Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

GUILLAIN - BARR SYNDROME

Disusun oleh:
Claudia Susanto
406148133
Pembimbing :
dr. Natan Payangan, Sp.S

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf
RSPI Sulianti Saroso
Periode 26 September 29 Oktober 2016

BAB I
PENDAHULUAN
Guillain-Barr Syndrome (GBS) adalah suatu penyakit saraf yang
berhubungan dengan proses autoimun, dimana targetnya adalah saraf perifer,
radiks, dan nervus kranialis. Penyakit ini terjadi setelah adanya infeksi
akut. Biasanya penyakit ini adalah berupa kelumpuhan akut didaerah tubuh bagian
bawah yang bergerak ke arah ekstremitas atas, otot pernafasan dan sampai
wajah. Secara

bertahap pasien kehilangan

semua refleks lalu

mengalami

kelumpuhan tubuh lengkap.


GBS adalah suatu kelainan mengancam kehidupan dan memerlukan
perawatan yang

tepat

waktu dan

perawatan

suportif

dengan

imunoglobulin intravena atau plasmaferesis. Sayangnya, banyak orang kehilangan


nyawa mereka tanpa perawatan medis yang tepat dan cepat.
GBS dapat menyerang semua kelompok umur baik anak-anak maupun
dewasa. Insidens pada dewasa berkisar antara 0,4 - 2,4 kasus per 100.000 per
tahun. Insidens pada anak berkisar antara 0,5 1,5 per 100.000 per tahun pada
populasi muda yang berusia < 18 tahun. GBS dapat terjadi di semua usia anak,
namun jarang terjadi pada anak < 2tahun.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Guillain-Barr Syndrome (GBS) merupakan paralisis polineuropati perifer
yang bersifat ascending, progresif, dan berhubungan dengan proses autoimun.
Kejadian GBS, biasanya didahului oleh infeksi akut non spesifik sebelumnya,
seperti infeksi saluran nafas atau infeksi saluran cerna. Gejala pada GBS terutama
berupa kelemahan motorik dan areflexia, namun dapat juga meliputi kelainan
sensorik, otonom, dan nervus kranialis.1
2.2. Epidemiologi
GBS dapat menyerang semua kelompok umur baik anak-anak maupun
dewasa. Insidens pada dewasa berkisar antara 0,4 - 2,4 kasus per 100.000 per
tahun.2 Insidens pada anak berkisar antara 0,5 1,5 per 100.000 per tahun pada
populasi muda yang berusia < 18 tahun. GBS dapat terjadi di semua usia anak,
namun jarang terjadi pada anak < 2tahun.3
2.3. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya. GBS biasanya didahului oleh infeksi akut non spesifik, seperti
infeksi respiratorik atau infeksi saluran pencernaan. Infeksi dapat disebabkan baik
oleh virus maupun bakteri, seperti: Cytomegalovirus, Epstein-Barr virus,
Haemophilus infuenzae, Herpes Simplex Virus, Mycoplasma
pneumonia, Campylobacter jejuni. Insidens kasus GBS yang didahului
dengan infeksi terjadi sekitar 65-74% kasus, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum
gejala neurologi timbul.1,3
Selain infeksi, beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin
ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain vaksinasi, limfoma,
systemic lupus erythematosus.2

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
2

2.4. Patogenesis
Sampai saat ini, bagaimana patogenesis terjadinya GBS masih belum jelas.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada
sindrom ini adalah melalui mekanisme imun. Kerusakan saraf dapat berupa
demielinisasi maupun degenerasi aksonal. Kerusakan saraf tepi pada GBS
dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh
berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. 3,4
Respon imun muncul sebagai mekanisme pertahanan tubuh, namun pada
GBS, terjadi proses autoimun dimana sel imun tubuh meyerang komponen sel
saraf tepi akibat adanya kemiripan (molecular mimicry) antara antigen patogen
dengan komponen sel saraf. Pada AIDP, sistem imun tubuh bereaksi melawan sel
schwann, sehingga terjadi demielinisasi serabut saraf. Pada AMAN, sistem imun
tubuh menyerang gangliosida pada saraf perifer yang memiliki kemiripan dengan
antigen organisme patogen (molecular mimicry). Target molekul pada AMAN
adalah gangliosida GM1, GM1b, GD1a, GaINAc-GD1a yang terdapat pada
axollema, sehingga pada AMAN terjadi degenarasi axonal.5

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
3

Gambar 1. Guillain-Barr Syndrome

Gambar 2. Patogenesis Guillain-Barr Syndrome

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
4

2.5. Manifestasi Gejala Klinis dan Klasifikasi


Pada GBS, terjadi 3 fase yang disebut triphasic model, yaitu:4
1. Fase akut
2. Fase plateau
3. Fase recovery
Gejala inisial biasanya muncul 1-4 minggu setelah infeksi respiratorik atau infeksi
saluran cerna. Fase akut ditandai dengan adanya onset penyakit dan progresifitas
gejala. Pada fase ini anak mulai menunjukkan kelemahan berjalan, adanya gait,
tidak bisa berlari, dan tidak bisa menaiki tangga. Kelemahan biasanya dimulai dari
kaki lalu ke badan, tangan, wajah, dan otot respiratorik. Kelemahan biasanya
disertai dengan hiporefleks atau arrefleks, dengan atau tanpa parestesi dan
gangguan otonom.2 Sebanyak 89% pasien melaporkan nyeri yang disebabkan
GBS pada beberapa waktu selama perjalanannya. Nyeri paling parah dapat
dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan
dengan sedikit gerakan. Rasa nyeri ini sering digambarkan seperti sakit berdenyut.
Fase ini dapat berlangsung dalam jam sampai berminggu-minggu, biasanya
mencapai puncak pada minggu ke-2 setelah onset. Fase plateau berlangsung
selama beberapa hari (10-12 hari) sampai 4 minggu. Fase recovery berlangsung
selama beberapa minggu sampai berbulan-bulan. Dari penelitian terhadap 106
anak, terdapat 98 anak (92%) yang dapat berjalan tanpa bantuan dan bebas dari
gejala setelah 6 bulan.4

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
5

Derajat penyakit GBS didasarkan pada skala disabilitas dari Huges


(tabel1). Pada GBS berat, pasien memiliki skala 4.
Table 1. Skala disabilitas GBS menurut Hughes4
0
1
2

Sehat
Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan pekerjaan manual
Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat (sejauh 5m), namun tidak dapat

3
4
5
6

melakukan pekerjaan manual


Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang (sejauh 5m)
Kegiatan terbatas di tempat tidur/kursi
Membutuhkan bantuan ventilasi
Kematian

GBS terdiri dari beberapa subtipe, yaitu sebagai berikut:1,4


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf
RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
6

Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy


Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
adalah jenis paling umum ditemukan pada GBS, banyak terdapat di Amerika dan
Eropa. Pada AIDP dapat ditemukan kelemahan ascending onset akut, hiporeflex,
dengan peningkatan protein CSS. Secara histopatologi pada AIDP terdapat
infiltrasi limfositik saraf perifer dan demielinasi segmental makrofag. Pemulihan
baik.

Acute Motor Axonal Neuropathy


Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) merupakan subtipe GBS yang
paling banyak terjadi pada kelompok anak-anak, dengan ciri khas degenerasi
motor axon. 70-75% pasien AMAN menunjukkan seropositif terhadap
Campilobacter jejuni.3 Klinisnya mirip dengan AIDP yaitu ditandai dengan
kelemahan ascending onset akut, hiporeflex, dengan peningkatan protein CSS.
Secara histopatologi, ditemukan adanya infiltrasi makrofag pada axon. Pada
AMAN, dapat ditemukan antibodi terhadap gangliosida GM1, GM1b, GD1a,
GaINAc-GD1a. AMAN dilaporkan banyak terdapat di Amerika Selatan dan Cina.
Selama musim panas GBS epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan
55% hingga 65% dari pasien GBS merupakan jenis ini. Pemulihan baik.

Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy


Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) hampir menyerupai
AMAN, namun AMSAN tidak hanya mempengaruhi motorik, tapi juga saraf
sensorik. Secara histopalogi pada AMSAN juga ditemukan degenerasi axonal.
Pada

AMSAN

ditemukan

antibodi

terhadap

gangliosida

GalNaccGd1a

Pemulihannya lebih buruk dari AMAN.

Miller Fisher Syndrome


Miller Fisher Syndrome memiliki triad karakteristik: ataxia, arefleksia, dan
oftalmoplegia, dengan kelemahan ekstremitas minimal atau tidak ada. Antibodi
terhadap ganglioside G1Qb ditemukan pada >90% penderita Miller Fisher
Syndrome. Resolusi dalam waktu 1-3bulan.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf
RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
7

Tabel 2. Subtipe GBS6

2.6. Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan:1
-

Landry ascending paralysis , kelemahan bilateral simetris


Hiporefleks atau arrefleks
Hipotonus
Nyeri dan sakit otot
Gangguan pernafasan : sesak nafas, dyspnue saat aktivitas

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
8

Gangguan saraf kranialis terutama N.VII sehingga dapat terjadi facial

drops
Dapat juga terjadi gangguan otonom dan sensorik

2.7. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
-

Pemeriksan CSF
Pada pemeriksaan CSF, didapatkan adanya peningkatan protein tanpa
peningkatan sel (disosiasi albumin). Protein biasanya normal pada
beberapa hari pertama, meningkat di akhir minggu pertama, dan mencapai
puncaknya pada minggu ke-4 sampai ke-6. Jumlah leukosit (limfosit) <10

sel/mm3. Jika >50 sel/mm3 perlu dipikirkan diagnosa yang lain.2


EMG
Hasil EMG dapat normal pada awal perjalanan penyakit. Pada AIDP
ditemukan adanya perlambatan konduksi dan hambatan konduksi, yang
khas pada demielinisasi. Pada degenerasi axonal, ditemukan penurunan
amplitude CAMP (Compound Motor Unit Action Potential) tanpa

perlambatan konduksi.
MRI tulang belakang
Pada MRI terlihat adanya enhancement of spinal nerve roots.2

2.8. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis GBS ditegakkan dari gejala klinis. Hasil laboratorium dapat
mendukung diagnosa. Pengobatan tidak boleh ditunda karena menunggu hasil
laboratorium, sebab pada onset awal, hasil laboratorium bisa normal. Kriteria
diagnostik GBS dapat dilihat pada tabel3.

Tabel 3. Kriteria diagnostik GBS 6

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
9

Gejala klinis GBS biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria
diagnostik, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus dibedakan dengan
keadaan lain. Diagnosis banding GBS dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Diagnosis Banding GBS4

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
10

Lesi

GBS

Poliomielitis

Mielitis Transversa

Poliradikulopati

Kornu anterior

Corda spinalis

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
11

Gejala klinis

-Landry ascending

-kelumpuhan

-Gejala motorik,

paralysis

asimetris

sensorik, dan

-kelemahan simetris

-atrofi otot

-Hiporefleks atau

-refleks tendon

arrefleks

menurun

-Nyeri dan sakit otot

-disertai demam

-Gangguan

-meningismus

otonom
-kelemahan dapat

kranialis

baik pada lengan


atau kaki
-nyeri terlokalisir di
daerah pinggang

pernafasan &
Gangguan saraf

simetris/ asimetris

-tidak terdapat
gangguan sensibilitas

-Gangguan otonom
dan sensorik

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
12

-Gangguan fungsi
kandung kemih

GBS
Lesi

Gejala klinis

Poliradikulopati

Botulism

Myastenia Gravis

Neuromuscular

Neuromuscular

junction

junction

-jarang pada anak

-Biasanya terjadi

-fluctuating

<2tahun

pada anak <1tahun

weakness

-Landry ascending

-simetrical

-Kelemahan otot

paralysis

descending paralysis

terutama yang sering


digunakan seperti

-kelemahan simetris

-dimulai dengan
nervus kranialis

-Hiporefleks atau
arrefleks

-refleks menurun /
normal

-Nyeri dan sakit otot


-nausea, muntah,
-Gangguan

disfagia,mulut kering.

pernafasan &
Gangguan saraf

-gangguan otonom

kranialis
-Gangguan otonom
dan sensorik

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
13

otot bola mata, otototot untuk menelan


dan untuk bicara,
-PTOSIS
-tidak ada keluhan
sensorik.

2.9. Penatalaksanaan
GBS merupakan self limited disease, sehingga tatalaksana pada GBS
hanya terapi simtomatik dan supportif. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini
dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan
angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus
diberikan.
Tujuan terapi adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). Terapi harus segera
diberikan setelah diagnosis GBS ditegakkan. Untuk GBS berat, terapi yang saat
ini digunakan adalah IVIG dan plasmaferesis. Secara garis besar, berdasarkan
penelitian yang ada, plasmaferesis dan IVIG memiliki efektifitas yang sama
sebagai terapi pada GBS berat.1 Menurut American Academy of Neurology,
pemberian plasmaferesis baiknya dimulai dalam 4 minggu sejak munculnya gejala
dan IVIG baiknya dimulai dalam 2 minggu sejak munculnya gejala . 2 Terapi ini
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih
pendek. Untuk anak dengan GBS ringan atau sudah stabil, cukup dengan terapi
supportif dengan pemantauan ketat dan persiapan bila pasien secara klinis
mengalami perburukan.
1. Imunoglobulin IV (IVIG)1
IVIG merupakan pilihan utama pada pasien dengan GBS.3 IVIG lebih sering
digunakan dibandingkan plasmafaresis karena efek samping/komplikasi lebih
ringan. Dosis 0,4g/kg/kali selama 5 hari berturut-turut, dengan total dosis 2g/kg . 1
Pemberian IVIG diduga dapat menetralisir antibodi myelin yang beredar dengan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
14

berperan sebagai antibodi anti-idiotipik, menurunkan sitokin pro-inflammatory,


dan menghadang kaskade komplemen, serta mempercepat mielinisasi.
Efek samping yang sering terjadi antara lain: demam,ruam,
myalgia, sakit kepala, nausea, muntah, peningkatan kadar serum
alanine aminotransferase, proteinuria, sampai gagal ginjal. Efek
samping berat yang dapat terjadi adalah syok anafilaktik.1

Gambar 3. IVIG

2. Plasmaferesis
Plasmaferesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi, kompleks imun, komponen sitotoksik yang beredar di dalam tubuh.
Plasma exchange dilakukan dengan mengeluarkan 200-250cc/kg plasma selama
4-6 kali. Bahan pengganti plasma yang digunakan adalah albumin atau Fresh
Frozen Plasma (FFP).1
Pada plasmaferesis, efek samping yang sering ditemukan adalah hipotensi,
pneumonia, thrombosis, sepsis, dan gangguan hemodinamik. Selama dilakukan
plasmaferesis, kondisi pasien perlu dimonitor dengan ketat termasuk pemeriksaan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
15

laboratorium yang diperlukan untuk meminimalisasi efek samping yang dapat


terjadi.1

Gambar 4. Plasmaferesis
3. Kortikosteroid
Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan preparat steroid baik IV maupun PO
tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.3

Indikasi perawatan di ICU pada penderita GBS:2

Flaccid quadriparesis
Rapidly progressing weakness
Vital capacity < or = 20 mL/kg
Bulbar palsy
Autonomic cardiovascular dysfunction

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
16

2.10. Komplikasi2,3
Komplikasi yang dapat terjadi berupa prolong disabilitas, kehilangan
keseimbangan, kelemahan otot yang menetap, gangguan sensorik, sampai
gangguan fungsi kardiorespiratorik.

2.11. Prognosis
Prognosis GBS pada anak lebih baik dari pada dewasa.. Insidens kematian
karena GBS bervariasi dari 0,17% pada anak sampai 8,6% pada orang tua > 65
tahun. Proses penyembuhan berlangsung lama dengan median waktu 6-12 bulan.
Sekitar 80% pasien GBS dapat berjalan kembali tanpa alat bantu dalam waktu 6
bulan, dan sekitar 60% pasien sembuh total dengan kekuatan otot normal dalam
waktu 1 tahun..3

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
17

BAB III
KESIMPULAN
Guillain-Barr Syndrome (GBS) merupakan paralisis polineuropati perifer
yang bersifat ascending, progresif, dan berhubungan dengan proses autoimun.
GBS merupakan polineuropati akut yang,biasanya terjadi 1 4 minggu setelah
suatu infeksi akut. Gejala pada GBS terutama berupa kelemahan motorik dan
areflexia, namun dapat juga meliputi kelainan sensorik, otonom, dan nervus
kranialis
Pemeriksaan penunjang untuk Guillain-Barr Syndrome adalah pemeriksaan
LCS, EMG dan MRI. GBS merupakan self limited disease, sehingga tatalaksana
pada GBS hanya terapi simtomatik dan supportif. Meskipun dikatakan bahwa
penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup
lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap
harus diberikan.
Tujuan terapi adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). Terapi harus segera
diberikan setelah diagnosis GBS ditegakkan. Untuk GBS berat, terapi yang saat
ini digunakan adalah IVIG dan plasmaferesis. Penyakit ini memiliki prognosis
yang baik, kecuali jika terjadi paralisis otot pernafasan. Komplikasi yang dapat
menyebabkan kematian adalah gagal nafas dan aritmia.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
18

DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Disease of the Peripheral Nerves. In:
Adams and Victorias Principles of Neurology. ed 10th. San Fransisco: Mc
Graw Hill; 2014. p.1322-30.
2. American Academy of Pediatrics. Guillain Barre Syndrome. Chicago;
2012.
3. Andary MT. Guillain-Barre Syndrome. Last update: February 12,2016.
Available from: Emedicine.medscape.com
4. Stephan AS, Ouvrier R. Peripheral Neuropathies. In: Swaiman KF, Ashwal
S, Ferriero DM, Schor NF. Swaimans Pediatric Neurology Principles and
Practice. USA: El Sevier; 2012. p.1504-10.
5. Kuwabara S. Guillan Barre Syndrome: Epidemiology, Pathophysiology,
and Management. Last update: 2004. Available from: Ncbi.nlm.nih.gov.
6. Hauser SL, Asbury AK. Guillain Barre Syndrome and Other ImmuneMediated Neuropathies. In: Hauser SL. Harrisons Neurology in Clinical
Medicine. San Fransisco: Mc Graw Hill; 2010. p.550-5.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSPI Prof Dr Sulianti Saroso
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 26 September 29 Oktober 2016
19

Anda mungkin juga menyukai