Oklusio Tidak ada
Tidak ada Seklusio Tidak ada
Tidak ada Leukoria Tidak ada
Iris
Coklat Warna Coklat
Normal Kripta Normal
Tidak ada Atrofi Tidak ada
Tidak ada Sinekia Tidak ada
Tidak ada Iridodialisis Tidak ada
Tidak ada Rubeosis Iridis Tidak ada
Tidak ada Nodul Koeppe Tidak ada
Tidak ada Busaca Nodule Tidak ada
Lensa
Jernih Kejernihan Jernih
Tidak ada Opasitas Tidak ada
- Shadow test -
Tidak ada Refleks Kaca Tidak ada
Vitreous
Jernih Kejernihan Jernih
Tidak ada Flare Tidak ada
Tidak ada Fibrosis Tidak ada
Fundus
Ada Refleks Fundus Ada
Bulat Bentuk papil Bulat
Tegas Batas papil Tegas
0,3 Cup/Disc Ratio 0,3
2:3 Arteri Vena Ratio 2:3
Baik Makula Lutea Baik

7
N/P TIO N/P
Sama dengan pemeriksa Lapang Pandang Sama dengan pemeriksa

Foto 9 posisi:

Tes buta warna: Normal

d. Pemeriksaan Penunjang
- CT scan dilakukan pada tanggal 27 Maret 2018
o Hasil: Fraktur multiple pada dinding anterior, posterior sinus maksilaris
kanan, dinding medial sinus maksilaris kiri, dinding inferior sinus frontalis
kiri, lengkung zygoma kanan, os zygoma kanan, os pterygoid kiri, os nasal
kiri, dan rima orbita sisi lateral kanan. Hematoma orbita kanan.

e. Resume
Pasien datang dengan keluhan mata merah post KLL 12 jam sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengalami hantaman pada area bawah mata kanan dengan batu. Batu datang dari arah
depan dan menembus kaca di depan pasien. Tidak diketahui apakah mata pasien terbuka atau
tertutup saat terhantam. Pasien hilang kesadaran setelah kejadian dan langsung di bawa ke
rumah sakit terdekat. ketika sadar, pasien mengeluhkan pandangan berbayang saat mata melirik
ke atas atau kanan atas dan edema pada area sekitar mata. Pasien juga mengeluhkan baal di
wajah area infraorbital dan area zygomaticum sisi dextra. Pasien memiliki kebiasaan
menghisap sekitar 4 batang rokok dalam 1 hari.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan hasil yang bermakna berupa:

8
Okuli Dekstra (OD) Okuli Sinistra (OS)

Gerak Bola Mata

Hipotropia Allignment Ortotropia


Palpebra Superior
Ada Ecchymosis Tidak ada
Ada Edema Tidak ada
Konjungtiva Bulbi
Ada Kemosis Tidak ada
Ada Perdarahan Tidak ada
Subkonjungtiva

Pada pemeriksaan penunjang CT scan ditemukan fraktur multiple pada lengkung zygoma
kanan, os zygoma kanan, rima orbita sisi lateral kanan dan hematoma orbita kanan.

f. Diagnosis Kerja
Diagnosis Kerja : Perdarahan Subkonjungtiva OD
Emmetropia OS
Fraktur Blowout dextra

g. Penanganan
Tatalaksana yang diberikan di Rumah Sakit mencangkup:
 Pemberian obat Polydex ed 6 x OS
 Direcanakan operasi Open Reduction Internal Fixation (ORIF) zygomaticum

9
h. Pemeriksaan penunjang yang disarankan:
 Worth 4 dot test
 Forced duction test

i. Prognosis
a. Ad vitam : bonam
b. Ad functionam : bonam
c. Ad sanationam : bonam

