Anda di halaman 1dari 60

A.

KASUS

SKENARIO II
Seorang anak laki-laki umur 12 bulan dengan pneumonia bakteri gram positif
dirujuk ke polklinik anak oleh dokter keluarganya. Gejala ini sudah 4 kali dialami
selama 6 bulan terakhir. Disamping itu ia juga menderita diare (giardia lamblia) dan
tonsil/adenoidnya hampir tidak terdeteksi. Anak ini juga mempunyai tinggi dan berat
badan di bawah normal. Ia telah mendapatkan imunisasi DPT. Anak ini mempunyai
tiga saudara perempuan yang sehat berumur 3,5, dan 7 tahun. Saudara laki-lakinya
meninggal pada umur 10 bulan karena peneumonia bakteri 8 tahun yang lalu. Hasil
tes darah menunjukkan kadar immunoglobulin serum total yang rendah, kadar sel B
yang rendah namun jumlah dan fungsi sel T-nya normal. Semua tes untuk jumlah dan
fungsi makrofag dan neutrofil normal.

B. KATA/ KALIMAT SULIT


 Pneumonia
 Imunisasi DPT
 Tonsil/adenoid
 Giardia lamblia

C. KATA/KALIMAT KUNCI
 Anak laki-laki umur 12 bulan
 Pneumonia bakteri gram-positif
 BB dan TB di bawah normal
 Tonsil/Adenoid hampir tak terdeteksi
 Gejala 4 kali dalam 6 bulan terakhir
 Terdapat diare
 Ig serum total rendah, kadar sel B rendah namun sel T normal
 Saudara laki-lakinya meninggal pada umur 10 bulan
 3 saudara perempuannya yang sehat umur 3,5, dan 7 tahun.

D. PERMASALAHAN/PROBLEM KUNCI DALAM BENTUK


PERTANYAAN-PERTANYAAN PENTING

1. Langkah-langkah diagnosis?
2. Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi organ terkait?
3. Apa yang di maksud dengan imunodefisiensi dan jelaskan pembagiannya!
4. Jelaskan DD pada skenario!
5. Bagaimana peran imunisasi DPT pada skenario ini ?
6. Mengapa tonsil atau adenoid tidak terdeteksi?
7. Apa hubungan TB dan BB dengan sistem imun?
8. Mengapa anak ini mengalami penumonia berulang dan diare?
9. Mengapa hanya laki-laki yang menderit penyakit pada skenario ?
10. Jelaskan mengapa kadar Ig serum total rendah, kadar sel B rendah namun sel
T normal?

E. PROBLEM TREE

JAWABAN PERTANYAAN
1. Langkah-langkah diagnosis?

ANAMNESIS

Anamnesis adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara.


Wawancara dilakukan kepada :
1. Langsung kepada pasien (autoanamnesis)

2. Orangtua (alloanamnesis)

3. Sumber lain wali/pengantar (alloanamnesis)

Anamnesis merupakan bagian yang sangat penting dan sangat menentukan


dalam pemeriksaan klinis, karena sebagian besar data (± 80%) yang diperlukan untuk
menegakkan diagnosis diperoleh dari anamnesis.
Dari anamnesis diperoleh data subjektif. Berbeda dengan anamnesis pada pasien
dewasa, hambatan langsung anamnesis pada anak disebabkan karena anamnesis pasien
anak umumnya berupa aloanamnesis dan bukan autoanamnesis. Pertanyaan yang diajukan
pemeriksaan sebaiknya jangan sugestif. Pada kasus gawat, anamnesis biasanya
terbatas pada keluhan utama dan hal-hal yang sangat penting saja, supaya anak dapat
segera diatasi kedaruratannya. Pada kesempatan berikutnya baru anamnesis dilengkapi. Hal
yang perlu dicatat adalah :
1. Dari siapa anamnesis
diambil

2. Pengirim pasien :

 Inisiatif keluarga

 Dokter, Puskesmas, Rumah Sakit dll, karena pasien kelak harus dikirim
kembali kepada pengirim. Pengiriman kembali dengan disertai :
- Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.

- Riwayat imunisasi, termasuk jika ada reaksi akibat imunisasi.


- Riwayat makanan, meliputi kualitas dan kuantitas minum ASI atau susu formula
(durasi, frekuensi), kapan mulai mendapatkan makanan padat, nafsu makan, alergi
terhadap jenis makanan tertentu, kesukaan/ ketidaksukaan terhadap jenis makanan
tertentu, keseimbangan nutrisi, suplemen makanan yang diberikan, kecukupan
asupan makanan dan cairan.
- Riwayat keluarga untuk penyakit-penyakit yang herediter/familier, dilacak hingga

2 generasi sebelum pasien (kakek)

- Keadaan sosial ekonomi : lokasi tempat tinggal, pendidikan dan pekerjaan orang
tua, jumlah anggota keluarga di rumah, higiene lingkungan sekitar rumah

 Diagnosis akhir

 Penatalaksanaan

 Hasil pengobatan : sembuh/ meninggal, terdapat gejala sisa dsb.


Yang perlu dicatat pada anamnesis :
I. IDENTITAS
PASIEN :

- Nama

- Tanggal lahir / umur

- Jenis Kelamin

- Nama orang tua, umur, pendidikan, pekerja

- Alamat

II. RIWAYAT PENYAKIT :


- Keluhan utama

- Riwayat perjalanan penyakit sekarang (7 Butir Mutiara Anamnesis, meliputi :


lokasi, onset dan kronologi, kualitas, kuantitas, faktor yang memperberat, faktor
yang memperingan, anamnesis sistem).
- Riwayat penyakit lampau yang ada hubungannya dengan penyakit sekarang,
seperti riwayat dirawat di RS, riwayat pembedahan, riwayat pengobatan untuk
penyakit tertentu, riwayat alergi terhadap obat atau makanan tertentu serta riwayat
paparan agen tertentu (termasuk bentuk reaksi alerginya dan terapi yang didapat).
- Riwayat kehamilan ibu : umur ibu saat melahirkan, paritas, penyulit kehamilan,
riwayat lama kehamilan (preterm/aterm/postterm) , penyakit ibu saat hamil, riwayat
pengobatan ibu sekitar masa konsepsi dan saat hamil, riwayat merokok dan minum
alkohol pada ibu dan ayah.
- Riwayat kelahiran : lama persalinan, proses persalinan (spontan/dengan
instrumen/oper asi), penyulit kelahiran (ketuban pecah dini, kelainan presentasi
dll), berat lahir, skor APGAR, lama tinggal di RS setelah dilahirkan, penyakit
tertentu selama fase neonatal serta intervensi medis yang didapat.

Komunikasi dan dukungan emosional :

Hal-hal yang perlu diingat ketika berkomunikasi dengan ibu dan keluarganya adalah:

1. Tunjukkan empati dan rasa hormat pada ibu dan keluarganya

2. Dengarkan dengan seksama kekhawatiran keluarga dan berikan dorongan agar


mereka mau bertanya dan mengungkapkan perasaannya
3. Gunakan bahasa yang sederhana dan jelas pada saat menyampaikan informasi
tentang kondisi bayi, kemajuannya seta terapinya. Berikan informasi tentang
kondisi bayi sebanyak mungkin kepada ibu. Pastikan bahwa mereka paham akan
hal-hal yang disampaikan. Jika terdapat hambatan bahasa, gunakan
penterjemah.
4. Hormati privasi dan kerahasiaan mereka
5. Hormati keyakinan budaya, adat istiadat mereka dan penuhi kebutuhan mereka
semaksimal mungkin, pastikan bahwa mereka memahami semua keterangan
yang diberikan dan jika menungkinkan berikan informasi tertulis kepada anggota
keluarga yang dapat membaca
6. Dapatkan informed consent atau persetujuan tertulis sebelum melakukan suatu
tindakan.

PEMERIKSAAN FISIK

Untuk melakukan pemeriksaan fisik pada anak diperlukan pendekatan khusus,


baik terhadap pasien maupun terhadap orang tuanya.
Cara Pendekatan :

Berbeda dengan orang dewasa, pendekatan pemeriksaan pada anak


tergantung pada umur, keadaan fisik dan psikis anak.
Pada bayi baru lahir sampai umur kurang dari 4 bulan pendekatannya jauh lebih
mudah, karena pada usia tersebut bayi belum dapat membedakan orang di sekitarnya.
- Bayi yang lebih besar mulai takut pada orang yang belum dikenal. Perlu sikap
informal dari pemeriksa. Pemeriksaan sudah dapat dimulai dengan bayi masih

dalam pangkuan ibu. Alihkan perhatian anak dengan objek yang bergerak, sinar,
suara atau warna.
- Pasien balita perlu diajak berkomunikasi terlebih dahulu. Pemeriksaan boleh
dilakukan dengan anak dalam pangkuan ibu. Pemeriksa mengambil posisi setinggi
level mata anak. Dapat dipergunakan alat bantu seperti mainan atau cerita. Alihkan
perhatian anak dengan meminta anak memegang benda kesukaannya.
- Pada anak yang sakit berat, dapat langsung diperiksa.

Cara Pemeriksaan
Fisik :
Pada umumnya sama dengan cara pemeriksaan pada orang dewasa,
yaitu dimulai dengan :
- General survey (keadaan umum)

- Pemeriksaan tanda vital

- Inspeksi

- Palpasi

- Perkusi

- Auskultasi

Pada keadaan tertentu, urutan pemeriksaan tidak selalu demikian, misalnya


pemeriksaan abdomen, auskultasi didahulukan (inspeksi, auskultasi, perkusi dan
palpasi). Pada beberapa keadaan, urutan pemeriksaan tergantung pada usia dan tingkat
kenyamanan anak. Lakukan pemeriksaan-pemeriksaan yang tidak terlalu ”mengganggu”
kenyamanan anak di urutan awal, sementara pemeriksaan yang tidak terlalu
”menyenangkan” dilakukan di akhir pemeriksaan, misalnya: palpasi kepala dan leher
serta auskultasi jantung paru dilakukan lebih dulu, baru kemudian palpasi abdomen. Jika
anak melaporkan nyeri di suatu area, area tersebut diperiksa paling akhir.

PEMERIKSAAN TANDAVITAL
Nadi :
- Frekuensi
- Irama
- Kualitas
- Ekualitas nadi
Tekanan Darah :

 Diperiksa saat bayi atau anak dalam keadaan tenang

 Penderita ditidurkan telentang


 Mempersiapkan tensimeter

 Memasang manset di lengan atas

 Lebar manset harus mencakup ½ sampai 2/3 panjang lengan atas. Ukuran
manset harus sesuai dengan umur.

Ukuran manset untuk kelompok umur :

Umur Lebar manset


0-1 th 2 inci (5 cm)
> 1-5 th 3 inci (7.5 cm)
> 5-12 th 4 inci (10 cm)
>12 th 5 inci (12.5 cm

 Langkah berikutnya sama dengan pemeriksaan tekanan darah pada orang dewasa.

Frekuensi Pernapasan :
Cara :
 Inspeksi : melihat dan menghitung gerakan dinding dada dalam 1 menit.

 Palpasi : Tangan diletakkan pada dinding abdomen/dinding dada, dihitung gerakan


pernapasan yang terasa pada tangan dalam 1 menit.
 Auskultasi : mendengarkan dan menghitung bunyi pernapasan dalam 1 menit.
Pengukuran Suhu Badan

.
 Pemeriksaan suhu dapat dilakukan dengan meletakkan termometer di dalam mulut

(di bawah lidah), di dalam rektum atau di aksila, dan ditunggu selama 3 – 5 menit.

 Untuk bayi dan anak < 7 tahun dianjurkan pengukuran rektal lebih akurat oleh karena
pengukuran oral lebih sulit dikerjakan.
Cara :
1. Lubrikasi ujung termometer.

2. Bayi/ anak posisi tengkurap di meja/ pangkuan pemeriksa.

3. Buka pantat dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk.

4. Masukkan ujung termometer yang telah dilubrikasi ke rektum Lewat anus


sedalam kira-kira 1 inchi.
5. Katubkan pantat kembali.
6. Waktu pemeriksaan 1 – 2 menit.

