Anda di halaman 1dari 24

WRAP UP SKENARIO 1

BLOK DARAH DAN SISTEM LIMFATIK


“LEKAS LELAH DAN PUCAT”

Kelompok : A-11

Ketua : Daffa Arkananta Putra Y. 1102015050

Sekretaris : Dian Ayu Lestari 1102015059

Anggota : Afifah Faizah Dinillah 1102015009

Balqish Trisnania Rahma 1102015045

Chita Annisha 1102015049

Dadi Satrio Wibisono R. 1102013067

Desha Akbar Hosen 1102015054

Firza Oktaviani F.M. 1102015081

Fitrah Adhitya A.S. 1102014105

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2016/2017
SKENARIO 1

LEKAS LELAH DAN PUCAT


Seorang perempuan berusia 19 tahun datang ke praktek dokter umum dengan
keluhan lekas lelah sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan setelah melakukan
aktivitas ringan maupun berat. Keluhan disertai dengan wajah yang tampak pucat.
Pada anamnesis didapatkan keterangan bahwa sejak usia kanak-kanak pasien
jarang makan ikan,daging,maupun sayur. Untuk mengatasi keluhannya tersebut, pasien
belum pernah berobat. Tidak ada riwayat penyakit yang diderita sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
 Tekanan darah 110/60 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit, frekuensi napas
20x/menit, temperatur 36,8 0C, TB=160 cm, BB=60 kg, konjungtiva anemis, sklera
tidak ikterik.
 Pemeriksaan jantung, paru dan abdomen dalam batas normal.

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil :


Pemeriksaan Kadar Nilai normal
Hemoglobin (Hb) 10 g/dL 12-14 g/dL
Hematokrit (Ht) 38% 37-42%
Eritrosit 5 x 106/µL 3,9-5,3 x 106/µL
MCV 70 fL 82-92 fL
MCH 20 pg 27-31 pg
MCHC 22% 32-36%
Leukosit 6500/µL 5000-10.000/ µL
Trombosit 300.000/µL 150.000-400.000/µL

2
IDENTIFIKASI KATA SULIT:

1. Konjungtiva anemis : Konjungtiva berwarna putih dan kelihatan pucat karena darah
tidak sampai ke perifer
2. Sklera : Lapisan luar bola mata dan berwarna putih yang menutupi
kurang
lebih 5/6 bagian permukaan belakang bola mata
3. Ikterik : Suatu kondisi medis yang ditandai dengan menguningnya
kulit
dan sklera dikarenakan kadar bilirubin tinggi yang disebabkan
oleh kerusakan hati dan tersumbatnya saluran empedu
4. MCV : Volume rata-rata eritrosit, dinyatakan dengan femtoliter (fl)
5. MCH : Nilai rata-rata hemoglobin dalam eritrosit, dinyatakan dalam
pikogram (pg)
6. MCHC : Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata, dinyatakan dalam
persen (%)

PERTANYAAN :

1. Mengapa terjadi konjungtiva anemis?


2. Apa hubungannya pasien jarang makan ikan,daging, maupun sayur dengan penyakit
yang diderita?
3. Apa yang menyebabkan pasien cepat lelah?
4. Mengapa pada pemeriksaan penunjang didapatkan MCV, MCH, MCHC, Hb turun?
5. Mengapa Ht dan eritrosit normal, sementara Hb rendah?
6. Apa diagnosis dari pasien tersebut?
7. Apa terapi yang diberikan pada kasus tersebut?
8. Bagaimana cara mendiagnosis kasus tersebut?
9. Bagaimana cara pencegahannya?

JAWABAN :

1. Karena kurangnya nutrisi dalam konjungtiva dan membrane konjungtiva tipis


sehingga mudah terlihat warna pucat
2. Ikan, daging, maupun sayur merupakan makanan kaya zat besi yang dapat
membentuk heme
3. Karena pasien kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi → Hb
menjadi berkurang → pengangkutan oksigen berkurang → sel dan jaringan kurang
mendapatkan nutrisi → pembentukan energi berkurang → cepat lelah
4. Karena zat besi kurang maka Hb menjadi rendah. MCV, MCH, MCHC yang
berkurang adalah tanda dari anemia defisiensi besi
5. Karena pembentukan eritrosit tidak terganggu hanya pembentukan Hb yang terganggu
6. Diagnosis : Anemia mikrositik hipokrom → Anemia defisiensi besi

3
7. Suplemen zat besi dan membenarkan diet
8. Anamnesis : diet, paparan zat kimia/toksik, perdarahan, riwayat penyakit dahulu dan
keluarga
Pemeriksaan fisik : Konjungtiva pucat, lemas, pucat, koilonychia, angulus cheilosis
Pemeriksaan lab : Hemato lengkap, kadar ferritin, SHDT ditemukan sel pencil, indeks
eritrosit, bilirubin, tinja, urin, sumsum tulang
9. Mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi

4
HIPOTESIS

Pasien yang jarang mengkonsumsi makanan mengandung kaya akan zat besi
menyebabkan sintesis hemoglobin berkurang dan oksigen yang berikatan juga berkurang,
sehingga jaringan tubuh kurang asupan oksigen dan tubuh cepat lelah dan pucat. Dari hasil
pemeriksaan didapatkan ciri khas dari anemia mikrositik hipokrom dengan defisiensi zat besi.

