Status Generalis
Kepala : Normochepal, rambut hitam, distribusi merata, terdapat luka robek berukuran
berukuran 2 x 7 cm di kepala kanan belakang, tepi tidak rata, tidak terdapat nanah
Mata : Pupil isokor Ø 3mm, reflek cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-)
Telinga : Tidak dilakukan
Hidung : Deformitas (-), Septum ditengah, simetris, Mukosa hidung tidak hiperemis
Mulut : faring tidak hiperemis, tonsil t1-t1
Thorax
Cor : BJ I-II murni, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+), normoperistaltik
Ektremitas atas : akral hangat +/+, edema -/-. varises -/-, luka -/-
Ektremitas bawah : akral hangat +/+, edema -/-, varises -/-, luka -/-
Kulit
Warna : Sawo matang
Pertumbuhan rambut : Normal
Suhu raba : Normal, kulit lembab
Turgor : Baik
Ikterus : Tidak ada
D, PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Status Neurologis
Saraf Kranial
Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil Baik Baik
Nyeri Baik Baik
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks
Kanan Kiri
Biceps ++ ++
Triceps ++ ++
Brachoradialis ++ ++
Hoffman-Trommer - -
Ekstremitas bawah
Motorik
Kanan Kiri
Pergerakan Tidak ada Tidak ada kelainan
kelainan
Kekuatan 5555 5555
Tonus Normotonus Normotonus
Atrofi - -
Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil Baik Baik
Nyeri Baik Baik
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks
Kanan Kiri
Patella ++ ++
Achilles ++ ++
Babinski - -
Koordinasi, gait dan keseimbangan
Cara berjalan Melambat
Gerakan-gerakan abnormal
Tremor Positif
Mioklon Negatif
i
Khorea Negatif
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Radiologi CT Scan
Rontgen Thorax
C. DIAGNOSTIK
DIAGNOSA KLINIS : Penurunan kesadaran
DIAGNOSIS TOPIS : Intrakranial
DIAGNOSA Etiologi : Cedera Kepala Sedang
Tata laksana
Medikamentosa
• Betahistin 3x1
• Flunarizin 1x1
• Laxadin Syr 3x1
• Sucralfat Syr 3x1
• Ibuprofen 3x1
• Ramipril 1x5
• Miniaspilet 1x80
• Simvastatin 1x20
• Concorr 1x2.5
• Bicnat 3x1
Non Medikamentosa
D. PROGNOSIS
Definisi
Cedera kepala secara harfiah bermakna cedera pada kepala, namun hakekatnya definisi tersebut
tidak sesederhana itu karena cedera kepala dapat meliputi cedera pada kulit kepala, tulang
tengkorak, jaringan otak, atau kombinasi dari masing-masing bagian tersebut. Pada bidang ilmu
penyakit saraf lebih dititikberatkan pada cedera terhadap jaringan otak, selaput otak, dan
pembuluh darah otak, sebagai akibat adanya kekuatan mekanik dari luar, yang menyebabkan
gangguan temporer atau permanen dalam hal fungsi kognitif, fisik, dan fungsi psikososial,
dengan disertai penurunan atau hilangnya kesadaran (Ashley, 2004; Whjoepramono, 2005).
Anatomi Kepala
a. Kulit Kepala
Patofisiologi
Cedera kranioserebral termasuk dalam ruang lingkup cabang ilmu naurotraumatologi, yang
mempelajari/meneliti pengaruh trauma terhadap sel otak secara struktural maupun fungsional dan
akibatnya baik pada masa akut (kerusakan primer) maupun sesudahnya (kerusakan sekunder).
Berdasarkan patofisiologinya, cedera kepala, dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera
kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan
dengan kejadian cedera. Cedera ini umumnya menimbulkan kerusakan pada tengkorak, otak,
pembuluh darah, dan struktur pendukungnya (Cunning & Houdek, 1998). Cedera kepala
sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik. Pada cedera kepala sekunder pasien mengalami hipoksia, hipotensi, asidosis dan
penurunan suplay oksigen otak (LeJeune & Tamara, 2002). Lebih lanjut keadaan ini
menimbulkan edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai adanya
penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, dan nyeri kepala. Masalah utama yang
sering terjadi pada cedera kepala adalah adanya perdarahan, edema serebri, dan peningkatan
tekanan intrakranial.
