Langkah 1
SKENARIO 3
SESAK NAFAS
Seorang Anak perempuan, umur 7 tahun, dibawa ibunya ke Klinik YARSI dengan
keluhan sulit bernafas. Tiga hari yang lalu pasien ada demam, batuk dan pilek. Pasien sudah
diberi obat namun belum ada perubahan. Menurut ibunya, pasien menderita alergi makanan
terutama ikan laut. Ayah pasien juga mempunyai riwayat alergi.
Pemeriksaan fisik :
- Inspeksi
: terlihat pernafasan cepat dan sukar, serta adanya retraksi daerah
supraklavikular suprasternal, epigastrium dan sela iga. Frekuensi nafas
48x/menit, disertai batuk-batuk paroksismal dengan ekspirasi memanjang
- Palpasi
: fremitus takstil dan vocal dalam batas normal
- Perkusi
: hipersonor pada seluruh toraks
- Auskultasi
: suara bronckial dengan bunyi nafas kasar/mengeras, ronkhi kering dan
ronkhi basah serta suara lender dan wheezing.
Pasien di diagnosis sebagai asma akut episodik sering.
Penanganan yang diberikan berupa -agonis secara nebulisasi.
Pasien di observasi selama 1-2 jam, apabila respon baik pasien akan dipulangkan dengan
dibekali obat bronkodilator.
Pasien dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan untuk re-evaluasi tatalaksananya.
KATA SULIT
1. Batuk Paroksismal
2. Fremitus Takstil
3. Nebulisasi
4. Suara Bronkial
5. Retraksi
6. Rongki basah
7. Rongki kering
auskultasi,
8. Wheezing
PERTANYAAN
1. Mengapa bisa terdengar suara bronchial, rongki basah dan rongki kering?
2. Mengapa pada pasien diberikan -agonis secara nebulisasi?
3. Mengapa terdapat batuk-batuk paroksismal dan ekspirasi memanjang?
4. Mengapa bisa terjadi retraksi?
5. Apakah terapi pada pasien diskenario hanya cukup diberikan bronkodilator saja ?
6. Mengapa pasien perlu diobservasi selama 1-2 jam ?
7. Kenapa pada perkusi didapatkan hipersonor?
8. Apa hubungannya alergi makanan dengan sesak nafas?
9. Pemeriksaan penunjang apa untuk mendiagnosis pasti pada pasien diskenaio?
10. Apa saja obat bronkodilator?
11. Apa saja factor resiko terjadinya asma?
12. Kenapa adanya wheezing ?
JAWABAN
1. suara bronchial
: terjadi karena turbulensi pada bronchus yang meningkat
- suara rongki basah : suara yang diakibatkan oleh aliran udara yang dilewati cairan
- suara rongki kering : karena adanya bronkokontriksi makin kecil lumen, makin tinggi
dan keras nadanya. Dan lebih jelas terdengar pada saat ekspirasi
daripada inspirasi
2. Karena -agonis berfungsi untuk mengendurkan otot-otot saluran nafas atau
bronkodilator. Diberikan secara nebulisasi karena dibutuhkan pemberian obat yang
efektif langsung menuju saluran nafas.
3. batuk-batuk paroksismal : karena adanya hipersekresi mucus, sehingga tubuh berusaha
mengeluarkan mucus dengan cara batuk
-ekspirasi memanjang
: kaena ada inflamasi kronik pada bronchial sehingga
menyebabkan pengeluaran udara terhambat dan terjadilah
ekspirasi memanjang
4. Karena ada kontraksi pada otot perut dan ototnya bekerja berlebihan
5. Bisa, tergantung dari kondisi pasien itu sendiri. Misalnya pada pasien asma bisa diberi
metilsantin, kortikostreoid, anti kolinergik apabila asmanya terlalu parah
6. Untuk melihat keberhasilan terapi pengobatannya dengan nebulisasi, karena nebulisasi
interaksi obat didalam tubuh 1-2 jam bila pemberian nebulisasi tidak berhasil, diganti
dengan parental, bila parental tidak berhasil diberikan oral pengobatnnya
7. Karena udara terperangkap didalam paru
2
8. Karena pada proses pemasakan, makanam laut dan ikan laut dapat melepaskan komponen
protein dengan ukuran sangat kecil (dikenal sebagai amines) terjadi reaksi allergen
pada paru dan sistem pernapasan berupa proses inflamasi bronkokontriksi sesak
nafas
9. Radiologi, skin test, ekg, scanning paru, spirometri,rontgen
10. Obat bronkodilator :
o Short acting -2 agonis : epinefrin/adrenalin
o -agonis selektif : salbutamol, terbutanin, fenoterol, proventil, ventolin
11. Polusi udara, udara dingin, makanan, hewan berbulu,psikis, genetik, aktivitas yang terlalu
berat, gaya hidup
12. Karena ada suara yang dihasilkan oleh bronkokontriksi
HIPOTESA
Allergen dan riwayat keluarga (genetic), dapat memicu penyempitan saluran napas
sehingga mengalami gejala sulit bernafas dan juga batuk retraksi dan mengeluarkan lender. Pada
pemeriksaan ditemukan frekuensi nafas cepat dan terdengar suara wheezing. Asma akut episodic
merupakan penyakit alergi turunan dan merupakan penyakit gawat darurat. Terapi dari penyakit
ini dengan cara beta agonis dengan cara nebulisasi dikarenakan obat cepat di metabolism.
Pemeriksaan penunjang pada penyakit asma dengan cara pemeriksaan foto rontgen dan
spirometri. Sampai saat ini asma belum dapat di sembuhkan dan hanya dapat dikontrol saja.
SASARAN BELAJAR
LI 1. Memahami dan Menjelaskan Asma Bronkial
LO 1.1. Definisi
LO 1.2. Etiologi
LO 1.3. Epidemiologi
LO 1.4. Klasifikasi
LO 1.5. Patogenesis dan Patofisiologi
LO 1.6. Manifestasi Klinis
LO 1.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding
LO 1.8. Tatalaksana
LO 1.9. Komplikasi
LO 1.10. Pencegahan
LO 1.11. Prognosis
LI 2. Memahami dan Menjelaskan Terapi Inhalasi pada Anak
I.