5
SASARAN BELAJAR :

LI.1 Memahami dan Menjelaskan Eritropoesis


LO. 1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Eritropoesis
LO. 1.2. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Eritropoesis
LO. 1.3. Memahami dan Menjelaskan Kelainan morfologi

LI. 2. Memahami dan dan Menjelaskan Hemoglobin


LO. 2.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hemoglobin
LO. 2.2. Memahami dan Menjelaskan Struktur Hemoglobin
LO. 2.3. Memahami dan Menjelaskan Fungsi Hemoglobin
LO. 2.4. Memahami dan Menjelaskan Biosintesis Hemoglobin
LO. 2.5. Memahami dan Menjelaskan Peran Fe dalam Hemoglobin

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Anemia


LO. 3.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Anemia
LO. 3.2. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Anemia
LO. 3.3. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi klinis

LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Besi


LO. 4.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Anemia Defisiensi Besi
LO. 4.2. Memahami dan Menjelaskan Etiologi Anemia Defisiensi Besi
LO. 4.3. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi
LO. 4.4. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi klinis Anemia Defisiensi Besi
LO. 4.5. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Anemia
Defisiensi Besi
LO. 4.6. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi
LO. 4.7. Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Anemia Defisiensi Besi
LO. 4.8. Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Anemia Defisiensi Besi
LO. 4.9. Memahami dan Menjelaskan Prognosis Anemia Defisiensi Besi

6
LI.1 Memahami dan Menjelaskan Eritropoesis
LO. 1.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Eritropoesis

Eritropoiesis merupakan proses yang berkesinambungan dan dinamis dimana eritrosit


dihasilkan dari sel induk hematopoietik multipoten/ hematopoietic stem cells (HSCs). (Zhang,
2015)

Eritropoiesis merupakan proses asal mula, perkembangan, dan maturasi eritrosit.


(Sembulingam, 2012)

Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit, pada janin dan bayi proses ini berlangsung di
limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang dewasa terbatas hanya pada sumsum tulang.
(Dorland edisi 31)

LO. 1.2. Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Eritropoesis

Gambar 1. Tahapan Eritropoiesis (Sembulingam, 2012)

7
Prekusor eritoid dalam sumsum tulang
berasal dari sel induk hemopoetik, melalui jalur
sel induk myeloid menjadi sel induk eritorid,
yaitu BFU-E (burst forming unit-erythroid) dan
selanjutnya CFU-E (Colony forming unit-
erythrocyte termasuk unipotent stem cell).
Prekusor eritoroid secara morfologik pada
sumsum tulang disebut pronormoblast,
kemudian menjadi basophilic (early
normoblast), selanjutnya polychromatophilic
normoblast dan acidophilic normoblast.

Proses pembentukan eritrosit :


a. Rubriblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast
atau proeritroblast, merupakan sel termuda
dalam sel eritrosit.sel ini berinti bulat dengan
beberapa anak inti dan kromatin yang halus.
Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron.
Dalam keadaan normal jumlah rubriblast dalam
sumsum tulang adalah kurang dari 1% dari
seluruh jumlah sel berinti.
b. Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast
basofilik atau eritroblast basofilik. Ukuran lebih
kecil dari rubriblast. Jumlahnya dalam keadaan
normal 1-4% dari seluruh sel berinti.
c. Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast
polikromatik atau eritroblast polikromatik. Inti
sel ini mengandung kromatin yang kasar dan
menebal secara tidak teratur, di beberapa tempat
tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini
sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel lebih
kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya
lebih banyak, mengandung warna biru karena asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA)
dan merah karena hemoglobin. Jumlah sel ini dalam sumsum tulang orang dewasa
normal adalah 10-20%.
d. Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik. Inti sel
ini kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal. Sitoplasma telah
mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah walaupun masih ada
sisa-sisa warna biru dari RNA. Jumlahnya dalam keadaan normal adalah 5-10%.
e. Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan pelepasan inti
sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian
proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi.
Setelah dilepaskan dari sumsum tulang, sel normal akan beredar sebagai retikulosit
selama 1-2 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5-2,5% retikulosit.
f. Eritrosit

8
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkaf dengan ukuran
diameter 7-8 mikron dan tebal 1,5-2,5 mikron. Bagian tengah sel ini lebih tipis daripada
bagian tepi. Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena
mengandung hemoglobin. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan dihancurkan
bila mencapai umurnya oleh limpa.

LO. 1.3. Memahami dan Menjelaskan Kelainan morfologi

1. KELAINAN UKURAN
a. Makrosit, diameter eritrosit ≥ 9 μm dan volumenya ≥ 100 fL
b. Mikrosit, diameter eritrosit ≤ 7 μm dan volumenya ≤ 80 fL
c. Anisositosis, ukuran eritrosit tidak sama besar
2. KELAINAN WARNA
a. Hipokrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit ≥ 1/3 diameternya
b. Hiperkrom, bila daerah pucat pada bagian tengah eritrosit ≤1/3 diameternya
c. Polikrom, eritrosit yang memiliki ukuran lebih besar dari eritrosit matang,
warnanya lebih gelap.
3. KELAINAN BENTUK
a. Sel sasaan (target cell)
Pada bagian tengah dari daerah pucat eritrosit terdapat
bagian yang lebih gelap/merah.

b. Sferosit
Eritrosit < normal, warnanya tampak lebih gelap.

c. Ovalosit/Eliptosit
Bentuk eritrosit lonjong seperti telur (oval), kadang-kadang
dapat lebih gepeng (eliptosit).

d. Stomatosit
Bentuk sepeti mangkuk.

e. Sel sabit (sickle cell/drepanocyte)


Eritosit yang berubah bentuk menyerupai sabit akibat
polimerasi hemoglobin S pada kekurangan O2.

f. Akantosit
Eritrosit yang pada permukaannya mempunyai 3 – 12
duri dengan ujung duri yang tidak sama panjang.

g. Burr cell (echinocyte)


Di permukaan eritrosit terdapat 10 – 30 duri kecil
pendek, ujungnya tumpul.