Perdarahan serebral
Cedera kepala dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah otak yang menimbulkan
perdarahan serebral. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematoma seperti pada epidural
hematoma yaitu berkumpulnya darah di antara lapisan periosteum tengkorak dengan duramater
akibat pecahnya pembuluh darah yang paling sering adalah arteri media meningial. Subdural
hematoma adalah berkumpulnya darah di ruang antara duramater dengan subarahnoid. Sementara
intracereberal hematoma adalah berkumpulnya darah pada jaringan serebral (Black & Hawks,
2009). Perdarahan serebral pada jumlah yang relatif sedikit akan dapat diabsorpsi, akan tetapi
apabila perdarahan lebih dari 50 cc akan sulit diabsorpsi dan menyebabkan gangguan perfusi
jaringan otak.
Edema serebri
Edema merupakan keadaan abnormal saat terjadi penimbunan cairan dalam ruang intraseluler,
ekstraseluler atau keduanya. Edema dapat terjadi pada 2 sampai 4 hari setelah trauma kepala.
Edema serebral merupakan keadaan yang serius karena dapat menimbulkan peningkatan tekanan
intrakranial dan perfusi jaringan serebral yang kemudian dapat berkembang menjadi herniasi dan
infark serebral. Ada 3 tipe edema serebral, yaitu: edema vasogenik, sitogenik dan interstisial.
Edema vasogenik merupakan edema serebral yang terjadi karena adanya peningkatan
permeabilitas pembuluh darah sehingga plasma dapat dengan mudah keluar ke ekstravaskuler.
Edema sitogenik yaitu adanya peningkatan cairan yang terjadi pada sel saraf, sel glia dan endotel.
Edema ini terjadi karena kegagalan pompa sodium-potasium, natrium-kalium yang biasanya
terjadi bersamaan dengan episode hipoksia dan anoksia. Sedangkan edema interstitial terjadi saat
cairan banyak terdapat pada periventrikular yang terjadi akibat peningkatan tekanan yang besar
sehingga tekanan cairan yang ada jaringan ependimal akan masuk ke periventrikuler white matter
(Hickey, 2003).
Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan yang terjadi dalam ruang atau rongga tengkorak.
Rongga otak merupakan ruang tertutup yang terdiri atas darah dan pembuluh darah, cairan
cerebrospinalis, dan jaringan otak dengan komposisi volume yang relatif konstan. Jika terjadi
peningkatan salah satu atau lebih dari komponen tersebut, maka secara fisiologis akan terjadi
proses kompensasi agar volume otak tetap konstan (Brunner & Suddarth’s, 2004; Little, 2008).
Pasien dengan cedera kepala dapat mengalami edema serebri atau perdarahan cerebral. Hal ini
berarti akan terjadi penambahan volume otak yang apabila melebihi ambang kompensasi, maka
akan menimbulkan desakan atau herniasi dan gangguan perfusi jaringan serebral. Keadaan
herniasi serebral merupakan kondisi yang mengancam kehidupan karena dapat menekan organ-
organ vital otak, seperti batang otak yang mengatur kesadaran, pengaturan pernapasan maupun
kardiovaskuler (Amminoff et al, 2005).
Klasifikasi cedera kepala dapat dilakukan dengan berbagai cara pembagian, namun yang sering
digunakan adalah berdasarkan keadaan klinis dan patologis (primer atau sekunder seperti
dijelaskan di atas). Untuk klasifikasi berdasarkan keadaan klinis didasarkan pada kesadaran
pasien yang dalam hal ini menggunakan Glasgow coma scale (GCS) sebagai patokannya.
Terdapat tiga kategori yaitu CKR (GCS: 14-15), CKS (GCS: 9-13), dan CKB (GCS ≤ 8)
(Greenberg, 2001). Tujuan klasifikasi tersebut adalah untuk pedoman triase di gawat darurat.
Adapun pembagian cedera kepala menurut Perdossi (2006) adalah sebagai berikut:
GCS = 15
GCS = 13-15
Sedang (Moderate head injury) Kehilangan kesadaran antara >10 menit sampai 6
jam
Terdapat lesi operatif intrakranial atau abnormal
CT Scan
GCS = 9-12
abnormal CT Scan
GCS = 3-8
Adapun bila didapat penurunan kesadaran lebih dari 24 jam disertai defisit neurologis dan
abnormalitas CT Scan berupa perdarahan intrakranial, penderita dimasukkan klasifikasi cedera
kepala berat (Perdossi, 2006).
Klasifikasi lain berdasarkan lama amnesia pascacidera (APC) diperkenalkan oleh Russel dalam
Jennett & Teasdale. Klasifikasi ini bisa dikombinasikan dengan klasifikasi berdasarkan klinis
GCS.
