Anda di halaman 1dari 43

SKENARIO LEKAS LELAH DAN PUCAT

KELOMPOK :

KETUA

SEKERTARIS:

Ooy Rokayah

ANGGOTA

B-14

Naufal Amanullah Barsah

(1102015163)
(1102015175)

Olivia Aisyah Salampessy


Olivia Tanjung

(1102014203)
(1102014204)

Mauludya Ravidian Wijaya

(1102015128)

Muhammad Lutfi Kurnia

(1102015150)

Nadhira

(1102015155)

Qatrunnada Nadhifah

(1102015184)

Salma Nara Fadhilla

(1102015212)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2016
I.

SKENARIO 1

Lekas Lelah dan Pucat

Seorang perempuan berusia 19 tahun datang ke praktek dokter umum


dengan keluhan lekas lelah sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan setelah
melakukan aktivitas ringan maupun berat. Keluhan disertai dengan wajah yang
tampak pucat.
Pada anamnesis didapatkan keterangan bahwa sejak usia kanak-kanak
pasien jarang makan ikan, daging, maupun sayur. Untuk mengatasi keluhannya
tersebut, pasien belum pernah berobat. Tidak ada riwayat penyakit yang diderita
sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
a. Tekanan darah 110/60 mmHg, denyut nadi 88 x/menit, frekuensi napas 20
x/menit, temperatur 36,8C, TB=160 cm, BB= 60 kg, konjungtiva anemis,
sklera tidak ikterik.
b. Pemeriksaan jantung, paru, dan abdomen dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil:
Pemeriksaan
Kadar
Hemoglobin (Hb)
10 g/dl
Hematokrit (Ht)
38 %
Eritrosit
5 106/l
MCV
70 fl
MCH
20 pg
MCHC
22 %
Leukosit
6500/l
Trombosit
300.000/l

II.

Nilai Normal
12 14 g/dl
37 42 %
3,9 5,3 106/l
82 92 fl
27 31 pg
32 36 %
5000 10.000/l
150.000 400.000/l

BRAINSTORMING

Kata Sulit
1. Ikterik
Berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29, ikterik adalah
perubahan warna kuning pada kulit, selaput lendir, dan bagian putih mata
yang disebabkan oleh peningkatan jumlah bilirubin dalam darah.
2. Konjungtiva anemis
Berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29, konjungtiva anemis
adalah kondisi dimana konjungtiva seseorang pucat karena darah tidak
sampai ke perifer yang bisa menjadi salah satu tanda anemia.
3. Hemoglobin
Berdasarkan Buku P.K Hematop, hemoglobin merupakan pigmen eritrosit
yang berfungsi sebagai transport oksigen, yang terdiri dari heme dan
globin. Hemoglobin berupa pigmen berwarna merah dan terabsorbsi
maksimal pada gelombang 540 nm.
4. Hematokrit
Berdasarkan Buku P.K Hematop, hematokrit atau Packed Red Cell
Volume (PCV) merupakan persentase volume eritrosit terhadap volume
darah.
5. Eritrosit
Berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29, eritrosit adalah sel
darah merah.
6. MCV
Berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29, MCV atau Mean
Corpuscular Volume adalah volume korpuskula rata-rata yaitu ukuran dari
volume sel darah merah rata-rata yang dilaporkan sebagai bagian dari
hitung darah lengkap standar.
7. MCH
Berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29, MCH atau Mean
Corpuscular Hemoglobin atau Mean Cell Hemoglobin adalah ukuran
massa hemoglobin (Hb) yang terkandung dalam sel darah merah,
dilapokan sebagai hitung darah lengkap standar.
8. MCHC
Berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29, MCHC atau Mean
Corpuscular Hemoglobin Concentration adalah konsentrasi Hb rata-rata
se hidup yang dilaporkan sebagai bagian dari hitung darah lengkap standar
9. Leukosit
Berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29, leukosit adalah sel
darah putih.
10. Trombosit
Berdasarkan Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29, trombosit adalah jenis
sel darah yang bertanggung jawab untuk penggumpalan darah normal.
Produksi trombosit dipengaruhi oleh thrombopoietin.

III.

Pertanyaan

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Mengapa pada pasien ini mengalami mudah lelah?


Apa yang menyebabkan kadar Hb pada pasien dibawah normal?
Apa hubungan pola makan dengan penyakit pasien?
Kapan diperlukan pemeriksaan darah pada kasus tersebut?
Apa diagnosis yang mungkin pada kasus ini?
Pemeriksaan penunjang apa saja yang dapat dilakukan pada kasus
tersebut?
7. Mengapa pada kasus ini hematokrit pasien normal sedangkan pada Hb,
MCV, MCH, dan MCHC mengalami penurunan?
8. Mengapa terjadi konjungtiva anemis tetapi sklera tidak ikterik?
9. Apa saja penanganan yang diberikan kepada pasien?
10. Bagaimana pencegahan yang sesuai untuk kasus tersebut?
11. Apa yang dapat terjadi jika pasien terlambat atau tidak ditangani?
IV.

Jawaban
1. Mudah lelah terjadi karena penurunan Hb, sehingga sirkulasi oksigen ke
dalam jaringan menurun, dan menyebabkan hipoksia jaringan.
2. Kurang mengonsumsi makanan yang mengandung zat besi.
3. Ikan, daging, dan sayur merupakan makanan yang banyak mengandung
zat besi, yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin. Ikan dan
daging mengandung Fe heme, sedangkan sayur mengandung Fe non
heme.
4. Setelah dokter melakukan pemeriksaan fisik dan menganamnesis.
5. Anemia defisiensi besi, karena kadar hemoglobin (MCV, MCHC, MCH)
menurun.
6. Pemeriksaan penunjang lain, yaitu pemeriksaan ferritin serum dan sediaan
darah tepi.
7. Jika anemia defisiensi besi, MCV, MCH, MCHC dan hemoglobin akan
menurun. Hal ini dikarenakan perhitungan dilakukan pada kandungan
eritrositnya yaitu hemoglobin bukan pada eritrosit keseluruhan. Jadi
eritrosit dapat dibentuk dengan jumlah normal, namun kandungan
hemoglobinnya yang berkurang.
8. Sklera tidak ikterik karena tidak terjadi gangguan pada fungsi hati,
sehingga tidak terjadi penumpukan bilirubin, konjungtiva anemis terjadi
karena peredaran darah tidak sampai ke perifer.
9. Penanganan yang dapat diberikan yaitu menjaga pola makan yang
mengandung zat besi dan vitamin C cukup, dan pemberian Fe oral sebesar
200 mg/hari selama 3 bulan.
10. Dengan mengonsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi dan
berolahraga secara rutin.
11. Jika terlalu berat dapat menyebabkan syok hipovolemik.

Hipotesis

Zat besi diperlukan untuk pembentukan hemoglobin. Zat besi didapatkan


dari makanan seperti ikan, daging, dan sayur. Bila kekurangan zat besi
dikarenakan kurang mengonsumsi makanan mengandung zat besi, dapat
menyebabkan seseorang mudah mengalami kelelahan karena kadar hemoglobin
yang menurun yang beranjut menjadi hipoksia jaringan dan dapat menjadi anemia
defisiensi besi. Pemeriksaan yang dilakukan pada anemia defisiensi besi yaitu
pemeriksaan ferritin serum dan sediaan darah tepi, dengan hasil pemeriksaan
ditemukan penurunan kadar Hb, MCV, MCH, dan MCHC mengalami penurunan.
Penanganan yang dapat dilakukan yaitu pemberian vit C, Fe oral sebesar 200
mg/hari selama 3 bulan, dan memperbaiki pola makan dengan memakan makanan
yang cukup kandungan zat besi. Apabila tidak cepat ditangani, anemia defisiensi
besi dapat menyebabkan syok hipovolemik.