9
h. Sel helmet
Eritrosit berbentuk sepeti helm.

i. Fragmentosit (schistocyte)
Bentuk eritrosit tidak beraturan.

j. Tear drop cell


Eritrosit seperti buah pear atau tetesan air mata.

k. Poikilositosis
Bentuk eritrosit bermacam-macam.

L. Rouleaux formation
Tiga sampai lima eritrosit tersusun memanjang

n. Autoaglutinasi
Eritrosit menggumpal

LI. 2. Memahami dan dan Menjelaskan Hemoglobin


LO. 2.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Hemoglobin
Hemoglobin adalah molekul besar protein berisi besi yang ditemukan di dalam eritrosit dan
mengangkut sebagian besar O2 dalam darah juga mengangkut sebagian CO2 dan H+ dalam
darah. Karena kandungan besinya hemoglobin tampak kemerahan jika berikatan dengan O2.
(Sherwood,2014).

Hemoglobin merupakan protein dalam sel darah merah yang membawa oksigen dari paru-
paru ke seluruh tubuh. (Thompson, 2015)

Nilai normal hemoglobin adalah sebagai berikut:


- Anak-anak 11 – 13 gr/dl
- Lelaki dewasa 14 – 18 gr/dl
- Wanita dewasa 12 – 16 gr/dl
Jika nilainya kurang dari nilai diatas bisa dikatakan anemia, dan apabila nilainya kelebihan
akan mengakibatkan polinemis.

10
LO. 2.2. Memahami dan Menjelaskan Struktur Hemoglobin

Gambar . Struktur Hemoglobin (Pawlina, 2016)


Gambar. Heme (Fe-protoporphyrin IX) (Prahl, 1998)

Hemoglobin merupakan protein terkonjugasi. Hemoglobin mengandung protein yang


dikombinasikan dengan pigmen mengandung besi. Bagian protein adalah globin dan pigmen
yang mengandung besi adalah heme. Heme juga membentuk bagian struktur dari myoglobin
(pigmen pengikat oksigen di otot) dan neuroglobin (pigmen pengikat oksigen di otak).
(Sebulingam, 2012)
Atom besi relatif bergeser terhadap bidang kelompok heme dan rongga sentral antara rantai β
terbuka, memfasilitasi pengikatan 2,3 bisphosphoglycerate (Schecter, 2008)

Hemoglobin mengandung empat rantai polipeptida globin α, β, δ dan γ, masing-masing


kompleks dengan sebuah kelompok heme yang mengandung besi. Selama oksigenasi, tiap
kelompok heme yang mengandung besi dapat berikatan secara reversibel dengan satu molekul
oksigen. (Pawlina, 2016)
Selama periode kehamilan dan setelah melahirkan, sintesis rantai polipeptida hemoglobin
bervariasi, menghasilkan jenis hemoglobin yang berbeda.
1) Hemoglobin A (HbA), merupakan hemoglobin terbanyak pada dewasa, sebanyak
96% dari total hemoglobin. HbA merupakan tetramer dengan 2 rantai α dan 2 rantai
β (α2β2).
2) Hemoglobin A2 (HbA2), berjumlah 1,5-3% dari total hemoglobin pada dewasa.
HbA2 mengandung 2 rantai α dan 2 rantai δ (α2δ2).
3) Hemoglobin F (HbF), berjumlah lebih kecil dari 1% dari total hemoglobin pada
dewasa. HbF mengandung 2 rantai α dan 2 rantai γ (α2γ2) dan merupakan bentuk
hemoglobin umum pada bayi. (Pawlina, 2016)

11
Gambar . Sintesis Rantai Globin Utama pada Periode Prenatal dan Postnatal
(Schechter, 2008)

LO. 2.3. Memahami dan Menjelaskan Fungsi Hemoglobin


Menurut Depkes RI adapun guna hemoglobin antara lain:
1) Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringan-jaringan
tubuh.
2) Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan-jaringan
tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.
3) Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil metabolisme
ke paru-paru untuk di buang, untuk mengetahui apakah seseorang itu kekurangan
darah atau tidak, dapat diketahui dengan pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan
kadar hemoglobin dari normal berarti kekurangan darah yang disebut anemia
(Widayanti, 2008).

LO. 2.4. Memahami dan Menjelaskan Biosintesis dan Katabolisme Hemoglobin

Gambar . Sintesis Hemoglobin (Sebulingam, 2012)


Sintesis hemoglobin sebenarnya dimulai pada tahap proeritroblastik. Namun,
hemoglobin muncul hanya pada tahap normoblastik intermediate. Produksi hemoglobin
dilanjutkan hingga tahap retikulosit. Bagian heme hemoglobin disintesis dalam

12
mitokondria, sedangkan bagian protein, globin, disintesis dalam ribosom. (Sebulingam,
2012)
1) Tahap pertama sintesis heme terjadi di dalam mitokondria. Dua molekul suksinil-
KoA berkombinasi dengan dua molekul glisin dan memadat membentuk asam
aminolevulinat δ (ALA) oleh ALA sintase.
2) ALA diangkut ke sitoplasma. Dua molekul ALA berkombinasi membentuk
porphobilinogen dihadapan ALA dehydratase.
3) Porphobilinogen dikonversi menjadi uroporphobilinogen I oleh
uroporphobilinogen I sintase.
4) Uroporphobilinogen I dikonversi menjadi uroporphobilinogen III oleh
porphobilinogen III kosintase.
5) Dari uroporphobilinogen III, sebuah struktur cincin disebut coproporphyrinogen III
dibentuk oleh uroporphobilinogen decarboxylase.
6) Coproporphyrinogen III diangkut kembali ke dalam mitokondria, untuk dioksidasi
membentuk protoporphyrin IX oleh coproporphyrinogen oxidase.
7) Protoporphyrinogen IX dikonversi menjadi protoporphyrin IX oleh
protoporphyrinogen oxidase.
8) Protoporphyrin IX berkombinasi dengan besi membentuk heme dihadapan
ferrochelatase.

