Anda di halaman 1dari 21

REFERAT KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI: BUNUH DIRI

Disusun oleh:
Irine Handini Suryana / 01073170084

Pembimbing:
dr. Ashwin Kandouw, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


SANATORIUM DHARMAWANGSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 4 MARET 2019 – 6 APRIL 2019
JAKARTA

0
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1
1. Definisi 2
2. Epidemiologi 2
3. Faktor Risiko 3
3.1. Kelainan Psikiatri 3
3.2. Status Pernikahan 4
3.3. Pekerjaan 4
3.4. Penyakit Komorbid 5
3.5. Kesengsaraan pada Masa Kecil 6
4. Etiologi 6
4.1. Faktor Sosiologik: Teori Durkheim 6
4.2. Faktor Psikologikal 6
4.2.1. Teori Freud 6
4.2.2. Teori Menninger 7
4.2.3. Teori lainnya 7
4.3. Faktor Biologik 8
5. Gejala Klinis 8
6. Evaluasi Pasien 8
6.1. Ide dan Tingkah Laku Bunuh Diri 11
7. Tatalaksana 12
7.1. Stabilisasi Medis 12
7.1.1. Rawat Inap dan Rawat Jalan 12
7. 2. Safety Plan 13
7.3. Tatalaksana Faktor Penyebab dan Kelainan Psikiatri 15
7.3.1. Farmakoterapi 15
7.3.2. Psikoterapi 16
7.3.3. Terapi Elektrokonvulsif 16
7.4. Pemantauan dan Follow Up 17
Daftar Pustaka19

1
1. Definisi

Bunuh diri atau suicide adalah tingkah laku melukai diri sendiri dengan tujuan
membunuh diri sendiri dan fatal. Bunuh diri merupakan salah satu kegawatdaruratan psikiatri
utama yang sulit diprediksi namun dapat terlihat berbagai macam petunjuk. Tingkah laku apapun
dengan tujuan membunuh diri sendiri meskupun belum fatal maka termasuk suicide attempt atau
percobaan bunuh diri. Pasien yang sudah pernah melakukan usaha bunuh diri, memiliki risiko
melakukan percobaan bunuh diri kedua paling tinggi dalam 3 bulan setelah percobaan pertama.
Suicide ideation atau pemikirian bunuh diri adalah pemikiran mengenai membunuh diri sendiri
yang dapat termasuk juga sebuah rencana. Non-suicidal self-injurious thought adalah pemikiran
melukai diri sendiri yang dikarakteristikkan dengan penghancuran jaringan tubuh yang disengaja
tanpa adanya tujuan untuk mati dan untuk tujuan yang tidak disetujui secara sosial. Pemikiran
melukai diri sendiri yang diverbalkan dan bertujuan agar orang lain berpikir ia ingin meninggal
walau tidak ada tujuan untuk mati disebut suicide threat. Sedangkan tingkah laku melukai diri
sendiri dengan tujuan membuat orang lain berpikir ia ingin mati disebut suicide gesture.[1,3]

2. Epidemiologi

Berdasarkan WHO pada tahun 2012, rata-rata jumlah bunuh diri di seluruh dunia adalah
12 kasus per 100.000 populasi dan merupakan penyebab mortalias global nomor 14. Jumlah
bunuh diri pada pria dibanding dengan wanita adalah 1,9 dan paling banyak terjadi pada grup
usia 18 – 25 tahun. Metode bunuh diri yang paling banyak dilakukan adalah dengan
menggantung diri yang mencangkup sekitar 50% bunuh diri dan yang kedua adalag dengan
senjata api yang mencangkup 18% kasus. Di beberapa negara Asia seperti China, Hong Kong,
dan Singapura, metode bunuh diri yang juga sering dilakukan adalah dengan melompat dari
gedung tinggi dan menggunakan arang barberque untuk menghasilkan gas karbon monoksida
yang sangat beracun. [2]

Berdasarkan studi oleh WHO, prevalensi pemikiran bunuh diri selama seumur hidup
adalah 9% dengan probabilitas membuat rencana ada sekitar 33% pada populasi tersebut dan
probabilitas melakukan percobaan bunuh diri ada 30%. Sekitar 60% populasi mengalami transisi
dari pemikiran bunuh diri menjadi perencanaan bunuh diri dan dari rencana menjadi percobaan

2
bunuh diri terjadi dalam 1 tahun pertama setelah pemikirian bunuh diri. Percobaan bunuh diri
tergolong lebih banyak terjadi daripadara kematian karena bunuh diri dengan jumlah di US
sekitar 30 percobaan bunuh diri untuk setiap kematian karena bunuh diri. [2]

Gambar 1. Jumlah rata-rata kasus bunuh diri per 100.000 populasi WHO 2012. [2]