Sasaran Belajar

LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Eritropoiesis


LO.1.1. Definisi Eritropoiesis
LO.1.2. Mekanisme Eritropoiesis
LO.1.3. Faktor Faktor Eritropoiesis
LO.1.4. Morfologi Eritrosit
LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Biosintesis Hemoglobin
LO.2.1. Definisi Hemoglobin
LO.2.2. Struktur Hemoglobin
LO.2.3. Fungsi Hemoglobin
LO.2.4. Biosintesis Hemoglobin
LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Anemia
LO.3.1. Definisi Anemia
LO.3.2. Etiologi Anemia
LO.3.3. Klasifikasi Anemia
LO.3.4. Manifestasi Klinis Anemia
LO.3.5. Diagnosis Anemia
LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Besi
LO.4.1. Definisi Anemia Defisiensi Besi
LO.4.2. Epidemiologi Anemia Defisiensi Besi
LO.4.3. Etiologi Anemia Defisiensi Besi
LO.4.4. Patogenesis Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi
LO.4.5. Manifestasi Klinis Anemia Defisiensi Besi
LO.4.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi
LO.4.7. Penatalaksanaan Anemia Defisiensi Besi
LO.4.8. Komplikasi Anemia Defisiensi Besi
LO.4.9. Prognosis Anemia Defisiensi Besi
LO.4.10. Pencegahan Anemia Defisiensi Besi

LI. 1. Memahami dan Menjelaskan Eritropoiesis

LO.1.1. Definisi Eritropoiesis


Eritropoiesis merupakan suatu proses pembentukan sel darah
merah baru oleh sumsum tulang, dengan kecepatan menyamai
kecepatan kerusakan sel tua.
Selama perkembangan intrauterus, eritrosit mula-mula dibentuk
oleh yolk sac atau kantung kuning telur dan kemudian oleh hati dan
limpa, sampai sumsum tulang terbentuk dan mengambil alih produksi
eritrosit secara eksklusif. Pada anak, sebagian besar tulang terisi oleh
sumsum tulang merah yang mampu memproduksi sel darah. Namun,
seiring dengan pertambahan usia, sumsum tulang kuning yang tidak
mampu melakukan eritropoiesis secara perlahan menggantikan
sumsum merah, yang tersisa hanya di beberapa tempat, misalnya
sternum, iga, dan ujung-ujung atas tulang panjang ekstremitas.
Sumsum merah tidak hanya memproduksi sel darah merah tetapi
juga merupakan sumber leukosit dan trombosit karena di dalam
sumsum tulang terdapat sel punca pluripotent tak berdiferensiasi yang
secara terus-menerus membelah diri dan berdiferensiasi untuk
menghasilkan semua jenis sel darah.
Pada beberapa minggu pertama gestasi, kantung kuning telur (yolk
sac) adalah tempat utama terjadinya hemopoiesis. Sejak usia enam
minggu sampai bulan ke 6 7 masa janin, hati dan limpa merupakan
organ utama yang berperan dan terus memproduksi sel darah sampai
sekitar 2 minggu setelah kelahiran. Sumsum tulang adalah tempat
yang paling penting sejak usia 6 7 bulan kehidupan janin dan
merupakan satu-satunya sumber sel darah baru selama masa anak dan
dewasa yang normal. Sel-sel yang sedang berkembang terletak diluar
sinus sumsum tulang, dan sel yang matang dilepaskan ke dalam
rongga sinus, mikrosirkulasi sumsum tulang, dan dengan demikian ke
sirkulasi umum.
Pada masa bayi seluruh sumsum tulang bersifat hemopoetik tetapi
selama masa kanak-kanak terjadi penggantian sumsum tulang oleh
lemak yang sifatnya progresif disepanjang tulang panjang sehingga
pada masa dewasa, sumsum tulang hemopoietik terbatas pada tulang
rangka sentral serta ujung-ujung proksimal os femur dan humerus.
Sumsum berlemak biasanya dapat berubah kembali untuk
hemopoiesis. Hati dan limpa juga dapat kembali berperan hemopoietik
seperti pada masa janin (hemopoiesis ekstramedular).
Hematokrit (Hct) (%)
Sel
darah
merah
(106/L)
Hemoglobin
(Hb)
(gr/dl)
MCV (fL)
MCH (pg)
MCHC (g/dl)
Diameter sel rata-rata

Pria
47
5,4

Wanita
42
4,8

16

14

87
29
34
7,5

87
29
34
7,5
6

(MCD) (m)
Sel dengan nilai MCV > 95 fL disebut makrosit; sel dengan MCV
< 80 fL disebut mikrosit; sel dengan MCH < 25 pg disebut hipokrom.
LO.1.2. Mekanisme Eritropoiesis
Eritrosit baru diproduksi oleh tubuh setiap hari melalui proses
eritropoiesis yang kompleks. Eritropoiesis berjalan dari sel induk
melalui sel progenitor CFUGEMM (colony-forming unit granulocyte,
erythroid, monocyte and megakariocyte / unit pembentuk koloni
granulosit, eritroid, monosit dan megakariosit), BFUE(burst-forming
unit erythroid / unit pembentuk letusan eritroid) dan CFU eritroid
(CFUU) menjadi prekusor eritrosit yang dapat dikenali pertama kali di
sumsum tulang, yaitu pronormoblas. Pronormoblas adalah sel besar
dengan sitoplasma biru tua, dengan inti di tengah dan nukleoid, serta
kromatin yang sedikit menggumpal.
Pronormoblas menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian
normoblas yang makin kecil melalui sejumlah pembelahan sel
(basofilik eritroblas polikromatik eritroblas ortokromatik
eritroblas). Normoblas ini juga mengandung hemoglobin yang
semakin banyak (berwarna merah muda) dalam sitoplasma; warna
sitoplasma makin biru pucat sejalan dengan hilangnya RNA dan
aparatus yang mensintesis protein, sedangkan kromatin inti menjadi
semakin padat. Inti akhirnya dikeluarkan dari normoblas lanjut
(ortokromatik eritroblas) di sumsum tulang dan menghasilkan stadium
Retikulosit yang masih 5 mengandung sedikit RNA ribosom dan
masih mampu mensintesis hemoglobin.
Sel retikulosit sedikit lebih besar daripada eritrosit matur, berada
selama 1 2 hari sebelum menjadi matur, terutama berada di limpa,
saat RNA hilang seluruhnya. Eritrosit matur berwarna merah muda
seluruhnya, bentuknya adalah cakram bikonkaf tak berinti. Satu
pronormoblas biasanya menghasilkan 16 eritrosit matur. Sel darah
merah berinti (normoblas) tampak dalam darah apabila eritropoiesis
terjadi di luar sumsum tulang (eritropoiesis ekstramedular) dan juga
terdapat pada penyakit sumsum tulang. Normoblas tidak ditemukan
dalam darah tepi manusia yang normal.

1.

Rubiblast
Rubriblast

disebut

juga

pronormoblast atau proeritroblast,


merupakan sel termuda dalam sel
eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan
beberapa anak inti dan kromatin
yang halus. Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron. Dalam
keadaan normal jumlah rubriblast dalam sumsum tulang adalah
kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel berinti.
2.

Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast
basofilik atau eritroblast basofilik.
Ukuran lebih kecil dari rubriblast.
Jumlahnya dalam keadaan normal
1-4 % dari seluruh sel berinti.

3.

Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast
polikromatik

atau

eritroblast

polikromatik.

Inti

sel

ini

mengandung kromatin yang kasar

dan menebal secara tidak teratur, di beberapa tempat tampak


daerah-daerah piknotik. Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak
inti, inti sel lebih kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya
lebih banyak, mengandung warna biru karena asam ribonukleat
(ribonucleic acid-RNA) dan merah karena hemoglobin. Jumlah sel
ini dalam sumsum tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %.
4.

Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast
ortokromatik

atau

eritroblast

ortokromatik. Inti sel ini kecil padat


dengan struktur kromatin yang
menggumpal.

Sitoplasma

telah

mengandung

lebih

banyak

hemoglobin sehingga warnanya merah walaupun masih ada sisasisa warna biru dari RNA. Jumlahnya dalah keadaan normal
adalah 5-10%.
5.

Retikulosit
Pada

proses

maturasi

eritrosit,

setelah pembentukan hemoglobin


dan penglepasan inti sel, masih
diperlukan beberapa hari lagi untuk
melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini berlangsung di
dalam sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi. Setelah
dilepaskan dari sumsum tulang sel normal akan beredar sebagai
retikulosit selama 1-2 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5
2,5% retikulosit.
6.

Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkaf dengan
ukuran diameter 7-8 mikron dan tebal 1,5- 2,5 mikron. Bagian
tengah sel ini lebih tipis daripada bagian tepi. Dengan pewarnaan
Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena
mengandung hemoglobin. Umur eritrosit
adalah sekitar 120 hari dan akan
dihancurkan bila mencapai umurnya oleh
limpa.