Langkah 2
II.
(Belajar Mandiri)
Langkah 3
3
SASARAN BELAJAR
LI.1 MEMAHAMI DAN MENJELASKAN ASTHMA BRONKIAL
LO.1.1 DEFINISI
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak
sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi kronik
menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
wheezing berulang, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan
atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
(Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB, 2004)
LI.1.2 ETIOLOGI
1. Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi
asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi
menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa
menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas
dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya
belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat
memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
4
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk,
bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta lactam lainnya, eritrosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat
diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
factor psikologis
emosi dapat memicu gejala pada beberapa anak yang berpenyakit asma.
Gangguan emosi dan tingkah laku terkait lebih erat dengan pengendalian asma
yang buruk.
Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim
hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).
LO.1.3 EPIDEMIOLOGI
Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju.
Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia
Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari
seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian
gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma
yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan GINA.
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak
sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on
Asthma and Allergy in Children) tahun 1995melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%,
sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak
sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6
sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat
sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.
LO.1.4 KLASIFIKASI
Pembagian Asma berdasarkan penyebabnya, yaitu:
5
Intermitten
Gejala kurang dari 1 kali/minggu
Serangan singkat
Gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan ( 2 kali)
Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
7
Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala nokturnal > 1 kali dalam seminggu Menggunakan agonis
2 kerja pendek
setiap hari
Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari
Serangan sering terjadi
Gejala asma nokturnal sering terjadi
Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%Pembagian lain derajat penyakit asma dibuat oleh
Phelan dkk.
dan fungsi paru normal di antar tangan.Terapi profilaksis tidak dibutuhkan pada
kelompok ini.
2
Asma persisten
Terjadi pada sekitar 5% anak asma. Ditandai oleh seringnya episode akut, mengi pada
aktivitas ringan, dan di antara interval gejala dibutuhkan agonis 2 lebih dari 3
kali/mingguArena anak terbangun di malam hari atau dada terasa berat di pagi hari.
Terapi profilaksis sangat dibutuhkan
Asma
jarang
kebutuhan obat
episodik Asma
sering
Frekuensi
serangan
<1x/bulan
>1x/bulan
Sering
Lama serangan
<1minggu
>1minggu
Hampir
sepanjang
tahun,
tidak
ada
periode
bebas
serangan
Intensitas
serangan
Biasanya ringan
Biasanya sedang
Biasanya berat
Diantara
serangan
Tanpa gejala
Gejala
malam
Tidur
aktifitas
Sering tergganggu
Sangat tergganggu
Pemeriksaan
Normal
(
tidak Mungkin tergganggu
fisik
diluar ditemukan kelainan)
(ditemukan kelainan)
serangan
Obat
Perlu
Tidak perlu
Perlu
siang
dan
pengendali(anti
inflamasi)
8
Uji
paru(diluar
serangan)
faal PEFatauFEV1>80%
PEFatauFEV1<6080%
PEVatauFEV<60%
Variabilitas>30%
Variabilitas 20-30%.
Variabilitas >50%
PEF=Peak expiratory flow (aliran ekspirasi/saat membuang napas puncak), FEV 1=Forced
expiratory volume in second (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik)
Sumber : Rahajoe N, dkk. Pedoman Nasional Asma Anak, UKK Pulmonologi, PP IDAI, 2004
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari,
asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative for Asthma
(GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji
fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma
serangan berat.
Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai
contoh: seorang pasien asma persisten beratdapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada
kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat,
bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.
10
Sesak (breathless)
klinis, Ringan
paru,
Sedang
Berat
Berjalan
Berbicara
Istirahat
Bayi :
Bayi :
Bayi :
Menangis
keras
Ancaman
henti napas
-Kesulitan
menetek/maka
n
Posisi
Bisa
berbaring
Lebih
duduk
suka Duduk
bertopang
lengan
Bicara
Kalimat
Penggal
kalimat
Kata-kata
Kesadaran
Mungkin
iritabel
Biasanya
iritabel
Biasanya
iritabel
Kebingungan
Sianosis
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Nyata
Wheezing
Sedang,
sering hanya
pada
akhir
ekspirasi
Nyaring,
sepanjang
ekspirasi
inspirasi
Sangat
nyaring,
terdengar
tanpa
stetoskop
Sulit/tidak
terdengar
Biasanya ya
Ya
Gerakan
paradok
torakoabdominal
Retraksi
Dangkal,
retraksi
interkostal
Sedang,
ditambah
retraksi
suprasternal
Dalam,
Dangkal
ditambah
hilang
napas cuping
hidung
Frekuensi napas
Takipnu
Takipnu
Takipnu
Bradipnu
11
Frekuensi nadi
< 2 bulan
<60
2-12 bulan
< 50
1-5 tahun
< 40
6-8 tahun
< 30
Normal
Takikardi
Takikardi
Dradikardi
Pulsus paradoksus
2-12 bulan
< 160
1-2 tahun
< 120
6-8 tahun
< 110
Ada
Ada
(10-20 mmHg)
(>20mmHg)
>60%
40-60%
<40%
>80%
60-80%
<60%,
respon<2 jam
SaO2 %
>95%
91-95%
90%
PaO2
Normal
>60 mmHg
(biasanya
tidak
perlu
diperiksa)
<60 mmHg
PaCO2
<45 mmHg
>45 mmHg
(pemeriksaannya
praktis)
Tidak ada
tidak (< 10 mmHg)
Tidak
ada,
tanda
kelelahan otot
respiratorik
dugaan/%nilai
Pra bonkodilator
Pasca bronkodilator
<45 mmHg
dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang sesak, Sa O2 95% udara ruangan, PEFR lebih
dari 200 liter per menit, FEV1 lebih dari 2 liter, sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator
dan faktor pencetus dapat dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas normal
sehari-hari.
b) Serangan asma sedang
dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas walaupun timbulnya periodik, retraksi interkostal
dan suprasternal, SaO2 92-95% udara ruangan, PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV1 antara
1-2 liter, sesak nafas kadang mengganggu aktivitas normal atau kehidupan sehari-hari.
c) Serangan asma berat
dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas sehari-hari secara serius, disertai
kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan asma
yang mengancan jiwa yang dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila SaO2 91%,
PEFR 80 liter per menit, FEV1 0,75 liter dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas berat
seperti pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal dan suprasternal, pulsus paradoksus 20
mmHg, berkurang atau hilangnya suara nafas dan mengi ekspirasi yang jelas.
(Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB, 2004)
LO.1.5 PATOGENESIS
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang menyebabkan sukar
bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda
asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai
berikut, seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody
IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan
antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat
pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil.
Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE orang tersebut meningkat, alergen
bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan
mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat
(yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.
Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding
bronkhioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme
otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi
karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus.
Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari
tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi.
Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi
sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan
volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran
mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.
(Heru, Sundaru, Sukamto, 2007)
13
selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir
berupa inflamasi dan HSN.
Hiperaktivitas Saluran Nafas (HSN)
Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran nafas pasien asma yang
sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia (histamin, metakolin)
dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik, selain peka terhadap rangsangan tersebut di atas
pasien juga sangat peka terhadap alergen yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak
lahir, tetapi sebagian lagi didapat.
Berbagai keadaan dapat meningkatkan hiperekativitas saluran nafas seseorang, yaitu:
a) Inflamasi Saluran Nafas
Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti berkaitan erat dengan
gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta bahwa intervensi pengobatan
dengan anti inflamasi dapat menurunkan derajat HSN dan gejala asma.
b) Kerusakan Epitel
Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma kerusakan
bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini akan meningkatkan
penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf
autonom sering lebih mudah terangsang. Sel-sel epitel bronkhus sendiri sebenarnya
mengandung mediator yang dapat bersifat sebagai bronkodilator. Kerusakan sel-sel
epitel bronkhus akan mengakibatkan bronkokonstriksi lebih mudah terjadi.
c) Mekanisme Neurologis
Pada pasien asma terdapat peningkatan respon saraf parasimpatis
d) Gangguan Intrinsik
Otot polos saluran nafas dan hipertrofi otot polos pada saluran nafas diduga berperan
dalam HSN
e) Obstruksi Saluran Nafas
Meskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran nafas diduga ikut berperan dalam
HSN.
(Heru, Sundaru, Sukamto, 2007)
LO.1.6 MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang biasanya timbul berhubungan dengan beratnya hiperreaktivitas bronchus,
obstruksi jalan nafas dapat reversible secara spontan maupun dengan pengobatan. Gejalagejala-gejala asma antara lain :
a. Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop
b. Batuk produktif pada malam hari
c. Nafas atau dada seperti ditekan
Gejalanya bersifat paroksismal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada
malam hari. Namun biasanya penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan
gejala klinis, tapi ada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah,
duduk dengan menyangga kedepan serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan
keras.
15
Mengi sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan inspirasi.
Menggunakan otot bantu pernafasan.
Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya dalam, ditambah nafas cuping hidung.
Frekuensi nafas: cepat (takipnea).
Frekuensi nadi: cepat (takikardi).
Ada pulsus paradoksus (> 20 mmHg)
SaO2 % sebesar < 90 %.
PaO2 < 60 mmHg.
PaCO2 > 45 mmHg
Anamnesa
Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang
tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.Semua keluhan biasanya bersifat episodic
dan reversible. Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit
alergi yang lain.
Pemeriksaan Fisik
penggunaan otot-otot bantu pernafasan
Frekuensi nafas > 30 kali per menit
Takikardia > 120 x/menit
Pulsus Parokdoksus >12 mmHg
wheezing ekspiratori.
Keadaan umum
Jantung
Paru
a Inspeksi
b
c
d
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
Berdasarkan konsep B6, pemeriksaan fisik untuk asma secara spesifik mencakup :
B1 (Breathing)
a Inspeksi
Pada klien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi
pernapasan, serta penggunaan otot bantu pernapasan. Inspeksi dada
terutama melihat postur bentuk dan kesimetrisan, adanya peningkatan
diameter antero posterior, retraksi otot-otot intercostalis, sifat dan irama
pernapasan dan frekuensi napas.
b Palpasi
Pada palpasi biasanya amati kesimetrisan, ekspansi dan taktil
fremitus normal
c Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sama hipersonor sedangkan
diafragma menjadi datar dan rendah.
d Auskultasi
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi
lebih dari 4 detik atau 3 kali ekspirasi, dengan bunyi tambahan napas
tambahan utama wheezing pada akhir ekspirasi.
B2 (Blood)
Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan
hemodinamik seperti nadi, tekanan darah dan CRT.
B3 (Brain)
Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya
oliguria sebagai tanda awal gejala syok.
B5 (Bowel)
Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat
merangsang serangan asma. Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah,
frekuensi dan kesulitan pemenuhan kebutuhan nutrisi karena pada pasien
sesak napas terjadi kekurangan. Hal ini terjadi karena dispnea saat makan dan
kecemasan klien.
B6 (Bone)
Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada
ekstremitas karena merangsang serangan asma. Pada integumen perlu dikaji
permukaan kasar,kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban,
besisik, pruritis, eksim dan adanya bekas dermatitis. Pada rambut kaji
kelembaban dan kusam. Adanya wheezing, sesak danortopnea saat istirahat.
Pola aktivitas olahraga, pekerjaan dan aktivitas lainnya.
Pemeriksaan Laboratorium
1 Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
a Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil
18
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkhus
c Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus
d Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug
2 Pemeriksaan Darah
a Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis
b Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH
c Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi
d Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan
Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3
bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada emfisema paru, yaitu:
a Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock
wise rotation
b Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right
bundle branch block)
c Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau
terjadinya depresi segmen ST negative
4
Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara
selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
19
Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling
cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1
atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon
aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk
menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek
pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya
menunjukkan obstruksi.
Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat atau
bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim diberikan.
Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan
waktu pengamatan antara satu sampai dua jam.
