Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN1

Skizofrenia merupakan penyakit psikosis yang paling umum, dengan


prevalensi global 0.3- 0.7%. Kebanyakan penderita skizofrenia mengalami
hambatan dalam fungsi sosial dan okupasional, namun dengan pengobatan yang
tepat hal ini dapat diatasi.

Onset gejala umumnya timbul pada usia remaja akhir hingga pertengahan
30-an. Penyakit ini dapat menyerang segala etnis, namun berdasarkan studi
terbaru, predileksi penderita pada ras kulit hitam. Selain itu, jumlah penderita
laki-laki juga lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, meski selisih
jumlahnya tidak signifikan.

Genetik memainkan peranan penting sebagai etiologi skizofrenia, meskipun


sebagian besar pasien tidak memiliki riwayat keluarga dengan psikosis. Kerabat
pasien skizofrenia juga memiliki risiko menderita gangguan skizoafektif,
gangguan kepribadian skizotipal, bipolar, depresi, dan gangguan autisme.

Faktor lingkungan juga dapat berpengaruh, di antaranya lahir dan dibesarkan


di daerah urban, penggunaan ganja, infeksi toksoplasma, komplikasi kehamilan,
infeksi system saraf pusat pada masa kanak-kanak, dan umur orang tua saat
mengandung dan melahirkan di atas 55 tahun.

Gejala skizofrenia dapat dikategorikan menjadi dua: positif dan negatif.


Contoh gejala positif berupa halusinasi, delusi, dan berbicara melantur.
Sedangkan gejala negatif berupa menurunnya ekspresi emosi dan rendahnya
motivasi.

Pengobatan dengan antipsikotik dapat mengurangi beberapa gejala


skizofrenia, tetapi juga menimbulkan efek samping seperti gejala
ekstrapiramidal dan perubahan metabolik. Pasien yang menerima pengobatan
antipsikotik, terutama dari obat-obat generasi kedua (antipsikotik atipikal) harus
dimonitor secara berkala untuk perubahan metabolic dan risiko penyakit
kardiovaskular.

1
Pasien dengan skizofrenia secara tipikal ditemukan memiliki IQ yang
rendah baik sebelum terjadinya onset skizofrenia maupun setelah onset apabila
dibandingkan dengan populasi secara general. Penyebab terjadinya skizofrenia
dan hubungan dengan jenis skizofrenia masih belum diketahui secara jelas.2
Meskipun telah dipercayai bahwa penurunan neuropsikologi merupakan ciri
utama dari perkembangan premorbid skizofrenia menjadi bentuk kronis, masih
terdapat beberapa studi longitudinal yang meneliti perubahan fungsi
neuropsikologi sebelum dan sesudah onset skizofrenia.3

Defisit neurofisikalpaling mudah terlihat terutama pada orang dewasa


yang di diagnosa dengan skizofrenia apabila di bandingkan dengan anak-anak
yang defisit neurofisikal terlihat lebih ringan. Temuan ini menunjukkan bahwa
individu dengan skizofrenia mengalami penurunan relatif dalam fungsi
neuropsikologis dari waktu ke waktu sebelum onset penyakit, dengan stabilisasi
dalam fungsi neuropsikologi setelahnya atau setidaknya sampai dewasa yang
lebih tua.3

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Skizofrenia

Skizofrenia merupakan suatu sindrom dengan kumpulan penyebab yang


bervariasi di mana setiap penderita memiliki manifestasi klinis, respon terapi dan
perjalanan penyakit yang berbeda-beda. Gejala yang timbul dapat
mempengaruhi fungsi kognitif, persepsi, memori dan pola piker dimana gejala
yang timbul akan berbeda pada setiap penderita tetapi biasanya efeknya berat
dan bertahan lama.4

Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab


(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetic, fisik dan social budaya. Pada umumnya ditandai
oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan
persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted).
Kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian.5

Skizofrenia adalah suatu gangguan mental kronis dan berat yang mempengaruhi
bagaimana seseorang berpikir, merasa, dan berperilaku. Orang dengan
skizofrenia mungkin tampak seperti mereka telah kehilangan kontak dengan
kenyataan. Meskipun skizofrenia tidak umum seperti gangguan mental lainnya,
gejalanya bisa sangat melumpuhkan.6

2.2 Tanda dan Gejala Skizofrenia4

Gejala skizofrenia terbagi dalam dua kategori: positif dan negatif.