10

LO.1.3. Faktor Faktor Eritropoiesis


Eritropoiesis diatur oleh hormon eritropoietin. Hormon tersebut
adalah suatu polipeptida yang sangat terglikolisasi yang terdiri dari
165 asam amino dengan berat molekul 30.400. Normalnya, 90%
eritropoietin dihasilkan di sel interstisial peritubular ginjal dan 10%
lainnya di hati dan tempat lain. Stimulus untuk pembentukan
eritropoietin adalah tekanan oksigen dalam jaringan ginjal.
Pada kasus anemia, gangguan fungsi jantung dan paru, serta
kerusakan sirkulasi ginjal, eritropoietin mengalami peningkatan.
Eritropoietin merangsang eritropoiesis dengan meningkatkan jumlah
sel progenitor yang terikat untuk eritropoiesis. BFUE dan CFUE yang
memiliki reseptor eritropoietin terangsang untuk berproliferasi,
berdiferensiasi, dan menghasilkan hemoglobin. Proporsi eritroid
dalam sumsum tulang meningkat dan dalam keadaan kronik, terdapat
ekspansi eritropoiesis secara anatomic ke dalam sumsum berlemak
dan kadang-kadang ke lokasi ekstramedular.
Dipengaruhi oleh hormon eritropoietin. Eritropoietin adalah suatu
glikoprotein yang mengandung 165 residu asam amino dan 4 rantai
oligosakarida yang penting untuk aktivitasnya secara in vivo.
Eritopoietin meningkatkan jumlah sel induk yang peka
eritropoietin di sumsum tulang. Sel-sel induk ini kemudian berubah
menjadi prekursor sel darah merah dan akhirnya menjadi eritrosit
matang.
Eritropoietin meningkat pada saat terjadi anemia, hipoksia,
insufisiensi paru dan perdarahan. Sebaliknya, eritropoietin akan
menurun bila volume darah merah meningkat di atas normal akibat
transfusi dan juga akibat dari insufisiensi ginjal.
Zat yang diperlukan untuk eritripoiesis:
1.
Zat Besi (Fe)
a. Untuk sintesis Hb
b. Kebutuhan 2 4 mg/hari
c. Disimpan : 60% (Hb), 10% (mioglobin, enzim), 30%
(feritin,hemosiderin)
d. 6-8% diserap di duodenum, dipengaruhi oleh: HCl, vit C
2. Vitamin B12 dan asam folat
a. Untuk sintesis DNA (protein)
b. Absorbsinya memerlukan faktor intrinsik (sel parietal
lambung)
3. Vitamin E, B6, B1
4. Hormon tiroksin, androgen

11

LO.1.4. Morfologi Eritrosit

Sel darah merah merupakan sel terbanyak dengan struktur


sederhana dibandingkan dengan sel tubuh lain. Bentuk bulat pipih
seperti cakram bikonkaf berupa sekedar membrane yang membungkus
larutan hemoglobin yang merupakan 95% total protein dalam sel darah
merah, tanpa adanya organel sel termasuk inti sel.
Sel darah merah (eritrosit) berbentuk lempeng bikonkaf dengan
diameter sekitar 7,5 m dan tebal 2 mm dan setiap sel mengandung
sekitar 29 pg hemoglobin.
Kelainan Morfologi Eritrosit:
1. Sel sasaran (target cell), Pada bagian tengah dari daerah pucat eritrosit
terdapat bagian yang lebih gelap/merah.
2. Sferosit, Eritrosit < normal, warnanya tampak lebih gelap.
3. Ovalosit/Eliptosit, Bentuk eritrosit lonjong seperti telur (oval), kadangkadang dapat lebih gepeng (eliptosit).
4. Stomatosit, Bentuk sepeti mangkuk.
5. Sel sabit (sickle cell/drepanocyte) Eritosit yang berubah bentuk menyerupai
sabit akibat polimerasi hemoglobin S pada kekurangan O2.
6. Akantosit, Eritrosit yang pada permukaannya mempunyai 3 - 12 duridengan
ujung duri yang tidak sama panjang.

12

7. Burr cell (echinocyte), Di permukaan eritrosit terdapat 10 - 30 duri kecil


pendek, ujungnyatumpul.
8. Sel helmet, Eritrosit berbentuk sepeti helm.
9. Fragmentosit (schistocyte), Bentukeritrosit tidak beraturan.
10. Teardropcell, Eritrosit seperti buah pearatau tetesan air mata.
11. Poikilositosis, Bentuk eritrosit bermacam-macam.
a) Makrosit

b) Sel Target

c) Stomatosit

d) Sel Pensil

e) Ekinosit

f) akantosit

13

g) Mikrosferosit

i) Tear Drop sel

h) Eliptosit

j) Sel Sabit

k) Mikrositik

14

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Biosintesis Hemoglobin


LO.2.1. Definisi Hemoglobin
Hemoglobin merupakan pigmen merah pembawa oksigen yang
terdapat dalam sel darah merah vertebrata. Hemoglobin berupa protein
dengan berat molekul 64.450 yang berbentuk bulat dan terdiri atas
empat subunit. Tiap-tiap subunit mengandung satu gugus heme yang
terkonjugasi oleh suatu polipeptida. Polipeptida tersebut secara
kolektif disebut sebagai bagian globin dari molekul hemoglobin. Ada
dua pasang polipeptida disetiap molekul hemoglobin.
Hemoglobin adalah suatu pigmen (yang berwarna secara alami)
yang hanya ditemukan di sel darah merah. Karena kandungan besinya,
maka hemoglobin tampak kemerahan jika berikatan dengan oksigen
dan keunguan jika mengalami deoksigenasi. Karena itu darah arteri
yang teroksigenasi penuh akan berwarna merah dan darah vena yang
telah kehilangan sebagian dari kandungan oksigennya di tingkat
jaringan, memiliki rona kebiruan.
Molekul hemoglobin memiliki dua bagian:
1. Bagian globin, sutau protein yang terbentuk dari empat rantai
polipeptida yang sangat berlipat-lipat; dan
2. Empat gugus nonprotein yang mengandung besi yang dikenal
sebagai gugus heme, dengan masing-masing terikat ke salah satu
polipeptida.
Masing-masing dari keempat atom besi dapat berikatan secara
reversible dengan satu molekul oksigen; karena itu, setiap molekul
hemoglobin dapat mengambil 4 molekul oksigen di paru.

15

LO.2.2. Struktur Hemoglobin

Hemoglobin adalah metaloprotein pengangkut oksigen yang


mengandung besi dalam sel merah dalam darah mamalia dan hewan
lainnya. Hemoglobin adalah suatu protein dalam sel darah merah yang
mengantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan di seluruh tubuh dan
mengambil karbondioksida dari jaringan tersebut dibawa ke paru untuk
dibuang ke udara bebas.
Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat
gugus heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi. Mutasi pada
gen protein hemoglobin mengakibatkan suatu golongan penyakit menurun
yang disebut hemoglobinopati, di antaranya yang paling sering ditemui
adalah anemia sel sabit dan talasemia.
Hemoglobin tersusun dari empat molekul protein (globulin chain)
yang terhubung satu sama lain. Hemoglobin normal orang dewasa (HbA)
terdiri dari 2 alpha-globulin chains dan 2 beta-globulin chains, sedangkan
pada bayi yang masih dalam kandungan atau yang sudah lahir terdiri dari
16