3. Faktor Risiko

3.1. Kelainan Psikiatri

Lebih dari 90% pasien dengan percobaan bunuh diri mengalami kelainan psikiatri.
Kelainan psikiatri meningkatkan risiko bunuh diri 3-12 kali lebih banyak. Kelainan psikiatri
yang diasosiasikan dengan bunuh diri termasuk depresi dan skizofrenia hampir lebih dari
setengah kasus bunuh diri, kelainan bipolar, alkoholisme atau penyalahgunaan zat lain, kelainan
ansietas termasuk kelainan panik, posttraumatic stress disorder (PTSD), gangguan panik yang
sering membutuhkan layana gawat darurat, dan delirium. Pada pasien dengan depresi, riwayat
percobaan bunuh diri sering disertai dengan perasaan tidak berharga. Pemikiran tanpa harapan,
terlepas dari kelainan psikiatri yang diderita, juga diasosiasikasn dengan pemikiran bunuh diri
dan tingkah lakunya. Pasien dengan insomnia juga memiliki risiko tinggi dari pemikiran dan
tingkah laku bunuh diri.[4,5]

3
Gangguan mood merupakan kondisi psikiatri yang erat dengan bunuh diri terutama pada
kondisi depresi. Angka bunuh diri pada pasien tersebut adalah 400 kasus per 100.000 pasien kali-
laki dan 180 kasus per 100.000 pasien perempuan. Mayoritas pasien dengan gangguan depresif
melakukan bunuh diri di awal atau akhir episode depresifnya. Kecenderungan bunuh diri pada
pasien depresi meningkat dengan adanya isolasi sosial yang berintegrasi buruk ke dalam
masyarakat. Beberapa bulan setelah keluar dari perawatan di Rumah Sakit juga memiliki risiko
bunuh diri yang tingga dimana 1/3 pasien akan bunuh diri dalam 6 bulan. Ditemukan juga bahwa
sebagian besar dari pasien-pasien yang bunuh diri tersebut sedang dalan pengobatan namun
hanya menerima dosis subterapeutik. [1,4,5]

Sekitar 10% dari pasien dengan skizofrenia meninggal karena bunuh diri. Pasien dengan
skizofrenia umumnya bunuh diri pada beberapa tahun pertama penyakitnya dan dikarenakan
skizofrenia yang umumnya muncul pada masa remaja maka banyak pasien bunuh diri pada usia
muda. 2/3 pasien skizofrenia bunuh diri setelah menunjukkan adanya gejala depresif dan hanya
sedikit sekali bunuh diri karena instruksi halusinasi atau untuk kabur dari waham kejar. 50%
pasien skizofrenia bunuh diri setelah beberapa minggu dan bulan pertama setelah keluar dari
rumah sakit. [1,4,5]

15% orang dengan ketergantungan alkohol melakukan bunuh diri dengan angka kasus
pertahunnya 720 kasus per 100.000 populasi. Pada populasi dengan ketergantungan alkohol
ataupun penyalahgunaan zat, kepribadian antisosial memiliki pengaruh yang besar dengan risiko
bunuh diri. [1,4,5]

3.2. Status Pernikahan

Bunuh diri terjadi lebih banyak pada orang yang tidak menikah dimana risiko bunuh diri
lebih tinggi 2 kali lipat pada orang yang tidak menikah. Sedangkan, perceraian, status janda, dan
duda juga meningkatkan risiko bunuh diri.[6]

3.3. Pekerjaan

4
Tingkat kejadian bunuh diri lebih banyak pada populasi dengan pekerjaan yang
membutuhkan keterampilan yang sedikit sepertu buruh atau petugas bersih-bersih. Status
pengangguran dan kondisi ekonomi yang sulit juga merupakan faktor risiko dari bunuh diri.
Namun, di antara pekerja dengan ketrampilan tinggi profesi dokter memiliki tingkat kejadian
bunuh diri yang tinggi. Berdasarkan data dari AAMC tahun 2016, dilaporkan 1.103 kasus bunuh
diri pada pekerja medis dengan 888 kasus berupa dokter dan 125 kasus berupa mahasiswa
kedokteran. Risiko dari bunuh diri pada dokter wanita lebih besar dibanding populasi biasa
dengan rasio 2,3 dan pada dokter pria dengan rasio 1,4 dibanding dengan populasi biasa.[7]

Ditemukan bahwa para pekerja medis yang bunuh diri tersebut memiliki gangguan
mental seperti depresi, ketergantungan obat, atau keduanya. Metode bunuh diri yang sering
digunakan oleh para dokter adalah overdosis obat dikarenakan pengetahuan mereka akan obat
dan dosis toksisitas dibanding dengan menggunakan senjata api.[8]