Mengukur panjang badan bayi

1. Siapkan papan pengukur (ada meterannya)

2. Baringkan bayi dengan posisi telentang

3. Ukur panjang badan bayi

Gambar 1. Mengukur panjang badan bayi

Bila papan pengukur tidak ada :

1. Baringkan bayi pada meja periksa

2. Beri tanda tepat di atas kepala dan tumit


3. Ukur dengan meteran, panjang antara 2 tanda tersebut

Gambar 2. Mengukur panjang badan


anak

Pengukuran Lingkar Kepala :

- Alat pengukur : Pita dari metal yang flexibel

- Cara : meletakkan pita melalui glabela pada dahi bagian atas alis mata –

protuberantia
occipitalis. Bayi dan
anak kecil :
1. Ambil pita pengukur

2. Bayi posisi telentang

3. Tempatkan pita pengukur melingkari dari glabela – occiptal – parietal – frontal.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. PEMERIKSAAN SEL DARAH

2. PEMERIKSAAN SEL DARAH PERIFER LENGKAP (DPL)

Pemeriksaan DPL juga dapat mendeteksi neutropenia, penurunan kadar


neutrofil yang dapat dialkibatkan oleh berbagai penyakit IDP (misal: severe
congenital neutropenia dan X-linked neutropenia).

3. PEMERIKSAAN SEL DARAH LAINNYA

Pemeriksaan subpopulasi dan proliferasi limfosit: Limfosit (sel T dan sel B) terbagi
menjadi berbagai subpopulasi; seperti sel T helper (dikenal sebagai sel CD4) dan sel
T sitotoksik (CD8). Pemeriksaan jumlah berbagai sel limfosit dalam darah dapat
membantu mengidentifikasi penyakit IDP yang ada. Selain menghitung jumlah sel
limfosit, sangat penting untuk dilakukan pemeriksaan seberapa baik sel-sel ini
bekerja. Sebagai contoh, pemeriksaan tertentu dapat mengidentifikasi bagaimana sel-
sel ini memperbanyak diri (atau proliferasi) bila mereka dirangsang oleh zat kimia
atau antigen yang secara normal dapat menimbulkan respons imun.

Pemeriksaan fungsi granulosit: Neutrofil, eosinofil, basophil dan sel mast secara
bersama dikenal sebagai granulosit. Pada kondisi normal sel ini (terutama neutrofil)
menghasilkan hidrogen peroksida (terkadang disebut sebagai reactive oxygen) untuk
membunuh bakteri dan jamur. Jumlah hidrogen peroksida yang dihasilkan diukur
dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium yang dikenal dengan nama
dihydrorhodamine (DHR) oxidative burst test. Pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan diagnostik penting untuk penyakit IDP seperti X-linked chronic
granulomatous disease (CGD). Pada penyakit ini jumlah neutrofil normal (atau
meningkat) namun sel ini tidak bekerja sebagaimana mestinya. Pemeriksaan yang lain
yang digunakan untuk menilai seberapa baik sel-sel ini berpindah ke agen yang
menariknya (hal ini disebut kemotaksis) dan seberapa efektif sel ini membunuh dan
menelan bakteri.

Pemeriksaan maturasi sel B di sumsum tulang: Pemeriksaan ini digunakan untuk


mendiagnosis penyakit IDP yang dikenal dengan nama agammaglobulinemia seperti
X-linked agammaglobulinemia (XLA, yang juga dikenal sebagai penyakit
Bruton).Kondisi ini disebabkan oleh defek genetik yang menghambat sel limfosit B
untuk berkembang dengan baik. Pada kondisi normal, sel limfosit B yang matur
menghasilkan imunoglobulin. Pasien dengan penyakit ini memiliki kadar
imunoglobulin (lihat pemeriksaan imunoglobulin) serta sel B yang rendah. Ekspresi
protein sel: Pemeriksaan dapat mengenali defisiensi protein tertentu yang secara
normal ditemukan pada permukaan sel darah putih. Sebagai contoh, defisiensi CD40
dan CD40L merupakan dua protein yang bersamaan membuat sel T merangsang
respons imun oleh sel B. Defisiensi CD40 dan CD40L merupakan penyakit IDP yang
berat yang dikenal dengan penyakit hiper-imunoglobulin M. Defek pada protein
CD11 dan CD18 menyebabkan adanya leukocyte adhesion deficiency (LAD).

PEMERIKSAAN IMUNOGLOBULIN

KADAR IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin (atau antibodi) merupakan protein yang membantu mengenali
mikroorganisme yang menginfeksi tubuh dan membantu sel imun untuk
menghancurkan mikro-organisme tersebut. Kebanyakan penyakit IDP menyebabkan
tubuh menghasilkan imunoglobulin yang sangat sedikit atau tidak sama sekali. Oleh
karena itu pemeriksaan kadar immunoglobulin G (IgG), A (IgA), E (IgE) dan M
(IgM) merupakan pemeriksaan yang penting dalam penegakkan diagnosis
IDP.Penyakit–penyakit IDP memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada
imunoglobulin (lihat tabel). Sebagai contoh, pasien XLA (penyakit Bruton)
memiliki
kadar yang rendah pada semua kelas imunoglobulin.

PEMERIKSAAN GENETIK

Penyakit IDP diakibatkan adanya defek pada gen (bagian dari DNA) yang
terlibat dalam perkembangan dan bekerjanya sistem imun. Beberapa defek genetik
tertentu yang mengakibatkan penyakit IDP sudah diketahui. Hal ini termasuk SCID,
CGD, sindrom hiperIgE, WAS, XLA dan defek komplemen. Defek ini kebanyakan
diwariskan dari orang tua namun penyakit lain dapat timbul melalui defek mutasi
genetik yang terjadi pada saat kehamilan. Anamnesis terhadap riwayat keluarga yang
baik dapat memberikan informasi dalam penegakan diagnosis IDP.Melalui analisis
DNA, dokter dapat mengidentifikasi defek yang timbul dan dapat mengkonfirmasi
diagnosis penyakit IDP tertentu. Hal ini disebut sebagai
pemeriksaan genetik dan hal ini juga dapat:

• Membantu dalam mengambil keputusan dalam tata laksana penyakit IDP, termasuk
mengganti gen yang rusak pada negara yang dapat melakukan terapi gen.
• Memperkirakan bagaimana penyakit IDP akan berkembang di kemudian hari
(prognosis)

• Memeriksa apakah janin yang belum lahir memiliki defek genetik yang dapat
mengakibatkan penyakit IDP (dikenal dengan istilah prenatal testing).

• Membantu konseling pada orang dewasa dengan penyakit IDP yang ingin memiliki
anak. IDP diwariskan melalui berbagai pola kompleks. Idealnya pasien IDP yang
ingin memiliki anak harus melakukan konseling genetik sehingga mereka waspada
terhadap kemungkinan mewariskan penyakit IDP mereka ke anak-anak mereka.
Pemeriksaan genetik hanya dapat dilakukan oleh laboratorium khusus. Pemeriksaan
ini belum tentu ada di semua negara. Organisasi penyakit IDPnasional dapat
memberikan informasi lebih lanjut mengenai ketersediaan pemeriksaan genetik
dinegara-negara tertentu. Walaupun pemeriksaan genetik sangat berguna untuk
penegakan diagnosis banya penyakit IDP, sedikit sekali yang diketahui mengenai
dasar genetik dari beberapa penyakit.

Sumber :

Bagian Ilmu Keseahatan Anak FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 2016

Imunodefisiensi primer- Diagnosis imunodefisiensi primer (edisi pertama), Desember


2012
2. Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi organ terkait?
Organ limfatik

Sistem limfatik sejajar dengan sistem kardiovaskular (lihat gambar di bawah). Sistem
limfatik unik, karena ini adalah sistem 1 arah yang mengembalikan cairan getah
bening melalui pembuluh ke sistem kardiovaskular untuk eliminasi produk samping
toksik oleh organ akhir, seperti ginjal, hati, usus besar, kulit, dan paru-paru.
Sistem limfatik terdiri dari hal berikut (lihat Tabel 1 di bawah):
Lymphe : Berisi nutrisi, oksigen, hormon, dan asam lemak, serta toksin dan produk
limbah seluler, yang diangkut ke dan dari jaringan seluler.
Berisi nutrisi, oksigen, hormon, dan asam lemak, serta toksin dan produk limbah
seluler, yang diangkut ke dan dari jaringan seluler.

Limfoid : Transpor getah bening dari jaringan perifer ke pembuluh darah sistem
kardiovaskular

16
Memonitor komposisi getah bening, lokasi patogen dan pemberantasan patogen,
respon imunologis, dan situs regulasi.

Memantau komposisi komponen darah, lokasi patogen dan pemberantasan patogen,


respon imunologis, dan lokasi regulasi.

Berfungsi sebagai situs pematangan, pengembangan, dan kontrol T-limfosit

Fungsi utama sistem limfatik adalah sebagai berikut:

Restorasi kelebihan cairan interstisial dan protein ke darah

Penyerapan lemak dan vitamin larut lemak dari sistem pencernaan dan pengangkutan
unsur-unsur ini ke sirkulasi vena

Pertahanan terhadap organisme penyerang

Lymph

Getah bening adalah cairan yang berasal dari plasma darah. Hal ini didorong
keluar melalui dinding kapiler oleh tekanan yang diberikan oleh jantung atau tekanan
osmotik pada tingkat sel. Kelenjar getah bening mengandung nutrisi, oksigen, dan
hormon, serta toksin dan produk limbah seluler yang dihasilkan oleh sel. Seiring
dengan meningkatnya cairan interstisial, ia diangkat dan dikeluarkan oleh pembuluh
getah bening yang melewati kelenjar getah bening, yang mengembalikan cairan ke
sistem vena. Saat getah bening melewati kelenjar getah bening, limfosit dan monosit
masuk ke dalam.

17
Pada tingkat saluran gastrointestinal (GI), getah bening memiliki konsistensi kental
yang disebabkan oleh asam lemak, gliserol, dan kandungan lemak yang kaya. Lakteal
adalah pembuluh getah bening yang mengangkut lemak usus dan dilokalisasi ke
saluran pencernaan.

Lymph vesse

Kapiler limfatik adalah tabung yang ditutup dengan dinding endotel tipis (hanya sel
tunggal yang tebal). Mereka diatur dalam pola yang tumpang tindih, sehingga tekanan
dari kekuatan kapiler di sekitar sel-sel ini memungkinkan cairan memasuki kapiler
(lihat gambar di bawah). Kapiler limfatik bergabung untuk membentuk jaringan
tubing mesh yang lebih besar yang berada di dalam tubuh; Ini dikenal sebagai
pembuluh getah bening.

Pembuluh getah bening tumbuh lebih besar dan membentuk 2 saluran


limfatik: saluran limfatik kanan, yang mengalirkan kuadran kanan atas, dan saluran
toraks, yang mengalirkan anak-anak limfatik yang tersisa. Seperti pembuluh darah,
pembuluh limfatik memiliki katup 1 arah untuk mencegah aliran balik (lihat gambar
di bawah). Gradien tekanan yang memindahkan getah bening melalui pembuluh

18
darah berasal dari aksi otot rangka, kontraksi otot polos di dalam dinding otot polos,
dan gerakan pernafasan.

Lymph nodus

Kelenjar getah bening adalah struktur berbentuk kacang yang didistribusikan


secara luas ke seluruh jalur limfatik, memberikan mekanisme penyaringan untuk
getah bening sebelum ia menemukan aliran darah. Tubuh manusia rata-rata
mengandung kira-kira 600-700 di antaranya, terutama terkonsentrasi di leher, aksila,
selangkangan, mediastinum toraks, dan mesenterium saluran GI. Kelenjar getah
bening merupakan jalur pertahanan utama dengan menampung 2 jenis garis sel
imunoprotektif, limfosit T dan limfosit B.

Kelenjar getah bening memiliki 2 daerah yang berbeda, yaitu korteks dan medula.
Korteks berisi folikel, yang merupakan kumpulan limfosit. Di bagian tengah folikel
adalah daerah yang disebut pusat germinal yang sebagian besar menjadi host limfosit
B sedangkan sel-sel yang tersisa dari korteks adalah limfosit-T. Kapal yang
memasuki kelenjar getah bening disebut pembuluh limfatik aferen dan, demikian
pula, yang keluar disebut pembuluh limfatik eferen (lihat gambar di bawah).

19
Memperluas dari kapsul kolagen ke dalam seluruh kelenjar getah bening adalah
trabeculae jaringan ikat yang secara tidak sempurna membagi ruang menjadi
kompartemen. Jauh di dalam simpul, di bagian meduler, trabekula dibagi berulang
kali dan berbaur dengan jaringan ikat hilum nodus. Dengan demikian kapsul,
trabekula, dan hilum membentuk kerangka simpul. Dalam kerangka ini, susunan
jaringan ikat yang halus membentuk sinus getah bening, di mana getah bening dan
elemen limfoid bebas beredar.