beberapa rantai beta dan molekul hemoglobinnya terbentuk dari 2 rantai


alfa dan 2 rantai gama yang dinamakan sebagai HbF. Pada manusia
dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung 4 subunit protein),
yang terdiri dari masing-masing dua subunit alfa dan beta yang terikat
secara nonkovalen. Subunit-subunitnya mirip secara struktural dan
berukuran hampir sama. Tiap subunit memiliki berat molekul kurang lebih
16,000 Dalton, sehingga berat molekul total tetramernya menjadi sekitar
64,000 Dalton.
Pusat molekul terdapat cincin heterosiklik yang dikenal dengan
porfirin yang menahan satu atom besi; atom besi ini merupakan situs/loka
ikatan oksigen. Porfirin yang mengandung besi disebut heme Tiap subunit
hemoglobin mengandung satu heme, sehingga secara keseluruhan
hemoglobin memiliki kapasitas empat molekul oksigen. Pada molekul
heme inilah zat besi melekat dan menghantarkan oksigen serta
karbondioksida melalui darah.
Kapasitas hemoglobin untuk mengikat oksigen bergantung pada
keberadaan gugus prastitik yang disebut heme. Gugus heme yang
menyebabkan darah berwarna merah. Gugus heme terdiri dari komponen
anorganik dan pusat atom besi. Komponen organik yang disebut
protoporfirin terbentuk dari empat cincin pirol yang dihubungkan oleh
jembatan meterna membentuk cincin tetra pirol. Empat gugus mitral dan
gugus vinil dan dua sisi rantai propionol terpasang pada cincin ini.
Hemoglobin juga berperan penting dalam mempertahankan bentuk
sel darah yang bikonkaf, jika terjadi gangguan pada bentuk sel darah ini,
maka keluwesan sel darah merah dalam melewati kapiler jadi kurang
maksimal. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kekurangan zat besi
bisa mengakibatkan anemia. Jika nilainya kurang dari nilai diatas bisa
dikatakan anemia, dan apabila nilainya kelebihan akan mengakibatkan
polinemis.
Pada pusat molekul terdiri dari cincin heterosiklik yang dikenal
dengan porfirin yang menahan satu atom besi, atom besi ini merupakan
situs/lokal ikatan oksigen. Porfirin yang mengandung besi disebut heme.
Nama hemoglobin merupakan gabungan dari heme dan globin, globin
sebagai istilah generik untuk protein globular. Ada beberapa protein
mengandung heme dan hemoglobin adalah yang paling dikenal dan
banyak dipelajari.
Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung
4 submit protein), yang terdiri dari dari masing-masing dua sub unit alfa
dan beta yang terikat secara non kovalen. Sub unitnya mirip secara
struktural dan berukuran hampir sama. Tiap sub unit memiliki berat
molekul kurang lebih 16.000 Dalton, sehingga berat molekul total
tetramernya menjadi 64.000 Dalton. Tiap sub unit hemoglobin
mengandung satu heme, sehingga secara keseluruhan hemoglobin
memiliki kapasitas empat molekul oksigen
LO.2.3. Fungsi Hemoglobin
Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke
seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari

17

seluruh sel ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Sebanyak


kurang lebih 80% besi tubuh berada di dalam hemoglobin
Menurut Depkes RI adapun guna hemoglobin antara lain:
1. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam
jaringanjaringan tubuh.
2. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh
jaringanjaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.
3. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai
hasil metabolisme ke paru-paru untuk di buang, untuk mengetahui
apakah seseorang itu kekurangan darah atau tidak, dapat diketahui
dengan pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan kadar
hemoglobin dari normal berarti kekurangan darah yang disebut
anemia

Hemoglobin berperan dalam memelihara fungsi transport oksigen


dari paru-paru ke jaringan-jaringan. Sel darah merah dalam darah
arteri sistemik mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan
kembali dalam darah vena dengan karbon dioksida (CO2) ke paruparu. Ketika molekul hemoglobin memuat dan melepas O2, masingmasing rantai globin dalam molekul hemoglobin mendorong satu
sama
lain. Ketika O2 dilepas, rantai-rantai tertarik-pisah,
memudahkan masuknya metabolit 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) yang
mengakibatkan rendahnya afinitas molekul untuk O2. Pergerakan ini
bertanggung jawab terhadap bentuk sigmoid kurve disosiasi O2
hemoglobin. P 50 (tekanan parsial O2 pada hemoglobin setengah
jenuh dengan O2) darah normal adalah 26,6 mmHg. Dengan
peningkatan afinitas untuk O2, kurve bergeser ke kiri (P 50 turun)
sementara dengan penurunan afinitas untuk O2, kurve bergeser ke
kanan (P 50 naik). Normal di dalam tubuh, pertukaran O2 bekerja
diantara kejenuhan 95% (darah arteri) dengan tekanan O2 arteri
rata-rata 95 mmHg dan kejenuhan 70% (darah vena) dengan tekanan
O2 vena rata-rata 40 mmHg. Posisi kurve normal tergantung pada
konsentrasi 2,3-DPG, ion H+ dan CO2 dalam sel darah merah dan
pada struktur molekul hemoglobin. Konsentrasi tinggi 2,3-DPG,
H+ atau CO2, dan adanya hemoglobin tertentu, misalnya
hemoglobin sabit (Hb S) menggeser kurve ke kanan sedangkan
hemoglobin janin (Hb F) yang tidak dapat mengikat 2,3-DPG dan
hemoglobin abnormal tertentu yang langka berhubungan dengan
polisitemia menggeser kurve ke kiri karena hemoglobin ini kurang
mudah melepas O2 daripada normal. Jadi oksigen binding/dissosiasi

18

dipengaruhi oleh pO2, pCO2, pH, suhu tubuh dan konsentrasi 2,3DPG.
a. Hb A : terdiri dari 2 alpha-globulin chains dan 2 beta-globulin
chains (dewasa)
b. Hb F : 2 rantai alfa dan 2 rantai gama (bayi)
c. Hb A2 : terdiri dari 2 alpha-globulin chains dan 2 beta-globulin
chains (dewasa minor sekitar 2,5%)
Fungsi lain hemoglobin selain berikatan dengan oksigen yaitu
dapat berikatan dengan:
a. Karbondioksida. Hemoglobin membantu mengangkut gas ini dari
sel jaringan kembali ke paru.
b. Bagian ion hydrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi,
yang dihasilkan ditingkat jaringan dari karbondioksida.
Hemoglobin berfungsi sebagai penyangga asam sehingga pH darah
tidak banyak berubah.
c. Karbonmonoksida. Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat di
dalam darah, tetapi apabila terhirup maka gas ini cenderung
menempati bagian hemoglobin yang berikatan dengan oksigen
sehingga
terjadi
keracunan
karbonmonoksida.
Ikatan
karbonmonoksida dengan Hb dikenal sebagai karboksihemoglobin
(HbCO) yang 240 kali lebih kuat dibandingkan ikatan
oksihemoglobin (HbO2).
d. Nitrat oksida (NO). Di paru, nitrat oksida yang bersifat vasodilator
berikatan dengan hemoglobin. NO ini dibebaskan di jaringan,
tempat zat ini melemaskan dan melebarkan anteriol lokal.
Vasodilatasi ini membantu menjamin bahwa darah kaya oksigen
dapat mengalir dengan lancar dan juga membantu menstabilkan
tekanan darah.
LO.2.4. Biosintesis Hemoglobin
a. Sintesis Heme
Sintesis heme terjadi di mitokondria melalui suatu rangkaian
reaksi biokimia yang bermula dengan kondensasi glisin dan
suksinil koenzim A oleh kerja enzim kunci yang bersifat
membatasi kecepatan reaksi yaitu asam aminolevulinat sintase
membentuk asam aminolevulinat/ALA. Dalam reaksi ini glisin
mengalami dekarboksilasi. Piridoksal fosfat adalah koenzim untuk
reaksi ini yang dirangsang oleh eritropoietin. Dalam reaksi kedua
pada pembentukan hem yang dikatalisis oleh ALA dehidratase,
2 molekul ALA menyatu membentuk pirol porfobilinogen. Empat
dari cincin-cincin pirol ini berkondensasi membentuk sebuah
rantai linear dan mengandung gugus asetil (A) dan propionil (P).
Gugus asetil mengalami dekarboksilasi untuk membentuk gugus
metil. Kemudian dua rantai sisi propionil yang pertama
mengalami dekarboksilasi dan teroksidasi ke gugus vinil,
membentuk protoporfirinogen Akhirnya, Jembatan metilen

19

mengalami oksidasi untuk membentuk protoporfirin IX.