Gambar 2. Jumlah kasus bunuh diri berdasarkan tipe spesialis tenaga medis berdasarkan data
Association of American Medical Colleges (AAMC) 2016. [8]

3.4. Penyakit Komorbid

Risiko bunuh diri lebih tinggi pada pasien yang juga memiliki asma, kanker, penyakit
paru obstruktif kronis, penyakit arteri koroner, dibetes melitus, kelainan tulang punggung, stroke,
5
setelah melakukan operasi, ataupun penyakit kronis atau terminal. Berdasarkan sebuah studi
retrsopektif, sekitar 9% pasien kasus bunuh diri memiliki riwayat nyeri kronis. Tipe nyeri yang
memiliki asosiasi erat dengan bunuh diri berupa nyeri pinggang, nyeri kanker, atau artritis.
Faktor dari nyeri yang meningkatkan risiko pemikiran dan tingkah laku bunuh diri berupa nyeri
multipel, nyeri yang sangat buruk, nyeri intermiten yang bersifat episodik seperti migrain, dan
nyeri yang berlangsung lama sekitar > 3 bulan. Pada pasien-pasien tersebut, bunuh diri dilakukan
karena perasaan tanpa harapan mengenai nyeri dan keinginan untuk kabur dari rasa nyeri.[9,10]

3.5. Kesengsaraan pada Masa Kecil

Risiko bunuh diri 2-4 kali lebih tinggi pada orang dewasa yang megalami hal buruk pada
masa kecil seperti kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan emosional, dan diabaikan.[11,12]

4. Etiologi

4.1. Faktor Sosiologik: Teori Durkheim

Berdasarkan teori Durkheim, bunuh diri dikatergorikan menjadi 3 yaitu egoistik,


altruistik, dan anomik. Bunuh diri egoistik terjadi pada pasien yang tidak terintegrasi kuat ke
dalam kelompok sosial manapun. Sebagai contoh pada orang tanpa integrasi keluarga pada orang
yang tidak menikah akan lebih rentan pada bunuh diri. Komunitas di pedesaan memiliki integrasi
sosial yang lebih kuat dibanding dengan area perkotaan sehingga kasus bunuh diri lebih sedikit.
Bunuh diri altruistik terjadi pada pasien yang rentan terhadap bunuh diri karena integrasi yang
berlebih ke dalam kelompok dengan bunuh diri merupakan perkembangan inegrasi. Hal ini dapat
dilihat pada tentara Jepang yang mengorbankan hidup mereka dalam peperangan. Terakhir,
bunuh diri anomik terjadi pada pasien yang intergrasinya terganggu sehingga tidak dapat
mengikuti norma perilaku yang lazim. Pada kondisi ini, perubahan drastis situasi ekonomi
menjadi kaya membuat seseorang lebih rentan dibanding sebelumnya. Kondisi anomik ini juga
dapat mengacu pada ketidakstabilan sosial dan pecahnya standar dan nilai masyarakat.[1]

6
4.2. Faktor Psikologikal

4.2.1. Teori Freud

Freud menyatakan bahwa bunuh diri menunjukkan agresi yang dibelokkan ke dalam diri
sendiri melawan objek cinta yang diproyeksikan secara ambivalen dikatekisis. Freud meragukan
akan adanya bunuh diri tanpa keinginan untuk membunuh orang lain sebelumnya yang
terpendam. [1]

4.2.2. Teori Menninger

Karl Menninger menyatakan bahwa bunuh diri merupakan pembunuhan terbalik karena
kemarahan pasien atas orang lain. Pembunuhan retrofleksi ini di arahkan kepada diri sendiri atau
digunakan sebagai alasan untuk menghukum. Ia juga mendeskripsikan bahwa insting kematian
yang diarahkan kepada diri sendiri ditambah 3 komponen permusuhan dalam bunuh diri yaitu
keinginan untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh, dan keinginan untuk mati. [1]

4.2.3. Teori lainnya

Psikodinamika dari pasien yang ingin bunuh diri dapat dilihat dari sisi fantasi mereka
mengenai akan apa yang akan terjadi dan konsekuensi bila mereka bunuh diri. Fantasi tersebut
dapat mencangkup keinginan untuk balas dendam, kekuatan, kontrol, atau hukuman, penebusan
kesalahan, pengorbanan, ganti rugi, pelarian atau tidur, keselamatan, kelahiran kembali, reuni
dengan kematian, atau hidup baru. Pasien bunuh diri cenderung akan melakukan fantasi bunuh
diri mereka karena kehilangan objek kesayangan atau telah menerima cedera narsistik, telah
mengalami afek berbelebih sepertu kemarahan atau rasa bersalah, atau mengidentifikasi dirinya
sebagai korban bunuh diri. [1]