Sinus subkapsular atau marginal ada di antara kapsul dan korteks kelenjar getah
bening. Getah melewati sinus subkapsular ke sinus kortikal menuju medula kelenjar
getah bening. Sinus medullary mewakili jaringan saluran getah bening yang luas yang
mengalir ke arah hilum nodus; Dari sana, getah bening dikumpulkan ke beberapa
pembuluh efferent yang mengalir ke kelenjar getah bening lainnya dan akhirnya
mengalir ke saluran limfatik masing-masing (lihat gambar di bawah). [1, 6]

Tymus
Timus adalah organ limfoid bilobed yang terletak di mediastinum superior toraks,
posterior sternum. Setelah pubertas, mulai berkurang ukurannya; itu kecil dan
berlemak pada orang dewasa setelah degenerasi.

Fungsi utama timus adalah pengolahan dan pematangan limfosit T. Sementara di


timus, limfosit T tidak merespons patogen dan organisme asing. Setelah pematangan,
mereka masuk darah dan pergi ke organ limfatik lainnya, di mana mereka membantu
memberikan pertahanan. Secara struktur, timus mirip dengan limpa dan kelenjar
getah bening, dengan banyak unsur lobulus dan kortikal dan meduler. Ini juga
menghasilkan timosin, hormon yang membantu merangsang pematangan limfosit T di
organ limfatik lainnya. [2, 5, 3, 4]

20
Lien
Limpa, organ limfatik terbesar, adalah struktur limfoid cembung yang berada di
bawah diafragma dan di belakang perut. Ia dikelilingi oleh kapsul jaringan ikat yang
membentang ke dalam untuk membagi organ menjadi lobulus yang terdiri dari sel,
pembuluh darah kecil, dan 2 jenis jaringan yang dikenal sebagai bubur merah dan
putih. Pulp merah terdiri dari sinus vena yang diisi dengan darah dan tali limfosit dan
makrofag; Pulp putih adalah jaringan limfatik yang terdiri dari limfosit di sekitar
arteri. Limfosit padat dalam korteks limpa.

Limpa menyaring darah dengan cara yang sama seperti kelenjar getah bening
menyaring getah bening. Limfosit dalam limpa bereaksi terhadap patogen dalam
darah dan berusaha menghancurkannya. Makrofag kemudian menelan dan fagositosis
sel yang rusak dan serpihan seluler. Limpa, bersama dengan hati, membasmi eritrosit
yang rusak dan tua dari peredaran darah. Seperti jaringan limfatik lainnya, ia

21
menghasilkan limfosit dalam respon imunologis terhadap patogen yang
menyinggung. [5, 3, 4]

Oleh karena itu, limpa melakukan beberapa fungsi penting, sebagai berikut:
Ini berfungsi sebagai reservoir limfosit untuk tubuh

Ini menyaring darah

Ini memainkan peran penting dalam metabolisme darah merah dan metabolisme besi
melalui fagositosis makrofag sel darah merah tua dan rusak

Ini mendaur ulang zat besi dengan mengirimkannya ke hati

Ini berfungsi sebagai reservoir penyimpanan untuk darah

Ini mengandung limfosit T dan limfosit B untuk respon imunologis

Tonsila

Tonsil adalah agregat jaringan kelenjar getah bening yang terletak di bawah lapisan
epitel daerah lisan dan faring. Area utamanya adalah amandel palatine (di sisi
orofaring), amandel faring (di atap nasofaring, juga dikenal sebagai kelenjar gondok),
dan amandel lingual (di dasar permukaan lidah bagian posterior).

Karena amandel ini sangat terkait erat dengan saluran udara lisan dan faring, mereka
mungkin mengganggu pernapasan saat membesar. Dominasi limfosit dan makrofag
pada jaringan tonsillar ini memberikan perlindungan terhadap patogen dan zat
berbahaya yang mungkin masuk melalui rongga mulut atau jalan napas. [1, 2]

22
Histologi
Usia rata-rata onset limfoma jaringan limfoid mukosa (MALT) mukosa adalah 65
tahun. Menurut beberapa studi epidemiologi, MALToma sedikit lebih umum pada
wanita daripada pada pria dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih daripada
orang kulit hitam.
Sebagian besar pasien dengan MALTomas tidak memiliki temuan fisik; limfadenopati
jarang terjadi Bila gejala MALToma ada, nonspesifik dan tidak berhubungan dengan
organ yang terlibat. Gejala mALToma lambung dapat meniru penyakit tukak lambung
atau gastritis. Tanda dan gejala nonspesifik yang mungkin terjadi pada pasien dengan
lambung MALTomas meliputi:
Kelelahan kronis

Demam bermutu rendah

Mual

Sembelit

Tinja bertatahkan

Nyeri epigastrik

Penurunan berat badan

Anemia

Sesak napas

23
Jaringan limfoid terkait mukosa (MALT) tersebar di lapisan mukosa dalam tubuh
manusia [1, 2, 3] dan merupakan komponen jaringan limfoid manusia yang paling
luas. Permukaan ini melindungi tubuh dari jumlah dan variasi antigen yang sangat
besar. Amandel, patch Peyer di dalam usus kecil, dan usus buntu adalah contoh
MALT.

Nomenklatur ini menggabungkan lokasi; Oleh karena itu, MALT dipahami mencakup
jaringan limfoid yang terkait dengan usus (GALT), jaringan limfoid bronkial / trakea
(BALT), jaringan limfoid terkait hidung (NALT), dan jaringan limfoid vulvovagina
(VALT). Tambahan MALT ada di dalam organ aksesori dari saluran pencernaan,
terutama kelenjar parotid.

Peradangan kronis MALT dari gangguan infektif atau autoimun dapat menyebabkan
perkembangan limfoma sel B ekstranodal marjinal, atau MALToma. Perut adalah
lokasi yang paling umum dari MALTomas, sementara situs nongastrik yang sering
terjadi meliputi:
Kelenjar ludah

Kulit

Orbit dan konjungtiva

Paru-paru

Tiroid

Saluran udara bagian atas

24
Payudara

Situs gastrointestinal (GI) lainnya

Hati

Patofisiologi
MALT dapat terdiri dari sekumpulan sel limfoid, atau mungkin termasuk kelenjar
getah bening soliter kecil. Kelenjar getah bening mengandung daerah pewarnaan
ringan (pusat germinal) dan daerah pewarnaan gelap periferal. Pusat germinal adalah
kunci bagi generasi respons imun normal. Lokasi MALT adalah kunci fungsinya.
Stimulasi sel B mengarah pada produksi imunoglobulin A (IgA) dan imunoglobulin
M (IgM) di dalam patch Peyer, mencegah kepatuhan bakteri dan virus ke epitel dan
dengan demikian menghalangi masuk ke lapisan subepitel usus. [1, 2 , 3, 5]

Permukaan epitel mukosa mengandung sel M, sel khusus yang dinamakan demikian
karena mereka menunjukkan mikrofold pada permukaan luminalnya dan memiliki
penampilan yang membran. Peran sel M meliputi penyerapan, pengangkutan,
pengolahan, dan penyajian antigen ke sel limfoid subepitel. Sel-sel subepitel ini
mencakup sel T helper CD4 + tipe 1 T dan sel imunoglobulin D (IgD) / IgM + B ;
Yang terakhir adalah antigen-presenting cells (APCs) yang berfungsi sebagai sel
memori yang berinteraksi dengan THC tipe 1.

Di bawah sel M ini dan berada di dekat, sel B, sel CD4 + T, dan APC (termasuk sel
folikel dendritik [DFC]) ditemukan. [8] Bersama, kelompok sel ini merupakan
"kantong" sel M. Di dalam saku ini, area folikel yang terkait dengan epitel (folikel-
associated epithelium) diamati. Folikel ini, memiliki pusat germinal sejati, mirip
dengan folikel limpa dan kelenjar getah bening.

25
3. Apa yang di maksud dengan imunodefisiensi dan jelaskan pembagiannya!
 Definisi

Kelainan dalam perkembangan dan fungsi sistem imun mengakibatkan peningkatan


kepekaan terhadap infeksi reaktivasi in feksi laten seperti sitomegalovirus, virus
Epstein-Barr, dan tuberkulosis, di mana respons imun normal tetap mengawasi infeksi
namun tidak mengeradikasi infek- si tersebut dan meningkatkan angka kejadian
kanker tertentu. Konsekuensi dari kerusakan imunitas ini dapat diprediksi, fungsi
sistem imun normal adalah untuk mempertahankan individu terhadap infeksi dan
beberapa kanker Kelainan yang disebabkan oleh kerusakan imunitas disebut penyakit
imunodefisiensi.
Gangguan defisiensi imun mencerminkan sebuah ketidaksempurnaan satu atau
lebih mekanisme utama imunitas, termasuk:
1) Fungsi pertahanan pada permukaan tubuh (kulit dan selaput mukosa)
2) Aktivitas bakterisidal dan fagositosis
3) Respons peradangan yang mencakup komplemen dan aspek lain dari sistem
amplifikasi biologik 4)Respons antibodi
5) Respons selular (respons DTH).
Terdapat empat komponen utama sistem imun dalam membantu seseorang
dalam mempertahankan diri terhadap serangan yang menetap dari virus, bakteri,
jamur, protozoa dan bahan-bahan yang tidak memperbanyak dini, yang berpotensi
menimbulkan infeksi dan bentuk penyakit lain. Komponen sistema imun tersebut
terdiri atas imunitas yang diperantarai oleh antibodi t B), imunitas selular (limfosit T),
fagositosis dan sistem komplemen.
Tabel 6-1. Klasifikasi Penyebab Penyakit Defisiensi imun
Pola genetik
Autosom resesif
Autosom dominan
Terikat khromosom X

26
Terhapusnya gena atau pengaturan kembali
Defisiensi metabolisme dan biokimiawi
Defisiensi adenosine deaminase
Defisiensi purin nukleotid fosforilase
Defisiensi karboksilase multiple bergantung biotin
Defisiensi glikoprotein membran
Defisiensi vitamin dan mineral
Biotin
B12
Zn
Embriogesis
Penyakit autoimun
Antibodi pasif (maternal ke janin
Antibodi aktif (antibodi-anti sel T)
Sel T aktif (anti-sel B)
Defisiensi imun perolehan
Pasca infeksi virus
Pasca transfusi
Transfusi multiple
Infeksi khronis
Defisiensi gizi
Penyalahgunaan obat
Alkoholisme ibu
Terapi radiasi
Terapi immunosupresif
Kanker
Penyakit ginjal khronis
Splenektomi

27
 Pembagian immunodefisiensi

Defisiensi satu atau lebih dari komponen tersebut dapat bersifat kongenital
(misalnya X-linked infantile hypogammaglobulinemia) atau diperoleh (mis. Acquired
hypogamma-globulinemia).
Defisiensi imun dapat diperoleh sekunder sesudah penyakit lain atau sesudah
mendapatkan pengobatan atas penyakit tertentu. Jenis defisiensi imun ini lebih sering
ditemukan dari pada defisiensi imun kongenital baik herediter ataupun nonherediter.
Jenis defisiensi imun ini dapat berkembang akibat a) abnormalitas embrio mis.
DiGeorge's syndrome) b) kerusakan enzim (mis. Chronic granulomatous disease),
atau c) tidak diketahui penyebabnya (mis. Chronic mucocutaneous candidiasis)

Berdasarkan apakah penyimpangan sistem imun mempunyai latar belakang


gejala genetik atau diperoleh setelah lahir (karena penyakit tertentu atau pengobatan),
orang memilahkan menjadi penyakit defisiensi imun primer dan penyakit defisiensi
imun sekunder. Pada umumnya dianut klasifikasi yang diusulkan oleh panitia yang
dibentuk di bawah naungan WH0.

 Defisiensi imun primer


Penyakit ini dapat diakibatkan oleh defek genetika pada satu atau lebih
komponen sistem imun. Hal ini disebut sebagai imunodefisiensi kongenital (atau
primer).

Atas dasar mekanisme imunitas maka defisiensi imun primer dapat dibedakan
menjadi defisiensi imun alamiah (non-spesifik) dan defisiensi imun adaptif (spesifik).
Defisiensi imun alamiah sendiri dapat mengenai defisiensi sel-sel fagositik dan
defisiensi sistem komplemen. Sedang defisiensi imun adaptif dapat mengenai
defisiensi limfosit B dan defisiensi limfosit T. Kadang-kadang kelainan yang diderita
dapat merupakan kombinasi dari defisiensi pokok.

