Anda di halaman 1dari 33

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. H
Umur : 53 tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : XX
Pekerjaan : Petani
Dirawat di ruang : Gading
Tanggal masuk RS : 24 April 2018

II. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada keluarga pasien pada tanggal 25
April 2017, di XX.
1. Keluhan Utama : Kelemahan kedua ekstremitas atas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada ekstremitas atas. Keluhan diawali
dengan kesemutan pada kedua tangan kemudian lama-lama menjadi berat untuk
digerakkan. Kemudian pasien pergi ke IGD XX untuk dirawat inap di XX. Selama
di berikan obat oleh spesialis saraf dan di rawat inap keadaan pasien membaik.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Kelemahan anggota gerak bagian atas sejak 2 tahun yang lalu. Pasien tidak pernah
dirawat di rumah sakit sebelumnya dan tidak pernah menjalani operasi.
4. Riwayat trauma :
Pasien tidak pernah jatuh sebelumnya.
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat hipertensi, diabetes dalam keluarga disangkal.
6. Riwayat kebiasaan :
Pasien tidak mengkonsumsi alkohol ataupun merokok. Pekerjaan pasien adalah petani
7. Riwayat obat-obatan :
Riwayat alergi disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 7 Juni 2017, di XX
A. Status Generalis
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Status Gizi : cukup
Tanda Vital
- Suhu Tubuh : 36,7 oC
- Tekanan Darah : 100/60 mmHg
- Nadi : 65 x/menit, regular, isi cukup
- Laju Napas : 18x/menit, regular
B. Status Internus
- Kepala/leher : normosefali, deformitas (-), bengkak (-)
: pembesaran KGB -/-
: pembesaran kelenjar tiroid -/-
- Mata : Refleks cahaya +/+
: Konjungtiva anemis -/-
: Pupil isokor, 3mm/3mm
- Telinga/hidung : deformitas (-), nyeri (-), sekret (-)
: septum nasi di tengah
- Mulut/faring : mukosa hiperemis (-)
tonsil dan uvula sulit dinilai
- Thorax
o Paru
Inspeksi : bentuk dada normal dan simetris
: gerak napas tertinggal (-)
Palpasi : tactile fremitus simetris, sama kuat
: ekspansi normal
Perkusi : bunyi sonor pada semua lapang paru
Auskultasi : vesikuler, wheezing -/-, ronki basah halus -/-
o Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 2 jari, 1 cm lateral dari MCLS, thrill (-)
Perkusi : pekak, batas jantung normal
Auskultasi : S1/S2 normal, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
o Inspeksi : cembung, bekas luka (-)
o Auskultasi : bising usus normal, bruits (-)
o Perkusi : timpani
o Palpasi : nyeri tekan epigastrik (-)
: hepatomegali (-), splenomegali (-)
- Ekstremitas : akral hangat
: deformitas (-), edema (-)
: CRT <2 detik
C. Status Neurologis
1. Fungsi Luhur
- Kesadaran
o Kualitatif : kompos mentis
o Kuantitatif : E4M6V5
- Orientasi : baik
- Daya ingat
o Baru : baik
o Lama : baik
- Gerakan abnormal : tidak ditemukan
- Gangguan berbahasa
o Afasia motorik :-
o Afasia sensorik :-
o Akalkuli :-
2. Koordinasi dan Keseimbangan
- Tes stepping gait : tidak dilakukan
- Tes tunjuk hidung : tidak dilakukan
- Tes pastpointing test : tidak dilakukan
- Tes konfrontasi vertikal : tidak dilakukan
- Tes konfrontasi horizontal : tidak dilakukan
- Tes Romberg : tidak dilakukan
3. Saraf Otonom
- Miksi : normal
- Defekasi : normal
- Sekresi keringat : normal

4. Nervi Cranialis

Nervus Kranialis Kanan Kiri

N. I (Olfactorius)
Daya Penghidu normosmia normosmia

N. II (Opticus)
a. Daya penglihatan baik baik

b. Lapang pandang normal normal

c. Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. III (Oculomotorius)
a. Ptosis (-) (-)

b. Gerak mata keatas (+) (+)

c. Gerak mata kebawah (+) (+)

d. Gerak mata media (+) (+)

e. Ukuran pupil 3 mm 3 mm

f. Bentuk pupil Bulat, reguler Bulat, reguler

g. Refleks cahaya langsung (+) (+)

h. Strabismus divergen (-) (-)

i. Diplopia (-) (-)

N. IV (Trochlearis)
a. Gerak mata lateral bawah (+) (+)

b. Strabismus konvergen (-) (-)

c. Diplopia (-) (-)

N. V (Trigeminus)
a. Menggigit Dapat sama kuat Dapat sama kuat
b. Membuka mulut (+) (+)
c. Sensibilitas (+) (+)
d. Refleks kornea (+) (+)
d. Refleks bersin Tidak dilakukan Tidak dilakukan
f. Refleks masseter Tidak dilakukan Tidak dilakukan
g. Refleks zigomatikus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. VI (Abducens)
a. Pergerakan mata (ke lateral) (+) (+)

b. Strabismus konvergen (-) (-)

c. Diplopia (-) (-)

N. VII (Facialis)
a. Kerutan kulit dahi dbn dbn

b. Mengerutkan dahi dbn dbn

c. Mengangkat alis dbn dbn

d. Menutup mata dbn dbn

e. Sulcus nasolabialis dbn dbn

f. Meringis dbn dbn

g. Tik fasial Tidak dilakukan Tidak dilakukan

h. Lakrimasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

i. Daya kecap 2/3 depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. VIII (Vestibulocochlearis) Sulit dinilai Sulit dinilai


a. Mendengarkan suara berbisik Sulit dinilai Sulit dinilai
b. Mendengarkan detik arloji Tidak dilakukan Tidak dilakukan
c. Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
d. Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
e. Tes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
f. Nistagmus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N. IX (Glossopharyngeus)
a. Arkus faring Simetris Simetris
b. Uvula Di tengah Di tengah
c. Daya kecap 1/3 belakang Tidak dilakukan Tidak dilakukan
d. Refleks muntah (-) (-)
e. Sengau (-) (-)
f. Tersedak (-) (-)