Gambaran Klinis Status Asmatikus
a Penderita tampak sakit berat dan sianosis
b Sesak nafas, bicara terputus-putus
c Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita
sudah jatuh dalam dehidrasi berat
d Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat
laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke
dalam koma
Peran pemeriksaan lain untuk diagnosis :
Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala
asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji
provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil
negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis
alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan
fibrosis kistik.
Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau
pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis asma,
tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol
lingkungan dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya dilakukan
dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi
juga dapat menghasilkan positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan
alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE
spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism,
dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE
total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.
20
DIAGNOSIS BANDING
1. Bronkitis Kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling
sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada penderita
> 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi,
menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tandatanda kor pumonal.
2. Emfisema Paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya tida ada
fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan
fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara
vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.
3
Emboli Paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan tromboflebitis
dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin,
kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung
kanan, pleural friction, gallop, sianosis, dan hipertensi.
Diagnosis banding lainnya :
Rinosinusitis
Refluks gastroesofageal
Infeksi respiratorik bawah viral berulang
Displasia bronkopulmoner
Tuberkulosis
Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik
intratorakal
Aspirasi benda asing
Sindrom diskinesia silier primer
Defisiensi imun
Penyakit jantung bawaan
LO.1.8 PENATALAKSANAAN
21
Asma tidak bisa disembuhkan, namun bisa dikendalikan, sehingga penderita asma dapat
mencegah terjadinya sesak napas akibat serangan asma.
Tujuan pengobatan anti penyakit asma adalah membebaskan penderita dari serangan penyakit
asma. Hal ini dapat dicapai dengan jalan mengobati serangan penyakit asma yang sedang terjadi
atau mencegah serangan penyakit asma jangan sampai terjadi.
Mengobati disini bukan berarti menyembuhkan penyakitnya, melainkan menghilangkan gejalagejala yang berupa sesak, batuk, atau mengi. Keadaan yang sudah bebas gejala penyakit asma ini
selanjutnya harus dipertahankan agar serangan penyakit asma jangan datang kembali.
Asma episodik jarang (asma ringan)
Asma episodik jarang cukup diobati dengan bronkodilator beta-agonis hirupan
kerja pendek bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Anjuran ini tidak mudah
dilakukan berhubung obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia di semua daerah. Di
sampingitu pemakaian obat hirupan (metered dose inhaler) memerlukan pelatihan yang
benar (untuk anak besar), dan membutuhkan alat bantu (untuk anak kecil/bayi) yang juga
tidak selalu ada dan mahal harganya.
Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan maka beta-agonis diberikan
peroral.Sebenarnya kecenderungan saat ini teofilin makin kurang perannya dalam tata
laksana asma karena batas keamanannya sempit.Namun mengingat di Indonesia obat
betaagonis oral tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan
kemungkinan timbulnya efek samping.Di samping itu penggunaan beta-agonis oral
tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi. Hal
ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin.
Konsensus Internasional III dan juga Konsensus Nasional seperti terlihat dalam
klasifikasi asmanya tidak mengajurkan pem-berian anti-inflamasi untuk asma ringan.Di
lain pihak, untuk asma intermiten (derajat 1 dari 4) GINA menganjurkan penggunaan
kromoglikat sebelum aktivitas fisis atau pajanan dengan alergen.Bahkan untuk asma
persisten ringan (derajat 2 dari 4) GINA sudah menganjurkan pemberian obat pengendali
(controller) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat
hirupan.Sebagai catatan, GINA menggunakan istilah obat pengendali (controller) untuk
istilah profilaksis yang digunakan oleh Konsensus Internasional.Obat pengendali
diberikan tiap hari, ada atau tidak ada serangan / gejala.Sedangkan obat yang diberikan
saat serangan disebut obat pereda (reliever).
Konig menemukan bukti bahwa dengan mengikuti panduan tata laksana yang
lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-inflamasi pada asma ringan,
ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun) pada kelompok tersebut paling sedikit yang
mengalami perbaikan derajat asma. Di lain pihak, asma sedang yang mendapat
kromoglikat, dan asma berat yang mendapat steroid hirupan, menunjukkan perbaikan
derajat asma yang lebih besar. Perbaikan yang dimaksud adalah menurunnya derajat
asma, misalnya dari berat ke sedang atau ringan, bahkan sampai asmanya asimtomatik.
22
dapat dikurangi bertahap sehingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa
mengendalikan asmanya.Sementara itu penggunaan beta-agonis sebagai obat
pereda tetap diteruskan.
Asma sangat berat
Bila dengan terapi di atas selama 6-8 minggu asmanya tetap belum
terkendali maka pasien dianggap menderita Asma sangat berat (bagian dari Asma
persisten).Penggunaan beta-agonis (kerja pendek) hirupan >3x sehari secara
teratur dan terus menerus diduga mempunyai peran dalam peningkatan morbiditas
dan mortalitas asma. Oleh karena itu obat dan cara peng-gunaannya tersebut
sebaiknya dihindari. Tetapi jika dengan steroid hirupan dosis sedang (400- 600
mg/hari) asmanya belum terkendali, maka perlu dipertimbangkan tambahan
pemberian beta-agonis kerja panjang, atau beta-agonis lepas terkendali, atau
teofilin lepas lambat.Dahulu beta-agonis dan teofilin hanya dikenal sebagai
bronkodilator saja.Namun akhir-akhir ini diduga mereka juga mempunyai efek
anti-inflamasi.
Jika dengan penambahan obat tersebut asmanya tetap belum terkendali,
obat tersebut diteruskan dan dosis steroid hirupan dinaikkan, bahkan mungkin
perlu diberikan steroid oral.Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya
lebih besar daripada bahaya efek samping obat.6 Untuk steroid oral sebagai dosis
awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis
terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari
Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala
asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka
obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat
pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan
untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan
demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi
gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan pelan yaitu 25 % setip penurunan
setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 8 minggu.
aerosol
kurang
menguntungkan
karena
durasi
efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama pada
jantung dan CNS.