Defisiensi Limfosit B (antibodi)

28
Kelainan pada defisiensi antibodi atau sel B mencakup sebuah spektrum
penyakit yang dapat diamati dengan menurunnya kadar antibodi, mulai dari bentuk
penyakit dengan tidak dihasilkan imunoglobulin dari semua kelas antibody sama
sekali sampai dengan bentuk defisiensi selektif, yaitu defisiensi untuk antibodi kelas
tertentu saja. Derajat keparahan penyakit bergantung pada derajat kekurangan
antibodi Penderita dengan yang mengalami defisiensi semua kelas Ig akan lebih cepat
menunjukkan manifestasinya daripada penderita dengan defisiensi antibodi bentuk
selektif kelas tertentu. Sampai saat ini baru dijumpai kekurangan antibodi selektif
untuk Kelas IgM, IgG dan IgA. Selain itu ada sejenis penyakit dengan defisiensi IgA
dan IgG dengan disertai kenaikan kadar IgM.
Gejala umum yang dijumpai pada defisiensi antibodi adalah berulangnya
kejadian infeksi terutama yang bersifat piogenik. Khusus untuk penderita defisiensi
IgA sering disertai dengan gejala alergi terhadap alergen tertentu.
Defisiensi IgA selektif merupakan kelainan yang paling sering dijumpai, dan
diperkirakan terdapat pada populasi normal berkisar antara 1 800 dan 1:600
(Ammann, 1971). Masih merupakan perdebatan apakah keadaan dengan defisiensi
IgA merupakan hal "normal" ataukah mempunyai kaitan yang jelas dengan
penyakitnya. Dari pengkajian yang secara luas dilakukan, memberikan petunjuk
bahwa tidak adanya IgA akan memberikan peluang kepada timbulnya berbagai jenis
penyakit.
Kelainan defisiensi antibodi yang bersifat kongenit seperti telah dikemukakan
di atas untuk pertama kalinya dilaporkan oleh Brutton dalam tahun 1952 mengenai
seorang anak laki-laki. Ternyata kelainan ini berkaitan dengan gangguan kromosom
X. Kejadian jenis penyakit ini di Amerika Serikat tidak diketahui secara pasti, tetapi
perkiraan di Kerajaan Inggris terjadi setiap 100.000 penduduk. Kebanyakan mereka
menderita egagalan produksi imunoglobulin dari semua kelas sejak dilahirkan.
Walaupun sangat diduga adanya kaitan dengan gangguan kromosom X, namun
dilaporkan bahwa adanya seorang bayi perempuan pernah menderita penyakit
defisiensi kongenital tersebut. Pada penelitian selanjutnya, didapatkan bahwa dalam

29
sumsum tulang dan darah perifer penderita hipogamaglobulinemia tersebut masih
diketemukan sel-sel dari populasi pre-B, sehingga diduga bahwa kelainan tersebut
terletak pada tidak mampunya sel pre-B untuk berkembang menjadi limfo B yang
selanjutnya mensekresi imunoglobulin.

Defisiensi Limfosit T
Kelainan dengan imunodefisiensi yang disebabkan oleh semata. mata adanya
kerusakan imunitas sel T saja sangat jarang. Pada umumnya penderita kerusakan sel T
dibarengi oleh kelainan imunitas humoral. Hal ini mencerminkan pentingnya kera
sama antara sel T (T) dan sel B sebelum dihasilkan antibodi. Hampir semua penderita
dengan sempurna pada sel T menunjukkan gangguan kelainan pada pembentukan
antibodi. Beberapa penderita menunjukkan kadar antibodi yang normal, namun akan
nampak adanya defisiensi apabila yang bersangkutan mendapatkan imunisasi karena
mereka gagal dalam mensitesis antibodi spesifik terhadap antigen yang diberikan.
Penderita penderita tersebut kelainan dengan digolongkan dalam kerusakan kualitatif
dalam produksi antibodi.
Dalam menentukan gangguan limfosit T, perlu diperhatikan sub- populasi
limfosit T yang terlibat, misalnya el To), sel T sitotoksik (sel efektor, sel T supresor
atau sel T pembantu defisiensi imun (TH). Penderita dengan defisiensi imun seluler
(sel Tc) sangat mudah mengalami infeksi berbagai jenis patogen termasuk virus,
jamur, mikobakteria dan protozoa baik bermanifestasi baik dalam bentuk khronik
maupun akut.

Gangguan Fungsi Fagositik

Gangguan sistem imun yang menyangkut respons imun spesifik, khususnya


yang melibatkan limfosit T dan limfosit B. 0leh karena sel-sel fagositik, baik sel
netrofil maupun sel makrofag sangat berperan dalam imunitas, maka sistem gangguan
pada sel-sel tersebut akan membawa gejala penyakit pula.

30
Disfungsi fagositosis dapat disebabkan oleh faktor ekstrinsik seperti misalnya
gangguan antibodi, komponen komplemen atau limfokin yang dapat mengaktifkan sel
fagosit. Faktor intrinsik sebagai gangguan dalam lintasan metabolik dalam fagositnya
sendiri yang menurunkan kemampuan pembunuhan mikroba. Gangguan dalam
lintasan metabolik sangat berperan dalam terjadinya disfungsi fagositosis. Gangguan
tersebut misalnya terjadi karena defisiensi beberapa enzim seperti: glucose-6-
phosphate dehydrogenase, myeloperoxidase (MPO), alkaline phosphatase, enzim-
enzim lisosom dan fungsi abnormal dari mikrotubuli. Gangguan ini ditemukan pada
Chediak-Higashi syndrome.

Gangguan Fungsi Sistem Komplemen

Sistem komplemen sangat penting dalam pembunuhan bakteri, opsonisasi dan


kemotaksis. Di samping itu sangat perlu untuk mencegah timbunan kompleks imun
oleh dalam jaringan. karena itu defisiensi dalam komponen komplemen dapat
memberikan akibat dalam berbagai bentuk mulai dari infeksi bakteri berulang sampai
peningkatan kepekaan terhadap penyakit autoimun. Sebaliknya kelebihan salah satu
komponen komplemen ataupun kekurangan faktor penghambat aktivasi komplemen
dapat pula mengakibatkan berbagai penyakit parah.
Kerusakan genetik telah dibuktikan mempunyai kaitan dengan komponen-
komponen tertentu dari komplemen. Kerusakan ini diwariskan secara resesif melalui
autosom, sedang pada orang yang heterozigot akan memberikan manifestasi produksi
komponen bersangkutan sebanyak separuhnya.
Defisiensi komponen komplemen C1 atau C2 dan C4 menunjukkan
keterkaitan dengan penyakit autoimun, terutama pada penderita yang gejalanya mirip
dengan SLE. penderita ini juga menunjukkan kepekaan terhadap infeksi bakteri.
Gangguan pada C1 terdapat pada penderita hereditary angioneurotic edema
yang mengalami kelainan pada inhibitor untuk esterase c1, oleh karena C1 yang aktif
tidak dihambat maka enzim ini akan memecah C2 dan C4 secara tida terkendali.

31
Sebagai akibatnya, banyak terbentuk peptida yang berfungsi vasoaktif. Di samping
itu ci sendiri mengatur sistem kalikrein yang diubah menjadi bradikinin yang juga
bersifat vasoaktif. Peptida vasoaktif tersebut akan meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah sehingga memudahkan terbentuknya udema. Udema dapat
berlangsung pada semua tempat, sehingga sangat berbahaya bila berlangsung pada
larings.
Pengobatan mencakup penghindaran terhadap faktor-faktor yang mendorong
timbulnya gejala seperti trauma. Di samping itu pemberian inhibitor esterase C1
dengan infus (e-Aminocaproic acid EACA) dapat dianjurkan sebagai pencegahan
apabila penderita menghadapi trauma seperti operasi atau perlakuan operatif gigi.
Penderita dengan defisiensi C3 mengalami kepekaan terhadap infeksi
berulang dan pada beberapa penderita mempunyai hubungan dengan
glomerulonefritis khronik yang dideritanya. Penderita dengan kekurangan komponen
komplemen C5-08 mempunyai kecenderungan mengalami peningkatan infeksi
terutama infeksi berulang oleh Neisseria.

 Defisiensi imun sekunder

Kelainan lain dalam sistem imun dapat diakibatkan oleh infeksi, gangguan
gizi, atau terapi medis yang mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya fungsi
berbagai komponen sistem imun; hal ini disebut sebagai imunodefisiensi didapat
(atau sekunder).

Berbeda dengan penyakit-penyakit defisiensi imun primer yang mempunyai


gangguan herediter atau diperoleh sesudah lahir menyangkut limfosit T atau B, sel-sel
fagostik atau sistem komplemen, maka penyakit-penyakit defisiensi imun sekunder
meliputi penyakit yang gangguan sistem imunnya disebabkan oleh penyakit lain
sehingga menimbulkan komplikasi selanjutnya. Penyakit-penyakit defisiensi imun
sekunder dapat merupakan akibat hilangnya sel-sel T atau B atau terganggunya fungsi
sel-sel tersebut oleh karena suatu penyakit seperti lekemia. Pada lekemia, sel-sel

32
lekosit yang berubah menjadi ganas akan mendesak sel-sel limfosit yang masih
normal.
Sebagai penyebab utama timbulnya penyakit defisiensi imun sekunder di
negara-negara maju sebagian besar oleh penggunaan obat-obatan dalam rangka
pengobatan terhadap penderita kanker. Pada umumnya obat- obatan yang digunakan
tersebut bersifat toksik terhadap sel-sel sumsum tulang dan limfosit T dan B
(sitotoksik). Demikian pula pada penggunaan secara sengaja obat-obat imunosupresi
terhadap penderita yang mtenerima cangkok dapat menimbulkan akibat penyakit
defisiensi imun.
Keadaan defisiensi imun sekunder dapat pula mempunyai kaitan dengan
adanya infeksi bakteria yang sangat berkelebihan sehingga dapat menimbulkan
macetnya respons imun. Keadaan ini sering membawa kepada kondisitidak
mempannya pengobatan dengan antibiotika sehingga umumnya penyakit tersebut
bersifat fatal.
Penyakit defisiensi imun sekunder yang juga disebabkan oleh infeksi, yang
pada saat ini menarik perhatian dunia yaitu penyakit AIDS. Anehnya infeksi oleh
virus HIV ini justru menyerang di daerah negara-negara yang telah maju. Dengan
meningkatnya jumlah penyandang infeksi Hrv dan penyakit AIDS.
Defisiensi Imun pada Keganasan sel B dan T
Seperti gamopati yang disebabkan oleh keganasan sel-sel plasma yang
memberikan gejala defisiensi imun, maka keadaan tersebut dapat dijumpai pula
adanya keganasan sel T ataupun sel B yang lebih muda.
Beberapa kasus telah mendapatkan penjelasan bahwa keganasan sel T dan B
merupakan hasil adanya translokasi sepotong khromasom ke kromosom lain. Salah
satu di antaranya yaitu terdapat pada limfoma dari Burkit yang merupakan tumor sel
B yang menyerang beberapa populasi setelah mengalami infeksi virus EBV.
Demikian pula terdapat tumor sel T yang dapat mengalami translokasi
khromosom 8- 14 seperti halnya pada limfoma dari Burkit.

33
Sumber :

4. Jelaskan DD pada skenario!

Kata Kunci X-Linked Common Variabel


Immunodeficiency
Agammaglobune
(CVI)
mia
Anak laki-laki umur
12 bulan
Pneumonia bakteri
gram-positif
BB dan TB di bawah
normal
Tonsil/Adenoid
hampir tak
terdeteksi
Gejala 4 kali dalam 6
bulan terakhir
Terdapat diare
Ig serum total
rendah, kadar sel B
rendah namun sel T
normal
Saudara laki-lakinya
meninggal pada
umur 10 bulan
3 saudara
perempuannya yang
sehat umur 3,5, dan
7 tahun.