Reaksi antara oksigen dan hemoglobin


1. Oksigen akan berikatan dengan bagian heme dari hemoglobin secara longgar dan
reversibel. Sehingga ikatan ini mudah terlepas.
2. Bila tekanan oksigen tinggi, seperti dalam kapiler paru, oksigen berikatan dengan
hemoglobin.
3. Bila tekanan oksigen rendah, oksigen akan dilepas dari hemoglobin.

LO. 2.5. Memahami dan Menjelaskan Peran Fe dalam Hemoglobin


Zat besi (Fe) adalah unsur mineral yang paling penting dibutuhkan oleh tubuh karena
perannya
pada pembentukan hemoglobin. Senyawa ini bertindak sebagai pembawa oksigen dalam
darah,
dan juga berperan dalam transfer CO2 dan H positif pada rangkaian trasport elektron yang
diatur
oleh fosfat organik (Soeida, 2008).
Dalam tubuh,zat besi sebahagian besar terdapat dalam darah sebagai protein yang bernama
hemoglobin (Hb) berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Zat besi
mempunyai pengaruh terhadap kognisi, aktivitas mental seperti mendapatkan, menyimpan,
mengeluarkan, dan memakai informasi dan pengetahuan (Rachmawati, 2007).
Peran zat besi : Penting untuk pembentukan hemoglobin namun juga penting untuk elemen
lainnya (contoh : myoglobin, sitokrom, sitokrom oksidase, peroksidase, katalase)
Jumlah total besi rata-rata dalam tubuh sebesar 4 sampai 5 gram, kira-kira 65 persen di
jumpai
dalam bentuk hemoglobin. Sekitar 4 persen dalam bentuk myoglobin, 1 persen dalam bentuk
varisasi senyawa heme yang memicu oksidasi intra sel 0,1 persen bergabung dengan protein
transferrin dalam plasma darah, 15 sampai 30 persen di simpan untuk penggunaan selanjutnya
terutama di system retikuloendotelial dan sel parenkim hati, dalam bentuk ferritin.