N. X (Vagus)
a. Arkus faring Simetris Simetris

c. Daya kecap 1/3 belakang Tidak dilakukan Tidak dilakukan

d. Bersuara (+) (+)

e. Menelan (+) (+)

N. XI
a. Memalingkan muka (-) (-)

b. Sikap bahu dbn dbn

c. Mengangkat bahu (+) (+)

d. Trofi otot bahu (+) (+)

N. XII (Hypoglossus)
a. Sikap lidah Normal Normal

b. Menjulurkan lidah Normal Normal

c. Artikulasi Normal Normal

d. Tremor lidah Normal Normal

e. Trofi otot lidah Normal Normal

f. Fasikulasi lidah Normal Normal

ANGGOTA GERAK Kiri


Kanan
ATAS
Sistem Motorik :
Gerakan Bebas Bebas
Kekuatan 2 2
Tonus Normotonus Normotonus
Trofi Eutrofi Eutrofi
Sensibilitas + +
Nyeri + +

Refleks fisiologik :
Bisep + +
Trisep + +
Radius + +

Refleks patologis :
Hoffman (-) (+)
Tromner (-) (+)

ANGGOTA GERAK Kiri


Kanan
BAWAH
Sistem Motorik :
Gerakan Bebas Bebas
Kekuatan 5 5
Tonus Normotonus Normotonus
Trofi Normotrofi Normotrofi
Klonus - -
Sensibilitas + +
Nyeri + +

Refleks fisiologik :
Patella + +
Achilles + +

Refleks patologis :
Babinski (+) (+)
Chaddock (-) (+)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Mendel Bechterew (-) (-)
Rossolimo (-) (-)
Gonda (-) (-)
Klonus patella (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)

RANGSANG MENINGEAL Kanan Kiri

Kaku Kuduk -

Kernig sign - -
Brudzinski I - -
Brudzinski II - -
Brudzinski III - -

RANGSANG RADIKULER Kanan Kiri

Tes Laseque - -
Tes Kernig - -
Tes Patrick - -
Tes Kontra Patrick - -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 24 April 2018

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan

HEMATOLOGI

Leukosit 7,9 10^3/uL 3.6 – 11.0

Eritrosit L 4.34 10^6/uL 4.2 – 5.4

Hemoglobin 13.9 g/dL 11.7 – 15.5

Hematokrit L 37.9 % 35 -47

MCV 87,3 fL 80 – 100


MCH 32 pg 26 – 34

MCHC H 36,7 % 32 – 36

Trombosit 245 10^3/uL 150 – 400

RDW-CV 12,9 % 11.5 – 14.5

RDW-SD 40,2 fL 35 – 47

PDW 11,8 fL 9.0 – 13.0

MPV 10.0 fL 6.8 – 10.0

P-LCR 25.3 %

HITUNG JENIS

Netrofil L 37,10 % 50.0 – 70.0

Limfosit H 50.10 % 25.0 – 40.0

Monosit 6,40 % 2.0 – 8.0

Eosinofil H 6.10 % 2–4

Basofil 0.30 % 0–1

KIMIA KLINIK

GDS / PP 85 mg/dL 70 – 160

Ureum 14.9 mg/dL 10 – 50

Creatinin 0.72 mg/dL 0.60 – 1.20


Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 24 April 2018

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan

Glukosa Puasa 98 mg/dL 70 – 100

SGOT 17.4 U/L <31

SGPT 19.9 U/L <34

Cholesterol Total H 380 mg/dL <200

Trigeliserida 97 mg/dL 0 – 150

Uric Acid 6.1 mg/dL 2.4 – 7.0

X Foto Cervikal

Kesan : Tak tampak kelainan

V. RESUME
Tn. H , 53 tahun, nyeri pada ekstremitas atas. Keluhan diawali dengan
kesemutan pada kedua tangan kemudian lama-lama menjadi berat untuk
digerakkan. Kelemahan anggota gerak bagian atas sejak 2 tahun yang lalu.
Kemudian pasien pergi ke XX untuk dirawat inap di XX. Selama di berikan obat
oleh spesialis saraf dan di rawat inap keadaan pasien membaik.Riwayat Trauma (-
).
Pada status generalis didapatkan TD pasien 100/60 mmHg,65 Nadi x/menit,
RR 18 x/menit, pemeriksaan lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan neurologis didapatkan kesadaran Compos Mentis, GCS 15.
Kekuatan parese pada ektremitas atas. Refleks patologis Hoffman Tromner (-/+),
Babinski (+/+),Chaddock (-/+). Pemeriksaan foto X cervical tidak ditemukan
kelainan.

VI. DIAGNOSIS
a. Diagnosis Klinis : Tetraparesis Flacid
b. Diagnosa Topis : Medula spinalis segmen cervikal
c. Diagnosa etiologi : susp. Infeksi atau neoplasma

VII. DIAGNOSIS KERJA


Tetraparesis Flacid
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Hemiparesis Bilateral
IX. TATALAKSANA
- Inf. Ringer Laktat 20 tpm
- Inj. Pantoprazole 1 x 1 ampl
- Inj. Methylprednisone 3 x 125 mg
- PO Mecobalamin 3 x 500 mcg
- PO Myonep 2 x 50 mg
- PO B-compleks 3 x 1 tab
- PO Piracetam 1 x 400mg
X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi

Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular. sistem neuromuskular


terdiri atas Upper motor neurons (UMN) dan lower motor neuron (LMN). Upper motor
neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area
motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu
anterior medula spinalis. Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN
dibagi dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari
traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya untuk
geraakan-gerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal fungsinya untuk
gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak 1.