34
Anak laki-laki umur
12 bulan

DD pada skenario
1. X-LINKED AGAMMAGLOBULINEMIA

Agammaglobulinemia terkait X merupakan immunodefisiensi kongenital pada


laki-laki yang ditandai oleh defisiensi sel berat yang menyebabkan
hippogammaglobulinemia berat dan tidak adanya jaringan limfoid. Defek ini terbatas
pada garis keturunan sel B dan disebabkan oleh mutasi sel-B spesifik, kelompok Tec
Tirosin Kinase Btk pada kromosom Xq22. Akibat utama adalah henti perkembangan
sel B pada keadaan pra sel B. Defek gen tidak terkait X yang menyebabkan
agammaglobulinemia adalah mutasi pada gen rantai berat pada µ pada kromosom
14,pengganti rantai ringan gamma, Ig α (reseptor antigen sel B) dan pengikat sel B
(B-Cell Linker).
Sebagian besar anak laki-laki yang terjangkit XLA berada dalam keadaan
sehat selama 6-9 bulan pertama setelah lahir karena dilindungi oleh anti-bodi IgG
yang berasal dari ibu setelah itu mereka berulang kali terjangkit infeksi oleh
organisme piogenik ekstrasel misalnya pneumokokus streptokokus dan hemofilus
kecuali apabila diberi- kan antibiotik profilaktik atau terapi gamma globulin.
Biasanya tidak terjadi infeksi jamur kronik, dan pneumonia pneumocytis carinii
jarang terjadi kecuali apabila terdapat juga neutropenia. Infeksi virus juga biasanya
diatasi secara normal, dengan kecuali virus hepatitis dan enterovirus.
Telah terjadi beberapa kasus kelumpuhan setelah pemberian vaksin polio,
mungkin disebabkan oleh mutasi vaksin dari bentuk enterovirus ke bentuk yang lebih
neurotropik. Selain itu, infeksi susunan saraf pusat yang kronik progresif oleh
berbagai echovirus akhirnya menyebabkan kematian telah terjadi pada lebih dari 40
pasien. Pengamatan ini mengisyaratkan bahwa antibodi ber peran primer, terutama
IgA sekretorik, dalam pertahanan pejamu terhadap kelompok virus ini karena semua

35
pasien dengan XLA yang mengalami infeksi enterovirus persisten sejauh ini
memperlihatkan fungsi sel T yang normal. Inteksi mikoplasma juga sering
menimbulkan masalah pada para pasien ini.
Kita harus mencurigai kemungkinan XLA apabila konsen trasi lgG, IgA. IgM, dan
lgE serum di bawah 100 mg/dL imunoglobulin total, terutama apabila ada riwayat
keluarga, yaitu anggota keluarga laki-laki dari pihak lateral ibu. Pemeriksaan untuk
antibodi alamiah terhadap substansi golongan darah dan untuk antibodi terhadap
antigen yang diberikan selama jadwal imunisasi standar ( mis. Difteri, tetanus,
Haemophilus influenzae,atau pneumokokus) bermanfaat untuk membedakan penyakit
ini dari hipogammaglobulinemia transien pada bayi. Biasanya ditemukan hipoplasia
adenosis, tonsil, kelenjar limfe perifer. Tidak ditemukan sentra germinativum dan
jarang dijumpai sel plasma. Sel-sel pra-B dapat ditemukan di sum-sum tulang namun,
tidak terdapat atau sangat sedikit limfosit B darah. Gen abnormal pada XLA terletak
di q22 di lengan panjang kromosom X dan terbukti mengkode protein-tirosin kinase
BTK sel B. BTK adalah anggota dari famili tirosin kinase nonreseptor terkait src
yang mencakup Lck, Fyn, dan Lyn, famili ini diperkirakan berperan dalam
memproduksi sinyal di banyak sel hematopoietik. BTK di ekspresikan dengan kadar
yang tinggi di semua sel turunan B termauk sel pra-B. BTK belum pernah ditemukan
di semua turunan sel T, tetapi dapat ditemukan di sel-sel mieloid. Dihipotesiskan
bahwa BTK berperan dalam diferensiasi sel B di semua tahap. Sejauh ini, semua laki-
laki yang diketahui mengidap XLA (berdasarkan riwayat keluarga) memperlihatkan
aktivitas mRNA BTK dan Kinase yang rendah sampai tidak ada. Penelitian ini juga
memungkinkan identifikasi pewarisan terkait-X pada sebagian anak laki-laki dengan
agammaglobulinemia tanpa riwayat keluarga yang memiliki BTK abnormal sebagai
mutasi baru. Namun, penentuan mutasi yang tepat memerlukan isolasi dan penentuan
sekuens gen BTK setiap pasien. Pembawa sifat dapat dideteksi dengan menemukan
inaktivasi kromosom-X nonacak di sel-B dalam pemeriksaan restriction fragment
length polymorphism (RFLP) terhadap hibdrid sel

36
2. HIPOAGAMAGLOBULINEMIA SEMENTARA

a. Definisi
Hippogammaglobulinemia sementara merupakan penyakit imunodeficiency
yang menyerang bayi berusia 3-6 bulan karena memiliki kadar antibodi yang rendah.
Keadaan ini lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang lahir prematur karena selama
dalam kandungan mereka menerima antibodi ibunya dalam jumlah yang lebih sedikit.
Keadaaan ini diduga disebabkan oleh keterlambatan perkembangan aktivitas sel T
helper CD4+. Titik rendah normal pada usia 3-6 bulan menonjol, dengan kadar
imunoglobulin kurang dari 200mg/dL. Sel B dan sel T ditemukan, dan antibodi dapat
disintesis menjadi antigen protein seperti toksoid tetanus dan difteria. Kadar
imunoglobulin tetap berkurang selama usia tahun pertama, tetapi biasanya meningkat
sampai normal dengan kadar sesuai usia, antara usia 18 dan 36 bulan. Insiden infeksi
sinopulmonal meningkat.
b. Gejala Klinis
Pada masa hipogamaglobulinemia, banyak bayi yang menderita infeksi
saluran napas rekuren. Beberapa bayi mengalami perkembangan yang lambat dalam
sintesis IgG. Bayi sering menderita infeksi kuman piogenik positif-Gram (kulit,
selaput otak atau saluran napas).
c. Penatalaksanaan
Terapinya yaitu dengan cara :
- Pemberian antibiotik
- Pemberian gamaglobulin
- Pemberian antibiotik dan gamaglobulin

3. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (Aquared immunodeficiency


syndrome)

a. Etiologi
. Penyebab AIDS pada bayi,anak dan dewasa adalah HIV. HIV adalah
retrovirus RNA yang menyebabkan transkriptase balik yang memungkinkan RNA

37
virus bekerja sebagai cetakan (template) untuk transkrip DNA dan penggabungan ke
dalam genom horpes. HIV-1 paling sering di amerika serikat. HIV-2 adalah virus
terkait yan jarang ditemukan di Amerika Serikat,tetapi lebih sering di Afrika.

b. Epidemiologi
Kontak seksual yang tidak terproteksi (heteroseksual atau homoseksual),
pengunaan obat intravena, dan dilahirkan dari atau menyusui pada ibu yang
terinfeksi-HIV menyebabkan resiko infeksi yang tinggi. Banyak rute infeksi, seperti
darah yang terkontaminasi dan produk-produk darah, telah dileyapkan di negara-
negara maju, tetapi merupakan risiko pada daerah-daerah yang kurang maju.
Penularan Infeksi HIV perinatal dapat terjadi secara transplasental atau lebih
mungkin secara perinatal dan dapat dicegah dengan terapi antiretrovirus perinatal.
Faktor risiko lain adalah prematuritas, pecah ketuban lebih dari 4 jam,dan kadar virus
dalam darah yang tinggi saat pelahiran. Penularan perinatal dapat dikurangi dari
sekitar 25% sampai kurang dari 8% dengan cara mengobati ibu dengan zidovudin
sebelum pelahiran dan pengobatan bayi pascalahir. Pengobatan minimum yang
diperlukan untuk memproteksi bayi pada daerah dengan obat-obat antiretrovirus
terbats masih dalm penelitian. Menyusui oleh ibu yang terinfeksi HIV meningkatkan
risiko infeksi HIV neonatus sebesar 50-100%.
Epidemiologi Infeksi HIV pada populasi pediatrik di negara maju telah bergeser
karena lebih sedikit bayi yang terinfeksi. Sekarang, banyak kasus terjadi pada
dewasa muda yang melakukan aktivitas seksual tidak terproteksi. Di daerah Afrika
dan Asia, angka infeksi setinggi 40% sebagian besar akibat dari penularan
heteroseksual.

c. Patogenesis
HIV secara selektif menginfeksi sel T helper manusia melalui interaksi antara
CD4 dan sejumlah reseptor permukaan kemokin pada sel T dan protein virus gp120.
Karena sel T helper penting untuk hipersentivitas lambat,untuk produksi sel B

38
tergantung -sel T, dan untuk aktivitas limfokin makrofag yang di pernatarai –sel T
destruksinya menghasilkan berbagai gabungan imunodefisiensi (sel B dan T) berat.
Tidak adanya regulasi sel T dan rangsangan antigenetik yang tidak terkendali
menyebabkan hipergammaglobunemia poliklonal tidak efektif dan
nonspesifik.Infeksi makrofag menyebarkan virus keseluruh tubuh dan menyuguhkan
virus pada sel T CD4+ yang tidak terinfeksi.infeksi jaringan otak menyebabkan
ensefalopati dan atrofi serebral terkait keadaan ini.

HIV adalah proses progresif kronik dengan periode latensi klinis yang
bervariasi. Pemeriksaan sensitif untuk asam nukleat HIV menunjukkan bahwa hampir
semua pasien yang tidak diobati megalami replikasi virus yang terus berlagsung.
Selama hospes terus mengganti sel CD4 yang dihancurkan oleh infeksi tidak akan ada
manifestasi imunodefisiensi klinis. Kemamouan untuk menghitung muatan virus
penting dalam manajemen. Pasien dengan lebih banyak virus mengalami
pengosongan sel CD4 lebih cepat yang disertai dengan terjadinya infeksi oportunistik
yang khas (P.carinii dan kompleks M. avium-intra-cellulare).

d. Manifestasi klinis
Di Amerika Serikat, kebanyakan wanita hamil berisiko tinggi diskrining dan
diobati untuk infeksi HIV. Bayinya juga mendapat terapi profilaksis hampir serupa
dan secara prospektif diuji untuk infeksi. Diagnosis infeksi HIV pada kebanyakan
bayi yang dilahirkan di Amerika Serikat dibuat sebelum ada tanda-tanda infeksi
klinis. Hal ini berbeda dengan era sebelumnya, ketika diagnosis dibuat pada bayi
ketika mereka menunjukan infeksi oportunistik serius dan bukti imunodefisiensi yang
jelas (Tabel 10-19 dan 10-20). Pada pasien yang tidak diobati seperti ini, rata-rata
masa inkubasi sesudah transmisi vertikal adalah 5 bulan,berkisar dari 1-24 bulan.
Pada pasien yang lebih tua masa inkubasi biasnya 7-10 tahun. Manifestasi utama

39
infeksi HIV dan dasar untuk klasifikasi penyakit adalah infeksi oportunistik yang
terkait dengan pengosongan sel T CD4+.
Penyakit paru. Manifestasi paru infeksi HIV biasa terdapat dan meliputi
infeksi pneumocystic carinii (PCP), yang dapat muncul pada masa bayi awal sebagai
penumonia primer yang ditandai dengan hiposia berat, takipnea yang menyertai,
retraksi, peningkatan LDH serum, dan demam. Neonatus yang beresiko untuk
transmisi vertikal infeksi HIV mendapatkan profilaksis anti-PCP biasanya melalui
trimetoprim/sulfametoksazol. Pada pasien yang lebih tua, risiko PCP secara langsung
dihubungkan dengan jumalah CD4+ dan rekomendasi khusus telah ditetapkan. Pada
bayi yang tidak diobati, pneuminitis limfoid interstisial biasa ditemukan, mungkin
mewakili infeksi HIV paru, tetapi jarang ditemukan pada anak yang mendapatkan
terapu antiretrovirus.
Penyakit karena-AIDS serupa dengan penyakit yang diuraikan pada orang
dewasa, tetapi meliputi pneumonitis limfois interstisial dan hiperplasia limfoid, juga
limfadenitis. Untuk anak yang usianya lebih dari 13 tahun terdapat definis kasus CDC
yang diperluas yang dapat diterapkan.
Sindrom retrovirus akut terdiri dari demam, malaise, penurunan berat badan,
faringitis, limfadenopati, dan ruam makulopapular. Sindrom ini terjadi 2-6 minggu
sesudah infeksi HIV dan bersamaan denga munculnya antibodi anti-HIV. Pengobatan
segera dengan individu dengan infeksi HIV akut menggunakan kombinasi agen
antiretrovirus kuat dapat sangat efektif.
e. Diagnosis
Untuk mendiagnosis infeksi HIV pada neonatus perlu diperlihatkan infeksi
virus aktif karena antibodi anti-HIV transplasental ibu dapat dideteksi samapi usia 18
bulan. Uji diagnostik virologis meliputi biakan HIV, atau deteksi DNA atau RNA HIV
atau antigen p24 HIV. Bayi yang terpajan dianggap terinfeksi jika uji virologik
positif pada dua kesempatan yang berpisah. Jika uji anak secara berulang negatif pada
usia 6 bulan, peluang infeksi tipis. Semua bayi yang terpajan harus telah dilakukan uji
antibodi HIV pada usia 18 bulan untuk menyelesaikan diagnosis, karena semua IgG