Protoporfirin bergabung dengan Fe2+ untuk membentuk heme.
b. Sintesis globin
Sintesis molekul globin pada dasarnya mengikuti proses
sintesis protein pada umumnya, dimulai dari transkripsi gen globin
di kromosom 11 dan 16, kemudian pengolahan mRNA hasil
transkrip menjadi mRNA masak yang siap dikeluarkan dari inti
menuju ke sitoplasma. Di sitoplasma, dengan tersedianya molekul
tRNA yang mengangkut asam amino secara spesifik dan rRNA
yang bergabung dengan molekul-molekul protein menjadi
bangunan ribosom, maka mRNA akan diterjemahkan menjadi
rantai polipeptida atau protein globin.
Masing- masing molekul heme bergabung dengan satu rantai
globin yang dibuat pada poliribosom, lalu bergabunglah tetramer yang
terdiri dari empat rantai globin dan heme nya membentuk hemoglobin.
Pada saat sel darah merah tua dihancurkan, bagian globin dari
hemoglobin akan dipisahkan, dan hemenya diubah menjadi biliverdin.
Lalu sebagian besar biliverdin diubah menjadi bilirubin dan
diekskresikan ke dalam empedu. Sedangkan besi dari heme digunakan
kembali untuk sintesis hemoglobin. Pada langkah terakhir jalur ini,
besi (sebagai Fe 2+)
digabungkan ke dalam protoporfirin IX
dalam reaksi yang dikatalisis oleh ferokelatase (dikenal sebagai
heme sintase).

http://themedicalbiochemistrypage.org/heme-porphyrin.html

LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Anemia


LO.3.1. Definisi Anemia
Kata anemia menunjukkan kemampuan darah mengangkut oksigen
di bawah normal dan ditandai oleh hematokrit yang rendah. Anemia
dapat disebabkan oleh penurunan laju eritropoiesis, kehilangan

20

eritrosit dalam jumlah besar, atau defisiensi kandungan hemoglobin


eritrosit.
Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering
dijumpai .Anemia ialah keadaan dimana masa eritrosit tidak dapat
memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.
Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan dibawah normal
kadar hemoglobin, eritrosit dan hematocrit.

LO.3.2. Etiologi Anemia


Anemia dapat disebabkan oleh penurunan laju eritropoiesis,
kehilangan eritrosit dalam jumlah besar, atau defisiensi kandungan
hemoglobin.
Berbagai kausa anemia dapat dikelompokkan menjadi enam
kategori:
a. Anemia gizi disebabkan oleh defisiensi suatu faktor dalam
makanan yang dibutuhkan untuk eritropoiesis. Sebagai cotoh
anemia defisiensi besi terjadi karena ketidakcukupan unsur besi
tersedia untuk membentuk hemoglobin.
b. Anemia pernisiosa disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh
menyerap vitamin B12 yang masuk melalui makanan dari saluran
cerna. Vitamin B12 hanya dapat diserap oleh saluran usus jika
nutrient ini terikat ke faktor intrinsik yang berupa bahan khusus
yang disekresikan oleh lapisan dalam lambung. Jika terjadi
defisiensi faktor intrinsik maka vitamin B12 yang dikonsumsi
tidak banyak diserap, dan dapat menyebabkan gangguan produksi
dan pematangan eritrosit.
c. Anemia aplastik disebabkan oleh sumsum tulang menghasilkan
cukup eritrosit, meskipun semua bahan yang dibutuhkan untuk
eritropoiesis tersedia. Hal ini dapat terjadi karena destruksi
sumsum tulang merah oleh bahan kimia toksik (misalnya
benzene), pajanan berlebihan terhadap radiasi (jatuhan dari
ledakan bom nuklir atau pajanan berlebihan sinar X), invasi
sumsum tulang oleh sel kanker, atau kemoterapi untuk kanker.
d. Anemia ginjal dapat terjadi akibat penyakit ginjal. Karena
eritropoietin dari ginjal adalah rangsangan utama yang mendorong
eritropoiesis.
e. Anemia pendarahan disebabkan oleh keluarnya banyak darah.
Kehilangan darah bersifat akut, misalnya karena pendarahan luka,
atau kronik, misalnya darah haid yang berlebihan.
f. Anemia hemolitik disebabkan oleh pecahnya eritrosit dalam darah
secara berlebihan. Hemolisis, atau ruptur eritrosit terjadi karena sel
yang sebenarnya normal dipicu untuk pecah oleh faktor eksternal,
seperti pada invasi eritrosit oleh parasit malaria, atau dikarenakan
sel tersebut memang cacat seperti pada anemia sel sabit.
LO.3.3. Klasifikasi Anemia

21

e. Klasifikasi morfologik: yang berdasarkan morfologi erotrosit pada


pemeriksaan apusan darah tepi atau dengn melihat indeks eritrosit.
Dengan pemakaian alat hitung hematologi automatik yang
semakin luas maka validitas klasifikasi morfologik ini menjadi
lebih baik.
1. Anemia hipokromik makrositer (MCV < 80 fL; MCH < 27 pg)
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
2. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fL; MCH 2734 pg)
a. Anemia pascapendarahan akut
b. Anemia aplastik - hipoplastik
c. Anemia hemolitik terutama bentuk yang didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia mieloplastik
f. Anemia pada gagal ginjal kronik
g. Anemia pada mielofibrosis
h. Anemia pada sindrom mielodiplastik
i. Anemia pada leukemia akut
3. Anemia makrositer (MCV > 95 fL)
a. Megaloblastik
1. Anemia defisiensi folat
2. Anemia defisiensi vitamin B12
b. Nonmegaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroid
3. Anemia pada sindroma mielodiplastik
c. Klasifikasi etiopatogenesis: yang berdasarkan etiologi dan
pathogenesis terjadinya anemia.
1. Produksi eritrosit menurun
a. Kekurangan bahan untuk eritrosit
b. Gangguan utilisasi besi
c. Kerusakan jaringan sumsum tulang
d. Fungsi sumsum tulang kurang baik oleh karena sebab tidak
diketahui
2. Kehilangan eritrosit dari tubuh
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia pasca perdarahan kronik
3. Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh
a. Faktor ekstrakorpuskuler
i. Antibodi terhadap eritrosit
1. Autoantibodi : AIHA (autoimmune hemolitic
anemia)
2. Isoantibodi : HDN (hemolytic disease of new born)
ii. Hipersplenisme
iii. Pemaparan terhadap bahan kimia

22

iv. Akibat infeksi bakteri/parasit


v. Kerusakan mekanis
b. Faktor intrakorpuskuler
i. Gangguan membran
1. Hereditary spherocytosis
2. Hereditary elliptocytosis
ii. Gangguan enzim
1. Defisiensi Pyruvat kinase
2. Defisiensi G6PD (glucose-6phosphate
dehydrogenase)
iii. Gangguan hemoglobin
1. Hemoglobinapati structural
2. Thalasemia
d. Bentuk campuran
e. Bentuk yang patogenesisnya belum jelas
f. Klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai adalah :
Ringan Sekali
Hb 10 g/dl cut off point
Ringan

Hb 8 g/dl Hb 9,9 g/dl

Sedang

Hb 6 g/dl 7,9 g/dl

Berat

Hb < 6 g/dl

LO.3.4. Manifestasi Klinis Anemia


Gejala anemia sangat bervariasi, tetapi pada umumnya dapat dibagi
menjadi 3 golongan besar, yaitu:
1. Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, atau anemic syndrome.
Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada semua jenis
anemia pada kadar hemoglobin yang sudah menurun di bawah titik
tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin.
Gejala-gejala tersebut jika diklasifikasikan menurut organ yang
terkena adalah sebagai berikut:
a. System kardiovaskular : lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi,
sesak nafas, angina pectoris dan gagaljantung
b. System saraf : sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata
berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan
dingin pada ekstremitas.
c. Sistem urogenital : gangguan hadi dan libido menurun
d. Epitel : warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit
menurun, rambut tipis dan halus
2. Gejala khas masing-masing anemia
a.
Anemia defisiensi besi : disfagia, atropi papil
lidah, stomatitis angularis
b.
Anemia defisiensi asam folat : lidah merah
(buffy tongue)
23

c.