Gejala Klinis
Patologi dan gejala klinik yang terjadi pada cedera kepala adalah:
• Hematoma Ekstradural/Epidural (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula
interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau temporal-parietal dan sering
akibat robeknya pembuluh meningeal media. Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi
hiperdens (gambaran darah intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Gejala klinisnya adalah lucid interval, yaitu selang waktu antara
pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan kesadaran yang
terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang dari 24 jam. Gejala
perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai
oleh anisokoria pada mata ke sisi akibat herniasi unkal dan mungkin terjadi hemiparese
kontralateral dengan refleks patologis Babinski positif yang terjadi terlambat. Kadang-kadang,
hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau
fossa posterior. Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala
khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa hari
(Greenberg,2001).
• Hematoma Subdural (SDH)
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Terjadi akibat robeknya
vena-vena jembatan, sinus venosus dura mater atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di
antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan kronik. Gejala klinis berupa nyeri
kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan
otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa
lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma)
subdural.
• Edema Serebri Traumatik
Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di batang otak dengan
akibat tonus dinding pembuluh darah menurun, sehingga cairan lebih mudah menembus
dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang dapat menimbulkan kelainan langsung pada
dinding pembuluh darah sehingga menjadi lebih permeabel. Hasil akhirnya akan terjadi edema.
• Cedera Otak Difus
Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim otak, disertai edema.
Keadaan pasien umumnya buruk. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia,
iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah
trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran
edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur.
Pemeriksaan Penunjang
a) Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi
indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm,Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum,
Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal
neurologis,Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnosa
foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur
depresi maka dilakukan foto polos posisi AP/lateraldan oblique.
b)CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1. Nyeri kepala menetap atau muntah ± muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat±obatan analgesia/anti muntah.
2. Adanya kejang ± kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial
dibandingkan dengan kejang general.
3. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor ± faktor ekstracranial telah disingkirkan
(karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).
4. Adanya lateralisasi.
5. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
7. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk
mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan
otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat(ariwibowo, 2008).
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting
untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak (ariwibowo, 2008).
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain:
a.Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b.Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c.Penurunan tingkat kesadaran
d.Nyeri kepala sedang hingga berat
e.Intoksikasi alkohol atau obat
f.Fraktura tengkorak
g.Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h.Cedera penyerta yang jelas
i. CT scan abnormal
Terapi medika mentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan
suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa
pemberian cairan intravena, hiperventilasi,pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan
antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif.
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuro radiologi
dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:
a. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
b. Dari 20 cc di daerah infratentorial
c. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
d. Tanda fokal neurologis semakin berat
e. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
f. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
g. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
h. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
i. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
j. Terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)
Prognosis
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang
agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita yang
berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera
kepala (American college of surgeon,1997).
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat mempengaruhi
kondisi kedepannya bagi penderita.
Kesimpulan
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan
otak yang terjadi.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer
yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder yang terjadi
akibat berbagai prosese patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer.Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi yaitu
berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi dari
beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala, yang
walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun merupakan penyebab kecacatan yang
akan menetap seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi
tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar
(difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara,
penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan
pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan.
Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama
lainnya, semakin berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjahrir H, Nasution D, Gofir A. Parkinson’s Disease & Other Movement Disorders. Pustaka
Cedekia dan Departemen Neurologi FK USU Medan. 2007. Hal 4-53.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Penyakit Parkinson. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. FKUI. 2007. Hal 1373-1377.
3. Antonina K, et al. Parkinson’s Disease: Etiology, Neuropathology, and Pathogenesis.
Brisbane (AU) Codon Publications. 2018.
4. Price SA, Wilson LM, Hartwig MS. Gangguan Neurologis dengan Simtomatologi
Generalisata. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Vol 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. Hal 1139-1144.
5. Bhat S, et al. Parkinson's disease: Cause factors, measurable indicators, and early diagnosis.
Computers in Biology and Medicine. 2018
6. Duus Peter. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda dan Gejala Edisi II.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1996. Hal 231-243.
7. Harsono. Penyakit Parkinson. Buku Ajar Neurologis Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia dan UGM. 2008. Hal 233-243.
8. Massano J, et al. Clinical Approach to Parkinson's Disease: Features, Diagnosis, and
Principles of Management. Cold Spring Harb Perspect Med. 2012.
9. George DM, et al. Parkinson’s Disease and Its Management. PT. 2015 Aug; 40(8): 504-510,
532.
10. Rizek P, et al. An update on the diagnosis and treatment of Parkinson disease. CMAJ. 2016
Nov 1; 188(16): 1157–1165.
11. Michael T, et al. Parkinson's Disease and Parkinsonism. The American Journal of Medicine.
2019 July; 132(7): 802-807.
12. Stephen G, et al. Parkinson’s Disease. Medical Clinics of North America. 2019 March;
103(2): 337-350.