2 agonis selektif(12)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral
: 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral
: 0,05 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi
: 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis
maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 0,5
mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi
: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak
dicapai dalam 2 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak
dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 4 semprotan tiap 3 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 10 semprotan tiap 1 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan ini
obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping
takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV
: mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB
setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan
dengan 0,1 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
25
Efek samping 2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
b
Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida.Kombinasi dengan nebulisasi 2
agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1
cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam(12).
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas
6 tahun 8 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 10 tetes. Efek sampingnya adalah
kekeringan
atau
rasa
tidak
enak
dimulut.Antikolinergik
inhalasi
tidak
Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :
Terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup
lama.
26
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan
sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai
perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 24 jam. Preparat oral
yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 2
mg/kgBB/hari diberikan 2 3 kali sehari selama 3 5 kali sehari.
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja
sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis
eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan
paru dan menurunkan permeabilitas vascular.
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan
paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid
minimal.Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4
sampai 6 jam.Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 6 jam. Dosis
dexamethasone bolus IV 0,5 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 8
jam.
Obat obat Pengontrol
Obat obat asma pengontrol pada anak anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled 2-agonist, theofilin,
cromones, dan long acting oral 2-agonist.
Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan
penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan
asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan
inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi
frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan
27
dan mengurangi
inflamator.
Ada 2 preparat LTRA :
Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali sehari.
(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia> 7 tahun dengan dosis
10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan
asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat
dapat
untuk
mengontrol
asma
dan
mengurangi
dosis
pemeliharaan
Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif
tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan
yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
Cara Pemberian Obat
UMUR
< 2 tahun
2-4 tahun
ALAT INHALASI
Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler)
5-8 tahun
>8 tahun
hirupan
bubuk
(Spinhaler,
Diskhaler,
Rotahaler, Turbuhaler)
Nebuliser
MDI (metered dose inhaler)
Alat Hirupan Bubuk
Autohaler
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut (orofaring),
jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik.
Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik yang
lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk
anak usia sekolah. Sebagian alat bantu yaitu Spacer (Volumatic, Nebuhaler,
Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas
gelas atau botol minuman atau menggunakan botol susu dengan dot susu yang telah
dipotong untuk anak kecil dan bayi.
Kurangnya pengertian mengenai cara-cara pengobatan yang benar akan mengakibatkan asma
salalu kambuh. Jika pengobatannya dilakukan secara dini, benar dan teratur maka serangan asma
akan dapat ditekan seminimal mungkin.
30
Tujuan pengobatannya untuk mengatasi penyempitan jalan napas, mengatasi sembab selaput
lendir jalan napas, dan mengatasi produksi dahak yang berlebihan. Macam obatnya adalah:
A.
Golongan Xantin, misalnya Ephedrine HCl (zat aktif dalam Neo Napacin)
Golongan Simpatomimetika
Golongan Antikolinergik
Walaupun secara legal hanya jenis obat Ephedrine HCl saja yang dapat diperoleh penderita
tanpa resep dokter (takaran < 25 mg), namun tidak tertutup kemungkinannya penderita
memperoleh obat anti asma yang lain.
B.
C.
Namun tak menutup kemungkinan diberikan obat jenis lain, seperti Ambroxol atau Carbo
Cystein untuk membantu.
Pengobatan Asma Jangka Panjang
Pengobatan diberikan setelah serangan asma merendah, karena tujuan pengobatan ini untuk
pencegahan serangan asma.
Pengobatan asma diberikan dalam jangka waktu yang lama, bisa berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun, dan harus diberikan secara teratur.Penghentian pemakaian obat ditentukan oleh
dokter yang merawat.
Pengobatan ini lazimnya disebut sebagai immunoterapi, adalah suatu sistem pengobatan yang
diterapkan pada penderita asma/pilek alergi dengan cara menyuntikkan bahan alergi terhadap
penderita alergi yang dosisnya dinaikkan makin tinggi secara bertahap dan diharapkan dapat
menghilangkan kepekaannya terhadap bahan tersebut (desentisasi) atau mengurangi
kepekaannya (hiposentisisasi).
Dalam mengatasi dan mencegah asma paling tidak meminimalisir terjadinya serangan asma
secara tiba-tiba, kita perlu mengetahui bagaimana tata pelaksanaan dalam menanggani asma.
ALGORITMA
PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DI RUMAH
Penilaian berat serangan
Klinis : Gejala (batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah
APE , 80% nilai terbaik / prediksi
Terapi awal
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat
(setiap 20 menit, 3 kali dalam 1 jam), atau Bronkodilator oral
33
Penilaian Awal
Pengobatan Awal
Oksigenasi dengan kanul nasal
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta-2 injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adre
Kortikosteroid sistemik :
- serangan asma berat,tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator, dalam kortikosterois oral
Algoritma Penatalaksanaan
Asma Di Rumah Sakit
Respons baik
-
Pulang
Dirawat di RS
Pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi
Inhalasiagonis
agonisbeta-2
beta-2 + antikolinergik
Dirawat di ICU
Membutuhkan kortikosteroid oral Kortikosteroid sistemik
Inhalasi agonis beta-2 + anti kolin
Edukasi pasien
Aminofilin drip
Kortikosteroid IV
Memakai obat yang benar
Terapi Oksigen pertimbangkan kanul nasal atau masker venturi
Pertimbangkan agonis beta-2 inje
Ikuti rencanapengobatan selanjutnya
Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadar teofilin
Aminofilin drip
Mungkin perlu intubasi dan ventil
Perbaikan
Pulang
Bila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap berikanpengobatan oral atauinhalasi
Tidak Perbaikan
34
Dirawat di ICU
Tatalaksana awal
nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)
nebulisasi ketiga + antikolinergik
jika serangan berat, nebulisasi. 1x (+antikoinergik)
Serangan
Serangan
ringan
sedang
(nebulisasi
1-3x,
respons
(nebulisasi 1-3x,baik, gejala hilang)
(nebulisasi 3x,
respons buruk)
Alur
TatalaksanaSerangan Asma pada Anak
observasi
2 jam
respons parsial)
sejak awal berikan O2 saat / di luar nebulisasi
jika efek bertahan,boleh pulang
berikan oksigen (3)
pasang jalur parenteral
jika gejala
timbul
perlakukan
sebagai
serangan
sedang sedang, observasi di Ruang Rawat Sehari/observasi
Kliniklagi,
/ IGD
nilai kembali
derajat
serangan,jika
sesuai
dgn
nilaiserangan
ulang klinisnya,
jika sesuai dengan serangan berat, rawat di Ruang Raw
pasang jalur parenteral
foto Rontgen toraks
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,
kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi
Ruang Rawat Inap
asma
tetap terkontrol
uang Rawat
Boleh
Sehari/observasi
pulang
oksigen teruskan
ksigen teruskan
bekali obat -agonis (hirupan / oral)
atasi dehidrasi dan asidosis jika ada
erikan steroid
jikaoral
sudah ada obat pengendali, teruskan
steroid IV tiap 6-8 jam
ebulisasi tiap
jika2 infeksi
jam
virus sbg. pencetus, dapat diberi steroid oral
nebulisasi tiap 1-2 jam
la dalam 12
dalam
jam perbaikan
24-48 jamklinis
kon-trol
stabil,
ke Klinik
bolehR.Jalan,
pulang,
untuk
tetapi
reevaluasi
jika klinis tetap belum membaik atau meburuk, alihrawat ke Ruang Raw
aminofilin IV awal, lanjutkan rumatanjika membaik dalam 4-6x nebulisasi, interval jadi 4-6
jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang
jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkantimbul Ancaman henti napas, alih
atatan:
ka menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan -agonis + antikolinergik
ila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat Intensif
ka tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali
ntuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi
35
LO.1.9 KOMPLIKASI
1) Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi
berat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin
suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat dengan
terapi yang intensif.
2) Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan
saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat
dangkal.
3) Hipoksemia adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat kekurangan oksigen secara
sistemik akibat inadekuatnya intake oksigen ke paru oleh serangan asma.
36
LO.1.10 PENCEGAHAN
Pencegahan Primer
Ditunjukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan resiko asma (orang tua asma ),
dengan cara :
Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak
Diet hipoalergenik pada ibu hamil, dengan syarat tidak menganggu asupan janin
Pemberian asi eksklusif sampai usia 6 bulan
Diet hipoalergenik ibu menyusui
Pencegahan sekunder
Ditunjukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersentisasi dengan
cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan terutama tungau debu
rumah
Pencegahan Tersier
Ditunjukan utnuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah menunjukan
manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal sebagai ETAC
study (Early Treatment of Atopic Children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizine
selama 18 bulan pada anak yang atopi dengan dermatitis atopi dn IgE spesifik terhadap
serbuk rumput (pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50
% perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penilitian ini bukan sebagai
pengendali asma (controller)
LO.1.11 PROGNOSIS
Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian besar asma anak hilang atau
berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma episodik jarang sudah menghilang
pada umur 10-14 tahun dan hanya 15% yang menjadi asma kronik pada umur 21 tahun.
Sebaliknya, anak dengan asma berat, yang ditandai denga penyakit kronis tergantung steroid
dengan riwayat inap dirumah sakit yang sering, jarang membaik dan sekitar 95% menjadi orang
dewasa asmatikus
37
1. Nebuliser
2. Metered dosed inhaler aerosol ( dengan atau tanpa spacer / alat penyambung)
3. Dry powder inhaler
1. Nebuliser
Alat nebuliser dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara
terus menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang
ultrasonik sehingga dalam prakteknya dikenal 2 jenis alat nebuliser yaitu ultrasonic
nebulizer dan jet nebuliser. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih banyak
bergantung pada jenis nebuliser yangdigunakan. Terdapat nebuliser yang dapat
menghasilkanpartikel aerosol terus menerus ada juga yang dapatdiatur sehingga aerosol
hanya timbul pada saatpenderita melakukan inhalasi sehingga obat tidakbanyak
terbuang.
Keuntungan
terapi
inhalasimenggunakan
nebuliser
adalah
tidak
atau
sedikitmemerlukan koordinasi pasien, hanya memerlukanpernafasan tidal, beberapa
jenis obat dapat dicampur(misalnya salbutamol dan natrium kromoglikat).
Kekurangannya adalah karena alat cukup besar, memerlukan sumber tenaga listrik dan
relatif mahal.
Ultrasonic nebuliser
Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezo-electric
crystal yang berada dekat larutan dan cairan memecah menjadi aerosol. Keuntungan
jenis nebuliser ini adalah tidak menimbulkan suara bising dan terus menerus dapat
mengubah larutan menjadi aerosol sedangkan kekurangannya alat ini mahal dan
memerlukan biaya perawatan lebih besar.
Jet nebuliser
Alat ini paling banyak digunakan banyak Negara karena relatif lebih murah
daripada ultrasonicnebuliser. Dengan gas jet berkecepatan tinggi yang berasal dari
udara yang dipadatkan dalam silinder ditiupkan melalui lubang kecil dan akan
dihasilkan tekanan negatif yang selanjutnya akan memecah larutan menjadi bentuk
aerosol. Aerosol yang terbentuk dihisap pasien melalui mouth piece atau sungkup.
Dengan mengisi suatu tempat pada nebuliser sebanyak 4 ml maka dihasilkan
partikel aerosol berukuran < 5 m, sebanyak 60-80% larutan nebulisasi akan
terpakai dan lama nebulisasi dapat dibatasi. Dengan cara yang optimal maka hanya
12% larutan akan terdeposit di paru-paru.7 Bronkodilator yang diberikan dengan
nebulizer memberikan efek bronkodilatasi yang bermakna tanpa menimbulkan efek
samping.
Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan cara inhalasi yang
memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis obat mencapai saluran
pernafasan. Pada inhaler ini bahan aktif obat disuspensikan dalam kurang lebih 10 ml
cairan pendorong (propelan) dan yang biasa digunakan adalah kloroflurokarbon
(chlorofluorocarbon = CFC) pada tekanan tinggi. Akhir-akhir ini mulai dikembangkan
penggunaan bahan non-CFC yaitu hidrofluroalkana (HFA) yang tidak merusak lapisan
ozon. Propelan mempunyai tekanan uap tinggi sehingga di dalam tabung (kanister)
tetap berbentuk cairan. Bila canister ditekan, aerosol disemprotkan keluar dengan
kecepatan tinggi yaitu 30 m/detik dalam bentuk droplet dengan dosis tertentu melalui
aktuator (lubang). Pada ujung aktuator ukuran partikel berkisar 35 m, pada jarak 10 cm
dari kanister besarnya menjadi 14 m, dan setelah propelan mengalami evaporasi
seluruhnya ukuran partikel menjadi 2,8-4,3 m. Dengan teknik inhalasi yang benar
maka 80% aerosol akan mengendap di mulut dan orofarings karena kecepatan yang
tinggi dan ukurannya besar, 10% tetap berada dalam aktuator, dan hanya sekitar 10%
aerosol yang disemprotkan akan sampai ke dalam paru-paru.
Pada cara inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dengan inspirasi
napas. Untuk mendapatkan hasil optimal maka pemakaian inhaler ini hendaklah
dikerjakan sebagai berikut:
1
2
3
4
5
6
7
terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup kanister dibuka
inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal secara
perlahan
mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan
inspirasi perlahan sampai maksimal
pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat keluar
pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada inspirasi
maksimal
setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang kembali
setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping.
tahun terakhir ini diperkenalkan diskus (di Inggris dikenal dengan accuhaler) yang
memuat 60 dosis dan dapat dipergunakan untuk 1bulan terapi.6 Inhaler jenis ini tidak
mengandung propelan sehingga mempunyai kelebihan dari MDI. Penggunaan obat
serbuk kering pada DPI memerlukan inspirasi yang cukup kuat. Pada anak yang kecil
hal ini sulit dilakukan mengingat inspirasi kuat belum dapat dilakukan, sehingga
deposisi obat pada saluran pernafasan berkurang. Pada anak yang lebih besar,
penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi
dibandingkan dengan MDI. Dengan cara ini deposisi obat di dalam paru lebih tinggi
dan lebih konstan dibandingkan MDI sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5
tahun. Cara DPI ini tidak memerlukan spacer sebagai alat bantu sehingga mudah
dibawa dan dimasukkan ke dalam saku. Hal ini yang juga memudahkan pasien dan
lebih praktis.
Terapi inhalasi pada asma
Pada tata laksana asma harus dibedakan dua hal penting yaitu tata laksana serangan dan
tata laksana jangka panjang. Seorang anak yang telah didiagnosis asma harus ditentukan
klasifikasinya. Berdasarkan Konsensus Nasional Penanganan Asma (KNAA) klasifikasi
asma di luar serangan adalah asma episodik jarang, episodic sering, dan asma persisten.23
Pada asma episodik jarang, tidak diperlukan obat pengendali (controller) untuk tata laksana
jangka panjangnya sedangkan pada asma episodik sering dan asma persisten harus
diberikan obat pengendali. Obat pengendali dari golongan antiinflamasi yang sering
digunakan adalah budesonid, beklometason dipropionat, flutikason, dan golongan natrium
kromoglikat.23 Bila terjadi serangan maka digunakan obat pereda (reliever). Obat yang
sering digunakan yaitu golongan bronkodilator seperti metilsantin (teofilin), agonis,
dan ipratropium bromida.
Obat-obat ini dapat digunakan secara oral, parenteral, dan inhalasi, tetapi untuk
metilsantin pemberian secara oral dan intravena lebih dipilih daripada inhalasi karena obat
ini menyebabkan iritasi saluran napas.Telah diketahui secara luas bahwa obat antiinflamasi
yang sering digunakan adalah golongan steroid. Mekanisme dasar asma adalah terjadinya
reaksi inflamasi sehingga pengendalian dengan obat antiinflamasi sangat dianjurkan pada
asma episodik sering dan persisten. Namun harus disadari penggunaan kortikosteroid
jangka panjang peroral atau parenteral dapat mengganggu tumbuh kembang anak secara
keseluruhan selain efek samping lain yang mungkin timbul seperti hipertensi dan moonface. Untuk itu pemberian inhalasi sangat dianjurkan. Jenis terapi inhalasi yang diberikan
dapat disesuaikan dengan usia pasien dan patokan ini tidak berlaku secara kaku. Patokan
yang diajukan oleh Dolovich dan Everard di bawah ini dapat dipakai sebagai acuan.
42
Bagaimana sebenarnya penggunaan obat inhalasi pada asma anak dapat diterangkan
sebagai berikut:
Tata laksana saat serangan Pada saat serangan obat yang digunakan adalah obat golongan
bronkodilator dan yang sering digunakan yaitu 2 agonis yang dapat diberikan sendiri atau
bersama-sama dengar ipratropium bromid. Pada serangan asma yang ringan obat inhalasi
yang diberikan hanya 2 agonis saja meskipun ada juga yang menambahkan dengan
ipratropium bromida. Schuch dkk dalam penelitiannya mendapatkan bahwa dengan
menggunakan 2 agonis saja dapat meningkatkan FEV dan menghilangkan gejala
serangannya, sedangkan penambahan ipratropium bromida akan meningkatkan FEV1 yang
lebih tinggi lagi. Pada serangan asma yang berat, KNAA menganjurkan pemberian 2
agonis bersama-sama dengan ipratropium bromid.Pemberian cara nebulizer untuk usia 18
bulan- 4 tahun dianjurkan menggunakan mouthpiece daripada masker muka untuk
menghindarkan deposisi obat di muka dan mata.