Anemia
hemolitik
:
icterus
dan
hepatosplenomegali
d.
Amemia aplastik : pendarahan kulit atau
mukosa dan tanda-tanda infeksi
3. Gejala akibat penyakit dasar
Disebabkan karena penyakit yang mendasari anemia misalnya,
anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing
tambang.
LO.3.5. Diagnosis Anemia
Untuk menegakkan diagnosis anemia perlu dikerjakan:
1.
Anamnesis
Seperti anamnesis pada umumnya, anamnesis pada kasus anemia
harus ditunjukkan untuk mengeksplorasi:
a. Riwayat penyakit sekarang;
b. Riwayat penyakit terdahulu;
c. Riwayat gizi;
d. Anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia, dan
fisik serta riwayat pemakaian obat;
e. Riwayat keluarga
2.
Pemeriksaan fisik
Perhatian diberikan pada:
a. Warna kulit: pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak
tangan kuning seperti jerami;
b. Purpura: petechie dan ecchymosis;
c. Kuku: koilonychia (kuku sendok);
d. Mata: icterus, konjungtiva pucat, perubahan fundus;
e. Mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, pendarahan gusi, atrofi papil
lidah, glossitis dan stomatitis angularis;
f. Limfadenopati;
g. Hepatomegali;
h. Splenomegali;
i. Nyeri tulang atau nyeri sternum;
j. Hemarthrosis atau ankilosis sendi;
k. Pembangkakan testis;
l. Pembengkakan parotis;
m. Kelainan system saraf.
3.
Pemeriksaan
laboratorium
hematologik
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi:
a. Tes penyaring: tes ini dikerjakan pada tahap awal pada setiap
kasus anemia untuk memastikan adanya anemia dan bentuk
morfologi anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi:
1.
Kadar hemoglobin,
2.
Indeks eritrosit (MCV, MCH,
MCHC). Dengan perkembangan electronic counting di
bidang hematologi maka hasil Hb, WBC (darah putih) dan
PLT (trombosit) serta indeks eritrosit dapat diketahui

24

sekaligus, juga dapat diketahui RDW (red cell distribution


width) yang menunjukkan tingkat anisositosis sel darah
merah.
3.
Apusan darah tepi.
b. Pemeriksaan rutin untuk mengetahui kelainan pada system
leukosit dan trombosit. Pemeriksaan yang harus dikerjakan
adalah:
i.
Laju endap darah;
ii. Hitung diferensial;
iii.
Hitung retikulosit.
c.
Pemeriksaan sumsum tulang: pemeriksaan ini
harus dikerjakan pada sebagian besar kasus anemia untuk
mendapatkan diagnosis definitif meskipun ada beberapa kasus
yang diagnosisnya tidak memerlukan pemeriksaan sumsum
tulang.
d.
Pemeriksaan
atas
indikasi
khusus:
pemeriksaan ini baru dikerjakan jika kita telah mempunyai
dugaan diagnosis awal sehingga fungsinya adalah untuk
mengkonfirmasi dugaan tersebut. Pemeriksaan tersebut antara
lain:
i.
Anemia defisiensi besi: besi serum, TIBC, saturasi
transferrin dan ferritin serum;
ii. Anemia megaloblastic: asam folat darah/eritrosit, vitamin
B12.
iii.
Anemia hemolitic: hitung retikulosit, tes Coombs,
elektroforesi Hb;
iv. Anemia pada leukemia akut: pemeriksaan sitokimia.
4.
Pemeriksaan
laboratorium
nonhematologik
a. Faal ginjal;
b. Faal endokrin;
c. Asam urat;
d. Faal hati;
e. Biakan kuman, dll.
5.
Pemeriksaan penunjang lain
a. Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan
histopatologi.
b. Radiologi: torak, bone survey, USG, scanning, limfangiografi.
c. Pemeriksaan sitogenetik
d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR = polymerase chain
reaction, FISH = fluorescence in situ hybridization, dan lainlain).
Untuk menegakkan diagnosis anemia harus ditempuh 3 langkah,
yaitu:
1.
Langkah
pertama:
membuktikan adanya anemia.
2.
Langkah kedua: menetapkan
jenis anemia yang dijumpai

25

3.

Langkah ketiga: menentukan


penyebab anemia tersebut.
Untuk dapat melaksanakan ketiga langkah tersebut dilakukan:
1.
Pendekatan klinik;
2.
Pendekatan laboratorik;
3.
Pendekatan
epidemiologik.
Pendekatan klinik bergantung pada anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang baik untuk dapat mencari adanya sindroma anemia, tandatanda khas masing-masing anemia, serta gejala penyakit dasar.
Sementara itu, pendekatan laboratorik dilakukan dengan menganalisis
hasil pemeriksaan laboratorium menurut tahapan-tahapannya:
pemeriksaan penyaring, pemeriksaan rutin, dan pemeriksaan khusus.
Pendekatan epidemiologic sangat penting dalam tahapan penentuan
etiologi. Dengan mengetahui pola etiologi anemia disuatu daerah
maka petunjuk menuju diagnosis etiologik lebih mudah dikerjakan.
Algoritma pendekatan diagnostic anemia berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium dapat dilihat secara lengkap di halaman
lampiran.

LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Anemia Defisiensi Besi


LO.4.1. Definisi Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoiesis, karena cadangan
besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi ditandai
dengan anemia hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium yang
menunjukkan cadangan besi kosong. Anemia defisiensi besi
merupakan anemia yang paling sering dijumpai, terutama di negaranegara tropis atau negara dunia ketiga, karena sangat berkaitan erat
dengan taraf sosial ekonomi.

26

LO.4.2. Epidemiologi Anemia Defisiensi Besi


Anemia ini merupakan anemia yang paling sering dijumpai di
negara berkembang. Martoatmojo et al memperkirakan prevalensi
ADB di Indonesia adalah 16-50% pada laki-laki, 25-84% pada
perempuan tidak hamil. Pada pensiunan pegawai negeri di Bali
didapatkan prevalensi anemia 36% dengan 61% disebabkan oleh
karena defisiensi besi. Sedangkan pada penduduk di suatu desa di Bali
didapatkan angka prevalensi anemia defisiensi besi sebesar 27%.
Di India, Amerika Latin dan Filipina pervalensi anemia defisiensi
besi pada perempuan hamil beriksar antara 35-99%. Sedangkan dibali
berdasarkan survei di 42 desa dengan melibatkan 1684 perempuan,
tercatat prevalensi anemia defisiensi besi pada wanita hamil sebanyak
46%.
Afrika
Amerika Latin Indonesia
Pria dewasa
Wanita
hamil

6%
tak 20%

Wanita hamil

60%

3%

16-50%

17-21%

25-48%

39-46%

46-92%

LO.4.3. Etiologi Anemia Defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya
masukan besi, gangguan penyerapan, serta kehilangan besi akibat
pendarahan menahun.
a. Kehilangan besi sebagai akibat pendarahan menhaun dapat berasal
dari:
1.
Saluran cerna:
akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon,
divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang;
2.
Saluran
genitalia wanita: menorrhagia atau metrorhagia;
3.
Saluran kemih:
hematuria;
4.
Saluran napas:
hemoptoe.
b. Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan,
atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan
banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).
c. Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam
masa pertumbuhan dan kehamilan.
d. Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau colitis
kronik.
LO.4.4. Patogenesis dan Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi

27

Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau


kebutuhan besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga
cadangan besi makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan
ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif, yaitu tahap deplesi
besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar
feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan
besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut
terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan
besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan
pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi.
Keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini
kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi
transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron binding
capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor transferin
dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka
eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai
menurun. Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut
sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia).

Distribusi Besi Dalam Tubuh Dewasa (sumber: Andrews, N. C.,


1999. Disorders of iron metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95).

28

Patogenesis

Patofisiologi

29

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi


sehingga cadangan besi makin menurun (iron depleted
state dan negative iron balance ). Keadaan ini ditandai
oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan
absorbsi besi dalam usus, serta pengecetan besi dalam
sumsum tulang negatif.
Apabila kekurangan besi terus berlanjut, cadangan besi
kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang
sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit,
tetapi anemia secara klinis belum terjadi keadaan ini
disebut iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini
kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan free
protophorphyrin dan zinc protophorphyrin dalam
eritrosit. Saturasi transferin menurun dan TIBC
meningkat. Peningkatan reseptor transferin dalam
serum.

Jika jumlah besi menurun terus maka eritropoesis


semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin meurun
akibatnya timbul anemia hipokromatik mikrositer,
disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini
terjado kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa
enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel
mulut dan faring serta berbagai gejala.