40
ibu seharusnya hilang pada saat itu. Bayi yang lebih tua dapaat diskrining untuk
antibodi HIV, yang dikonfirmasi dengan Western blot (spesifik untuk HIV) dan dinilai
dengan muatan virus (biakan virus atau PCR)
Diagnosis banding meliputi sindrom imunodefisiensi primer (biasanya
ditemukan pada anak HIV-negatif yang orang tuanya tidak mempunyai faktor resiko
untuk infeksi HIV) dan infeksi intrauterin yang disebabkan oleh agen lain.

f. Pengobatan
Tiga kelas obat tersedia untuk pengobatan infeksi HIV. Zidovudin (AZT) telah
terbukti efektif dalam mengurangi penularan HIV dari wanita hamil yang terinfeksi
pada neonatus, bila obat ini diberikan pada masa perinatal. Analog nukleosida
tambahan yang digunakan pada anak adalah didanosin (dideoksiinosn), zalsitabin
(dideoksisitidin), stavudin (D4T), dan lamivudin (3TC). Inhibittor nonnukleosida dari
transkriptase balik (viramun [nevirapin]) digunkana secra luas, sebagaimana inhibitor
protease HIV, suatu enzim yang diperlukan untuk memecah protein prekursor gag-
pol HIV, yang mengandung elemen struktural dan enzimatik penting yang
diperlukann untuk maturasi virus. Inhibitor protease menyebabkan interaksi obat-obat
yang bermakna karena inhibitor protease ini dapat merangsang enzim sitokrom
CYP3A4 P450.
Kemampuan HIV untuk dengan cepat menjadi resisten terhadap agen
antiretrovirus dan terjadinya resistensi silang pada beberapa kelas agen sekaligus juga
merupakan masalah besar. Regimen terapeutik yang melibatkan obat-obat dalam
kombinasi, dan konsultasi dengan pakar bidang ini telah dianjurkan. Muatan virus
dapat dikurangi secara bermakna bila terapi kombinasi demikian digunakan disertai
perbaikan gejala klinis dan infeksi oportunistik.
Pendekatan pada sejumlah infeksi oportunistik pada pasien yang terinfeksi
HIV melibatkan profilaksis maupun pengobatan terhadap infeksi yang mungkin
terjadi karena menurunnya jumlah sel CD4. Dengan terapi antiretrovirus kuat dan
penyusunan kembali imun, profilaksis rutin unttuk infrksi oportunistik yang biasa

41
terjadi ini bergantung pada usia anak dan jumlah CD4+. Infeksi yang disebabkan oleh
P.carinii dapat dicegah denga trimetoprim/sulfametoksazol, dan infeksi M. avium-
intracellulare dapat dicegah dengan rifabutin profilaksis pada pasien dengan jumlah
sel CD4 kurang dari 200. Sepsis pneumokokus biasa terjadi, dan beberapa pasien bisa
mendapat manfaat dari imunisasi atau IVIG, karena fungsi sel B normal sering
terganggu. Umumnya terdapat kandidiasis oral dan gastrointestinal yang sering kali
berespon terhadap terapi imidazol. Infeksi variselazoster mungkin berat dan harus
diobati dengan asiklovir. Infeksi herpes simpleks berulang juga mungkin memerlukan
profilaksis asiklovir. Infeksi umum lainnya pada pasien yang terinfeksi-HIV adalah
toksoplasmosis, CMV, EBV, salmonellosis, dan tuberkulosis.
Infrksi oportunistik harus diobati secara agresif, juga setiap infeksi pada
hospes imunodefisien. Pengobatan PCP dimungkinkan dengan dosis tinggi
trimetoprim/sulfametoksazol dan steroid. Walaupun dapat menyebabkan kadar
antibodi suboptimal, imunisasi rutin tetap diindikasikan kecuali penggunaan sebagian
besar vaksin hidup pada anak terinfrksi yang bergejala. Karena resiko campak yang
mematikan pada anak dengan AIDS, vaksin campak hidup diindikasikan pada pasien
HIV-seropositif, prasimtomatis. Anak yang terpajan varisela atau campak masing-
masing harus mendapatkan ZIG atau imunoglobulin serum. Kontak rumah tangga
anak dengan AIDS harus mendapatkan vaksin poliovirus inaktif.
Pencegahan. Pencegahan AIDS atau infrksi HIV pada orang dewasa
menurunkan insiden infeksi pada anak. Pencegahan orang dewasa dapat dilakukan
dengan perubahan perilaku (“seks aman”’ menurunkan penggunaan obat intravena,
pertukaran jarum), aborsi atau menghindari kehamilan dan menyusui (di negara maju)
pada perempuan yang beresiko tinggi. Skrining donor darah telah secara nyata
menurunkan risiko penularan dari produk-produk darah, termasuk yang digunakan
untuk menobati hemofilia. Infeksi HIV hampir tidak pernah ditularkan pada
kelompok rumah tangga secara kebetulan atu nonseksual.

Sumber :

42
5. Bagaimana peran imunisasi DPT pada skenario ini ?

Imunisasi DPT adalah vaksin yang mengandung tiga elemen, yaitu Difteri
(Toksoid Corynebacterium diphtheriae), Pertusis (Bakteri Bordetella pertussis), dan
Tetanus (Toksoid Clostridium tetani).
Pada skenario, anak tersebut dapat menderita penyakit meski telah imunisasi.
Jika kita titik beratkan pada Bruto desease, kondisi tubuhnya tidak dapat merespon
terhadap imunisasi karena tubuhnya tidak dapat menghasilkan sel B yang matang. Sel
B yang matang dapat menghasilkan antibodi spesifik ketika bertemu dengan antigen
yang spesifik. Jadi meski telah diimunisasi dengan diberinya antigen yang lemah,
tubuhnya kurang merespon karena tidak terdapatnya sel B yang matang.

Sumber :

6. Mengapa tonsil atau adenoid tidak terdeteksi?


Hubungan tonsil yang hampir tidak terdeteksi. Penyakit imunodefisiensi bruton
disease ditandai dengan kegagalan sel pro B untuk berdiferensiasi menjadi sel B.
Tahapan perkembangan sel pra B menjadi sel B ini gagal karena kesalahan genetika
disebut dengan x-linked hipogamaglobulinemia. Di mana saat sel B imature yangakan
berubah menjadi sel B primed kemudian menjadi sel b matang, tidak mampu
berdiferensiasi sebagaimana mestinya, karena terjadi kesalahan struktur gen yang
disebabkan mutasi gen. Seperti yang kita ketahui, sel B mengalami pematangan dan
tetap berada di sumsum tulang, kemudian berpindah ke jaringan dan organ limfoid,
yaitu limfonodus, limfa dan tonsil. Di dalam organ limfoid, sel-sel B cadangan
disimpan, kemudian saat antigen masuk jaringan limfoid akan membantu proses
diferensiasi sel-sel B menjadi antibodi kemudian diseirkulasikan ke seluruh tubuh.

Kesimpulan : itulah mengapa tonsil tidak terdeteksi karena sel B yang seharusnya

43
matang dan yang seharusnya berpindah dari bone marrow ke organ limfoid tonsil,
tidak ada. Sehingga tonsil yang seharusnya berisi sel B matang, kosong karena tidak
terisi.

Sumber :

7. Apa hubungan TB dan BB dengan sistem imun?


Defisiensi terhadap sel B mengakibatkan gangguan produksi pada IgA
(antibodi spesifik untuk parasit Giardia lamblia) sehingga memicu terjadinya infeksi
parasit Giardia lamblia yang hidup dan berkembang biak di usus yang akan
mengakibatkan terganggunya proses reabsorbsi usus (terjadi diare berulang). Hal ini
akan menyebabkan pasien malnutrisi yang akan berdampak pada pertumbuhan
penderita.

Sumber :

8. Mengapa anak ini mengalami penumonia berulang dan diare?

Pada kelainan ini, sel pre di dalam sumsum tulang gagal berkembang,
mengakibatkan penurunan nyata limfosit B matur dan imunoglobulin serum bahkan
sampai tidak dapat terdeteksi. Penyakit ini disebabkan oleh mutasi gen yang
menyandi suatu kinase yang disebut Bruton tyrosin kinase (BTK), mengakibatkan
gangguan produksi atau fungsi enzim tersebut Enzim ini diaktivasi oleh reseptor sel
pre-B yang diekspresikan di sel pre-B, dan mengirimkan sinyal biokimiawi yang
merangsang kelangsungan hidup proliferasi, dan maturasi sel tersebut. Gen BTK
terletak pada kromosom x. Oleh Karena itu, di dalam kromosom wanita yang
membawa alel BTK mutan pada kromosom X-nya merupakan pembawa penyakit ini,
sedangkan keturunan laki-laki yang mewarisi kromosom abnormal tersebut akan
terkena penyakit ini.

44
Sumber : Abbas,Abul K.Lichtman,Andrew.Pillai,Shiv.2016. Imunologi Dasar
Abbas.Elsivier.Singapore

PNEUMONIA BERULANG PADA ANAK

KONGENITAL

PNEUMONIA ASPIRASI

INFEKSI ‘AIRBORN’

STAPHYLOCOCCUS

Infeksi terjadi intrauterin karena inhalasi likuor amnion yang septik. Gejala pada
waktu lahir sangat menyerupai asfiksia neonatorum,penyakit membran hialin atau
perdarahan intrakranial. Kelainan ini sulit didiagnosis dengan tepat. Penting sekali
mengetahui peristiwa yang terjadi pada saat kehamilan dan kelahiran, yaitu pakaah
ada kemungkinan infeksi. Gejala yang mungkin ditemukan ialah apnu neonatal atau
gejala seperti penyakit membran hialin. Diagnosis di tegakkan setelah pemeriksaan
radiologis toraks.

Pneumonia kongenital harus dicurigai bila terdapat ketuban pecah lama, air ketuban
keruh berbau dan bila terdapat kesulitan pernafasan pada saat bayi lahir. tanda klinis
pada pemeriksaan paru misalnya ronki tidak selamanya ada.

45
Pengobatan yang diberikan ialah resusitasi yang baik pada saat baru lahir. pemberian
oksigen (30-40%) dengan kelembaban udara ;ebih dari 75%. Suhu tubuh
dipertahankan dan harus dijaga jangan sampai terjadi hipotermia bila bayi tidak
dimasukkan dalam inkubator. Diberikan antibiotika spektrum luas yaitu ampisilin 100
mg/kgBB/hari intravena dikombinasikan dengan gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari. Bila
obat tersebut tidak ada, dapaty dicoba memberikan penisilin 50.000 U/kgBB/hari
dikombinasikan dengan kloramfenikol dengan dosis tidak melebihi 50 mg/kgBB/hari.

Hati-hati jika anak anda lebih dari satu kali menderita pneumonia. Hampir semua
pneumonia berulang (rekuren) disebabkan oleh keadaan atau penyakit yang
mendasari (underlying disease) yang menyebabkan anak cenderung mudah menderita
pneumonia. Pengobatan pneumonia rekuren tidak cukup dengan terapi pneumonia,
tetapi harus ditindaklanjuti dengan pelacakan penyakit yang mendasari.

Apakah Pneumonia itu?

46
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli).
Pada usia anak-anak, pneumonia merupakan salah satu penyebab kematian terbesar
terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Mortalitas anak karena
pneumonia di negara berkembang mencapai 4 juta kematian per tahun. Angka
kematian Sedangkan insidensi pneumonia pada balita di Indonesia diperkirakan
mencapai 21 %. Adapun angka kesakitan diperkirakan mencapai 250 hingga 299 per
1000 anak balita setiap tahunnya.

Apakah Tanda dan Gejala Pneumonia?

Tanda-tanda pneumonia sangat bervariasi, tergantung golongan umur,


mikroorganisme penyebab, kekebalan tubuh (imunologis) dan berat ringannya
penyakit. Pada umumnya diawali dengan panas, batuk, pilek, suara serak, nyeri
tenggorokan. Selanjutnya panas makin tinggi, batuk makin hebat, pernapasan cepat
(takipnea), tarikan otot rusuk (retraksi), sesak napas dan penderita menjadi kebiruan
(sianosis). Adakalanya disertai tanda lain seperti nyeri kepala, nyeri perut dan muntah
(pada anak di atas 5 tahun). Pada bayi (usia di bawah 1 tahun) tanda-tanda pnemonia
tidak spesifik, tidak selalu ditemukan demam dan batuk.

