Anda di halaman 1dari 22

Keluhan Utama

Pasien datang dengan penurunan kesadaran sejak 1 jam SMRS


Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Cengkareng diantar oleh keluarga dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak 1 jam SMRS. Terdapat luka pada belakang kepala kanan karena jatuh
terkena ujung kursi kayu yang tajam, pingsan (+), nyeri kepala (+) tidak berputar,muntah 3 kali
berisi makanan , kejang (-) ,muntah darah (-), keluar darah dari hidung dan telinga (-)
Setelah sadar, pasien mengatakan merasa sempoyongan saat berjalan dan pandangan tiba-
tiba menjadi gelap kemudian jatuh dengan posisi miring ke kanan, kepala terkena benturan ujung
kursi kayu dan terdapat luka robek pada bagian kepala kanan.
Sebelum ke RSUD Cengkareng pasien sempat dibawa ke RS Cinta Kasih Tzu Chi, tetapi
karena tidak ada CT Scan , pasien langsung di bawa ke RSUD Cengkareng. Riwayat demam,
penurunan kesadaran, muntah, kejang, sakit kepala, gangguan penglihatan, dan sesak sebelumnya
disangkal. Riwayat jatuh dan trauma kepala sebelumnya (-)
1 minggu SMRS pasien sempat dirawat di RS Cinta Kasih Tzu Chi, karena sesak
memberat kurang lebih 2 minggu, nyeri kepala terasa pada seluruh kepala, pusing berputar (-),
nyeri kepala terus menerus, sudah berobat tetapi belum ada perbaikan. Pasien mengatakan kurang
lebih 1 minggu batuk berdahak putih, pilek dan tenggorokan nyeri saat menelan, perut terasa
melilit. Saat dirawat, dilakukan pemeriksaan rontgen dada. Hasil: cor ukuran membesar. Paru :
terdapat infiltrate di lapangan tengah paru kanan. Pemeriksaan MTB : Non detected
Januari tahun 2021, pasien mengatakan, dada kiri terasa panas, dada ditekan dan membaik
saat istirahat. Pasien mengatakan sebelumnya tidak pernah dirawat hanya berobat di Klinik,
dilakukan pemeriksaan rontgen dan didapatkan ada pembengkakkan jantung. Saat itu pasien tidak
rutin untuk berobat sampai saat ini

Riwayat Penyakit Dahulu


(-) Hipertensi (-) Diabetes Melitus (+) Penyakit Jantung
(-) Kelainan Ginjal (-) Penyakit paru (-) Alergi
(-) Tumor (-) Trauma

Riwayat Penyakit Keluarga


(-) Hipertensi (-) Diabetes Melitus (-) Kelainan Jantung
(-) Kelainan Ginjal (-) Penyakit paru (-) Alergi
(-) Tumor (-) Trauma
Riwayat Sosial Pribadi
Pasien tinggal bersama kedua anaknya, riwayat merokok (-), minuman beralkohol (-)
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun obat-obatan
A. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : CM, GSC E4M6V5 = 15
Tekanan darah : 100/70mmHg
Frekuensi Nadi : 68 x/min
Frekuensi Nafas : 23 kali/menit
SpO2 : 98%
Suhu : 36,4oC
Berat Badan : 60 kg

Status Generalis
Kepala : Normochepal, rambut hitam, distribusi merata, terdapat luka robek berukuran
berukuran 2 x 7 cm di kepala kanan belakang, tepi tidak rata, tidak terdapat nanah
Mata : Pupil isokor Ø 3mm, reflek cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-)
Telinga : Tidak dilakukan
Hidung : Deformitas (-), Septum ditengah, simetris, Mukosa hidung tidak hiperemis
Mulut : faring tidak hiperemis, tonsil t1-t1
Thorax
Cor : BJ I-II murni, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Suara napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+), normoperistaltik
Ektremitas atas : akral hangat +/+, edema -/-. varises -/-, luka -/-
Ektremitas bawah : akral hangat +/+, edema -/-, varises -/-, luka -/-
Kulit
Warna : Sawo matang
Pertumbuhan rambut : Normal
Suhu raba : Normal, kulit lembab
Turgor : Baik
Ikterus : Tidak ada

D, PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Status Neurologis

a. Glasgow Coma Scale : E: 4 M: 6 V: 5


b. Cara berjalan : Baik
c. Tonus : rigiditas pada telapak tangan sinistra, cogwheel
phenomenon (-)
d. Refleks khusus : Myerson’s sign (-)
e. Wajah : Masking face (-)
f. Tanda Rangsangan Meningeal
1. Kaku kuduk :-
2. Laseque : -/-
3. Kernig : -/-
4. Brudzinsky I : Negatif
5. Brudzinsky II : Negatif

Saraf Kranial

N I. (Olfaktorius) Kanan Kiri


Subjektif normosmia normosmia
Dengan bahan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N II. (Optikus)
Tajam penglihatan Normal normal
Lapangan penglihatan Normal normal
Melihat warna Normal normal
Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N III. (Okulomotorius)
Sela mata Baik Baik
Pergerakan bola mata Baik Baik
Strabismus (-) (-)
Nistagmus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Eksoftalmus (-) (-)
Pupil, Bentuk pupil Bulat Bulat
Reflex terhadap sinar Langsung : (+) Langsung : (+)
Tidak langsung: (+) Tidak langsung: (+)
Diplopia Tidak ada Tidak ada
N IV. (Troklearis)
Pergerakan mata Baik Baik
( kebawah-dalam )
Strabismus (-) (-)
Diplopia Tidak ada Tidak ada
N V. (Trigeminus)
Membuka mulut normal normal
Mengunyah normal normal
Menggigit normal normal
Reflex kornea normal normal
Sensibilitas normal normal
N VI. (Abduscens)
Pergerakan mata ke lateral Baik Baik
Diplopia Tidak ada Tidak ada
N VII. (Fascialis)
Mengerutkan dahi normal normal
Menutup mata normal normal
Memperlihatkan gigi normal normal
Menggembungkan pipi normal normal
Perasaan lidah 2/3 depan normal normal
N VIII. (Vestibulokoklear)
Suara berisik normal Normal
Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N IX. (Glossofaringeus), N X.
(Vagus)
Perasaan bagian lidah belakang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sensibilitas baik baik
Arcus pharynx Normal, uvula ditengah Normal, uvula ditengah
Bicara normal normal
Menelan normal normal
N XI. (Asesorius)
Mengangkat bahu Normal Normal
Memalingkan kepala Normal Normal
N XII. (Hypoglossus)
Pergerakan lidah Tidak ada deviasi Tidak ada deviasi
Tremor lidah Tidak ada Tidak ada
Artikulasi Jelas Jelas

Badan dan Anggota gerak


Badan
Motorik   
- Respirasi    : Spontan, Simetris dalam keadaan  statis dinamis
- Duduk    :  Normal
- Bentuk Kolumna Vertebralis    :  Normal
- Pergerakan Kolumna Vertebralis    : Normal
Ekstremitas Atas
Motorik
Kanan Kiri
Pergerakan Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Kekuatan 5555 5555
Tonus Normotonus Hipertonus, rigid
Atrofi - -
Cogwheel - +
phenomenon

Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil Baik Baik
Nyeri Baik Baik
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks
        Kanan Kiri
Biceps ++ ++
Triceps ++ ++
Brachoradialis ++ ++
Hoffman-Trommer - -
Ekstremitas bawah
Motorik
Kanan Kiri
Pergerakan Tidak ada Tidak ada kelainan
kelainan
Kekuatan 5555 5555
Tonus Normotonus Normotonus
Atrofi - -

Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil Baik Baik
Nyeri Baik Baik
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks
        Kanan Kiri
Patella ++ ++
Achilles   ++ ++
Babinski - -
Koordinasi, gait dan keseimbangan
Cara berjalan Melambat

Disdiadokokinesia Tidak dilakukan

Tes Romberg Tidak dilakukan

Finger-Nose-Finger Test Tidak dilakukan

Gerakan-gerakan abnormal
Tremor Positif

Mioklon Negatif
i

Khorea Negatif

B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan Radiologi CT Scan
 Rontgen Thorax