Melalui lower motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan saraf-saraf motorik
yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam
tubuh seseorang. Kedua saraf motorik tersebut mempunyai peranan penting di dalam sistem
neuromuscular tubuh. Sistem ini yang memungkinkan tubuh kita untuk bergerak secara
terencana dan terukur 1.

Tulang belakang atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang membentuk
punggung yang mudah digerakkan. terdapat 33 tulang punggung pada manusia, 7 tulang
cervical, 12 tulang thorax (thoraks atau dada), 5 tulang lumbal, 5 tulang sacral, dan 4 tulang
membentuk tulang ekor (coccyx). Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni
bagian anterior yang terdiri dari badan tulang atau corpus vertebrae, dan bagian posterior
yang terdiri dari arcus vertebrae 2.
Gambar 1. Tulang belakang

Ketika tulang belakang disusun, foramen ini akan membentuk saluran sebagai tempat
sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Dari otak medula spinalis turun ke bawah
kira-kira ditengah punggung dan dilindungi oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal.
Medula spinalis terdiri dari berjuta-juta saraf yang mentransmisikan informasi elektrik dari
dan ke ekstremitas, badan, oragan-organ tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medula
spinalis merupakan sistem saraf pusat dan yang mehubungkan saraf-saraf medula spinalis ke
tubuh adalah sistem saraf perifer.2

Medula spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramenmagnum sampai konus
medullaris di level Tulang Belakang L1-L2. Medulla Spinalis berlanjut menjadi Kauda
Equina (di Bokong) yang lebih tahan terhadap cedera. Medula spinalis terdiri atas traktus
ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu,
nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa informasi dari otak ke anggota
gerak dan mengontrol fungsi tubuh) 2.
Medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyai hubungan
istemewa, yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis dibagi menjadi arteri
spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri vertebralis, sedangkan arteri radikularis
dibagi menjadi arteri radikularis posterior dan anterior yang dikenal juga ramus
vertebromedularis arteria interkostalis 2.
Medula Spinalis disuplai oleh arteri spinalis anterior dan arteri spinalis posterior.
Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari medula spinalis melewati suatu lubang di
vertebra yang disebut foramen dan membawa informasi dari medula spinalis samapi ke
bagian tubuh dan dari tubuh ke otak. Ada 31 pasang nervus spinalis dan dibagi dalam empat
kelompok nervus spinalis, yaitu 3,4,:

a. nervus servikal : (nervus di leher) yang berperan dalam pergerakan dan


perabaan pada lengan, leher, dan anggota tubuh bagian atas

b. nervus thorak : (nervus di daerah punggung atas) yang mempersarafi tubuh


dan

perut

c. nervus lumbal dan nervus sakral : (nervus didaerah punggung bawah) yang
mempersarafi tungkai, kandung kencing, usus
dan genitalia.

Ujung akhir dari medula spinalis disebut conus medularis yang letaknya di L1 dan L2.
Setelah akhir medula spinalis, nervus spinalis selanjutnya bergabung membentuk cauda
equina 3,4.
Gambar 2. Hubungan nervus spinalis dengan vertebra

2.2 Definisi

2.2.1 Parese

Parese adalah kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu


kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu. Kelemahan
adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau lebih kelompok otot yang dapat
menyebabkan gangguan mobilitas bagian yang terkena. Parese pada anggota gerak dibagi
mejadi 4 macam, yaitu 4:

 Monoparese adalah kelemahan pada satu ekstremitas atas atau ekstremitas


bawah.
 Paraparese adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
 Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas atas
dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
 Tetraparese adalah kelemahan pada keempat ekstremitas.

2.2.2 Tetraparese

Tetraparese juga diistilahkan juga sebagai quadriparese, yang keduanya merupakan


parese dari keempat ekstremitas.”Tetra” dari bahasa yunani sedangkan “quadra” dari bahasa
latin. Tetraparese adalah kelumpuhan/kelemahan yang disebabkan oleh penyakit atau trauma
pada manusia yang menyebabkan hilangnya sebagian fungsi motorik pada keempat anggota
gerak, dengan kelumpuhan/kelemahan lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan
tungkai. Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan otak, kerusakan tulang belakang pada
tingkat tertinggi (khususnya pada vertebra cervikalis), kerusakan sistem saraf perifer,
kerusakan neuromuscular atau penyakit otot. kerusakan diketahui karena adanya lesi yang
menyebabkan hilangnya fungsi motorik pada keempat anggota gerak, yaitu lengan dan
tungkai. Penyebab khas pada kerusakan ini adalah trauma (seperti tabrakan mobil, jatuh atau
sport injury) atau karena penyakit (seperti mielitis transversal, polio, atau spina bifida) 4.

Pada tetraparese kadang terjadi kerusakan atau kehilangan kemampuan dalam


mengontrol sistem pencernaan, fungsi seksual, pengosongan saluran kemih dan rektum,
sistem pernafasan atau fungsi otonom. Selanjutnya, dapat terjadi penurunan/kehilangan
fungsi sensorik. adapun manifestasinya seperti kekakuan, penurunan sensorik, dan nyeri
neuropatik. Walaupun pada tetraparese itu terjadi kelumpuhan pada keempat anggota gerak
tapi terkadang tungkai dan lengan masih dapat digunakan atau jari-jari tangan yang tidak
dapat memegang kuat suatu benda tapi jari-jari tersebut masih bisa digerakkan, atau tidak
bisa menggerakkan tangan tapi lengannya masih bisa digerakkan. Hal ini semua tergantung
dari luas tidaknyanya kerusakan 4.

2.2.3 Etiologi Tetraparese

Tabel 1. Penyebab umun dari tetraparesis 4:

- Complete/incomplete transection of cord with fracture


Prolapsed disc
Cord contusion-central cord syndrome, anterior cord
syndrome
- Guillain-Barre Syndrome (post infective polyneuropathy)
- Transverse myelitis Acute myelitis
- Anterior spinal artery occlusion
- Spinal cord compression
- Haemorrhage into syringomyelic cavaty
- Poliomyelitis

2.2.4 Epidemiologi

Tetraparese salah satunya disebabkan karena adanya cedera pada medula spinalis.
menurut Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord Injury Data
Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru cedera medula spinalis setiap
tahunnya di Amerika Serikat. Angka insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan
diperkirakan 20 per 100.000 penduduk, dengan angka tetraparese 200.000 per tahunnya.
Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera medula spinalis .