1. Gejala positif adalah perilaku psikotik yang umumnya tidak terlihat pada
orang sehat. Orang-orang dengan gejala positif mungkin “kehilangan
kontak” dengan beberapa aspek realita.

3
Gejalanya termasuk :
- Halusinasi
- Delusi
- Gangguan pikiran (cara berpikir yang tidak biasa atau disfungsi
pikiran)
- Gangguan gerakan (gerakan tubuh yang gelisah)
2. Gejala negatif dikaitkan dengan gangguan terhadap emosi dan perilaku
normal.
Gejalanya termasuk :
- Afek datar (mengurangi ekspresi emosi melalui ekspresi wajah atau
nada suara)
- Kurangnya perasaan senang dalam kehidupan sehari-hari
- Kesulitan dalam memulai dan mempertahankan kegiatan
- Sedikit berbicara

2.3 Diagnosis Skizofrenia

Diagnosis skizofrenia berdasarkan kriteria DSM-V4 :

A. Dua (atau lebih) gejala berikut, masing-masing gejala muncul dalam


durasi yang signifikan yaitu 1 bulan (atau kurang jika berhasil
ditatalaksana). Setidaknya satu dari gejala berikut harus ada (1), (2),
atau (3) :
1. Delusi
2. Halusinasi
3. Bicara meracau (inkoheren atau sering tergelincir)
4. Perilaku katatonik
5. Gejala negatif (hilangnya ekspresi emosional)
B. Dalam waktu yang signifikan sejak onset dari gejala, terjadi
penurunan tingkat fungsi dari satu atau lebih bagian seperti pekerjaan,
hubungan interpersonal, atau perawatan diri (atau jika onset terjadi
pada kanak-kanak atau remaja, terjadi kegagalan dalam mencapai
tingkat yang diharapkan dalam hubungan interpersonal, akademik atau
fungsi bekerja).

4
C. Kelanjutan dari gejala bertahan selama setidaknya 6 bulan. Selama 6
bulan harus termasuk setidaknya 1 bulan gejala yang bertemu dengan
Kriteria A (contohnya; gejala fase aktif) dan mungkin termasuk waktu
dari gejala prodormal atau residual. Selama gejala prodormal atau
residual ini berlangsung, tanda dari gangguan mungkin hanya terdapat
gejala negatif atau dua atau lebih yang disebutkan pada Kriteria A
(contohnya; keyakinan aneh, pengalaman persepsi yang tidak biasa)
D. Gangguan skizoafektif dan depresi atau gangguan bipolar dengan
gejala psikotik telah tersingkirkan karena 1) tidak ada gejala depresi
berat atau episode manik yang terjadi bersamaan dengan gejala fase
aktif, atau 2) apabila episode gangguan mood terjadi selama gejala fase
aktif, episode tersebut telah muncul selama sebagian kecil dari total
durasi waktu aktif dan residual penyakit.
E. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat
(penyalahgunaan obat, tindakan medis) atau kondisi medis lainnya.
F. Apabila ada riwayat gangguan spektrum autisme atau gangguan
komunikasi sejak kecil, diagnosis skizofrenia hanya dibuat jika ada
halusinasi atau delusi yang menonjol dan ditambahkan dengan gejala
lainnya yang didapatkan pada skizofrenia telah terjadi setidaknya
selama 1 bulan (atau kurang jika berhasil ditatalaksana).

Diagnosis Skizofrenia berdasarkan PPDGJ-III5 :

 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas) :
a. - “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau
- “thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari
luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya
diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan

5
- “thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga
orang lain atau umum mengetahuinya;
b. - “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi
oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
- “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya
dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang “dirinya =
secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh atau anggota gerak atau
ke pikiran, tindakan atau penginderaan khusus);
- “delusional perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar
yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik
atau mukjizat;
c. halusinasi auditorik :
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap
perilaku pasien, atau
- mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (di antara
berbagai suara yang berbicara), atau
- jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian
tubuh.
d. waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya
perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau kekuatan dan
kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain).
 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus ada secara jelas :
e. halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh
ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila
terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan
terus menerus;

6
f. arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme;
g. perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme,
mutisme, dan stupor;
h. gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial
dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama
kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase non
psikotik prodromal);
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

2.4 Kelainan Neurofisiologi pada Skizofrenia


Pada pasien skizofrenia, terdapat gangguan pada lobus frontal,
lobus temporal dan juga basal ganglia. Selain itu juga terdapat kelainan
pada sirkuit cortical-striatal-thalamic, yang fungsinya adalah untuk
memproses dan menginterpretasi informasi kognitif dan sensoris. Pada
studi menggunakan Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan
terdapat penurunan rasio ambilan glukosa pada lobus frontal-oksipital
inferior kiri (hipofrontal). Juga terdapat kelainan metabolisme pada
lobus temporal-kortikal, korteks medial frontal, korteks medial temporal,
nukelus kaudatus, thalamus (penurunan jumlah nucleus mediodorsal
thalamus), korpus kalosum, korteks cingulata dan basal ganglia, juga
terdapat asimetrisitas hemisfer kiri dan kanan (metabolisme hemisfer kiri

7
lebih tinggi disbanding kanan). Korteks medial frontal tersebut
merupakan bagian dari sirkuit cortical-striatal-thalamic, gangguan pada
sirkuit ini meyebabkan pasien menjadi apatis, letargis, lambat, serta
penurunan inisiatif. Selain itu juga terdapat gangguan transmisi
interhemisfer pada pasien skizofrenia. Umur juga menjadi salah satu
faktor penyebab penurunan metabolisme glukosa pada korteks medial
frontal, yang disebabkan oleh efek neurotoksik dari kelebihan dopamine
dan glutamat pada regio tersebut
Beberapa studi menunjukkan korelasi antara penurunan
metabolisme glukosa regional di otak dengan gejala skizofrenia.
Rendahnya metabolisme glukosa pada otak ini berkaitan dengan
munculnya gejala negative pada skizofrenia Gejala skizofrenia juga
meningkat pada pasien dengan peningkatan aktifitas dopaminergic pada
korpus striatum. Gejala positif mungkin berkorelasi dengan aktifitas
lobus temporal, hal ini dikarenakan ditemukannya gejala positif pada
kejadian pasca kejang pasien dengan pasien epilepsi lobus temporal kiri,
juga pada pasien yang mengalami atrofi temporal kortikal. Hal ini
menunjukkan bahwa gejala skizofrenia muncul pada peningkatan
aktifitas lobus temporal kortikal kiri. Beberapa studi juga menunjukkan
munculnya gejala positif dan negatif pada pasien dengan abnormalitas
lobus frontal.7
Pasien skizofrenia mengalami gangguan pada proses aktivasi
kognitif spasial dan temporal,yang disebabkan karena adanya kelainan
working memory Pada studi menggunakan transkranial Doppler
sonografi (TCD), terdapat penurunan viskositas aliran darah pada arteri
serebral anterior, media, dan posterior. Abnormalitas tersebut terdapat
pada korteks dorsolateral prefrontal, cinguloparietal, dan korteks
temporal. Pasien skizofrenia mengalami peningkatan supply darah pada
arteri serebral anterior (ACA) dan lobus temporal kiri, hal ini terjadi
sebagai kompensasi dari disfungsi neural parsial. Ketika distimulasi
dengan working memori, pasien skizofrenia mengalami pengaktifan area

8
kortikal yang lebih besar, namun terjadi penurunan aliran darah pada dan
tidak ada peningkatan viskositas aliran darah pada daerah tersebut.8
Penurunan aliran darah otak pada pasien skizofrenia berkaitan
dengan inaktivitas dan gejala katatonia. Studi mengatakan bahwa
penurunan aliran darah pada lobus temporal medial kiri, nucleus
kaudatus (karena kaya akan input dopaminergic) dan prefrontal
areamenyebakan timbulnya gejala psikomotor yang buruk, disorganisasi,
dan distorsi realitas pada penyakit skizofrenia.9
Pasien skizofrenia banyak yang mengalami anhedonia, dimana salah
satu studi mendapatkan keadaan penurunan kepasitas dalam merespon
domain olfaktori dengan perasaan senang. Ketidakmampuan tersebur
disebabkan karena penurunan aliran darah pada 3 daerah limbic, yaitu
nucleus akumbens, korteks insularis, dan girus parahipokampal juga di
daerah vermis serebralis (untuk aktivitas mental non motor). Hal ini juga
menyebabkan kesulitan dalalam menginterpretasi stimulus secara afektif.
Nukleus akumbens berfungsi sebagai respon terhadap keinginan dan
penolakan. Korteks insularis berfungsi sebagai integrasi rangsang
sensoris yang kemudian diinterpretasikan dengan respon emosi yang
sesuai. Girus parahipokampal berfungsi untuk kemampuan menghafal
dan mengingat pengalaman yang lalu.10
Pasien skizofrenia mengalami kesulitan dalam mempertahankan
stimulus pada irama lambat, juga kesulitan untuk beradaptasi pada
stimulus yang terbagi. Hal ini dikarenakan karena ketidakmampuan
untuk memproses stimulus pada keadaan optimal. Dengan kata lain,
pasien skizofrenia mengalami pengurangan atensi selektif.11 Pada orang
normal, P50 diinhbisi untuk dapat membedakan stimulus kedua pada
jarak 500ms setelah stimulus pertama. Penurunan dalam inhibisi P50 ini
terjadi pada pasien skizofrenia, hal ini yang menyebabkan gangguan
atensi. Penurunan tersebut didasari karena penurunan fungsi reseptor α7-
nikotinik kolinergik, reseptor ini mungkin juga berperan pada
skizofrenia yang diwariskan. Reseptor α7-nikotinik kolinergik terdapat
pada gen 15q13-14. Reseptor tersebut terdapat banyak pada daerah

9
hipokampus, selain itu juga terjadi penurunan jumlah neuron pyramidal
pada hipokampus. Nikotin dapat memperbaiki keadaaan tersebut dengan
meningkatkan inhibisi P50.12
Pada studi menggunakan real time PCR (qPCR), terdapat
disregulasi micro RNA (miR)-132 dan c-AMP-responsive element
binding (CREB)-regulated mRNA pada pasien skizofrenia pada korteks
prefrontal. Studi menunjukkan gen tersebut dapat diturunkan dengan
menginhibisi reseptor NMDA pada periode postnatal. Gen lain yang
diregulasi oleh miR-132 adalah P250GAP (meregulasi sinaps yang
overgrowth), DNMT3A (sebagai gen prediksi skizofrenia pada remaja),
GATA2 (regulasi postmitotik diferensiasi neural), dan PDE7B (gen
linkage pada skizofrenia). Disregulasi miR-132 menyebabkan gangguan
dalam maturasi GABA interneuron di korteks prefrontal.13
Pasien skizofrenia mempunyai kadar fosfomoester dan fosfat
inorganik yang lebih rendah, tetapi kadar fosfodiester yang lebih tinggi.
Juga jumlah N-asetil aspartate yang lebih rendah pada daerah
hipokampus dan lobus frontal.4

2.5 Penurunan IQ pada pasien skizofrenia


Penurunan intelejensi di definisikan sebagai penurunan kecerdasan saat
ini dari tingkat premorbid pada pasien dengan skizofrenia. Penurunan
inteljensi dapat di estimasikan dengan membandingkan IQ premorbid
dan IQ saat ini dengan menggunakan Adult Reading Test dan the
Wechsler AdultI ntelligence Scale (WAIS). WAIS telah banyak
digunakan untuk mengukur kinerja intelektual saat ini pada pasien
dengan gangguan kejiwaan serta subjek yang sehat. Beberapa penelitian
telah menunjukkan penurunan kognitif yang beragam. Karena fungsi
kognitif dikorelasikan dengan fungsi sosial pada pasien dengan
skizofrenia, macam-macam intervensi termasuk pemulihan kognitif telah
digunakan untuk memperbaiki fungsi kognitif. Beberapa pasien
menunjukkan gangguan dalam fungsi kognitif setelah onset skizofrenia

10
tetapi ada beberapa subjek yang menunjukkan hasil normal dalam
pemeriksaan fungsi kognitif. 11

Pasien dengan skizofrenia juga ditemukan memiliki perbedaan volume


otak bila dibandingkan dengan orang sehat. Sebuah studi meta-analisis
menunjukkan perubahan progresif pada substansia nigra dan alba.
Perubahan ini terlihat jelas pada satu tahun sejak onset. Perubahan volume
otak berubah sesuai usia pada pasien dengan skizofrenia dan terlihat lebih
parah dibandingkan dengan penuaan yang terjadi secara normal sebelum usia
45 tahun dimana perubahan volume otak terlihat menurun dengan kecepatan
normal. Penurunan substansia alba terjadi lebih lambat dibandingkan
substansia nigra.15
Selama proses maturasi otak, terdapat peningkatan volume total otak
selama masa kanak-kanak, dengan bukti penurunan bertahap setelah usia 13
tahun, stabilitas relatif di usia dewasa muda, dan sedikit penurunan mulai
lagi di pertengahan 30-an, yang berakselerasi di akhir kehidupan, dari sekitar
usia 60. Pengurangan volume otak secara menyeluruh telah ditemukan pada
pasien episode pertama tanpa pengobatan, tetapi pada tingkat yang lebih
kecil daripada pada pasien yang diobati, menunjukkan bahwa pengurangan
volume otak hadir pada onset penyakit, dengan bukti kerugian progresif
lebih lanjut karena efek penyakit dan / atau dampak pengobatan.
Faktor lain yang berkorelasi dengan perubahan volume otak adalah
intelejensi. Pada skizofrenia, penurunan volume otak yang berkaitan dengan
usia telah ditemukan terkait dengan perkembangan relatif dari defisit IQ,
tetapi sulit untuk menguraikan hubungan ini dari efek obat.15
Pasien dengan skizofrenia telah menunjukkan defisiensi myelin dan
perubahan pada volume substansi alba yang ditemukan pada jaringan
posmortem dan diffusion tensor imaging (DTI). Hal tersebut juga sudah
didukung dengan banyaknya studi hipotesis mielin. Temuan neuropatologi
pada substansia nigra dan alba menunjuk kan bahwa perubahan myelin pada
korteks anterior singuata dapat mendasari beberapa deficit perilaku terkait
dengan disfungsi prefrontal.16

11
Menurut studi, varian genetik yang terkait dengan gangguan kognitif
termasuk penurunan intelektual mungkin terkait dengan N-metil-d-aspartat
(NMDA)jaringan glutamate atau ekspresi gen delta 4-desaturase,
sphingolipid 2 (DEGS2. Glutamat adalah neurotransmitter rangsang utama
dari sistem saraf pusat (SSP) dan terlibat dalam fungsi saraf dasar dan
proses SSP, termasuk memori, pembelajaran dan plastisitas sinaptik.
Penurunan fungsi transmisi glutamate melalui reseptor NMDA yang
merupakan reseptor glutamateinotropik yang bergantung pada tegangan
telah terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Antagonis reseptor NMDA
termasuk phencyclidine dan ketamine, dapat menginduksi gejala psikotik
seperti skizofrenia dan gangguan kognitif pada individu tanpa skizofrenia
dan memperburuk gejala pada pasien skizofrenia. Pasien skizofrenia
memiliki kepadatan yang menyimpang dan komposisi subunit reseptor
NMDA pada otak postmortem.
Sejak lahir sampai seterusnya, gen DEGS2 paling banyak diekspresikan
dalam korteks prefrontaldorsolateral (DLPFC) yang merupakan komponen
utama dari korteks asosiatif tingkat tinggi yang terkait dengan skizofrenia
dan fungsi kognitif. Sphingomyelin adalah jenis sphingolipid, dan kelainan
sphingomyelin dapat menyebabkan beberapa penyakit CNS, termasuk
skizofrenia. Rendahnya DEGS2 berkorelasi dengan rendahnya distribusi
fitosfingolipid. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas peran
jaringan glutamat dan ekspresi gen DEGS2 dalam patogenesis penurunan
intelejensi pada skizofrenia.17

2.6 Tata Laksana Skizofrenia1


Obat antipsikosis adalah terapi lini peratama untuk pasien skizofrenia.
Ada 2 tipe obat antipsikosis, yaitu : generasi pertama (tipikal) dan generasi
kedua (atipikal).Contoh golongan tipikal yaitu : haloperidol,
chlorpromazine, perphenazine, thiotixene, sedangkan golongan atipikal
yaitu : aripiprazole, clozapine, lurasidone, olanzapine, palipiradone,
quetiapine, risperidone, ziprasidone. Banyak guideline yang
merekomendasikan pemberian obat psikosis segera setalah terdiagnosa

12
dengan konsultasi ke psikiater. Obat Terapi antipiskosis oral harus diberikan
pada pasien skizofrenia eksaserbasi akut dan dengan gejala psikosis yang
rekuren. Pasien juga harus diinformasikan mengenai kemungkinan relaps
jika pengobatan dihentikan dalam 1-2 tahun pertama. Pasien skizofrenia
yang menerima obat antipskosis mengalami perbaikan kualitas hidup,
namun mengalami peningkatan insidens kenaikan berat badan, sedasi, dan
gangguan pergerakan. Oleh karena itu, pasien yang mengalami perbaikan
gejala harus mendapatkan terapi maintenance. Pasien yang mendapat
perbaikan dalam 2-4 minggu diprediksi memiliki respon jangka panjang
yang baik, meskipun butuh beberapa bulan untuk mencapai efek maksimal.
Pasien harus mendapatkan terapi yang adekuat (setidaknya 4 minggu pada
dosis terapetik) sebelum memutuskan untuk menghentikan atau mengganti
dengan obat yang lain.
Studi menunjukkan tidak ada perbedaan dalam perbaikan kualitas
hidup diantara kedua golongan obat. Perbedaan utama diantara kedua
kelompok obat tersebut adalah pada efek samping, dimana generasi pertama
lebih banyak menyebabkan gejala ekstrapiramidal, seperti pseudoparkinson,
akatsia (sensasi ketidakmampuan untuk mempertahankan posisi ), dan
distonia, sedangkan generasi kedua lebih banyak menyebabkan peningkatan
perubahan metabolik, seperti : kenaikan berat badan, resistensi insulin,
hiperglikemia, dan abnormal lipid. Oleh karena itu pasien harus dimonitor
secara rutin untuk efek samping dan dijaga pada dosis efektif terendah untuk
mengkontrol gejalanya. Obat yang dapat digunakan untuk memperbaiki
gejala ekstrapiramidal yaitu : propranolol, lorazepam, amantadine,
benztropine, dan difenhidramin. Efek samping lain yang dapat muncul pada
penggunaan jangka panjang adalah tardive dyskinesia pada otot muka,
gejalanya yaitu pipi menggembung, lidah menjulur, pergerakan rahang, dan
bibir berkerut. Kondisi ini biasanya ireversibel, tetapi membaik jika obat
dihentikan. Pasien yang mendapatkan clozapine (generasi kedua) beresiko
tinggi untuk mengalami agranulositosis, sehingga direkomendasikan untuk
dilakukan pemeriksaan darah lengkap setiap minggu selama 6 bulan.

13
Terapi tambahan yang dapat dilakukan kepada pasien skizofrenia
adalah dengan cognitive behavior theraphy (CBT), intervensi keluarga,
serta pelatihan ketrampilan social. CBT terutama membantu dalam
perbaikan emosi dan perasaan distress. Pasien yang diterapi kombinasi
lebih sedikit yang mengalami relaps.

2.7 Prognosis Skizofrenia


Pasien dengan skizofrenia memiliki kondisi klinis yang bervariasi, yaitu
remisi, eksaserbasi, atau menjadi kronis secara persisten. Sekitar 20%
pasien memiliki outcome yang positif. Resiko bunuh diri juga 13 kali
lebih tinggi pada pasien skizofrenia, terutama pada pasien dengan
halusinasi auditorik, delusi, penggunaan zat terlarang, serta riwayat
pernah melakukan percobaan bunuh diri. Secara umum, tingkat
mortalitas pada pasien skizofrenia 2-3 kali lebih tinggi dibanding
populasi umunya. Kematian biasanya berkaitan dengan peningkatan
resiko penyakit jantung dan paru, stroke, kanker, dan kejadian
tromboemolik. Saat ini pasien skizofrenia menunjukkan perbedaan
dalam respon terhadap terapi, dan prognosisnya dapat diperkirakan,
namun sepertiga pasien yang diterapi tetap simptomatik. Meskipun
kebanyakan pasien membutuhkan berbagai bentuk dukungan, namun
pasien masih dapat hidup secara independen dan dapat berpartisipasi
secara aktif dalam hidupnya.1
Salah satu protokol yang dapat digunakan untuk memprediksi
kesembuhan penyakit skizofrenia adalah Positive and Negative
Syndrome Scale (PANSS). Skala ini digunakan sebagai evaluasi terapi
pada pasien skizofrenia, sekaligus sebagai indikator prognosis untuk
penyakit tersebut. Skala ini dapat mengevaluasi perubahan dari gejala
positif, negatif, dan kognitif pada penyakit skizofrenia ataupun
skizoafektif, serta memperkirakan hubungan antar gejala ataupun
hubungannya terhadap psikopatologi penyakit tersebut. Skala ini terdiri
dari 3 komponen : positif (P), neatif (N), dan kognitif atau patologi
umum (G). Gejala positif terdiri atas delusi, halusinasi, dan pemikiran

14
yang disorganisasi. Gejala negative dicirikan dengan gangguan pada
fungsi kognitif, afektif, dan penarikan diri secara pasif. Patologi umum
terdiri atas beberapa gangguan, seperti disorientasi, atensi ang buruk,
penurunan insight, dan penolakan kehidupan social secara aktif. Positif
dan negative terdiri atas 7 indikator (P1-P7, N1-N7) sedangkan patologi
umum terdiri atas 16 indikator (G1-G16). Setiap indicator diberikan nilai
1 sampai 7 (1 = absen, 2 = minimal, 3 = ringan, 4 = sedang, 5= sedang-
berat, 6 = berat, 7 = sangat berat).

Selain mengajukan pertanyan sesuai dengan skala yang sudah ada,


terapist juga meminta pasien untuk dapat menceritakan mengenai
riwayat penyakit, hal hal yang berhubungan dengan pengobatannya,
serta situasi dan gejala yang dihadapi sekarang. Pasien juga dinilai
afeksi, motorik, perilaku, dan fungsi kognitifnya, serta pemikiran kreatif
dan perhatian mereka terhadap suatu hal.12

15
Tabel 2. Ciri untuk mempertimbangkan prognosis baik hingga buruk
pada skizofrenia4
Prognosis baik Prognosis buruk

Awitan lambat Awitan muda

Ada faktor presipitasi yang jelas Tidak ada faktor presipitasi

Awitan akut Awitan insidius

Riwayat sosial, seksual, dan Riwayat, seksual, dan pekerjaan


pekerjaan promorbid baik promorbid buruk

Gejala gangguan mood (terutama Perilaku autistik, menarik diri


depresi)
Menikah Lajang, cerai

Riwayat keluarga dengan Riwayat keluarga dengan gangguan


gangguan mood skizofrenia

Sistem pendukung baik Sistem pendukung buruk

Gejala positif Gejala negatif


Tanda dan gejala neurologis
Riwayat trauma perinatal
Tanpa remisi dalam 3 tahun
Berunlangkali relaps
Riwayat melakukan tindakan
penyerangan

16
BAB 3
KESIMPULAN

Skizofrenia merupakan penyakit psikosis yang paling umum terjadi


secara global dengan Kebanyakan penderita skizofrenia mengalami hambatan
dalam fungsi sosial dan okupasional, namun dengan pengobatan yang tepat hal
ini dapat diatasi. Penyakit ini mempunyai tingkat mortalitas yang tinggi
dibanding kelompok pasien normal. Banyak kelainan neurofisiologi yang
mendasari terjadinya skizofrenia. Kelainan tersebut dideteksi menggunakan PET
scan, Transcranial Doppler US, dan juga PCR. Dari penemuan tersebut
didapatkan terdapat gangguan dalam metabolisme glukosa pada region tertentu,
gangguan dalam aliran darah, serta gangguan regulasi gen dan reseptor di dalam
otak. Penurunan IQ dapat terjadi pada pasien dengan skizofrenia, tetapi terdapat
juga pasien yang jatuh dalam kategori IQ normal. Penyebab menurunnya IQ
pada skizofrenia bisa disebabkan oleh genetik dan perubahan volume otak Saat
ini pengobatan utama skizofrenia adalah menggunakan obat antipsikosis, yang
pada keadaan klinisnya banyak menimbulkan efek samping yang cukup banyak,
sehingga harus dipantau dosis terapetiknya. Salah satu cara menilai evaluasi
pengobatan serta prognosis pasien adalah dengan menggunakan protocol
PANSS (Positive and Negative Symptom Scale).

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Holder S, Wayhs A. Schizophrenia. American Family Physician


Association. 2014;90(11):775-782.
2. Černis E, Vassos E, Brébion G, McKenna PJ et al. Schizophrenia
patients with high inteliegence: A clinically distinct sub-type of
schizophrenia. 2015: 628-632.
3. Madeline H, Caspi A, Abraham R, Richard S et al. Postonset period:
evidenced from a population representative longitudanl study. The
american journal of psychiatry. 2014
4. Sadock B, Kaplan H, Sadock V. Kaplan & Sadock's synopsis of
psychiatry. 11th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer, Lippincott Williams
& Wilkins; 2015.
5. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III
dan DSM-V. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
Jakarta; 2013
6. NIMH » Schizophrenia [Internet]. Nimh.nih.gov. 2018 [cited 13
December
2018].Availablefrom:https://www.nimh.nih.gov/health/topics/schizophre
nia/index.shtml
7. Siegel B, Buchbaum M, Bunney, Jr W, Gottschalk L, Haier R, Lohr J et
al. Cortical-striatal-thalamic circuits and brain glucose metabolic activity
in 70 unmedicated male schizophrenic patients. American Journal of
Psychiatry. 1993;150(9):1325-1336.
8. Sabri O, Owega A, Schreckenberger M, Sturz L, Fimm B, Kunnert P et
al. A Truly Simultaneous Combination of Functional Transcranial
Doppler Sonography and H 2 15 O PET Adds Fundamental New
Information on Differences in Cognitive Activation Between
Schizophrenics and Healthy Control Subjects. Journal of Nuclear
Medicine. 2003;44:671-681.

18
9. Liddle P, Friston K, Frith C, Hirsch S, Jones T, Frackowiak R. Patterns
of cerebral blood flow in schizophrenia. British Journal of Psychiatry.
1992;160:179-186.
10. Crespo-Facorro B, Paradiso S, Andreasen N, O'Leary D, Watkins G,
Ponto L et al. Neural Mechanisms of Anhedonia in Schizophrenia.
JAMA. 2001;286(4):427.
11. Baribeau-Braun J, Picton T, Gosselin J. Schizophrenia: a
neurophysiological evaluation of abnormal information processing.
Science. 1983;219(4586):874-876.
12. Freedman R, Coon H, Myles-Worsley M, Orr-Urtreger A, Olincy A,
Davis A et al. Linkage of a neurophysiological deficit in schizophrenia to
a chromosome 15 locus. Proceedings of the National Academy of
Sciences. 1997;94(2):587-592.
13. Miller B, Zeier Z, Xi L, Lanz T, Deng S, Strathmann J et al. MicroRNA-
132 dysregulation in schizophrenia has implications for both
neurodevelopment and adult brain function. Proceedings of the National
Academy of Sciences. 2012;109(8):3125-3130.
14. Shankar G, Nate C. Positive and Negative Syndrome Scale as a long-
term outcome measurement tool in patients receiving clozapine ODT: A
Pilot Study. Pharmacy Practice (Internet). 2007;5(1):42-45.
15. Maria H, Nikolaj B, Egil R, Mette N et al. The impact of schizophrenia
and intelligence on the relationship between age and brain volume.
Schizophrenia Research: Cognition. 2019 (1-6).
16. Cagri Y, Julie M, Ann S, Danielle L et al. Gray matter volume in
schizophrenia and bipolar disorder with psychotic features. HHS Public
Access. 2012, 138(2-3): 177-182
17. Kazutaka O, Chika S, Haruo F, Yuka Y et al. A brief Assessment of
intelligince decline in schizophrenia as representated by the difference
between current and premorbid intellectual quotient. Frontiers in
psychiatry, 2017.

19

Anda mungkin juga menyukai