10
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
2.1.1. Orbit
Bola mata berada pada cekungan tulang yang berbentuk piramid disebut orbit. Orbit terdiri
dari 3 tulang kranial yang terdiri dari tulang frontalis, sphenoidalis, dan ethmoidalis dan 4 tulang
fasial yang terdiri dari tulang palatine, zygomaticum, lacrimalis, dan maxillaris. Bagian apex dari
orbit adalah foramen optikus. Bagian atap dari orbit terbentuk oleh tulang frontalis dan
sphenoidalis, bagian dinding lateral dari orbit terbentuk oleh tulang zygomaticum dan
sphenoidalis, bagian dinding medial dari orbit terbentuk oleh tulang maxillaris, lacrimalis,
ethmoidalis, dan sphenoidalis, sedangkan bagian dasar orbit terbentuk oleh tulang maxillaris,
zygomaticum, dan palatine. Dari ketujuh tulang tersebut, tulang yang paling rapuh adalah tulang
ethmoidalis, lacrimalis, dan palatine. Maka dari itu, bagian dasar dan medial dari orbit yang tipis
mudah rusak karena trauma menyebakan fraktur blowout dengan herniasi isi orbit ke antrum
maxillaris. [1,2]

Gambar 1. Orbit

11
Terdapat 5 lubang pada orbit yang teridiri dari canalis optikus, superior orbital fissure,
inferior orbital fissure, supraorbital foramen, dan lacrimal fossa. Saraf kranial II atau saraf optikus
dan arteri opthalmikus keluar orbit melalui canalis optikus. Beberapa struktur anatomis yang
melewati superior orbital fissure nervus nasociliaris cabang dari nervus opthalmicus, nervus
oculomotor, nervus abducens, nervus trochlearis, vena opthalmica superior, dan cabang arteri
meningea media cabang orbitalis. Struktur anatomis yang melewati inferior orbital fissure adalah
arteri infraorbitalis cabang dari arteri maxillaris, vena opthalmica inferior, nervus infraorbitalis
cabang dari nervus maxillaris, dan nervus zygomaticus cabang dari nervus maxillaris. Nervus dan
arteri orbitalis keluar melalui supraorbital foramen. Sedangkan lacrimal fossa berisi kelenjar
lakrimal.[1]

2.1.2. Konjungtiva
Terdapat 2 kelopak mata yang melindungi mata manusia, palpebra superior dan palpebra
inferior. Pada permukaan posterior palpebra terdapat lapisan mukosa konjungtiva tarsal atau
palpebral conjungtiva. Sedangkan konjungtiva bulbar melapisi permukaan bola mata bagian
sklera namun tidak pada kornea. Konjungtiva tarsal dan bulbar dihubungkan lapisan jaringan
melengkung yang disebut forniks. Lapisan epitel pada konjungtiva tarsal terdiri epitel bertingkat
cuboid, epitel kolumnar pada forniks, dan epitel skuamosa pada konjungtiva bulbi dengan sel
goblet. Konjungtiva tarsal menempel dengan kuat pada lapisan tarsus di bawahnya, sedangkan
konjungtiva bulbi menempel dengan longgar pada kapsul Tenon sehingga bola mata dapat
bergerak dengan bebas. Konjungtiva menyatu dengan bola mata di limbus pada area palisade Vogt
yang memiliki banyak sel punca kornea. Ketika palpebra menutup, maka konjungtiva akan
membentuk kantung yang terdiri dari superior conjungtival fornicle dan inferior conjungtiva
fornicle. [1,4]

12
Gambar 2. Bagian dari konjungtiva

Arteri yang memperdarahi konjungtiva bulbi berasal dari arteri siliaris anterior
percabangan dari arteri siliaris dan arteri palpebralis pada konjungtiva tarsal. Kedua aretri ini akan
beranastomosis. Bersama dengan vena konjungtiva, mereka akan membentuk banyak jaring
vaskuler. Konjungtiva juga dipersarafi oleh nervus lacrimalis, supraorbitalis, supratrochlearis, dan
infraorbitalis yang merupakan percabangan dari nervus opthalmicus, cabang pertama dari nervus
fasialis, yang berfungsi untuk sensoris somatik. [1,4]