13
Guyton 11th edition, 2007
Eritrosit hemolisis atau proses penuaan

Hemoglobin

Globin Hem
Fe

Asam Amino CO Protoporfirin

Pool Besi
Pool Protein Bilirubin direk

Disimpan HATI
Disimpan Bilirubin direk

Fese: Sterkobilinogen
Urin/ Urobilinogen

ZAT BESI (Fe) Zat besi terdapat pada seluruh sel tubuh kira-kira 40-50 mg/kilogram berat
badan. Hampir seluruhnya dalam bentuk ikatan kompleks dengan protein. Ikatan ini kuat dalam
bentuk organik, yaitu sebagai ikatan non ion dan lebih lemah dalam bentuk anorganik, yaitu
sebagai ikatan ion. Besi mudah mengalami oksidasi atau reduksi. Kira-kira 70 % dari Fe yang
terdapat dalam tubuh merupakan Fe fungsional atau esensial, dan 30 % merupakan Fe yang
nonesensial. Fe esensial ini terdapat pada : Hemoglobin 66 % Mioglobin 3 % Enzim tertentu
yang berfungsi dalam transfer elektron misalnya sitokrom oksidase, suksinil dehidrogenase dan
xantin oksidase sebanyak 0,5% Pada transferin 0,1 %. Besi nonesensial terdapat sebagai
cadangan dalam bentuk feritin dan hemosiderin sebanyak 25 %, dan pada parenkim jaringan
kira-kira 5 %. Makanan sumber zat besi yang paling baik berupa heme-iron adalah hati, jantung
dan kuning telur. Jumlahnya lebih sedikit terdapat pada daging, ayam dan ikan. Sedangkan
nonheme-iron banyak terdapat pada kacang-kacangan, sayuran hijau, buah-buahan dan sereal.
Susu dan produk susu mengandung zat besi sangat rendah. Heme-iron menyumbang hanya 1-
2 mg zat besi per hari pada diet orang Amerika. Sedangkan nonheme-iron merupakan sumber
utama zat besi. Kebutuhan Zat Besi Jumlah Fe yang dibutuhkan setiap hari dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Umur, jenis kelamin dan volume darah dalam tubuh (Hb) dapat mempengaruhi
kebutuhan, walaupun keadaan depot Fe memegang peranan yang penting pula. Kebutuhan zat
besi bagi bayi dan anak-anak relatif lebih tinggi disebabkan oleh pertumbuhannya. Bayi
dilahirkan dengan 0,5 gram besi, sedang dewasa kira-kira 5 gram, untuk mengejar perbedaan
itu rata-rata 0,8 gram besi harus diabsorbsi tiap hari selama 15 tahun pertama kehidupan.
Disamping kebutuhan pertumbuhan ini, sejumlah kecil diperlukan untuk menyeimbangkan
kehilangan besi normal oleh pengelupasan sel. Karena itu untuk mempertahankan
keseimbangan besi positif pada anak, kira-kira 1 mg besi harus diabsorbsi. METABOLISME
ZAT BESI Penyerapan besi oleh tubuh berlangsung melalui mukosa usus halus, terutama di
duodenum sampai pertengahan jejunum, makin ke distal penyerapan akan semakin berkurang.
Ada 2 cara penyerapan besi dalam usus, yaitu : Penyerapan dalam bentuk non heme ( + 90 %
berasal dari makanan) Zat besi dalam makanan biasanya dalam bentuk senyawa besi non heme
berupa kompleks senyawa besi inorganik (ferri/ Fe3+) yang oleh HCl lambung, asam amino
dan vitamin C mengalami reduksi menjadi ferro (Fe2+ ). Bentuk fero diabsorpsi oleh sel
mukosa usus dan di dalam sel usus, fero mengalami oksidasi menjadi feri yang selanjutnya
14
berikatan dengan apoferitin menjadi feritin. Bentuk ini akan dilepaskan ke peredaran darah
setelah mengalami reduksi menjadi fero dan di dalam plasma ion fero direoksidasi menjadi feri
yang akan berikatan dengan 1 globulin membentuk transferin. Transferin berfungsi
mengangkut besi untuk didistribusikan ke hepar, limpa, sumsum tulang serta jaringan lain
untuk disimpan sebagai cadangan besi tubuh. Di sumsum tulang sebagian besi dilepaskan ke
dalam retikulosit yang akan bersenyawa dengan porfirin membentuk heme. Persenyawaan
globulin dengan heme membentuk hemoglobin. Setelah eritrosit hancur, Hb akan mengalami
degradasi menjadi biliverdin dan besi. Besi akan masuk ke dalam plasma dan mengikuti siklus
seperti di atas. Penyerapan dalam bentuk heme ( + 10 % dari makanan) Besi heme di dalam
lambung dipisahkan dari proteinnya oleh HCl lambung dan enzim proteosa. Besi heme
teroksidasi menjadi hemin yang akan masuk ke sel mukosa usus secara utuh, lalu dipecah oleh
enzim hemeoksigenasi menjadi ion feri dan porfirin. Ion feri akan mengalami siklus seperti di
atas. Proses absorbsi besi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: Heme-iron akan
lebih mudah diserap dibandingkan nonheme-iron Ferro lebih mudah diserap daripada ferri
Asam lambung akan membantu penyerapan besi Absorbsi besi dihambat kompleks phytate dan
fosfat Bayi dan anak-anak mengabsorbsi besi lebih tinggi dari orang dewasa karena proses
pertumbuhan Absorbsi akan diperbesar oleh protein Asam askorbat dan asam organik tertentu
Jumlah total besi dalam tubuh sebagian besar diatur dengan cara mengubah kecepatan
absorbsinya. Bila tubuh jenuh dengan besi sehingga seluruh apoferitin dalam tempat cadangan
besi sudah terikat dengan besi, maka kecepatan absorbsi besi dari traktus intestinal akan
menjadi sangat menurun. Sebaliknya bila tempat penyimpanan besi itu kehabisan besi, maka
kecepatan absorbsinya akan sangat dipercepat. Gambar Sintesis Hemoglobin Di dalam tubuh,
cadangan besi ada dua bentuk, yang pertama feritin yang ebrsifat mudah larut, tersebar di sel
parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Bentuk kedua adalah hemosiderin yang tidak mudah
larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibanding feritin. Hemosiderin terutama ditemukan dalam
sel Kupfer hati dan makrofag di limpa dan sumsum tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi
untuk mempertahankan homeostasis besi dalam tubuh.

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Anemia


LO. 3.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Anemia
Anemia adalah berkurangnya sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin akibat gangguan
keseimbangan antara kehilangan sel darah merah dan gangguan produksi. Anemia relatif lebih
sering terjadi pada pasien dengan keganasan hematologi atau tumor padat. (Suryanty, 2005)

Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak
dapat membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. (Tanto, 2014)

LO. 3.2. Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi Anemia


ETIOLOGI
KLASIFIKASI
ANEMIA
MORFOLOGI

A. Berdasarkan Etiologi
Klasifikasi etiopatogenesis : berdasarkan etiologi dan patogenesis terjadinya anemia.
a. Produksi eritrosit menurun
15
 Kekurangan bahan untuk eritrosit
 Besi : anemia defisiensi besi
 Vitamin B12 dan asam folat : anemia megaloblastik
 Gangguan utilitas besi
 Anemia akibat penyakit kronik
 Anemia sideroblastik
 Kerusakan jaringan sumsum tulang
 Atrofi dengan penggantian oleh jaringan lemak : anemia aplastik/hipoplastik
 Penggantian oleh jaringan fibrotik / tumor : anemia leukoeritroblastik /
mieloptisik
 Fungsi sumsum tulang kurang baik karena tidak diketahui
 Anemia diseritropoetik
 Anemia pada sindrom mielodisplastik
b. Kehilangan eritrosit dari tubuh (akibat hemoragi)
 Anemia pasca pendarahan aku
 Anemia pasca pendarahan kronik
c. Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis)
 Anemia hemolitik intrakorpuskuler
 Gangguan membran
 Hereditary spherocytosis
 Hereditary elliptocytosis
 Gangguan enzim
 Defisiensi piruvat kinase
 Defisiensi G6PD (glucose-6 phosphate dehydrogenase)
 Gangguan hemoglobin
 Hemoglobinopati struktural
 Thalassemia
 Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
 Antibodi terhadap eritrosis
 Autoantibodi-AIHA (autoimmune hemolytic anemia)
 Isoantibodi-HDN (hemolytic disease of newborn)
 Hipersplenisme
 Pemaparan terhadap bahan kimia
 Akibat infeksi bakteri / parasit
 Kerusakan mekanik
d. Bentuk campuran
e. Bentuk yang patogenesisnya belum jelas
(I Made Bakta, 2006)