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet berdasarkan
ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Pembagian ini penting untuk
meramalkan prognosis dan penanganan selanjutnya.. Data di Amerika Serikat menunjukkan
urutan frekuensi disabilitas neurologis karena cedera medula spinalis traumatika sbb : (1)
tetraparese inkomplet (29,5%), (2) paraparese komplet (27,3%), (3) paraparese inkomplet
(21,3%), dan (4) tetraparese komplet (18,5%) .
2.2.5 Klasifikasi Tetraparese

Pembagian tetraparese berdasarkan kerusakan topisnya 4:

a. Tetrapares spastik
Tetraparese spastik terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron
(UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertoni.
b. Tetraparese flaksid
Tetraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron
(LMN), sehingga menyebabkan penurunan tonus atot atau hipotoni.

2.2.6 Patofisiologi Tetraparese

Tetraparese dapat disebabkan karena kerusakan Upper Motor Neuron (UMN) atau
kerusakan Lower Motor Neuron (LMN). Kelumpuhan/kelemahan yang terjadi pada
kerusakan Upper Motor Neuron (UMN) disebabkan karena adanya lesi di medula spinalis.
Kerusakannya bisa dalam bentuk jaringan scar, atau kerusakan karena tekanan dari vertebra
atau diskus intervetebralis. Hal ini berbeda dengan lesi pada LMN yang berpengaruh pada
serabut saraf yang berjalan dari horn anterior medula spinalis sampai ke otot 3.

Pada columna vertebralis terdapat nervus spinalis, yaitu nervus servikal, thorakal,
lumbal, dan sakral. Kelumpuhan berpengaruh pada nervus spinalis dari servikal dan
lumbosakral dapat menyebabkan kelemahan/kelumpuhan pada keempat anggota gerak.
Wilayah ini penting, jika terjadi kerusakan pada daerah ini maka akan berpengaruh pada otot,
organ, dan sensorik yang dipersarafinya.

Ada dua tipe lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit dapat menyebabkan
kehilangan kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian dibawah lesi, sedangkan lesi
inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan otot ringan (parese) dan atau mungkin
kerusakan sensorik. Lesi pada UMN dapat menyebabkan parese spastic sedangkan lesi pada
LMN menyebabkan parese flacsid 4
Gambar 3. Lesi pada Lower motor neuron (LMN).

a. Lesi di Mid- or upper cervical cord

Tiap lesi di medula spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal lateral
menimbulkan kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada otot-otot bagian tubuh yang
terletak di bawah tingkat lesi. Lesi transversal medula spinalis pada tingkat servikal, misalnya
C5 mengakibatkan kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada otot-otot tubuh yang
berada dibawah C5, yaitu sebagian otot-otot kedua lengan yang berasal yang berasal dari
miotom C6 sampai miotom C8, lalu otot-otot thoraks dan abdomen serta segenap otot kedua
tungkai yang mengakibatkan kelumpuhan parsial dan defisit neurologi yang tidak masif di
seluruh tubuh. Lesi yang terletak di medula spinalis tersebut maka akan menyebabkan
kelemahan/kelumpuhan keempat anggota gerak yang disebut tetraparese spastik 1,5.

b. Lesi di Low cervical cord

Lesi transversal yang merusak segmen C5 ke bawah itu tidak saja memutuskan jaras
kortikospinal lateral, melainkan ikut memotong segenap lintasan asendens dan desendens
lain. Disamping itu kelompok motoneuron yang berada didalam segmen C5 kebawah ikut
rusak. Ini berarti bahwa pada tingkat lesi kelumpuhan itu bersifat Lower Motor Neuron
(LMN) dan dibawah tingkat lesi bersifat Upper Motor Neuron (UMN). Dibawah ini
kelumpuhan Lower Motor Neuron (LMN) akan diuraikan menurut komponen-komponen
Lower Motor Neuron (LMN) 1.

Motoneuron-motoneuron berkelompok di kornu anterius dan dapat mengalami


gangguan secara selektif atau terlibat dalam satu lesi bersama dengan bangunan disekitarnya,
sehingga di dalam klinik dikenal sindrom lesi di kornu anterius, sindrom lesi yang selektif
merusak motoneuron dan jaras kortikospinal, sindrom lesi yang merusak motoneuron dan
funikulus anterolateralis dan sindrom lesi di substantia grisea sentralis . Lesi ini biasanya
disebabkan karena adanya infeksi, misalnya poliomielitis. Pada umumnya motoneuron-
motoneuron yang rusak didaerah intumesensia servikal dan lumbalis sehingga kelumpuhan
LMN adalah anggota gerak 1.

Kerusakan pada radiks ventralis (dan dorsalis) yang reversibel dan menyeluruh dapat
terjadi. Kerusakan itu merupakan perwujudan reaksi imunopatologik. walaupun segenap
radiks (ventralis/dorsalis) terkena, namun yang berada di intumesensia servikalis dan
lumbosakralis paling berat mengalami kerusakan. Karena daerah ini yang mengurus anggota
gerak atas dan bawah. Pada umumnya bermula dibagian distal tungkai kemudian bergerak ke
bagian proksimalnya. Kelumpuhannya meluas ke bagian tubuh atas, terutama otot-otot kedua
lengan. Kelainan fungsional sistem saraf tepi dapat disebabkan kelainan pada saraf di
sumsum tulang belakang atau kelainan sepanjang saraf tepi sendiri. Salah satu penyakit
dengan lesi utama pada neuron saraf perifer adalah polineuropati 1.