Apakah Perbedaan Pneumonia dan Pneumonia Berulang?

Pneumonia berulang (rekuren) adalah 2 episode pneumonia yang terjadi dalam


periode satu tahun, atau >3 episode pneumonia dalam periode yang tidak ditentukan,
dimana terdapat periode perbaikan secara kllinis dan perbaikan gambaran radiologis
di antara episode akut. Pneumonia rekuren terjadi pada 7.7–9% anak yang menderita
pneumonia.

47
Pneumonia Rekuren Disebabkan oleh Penyakit yang Mendasari (Underlying
Disease)

Terdapat perbedaan etiologi atau penyebab pneumonia dan pneumonia berulang pada
anak. Pneumonia biasanya disebabkan oleh mikroorganisme (virus, bakteri) dan
sebagian kecil oleh penyebab lain seperti hidrokarbon (minyak tanah, bensin, atau
sejenisnya) dan masuknya makanan, minuman, susu, isi lambung ke dalam saluran
pernapasan (aspirasi).
Sedangkan pneumonia rekuren biasanya disebabkan oleh suatu keadaan atau penyakit
yang mendasari yang menyebabkan anak cenderung menderita pneumonia berulang.
Pada suatu penelitian di Kanada yang meneliti 238 anak penderita pneumonia rekuren
menyebutkan bahwa aspirasi merupakan penyebab utama pneumonia rekuren pada
anak, mencapai 47,9%, sedangkan 14,3% menderita gangguan kekebalan tubuh
(imun), 9,2% menderita penyakit jantung kongenital, 8% menderita asma bronchial,
7,6% menderita anomaly sistem pernapasan, 5,4% menderita refluks gastroesofageal
dan sisanya tidak diketahui.

Bagaimana pengobatan Pneumonia Rekuren?

48
Pneumonia biasanya diterapi dengan antibiotik. Namun pneumonia yang disebabkan
oleh virus tidak akan membaik dengan antibiotik. Pneumonia viral biasanya akan
membaik dalam beberapa hari dengan istirahat yang cukup. Terapi antiviral hanya
diberikan jika gejala klinisnya berat sedangkan pneumonia yang disebabkan oleh
jamur diterapi dengan anti jamur.
Pada kasus pneumonia rekuren, penting untuk mengidentifikasi kondisi penyakit
yang mendasari sehingga terjadi episode pneumonia yang rekuren, bersamaan dengan
penanganan penneumonia. Pengobatan yang efektif terhadap kondisi medis yang
mendasari dapat mencegah terjadinya rekurensi pneumonia. Sehingga terdapat
perbedaan pengobatan pneumonia rekuren dibandingkan dengan pneumonia tipikal.

Pemeriksaan Penunjang

Pada kasus curiga pneumonia rekuren, radiografi yang menunjukkan infiltrat paru
merupakan bukti penting yang akan menetukan diagnosis pneumonia. Perbandingan
dengan gambaran radiografi sebelumnya harus dilakukan untuk mengkonfirmasi
diagnosis pneumonia dan menilai konsolidasi yang terlokalisir di salah satu lobus,
atau apakah terdapat kelainan multifokal.

Gambaran Roentgen Pneumonia rekuren pada seorang anak. Pneumonia berulang


setelah interval waktu 6 bulan.

49
Evaluasi dan pengobatan tergantung apakah pneumonia terjadi pada regio yang sama
atau tidak. Densitas yang terjadi pada regio yang sama menunjukkan adanya
kemungkinan obstruksi intraluminal, kompresi ekstraluminal atau abnormalitas
struktural jalan napas atau parenkim paru. Penyebab tersering dari obstruksi
intraluminal pada anak adalah benda asing, karena terdapat kecenderan anak
memasukkan benda ke dalam mulut.

Gambaran Roentgen pneumonia rekuren akibat benda asing yang masuk ke


saluran napas
Selain foto Roentgen, kadang kala diperlukan pemeriksaan lajutan untuk melacak
penyebabnya. Endoskopi memungkinkan visualisasi langsung akan dapat

50
menentrukan kolaps jalan napas dan lesi yang terjadi di distal bronkus. Chest
computerized tomography, magnetic resonance imaging dan angiografi juga dapat
dilakukan.
Anak-anak yang menderita pneumonia rekuren pada lobus yang berbeda-beda
mungkin mengalami ganggguan batuk atau mekanisme clearance mukosilier,
penyempitan jalan napas atau gangguan fungsi imun lokal maupun sistemik. Aspirasi
biasanya berhubungan dengan gangguan batuk dan penyempitan jalan napas. Ini bisa
merupakan akibat dari disfungsi menelan yang disebabkan oleh abnormalitas sistem
saraf pusat, penyakit neuromuskular atau lesi anatomik orofaring. Riwayat batuk saat
makan mengindikasikan adanya gangguan menelan yang memerlukan pemeriksaan
videofluoroskopi atau endoskopi. Pasien yang mengalami aspirasi kronik mungkin
telah kehilangan refleks batuk. Radionuklida salivagram dengan koloid 99mTc-sulfur
cukup sensitif dan noninvasif untuk mendeteksi aspirasi kronis.
Anak dengan pneumonia rekuren yang disebabkan karena asma biasanya berusia
lebih tua. Radiografi menunjukkan area infeksi, atelektasis atau keduanya. PCR dan
bukti kultur menunjukkan mayoritas eksaserbasi asma berhubungan dengan infeksi
virus. Anak dengan riwayat batuk malam hari, batuk atau mengi (wheezing) selama
aktivitas fisik atau batuk setelah terjadi penyakit saluran napas sebaiknya dilakukan
pemeriksaan spirometri dan dinilai respon bronkodilator atau harus mendapat
pengobatan kortikosteroid inhalasi dan bronkodilator.
Fibrosis kistik dan diskinesia silier primer merupakan gangguan transport mukosilier.
Kistik fibrosis harus dipikirkan pada anak dengan pneumonia rekuren, terutama jika
terdapat gejala malabsorpsi saluran cerna. Ditemukannya Pseudomonas aeruginosa
dari saluran napas mengindikasikan adanya fibrosis kistik. Pasien dengan diskinesia
silier primer biasanya menderita rhinitis purulen dan penyakit telinga tengah rekuren.
Sekitar separuh pasien menderita situs inversus. Trias sinusitis, situs inversus dan
bronchiectasis disebut sindrom Kartagener, merupakan subset dari penyakit
diskinesia silier.

51
Imunodefisiensi sistemik juga dapat menyebabkan infeksi sistem pernapasan rekuren.
Abnormalitas fagositosis, yang paling sering adalah penyakit granulomatosa kronik
dapat menyebabkan gangguan pertahanan terhadap bakteri dan jamur. Tidak adanya
immunoglobulin yang membantu opsonisasi dan membersihkan bakteri akan
menyebabkan infeksi rekuren. Pneumonia rekuren 74% disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae (37%) dan Haemophilus influenzae (26%). Terapi
immunoglobulin intravena (IVIG) pada kasus seperti ini dapat mengurangi mortalitas
dan morbiditas.

DIARE BERULANG
Diare merupakan salah satu penyebab utama morbilitas dan mortalitas anak di
negara berkembang. Pemberian zink dan probiotik pada diare anak telah
menunjukkan dampak yang positif terhadap kejadian diare. Penelitian ini bertujuan
untuk mengevaluasi penggunaan zink dan probiotik dalam penanganan diare pada
anak. Penelitian ini dilakukan dengan metode prospektif terhadap pasien diare anak di
bangsal anak Catelia RSUD Undata Palu pada bulan Juni – September 2013. Subyek
penelitian dibagi dalam 2 kelompok yaitu perlakuan dan kontrol. Kelompok
perlakuan mendapat terapi oralit, dan kombinasi zink-probiotik dan kelompok kontrol
hanya mendapat terapi oralit. Variabel yang diamati adalah perubahan konsistensi
feses, frekuensi, durasi diare, dan lama rawat inap. Hasil perubahan konsistensi feses
pada kelompok perlakuan lebih baik daripada kelompok kontrol. Rerata frekuensi
diare saat keluar pada kelompok perlakuan 1,27 ± 0,45 dan pada kelompok kontrol
1,53 ± 0,56. Durasi diare lebih singkat pada kelompok perlakuan (1,60 ± 0,62)
dibanding kelompok kontrol (3,73 ± 0,87). Lama rawat inap lebih singkat pada
kelompok perlakuan (3,27 ± 1,26) dibandingkan kelompok kontrol (3,77 ± 1,00).
Penggunaan zink dan probiotik pada pasien Online Jurnal of Natural Science,
Vol.3(1): 55-64 ISSN: 2338-0950 March 2014

52
Penyakit diare merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di negara
berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih
tinggi. Di Indonesia diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah Infeksi Saluran
Pernapasan Atas (ISPA) dan sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB),
khususnya di kota Palu. Tahun 2008 angka kematian anak balita di kota Palu provinsi
Sulawesi Tengah yaitu sebanyak 37 balita atau 5,4 per 1000 kelahiran hidup. Pada
tahun 2009 terjadi penurunan menjadi 22 balita atau 3,53 per 1000 kelahiran hidup,
namun pada tahun 2010 meningkat menjadi 31 balita atau 4,90 per 1000 kelahiran
hidup (Anonim, 2010).

Penyebab diare bersifat multifaktorial, disamping adanya agen penyebab,


unsur kerentanan dan perilaku hospes serta faktor lingkungan berpengaruh, oleh
karenanya program pencegahan dan pemberantasan diare diarahkan untuk
memperkuat daya tahan tubuh hospes, mengubah lingkungan dan perilaku ke arah
yang kondusif untuk kesehatan. Salah satu cara untuk memperkuat daya tahan tubuh
adalah dengan pemberian suplemen probiotik dan zink. Probiotik dan zink sudah
banyak digunakan dalam pengobatan diare saat ini (Purnamasari dkk, 2011).
Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang bila dikonsumsi dalam jumlah yang
adekuat sebagai bagian dari makanan akan memberikan dampak menguntungkan
pada kesehatan hospes. Probiotik mengurangi frekuensi dan durasi diare dengan
meningkatkan respon imun, produksi substansi antimikroba dan menghambat
pertumbuhan kuman patogen penyebab diare. Penelitian Alasiry (2007),
menunjukkan bahwa pemberian probiotik pada diare akut nonspesifik bayi dan anak
dapat mempersingkat lama diare, menurunkan frekuensi diare, serta memperbesar
penambahan berat badan secara bermakna.
Zink merupakan mikronutrien yang mempunyai banyak fungsi antara lain berperan
penting dalam proses pertumbuhan dan diferensiasi sel, sintesis DNA serta menjaga
stabilitas dinding sel. Zink dapat dimanfaatkan sebagai Online Jurnal of Natural
Science, Vol.3(1): 55-64 ISSN: 2338-0950 March 2014

53
profilaksis dan pengobatan diare akut dan persisten. Zink yang ada dalam tubuh akan
menurun dalam jumlah besar ketika anak mengalami diare. Untuk menggantikan zink
yang hilang selama diare, anak dapat diberikan zink yang akan membantu
penyembuhan diare serta menjaga agar anak tetap sehat. Beberapa penelitian di
Bangladesh, India, Brazil dan Indonesia melaporkan pemberian suplementasi zink
menurunkan prevalensi diare serta menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita
diare. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan kombinasi zink dan
probiotik pada penanganan pasien diare anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Undata Palu Tahun 2013.

Jumlah sampel diperoleh 30 pasien anak yang memenuhi kriteria inklusi,


terdiri dari 30 pasien (50%) mendapat oralit, dan kombinasi zink-probiotik
(kelompok perlakuan) dan 30 pasien (50%) yang hanya mendapat oralit (kelompok
kontrol). Tabel 1. Karakteristik pasien
Data di atas menunjukkan karakteristik pasien bahwa pada kelompok perlakuan, dari
total 60 anak terdiri dari pasien anak laki – laki dan perempuan jumlahnya sama yaitu
50% sedangkan pada kelompok kontrol pasien anak laki-Online Jurnal of Natural
Science, Vol.3(1): 55-64 ISSN: 2338-0950 March 2014.
L laki sebanyak 66,7% dan perempuan sebanyak 33,3%. Pada kasus tertentu
jenis kelamin mempengaruhi terjadinya penyakit, tetapi sejauh ini belum ada
penelitian atau teori yang menunjukkan hubungan antara jenis kelamin dengan diare.
Hal ini dibuktikan dengan analisis statistik diperoleh nilai p = 0,197 ( p > 0,05) yang
menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara proporsi jenis kelamin laki –
laki dengan perempuan atau dengan kata lain jenis kelamin bukan merupakan faktor
risiko untuk diare. Walaupun pada kelompok kontrol, lebih banyak terjadi pada anak
laki – laki tetapi perbandingannya dapat dikatakan hampir seimbang. Oleh karena itu,
baik laki – laki maupun perempuan mempunyai peluang yang sama besar untuk
menderita diare. Faktor risiko yang menjadi penyebab diare adalah faktor lingkungan,
faktor ibu, dan faktor balita. Faktor lingkungan mencakup sarana air bersih dan

54
jamban, dimana faktor lingkungan yang tidak sehat dan perilaku manusia yang tidak
sehat akan menimbulkan diare. Faktor resiko menurut faktor ibu yaitu pengetahuan
ibu mengenai hidup sehat yang rendah, akan meningkatkan risiko terjadinya diare dan
faktor risiko menurut faktor balita adalah status gizi dan pemberian ASI eksklusif.
Status gizi yang rendah dan anak yang tidak mendapat ASI eksklusif akan
meningkatkan risiko diare (Adisasmito, 2007). Kelompok umur didominasi oleh
pasien bayi dengan kelompok umur 1 bulan – 2 tahun baik pada kelompok perlakuan
maupun kelompok kontrol berturut – turut sebanyak 76,70% dan 66,70%. Hasil uji
Chi Square diperoleh nilai p = 0,000 (p < 0,05) menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan bermakna antara kelompok bayi dan kelompok anak, dengan kata lain
umur dapat mempengaruhi terjadinya diare. Umur anak sangat berhubungan dengan
ketahanan berbagai gangguan penyakit. Periode 6 bulan – 2 tahun merupakan masa
rawan pertumbuhan anak, karena pada periode ini anak mengalami proses
penyapihan, yaitu proses berhentinya pemberian ASI secara berangsur – angsur
sambil diberikan makanan lunak. Selain itu pada periode umur ini, anak belum
mempunyai sistem imun yang sempurna sehingga lebih mudah terkena infeksi, baik
infeksi virus, bakteri dan parasit (Sudiana, 2005). Tabel 2. Karakteristik Klinik
Online Jurnal of Natural Science, Vol.3(1): 55-64 ISSN: 2338-0950 March 2014.
Gejala umum yang sering terjadi jika anak menderita diare, yaitu mula- mula bayi
atau anak menjadi gelisah, rewel, suhu tubuh meningkat, kejang, muntah, dan kurang
nafsu makan atau bahkan tidak ada, dan yang paling berbahaya jika terjadi dehidrasi
berat (Hasan, 2007). Namun dalam penelitian ini gejala yang paling dominan adalah
muntah diikuti demam dan kejang. Muntah dianggap sebagai suatu cara perlindungan
alamiah dari tubuh terhadap zat-zat merangsang dan beracun yang ada dalam
makanan. Muntah terjadi apabila terdapat kondisi tertentu yang merangsang pusat
muntah. Beberapa kondisi yang dapat merangsang pusat muntah diantaranya
gangguan di saluran cerna baik infeksi termasuk gastroenteritis karena rotavirus dan
noninfeksi seperti adanya toksin (racun) di saluran cerna dan kerusakan pada mukosa
lambung-usus (Tjay dan Rahardja, 2007). Demam merupakan bentuk respon tubuh

55
terhadap masuknya antigen atau bakteri yang dapat merusak jaringan. Demam
merupakan gejala yang menyertai hampir semua infeksi dan juga merupakan efek
dari inflamasi. Demam dapat dikarenakan pelepasan pirogen dari bakteri yang
meningkatkan sintetis prostaglandin mengatur nilai ambang suhu ke suhu lebih tinggi
(Mutschler, 1999; Mycek, 2001). Kejang dapat terjadi jika pasien mengalami demam
tinggi (Herniyanti dkk, 2012). Pada umumnya demam akan timbul jika penyebab
diare mengadakan invasi kedalam sel epitel usus. Demam juga dapat terjadi karena
dehidrasi. Demam yang timbul akibat dehidrasi pada umumnya tidak tinggi dan akan
menurun setelah mendapat hidrasi yang cukup. Demam yang tinggi akan
menimbulkan kejang demam (Pratama, 2009).
Data menunjukkan bahwa pasien lebih banyak masuk dengan diare yang
tanpa dehidrasi sebanyak 65%. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa pasien yang
masuk masih tergolong dalam diare yang ringan namun perlu mendapatkan
penanganan yang tepat. Dehidrasi dapat terjadi pada penderita diare karena usus
bekerja tidak sempurna sehingga sebagian besar air dan zat-zat yang terlarut di
dalamnya dibuang bersama tinja sampai akhirnya tubuh kekurangan cairan.
Pengobatan awal untuk mencegah dan mengatasi keadaan dehidrasi sangat penting
pada anak dengan diare. Pemberian cairan yang tepat dengan jumlah yang memadai
merupakan modal yang utama mencegah dehidrasi. Cairan harus diberikan sedikit
demi sedikit dengan frekuensi sesering mungkin. Penyakit diare dapat mengakibatkan
kematian bila dehidrasi tidak diatasi Online Jurnal of Natural Science, Vol.3(1): 55-
64 ISSN: 2338-0950 March 2014

Bakteri probiotik dapat membantu proses absorpsi nutrisi dan menjaga gangguan
dalam penyerapan air yang akan berpengaruh pada perbaikan konsistensi feses
(Novel dan Safitri, 2009). Mekanisme yang sama pada zink yaitu dapat memperbaiki
atau meningkatkan absorpsi air dan elektrolit dengan cara mengurangi kadar air
dalam lumen usus yang menghasilkan perbaikan pada konsistensi feses. Perbaikan
konsistensi feses akan dapat mengurangi frekuensi BAB yang timbul sehingga hal

56
tersebut dapat pula mempersingkat lama diare pada anak (Artana dkk, 2005). Hal ini
sesuai dengan penelitian Manopo (2010), yang menyatakan bahwa suplementasi zink
dan probiotik pada diare akut efektif mengurangi keluaran tinja. Oralit adalah
campuran garam elektrolit seperti natrium klorida(NaCl), kalium klorida (KCl), dan
trisodium sitrat hidrat, serta glukosa anhidrat. Oralit diberikan untuk mengganti
cairan dan elektrolit dalam tubuh yang terbuang saat diare, sehingga tidak akan
Online Jurnal of Natural Science, Vol.3(1): 55-64 ISSN: 2338-0950 March

Sumber : Adisasmito, W., 2007, Faktor Risiko Diare pada Bayi dan Balita di
Indonesia: Systemic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat
Makara, Jurnal kesehatan, Vol.11, No.1 : 1-10. Alasiry, E., Abbas, N., & Daud, D.,
2007,

9. Mengapa hanya laki-laki yang menderita penyakit pada skenario ?

Pada kelainan ini, sel pre di dalam sumsum tulang gagal berkembang,
mengakibatkan penurunan nyata limfosit B matur dan imunoglobulin serum bahkan
sampai tidak dapat terdeteksi. Penyakit ini disebabkan oleh mutasi gen yang
menyandi suatu kinase yang disebut Bruton tyrosin kinase (BTK), mengakibatkan
gangguan produksi atau fungsi enzim tersebut Enzim ini diaktivasi oleh reseptor sel
pre-B yang diekspresikan di sel pre-B, dan mengirimkan sinyal biokimiawi yang
merangsang kelangsungan hidup proliferasi, dan maturasi sel tersebut. Gen BTK
terletak pada kromosom x. Oleh Karena itu, di dalam kromosom wanita yang
membawa alel BTK mutan pada kromosom X-nya merupakan pembawa penyakit ini,
sedangkan keturunan laki-laki yang mewarisi kromosom abnormal tersebut akan
terkena penyakit ini.
Sumber : Abbas,Abul K.Lichtman,Andrew.Pillai,Shiv.2016.Imunologi Dasar
Abbas.Elsivier.Singapore

57
10. Jelaskan mengapa kadar Ig serum total rendah, kadar sel B rendah namun
sel T normal?

Sel T dan sel B adalah sel utama dari sistem imun adaptif tubuh. Sel T
diproduksi di Bone marrow dan akan mengalami proses maturasi di kelnjar
thymus. Sel T matur apabila terpajan oleh antigen spesifik yang di presentasikan
oleh APC (Antigen Presenting Cell) akan berdiferensiasi ke dalam organ limfoid
sekunder seperti limfonodus, lien dan MALT. Set T berperan dalam respon imun
humoral yang dapat berdiferensiasi menjadi sel T-Helper dan sel T-sitotoksik atau
sel T CD8. Dimana, sel T-sitioksik berfungsi untuk menyerang antigen dan sel t-
helper berfungsi dalam membantu proses pembentukan antibodi oleh sel B. Untuk
limfosit B sendiri, produksi dan proses maturasinya terjadi di Bone marrow dapat
berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Sel plasma berfungsi. Sel
plasma berprean dalam memediasi produksi antibodi antara lain : Ig M. Ig A, Ig G,
Ig E dan Ig D yang memiliki fungsi berbeda-beda terhadap masing-masing
reseptornya. Pada skenario, kadar Ig serum total dan kadar sel B menurun
diakibatkan oleh terjadinya X-Linked hipoagamaglobulinemia atau Sindrom bruton
yang disebabkan oleh terjadinya mutasi gen yang disebut bruton tyrosin kinase
(BTK), yang mengakibatkan gangguan dalam mengekspresikan dan mengirimkan
sinyal biokimiawi yang merangsang kelangsungan hidup dan maturasi sel Pre-B
terhambat sehingga terjadi defisiensi limfosit B matur dan imunoglobulin serum
bahkan sampai tidak terdeteksi dalam darah. Dimana proses maturasi sel B
seharusnya diawali dalam sumsum tulang diproduksi stem cell atau sel-sel darah
yang disebut dengan Pluripotent Hematopoetic Stem Cells (HPC) kemudian
berkembang menjadi sel-sel limfosit prekursor atau CLP yang salah satunya akan
berkembang menjadi sel Pro-B kemudian dilanjutkan dengan proliferasi sel B
progenitor menjadi sel B prekursor yang dibantu oleh IL-17 dan pengaruh gen yang
berperan dalam variasi produk akhir dan penentuan spesifitasi sel B. Namun pada
proses diferensiasi sel Pro-B menjadi Pre-B ini terhambat akibat terjadinya mutasi gen

58
BTK sehingga mengakibatkan sel B gagal menjadi sel B matur dan hanya sampai
menjadi Sel pro-B yang belum mampu memproduksi antigen akibatnya, kadar
Imunoglobulin total dalam serum juga akan ikut menurun. Adapun kadar sel T tetap
normal dan tetap berfungsi dengan baik diakibatkan karna pada sindrom bruton ini
hanya mengganggu sistem imun humoral saja, sehingga pada sistem imun seluler,
pada proses maturasi sel T tidak terjadi defisiensi.

Sumber :
Baratawidjaja K.G, Rengganis I., Imunologi Daasar. Edisi ke-11 (cetakan ke-2).
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2014

Imunologi Lebih Mudah Dipahami. Cetakan ke-1. Brilian internasional. Surabaya,


Januari 2016.

Pratiwi Dyah Kusumo, 2012. Gangguan Imunodefisiensi Primer (PID). Fakultas


Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. NO. 25-29-1, Oktober 2012.

Abbas, Abul K.Lichtman, Andrew.Pillai, Shiv. 2016. Imunologi Dasar Abbas.


Elsivier. Singapore

59
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Abul K.Lichtman, Andrew.Pillai, Shiv. 2016. Imunologi Dasar Abbas.


Elsivier. Singapore

Adisasmito, W., 2007, Faktor Risiko Diare pada Bayi dan Balita di Indonesia:
Systemic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat Makara, Jurnal
kesehatan, Vol.11, No.1 : 1-10. Alasiry, E., Abbas, N., & Daud, D., 2007,

Bagian Ilmu Keseahatan Anak FK UNS/RSUD Dr. Moewardi Surakarta, 2016

Baratawidjaja K.G, Rengganis I., Imunologi Daasar. Edisi ke-11 (cetakan ke-2).
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2014

Imunodefisiensi primer- Diagnosis imunodefisiensi primer (edisi pertama), Desember


2012

Imunologi Lebih Mudah Dipahami. Cetakan ke-1. Brilian internasional. Surabaya,


Januari 2016.

Pratiwi Dyah Kusumo, 2012. Gangguan Imunodefisiensi Primer (PID), Jurnal


Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. NO.1 : 25-29,
Oktober 2012.

60

Anda mungkin juga menyukai