Percobaan bunuh diri dapat menyebabkan depresi jangka panjang untuk menghilang
terutama bila hal tersebut memenuhi kebutuhan pasien akan sebuah hukuman. Banyak pasien

7
bunuh diri mengggunakan preokupasi akan bunuh diri sebagai cara untuk menghadapi depresi
dan rasa tanpa harapan. [1]

4.3. Faktor Biologik

Kadar serotonin 5-hidroxyn-doleacetic acid (5-HIAA) yang rendah dapat berpengaruh


dalam perilaku bunuh diri. Penurunan kadar serotonin ini dapat ditemukan pada batang otak
ataupun korteks frontalis pada pemeriksaan postmortem pasien bunuh diri. Pada bagian
presinaptik dan postsinaptik juga dapat ditemukan perubahan pada reseptor yang mengikat
serotonin. [1]

5. Gejala Klinis

Parasuicide adalah perilaku mencederai diri sendiri dengan memutilasi diri, seperti
menyayat kulit, namun pasien tidak ingin mati. Perilaku parasuicide ini 50 kali lebih banyak
dibandingkan dengan populasi biasa dengan paling banyak pada grup populasi usia 20 tahun.
Sayatan yang dilakukan bersifat halus, tidak kasar, umumnya menggunakan pisau cukur, pisau,
pecahan gelas, atau cermin. Area yang sering disayat adalah pergelangan tangan, lengan, paha,
dan tungkai. Pasien-pasien tersebut mengaku bahwa mereka tidak merasakan sakit dan
melakukannya karena marah terhadap diri mereka atau orang lain, untuk meredakan ketegangan,
dan karena keinginan untuk mati. Kebanyakan pasien yang menyayat dirinya memiliki kelainan
kepribadian, secara signifikan intovert, neurotik, dan berbahaya bagi orang lain.[1]

6. Evaluasi Pasien

Tujuan dari penilaian risiko bunuh diri adalah untuk mempertimbangkan tingkat risiko
dan faktor pelindung dengan fokus mengenali hal yang dapat dimodifikasi untuk intevensi. Tidak
ada dapat yang menandakan bahwa menanyai pasien tentang bunuh diri akan menginisiasi
pemikiran atau tindakan bunuh diri. Pasien akan menghargai kesempatan untuk membicarakan
pemikirian bunuh diri dan mungkin tidak akan mengungkit hal tersebut bila tidak ditanyakan.
Salah satu petunjukan dari pasien bunuh diri adalah kunjungan ke dokter sebagai tingkah laku
mencari pertolongan, namun terkadang klinisi tidak menyadari tujuan pasien. Beberapa hal yang

8
harus dinilai pada pasien bunuh diri adalah pemikiran, metode, rencana, dan tujuan. Beberapa
sistem penilaian risiko bunuh diri sudah distandarisasi, namun tidak ada yang memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. [13,14,15,16]

Salah satu sistem penilaian yang sering digunakan adalah skala tingkat depresi, yaitu
Patient Health Questionnaire 9 (PHQ-9), namun hal ini lebih baik digunakan untuk mengetahui
tingkat depresi dibanding mengukur risiko bunuh diri. Dalam interpretasi hasil PHQ-9,
pertimbangkan kelaianan depresif bila didapatkan 4 centang pada area gelap. Pertimbangkan
Gangguan Depresi Mayor bila didapatkan 5 centang pada area gelap. Pertimbangkan gangguan
depresi lainnya bila didapatkan 2 - 4 centang pada area gelap. Skor total 1-4 menandakan depresi
minimal dengan saran tatalaksana tidak ada. Skor 5-9 menandakan depresi ringan dengan saran
tatalaksana amati pasien dan ulang PHQ-9 pada follow up. Skor 10-14 menandakan depresi
sedang dengan saran untuk mempertimbangkan kounseling, follow up, dan atau farmakoterapi.
Skor 15-19 menandakan depresi sedang berat dengan saran tatalaksana aktif menggunakan
farmakoterapi dan atau psikoterapi. Skor 20-27 menandakan depresi berat dengan saran inisiasi
segera farmakoterapi dan bila ditemukan kelainan buruk atau respon buruk terhadap terapi maka
pasien dapat dirujuk menuju psikiatri unutk psikoterapi dan atau tatalaksana kolaborasi. [15,16]

Pilihan lain adalah dengan menggunakan Beck Hopelessness Scale untuk


mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi bunuh diri dan lebih berhubungan dengan usaha
bunuh diri dibandingn dengan keparahan depresi. Dalam interprestasinya. total skor 0-3
menandakan keputusasaan minimal, skor 4-8 menandakan keputusasaan ringan, skor 9-14
menandakan keputusasaan sedang, dan skor 15-20 menandakan keputusasaan berat. [15,16]