B. Berdasarkan Morfologi
a. Anemia normositik normokrom
Patofisiologi anemia ini terjadi karena pengeluaran darah ataudestruksi darah yang
berlebih sehingga menyebabkan Sumsum tulangharus bekerja lebih keras lagi dalam
eritropoiesis. Sehingga banyak eritrosit muda (retikulosit) yang terlihat pada gambaran
darah tepi. Pada kelas ini, ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal
sertamengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal tetapi individumenderita

16
anemia. Anemia ini dapat terjadi karena hemolitik, pasca pendarahan akut, anemia
aplastik, sindrom mielodisplasia, alkoholism,dan anemia pada penyakit hati kronik.
b. Anemia makrositik normokrom
Makrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normaltetapi
normokrom karena konsentrasi hemoglobinnya normal. Hal inidiakibatkan oleh
gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada
defisiensi B12 dan atau asam folat. Ini dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker, sebab
terjadi gangguan pada metabolisme sel
c. Anemia mikrositik hipokrom
Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobindalam jumlah
yang kurang dari normal. Hal ini umumnyamenggambarkan insufisiensi sintesis hem
(besi), seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan darah
kronik, ataugangguan sintesis globin, seperti pada talasemia (penyakit
hemoglobinabnormal kongenital)
Mikrositer
Kadar Normositer normokrom Makrositer
hipokrom
MCV < 80 fl 80 – 95 fl
> 95 fl

MCH < 27 pg 27 – 34 pg -

1. Anemia pasca
Megaloblastik
perdarahan
1. Anemia defisiensi folat
2. Anemia aplastik –
2. Anemia defisiensi vit
hipoplastik
1. Anemia B12
3. Anemia hemolitik
defisiensi besi
4. Anemia penyakit
2. Thalasemia Nonmegaloblastik
Jenis kronik
3. Anemia a) Anemia penyakit
5. Anemia mieloptisik
penyakit penyakit hati kronik
6. Anemia gagal ginjal
kronik b) Anemia
7. Anemia
4. Anemia hipotiroid
mielofibrosis
sideroblastik c) Anemia sindroma
8. Anemia sindrom
mielodisplastik
mielodisplastik
9. Anemia leukimia
akut

LO. 3.3. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi klinis


Gejala anemia dapat dibagi menjadi 3 jenis gejala yaitu :
a. Gejala Anemia Umum
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta
akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini
muncul pada setiap kasus anemia setelah penuruan hemoglobin sampai kadar tertentu (
Hb<7 g/dL ).
Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendengin
(tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan disepsia. Pada
pemeriksaan pasien tampak pucat yang dapat dilihat dari konjungtiva, mukosa mulut,
telapak tangan dan jaringan bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena

17
dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitive karena timbul
setelah penurunan hemoglobin yang berat ( Hb<7 g/dL )
b. Gejala khas anemia
 Anemia defisiensi besi
- Koilonychia : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris garis vertical
dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok
- Atrofi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang
- Stomatitis angularis (cheilosis) : adanya keradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
- Disfagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
- Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhlorida
- Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah liat, es, lem
dan lain-lain
 Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologic pada defisiensi vitamin B12
 Anemia hemolitik : icterus, splenomegaly dan hepatomegaly
 Anemia aplastic : perdarahan dan tanda-tanda infeksi

c. Gejala Penyakit Dasar


Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi
cacing tambang : sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya
pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis rheumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada
kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis
anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.

LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Besi


LO. 4.1. Memahami dan Menjelaskan Definisi Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat berkurangnya penyediaan besi untuk
eritropoiesis karena cadangan besi kosong. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya
pembentukan hemoglobin. (Tanto, 2014)

LO. 4.2. Memahami dan Menjelaskan Etiologi Anemia Defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi,
serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari :
a. Saluran cerna : akibat dari tukak peptic, kanker lambung, kanker kolon,
divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang;
b. Saluran genitalia wanita : menorrhagia, atau metrorhagia;
c. Saluran kemih : hematuria;
d. Saluran napas : hemoptoe
2. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi
(bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan
rendah daging).
3. Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan
dan kehamilan.

18
4. Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.

Pada orang dewasa, anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan
perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab
utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki perdarahan gastrointestinal, di
negara tropik paling sering karena cacing tambang. Sementra itu, pada wanita paling sering
karena menormetrorhagia.
(I Made Bakta, 2006)

LO. 4.3. Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi


1) Tahap pertama
Disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya
cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein
besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non
heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui
adanya kekurangan besi masih normal.
2) Tahap kedua
Dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron limited erythropoiesis
didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi
transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TBIC) meningkat dan
free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.
3) Tahap ketiga
Disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju
eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb.
Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif.
Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.