Lesi di otot dapat berupa kerusakan struktural pada serabut otot atau selnya yang
disebabkan infeksi, intoksikasi eksogen/endogen, dan degenerasi herediter. Karena serabut
otot rusak, kontraktilitasnya hilang dan otot tidak dapat melakukan tugasnya. Penyakit di otot
bisa berupa miopati dan distrofi, dapat menyebabkan kelemahan di keempat anggota gerak
biasanya bagian proksimal lebih lemah dibanding distalnya. Pada penderita distrofia
musculorum enzim kreatinin fosfokinase dalam jumlah yang besar, sebelum terdapat
manifestasi dini kadar enzim ini di dalam serum sudah jelas meningkat. akan tetapi mengapa
enzim ini dapat beredar didalam darah tepi masih belum diketahui 1.

Di samping kelainan pada sistem enzim, secara klinis juga dapat ditentukan kelaian
morfologik pda otot. jauh sebelum tenaga otot berkurang sudah terlihat banyak sel lemak
(liposit) menyusup diantara sel-sel serabut otot. Ketika kelemahan otot menjadi nyata,
terdapat pembengkakan dan nekrosis-nekrosis serabut otot. Seluruh endoplasma serabut otot
ternyata menjadi lemak. Otot-otot yang terkena ada yang membesar dan sebagian mengecil.
Pembesaran tersebut bukan karena bertambahnya jumlah serabut otot melainkan karena
degenerasi lemak 1.

Kelemahan otot (atrofi otot) dapat kita jumpai pada beberapa penyakit. kelemahan
otot dapat kita kelompokkan dalam regio anggota gerak sebagai berikut 4:
Tabel 2. Kategori kelompok otot per regio anggota gerak
Region Muscle Groups Myotomes

Upper cervical region Shoulder abduction, elbow flexion, elbow C5-C7


extension

Lower cervical region Wrist flexion, wrist extension, extension of C8-Th1


fingers, flexion of fingers, spreading of
fingers, abduction

of thumb, adduction of thumb, and


opposition of thumb

Upper lumbosacral Hip flexion, hip adduction, knee extension, L1-L3


region hip extension, hip abduction

Lower lumbosacral Knee flexion, plantar flexion of foot,


region flexion of toes, dorsiflexion of foot,
L4-S1
extension of toes

Central cord syndrome (CCS) biasanya terjadi setelah trauma hiperekstensi. Sering
terjadi pada individu di usia pertengahan dengan spondilosis cervicalis. Predileksi lesi yang
paling sering adalah medula spinalis segmen servikal, terutama pada vertebra C4-C6.
Sebagian kasus tidak ditandai oleh adanya kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera
adalah akibat penjepitan medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi
osteofit atau material diskus dari anterior. Bagian medula spinalis yang paling rentan adalah
bagian dengan vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian sentral. Pada Central Cord
Syndrome, bagian yang paling menderita gaya trauma dapat mengalami nekrosis traumatika
yang permanen. Edema yang ditimbulkan dapat meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di
atas titik pusat cedera.4.
Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih prominen pada
ekstremitas atas (tipe LMN) dibanding ektremitas bawah (tipe UMN). Pemulihan fungsi
ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan
dan jari) sangat sering dijumpai disabilitas neurologik permanen. Hal ini terutama disebabkan
karena pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di
medula spinalis C6 dengan ciri LMN. Gambaran klinik dapat bervariasi, pada beberapa kasus
dilaporkan disabilitas permanen yang unilateral neurologis lokalis pada pasien cedera medula
spinalis mengacu pada panduan dari American Spinal Cord Injury Association/ AISA4.

Tabel 3. Rekomendasi AISA untuk pemeriksaan neurologi lokal 4

Motorik

Otot (asal inervasi) Fungsi

M. deltoideus dan biceps brachii (C5) Abduksi bahu dan fleksi siku

M. extensor carpi radialis longus dan brevis Ekstensi pergelangan tangan

(C6)

M. flexor carpi radialis (C7) Fleksi pergelangan tangan

M. flexor digitorum superfisialis dan Fleksi jari-jari tangan

profunda (C8)

M. interosseus palmaris (T1) Abduksi jari-jari tangan


M. illiopsoas (L2) Fleksi panggul

M. quadricep femoris (L3) Ekstensi lutut

M. tibialis anterior (L4) Dorsofleksi

kaki

M. extensor hallucis longus (L5) Ekstensi ibu jari kaki

M. gastrocnemius-soleus (S1) Plantarfleksi kaki

2.2.7 Tetraparese dengan Hemiparese bilateral

Tetraparese dengan hemiparese bilateral (bihemiparese) mempunyai arti yang sama


yaitu kelemahan pada keempat anggota gerak. Namun, pada bihemiparese
kelemahan/kelumpuhannya tidak terjadi langsung pada keempat anggota gerak. Bihemiparese
bersifat kerusakan pada upper motor neuron, yaitu adanya infark di hemispere serebral
bilateral dapat disebabkan karena dua lesi iskemik didaerah kedua arteri serebri
(anterior/media) atau di kedua kapsula interna. Lesi pada arteri basilaris dapat menyebabkan
infark pada daerah mesensefalon. Lesi ini dapat disebabkan oleh adanya arterosklerosis,
emboli, aneurisma, dan inflamasi.

Pada awal stroke terjadi hemiparese unilateral karena infark di hemisfer serebral
unilateral yang disebabkan adanya lesi pada arteri serebri (anterior/media) atau di kapsula
interna unilateral. Lama – kelamaan lesi ini juga dapat ditemukan pada arteri serebri
(anterior/media) atau kapsula interna yang lain, sehingga terjadi infark pada hemisfer serebral
bilateral. Oklusi pada arteri basilaris juga dapat menyebabkan hemiparese bilateral.
2.2.8 Tetraparese dapat dijumpai pada beberapa keadaan

a. Penyakit infeksi

- Mielitis transversa

Dapat menyebabkan satu sampai dua segmen medula spinalis rusak sekaligus, infeksi

dapat langsung terjadi melalui emboli septik, luka terbuka ditulang belakang, penjalaran

osteomielitis atau perluasan proses meningitis piogenik. Istilah mielitis tidak hanya

digunakan jika medula spinalis mengalami peradangan, namun juga jika lesinya mengalami

peradangan dan disebabkan oleh proses patologik yang mempunyai hubungan dengan infeksi.