C. DIAGNOSTIK
DIAGNOSA KLINIS : Penurunan kesadaran
DIAGNOSIS TOPIS : Intrakranial
DIAGNOSA Etiologi : Cedera Kepala Sedang
Tata laksana
Medikamentosa
• Betahistin 3x1
• Flunarizin 1x1
• Laxadin Syr 3x1
• Sucralfat Syr 3x1
• Ibuprofen 3x1
• Ramipril 1x5
• Miniaspilet 1x80
• Simvastatin 1x20
• Concorr 1x2.5
• Bicnat 3x1

Non Medikamentosa

- Kontrol rutin dokter spesialis saraf

D. PROGNOSIS

a. Ad vitam : Dubia ad bonam


b. Ad functionam : Dubia ad malam
c. Ad sanationam : Dubia ad malam
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Cedera kepala secara harfiah bermakna cedera pada kepala, namun hakekatnya definisi tersebut
tidak sesederhana itu karena cedera kepala dapat meliputi cedera pada kulit kepala, tulang
tengkorak, jaringan otak, atau kombinasi dari masing-masing bagian tersebut. Pada bidang ilmu
penyakit saraf lebih dititikberatkan pada cedera terhadap jaringan otak, selaput otak, dan
pembuluh darah otak, sebagai akibat adanya kekuatan mekanik dari luar, yang menyebabkan
gangguan temporer atau permanen dalam hal fungsi kognitif, fisik, dan fungsi psikososial,
dengan disertai penurunan atau hilangnya kesadaran (Ashley, 2004; Whjoepramono, 2005).

Anatomi Kepala
a. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut sebagai SCALP yaitu:


• Skin atau kulit
• Connective tissue atau jaringan penyambung
• Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan
tengkorak
• Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.
• Perikranium Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan
merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak
pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan
banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama
terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya (American college of
surgeon, 1997).
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu
frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun
disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar
dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (American college of surgeon,
1997).
c. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid
di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural(Japardi, 2004)
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat(Japardi,2004).
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media)
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput arakhnoid terletak
antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini
dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.Perdarahan subarakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala (American college of surgeon,1997)
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular
yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam.
Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang
masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (japardi, 2004)
d. Otak
bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan.
Pada medulla oblongata terdapat pusat kardio respiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan (American college of surgeon,1997)
e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari(Hafidh, 2007).
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial(terdiri dari fosa
kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior)
(japardi,2004)
g. Vaskularisasi
Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak
tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.
Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis(japardi,2004).
Epidemiologi
Cedera kepala menyebabkan kematian dan di banyak negara di dunia. Berdasarkan data yang
didapat dari CDC, sebanyak 1,7 juta orang mengalami cedera kepapa setiap tahun di Amerika
Serikat. Prevalensi nasional cedera kepala menurut RISKESDAS 2013 adalah 8,2%, meningkat
0,7% dibandingkan tahun 2007. Sebanyak 40,6% cedera kepala diakibatkan oleh kecelakaan
motor. Menurut sebaran kelompok usia, cedera kepala lebih banyak terjadi pada pasien dengan
usia produktif. Hal ini tentunya berdampak besar pada aspek sosial ekonomi.

Patofisiologi
Cedera kranioserebral termasuk dalam ruang lingkup cabang ilmu naurotraumatologi, yang
mempelajari/meneliti pengaruh trauma terhadap sel otak secara struktural maupun fungsional dan
akibatnya baik pada masa akut (kerusakan primer) maupun sesudahnya (kerusakan sekunder).
Berdasarkan patofisiologinya, cedera kepala, dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera
kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan
dengan kejadian cedera. Cedera ini umumnya menimbulkan kerusakan pada tengkorak, otak,
pembuluh darah, dan struktur pendukungnya (Cunning & Houdek, 1998). Cedera kepala
sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik. Pada cedera kepala sekunder pasien mengalami hipoksia, hipotensi, asidosis dan
penurunan suplay oksigen otak (LeJeune & Tamara, 2002). Lebih lanjut keadaan ini
menimbulkan edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai adanya
penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, dan nyeri kepala. Masalah utama yang
sering terjadi pada cedera kepala adalah adanya perdarahan, edema serebri, dan peningkatan
tekanan intrakranial.