9
Gambar 3. Patient Health Questionnaire 9 (PHQ-9).[15]

10
Gambar 4. Beck Hopelessness Scale.[16]

6.1. Ide dan Tingkah Laku Bunuh Diri

Langkah pertama dalam mengevaluasi risiko bunuh diri adalah dengan


mempertimbangkan adanya pemikiran bunuh diri termasuk isi dan lama. Beberapa pemikiran
tersebut dapat berupa: [13,14,17]

11
a. Pemikiran bunuh diri aktif, dimana pasien berpikiran untuk mengakhiri hidupnya
seperti dengan kata-kata, “Aku ingin membunuh diriku.” atau, “Aku ingin
mengakhiri hidupku.”
b. Pemikiran bunuh diri pasif, dimana pasien berharap kematian akan mendatanginya
seperti “Aku lebih baik mati.”, “Keluargaku akan menjadi lebih baik bila aku mati.”
atau “Aku harap aku tidur dan tidak pernah bangun lagi.”

Apa bila ditemukan pemikiran bunuh diri, maka klinisi harus menanyakan apakah
pemikiran tersebut baru, perubahan yang ada seperti menjadi lebih sering, dan bagaimana pasien
mengontrol pemikiran tersebut. Perlu ditanyakan juga apa ekspektasi pasien dari kematian
seperti bertemu dengan orang lain yang sudah mati, pemikiran untuk menghukum orang lain,
perlunya untuk lari dari situasi fisik atau psikir yang menyakitkan, atau pemikiran untuk
menyakiti orang lain terlebih dahulu sebelum dirinya sendiri. Beberapa pertanyaan yang dapat
digunakan berupa: [13,14,17]

 Apakah anda sudah membuat sebuah rencana atau menanamkannya, termasuk


metode spesifik, waktu, dan tempat? Apa yang hasil yang diharapkan dari rencana
tersebut?
 Apakah cara bunuh diri tersebut sudah ada atau dapat dengan mudah diakses?
Apakah anda tau cara menggunakan alat – alat tersebut?
 Seberapa letal rencana tersebut? Apakah konsep letal dari pasien berbeda dengan
tingkat letal yang objektif?
 Seberapa mungkin terjadinya penyelamatan?
 Apa saja persiapan yang sudah dilakukan (seperti mengumpulkan pil, mengubah
surat wasiat, catatan bunuh diri) atau seberapa dekat pasien dari menyempurnakan
rencana? Apakah pasien sudah berlatih melakukan bunuh diri atau sudah
melakukan percobaan?
 Seberapa besar keinginan pasien melaksanakan pemikiran dan rencana bunuh
dirinya?
 Apakah ada riwayat tingkah laku impulsif atau penggunaan zat yang
meningkatkan impusivitas? Seberapa mampu pasien mengendalikan impulsivitas?
 Seberapa mudah dukungan dapat dicapai dan stressor baru apa yang mengancam
kemampuan pasien untuk menangani kesulitan dan kemampuan untuk melakukan
rencana tatalaksana?

12
Beberapa hal yang juga perlu ditanyakan adalah adanya riwayat pada dirinya dan
keluarga pemikiran atau tingkah laku ingin bunuh diri sebelumnya. Klinisi pada umumnya akan
meminta pasien untuk setuju dengan Contract of Safety atau No Harm Contract sehingga pasien
dapat berjanji pada klinisi untuk tidak mencoba menyakiti diri mereka ketika meraka memiliki
pemikiran bunuh diri dan mencari pertolongan bila diperlukan. Meskipun kontrak tersebut
banyak digunakan, namun hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa hal tersebut
mengurangi bunuh diri sehingga kontrak tersebut hanya memberikan rasa keamanan yang palsu.
[13,14,17]

7. Tatalaksana

7.1. Stabilisasi Medis

7.1.1. Rawat Inap dan Rawat Jalan

Penanganan utama pasien yang sudah melakukan percobaan bunuh diri adalah stabilisasi
medis di Rumah Sakit. Pasien dengan trauma ditatalaksana dengan prosedur surgical yang sesuai
dan pasien yang mencoba menelan obat-obatan ditatalaksana dengan dekontaminasi dan
pemberian antidote. Pasien yang sudah melakukan percobaan bunuh diri atau dengan risiko
tinggi bunuh diri, dapat dirawat inap untuk evaluasi lebih lanjut dan inisiasi awal dari terapi.
Beberapa hal berisiko tinggi bunuh diri pada pasien berupa percobaan bunuh diri dengan cara
yang sangat letal seperti menggantung diri atau dengan senjata api, percobaan bunuh diri dsertai
dengan cara untuk menghindari deteksi, berlangsungnya pemikiran bunuh diri atau kekecewaan
percobaan bunuh diri tidak berhasil, tidak dapat diskusi secara terbuka dan jujur mengenai
percobaan bunuh diri, tidak dapat diskusi rencana keselamatan, tidak adanya alternatif untuk
pemantauan dan tatalaksana yang adekuat, agitasi, keputusasaan berat, dukungan sosial yang
buruk, dan kelainan psikiatri yang mengebabkan pemikiran dan tingkah laku bunuh diri.
Kelainan psikiatri tersebut dapat berupa kelainan ansietas, kelainan bipolar, kelainan borderline,
PTSD, skizofrenia, ataupun penyalahgunaan obat-obatan.[18]