Adakalanya reaksi imunologik timbul di medula spinalis setelah beberapa minggu sembuh

dari penyakit viral. Pada saat itu sarang-sarang reaksi imunopatologik yang berukuran kecil

tersebar secara difus sepanjang medula spinalis. Serabut-serabut asenden dan desenden

panjang dapat terputus oleh salah satu lesi yang tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan

kelumpuhan parsial dan defisit sensorik yang tidak masif di seluruh tubuh atau yang dikenal

dengan istilah tetraparese 1.

- Poliomielitis

Poliomielitis adalah peradangan pada daerah medula spinalis yang mengenai

substantia grisea. Jika lesi mengenai medula spinalis setinggi servikal atas maka dapat

menyebabkan kelemahan pada anggota gerak atas dan bawah . Pada umumnya kelompok

motoneuron di segmen-segmen intumesensia servikal dan lumbalis merupakan substrat

tujuan viral. Tahap kelumpuhan bermula pada akhir tahap nyeri muskular. Anggota gerak

yang dilanda kelumpuhan LMN adalah ekstremitas 1.

b. Polineuropati
Polineuropati adalah kelainan fungsi yang berkesinambungan pada beberapa saraf

perifer di seluruh tubuh. Penyebab karena infeksi bisa menyebabkan polineuropati, kadang

karena racun yang dihasilkan oleh beberapa bakteri (misalnya pada difteri) atau karena reaksi

autoimun, bahan racun bisa melukai saraf perifer dan menyebabkan polineuropati atau

mononeuropati (lebih jarang), kanker bisa menyebabkan polineuropati dengan menyusup

langsung ke dalam saraf atau menekan saraf atau melepaskan bahan racun, kekurangn gizi

dan kelainan metabolik juga bisa menyebabkan polineuropati.

Kekurangan vitamin B bisa mengenai saraf perifer di seluruh tubuh, penyakit yang bisa

menyebabkan polineuropati kronik (menahun) adalah diabetes, gagal ginjal dan kekurangan

gizi (malnutrisi) yang berat. Polineuropati kronik cenderung berkembang secara lambat

(sampai beberapa bulan atau tahun) dan biasanya dimulai di kaki (kadang di tangan) .

Kelainan pada saraf perifer dijumpai sebagai berikut : tiga sampai empat hari pertama

pembengkakan dan menjadi irreguler dari selubung myelin. Hari ke lima terjadi desintegrasi

myelin dan pembengkakan aksis silinder. Pada hari ke sembilan timbul limfosit, hari ke

sebelas timbul fagosit dan pada hari ketiga belas proliferasi Schwan sel. Kesemutan, mati

rasa, nyeri terbakar dan ketidakmampuan untuk merasakan getaran atau posisi lengan,

tungkai dan sendi merupakan gejala utama dari polineuropati kronik. Nyeri seringkali

bertambah buruk di malam hari dan bisa timbul jika menyentuh daerah yang peka atau karena

perubahan suhu. Ketidakmampuan untuk merasakan posisi sendi menyebabkan

ketidakstabilan ketika berdiri dan berjalan. Pada akhirnya akan terjadi kelemahan otot dan

atrofi (penyusutan otot). Kelumpuhan biasanya timbul sesudah tidak ada panas, kelumpuhan

otot biasanya bilateral dan simetris dengan tipe "lower motor neuron dengan penyebaran

kelumpuhan yang bersifat ascending yaitu mulai dari ekstrimitas bawah yang menjalar ke

ekstrimitas atas, tetapi bisa pula descending yaitu mulai dari ekstrimitas atas yang turun ke

ekstrimitas bawah .
c. Sindrom Guillain Barre (SGB)

Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus

yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang

biasanya timbul setelah suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu

kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan

kadang-kadang juga muka.

Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan timbul

autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf perifer. Infeksi-infeksi

meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan

perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi

tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks

ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan,

namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia

servikalis dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi.

Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak,

kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut

bergandengan dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota

gerak.

Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau tanpa

disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri

dari sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel

polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast.

Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada

segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi pada
radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf pada

daerah tersebut.

Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor

neuron. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah

kemudian menyebar secara asenden ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis.

Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian

menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh

hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih

berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari

bagian proksimal.

d) Miastenia Grafis

Miastenia grafis adalah penyakit neuromuskular yang menyebabkan otot skelet

menjadi lemah dan lekas lelah. Kelelahan/kelemahan ini disebabkan karena sirkulasi antibodi

yang memblok acetylcholine receptors pada post sinaptik neuromuscular junction, stimulasi

penghambatan ini berpengaruh pada neurotransmiter asetilkolin. Manifestasi klinisnya dapat

berupa kelemahan pada otot yang mengatur pergerakan mata, kelemahan otot pada lengan

dan tungkai, perubahan ekspresi wajah, disfagia, dan disartria.

e) Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)

Penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) adalah suatu kelainan yang progresif

dari sistem saraf yang banyak terjadi pada orang dewasa dengan penyakit motoneuron.

Kondisi tersebut menyebabkan degenerasi saraf motorik bagian atas (brain) dan saraf

motorik bagian bawah (spinal cord) dengan kombinasi tanda upper motor neuron (UMN) dan
lower motor neuron (LMN). Penurunan kualitas saraf ini, menyebabkan Kelemahan pada otot

dan dapat berakhir pada kematian.