Apabila dengan pemberian inhalasi obat tersebut serangan asma tidak
teratasi/sedikit perbaikan maka dapat diberikan steroid sistemik. Pemberian steroid
sistemik perlu diperhatikan pada anak dengan serangan asma yang sering karena anak ini
berisiko mengalami efek samping akibat pemberian steroid sistemik berulang kali seperti
supresi adrenal, gangguan pertumbuhan tulang, dan osteoporosis. Untuk mengurangi
pemberian steroid oral berulang, maka sebagai alternatifnya dapat diberikan inhalasi
budesonid dosis tinggi (1600 mg perhari) pada anak yang serangan asmanya tidak teratasi
dengan penanganan inhalasi 2 agonis di rumah dan mereka belum/tidak perlu perawatan
di rumah sakit. Penggunaan obat pereda secara inhalasi pada serangan asma sangat
bermanfaat dan justru sangat dianjurkan, namun demikian penggunaannya masih belum
banyak. Hal ini dimungkinkan karena penggunaannya yang belum banyak diketahui dan
harga obat masih mahal. Hal ini berlaku bukan hanya di Indonesia, tetapi juga berlaku di
negara maju. Penggunaannya pada orang dewasa lebih banyak dibandingkan dengan anak.
Tata laksana di luar serangan Obat inhalasi di luar serangan asma hanya diberikan apabila
memerlukan obat pengendali; yang biasa digunakan adalah natrium kromoglikat dan
golongan steroid. Natrium kromoglikat menurut KNAA diberikan apabila termasuk asma
episodik sering sedangkan penggunaan steroid dapat diberikan pada asma episodik sering
dan asma persisten. Natrium kromoglikat menunjukkan absorbsi yang tidak baik sehingga
hanya efektif bila diberikan secara inhalasi. Obat ini tersedia dalam nebuliser solution ,
serbuk aerosol dan aerosol dengan dosis 20 mg untuk nebulizer atau 2 mg secara aerosol.
43
Penggunaan steroid pada asma anak masih jarang mengingat samping yang
mungkin ditimbulkan. Namun beberapa peneliti telah membuktikan bahwa dengan
penggunaan yang tepat dengan dosis, cara, dan jenis yang sesuai maka efek samping dapat
dikurangi. Penggunaan obat inhalasi yang salah akan meningkatkan efek samping seperti
jamur/kandidiasis di daerah mulut, suara serak, dan efek lainnya. Dengan inhalasi sebagian
obat juga akan beredar ke seluruh tubuh melalui sistem gastrointestinal dan selanjutnya
akan dielimininasi melalui hati sehingga dalam peredaran sistemik kadarnya berkurang.
Obat yang baik adalah yang dapat elimininasi tubuh dengan baik artinya kadar di dalam
sirkulasi menjadi kecil. Penggunaan steroid inhalasi pada asma episodik sering dan asma
persisten memerlukan waktu yang lama dan dosis yang mungkin bervariasi. Pada awal
pengobatan dapat diberikan dosis tinggi (400-800 mg per hari) dan diturunkan secara
perlahan sampai tercapai dosis optimum untuk anak tersebut dan dipertahankan pada dosis
optimum untuk beberapa lama dan kemudian diturunkan secara bertahap sampai pada
akhirnya kalau memungkinkan tidak digunakan samasekali. Penggunaan waktu lama
(sekitar 2-3 tahun) dengan dosis 400 mg perhari tidak mengganggu proses tumbuh
kembang anak. Untuk bayi dan anak berusia di bawah 4 tahun yang memerlukan steroid
inhalasi dapat digunakan suspensi budesonide inhalasi (pulmicort respules) yang diberikan
dengan nebuliser. Jadi penggunaan steroid inhalasi dapat lebih aman apabila kita
mengetahui cara penggunaannya.
Obat-obat yang umum digunakan
Takaran obat, cairan, dan waktu untuk nebulisasi
Cairan , Obat, Waktu
Nebulisasi jet
Nebulisasi ultrasonik
5 ml
10 ml
b-agonis/antikolinergik/steroid
Lihat tabel 2
Waktu
10-15 menit
3-5 menit
Nama dagang
Sediaan
Dosis nebulisasi
Fenoterol
Berotec
Solution 0,1%
5-10 tetes
Salbutamol
Ventolin
Nebule 2,5 mg
1 nebule (0,1-0,15
mg/kg)
Terbutalin
Bricasma
Respule 2,5 mg
1 repsule
Solution 0,025%
Golongan b-agonis
Golongan antikolinergik
Ipratropium
Atroven
44
bromide
6 thn : 4-10 tetes
Golongan steroid
Budesonide
Pulmicort
Respule
Fluticasone
Flixotide
Nebule
Nama Dagang
Sediaan
Dosis
Prednisolon
Medrol, Medixon
Tablet
Lameson, Urbason
4 mg
Hostacortin,
Pehacort, Dellacorta
Tablet
Kenacort
Tablet
Prednison
Triamsinolon
5 mg
1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
4 mg
Steroid Injeksi :
Nama Generik
Nama Dagang
Sediaan
Jalur
Dosis
M. prednisolone
Solu-Medrol
Vial 125 mg
IV / IM
1-2 mg/kg
Suksinat
Medixon
Vial 500 mg
HidrokortisonSuksinat
Solu-Cortef
Vial 100 mg
Silacort
Vial 100 mg
Deksametason
Oradexon
Ampul 5 mg
Kalmetason
Ampul 4 mg
Fortecortin
Ampul 4 mg
Corsona
Ampul 5 mg
Celestone
Ampul 4 mg
Betametason
tiap 6 jam
IV / IM
4 mg/kgBB/x
tiap 6 jam
IV / IM
0,5-1mg/kgBB bolus,
dilanjutkan
1
mg/kgBB/hari
diberikan tiap 6-8 jam
IV / IM
6 jam
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1998, Buku Kedokteran Dorlan edisi 25, Penerbit ECG, Jakarta
Gunawan,Sulistia Gan,DKK.2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5.Jakarta : Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FKUI
PDPI, Asma. Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, 2004
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Asma Pedoman & Penatalaksanaan di Indonesia.
Price, Shirley Lorane M. Wilson. 1998. Patofisiologi Konsp Klinis Proses Penyakit edisi 4.
Jakarta : ECG.
Rahajoe N, dkk. 2004. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi.Jakarta : PP IDAI
Suardi, Adi Utomo, dkk. 2012. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : IDAI
46
Sudoyo, Aru W,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
UKK Pulmonologi PP IDAI.Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi 2004
47