 Perdarahan serebral
Cedera kepala dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah otak yang menimbulkan
perdarahan serebral. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematoma seperti pada epidural
hematoma yaitu berkumpulnya darah di antara lapisan periosteum tengkorak dengan duramater
akibat pecahnya pembuluh darah yang paling sering adalah arteri media meningial. Subdural
hematoma adalah berkumpulnya darah di ruang antara duramater dengan subarahnoid. Sementara
intracereberal hematoma adalah berkumpulnya darah pada jaringan serebral (Black & Hawks,
2009). Perdarahan serebral pada jumlah yang relatif sedikit akan dapat diabsorpsi, akan tetapi
apabila perdarahan lebih dari 50 cc akan sulit diabsorpsi dan menyebabkan gangguan perfusi
jaringan otak.

 Edema serebri

Edema merupakan keadaan abnormal saat terjadi penimbunan cairan dalam ruang intraseluler,
ekstraseluler atau keduanya. Edema dapat terjadi pada 2 sampai 4 hari setelah trauma kepala.
Edema serebral merupakan keadaan yang serius karena dapat menimbulkan peningkatan tekanan
intrakranial dan perfusi jaringan serebral yang kemudian dapat berkembang menjadi herniasi dan
infark serebral. Ada 3 tipe edema serebral, yaitu: edema vasogenik, sitogenik dan interstisial.
Edema vasogenik merupakan edema serebral yang terjadi karena adanya peningkatan
permeabilitas pembuluh darah sehingga plasma dapat dengan mudah keluar ke ekstravaskuler.
Edema sitogenik yaitu adanya peningkatan cairan yang terjadi pada sel saraf, sel glia dan endotel.
Edema ini terjadi karena kegagalan pompa sodium-potasium, natrium-kalium yang biasanya
terjadi bersamaan dengan episode hipoksia dan anoksia. Sedangkan edema interstitial terjadi saat
cairan banyak terdapat pada periventrikular yang terjadi akibat peningkatan tekanan yang besar
sehingga tekanan cairan yang ada jaringan ependimal akan masuk ke periventrikuler white matter
(Hickey, 2003).

 Peningkatan tekanan intrakranial

Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan yang terjadi dalam ruang atau rongga tengkorak.
Rongga otak merupakan ruang tertutup yang terdiri atas darah dan pembuluh darah, cairan
cerebrospinalis, dan jaringan otak dengan komposisi volume yang relatif konstan. Jika terjadi
peningkatan salah satu atau lebih dari komponen tersebut, maka secara fisiologis akan terjadi
proses kompensasi agar volume otak tetap konstan (Brunner & Suddarth’s, 2004; Little, 2008).
Pasien dengan cedera kepala dapat mengalami edema serebri atau perdarahan cerebral. Hal ini
berarti akan terjadi penambahan volume otak yang apabila melebihi ambang kompensasi, maka
akan menimbulkan desakan atau herniasi dan gangguan perfusi jaringan serebral. Keadaan
herniasi serebral merupakan kondisi yang mengancam kehidupan karena dapat menekan organ-
organ vital otak, seperti batang otak yang mengatur kesadaran, pengaturan pernapasan maupun
kardiovaskuler (Amminoff et al, 2005).

Klasifiksi cedera kepala

Klasifikasi cedera kepala dapat dilakukan dengan berbagai cara pembagian, namun yang sering
digunakan adalah berdasarkan keadaan klinis dan patologis (primer atau sekunder seperti
dijelaskan di atas). Untuk klasifikasi berdasarkan keadaan klinis didasarkan pada kesadaran
pasien yang dalam hal ini menggunakan Glasgow coma scale (GCS) sebagai patokannya.

Terdapat tiga kategori yaitu CKR (GCS: 14-15), CKS (GCS: 9-13), dan CKB (GCS ≤ 8)
(Greenberg, 2001). Tujuan klasifikasi tersebut adalah untuk pedoman triase di gawat darurat.
Adapun pembagian cedera kepala menurut Perdossi (2006) adalah sebagai berikut:

Minimal (Simple head injury) Tidak ada penurunan kesadaran


Tidak ada amnesia post trauma

Tidak ada defisit neurologi

GCS = 15

Ringan (Mild head injury) Kehilangan kesadaran <10 menit


Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau
hematom

Amnesia post trauma < 1 jam.