LO.4.5. Manifestasi Klinis Anemia Defisiensi Besi


a. Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia
(anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila
kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan
lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging. Pada anemia defisiensi besi terjadi penurunan kadar
hemoglobin yang perlahan-lahan seringkali menyababkan sindrom
anemia tidak terlalu mencolok disbanding anemia lainnya. Pada
pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada
konjungtiva dan jaringan di bawah kuku. Pada umumnya sudah
disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka anemia
baru bersifat simtomatik.
b. Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak
dijumpai pada anemia jenis lain adalah:
30

1.

Koilony
chia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh,
bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip
sendok.
2.
Atrofi
papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang.
3.
Stomatiti
s angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut
mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat
keputihan.
4.
Disfagia,
yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
5.
Atrofi
mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.
6.
Pica:
keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti:
tanah liat, es, lem, dan lain-lain
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson
Kelly adalah kumpulan gejala yang terdiri dari anemia hipokromik
mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.
c. Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala
penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut.
Sebagai contoh, pada anemia akibat penyakit cacing tambang
dijumpai dyspepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan
berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena pendarahan
kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan
buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker
tersebut.
LO.4.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi
a. Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi
yang dapat dijumpai adalah:
1.
K
adar hemoglobin dan indeks eritrosit menurun: didapatkan
anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar
hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV dan
MCH menurun. MCV < 70 fL hanya didapatkan pada
anemia defisiensi besi dan thalassemia major. MCHC
menurun pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung
lama. Anisotosis merupakan tanda awal defisiensi besi.
Penigkatan anisotosis ditandai oleh peningkatan RDW (red
cell distribution width). Titik pemilah MCV < 78 fL
memberikan sensitivitas dan spesifitas paling baik.
Hapusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik
mikrositer, anisotosis, dan poikilositosis. Derajat

31

hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan


derajat anemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis
ekstrim, maka sel akan tampak sebagai sebuah cincin
sehingga disebut sel cincin (ring cell) atau memanjang
seperti elips, disebut sebagai sel pensil (pencil cell tau
cigar cell). Kadang-kadang dijumpai sel target.
Leukosit dan trombosit umumnya normal. Tetapi
granulositopenia ringan dapat dijumpai pada anemia
defisiensi besi yang berlangsung lama. Pada anemia
defisiensi besi karena cacing tambang dijumpai
eosinophilia. Trombositosis dapat dijumpai pada anemia
defisiensi besi dengan episode pendarahan akut.
2.
K
onsentrasi besi serum menurun pada anemia defisiensi besi,
dan TIBC (total iron binding capacity) meningkat. TIBC
menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap
besi, sedangkan saturasi transferrin dihitung dari besi
serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria
diagnosis Anemia Defisiensi Besi, kadar besi serum
menurun < 50 g/dl, TIBC meningkat > 350 g/dl, dan
saturasi transferrin < 15%. Ada juga yang memakai saturasi
transferrin < 16% atau < 18%. Besi serum menunjukkan
variasi diurnalyang sangat besar, dengan kadar puncak
pada jam 8 sampai 10 pagi.
3.
F
eritin serum merupakan indicator cadangan besi yang
sangat baik, kecuali pada keadaan inflamasi dan keganasan
tertentu. Titik pemilah (cut off point) untuk ferritin serum
pada anemia defisiensi besi dipakai angka < 12g/l, tetapi
ada juga yang memkai < 15 g/l.Hercberg untuk daerah
tropic menganurkan memakai batas nilai ferritin serum <
20 mg/l sebagai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi.
Jika terdapat infeksi atau inflamasi yang jelas seperti
arthritis rematoid, maka ferritin serum sampai dengan 50
60 g/l masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi.
Nilai ferritin serum normal tidak selalu dapat
menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi ferritin serum
di atas 100 mg/dl dapat memastikan tidak adanya defisiensi
besi.
4.
P
rotoporfirin merupakan bahan antara pada pembentukan
heme. Apabila sintesis heme terganggu, misalnya karena
defisiensi besi, maka protoporforin akan menumpuk dalam
eritrosit. Nilai normal < 30 mg/dl. Untuk defisiensi besi
protoporfirin bebas adalah lebih dari 100 mg/dl. Keadaan
yang sama juga didapatkan pada anemia akibat penyakit
kronik dan keracunan timah hitam.

32

5.

K
adar reseptor transferrin dalam serum meningkat pada
defisiensi besi. Kadar normal dengan pemeriksaan
imunologi adalah 4 9 g/L. Pengukuran reseptor
transferrin terutama dipakai untuk membedakan anemia
defisiensi besi dengan anemia akibat penyakit kronik.
Lebih baik lagi jika digunakan rasio reseptor transferrin
dengan log ferritin serum. Rasio > 1,5 menunjukkan
anemia defisiensi besi dan rasio < 1,5 sangat mungkin
karena anemia akibat penyakit kronik.
6.
S
umsum tulang menunjukkan hyperplasia normoblastik
ringan sampai sedang dengan normoblas kecil-kecil.
Sitoplasma sangat sedikit dengan tepi tidak teratur.
Normoblas disebut sebagai micronormoblast.
Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perls
stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir
hemosiderin negative). Dalam keadaan normal 40 60 %
normoblas
mengandung
granula
ferritin
dalam
sitoplasmanya, disebut sebagai sideoblas. Pada defisiensi
besi maka sideroblas negatif. Di klinik, pengecatan besi
pada sumsum tulang dianggap sebagai baku emas diagnosis
defisiensi besi, namun akhir-akhir ini perannya diambil alih
oleh pemeriksaan ferritin serum yang lebih praktis.
7.
S
tudi ferokinetik. Studi tentang pergerakan besi pada siklus
besi dengan menggunakan zat radioaktif. Ada dua jenis
studi ferokinetik yaitu plasma iron transport rate (PIT)
yang mengukur kecepatan besi meninggalkan plasma, dan
erythrocyte iron turn over rate (EIT) yang mengukur
pergerakan besi dari sumsum tulang ke sel darah merah
yang beredar.
8.
P
erlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab
anemia defisiensi besi. Antara lain pemeriksaan feses untuk
cacing tambang, (sebaiknya dilakukan pemeriksaan
semikuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz),
pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, barium
intake atau barium inloop, dan lain-lain; tergantung dari
dugaan penyebab defisiensi besi tersebut.
b. Diagnosis
Tahapan diagnosis anemia defisiensi besi:
1.
M
enentukan adanya anemia dengan mengukur kadar
hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia
tergantung kriteria yang dipilih (WHO atau klinik).
2.
M
emastikan adanya defisiensi besi.

33

3.

M
enentukan penyebab defisiensi besi yang terjadi.
Secara laboratorium untuk menegakkan diagnosis anemia
defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua) dapat dipakai kriteria
diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kriteria Kerlin
et al) sebagai berikut:
Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau
MCV < 80 fl dan MCHC < 31% dengan salah satu a, b, c, atau
d.
a. Dua dari tiga parameter dibawah ini:
1.
Besi
serum < 50 mg/dl
2.
TIBC >
350 mg/dl
3.
Saturasi
transferrin < 15 %, atau
b. Ferritin serum < 20 mg/L, atau
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain)
menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin)
negatif, atau
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 X 200 mg/hari (atau
preparat besi lain yang setara) selama 4 minggu disertai
kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi
penyebab defisiensi besi. Meskipun dengan pemeriksaan yang
baik, sekitar 20% kasus anemia defisiensi besi tidak diketahui
penyebabnya.
Untuk pasien dewasa, focus utama adalah mencari sumber
pendarahan. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang
teliti. Pada perempuan masa reproduksi, anamnesis tentang
menstruasi sangat penting, jika perlu dapat dilakukan
pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki dewasa di Indonesia
dilakukan pemeriksaan untuk mencari telur cacing tambang.
Sebaiknya selain dilakukan pemeriksaan hapusan langsung
(direct smear dengan eosin), dilakukan juga pemeriksaan semi
kuantitatif, seperti teknik Kato-Katz, untuk menentukan
beratnya infeksi. Titik kritis cacing tambang sebagai penyebab
utama jika ditemukan telur per gram feses (TPG) atau egg per
gram faeces (EPG) > 2000 pada perempuan dan > 4000 pada
laki-laki. Anemia defisiensi besi sebagai akibat dari cacing
tambang sering disertai pembengkakan parotis dan warna
kuning pada telapak tangan. Pada pemeriksaaan laboratorium,
dijumpai tanda-tanda defiesiensi besi dan eosinophilia.
Jika tidak ditemukan pendarahan yang nyata, dapat dilakukan
tes darah samar (occult blood test) pada feses, dan jika terdapat
indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau bawah.
e. Dignosis banding Anemia Defisiensi Besi