Gambar 3. Pembuluh darah konjungtiva

13
Gambar 4. Saraf pada orbit

2.1.3. Bola mata


Bagian dari bola mata itu sendiri dilingkupi oleh lemak periorbital dan 6 otot ekstrinsik mata
melekat pada sklera yang terdiri dari rektus superior, rektus inferior, rektus lateralis, rektus
medialis, superior oblique, dan inferior oblique. Bagian mata dari luar terdiri dari kornea yang
menutupi iris dan sklera yang membungkus sisah bagian mata. Kornea berfungsi untuk membantu
mengfokuskan cahaya ke retina. Pada perbatasan antara kornea dan sklera terdapat Canal of
Schlemm tempat keluarnya aqueous humor. Lapisan vaskular pembungkus mata, disebut juga
uvea, terdiri dari koroid, iris, dan korpus siliaris. Pembuluh darah pada lapisan koroid memberikan
nutrisi pada permukaan posterior retina. Pada bagian anterior, koroid berubah menjadi korpus
siliaris dimana terdapat prosessus siliaris dan otot siliaris. Pembuluh darah pada prosessus siliaris
akan mensekresi aqueous humor. Bagian mata iris mengandung melanosit yang memberikan
warna pada mata dan otot sfingter untuk konstriksi dari pupil. Cahaya terang pada mata akan
menstimulasi syaraf parasimpatetik dari nervus okulomotor untuk konstriksi pupil oleh otot
sfingter. Pada permukaan retina, lapisan terdalam mata, terdapat optic disc tempat keluarnya
nervus optikus, arteri sentra retina, vena sentral retina, dan makula lutea. Pada bagian tengah
makula lutea terdapat fovea sentralis yang tidak dilapisi sel bipolar dan sel ganglion sehingga area
tersebut memiliki visus dan ketajaman penglihatan yang terbaik.[1]
Bagian dalam bola mata terbagi dua oleh lensa menjadi segmen anterior, terdiri dari bilik
anterior dan posterior, dan rongga vitreous. Bilik anterior terletak di antara kornea dan iris. Di

14
bagian posterior iris terdapat bilik posterior yang dibatasi oleh lensa dan otot siliaris. Kedua bilik
ini berisikan aqueous humor yang berfungsi untuk memberikan nutrisi pada bagian avaskular lensa
dan kornea dan menjaga tekanan intraokular.[1]

2.2. Trauma Orbital


2.2.1. Evaluasi Trauma Orbital
Fungsi utama dari orbit adalah melindungi bola mata dari trauma. Bagian terkuat dari orbit
terletak di bagian dinding lateral dan superior. Ketika terjadi trauma, kekuatan dari dorongan
trauma tersebut akan diredam oleh pecahan fraktur tulang sehingga bola mata tidak rusak.
Beberapa upaya yang ada untuk mencegah trauma pada orbit dan bola mata saat ini adalah
penggunaan kaca mobil tahan pecah untuk mobil dan pemakaian helm motor ataupun sepeda.[2]
Evaluasi pertama yang dilakukan pada pasien yang diduga mengalami trauma area orbit
adalah pemeriksaan keadaan umum pasien dan sistem saraf. Keadaan umum pasien diperiksa
sesuai dengan urutan Airway, Breathing, dan Circulation. Mata pasien harus tetap dilindungi
selama manipulasi pada mulut, hidung, dan trakea. Penilaian menyeluruh akan penglihatan pasien
harus dilakukan bila memungkinkan. Pada kondisi mendesak, penilaian triase kondisi mata dapat
dilakukan dengan menggunakan penlight terlebih dahulu. Meskipun kondisi trauma intrakranial
atau penggunaan anastesi menyebabkan perubahan status kesadaran yang dapat menyulitkan
pemeriksaan mata, penemuan perubahan ukuran atau reaktivitas pupil pada pasien dengan trauma
intrakranial menandakan herniasi yang harus ditangani dengan segera. Pasien yang menggunakan
zat narkotika menimbulkan efek miosis yang dapat mempersulit pemeriksaan pupil dan retina.
Operasi perbaikan orbit atau bola mata harus dikoordinasikan dengan kondisi lain pada pasien
seperti pada keadaan reparasi fraktur orbital yang harus ditunda apabila risiko pendarahaan pada
hifema belum membaik atau ruptur bola mata yang harus diperbaiki lebih dahulu sebelum reparasi
fraktur. [2]
Beberapa komponen dalam pemeriksaan fisik orbit adalah Hertel exophthalmometry, gerakan
bola mata, ketajaman visus, pemeriksaan sensoris saraf infraorbital dan supraorbital, afferent
pupilary defect, palpasi sekeliling orbit, dan auskultasi bruit. Penurunan ketajaman visus
menandakan kondisi gawat darurat. Penglihatan yang hilang menandakan adanya penekanan pada
saraf optikus.[2]