Tabel . Fase-Fase Anemia Defisiensi Besi (Turgeon, 2012)


Stage 1 Stage 2 Stage 3
Cadangan besi di sumsum tulang < – –
Tingkat serum ferritin < < 12 µg/l < 12 µg/l
Saturasi transferrin N < 16% < 16%
Protoporfirin eritrosit bebas, zinc protoporfirin N > >
Reseptor serum transferrin N > >
Kandungan hemoglobin retikulosit N < <
Hemoglobin N N <
MCV (Mean Corpuscular Volume) N N <
Tanda klinis dan gejala Ada

19
LO. 4.4. Memahami dan Menjelaskan Manifestasi klinis Anemia Defisiensi Besi
Gejala khas anemia akibat defisiensi besi antara lain :
1. Koilonychia: kuku sendok (spoon nail)  kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertical dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
2. Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang
3. Stomatitis angularis: adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai
bercak berwarna pucat keputihan
4. Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
5. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly: kumpulan gejala yang
terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.

LO. 4.5. Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding Anemia Defisiensi
Besi
Anamnesis :
Penting pada anamnesis untuk menanyakan hal- hal yang mengindikasikan adanya
kausa dari anemia defisiensi besi. Hal penting untuk ditanyakan misalnya:
- Riwayat gizi
- Anamnesis lingkungan
- Pemakaian obat
- Riwayat penyakit
- Pada remaja khususnya wanita bisa ditanyakan perdarahan bulananya

Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital untuk melihat kondisi umum yang
mungkin menjadi penyebab utama yang mempengaruhi kondisi pasien atau efek
anemia terhadap kondisi umum pasien. Pemeriksaan fisik ditujukan untuk
menemukan berbagai kondisi klinis manifestasi kekurangan besi dan sindroma
anemic.
Pemeriksaan laboratorium :
Jenis Pemeriksaan Nilai
Hemoglobin Kadar Hb biasanya menurun disbanding nilai normal berdasarkan jenis
kelamin pasien
MCV Menurun (anemia mikrositik)
MCH Menurun (anemia hipokrom)
Morfologi Terkadang dapat ditemukan ring cell atau pencil cell
20
Ferritin Ferritin mengikat Fe bebas dan berkamulasi dalam sistem RE sehingga kadar
Ferritin secara tidak langsung menggambarkan konsentrasi kadar Fe. Standar
kadar normal ferritin pada tiap center kesehatan berbeda-beda. Kadar ferritin
serum normal tidak menyingkirkan kemungkinan defisiensi besi namun kadar
ferritin >100 mg/L memastikan tidak adanya anemia defisiensi besi
TIBC Total Iron Binding Capacity biasanya akan meningkat >350 mg/L (normal:
300-360 mg/L )
Saturasi transferrin Saturasi transferin bisanya menurun <18% (normal: 25-50%)
Pulasan sel sumsum Dapat ditemukan hyperplasia normoblastik ringan sampai sedang dengan
tulang normoblas kecil. Pulasan besi dapat menunjukkan butir hemosiderin (cadangan
besi) negatif. Sel-sel sideroblas yang merupakan sel blas dengan granula
ferritin biasanya negatif. Kadar sideroblas ini adalah Gold standar untuk
menentukan anemia defisiensi besi, namun pemeriksaan kadar ferritin lebih
sering digunakan.
Pemeriksaan penyait Berbagai kondisi yang mungkin menyebabkan anemia juga diperiksa,
dasar misalnya pemeriksaan feces untuk menemukan telur cacing tambang,
pemeriksaan darah samar, endoskopi, dan lainnya.

Sel pensil

Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat
dibagi enjadi 3 tingkatan, yaitu :
- Deplesi besi adalah penurunan cadangan besi tanpa diikuti penurunan kadar besi
serum. Deteksi dari tingkatan ini adalah dengan menggunakan teknik biopsi atau
dengan pengukuran ferritin. Karena absorpsi besi berbanding terbalik dengan
cadangan besi, maka terjadi peningkatan absorpsi besi pada fase ini.
- Eritropoiesis defisiensi besi dikatakan ada ketika cadangan besi habis namun kadar
hemoglobin dalam darah masih dalam batas bawah normal. Dalam fase ini, beberapa
abnormalitas dalam pemeriksaan laboratorium dapat dideteksi, terutama menurunnya
saturasi transferrin serta meningkatnya total iron-binding capacity. Meningkatnya
protoporfirin eritrosit bebas dapat dilihat di pertengahan dan akhir dari fase ini. Mean
corpuscular volume (MCV) biasanya masih dalam batas normal walaupun sudah
terlihat beberapa mikrosit pada hapusan darah.
- Ketika konsentrasi hemoglobin menurun hingga di bawah batas normal, anemia
defisiensi besi terjadi. Pada fase ini, kadar enzim yang mengandung besi seperti
sitokrom juga menurun.

Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi:


a. Anemia penyakit kronik
Anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang khas ditandai oleh
gangguan metabolism besi, yaitu adanya hipoferemia sehingga menyebabkan
berkurangnya penyediaan besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin tetapi
cadangan besi sumsum tulang masih cukup.

21
b. Thalasemia
Penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak
atau umurnya lebih pendek dari sel darah merah normal.
c. Anemia sideroblastik
Anemia dengan sideroblas cincin dalam sumsum tulang.