GCS = 13-15

Sedang (Moderate head injury) Kehilangan kesadaran antara >10 menit sampai 6
jam
Terdapat lesi operatif intrakranial atau abnormal
CT Scan

Dapat disertai fraktur tengkorak

Amnesia post trauma 1 – 24 jam.

GCS = 9-12

Berat (Severe head injury) Kehilangan kesadaran lebih dari 6 jam


Terdapat kontusio, laserasi, hematom, edema
serebral

abnormal CT Scan

Amnesia post trauma > 7 hari

GCS = 3-8

Adapun bila didapat penurunan kesadaran lebih dari 24 jam disertai defisit neurologis dan
abnormalitas CT Scan berupa perdarahan intrakranial, penderita dimasukkan klasifikasi cedera
kepala berat (Perdossi, 2006).

Klasifikasi lain berdasarkan lama amnesia pascacidera (APC) diperkenalkan oleh Russel dalam
Jennett & Teasdale. Klasifikasi ini bisa dikombinasikan dengan klasifikasi berdasarkan klinis
GCS.

Lama amnesia pasca cedera Beratnya trauma kranioserebral


<5 menit Sangat ringan
5-60 menit Ringan
1-24 jam Sedang
1-7 hari Berat
1-4 minggu Sangat berat
>4 minggu Ekstrem berat

Gejala Klinis
Patologi dan gejala klinik yang terjadi pada cedera kepala adalah:
• Hematoma Ekstradural/Epidural (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula
interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau temporal-parietal dan sering
akibat robeknya pembuluh meningeal media. Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi
hiperdens (gambaran darah intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Gejala klinisnya adalah lucid interval, yaitu selang waktu antara
pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan kesadaran yang
terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang dari 24 jam. Gejala
perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai
oleh anisokoria pada mata ke sisi akibat herniasi unkal dan mungkin terjadi hemiparese
kontralateral dengan refleks patologis Babinski positif yang terjadi terlambat. Kadang-kadang,
hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau
fossa posterior. Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala
khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah beberapa hari
(Greenberg,2001).
• Hematoma Subdural (SDH)
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Terjadi akibat robeknya
vena-vena jembatan, sinus venosus dura mater atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di
antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan kronik. Gejala klinis berupa nyeri
kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan
otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa
lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma)
subdural.
• Edema Serebri Traumatik
Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di batang otak dengan
akibat tonus dinding pembuluh darah menurun, sehingga cairan lebih mudah menembus
dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang dapat menimbulkan kelainan langsung pada
dinding pembuluh darah sehingga menjadi lebih permeabel. Hasil akhirnya akan terjadi edema.
• Cedera Otak Difus
Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim otak, disertai edema.
Keadaan pasien umumnya buruk. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia,
iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah
trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran
edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur.

• Hematoma Subaraknoid (SAH)


Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus cedera kranioserebral,
sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal sehingga sering tidak dijumpai
tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di dalam cairan otak akan mengakibatkan
penguncupan arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea. Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat
disertai vasospasme, akan timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan otak. Keadaan ini
tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan. Penguncupan
pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung sampai 10 hari atau lebih.
Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT scan otak, tampak perdarahan
di ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH non-traumatik yang umumnya disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah otak (AVM atau aneurisma), perdarahan pada SAH traumatik biasanya
tidak terlalu berat.
• Fraktur Basis Kranii
Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak; bisa di anterior,
medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto polos tulang tengkorak atau aksial CT scan. Garis
fraktur bisa terlihat pada CT scan berresolusi tinggi dan potongan yang tipis. Umumnya yang
terlihat di CT scan adalah gambaran pneumoensefal.
Hampir 15% pasien TBI dapat mengalami perburukan setelah beberapa saat (delayed
deterioration). Perburukan ini bisa dalam hitungan menit, jam atau beberapa hari. Waktu selang
tersebut sering dikatakan sebagai lucid interval. Etiologi munculnya delayed deterioration ini
antara lain karena: perdarahan (EDH, SDH, delayed contusions), cerebral edema difus,
hidrocephalus, kejang, abnormalitas metabolik, gangguan vaskular, meningitis, dan hipotensi
(shock) (Greenberg, 2001).
Terganggunya saraf otak ke 10, 11 dan 12 pada trauma kapitis disebabkan oleh hematoma
di fossa serebri posterior atau fraktur baseos kranii. Gejala gejala serebral (ataksia, nistagmus,
dan disartria) bisa dijumpai juga, karena suatu hematoma yang menekan pada serebellum
(Mardjono, M., Sidharta, P., 2000).
Defisit neurologis yang muncul tergantung pada daerah mana yang terjadi perdarahan
atau area otak mana yang tertekan oleh adanya lesi perdarahan tersebut. Gangguan di lobus
temporal dapat mengakibatkan gangguan pada area motorik maupun sensorik. Dan bila lesi
sampai menekan ke batang otak atau mengganggu sistem ARAS, maka dapat menyebabkan
gangguan kesadaran (Adam et.al, 2005; Aminoff et.al,2005).
Vertigo post traumatic adalah vertigo yang terjadi setelah trauma leher atau kepala.
Beberapa jenis vertigo post traumatic:
 Positional vertigo, khususnya BPPV
Tipe yang paling umum terjadi. Akibat perubahan posisi, prognosisnya baik
 Post-traumatik meniere syndrome
Disebut juga hydrops. Terdapat suara di telinga dan terasa penuh atau perubahan pendengaran.
Mekanisme : perdarahan pada telinga dalam diikuti dengan gangguan transport cairan. Onset
bervariasi.
 Konkusi labirin
Gangguan pendengaran atau ganguan labirin yang tidak persisten yang mengikuti cedera kepala,
tidak disebabkan mekanisme yang lain. Kehilangan pendengaran atau nistagmus harus ada untuk
membuat diagnosis ini.
 Post traumatik migraine
Dizines dengan nyeri kepala migraine. Nyeri kepala dan vertigo umum terjadi setelah cedera
kepala
 Cervical Vertigo
Ketidakseimbangan yang mengikuti cedera leher berat. Beberapa teori yaitu akibat Kompresi
vaskuler, atau Gangguan input sensori ke sistem vestibuler
 Temporal bone fracture
Dizines berat setelah cedera. CT Scan : fraktur. Sering dihubungkan dengan kehilangan
pendengaran atau kelemahan nervus facial perifer (Bell’s palsy). Fraktur tulang temporal
khususnya fraktur oblique menyebabkan gangguan pendengaran dan dizines. Sering terdapat
darah di belakang membran telinga(hemotympanum). Dapat terjadi kehilangan pendengaran yang
bersifat konduktif atau sensori neural. Defisit vestibular juga sering terjadi khususnya pada
fraktur obliq. Ganguan vestibuler bilateral jarang
 Fistula perilimfe
Sebagai akibat ruptura membran “oval or round window”. Dizines dengan suara keras. Jarang
terjadi
1. Vertigo psikogenik
2. Vertigo epileptic
Vertigo yang berhubungan dengan cedera otak pada bagian lobus temporal yang
memproses sinyal vestibuler. Kehilangan kesadaran yang biasanya terjadi saat cedera dan vertigo
umumnya dihubungkan dengan gangguan kesadaran
1. Difus aksonal injury
2. Post concussion syndrome
Kombinasi dari nyeri kepala, dizines dan gangguan mental yang mengikuti cedera kepala
tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi
 Whiplass injury syndrome
Cedera jaringan lunak yang disebabkan hiperekstensi leher. Cedera dapat menyebabkan
ruptur ligamen longitudinal anterior, robekan dan hemoragi muskulus, ruptur diskus dan kadang-
kadang cerdera otak. Terjadi gangguan visus dan telinga dalam karena cedera arteri vertebro
basilaris.
Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh berbagai hal. Untuk memudahkan mengingat
dan menelusuri penyebab penurunan kesadaran digunakan istilah S (Sirkulasi) E (Elektrolit) M
(Metabolik) E (Ensefalitis) N (Neoplasma) I (Infeksi) T (Trauma) E (Epilepsi). Pada trauma
penurunan kesadaran diakibatkan oleh:
1. Komusio yaitu cedera kepala rigan dengan pingsan kurang dari 10 menit ,
2. Kontusio yang disebabkan gaya aselerasi dan deselarasi ditandai lesi pada daerah yang
berlawanan dengan arah daangnya cedera.
3. Perdarahan epidural yaitu perdarahan pada ruang epidural yaitu daerah potensial diantara
tabula interna tulang tengkorak dan duramater. . Epidural hematom dapat menimbulkan
penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit
neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral.
4. perdarahan subdural yaitu Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang
subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil
dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak.
Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding
pada perdarahan epidural.
Pada pasien pasien trauma kepala indikasi CT scan dilakukan apabila ditemukan GCS 14
atau lebih rendah atau pasien dengan GCS 15 dengan dibuktikan pernah hilang kesadaran,
amnesia akibat trauma, defisit neurologik fokal, tanda fraktur tulang tengkorak basal atau
kalvaria.