15
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada mata adalah CT scan orbit, MRI, dan
ultrasonografi (USG). CT scan orbit memberikan hasil paling baik dalam membedakan tulang dan
jaringan lunak dengan proses yang lebih murah dan cepat. Indikasi dari CT scan adalah diduga
adanya fraktur orbital, tonjolan tulang yang terpalpasi, adanya gerakan bola mata yang terhambat,
dan benda asing metal dalam orbit. Pemeriksaan dengan MRI berguna dalam membedakan
jaringan lunak yang dapat digunakan dalam kondisi adanya kelainan neurologis atau benda asing
kayu. Dugaan adanya benda asing metal intraorbital merupakan kontraindikasi dari pemeriksaan
dengan MRI. Beberapa kondisi kegawatdaruratan orbital adalah abses orbital, hematom pada
bungkus saraf optikus, benda asing kontak dengan saraf optikus, dan cedera bola mata terbuka
dengan cedera orbit.[2]

2.2.2. Fraktur Blowout


2.2.2.1. Etiologi dan Mekanisme Fraktur
Fraktur Blowout adalah salah satu jenis fraktur orbital yang sering dijumpai. Fraktur blowout
disebabkan oleh benda tumpul yang dengan diameter kecil seperti bola atau kepalan tangan. Ada
2 teori mekanisme dari fraktur blowout yaitu cedera langsung dan tidak langsung. Pada teori cedera
langsung, meningkatnya tekanan bola mata dan orbit secara mendadak menyebabkan kompresi
dari bola mata disertai fraktur dasar orbit. Pada teori cedera tidak langsung, ada hantaman kuat ke
area bagian inferior pinggir orbit yang menyebabkan fraktur pada paling rapuh dari orbit. [2,3]

2.2.2.2. Gejala dan Diagnosis


Triase pada fraktur blowout adalah diplopia karena strabismus restriktif, rasa baal pada area
infraorbital karena gangguan pada nervus infraorbital, dan periocular ecchymosis. Ecchymosis
terjadi akibat cedera langsung pada kulit dan otot orbicularis oculi. Gejala lain yang dapat dilihat
pada penderita fraktur blowout adalah terhambatnya gerak vertikal bola mata karena otot rektus
inferior atau ligamen suspensor yang tertahan pecahan tulang. Kondisi tesebut tidak dapat dilihat
dari hasil CT scan sehingga strabismus restriktif harus dikonfirmasi dengan melakukan forced
duction test. Pada forced duction test, konjungtiva pasien akan diberikan anastesi topikal dan area
insersi otot rektus inferior dijepit dengan forcep. Kemudian bola mata pasien dirotasi ke arah yang
terhambat. Forced duction test positif apabila ada restriksi ketika merotasi bola mata ke arah
superior. Hasil yang positif merupakan tanda adanya fraktur blowout dengan otot rektus inferior

16
yang terjepit. Diplopia yang terjadi karena kondisi ini muncul terutama ketika pasien melirik ke
arah atas. Untuk mengkonfirmasi adanya diplopia, maka harus dilakukan pemeriksaan worth 4 dot
test. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai adanya supresi, fusi, dan anomali pada
korespondensi retina. Pada Worth 4 dot test pasien diminta untuk meihat 4 titik berupa 1 titik putih,
2 titik hijau, dan 1 titik merah. Pada mata pasien akan dipasangkan filter kaca warna hijau pada
satu mata dan filter warna merah pada mata lain. Mata dengan filter warna hijau tidak akan bisa
melihat titik warna merah dan mata dengan filter warna merah tidak akan bisa melihat 2 titik warna
hijau. Pasien yang mengalami devaisi pada mata tidak akan mengalmi fusi yang baik sehingga
pasien akan seolah-olah melihat 5 buah titik dengan mata berfilter hijau hanya melihat 3 titik di
atas, dan mata berfilter merah hanya melihta titik teratas dan terbawah[2]

Gambar 5. Worth 4 dot test[2]

Rasa baal pada area infraorbital merupakan gejala yang paling lama selama proses
penyembuhan. Rasa baal tersebut dapat sembuh spontan dalam beberapa minggu hingga 6 bulan
karena saraf tidak terobek. Lokasi paling umum terjadi fraktur blowout pada orbit dilewati oleh
saraf infraorbital sehingga saraf hanya teregang atau bengkak.[2]
Fraktur atau kerusakan pada tulang yang besar dapat menyebabkan sebagian besar isi orbit
berubah tempat. Bola mata yang pindah ke bagian posterior orbit, atau yang disebut juga
enopthalmos, dan fisura palpebra menjadi lebih kecil. Krepitus yang muncul pada palpasi palpebra
yang membengkak merupakan tanda adanya udara memasuki orbit dari sinus ethmoid yang sudah
fraktur. Pasien dianjurkan untuk tidak menghembuskan udara terlalu keras dari hidung untuk
mencegah masuknya udara dan bakteri ke dalam orbit.[3]

17
Gambar 6. CT scan fraktur blowout dengan hasil diskontinuitas pada dasar orbit kiri dengan
proplaps isi orbit pada sinus maksilaris kiri

Pemeriksaan CT scan dibutuhkan untuk menentukan lokasi dari fraktur dan evaluasi kondisi.
Jaringan yang masuk ke dalam sinus maksilaris akan memberikan tampilan seperti tetesan air pada
pemeriksaan CT scan. Fraktur blowout pada anak umumnya berupa fraktur greenstick dimana
triase fraktur ada pada anak namun hasil CT scan orbit tidal menampilkan adanya fraktur dasar
orbit. Tulang anak yang lebih aplastik dibanding tulang dewasa mampu kembali ke tempat
semulanya setelah fraktur. Bila fraktur sudak terjadi maka tertahannya jaringan orbit atau
strabismus restriktif sangat memungkinkan ada pada anak. Adanya gejala klinis pada anak
merupakan indikasi untuk dilakukannya operasi eksplorasi.[2,3]

2.2.2.3. Manajemen
Penanganan pada fraktur blowout dapat berupa pemeriksaan rutin atau operasi reparasi fraktur
dan orbit bila dibutuhkan. Operasi umumnya dilakukan dalam 7 sampai 14 hari setelah kecelakaan
untuk memberikan waktu perbaikan spontan dan berkurangnya pembengkakkan. Indikasi untuk
reparasi fraktur dini apabila kondisi tersebut diasosiasikan dengan fraktur craniofasial, adanya
enopthalmos dan hypoglobus yang signifikan, dan kondisi dasar orbit yang hancur total. Operasi
juga tidak boleh dilakukan melebihi 10 hari untuk mencegah kerusakan permanen perlukaan pada

18
otot rektus inferior yang terjepit. Beberapa hal yang harus dievaluasi dengan CT scan dalam
persiapan operasi adalah lokasi, tingkat keparahan, dan struktur anatomi disekitarnya. Operasi
dilakukan dengan pendekatan transconjunctival dengan kelebihan visualisasi yang baik, hasil
insisi yang tersembunyi, dan mencegah retraksi palpebra setelah operasi. Insisi dilakukan ke
pinggir obit inferior untuk membuka periorbita dan visualisasi dasar orbit. Visualisasi dibutuhkan
sampai bagian posterior dekat apex orbit. Implan dan graft hanya digunakan bila dibutuhkan
karena memiliki risiko meninggalkan jaringan parut dan tingginya risiko terjadi strabismus.[2]

2.2.2.4. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi paling umum pada penderita fraktur blowout adalah diplopia, enopthalmos, dan
ectropion. Prevalensi dari komplikasi hilangnya penglihatan hanya ada sekitar 0 sampai 0,4% dan
memiliki asosiasi yang erat dengan perdarahan intraorbital postoperasi. Diplopia umumnya
bersifat hanya sementara selama beberapa minggu. Prevalensi dari diplopia permanen ada
sebanyak 8% sampai 42% dan paling sering ada pada pasien usia lanjut dengan operasi yang
tertunda. Diplopia ini disebabkan oleh terjepitnya otot ektraokular oleh implan, trauma pada otot,
fibrosis, atau paresis saraf. Prevalensi dari enopthalmos ada sebanyak 7% sampai 27% dan diduga
terjadi karena atrofi otot atau rekonstruksi orbit yang tidak baik. Kondisi ini dapat diperbaiki
dengan menggunakan implan sekunder sekitar 3 bulan setelah operasi. Komplikasi ectropion dapat
dicegah dengan tidak melakukan insisi subsiliar.[9]

2.3. Perdarahan Subkonjungtiva


2.3.1. Etiologi
Perdarahan di bawah lapisan konjungtiva dapat terjadi karena trauma tumpul pada bola mata,
cedera konjungtiva, atau terjadi secara spontan. Perdarahan bersumber dari pembuluh darah
episklera atau konjungtiva yang masuk ke rongga subkonjungtiva. Berdasarkan sebuah penelitian,
perdarahan subkonjungtiva paling sering terjadi pada rentang usia 61 sampai 70 tahun. Perdarahan
spontan pada orang tua dapat terjadi karena perubahan struktur vaskular arteriosklerosis, hipertensi
sistemik, atau diabetes melitus. Kegiatan sehari-hari seperti batuk, bersin, menunduk, atau
mengangkat benda berat dapat meyebabkan pendarahan subkonjungtiva. Kondisi lain yang dapat
menyebabkan perdarahan adalah manuver valsava.[3,5,7]

19
2.3.2. Gejala dan Diagnosis
Perdarahan subkonjungtiva memiliki tampilan area berwarna merah terang pada jaringan
konjungtiva berbatas tegas ataupun halus. Perdarahan ini akan terlihat meluas dalam 24 jam
pertama. Perdarahan yang berlebih dapat meyebabkan konjungtiva terangkat dan keluar melewati
fisura palpebra. Pemeriksaan tekanan darah dan status koagulasi harus dilakukan pada kasus
perdarahan subkonjungtiva yang terjadi berulang kali untuk menyingkirkan diagnosa hipertensi
maupaun kelaianan pembekuan darah. Pemeriksaan status koagulasi tersebut terdiri dari lotting
time, bleeding time, prothrombin time, dan activated partial thromboplastin time. Pasien yang
dalam terapi warfarin harus melakukan pemeriksaan laboratorium International Normalized Ratio
(INR) Adanya pigmentasi subkonjungtiva disertai dengan perdarahan harus meningkatkan
kewaspadaan akan adanya ruptur sklera yang tersembunyi. Maka dari itu, anamnesis lengkap dan
pemeriksaan fisik menyeluruh mata dibutuhkan untuk menyingkirkan laserasi atau perlukaan pada
sklera yang tersembunyi.[3,4,6] Pasien dengan perdarahan subkonjungtiva tidak merasakan nyeri
ataupun bertambahnya sekret. Penurunan visus pada pasien sangatlah minimal.[7]

Gambar 7. Perdarahan subkonjungtiva Gambar 8. Perdarahan subkonjungtiva tingkat


lanjut
Perdarahan subkonjungtiva akibat trauma tumpul dapat disertai gejala edema konjungtiva,
atau kemosis, dan hematoma subkonjungtiva. Kompresi pada vena orbital dalam waktu lama akan
menyebabkan pembesaran pembuluh darah dan kemosis yang berbentuk kantong berisi cairan.
Namuna, kemosis juga dapat terjadi pada kondisi lain seperti alergi ataupun abnormalitas aliran
darah dalam orbit. Hematoma konjungtiva yang disertai tekanan bola mata rendah, pupil lonjong,
dan visus menurun merupakan salah satu indikasi eksplorasi bola mata untuk mencari ruptur
bulbus okuli.[8]

20
2.3.3. Manajemen, Komplikasi, dan Prognosis
Perdarahan subkonjungtiva pada umumnya akan diserap kembali dalam waktu 7 sampai 10
hari dengan perubahan warna dari merah terang menjadi kuning kehijauan. Hasil dari pemecahan
produk darah pada perdarahan konjungtiva area perilimbus dapat terlihat sebagai diskolorasi
kehijauan pada stroma kornea bagian perifer. Kompres hangat dan lubrikasi mata seperti
hydroxypropyl cellulose, methylcellulose, dan air mata buatan dapat digunakan untuk meredakan
gejala.[3,6]

21
BAB III.
ANALISA KASUS

3.1. Diagnosis
Pasien datang setelah mengalami KLL 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien
mengalami hantaman pada area bawah mata dextra dengan batu dari arah depan. Trauma pada area
tersebut dapat menyebabkan fraktur tulang zygomaticum ataupun tulang maksilaris yang
merupakan dasar dari orbit. Pasien juga mengeluhkan rasa baal pada area infraorbital dan area
zygomaticum dextra yang diduga karena terjepitnya nervus infraorbital oleh pecahan fraktur. Pada
pemeriksaan fisik, kedudukan bola mata kanan pasien lebih rendah dengan hambatan gerakan bola
mata pasien ke arah atas dan atas kanan. Kondisi ini meningkatkan kecurigaan akan adanya
penurunan dari posisi isi orbit karena dasar orbit yang sudah fraktur. Gerakan bola mata yang
terhambat diduga karena terjepitnya rektus inferior dan ligamen oleh pecahan fraktur sehingga
gerakan bola mata pasien ke arah atas dan atas kanan terhambat. Dari gerakan bola mata yang
terhambat ini juga timbul pandangan berbayang ketika melirik ke arah atas atau atas kanan yang
mengkonfirmasi adanya perbedaan kedudukan bola mata kanan dan kiri atau strabismus. Namun,
harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut worth 4 dot test untuk memastikan bahwa pasien
mengalami diplopia. Adanya strabismus restriktif pada pasien harus dikonfirmasi dengan forced
duction test. Namun hal ini tidak dilakukan. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan edema dan
ecchymosis pada area palpebra superior yang diduga karena hantama tumpul dari benda tersebut.
Adanya temuan rasa baal, ecchymosis, dan dugaan strabismus restriktif mengarahkan diagnosis
pasien menjadi fraktur blowout. Pemeriksaan penunjang CT scan mengkonfirmasi adanya fraktur
multiple pada lengkung zygoma kanan, os zygoma kanan, rima orbita sisi lateral kanan dan
hematoma orbita kanan. Berdasarkan analisa tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami fraktur blowout.
Keluhan lain pasien adalah mata merah namun pasien tidak mengeluhkan nyeri atau gatal.
Warna merah pada mata pasien bersifat terang dan berbatas tegas. Pada pemeriksaan fisik, juga
tidak ditemukan sekret ataupun injeksi yang dapat menyingkirkan diagnosa akibat infeksi.
Ditemukannya kemosis pada konjungtiva dan edema beserta ecchymosis pada palpebra
menandakan bahwa bola mata pasien terkena trauma tumpul. Pasien memiliki visus normal yang
menandakan media refraksi tidak terganggu pada pasien. Berdasarkan pembahasan tersebut maka

22
dapat disimpulkan bahwa pasien juga mengalami perdarahan subkonjungtiva. Pada mata sinistra
pasien tidak ada kelainan ataupun penurunan visus maka mata sinistra pasien merupakan
emmetopia.

3.2. Tata Laksana


Tata laksana pada pasien yang harus diberikan untuk mengatasi fraktur blowout adalah operasi
reparasi dasar orbit dan zygomaticum. Selama menunggu operasi dapat perlu dilakukan
pemeriksaan rutin. Apabila kondisi pasien sudah menunjukkan perbaikan, maka pasien tidak
membutuhkan operasi. Tata laksana untuk mengatasi perdarahan subkonjungtiva adalah observasi
dan evaluasi rutin. Air mata buatan atau kopres hangat dapat diberikan pada pasien untuk membuat
pasien merasa lebih nyaman. Pada pasien diberika obat tetes polydex untuk

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Tortora G, Derrickson B. Principles of anatomy & physiology. 13th ed. Hoboken, N.J.:
John Wiley & Sons, Inc.; 2012.
2. Kuhn F, Pieramici D. Ocular trauma. New York: Thieme; 2002.
3. Lang G, Amann J. Ophthalmology. Stuttgart: Thieme; 2000.
4. American Academy of Opthalmology. Basic and Clinical Science Course 2010-2011.
Amer Academy of Ophthalmology; 2010.
5. Mimura T, Usui T, Yamagami S, Funatsu H, Noma H, Honda N et al. Recent Causes of
Subconjunctival Hemorrhage. Ophthalmologica. 2010;224(3):133-137.
6. Cronau H, Kankanala R, Mauger T. Diagnosis and Management of Red Eye in Primary
Care. American Family Physician. 2010;81(2):137 - 144.
7. Yan H. Ocular Emergency. Singapore: Springer Singapore; 2018.
8. Vaughan D, Asbury T, Schaubert L, Walibon., Hariono B. Oftalmologi umum. 17th ed.
Jakarta: Widya Medika; 2010.
9. Boyette J, Pemberton J, Bonilla-Velez J. Management of orbital fractures: challenges and
solutions. Clinical Ophthalmology. 2015;(9):2127-2137.

24

Anda mungkin juga menyukai