LO. 4.6. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi


Setelah diagnosis ditegakan maka dibuat rencana pemberian terapi, terapi terhadap
anemia difesiensi besi dapat berupa :
1. Terapi kausal: tergantung penyebab penyakitnya, misalnya: pengobatan cacing
tambang, pengobatan hematoid. Terapi ini harus dilakukan, apabila tidak dilakukan
maka anemia akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk pengganti kekurangan besi dalam tubuh:
a) Besi peroral: merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman.
Preparat yang tersedia, yaitu:
 ferrous sulphat → dosis 3 x 200 mg (murah dan efektif)
 ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferros succinate (lebih
mahal tetapi efektivitas dan efek samping hamper sama).
Preparat besi oral sebaiknya diberikan pada saat lambung kosong, tetapi efek
samping lebih banyak dibanding setelah makan. Efek sampingnya yaitu mual,
muntah, serta konstipasi. Pengobatan diberikan sampai 6 bulan setelah kadar
hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Kalau tidak, maka akan
kembali kambuh.
b) Besi parenteral
Efek sampingnya lebih berbahaya, dan harganya lebih mahal, indikasi:
 Intoleransi oral berat
 Kepatuhan berobat kurang
 Kolitis ulserativa
 Perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi, hamil trimester akhir)

Preparat yang tersedia: iron dextran complex, iron sorbital citric acid complex →
diberikan secara intramuskuler atau intravena pelan.
Efek samping: reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah,
nyeri perut,dan sinkop.
Dosis besi parenteral: harus dihitung dengan tepat karena besi berlebihan akan
membahayakan pasien. Besarnya dosis dpat dihitung dari rumus dibawah ini :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 3

3. Pengobatan lain

 Diet: makanan bergizi dengan tinggi protein (protein hewani)


 Vitamin c: diberikan 3 x 100 mg perhari untuk meningkatan absorpsi besi
 Transfusi darah: anemia kekurangam besi jarang memerlukan transfuse darah.
Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah :
i. Adanya penyakit jantung anermik dengan ancaman payah jantung
ii. Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang
sangat mencolok
iii. Penderita memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat, seperti pada
kehamilan trimester akhir atau preoperasi.

22
Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red cell) untuk mengurangi bahaya overload.
Sebagai indikasi dapat dipertimbangkan pemberian furosemide intravena.
(I Made Bakta,2006)

LO. 4.7. Memahami dan Menjelaskan Komplikasi Anemia Defisiensi Besi


1) Anemia of Chronic Disorders (ACD)
2) Hemoglobin CC disease
3) Hemoglobin DD disease
4) Lead poisoning
5) Anemia Mikrositik
6) Autoimun Hemolitik Anemia (AIHA)
7) Hemoglobin S-beta Thalassemia. (Harper, 2015)

LO. 4.8. Memahami dan Menjelaskan Pencegahan Anemia Defisiensi Besi


Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka diperlukan suatu
tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat berupa berikut :
1. Pendidikan kesehatan, yaitu;
a. Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemaikaian jamban, dan perbaikan
lingkungan kerja, misalnya pemakain alas kaki
b. Penyuluhan gizi: untuk medorong konsumsi makanan yang membantu
absorpsi besi.
2. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling
sering di daerah tropik
3. Suplementasi besi: terutama untuk segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil
dan anak balita.
4. Fortifikasi bahan makanan dengan besi.

(I Made Bakta,2006)

LO. 4.9. Memahami dan Menjelaskan Prognosis Anemia Defisiensi Besi


Prognosis dilandaskan pada penyebab anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi tanpa
komplikasi sekunder sampai multiple pregnancies memiliki prognosis yang sangat baik
dengan pengobatan relative sederhana. Namun, bila anemia defisiensi besi sekunder pada
kanker pencernaan, prognosis tergantung pada penahapan tumor. Setelah hemoglobin
dikoreksi, membutuhkan setidaknya 6 bulan atau sampai terapi pengganti besi untuk
mengembalikan cadangan zat besi. (BMJ, 2016)

23
DAFTAR PUSTAKA

 Dorland, W. A. 2011. Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 31. Jakarta: EGC.


 Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2013. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta
: EGC.
 Guyton.2007. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit.EGC. Jakarta
 Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta:EGC
 Sherwood,Lauralee.2014.Fisiologi manusia Dari Sel ke Sistem edisi 8. Jakarta:EGC.
 Sadikin Muhamad, 2002, Biokimia Darah, Jakarta: Widia Medika.
 Hoffbrand AV, Petit TE, Moss PAH. Essential Haematology 4th ed. London :
Blackwell Scientific Publication. 2001; 1-97.
 Dunn, A., Carter, J., Carter, H., 2003. Anemia at the end of life: prevalence,
significance, and causes in patients receiving palliative care. Medlineplus. 26:1132-
1139.
 Ganong. 2001. BukuAjarFisiologiKedokteran. EGC. Jakarta
 Sylvia A. Price Lorraine M. Wilson, 2002, Patofisiologi, Jilid1, EGC, Jakarta
 Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3 Revisi. Jakarta: EGC
 Almatsier Sunita, 2004. Penuntun Diet Edisi Baru, Institusi Gizi Perjan RS
Dr.Ciptomangunkusumo dan Asosiasi Dietisien Indonesia, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
 Sembulingam, K., et al. (2012). Essentials of Medical Physiology 6th Ed. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers
 Schecter, A. N. (2008). Hemoglobin research and the origins of molecular medicine.
Blood Vol. 112 No. 10. DOI 10.1182/blood- 2008-04-078188
 Thompson, Gregory, MD. (2015). Hemoglobin. United States: Healthwise, Inc.
[http://www.webmd.com/hw-popup/hemoglobin-7998] Diakses tanggal 26 Oktober
2016
 Turgeon, M. L. (2012). Clinical Hematology Theory & Procedures 5th Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
 Pawlina, W. (2016). Histology: A Text and Atlas with Correlated Cell and Molecular
Biology 7th Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health
 Hall, J. E. (2016). Guyton and Hall: Textbook of Medical Physiology 13rd Edition.
Philadelphia: Elsevier

24

Anda mungkin juga menyukai