Proses degenerasi hanya menyerang pada neuron motorik, yaitu sel-sel saraf yang

mengatur pergerakkan otot. Akibat kelemahan itu, kemampuan tubuh untuk mengatur

gerakan otot yang disadari akan hilang secara perlahan-lahan. Misalnya, memegang,

menjentik, menggaruk, dan sebagainya. Namun penyakit ini tidak mempengaruhi saraf

sensoris (perasa) dan fungsi mental. Meskipun penyebab pasti ALS belum diketahui, teori

yang dikenal saat ini menyatakan neurotransmiter glutamat (suatu zat kimia yang

menghantarkan impuls atau sinyal ke sel-sel saraf) kemungkinan memegang peranan sebagai

penyebab matinya sel-sel saraf motorik. Zat-zat kimia lainnya, seperti molekul radikal bebas

dan kalsium kemungkinan juga ikut terlibat.

Penyakit ALS mengakibatkan sistem neuromuscular tidak berfungsi karena kedua

saraf motorik penderita ALS telah rusak. Seiring berjalannya waktu, penyakit ALS

menyebabkan saraf–saraf motorik yang berada di otak dan batang tubuh mengecil, dan pada

akhirnya menghilang. Akibatnya, otot – otot tubuh tidak lagi mendapat sinyal untuk bergerak.

Karena otot yang berada dalam tubuh kehilangan pemasok nutrisinya, sehingga otot–otot

yang menjadi lebih kecil dan melemah. Saraf-saraf di dalam sistem neuromuscular yang

memberi nutrisi ke otot-otot tersebut terlokalisir, sehingga menyebabkan tumbuhnya jaringan

yang rusak mengantikan saraf–saraf yang normal

2.2.9 MANIFESTASI KLINIS


a. Kelumpuhan UMN
Dicirikan oleh tanda-tanda kelumpuhan UMN, yakni sebagai berikut :
1. Tonus otot meninggi atau hipertonia
Gejala tersebut terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik tambahan
terhadap inti-inti intrinsik medulla spinalis. Hipertonia merupakan ciri khas dari disfungsi
komponen ekstrapiramidal susunan UMN. Hipertonia yang mengiringi kelumpuhan UMN
tidak melibatkan semua otot skeletal, tergantung pada jumlah serabut penghantar impuls
pyramidal dan ekstrapiramidal yang terkena.

2. Hiperefleksia
Hiperefleksia merupakan keadaan setelah impuls inhibisi dari susunan pyramidal dan
ektrapiramidal tidak dapat disampaikan ke motoneuron.

3. Klonus
Tanda ini adalah gerak otot reflektorik, yang bangkit secara berulang-ulang selama
perangsangan masih berlangsung

4. Refleks patologi
Pada kerusakan UMN sering ditemukan reflex patologik, yang tidak ditemukan pada
orang normal.
5. Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh
Rusaknya motoneuron dapat menyebabkan rusaknya serabut-serabut otot yang
tercakup dalam kesatuan motorik sehingga otot-otot yang terkena menjadi kecil (atrofi).
Dalam hal kerusakan serabut-serabut otot penghantar impuls motorik UMN, tidak melibatkan
motoneuron.

Tanda-tanda kelumpuhan UMN dapat ditemukan sebagian atau seluruhnya setelah


terjadinya lesi UMN.

b. Kelumpuhan LMN
Lesi paralitik di susunan LMN merupakan suatu lesi yang merusak mptoneuron,
akson, motor end plate, atau otot skeletal, sehingga tidak terdapat gerakan apapun, walaupun
impuls motorik tiba di motoneuron. Adapun tanda-tanda kelumpuhan LMN yakni :

1. Seluruh gerakan, baik yang voluntar maupun yang reflector tidak dapat dibangkitkan.
Ini berarti bahwa kelumpuhan disertai oleh hilangnya reflex tendon dan tidak adanya reflex
patologis
2. Tonus otot menghilang
3. Atrofi otot cepat terjadi
2.2.10 DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis dapat
menentukan lokasi lesi, misalnya lesi di medulla spinalis (nyeri leher yang menjalar ke kedua
anggota ekstremitas superior) yang merupakan keadaan klinis yang sering ditemukan.
Gambaran kelumpuhan akibat lesi paralitik di susunan pyramidal komponen UMN susunan
neuromuscular berbeda sekali dengan lesi komponen LMN. Adapun tanda-tanda kelumpuhan
UMN yaitu : tonus otot meninggi (hipertoni), hiperefleksia, sering ditemukan klonus kaki,
refleks patologik dan tidak adanya atrofi pada otot yang lumpuh. Kelumpuhan tipe LMN
memiliki tanda-tanda seperti seluruh gerakan, baik yang voluntar maupun yang reflektori
tidak dapat dibangkitkan. Ini berarti bahwa kelumpuhan disertai dengan hilangnya refleks
tendon, tidak adanya refleks patologik, tonus otot menghilang dan atrofi otot cepat terjadi.
b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pada kasus ini, tujuan pemeriksaan adalah untuk mendeteksi pola kelemahan yang
berhubungan dengan otot. Proses yang lebih difus dapat mengenai banyak saraf atau otot
secara simultan, misalnya penyakit metabolik atau inflamasi yang dapat menyebabkan
kelemahan generalisata. Untuk pemeriksaan otot dapat dipilih bagian otot yang penting,
walaupun dapat juga dilakukan semua pemeriksaan otot gerak lain. Pemilihan otot yang
diperiksa berdasarkan anamnesis atau bagian dari pemeriksaan fisik dimana kelemahan otot
dapat dilihat.