Pemeriksaan Penunjang
a) Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi
indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm,Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum,
Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal
neurologis,Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnosa
foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur
depresi maka dilakukan foto polos posisi AP/lateraldan oblique. 
b)CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1. Nyeri kepala menetap atau muntah ± muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat±obatan analgesia/anti muntah.
2. Adanya kejang ± kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial
dibandingkan dengan kejang general.
3. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor ± faktor ekstracranial telah disingkirkan
(karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).
4. Adanya lateralisasi.
5. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
7. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk
mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan
otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.
Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan
umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat(ariwibowo, 2008).
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada
penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting
untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak (ariwibowo, 2008).
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain:
a.Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b.Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c.Penurunan tingkat kesadaran
d.Nyeri kepala sedang hingga berat
e.Intoksikasi alkohol atau obat
f.Fraktura tengkorak
g.Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h.Cedera penyerta yang jelas
i. CT scan abnormal
Terapi medika mentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan
suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa
pemberian cairan intravena, hiperventilasi,pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan
antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif.
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuro radiologi
dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:
a. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
b. Dari 20 cc di daerah infratentorial
c. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
d. Tanda fokal neurologis semakin berat
e. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
f. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
g. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
h. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
i. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
j. Terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)
Prognosis
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang
agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita yang
berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera
kepala (American college of surgeon,1997).
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat mempengaruhi
kondisi kedepannya bagi penderita.

Kesimpulan
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan
otak yang terjadi.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer
yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder yang terjadi
akibat berbagai prosese patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer.Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi yaitu
berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi dari
beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala, yang
walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun merupakan penyebab kecacatan yang
akan menetap seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi
tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar
(difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara,
penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan
pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehingga area yang tidak
mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan.
Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama
lainnya, semakin berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjahrir H, Nasution D, Gofir A. Parkinson’s Disease & Other Movement Disorders. Pustaka
Cedekia dan Departemen Neurologi FK USU Medan. 2007. Hal 4-53.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Penyakit Parkinson. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. FKUI. 2007. Hal 1373-1377.
3. Antonina K, et al. Parkinson’s Disease: Etiology, Neuropathology, and Pathogenesis.
Brisbane (AU) Codon Publications. 2018.
4. Price SA, Wilson LM, Hartwig MS. Gangguan Neurologis dengan Simtomatologi
Generalisata. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Vol 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. Hal 1139-1144.
5. Bhat S, et al. Parkinson's disease: Cause factors, measurable indicators, and early diagnosis.
Computers in Biology and Medicine. 2018
6. Duus Peter. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda dan Gejala Edisi II.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1996. Hal 231-243.
7. Harsono. Penyakit Parkinson. Buku Ajar Neurologis Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia dan UGM. 2008. Hal 233-243.
8. Massano J, et al. Clinical Approach to Parkinson's Disease: Features, Diagnosis, and
Principles of Management. Cold Spring Harb Perspect Med. 2012.
9. George DM, et al. Parkinson’s Disease and Its Management. PT. 2015 Aug; 40(8): 504-510,
532.
10. Rizek P, et al. An update on the diagnosis and treatment of Parkinson disease. CMAJ. 2016
Nov 1; 188(16): 1157–1165.
11. Michael T, et al. Parkinson's Disease and Parkinsonism. The American Journal of Medicine.
2019 July; 132(7): 802-807.
12. Stephen G, et al. Parkinson’s Disease. Medical Clinics of North America. 2019 March;
103(2): 337-350.

Anda mungkin juga menyukai