Selama menunggu perawatan, pasien harus berada di rungan dengan segala benda
berpotensi bahaya termasuk barang-barang personal disingkirkan dan adanya staf yang
mengamati secara konstan. Bila diperlukan maka pihak keamaanan dapat digunakan untuk

13
menahan pasien yang berniat pergi. Keluarga pasien dapat hadir bila pasien menginginkannya.
Pemindahan pasien harus dengan menggunakan ambulans didampingi dengan paramedis yang
sudah paham akan kondisi risiko bunuh diri pasien. [18]

Pasien dengan risiko bunuh diri yang meningkat namun tidak segera, seperti pasien
dengan depresi yang ingin bunuh diri namun tidak mempunyai rencana spesifik atau niat, dapat
ditatalaksana dengan perawatan sehari atau terapi rawat jalan. Intervensi yang dapat dilakukan
pada terapi rawat jalan berupa: [18]

 Melibatkan anggota keluarga atau orang dekat pasien untuk memantau pasien
sampai keamanan dapat dicapai. Mereka harus memiliki akses medis 24 jam bila
diperlukan.
 Membatasi akses terhadap benda-benda letal yang dapat digunakan untuk bunuh
diri terutama senjata api dan obat-obatan.
 Berkomunikasi dengan pasien dan membuat jadwal kunjungan yang cukup
supaya pasien merasa terhubung dan didukung
 Mengenali dan menjauhi pemicu terjadinya pemikiran bunuh diri
 Membuat strategi spesifik untuk mengatasi dan kegiatan sehat untuk mengalihkan
pasien dari pemikiran bunuh diri
 Menangani kelainan psikiatri dengan agresif

7.2. Safety Plan

Klinisi harus mendiskusikan Safety Plan, atau rencana keselamatan, yang


mendeskripsikan bagaimana pasien dapat mengatasi keinginan bunuh diri berulang yang akan
datang. Selain besifat terapeutik, rencana keselamatan dapat digunakan untuk mengetahui
seberapa jauh pasien berkomitmen untuk tetap aman dan mengetahui lebih banyak mengenai
risiko bunuh diri pasien.[18]

14
Gambar 5. Safety Plan Brown-Stanley.[18]

7.3. Tatalaksana Faktor Penyebab dan Kelainan Psikiatri

Setelah keamanan pasien sudah terjamin, klinisi harus mencari faktor penyebab seperti
kejadian yang dialami pasien. Kejadian-kejadian tersebut dapat berupa meninggalnya orang
disayangi, kehilangan pekerjaan, putus cinta atau perceraian, gagal dalam sekolah atau sosial,

15
krisis identitas seksual, atau trauma. Bunuh diri juga dapat menjadi alternatif bagi pasien dari
kondisi kehidupan yang tidak dapat ditoleransi seperti stres pekerjaan, isolasi kronis, ataupun
hubungan yang tidak sehat. Klinisi juga harus memastikan bahwa pasien mendapatkan
tatalaksana kelainan psikiatri yang adekuat.[17,18]

7.3.1. Farmakoterapi

Pasien dengan depresi mayor unipolar atau kelainan bipolar dapat ditatalaksana dengan
lithium dalam pencegahan bunuh diri. Lithium dapat diberikan sebagai monoterapi atau
bersamaan dengan farmakoterapi lainnya dan atau psikoterapi. Target dari kadar lithium dalam
serum adalah 0,5 – 1 mEq/L atau 0,5 – 1 mmol/L. Pemakaian lithium juga dapat mencegah
rekurensi dari perubahan mood dan mengurangi agresi atau impulsif.[19,20]

Pasien depresi yang sudah pernah mengekspresikan pemikiran bunuh diri harus menjauhi
antidepresan trisiklik dan inhibitor oksidase monoamin karena sifatnya yang letal dalam dosis
tinggi. Pilihan utama pada pasien depresi dengan potensi bunuh diri adalah SSRI. Pasien dengan
pemikiran bunuh diri yang memiliki risiko overdose perlu untuk dirawat inap. Umumnya, pasien
bunuh diri mengalami kelainan psikiatri dikarenakan tatalaksana yang tidak cukup. [19,20]

Pasien yang sedang mengalami krisis karena ditinggal mati oleh seseorang atau baru saja
melalui suatu kejadian, teritama bila tidur pasien terganggu, akan dapat berfungsi dengan lebih
baik setelah mendapatkan obat penenang ringan. Pilihan utama obat pada pasien tersebut adalah
golongan benzodiazepin seperti lorazepam sebanyak 3 x 1 mg selama 2 minggu. Benzodiazepin
tersebut harus diberikan sedikit-sedikit dan dengan rutin kontrol beberapa hari kemudian karena
penggunaannya dapat meningkatkan iritabilitas pasien. Umumnya antidepresan tidak diberikan
pada Unit Gawat Darurat meskipun obat tersebut merupakan pilihan utama pada pasien dengan
kecenderungan bunuh diri. Pasien yang diberikan antidepresan pada IGD harus langsung kontrol
di keesokan harinya. [1,19,20]

Pasien yang datang dengan perilaku agresif dapat diberikan antipsikosis potensi tinggi
dalam dosis rendah yaitu haloperidol 5 – 10 mg, antipsikotik atipikal yaitu resperidon atau
olanzepin, atau injeksi benzodiazepin yaitu lorazepam 2 – 4 mg atau diazepam 5 – 10 mg. Bila
dalam waktu 20 – 30 menit pasien masih tetap gelisah maka pasien dapat diberikan obat dengan

16
dosis yang sama. Kombinasi dari antipsikosis dengan benzodiazepin dapat memberikan hasil
yang lebih efektif. [1,19,20]

7.3.2. Psikoterapi

Psikoterapi pada pasien yang sudah pernah mencoba bunuh diri dapat mencegah
percobaan lagi dalam waktu dekat. Psikoterapi dapat terdiri dari 8 – 10 sesi yang terdiri dari sesi
cognitive-behavioral therapy (CBT), terapi penyelsaian masalah, dialect behaviour therapy
(DBT), dan psikoterapi psikodinamik. Tatalaksana aktif utama yang efektif dalam memperbaiki
depresi, termasuk keputusasaan dan pemikiran bunuh diri, adalah CBT. Sebuah randomized trial
padaa 120 pasien membuktikan bahwa CBT selama 10 sesi mingguan dapat menurunkan
percobaan bunuh diri.[21]

7.3.3. Terapi Elektrokonvulsif

Pasien depresi berat yang ingin bunuh diri dapat diberikan terapi elektrokonvulsi (ECT)
dapat memberikan terapi yang menyelamatkan nyawa jangka pendek. Berdasarkan American
Psychiatric Association, ECT dapat diberikan pada pasien dengan kelainan depresi mayor dengan
gejala psikotik atau katatonia dan pada pasien yang membutuhkan respon cepat. Berdasarkan
beberapa penelitian, ECT juga dapat memberikan resolusi cepat dari gejala bunuh diri pada
pasien dengan kelainan depresi mayor, serangan manik, depresi pada bipolar tipe 1, PTSD, dan
skizofrenia akut. ECT disarankan kepada pasien yang membutuhkan tatalaksana dengan cepat.
Beberapa indikasi yang harus dipertimbangkan ketika menggunakan ECT pada pasien bunuh diri
adalah tingkat keseriusan niat bunuh diri pasien, risiko bunuh diri jangka pendek, atau butuhnya
tatalaksana gawat darurat.[23]

7.4. Pemantauan dan Follow up

Pasien dengan risiko bunuh diri harus di pantau dengan rutin dengan mengingat bahwa
tingkat risiko bunuh diri pada pasien dapat berfluktuasi sesuai dengan perubahan kondisi pasien.
Dalam memantau pasien, klinisi harus mempertimbangkan adanya kejadian yang dapat memicu

17
pemikiran atau adanya kelaianan mental. Klinisi juga harus memastikan pasien terlibat secara
aktif pada tatalaksana kelainan mental yang ada dan mendapatkan tatalaksana maintenance untuk
mencegah timbulnya serangan depresi unipolar, kelainan bipolar, kelainan ansietas, kelainan
psikotik, dan penyalahgunaan zat.[22]

Risiko bunuh diri meningkat beberapa hari sampai minggu setelah perawatan di rumah
sakit karena kelainan psikiatri, terutama pada 1 minggu pertama. Risiko tersebut akan bertambah
bila pasien kehilangan sistem support termasuk kontak dengan tenaga kerja profesional
kesehatan mental. Maka dari itu, follow up pertama harus dijadwalkan setelah selesai perawatan
di rumah sakit. [22]

Pada masa-masa setelah perawatan tersebut pasien juga memiliki risiko ketidakpatuhan
berobat yang dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Ketidakpatuhan ini dapat disebabkan oleh
efek samping, kurangnya perbaikan gejala, tidak memahami manfaat dari pengobatan, atau
kegagalan untuk mengenali konsekuensinya. Untuk menanganinya, klinisi dapat melakukan
program penjangkauan ke komunitas dengan tegas terhadap pasien yang tidak patuh terhadap
pengobatan atau janji konsultasi.[22]

18
Daftar Pustaka

1. Sadock B, Sadock V, Ruiz P, Kaplan H. Kaplan & Sadock's synopsis of psychiatry.


Philadelphia, Pa: Wolters Kluwer; 2015.
2. WHO. Preventing Suicide: A Gloval Imperative. Geneva: WHO; 2014.
3. Nock MK. Self-injury. Annu Rev Clin Psychol 2010; 6:339.
4. Palmer BA, Pankratz VS, Bostwick JM. The lifetime risk of suicide in schizophrenia: a
reexamination. Arch Gen Psychiatry 2005; 62:247.
5. Sareen J, Cox BJ, Afifi TO, et al. Anxiety disorders and risk for suicidal ideation and
suicide attempts: a population-based longitudinal study of adults. Arch Gen Psychiatry
2005; 62:1249.
6. Kyung-Sook W, SangSoo S, Sangjin S, Young-Jeon S. Marital status integration and
suicide: A metaanalysis and meta-regression. Soc Sci Med 2018; 197:116.
7. Milner A, Spittal MJ, Pirkis J, LaMontagne AD. Suicide by occupation: systematic
review and metaanalysis. Br J Psychiatry 2013; 203:409.
8. Schernhammer ES, Colditz GA. Suicide rates among physicians: a quantitative and
gender assessment (meta-analysis). Am J Psychiatry 2004; 161:2295.
9. Crump C, Sundquist K, Sundquist J, Winkleby MA. Sociodemographic, psychiatric and
somatic risk factors for suicide: a Swedish national cohort study. Psychol Med 2014;
44:279.
10. Petrosky E, Harpaz R, Fowler KA, et al. Chronic Pain Among Suicide Decedents, 2003
to 2014: Findings From the National Violent Death Reporting System. Ann Intern Med
2018; 169:448.
11. Zatti C, Rosa V, Barros A, et al. Childhood trauma and suicide attempt: A meta-analysis
of longitudinal studies from the last decade. Psychiatry Res 2017; 256:353.
12. Devries KM, Mak JY, Child JC, et al. Childhood sexual abuse and suicidal behavior: a
meta-analysis. Pediatrics 2014; 133:e1331.
13. Dazzi T, Gribble R, Wessely S, Fear NT. Does asking about suicide and related
behaviours induce suicidal ideation? What is the evidence? Psychol Med 2014; 44:3361.
14. Pirkis J, Burgess P, Jolley D. Suicide among psychiatric patients: a case-control study.
Aust N Z J Psychiatry 2002; 36:86.
15. Simon GE, Rutter CM, Peterson D, et al. Does response on the PHQ-9 Depression
Questionnaire predict subsequent suicide attempt or suicide death? Psychiatr Serv 2013;
64:1195.
16. McMillan D, Gilbody S, Beresford E, Neilly L. Can we predict suicide and non-fatal self-
harm with the Beck Hopelessness Scale? A meta-analysis. Psychol Med 2007; 37:769.

19
17. Silverman JJ, Galanter M, Jackson-Triche M, et al. The American Psychiatric Association
Practice Guidelines for the Psychiatric Evaluation of Adults. Am J Psychiatry 2015;
172:798.
18. Practice guideline for the assessment and treatment of patients with suicidal behaviors.
Am J Psychiatry 2003; 160:1.
19. Cipriani A, Hawton K, Stockton S, Geddes JR. Lithium in the prevention of suicide in
mood disorders: updated systematic review and meta-analysis. BMJ 2013; 346:f3646.
20. Kragh-Sørensen P. Pharmacotherapy of the suicidal patient. Acta Psychiatr Scand Suppl
1993; 371:57
21. Hawton K, Witt KG, Salisbury TL, et al. Psychosocial interventions following self-harm
in adults: a systematic review and meta-analysis. Lancet Psychiatry 2016; 3:740.
22. Olfson M, Marcus SC, Bridge JA. Focusing suicide prevention on periods of high risk.
JAMA 2014; 311:1107.
23. Oji C, Moore T, Gutierrez C. A review of electroconvulsive therapy in suicidality. Mental
Health Clinician. 2015;5(5):212-215.

20

Anda mungkin juga menyukai