Lesi UMN berhubungan dengan pola kelemahan yang khas, tidak seperti lesi LMN,
Lesi UMN lebih berhubungan dengan gerakan volunter. Tes koordinasi anggota gerak juga
dapat memberikan informasi mengenai lokasi lesi. Pemeriksaan refleks tendon juga
merupakan metode langsung untuk menilai refleks regang secara klinis. Kerusakan LMN
akan menyebabkan penurunan atau menghilangnya refleks ini sedangkan lesi UMN akan
meningkatkan refleks ini. Kegunaan utama pemeriksaan reflex tendon adalah untuk
menentukan lokasi lesi terutama lesi di medulla spinalis

c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboraturium
Pada pemeriksaan darah rutin dapat dilihat nilai dari jumlah leukosit yang dapat
menunjukan adanya tanda-tanda infeksi yang merupakan petanda adanya lesi akibat infeksi.
Pemeriksaan kimia darah untuk mengetahui elektrolit tubuh juga merupakan pemeriksaan
yang penting untuk menilai lesi. Kelumpuhan keempat anggota gerak yang bersifat LMN,
mutlak motorik dianggap kelumpuhan miogenik. Patofisiologi nya masih kurang jelas, tetapi
secara klinis terbukti mempunyai hubungan yang erat dengan ion kalium. Dikenal 3 macam
paralisis periodic. Yang pertama ialah paralisis periodik hipokalemik familial, kedua yaitu
paralisis periodic hiperkalemik familial dan yang ketiga adalah paralisis periodik
normokalemik. Perbedaan yang ditonjolkan oleh klasifikasi tersebut berdasarkan kadar
kalium dalam serum. Pada jenis hipokalemik familial, paralisis bangkit pada waktu pagi hari
atau setelah beristirahat atau setelah bekerja, atau setelah makan makanan tinggi karbohidrat.
Paralisis dapat berlangsung beberapa jam bahkan sampai beberapa hari. Kadar kalium
dibawah 3 mEq/L . pada jenis hiperkalemik, kelumpuhan keempat anggota gerak bangkit
selalu setelah bekerja. Sebagian dengan miotonia atau sebagian tidak, paralisis biasanya tidak
berlangsung lama dan kadar kalium dalam serum lebih dari 4,2 mEq/L. Jenis normokalemik
sering menimbulkan kesukaran, baik dalam diagnosis maupun terapi. Serangan paralisis nya
sering bersifat total dan berlangsung lama. Pemberian kalium dapat memperburuk keadaan.

 Pemeriksaan Radiologis
Selain anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboraturium yang
mengarahkan ke diagnosis tetraparese tipe lower maupun upper motor neuron, maka
diperlukan pemeriksaan radiologi untuk menyingkirkan penyebab yang lain. Pemeriksaan
rontgen thoraco-lumbal juga dapat membantu menegakkan diagnosis.

2.2.11 PENATALAKSANAAN
 Terapi Farmakologi
Tujuan pengobatan adalah mengobati gejala simptom dan memperbaiki keadaan
umum penderita. Pencegahan sebaiknya disesuaikan dengan faktor pencetusnya, Bila faktor
pencetusnya karena gangguan elektrolit, maka pemberian cairan elektrolit yang sesuai selama
serangan dapat mengurangi gejala. Pengobatan yang dianjurkan adalah pemberian kalium per
oral, jika keadaan berat mungkin dibutuhkan pemberian kalium intra vena. Penderita
mendapat pengobatan pencegahan dengan menghindari faktor-faktor pencetus dan pemberian
preparat kalium peroral.

 Terapi non farmakologi


Rehabilitasi secara komprehensif dengan melakukan fisioterapi yang dilakukan
setelah onset terbukti meningkatkan fungsi saraf motorik dengan tetraparese

2.2.12 PROGNOSIS
Sekitar 60-70% pasien dengan tetraparalisis dapat sembuh tanpa cacat. Faktor-faktor lain
diduga berhubungan dengan prognosis pasien. Pasien yang berusia 50 tahun atau lebih tua
memiliki sekitar 30% pemulihan tanpa adanya kecacatan. Pasien yang lebih muda memiliki
pemulihan tanpa adanya kecacatan lebih besar.

BAB III

PENUTUP
Parese merupakan kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak lengkap atau

suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu.

Tetraparese adalah kelumpuhan/kelemahan yang disebabkan oleh penyakit atau trauma pada

manusia yang menyebabkan hilangnya sebagian fungsi motorik pada keempat anggota

gerak, dengan kelumpuhan/kelemahan lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan

tungkai. Tetraparese dapat disebabkan karena adanya kerusakan pada Upper motor neuron

(UMN) atau kerusakan pada Lower Motor Neuron (LMN) atau kerusakan di keduanya.

Kerusakan pada Upper motor neuron (UMN) dapat disebabkan adanya lesi di medula

spinalis setinggi servikal atas, kerusakan pada Lower motor neuron (LMN ) bisa mengenai

motorneuronya, radiks, maupun pada otot itu sendiri. Jika kerusakan mengenai Upper motor

neuron (UMN) dan Lower motor neuron (LMN) maka lesinya pada Low cervical cord.

Tetraparese berbeda dengan hemiparese bilateral, walaupun keduanya mempunyai arti

kelemahan pada keempat angggota gerak. Namun, Tetraparese disebabkan adanya lesi di

medula spinalis sedangkan hemiparese bilateral disebabkan karena lesi pada hemisfer

serebral bilateral dan biasanya pada serangan pertama baru terjadi hemiparese unilateral dan

setelah serangan kedua baru terjadi hemiparese bilateral. Tetraparese dapat ditemukan pada

beberapa keadaan seperti ; penyakit infeksi (misalnya mielitis transversa, poliomielitis),

polineuropati, sindrom Guillain Barre, Miastenia gravis, atau pada Amyotrophic Lateral

Sclerosis (ALS).

DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono M, Sidharta P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.


2. Guyton AC, Hall JE. Fisiologi Saraf. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
sebelas. Jakarta : EGC.
3. Lumbantobing SM. 2010. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta :
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia..
4. Harsono. 2010. Buku Ajar Neurologi Klinis. Jakarta : Gadjah Mada University Press.
5. Priguna Sidharta M D Phd. 2008. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta :
Dian Rakyat.
6. Sylvia A Price, Lorraine M Wilson . 2008. Buku ajar patofisiologi. Edisi keenam.
Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai