Disusun Oleh:
Rheisarando Pasaribu – 01073170178
Felicia Rusdi Silviani – 01073170060
Penguji:
dr. Retno Jayatri Ketaren, Sp.S
1
BAB I
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. AS
Jenis Kelamin : Pria
Usia : 52 tahun
Status : Sudah menikah
No. Rekam Medis : 00-82-60-xx
Tanggal Masuk RS : 19 September 2018
II. Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 22 September 2018 di
Bangsal High Care Unit Rumah Sakit Umum Siloam (HCU RSUS).
Keluhan Utama
Kelemahan pada keempat anggota gerak sejak 3 hari SMRS.
2
dan kejang. Pasien menyangkal adanya gangguan buang air besar dan
buang air kecil. Pasien menyangkal adanya gangguan bernafas.
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak ada mengonsumsi obat-obatan rutin.
Riwayat Keluarga
Tidak ada keluhan serupa pada keluarga pasien.
Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
3
Disability: GCS E4M6V5, compos mentis, pupil isokor 3mm, refleks
cahaya langsung (-/-), refleks cahaya tidak langsung (-/-), tidak ada
lateralisasi
Kepala : normosefali
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
THT : deviasi septum (-), pernapasan cuping hidung (-), sekret (-)
Leher : tidak ada pembesaran KGB
Paru : simetris, vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : supel, BU (+), timpani pada seluruh lapang abdomen, nyeri
tekan (-)
Punggung : deformitas tulang belakang (-)
Ekstremitas: edema (-/-), CRT < 2 detik, akral hangat
Status Neurologis
GCS 15 (E4 M6 V5) compos mentis
Kanan Kiri
Nervus I Penciuman Tidak dilakukan
4
Nervus II Visus 6/6 6/6
Lapang pandang Sulit dinilai
Warna R/G/B R/G/B
Funduscopy Tidak dilakukan
Nervus III, IV, VII Sikap bola mata Orthophoria Orthophoria
Celah palpebral (–) (–)
Pupil Bulat, 3 mm Bulat, 3 mm
Reflex cahaya langsung (+) (+)
Reflex cahaya tidak langsung (+) (+)
Nistagmus (–) (–)
Reflex konvergensi (–) (–)
Pergerakan bola mata
Nervus V Motorik
Mengigit Kanan dan kiri sama kuat
Reflex kornea (+) (+)
Sensorik
V1 Kanan dan kiri sama
V2 Kanan dan kiri sama
V3 Kanan dan kiri sama
Nervus VII Motorik
Sikap mulut saat istirahat Plica nasolabialis kanan melandai
Angkat alis Kanan dan kiri simetris
Mengerutkan dahi Kanan dan kiri simetris
Menyeringai Plica nasolabialis kanan melandai
Sensorik
Rasa kecap 2/3 anterior lidah Tidak dilakukan
Nervus VIII Cochlearis
Suara bisikan/ gesekan jari (+) (+)
Rinne Tidak dilakukan
Weber Tidak dilakukan
5
Schwabach Tidak dilakukan
Vestibularis
Nistagmus (–) (–)
Romberg Tidak dapat dilakukan
Tandem gait Tidak dapat dilakukan
Fukuda stepping Tidak dapat dilakukan
Past Pointing Tidak dapat dilakukan
Nervus IX, X Arkus faring Kanan dan kiri simetris
Uvula Di tengah, deviasi (–)
Disfoni (–)
Disfagia (+)
Reflex faring Tidak dilakukan
6
Motorik
Kanan Kiri
7
Koordinasi
Finger tapping : Abnormal
Finger – nose test : Hipometri
Heel to shin test : Tidak dilakukan
Disdiakokinesis : Normal
Otonom
Miksi : Masih bisa menahan
Defekasi : Masih bisa menahan
Sekresi keringat : Tidak ada keluhan
IV. Resume
Pasien laki-laki usia 52 tahun datang dengan keluhan lemas pada
keempat anggota gerak sejak 3 hari SMRS. Lemas diawali dengan rasa
kesemutan pada ujung kaki, lalu ke ujung tangan, dan menyebar ke seluruh
tubuh. Pasien sempat mengalami flu berat, batuk dan pilek 7 hari SMRS.
Pasien mengeluh double vision. Pasien mengeluh pelo saat bicara, kesulitan
menelan, tidak bisa mengontrol gerakan volunter anggota gerak, dan bagian
wajah sebelah kanan tertinggal. Pada pemeriksaan fisik, GCS 14 E4M6V5
dan tekanan darah 151/102 mmHg. Ditemukan parese nervus kranialis VII
sentral dekstra dan XII dekstra. Selain itu, ditemukan hiporeflek pada anggota
gerak atas dan arefleksia pada anggota gerak bawah. Pada pemeriksaan
koordinasi, finger tap abnormal, dan finger nose test hasilnya hipometri.
V. Diagnosis
Klinis : parese nervus kranialis VII sentral dekstra dan XII
dekstra, tetraparese tipe LMN, generalized paresthesia, ataxia
Topis : radiks
Etiologis : autoimun suspek GBS, infeksi
Patologis : demyelination
8
VI. Diagnosis Banding
Myesthenia gravis
Multiple sclerosis
VIII. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Hematocrit 52.2 % 40 – 52
Basophil 0 % 0– 1
Eosinophil 0 % 1– 3
Band Neutrophil 3 % 2– 6
Segment Neutrophil 83 % 50 – 70
Lymphocyte 11 % 25 – 40
Monocyte 3 % 2– 8
ESR 3 mm/hours 0 – 15
9
MCH 29.90 pg 26 – 34
3. Neostigmin Test
Hasil interpretasi neostigmin test negatif.
10
Sediment Negatif Negatif
Mikroskopik
Cell Count 1 < 10
11
Differential Count
PMN 0 %
MN 100 %
Chemicals
Nonne Negatif Negatif
Pandy Negatif Negatif
Glucose 86.0 mg/dL 40.0 – 76.0
Chloride (Cl) 121 mmol/L 115 – 130
Protein 0.46 g/L 0.15 – 0.45
X. Saran Tatalaksana
12
BAB II
ANALISA KASUS
Pada kasus ini pasien pria berusia 52 tahun datang dengan keluhan lemas
pada keempat anggota gerak bersamaan dengan double vision sejak 3 hari SMRS.
Pasien mengeluh adanya paresthesia pada ujung kaki yang menjalar ke ujung
tangan sampai dengan seluruh tubuh (ascending). Pada pasien ini ditemukan
ataksia, bicara pelo, dan ada kesulitan menelan. Pasien memiliki riwayat flu berat
7 hari SMRS sebelum mengalami kelemahan. Diagnosis etiologis dari gejala-
gejala tersebut dapat dipertimbangkan antara lain sindrom Guillain-Barre,
myesthenia gravis, dan multiple sclerosis.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan GCS E4 M6 V5, tekanan darah
151/102 mmHg. Ditemukan juga adanya tetraparese tipe LMN, ataksia,
optalmoplegia dekstra, dan parese nervus kranialis VII sentral dekstra serta XII
dekstra. Penyebab vaskular seperti stroke akut dapat dipikirkan dengan adanya
gejala pelo, parese nervus kranialis, dan tetraparese. Namun pada gambaran CT
tidak ditemukan adanya gambaran lesi perdarahan atau lesi iskemik. Selain itu,
pada pasien ini gejala kelemahan anggota gerak muncul gradual diawali dengan
parestesia pada kaki lalu tangan dan menyebar ke seluruh tubuh, sedangkan pada
stroke onset gejala akut dan mendadak. Oleh karena itu, penyebab vaskular dapat
disingkirkan. Kemungkinan infeksi sistem saraf pusat pada pasien ini juga dapat
disingkirkan dengan tidak ditemukannya keluhan demam, kejang, sakit kepala,
dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan penunjang CBC, fungsi hati, fungsi
ginjal, gula darah sewaktu, dan elektrolit tidak ditemukan adanya kelainan
sehingga penyebab metabolik dapat disingkirkan.
Pada multiple sclerosis, gejala awal yang muncul berbeda dengan gejala
khas GBS. MS biasa diawali dengan gejala kelemahan fokal, rasa kebas, atau
ketidakseimbangan pada ekstremitas, penglihatan mendadak hilang atau kabur
pada satu mata, diplopia, disekuilibrium, dan gangguan buang air kecil. Gejalanya
biasa hanya muncul sementara setelah beberapa hari kemudian menghilang. Pada
pemeriksaan CSS, ditemukan oligoclonal bands, peningkatan protein dengan
13
limfositosis ringan. Selain itu, diagnosis MS baru bisa ditegakkan apabila terdapat
bukti setidaknya dua regio white matter berbeda yang terkena dan pada dua waktu
yang berbeda. Oleh karena itu, diagnosis MS bisa disingkirkan.
Pada pasien ditemukan adanya gejala parestesi pada bagian distal dan
bersifat simetris. Pola gejalanya bersifat ascending dimulai dari kaki lalu ke
tangan (stocking gloves syndrome) merupakan salah satu gejala khas dari GBS.
Pada pasien ini juga ditemukan adanya kelemahan pada seluruh anggota gerak
yang bersifat progresif dan penurunan refleks fisiologis bahkan arefleksia. Oleh
karena itu, dapat diperkirakan adanya tetraparese dengan tipe lesi LMN yang
mengarah kepada diagnosis GBS. Diagnosis GBS ini juga dapat ditegakkan
ditemukannya disosiasi sitoalbumin pada analisa cairan otak dari lumbal pungsi.
Disosiasi sitoalbumin menunjukkan nilai cell count normal dan peningkatan kadar
protein.
15
secara lengkap sehingga ada yang disebut Sindomra Miller Fisher inkomplit yang
ditandai dengan munculnya opthalmoparesis akut tanpa adanya ataxia ataupun
neuropati ataksik akut tanpa ophtamoplegia. Pada awal munculnya gejala,
seringkali terdapat diplopia karena kelemahan otot ekstraokular yang kemudian
akan berkembang menjadi opthalmoplegia. Gejala yang lebih jarang terjadi terdiri
dari disestesia ekstremitas, blepharoptosis; face, bulbar, dan pupillary palsies;
kelemahan motor ringan (grade 4), dan gangguan mikturisi. Tanda-tanda klinis ini
didahului oleh tanda-tanda infeksi saluran pernapasan atas pada 56-76% pasien.
Patogen yang paling umum adalah Campylobacter jejuni dan Haemophilus
influenzae. Namun, Mycoplasma pneumoniae dan cytomegalovirus juga
ditemukan terkait. Onset MFS biasanya akut, dimulai dengan gejala neurologis
sekitar 8-10 hari (kisaran 1–30), setelah penyakit pendahulunya.
16
diagnostik di SMF. SMF dapat didiagnosa berdasarkan gejala kardinal ataksia,
areflexia, dan oftalmoplegia. Namun, tanda-tanda dan gejala neurologis lainnya
mungkin juga hadir yang mengarah ke pemeriksaan diagnostik yang lebih
menantang. Opthalmoplegia bilateral adalah fitur pertama yang ada pada SMF.
Namun dalam studi kasus kami, pasien mengalami kelemahan unilateral yang
seharusnya akan berkembang menjadi kelemahan bilateral akhirnya.
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5
g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut
sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam
pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein
biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS
pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3
(albuminocytologic dissociation). Pada pemeriksaan imunologi akan ditemukan
anti GQ1b atau IgG anti-GD1b dapat mengkonfirmasi diagnosis klinis dari
Sindrom Miller Fisher.
Onset yang cepat pada gejala mata SMF dapat membedakannya dari
penyakit kronis seperti miastenia gravis (MG), thyroid eye disease (TED), dan
myotonik dystrophy (MD). Pada MG, paralisis mata dapat berpindah dari satu
mata ke mata lainnya dan membaik atau memburuk dalam satu hari.
Ophthalmoplegia pada SMF akan semakin memburuk sampai nadir gejala telah
tercapai dan selesai sebelum pemulihan tercatat.
TED dapat terjadi pada pasien yang sudah didiagnosis dengan penyakit
tiroid, atau sangat jarang itu adalah gejala pertama yang mendapatkan perhatian
medis. Gejala TED termasuk mata kering, mata berair, mata merah, mata
menonjol, "stare," penglihatan ganda, kesulitan menutup mata, dan masalah
dengan penglihatan. Namun, pasien kami tidak memiliki penyakit tiroid yang
mendasari atau memiliki tanda-tanda klinis lain dari TED. Gejala okular pada MD
terutama ditandai dengan ptosis yang variable (artinya posisi kelopak mata dapat
berubah pada dasar menit ke menit), dan dalam beberapa kasus, itu berkembang
menjadi complete paralisis. Ciri khas lain dari MD adalah kelemahan wajah,
rahang, dan leher serta kelemahan ekstremitas yang disertai dengan kelainan
17
terkait defek konduksi jantung, karakteristik facies (wajah yang panjang dengan
atrofi temporalis dan masseter), kebotakan frontal, dan intelektual impairment
yang variabel. Ketiadaan sebagian besar fitur ini membuat diagnosis MD sangat
tidak mungkin seperti dalam kasus kami.
Secara klinis penting untuk membedakan SMF dari GBS karena SMF
yang murni tidaklah umum. Banyak pasien SMF terus mengalami kelemahan
GBS yang khas dan meluas. Perlu dicatat bahwa defisit neurologis pada SMF
mengikuti pola descending yang dimulai dengan ophthalmalgia eksternal yang
menyebabkan diplopia di mata. Sedangkan, GBS khas hadir dengan kelemahan
atau kelumpuhan acending. SMF juga bisa misdiagnosed sebagai stroke akut.
Gejala cerebellar ischemia muncul unsteady gait, pusing, sakit kepala, disfungsi
gerakan bola mata, serta mual dan muntah. Meskipun SMF dan kejadian iskemik
keduanya akut, pasien ataksik dengan keterlibatan serebelar menunjukkan
lateralisasi ataksia sementara pasien SMF biasanya tidak terdapat lateralisasi
ataksia. Hal ini membantu untuk membedakan SMF dari sebagian besar lesi
serebelum. Namun, ataksia juga dapat dilihat pada kondisi yang melibatkan
traktus spinocerebellar, atau saluran proprioception pada saraf perifer dan dorsal
collumn. Toksin dan obat sodium channel modulator seperti fenitoin dan beberapa
agen kemoterapik seperti fluorourasil dapat memicu episode ataksik.
Ataxia sekunder akibat intoksikasi alkohol (drunken gait), sebagian besar
mempengaruhi ekstremitas bawah dan juga berhubungan dengan kontrol motorik
yang buruk pada tangan, bicara pelo, dan gangguan penglihatan. Ini dapat
dibedakan dari ataksia pada pasien SMF karena perkembangan kelemahan dengan
pattern “dari atas ke bawah”. Dalam studi kasus kami, pencitraan otak negatif
untuk stroke, tingkat alkohol normal, dan tidak ada paparan terhadap obat atau
racun yang tertera diatas.
Areflexia dapat muncul dalam kondisi neurologis tertentu yang merusak
lower motor neuron di spinal cord atau saraf perifer. Diabetes dan kekurangan
vitamin B12 dapat menyebabkan neuropati perifer dan kemudian dapat
termanifestasi sebagai areflexia. Kerusakan sel anterior horn, yang biasa
ditemukan dalam amyotrophic lateral sclerosis (ALS) dan polio dapat muncul
18
sebagai areflexia. Begitu juga, areflexia juga dapat terjadi pada fase subakut
spinal shock- biasanya pada transeksi atau kompresi spinal cord yang berkembang
menjadi hyperreflexia setara dengan perberkembangan patologisnya. Areflexia
juga dapat dilihat pada kelainan metabolik seperti hipomagnesemia, alkoholisme,
dan penggunaan obat-obatan tertentu seperti antidepresan. Dalam hal ini, pasien
memiliki panel metabolik normal, tidak ada kekurangan vitamin atau penggunaan
antidepresan, dan tidak ada tanda-tanda kerusakan spinal cord.
SMF adalah kondisi yang self limiting dan perbaikan yang bertahap
menandai masa pemulihannya dan seringkali resolusi gejala. Jarang terjadinya
komplikasi serius seperti aritmia jantung atau respiratory failure yang telah
dilaporkan. Ataksia dan oftalmoplegia biasanya sembuh dalam satu hingga tiga
bulan setelah onset, dan near complete recovery diharapkan dalam waktu enam
bulan. Meskipun areflexia mungkin menetap, itu tidak terkait dengan disability
fungsional. Meskipun SMF self-limiting, terapi imunomodulator termasuk
globulin imun intravena dan plasmapheresis telah digunakan untuk mempercepat
waktu pemulihan penyakit dan mungkin menurunkan kemungkinan
perkembangan ke kondisi yang lebih berat seperti GBS.
Tujuan pengobatan seperti halnya pada pengobatan SGB untuk
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui
system imunitas.
b. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi
19
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan
dosis 0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari.
20
DAFTAR PUSTAKA
21