34

Derajat
anemia
MCV
MCH
Besi serum
TIBC
Saturasi
transferrin

Anemia
defisiensi
besi

Anemia akibat Trait Thalassemia


penyakit kronik

Anemia
Sideroblastik

Ringan
sampai
berat
Menurun
Menurun
Menurun
< 30
Meningkat
> 360
Menurun
< 15%

Ringan

Rringan
berat

Ringan

sampai

Menurun/normal Menurun
Menurun/normal
Menurun/normal Menurun
Menurun/normal
Menurun < 50
Normal/meningkat Normal/meningkat
Menurun < 300

Normal/menurun

Normal/menurun

Menurun atau Meningkat > 20 % Meningkat > 20%


normal 10
20%
Besi sumsum Negatif
Positif
Positif kuat
Positif
dengan
tulang
adanya
ring
sideroblast
Protoporforin Meningkat Meningkat
Normal
Normal
eritrosit
Feritin serum Menurun
Normal 20 Meningkat > 50 Meningkat > 50
< 20g/L 200 g/l
g/l
g/L
Elektroforesis Normal
Normal
Hb A2 meningkat Normal
Hb
LO.4.7. Penatalaksanaan Anemia Defisiensi Besi
Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah:
a. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab pendarahan. Misalnya
pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan
menorrhagia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka
anemia akan kambuh kembali.
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam
tubuh (iron replacemen therapy):
1.
Terapi besi oral.
Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas ferosus)
yang merupakan preparat pilihan pertama karena paling murah
tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3 X 200 mg. Setiap 200 mg
sulfas ferosus mengandung 66 mg besi elemental. Dengan
dosis tersebut, dapat memberikan absorpsi besi 50 mg per hari
yang berlanjut dengan meningkatnya eritropoiesis dua sampai
tiga kali normal.
Preparat lain yang tersedia adalah: ferrous gluconate, ferrous
fumarate, ferrous lactate dan ferrous succinate dengan
efektivitas dan efek samping hampir sama dengan sulfas
ferosus hanya saja harganya lebih mahal. Terdapat juga bentuk
sediaan enteric coated yang dianggap memberikan efek
samping lebih rendah, tetapi dapat menurunkan absorpsi besi.

35

Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong,


tetapi efek samping lebih sering terjadi dibandingkan dengan
pemberian setelah makan. Pada pasien dengan intoleransi,
sulfas ferosus diberikan pada saat makan maupun setelah
makan.
Efek samping dapat berupa gangguan gastrointestinal berupa
mual, muntah serta konstipasi. Untuk mengurangi efek
samping, preparat besi diberikan saat makan atau dosis
dikurangi menjadi 3 X 100 mg.
Pengobatan besi diberikan selama 3 sampai 6 bulan, ada pula
yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadar
hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis
pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200 mg untuk
mencegah kekambuhan. Terapi preparat besi dapat diberikan
bersama dengan preparat vitamin C untuk meningkatkan
penyerapan besi, tetapi dapat meningkatkan efek samping
terapi.
2.
Terapi
besi
parenteral
melalui
intramuscular ataupun intravena pelan.
Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai resiko
lebih besar dan harganya lebih mahal. Indikasi pemberian besi
parental yaitu:
a. Intoleransi terhadap pemberian besi oral,
b. Kepatuhan terhadap obat yang rendah,
c. Gangguan pencernaan seperti colitis ulseratif yang dapat
kambuh jika diberi besi,
d. Penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada
gastrektomi,
e. Keadaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga
tidak cukup kompensasi oleh pemberian besi oral, seperti
misalnya pada hereditary hemorrhagic teleangiectasia,
f. Pada kehamilan trimester ketiga atau sebelum operasi,
g. Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian
eritropietin pada anemia gagal ginjal kronik atau nemia
akibat penyakit kronik.
Preparat yang tersedia dalah iron dextran complex
(mengandung 50 mg besi/ml), iron sorbitol citric acid complex
dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron sucrose
yang lebih aman.
Pemberian secara intramuscular memberikan rasa nyeri dan
memberikan warna hitam pada kulit, dengan efek samping lain
berupa reaksi anafilaksis (jarang), flebitis, sakit kepala,
flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop.
Terapi besi parenteral bertujuan untuk mengembalikan kadar
hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai 1000 mg,
dengan pemberian sekaligus maupun dalam beberapa kali
pemberian.
3.
Pengobatan lain:

36

a. Diet: sebaiknya diberi makanan bergizi dengan tinggi


protein, terutama protein hewani dan makanan yang
banyak mengandung zat besi seperti hati dan daging.
b. Vitamin C dengan dosis 3 X 100 mg/hari untuk membantu
meningkatkan absorpsi besi.
c. Transfusi darah: Anemia defisiensi besi jarang memerlukan
transfusi darah. Jenis darah yang diberikan adalah PRC
(packed red cell) untuk mengurangi bahaya overload.
Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian
furosemide intravena. Indikasi pemberian transfusi darah
yaitu:
1.
Adanya
penyakit
jantung
anemik dengan ancaman gagal jantung.
2.
Anemia
yang
sangat
simptomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing
yang sangat menyolok.
3.
Pasien
memerlukan
peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada
kehamilan trimester akhir atau pra operasi.

LO.4.8. Komplikasi Anemia Defisiensi Besi


Anemia defisiensi besi dapat menyebabkan terjadinya berbagai
komplikasi antara lain berupa gangguan fungsi kognitif, penurunan
daya tahan tubuh, tumbuh kembang yang terlambat, penurunan
aktivitas, dan perubahan tingkah laku.
LO.4.9. Prognosis Anemia Defisiensi Besi
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya kekurangan besi
saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan
yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinisnya akan membaik
dengan pemberian preparat besi.
LO.4.10. Pencegahan Anemia Defisiensi Besi
Tindakan pencegahan dapat berupa:
a. Pendidikan kesehatan:
1.
K
esehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban,
perbaikan lingkungan kerja, dan pemakaian alas kaki sehingga
dapat mencegah penyakit cacing tambang.
2.
P
enyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yag
membantu penyerapan besi.
b. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber pendarahan
kronik yang paling sering dijumpai di daerah tropik. Pengendalian
infeksi cacing tambang dapat dilakukan dengan pengobatan masal
dengan antihelmentik dan perbaikan sanitasi.

37

c. Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen


penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita.
Profilaksis di Indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak
balita dengan memakai pil besi dan folat.
d. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi
pada bahan makanan. Di negara Barat dilakukan dengan
mencampur tepung untuk roti atau bubuk susu dengan besi.

LAMPIRAN

38

39

40

41

DAFTAR PUSTAKA
Abdulsalam M, Daniel A. 2002. Diagnosis, Pengobatan, dan Pencegahan
Anemia
Defisiensi
Besi.
Sari
Pediatri
Vol.4
No.2.
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/4-2-7.pdf. (Diakses pda 26 Oktober 2016
pukul 22.20 WIB)
Bakta IM. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Denpasar: EGC
Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. 2014. Anemia Defisiensi Besi. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. 6 Jilid II. Jakarta: InternaPublishing.
Ganong WF. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: EGC.
Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. 2012. Kapita Selekta Hematologi Edisi
4. Jakarta: EGC.
http://blogs.dickinson.edu/mindmeetsmatter/2010/11/26/hemoglobin/
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/139/jtptunimus-gdl-arimaretdi-6920-3babii.pdf. (Diakses pada 25 Oktober 2016 pukul 21.05 WIB)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20481/4/Chapter%20II.pdf.
(Diakses pada 25 Oktober 2016 pukul 21.09 WIB)
http://www.medicalook.com/human_anatomy/organs/Blood.html
http://www.vetmed.vt.edu/education/curriculum/vm8054/Labs/Lab6/Lab6.ht
m
Sherwood L. 2009. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Slide Prof.Abdul Salam M.Sofro ,BIOSYNTHESIS & CATABOLISM OF
HEMOGLOBIN
Sofro ASM. 2012. Darah. Jakarta: Pustaka Pelajar.

42

Anda mungkin juga menyukai